Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=68
Dipersembahkan kepada almarhum Zainal Arifin Thoha, Suryanto Sastroatmodjo, serta kawan-kawan semuanya.
Pembuka
Ini luapan kesemangatan luar biasa tentang hidup. Buah berkah yang harus disyukuri, dijalankan sebagai kerja kudu cepat melaju, keras lagi tangguh dalam pertahanan. Saya sebut ras pemberontak itu, tandingan dari sifat kelembekan yang selalu menjegal langkah-langkah lincah kita saat berlari.
Ialah gairah besar harus diledakkan kecuali ingin datangnya bisul lebih parah lagi. Bisul itu pemberhentian tidak nyaman juga sangat menyakitkan. Maka songsonglah sebelum datangnya sakit menyerang. Kita diadakan sebagaimana ada, dan terus hadir di segala jaman dan sejarah kemanusiaan. Tanpa kita dunia bengong, pikun, melempem, lumpuh, apalagi ditambah laguan melemahkan jiwa, atas dasar nilai-nilai mandul.
Marilah melancarkan jawab, sebab hanya kita yang bisa menjawab persolaan yang menghadang, oleh telah diberi limpahan kemampuan lebih di atas mereka yang enggan berjuang. Kaki-kaki ini langkah prajurit tidak kenal siang-malam, tidak peduli ilalang pun duri-duri mengancam. Semua menjadi lunak saat mengetahui situasinya. Maka rebutlah peta, kita jabarkan kepada ras yang mulia. Di sana ada titik-titik harus dikuasai, semua akan dimengerti jika segera beranjak dari kursi. Manfaatkan segala rasa demi perasaan ke luar, kita tebarkan bius untuk melucuti hasrat keinginan tanggung, sebab itu pengganggu.
Kita tidak membedakan warna kulit atau asal suku, suatu bangsa, lewat melihat wajah masing-masing dalam perkumpulan, tentu sanggup mengenal, membedakan. Kita paling cemerlang dan menjadi perhatian orang-orang yang tidak percaya diri. Kita singkirkan semuanya yang sekadar jual tampang tanpa isi. Kitalah diri, bukan sekumpulan preman tanpa perhitungan, lebih di atas segala sesuatu yang pengancam nilai-nilai rendah.
Marilah naik lebih tinggi, dengan ketinggian kita bisa menghimpun kekuatan, sayap-sayap kita rentangkan, kekuatan muda benar-benar mengalirkan darah kita. Senantiasa bergejolak dalam segenap situasi, terus menjadi yang pertama-terkemula di setiap penelitian. Kita awal dan akhir pertunjukan di muka bumi. Tanpa kita dunia kosong melompong.
Jangan sampai anak-anak kita buta nilai huruf, ini kesalahan ras kita yang lain di masa lalu, di masa perang sedang bergolak, carilah sendiri siapa itu. Kita harus lebih lihai dari para pengecut atau anak-anak pecundang. Darah kita telah dijanjikan kemenangan, jikalau benar sabar dan teguh dalam memperjuangkan pendirian. Perlu juga menghitung tarikan nafas, agar yang keluar tidak sia-sia di tengah pertempuran.
Aturan sedemikian padat itu hasil luapan menggelora. Menancapkan keyakinan sedalamnya, agar ras mulia tidak luput menjadi tanggung. Olehnya, jangan berjalan mundur, lebih baik berlayar ke samping jika angin kencang membahayakan jiwa. Tetap menuju pada yang teryakini, tercita-citakan menghimpun kekuatan dari ras-ras pemberontak.
Hujan teman kita, gemuruh badai guruh dan panas semangat keluar sedari warangka berita wacana nalar-nalar kita. Sebab itu teruskanlah menggabungkan segala ungsur kalau tidak mau disingkarkan saudara yang lain. Saat itu tidak lagi memegang ras kita, darah yang mulai, darah berontak. Mati-hidup kita tidak lagi berkeadaan penasaan, apalagi menciptakan teka-teki membingungkan.
Kita membawa keterbukaan juang bagi semua. Terbuka dan selalu membuka diri, dengan itu kita dapat menyelidik lebih jauh topeng-topeng yang dipakai para pengecut. Kita singkirkan satu-persatu agar tidak mengacaukan suasana persidangan, sebuah rapat besar membahas perjuangan ras kita di muka bumi.
Biarkan mereka menyebut kita segerombolan penyamun, penyadap atau apa saja tidak mengenakkan telinga. Tetapi tentunya kita yakin; perasaan yang berkata begitu, segera dan saat itu juga tengah bergetar ketakutan oleh kesemangatan kita yang terus memuncak kepada gunung tertinggi. Kita tidak perlu menancapkan bendera di suatu ketinggian, namun tancapkan tanda pada setiap barisan-barisan kita di segala lini pejuangan.
Jikalau mengibarkan bendera kemenangan atau apa saja, orang tanggung segera mengetahui, walau mereka ragu dan takut kalau segera ke sana, kepada kita. Karena itu, pelajarilah kejiwaan para tanggung secara seksana, kita pilih menjadi bagian jika sekiranya mau mengikuti prosesi sejarah besar kita nanti, dan sudah, juga sedang terjalankan kali ini.
Nenek moyang kita para pencipta sejarah dalam seumur hidupnya yang gemilang, tidak pernah keluar dari goa pertapaan. Mari sinauhi keseluruan ilmu, lebih-lebih menyuntuki sebagai hal pelajaran masa, dan terus diperdalam agar benar-benar dalam lingkaran merah keberanian, ras pemberontak. Nenek moyang kita pencetus tatanan hayat di muka bumi yang dirahmati, dayadinaya kita. Ketika dipercaya, manfaatkan semaksimal mungkin, janji harus ditepati. Tidakkah kepercayaan untuk kita ialah harta berlimpah?
Pun harus berani mengorek borok, dengan itu kita mengetahui sejauh dalam dan bodohnya diri ini. Sekali lagi, ras kita keterbukaan, buka pintu lebar-lebar dari semua lapisan dalam mencari inti demi penelitian lebih agung nan mulia. Yang sedang terkerjakan kita suntuki tiap-tiap masa, tidak peduli apakah perut ini terisi atau sedang lapar. Saat luapan terus ternyatakan-teringinkan, dan pernyataan menjelma anak-anak kudu kita rawat, sebab dengan itu ras kita semakin kuat.
Perlu digaris bawahi, kita buang ritual tidak penting, waktu sekadar mengedepankan muka. Jikalau terus maju segera bertemu saudara-saudara yang lain. Nenek moyang kita para pelaku yang sanggup mewarnai sejarah. Dan tidak perlu mencipta hal baru kecuali lebih manfaat maha-mutu. Laksanakan perintah, sebab energi kita berasal dan kembali. Kita tidak perlu mengaku-aku pewaris dunia, saudara tentu mengetahui, sejauh mana diri berjuang demi ras, ras pemberontak yang kukuh pendirian, keimanan.
Sungguh diperhatikan, harus tekun mempelajari kecelakaan-kebodohan, hal itu menghambat sangat perjuangan. Marilah terus mengajarkan kepada anak-anak, tentang perjuangan kelas antara ras kita dengan ras pengecut. Perhatikan juga, jangan sampai mengambil anak dari keturunan pengecut, sebab darah pengecut sangatlah fatal, bisa membinasakan keturunan kita menjadi darah terendah jikalau bercampur dengannya.
Kita harus memberikan perhatian lebih kepada keturunan kita, yang mau keluar dari kepulaun, sebab sejatinya moyang kita para penjelajah. Kita bukan penjajah atau pun penindas ras lain. Kita memegang hukum; siapa berjuang tentu mendapatkan limpahan. Para pengecut mencibir kita, sebab tak mampu melaksanakan perintah bathinnya, darah mengalir di tubuhnya bukan darah berontak atau pencetus, bukan darah juang yang kita rasakan alirannya disetiap saat.
Kerinduan kepada junjungan yang harus diperjuangkan, nenek moyang kita terhormat. Para pemuka peradaban, pencerah segala kalbu menjadi tuntunan umat bersegenap syukur atas perjuangan yang dilimpahkan-Nya. Kita lantunkan tembang-tembang menggairahkan, perjuangan tidak kering nyanyian kalbu yang menggerakkan seluruh pancaran hayat. Melangkah bersegala terus ternyanyikan, berjuang berseluruh tetembangan membahana ke pelosok sejati rasa, segenap hati umat manusia. Itulah tujuan kita, mencipta dunia dengan ras-rasa berontak atas kedirian yang lemah, oleh sifat kebinatangan yang lembek dalam jiwa.
Penerus dan Penebus
Pada bagian pembuka kita mulai mengetahui dari hal-hal kecil terawat, dipelihara dengan kekukuhan menggelora, sedari kegigihan tajam dan terus hingga dinamakan cita-cita, pantaslah diperjuangkan. Dari ringan yang tidak mereka perhitungkan, kita memulai pemberangkatan ini.
Ini berkah dari ketajaman mata bathin yang sanggup mengambil mereka yang abai, yang menganggap kita dungu atau kelewat gila, sebab saat melihat kita dalam berproses. Sementara sudah tidak ada ketika kita telah naik menanjak, karena nafas-nafas mereka telah habis di tengah jalan. Karenanya, aturan pernafasan harus diperhatikan betul, agar tidak ikut terjatuh di tengah jalan atas meremahkan. Kwalitas bukan meremehkan yang lain, kecuali benar-benar tertandakan bahwa mereka benar-benar pengecut.
Tentu saudara mengetahui bagaimana cara membangkitkan jiwa, kala sedang terlena bujuk para perayu, dengan membaca biografi nenek moyang terhormat. Ini bukan pembelajaran tetapi bagaimana terus membangkitkan semangat, tiada saat-saat padam sebelum ruh meninggalkan badan.
Basis kita keimanan amanah yang diberikan tuhan, itulah gelora nyawa bagi penebus kesalahan sejarah dibuat kaum licik, yang mengambil perhatian sejarah dengan hal-hal membingungkan jiwa kedamaian, tidak membawa mangfaat selain dogma tanpa hasana pengajaran indah. Kebangkitan kita, ras pemberontak yang mendiami bumi berkesungguhan, kesuntukan menggebu.
Iktikatnya mengajak seluruh lapisan berjuang, jika menerima menjadi pewaris terhormat, darah pemberontak dari kemapanan merugikan, kita rong-rong para mencipta hutang negara yang berlimpah kebodohan. Darah pemberontak tahu bagaimana mempertahankan hidup, agar tidak ada saat-saat menciptakan ruang meminta-minta sumbangan apalagi berhutang. Sebab telah menebusnya dengan kerja keras terus-menerus. Dan kepasrahan kita maknai dinamis, tidak puas keadaan selain tuhan menimpahkan hal pemberhentian atau mati. Kita sadap yang membuat kita lena, terus maju menumpahkan gelora perjuangan atas ras kita.
Tidakkah saudara sudah membaca buku-buku atas kelas kita? Memperjuangkan martabat kemanusiaan dengan kedudukan semestinya, tidak membedakan warna kulit atau golongan, pun keilmuan apa saja. Kitalah panji-panji penanggung jawab di antara yang ragu-gagu ketakutan atau merasa bersalah karena tidak mau melangkahkan kaki-kaki atas orang-orang tua yang kolot. Kita berdiri mewujudkan piramida gagasan luar biasa.
Kita tidak mencipta menara gading atau patung mengerikan yang sekadar menghipnotis orang lewat, namun kita terus merangsek seangin kencang membuat kendaraan perubahan iklim wacana. Kitalah jalannya perubahan, berkendaraan dengannya tetapi bukan anak-anak perubahan. Kita kendali sang perubahan, mengambil energi-energi terlewati untuk terus merangsek sampai ke pantai damai, ras yang diberkati keringat juang.
Tentu kita sadar, tidak mungkin saling membunuh-menikam, meski itu kejiwaan yang lain. Sadarlah kalau saling bantai serang, kemakmuran dan keberlangsungan ras segera habis. Tidakkah kita butuh saling bahu membahu, mencanangkan kerja besar membuat milinium bagi kejiwaan kita. Tetapi bukan berarti sama-sama kalau tidak ada perlunya. Saudaraku ras berontak, pasti akan bertemu jika gigih memperjuangkan keyakinan yang selalu merawat kejiwaan tunggal bernama tekat, segera berjumpa dalam aura agung, gelora paling tinggi setelah badai hilaf.
Kita sadar, kekuatan kita sering kali terpatahkan alam. Bersekutulah, pergunakan tubuh alam menjadi tameng-tameng, menancapkan pepohonan tegar demi dinding-dinding rumah. Kita bukan sekelompak penebang hutan sembarangan, kita merawat alam, hewan-gemewan bersatu-padu, maka kealamian juang tetap terjaga. Tidakkah dapat mengambil manfaat dari merawat kemungkinan pada permukaan-kedalamannya, menjadikan energi terus menggelora?
Proses menentukan diri ini sungguh-sungguh ras berontak atau tidak. Jangan berhenti di pertigaan atau perempatan. Sebab itu laluan yang bisa membuat kita tersingkir kalau sedang lemas saat menempuh jalan perjuangan. Jika hendak berhenti, masukilah gua keheningan paling sunyi, untuk kembali kepada hakekat sebenarnya, dari awal sebagai insan diberkahi.
Sekali lagi jangan berhenti di tengah-tengah, nanti hilang kedirianmu, dan tidak memiliki pesona lagi di hadapan saudara yang lain juga orang-orang lemah. Jangan dipermalukan langkah sendiri, terus maju dan terus. Inilah kesempatan berharga; nyawa, waktu luang, kesehatan, kekayaan. Saya tidak menyebut jabatan itu kekuatan, kalau tidak meleburkan dirinya sebagi ras kita, berontak.
Dan saling memberi kasih sesama yang ragu kurang pengalaman, sebab hakekatnya ia punya semangat membaja, sekali tarik saja sanggup berlari ribuan mil. Tentu kita bisa membedakan orang ragu karena takut, atau sungkan kepada pendahulu yang gelap, dengan ragu sebab sifat alamiah pemberontakan belum terbuka.
Kita wajib membuka kran-kran yang lemah, agar alirannya menggelinjak deras, dengan itu kekuatan ras semakin berlimpah, tenaganya tidak terdeteksi kecuali oleh kedirian yang lain, mawas diri atas langkah tertempuh. Memangfaatkan perubahan masa kecondongan gerak matahari, dengan kefahaman itu tidak lagi dalam kerangka ruang-waktu, kita merangsang bersegala pola-pola pergerakan, sehingga lebur sebab kita ialah tubuh dari perubahan, angin pencerahan, daulat kasih sayang kesungguhan cinta.
Kefahaman lingkungan perlu dibicarakan lebih dalam, dengan itu tidak dikuasai perubahan. Namun sebelum meleburkan ruang-waktu, kita harus jeli menyelidik, belajar tekun atas gejala agar tidak kecelik kalau mengetahui perubaan tubuh atau proses kreatif yang begitu menanjak bergelora. Tidakkah sering merasakan keberhasilan, dengan itu jangan terus terlena tipuan menghanyutkan diri, kita harus hati-hati menterjemahkan kejiwaan hasil, tidak perlu ragu merevisi jiwa-jiwa yang tidak baik demi tonggak lebih mapan lagi tangguh.
Anggap saja capaian itu sekadar gula-gula yang segera habis di tengah laluan kala mengunyah. Tandas nikmat selesai hingga tidak tergiur balik serupa. Tergerak kebaharuan, perawatan bidang kita teliti menarik sebagai tambahan energi. Pun pula diperhatikan meski diberi dayadinaya belimpah kudu merawatnya. Bukan kelompak kita yang memiliki sifat meremehkan, meski persoalan kecil-kecil. Saya tegaskan, jangan sekali-kali berdiskusi dengan yang memiliki jiwa-jiwa pengecut, itu musuh utama ras kita.
Ini bagian penerus-penebus, sebab moyang kita ada yang bekerja belum selesai bukan sebab apa, lantaran umurnya diambil yang Kuasa. Ia bukan manusia manja lingkungan, tidak ongkang-ongkang kaki kidungan melenakan yang kita anggap suatu kengerian. Cengeng, putus-asa ialah hal yang patut dipelajari agar sang jiwa tidak masuk ke jurang terdalam. Sekali saja terjadi akan ketagihan, sebagaimana kita lihat orang-orang cengeng terus merengek di ketiak si tuan atau ibunda kesambillauan.
Keseluruhan saya terangkan di atas, demi terkembang sebagai hal kebaharuan yang terus menerus kita tingkatkan. Tidak akan berhenti meski usia sudah lanjut, sebab hakekat kelemahan ialah usaha kita yang tidak sungguh, kecuali tuhan memprotoli kelebihan itu, saat ketuaan merambati tubuh, tetapi kejiwaan kita terus menggelora seharusnya. Ini hadiah bagi ras kita, ras berontak. Semoga kita bisa mempelajari lebih tinggi lagi dalam, berdiri sejajar dengan nenek moyang kita yang terhormat.
Bermain dalam Keseriusan
Tentu saudara mengetahui bagaimana tradisi permainan kita, melemparkan kartu-kartu kecil untuk mengelabuhi musum-musuh. Kita persiapkan perjalanan panjang tersebut dengan sekumpulan tenaga besar, sebab nantinya kita ciptakan karya-karya percobaan. Semakin mengerti pengalaman berperang, menambah faham situasi medan pertempuran.
Mangfaatkan nyawa rangkap kesungguhan, ketidakmaluan serta gunakan energi yang tidak kenal lelah, terus mengejar yang bersenyum meremehkan di atas kasur air. Kita anak-anak pinggiran kali di luar pagar, tersisikan, tetapi bukan itu lantas hanyut pertemuan arus. Tidakkah percaya, kitalah sang duta perubahan. Dengan berada di luar pagar dapat bermain seenaknya, seideal-mungkin. Biarkan mereka terbawa arus masa, tentu kita bisa mengetahui sejauh mana musuh-musuh berlari.
Mereka tidak akan tahu kapan kita menciptakan ledakkan di samping telinga di depan mata publik. Sekiranya ledakan kurang besar atau tidak berarti apa, tentu kita tidak perlu malu, dan menghimpun balik daya cipta lebih dari sebelumnya. Dengan senantiasa mengawasi musuh-musuh, celah-celah bagaimana bermain dengan permainan kita, di medan mereka atau tidak jelas waktunya.
Yang faham hakekat waktu-waktu kita, hanyalah golongan kita dan mereka tidak mengerti kapan kita menciptakan dan meledakkannya, sebab mereka disibukkan permainannya. Ini harus dimanfaatkan, menarik massa sebanyak-banyaknya dari kalangan kita, lalu merambat di pinggiran kota. Setelah massa lapisan bawa telah menjadi persekutuan, tidak harus lagi mendatangi, tetapi tentu mereka segera mengunjungi panggung milik kita berjubel massa.
Serta jangan sampai ada penyusup datang mengacaukan panggung, meski juga tidak berani. Kita jangan segan menghakimi pengacau di atas panggung, sebab apa yang terbangun ialah milik kita sendiri, berasal dari kesemangatan kerja. Jikalau sekiranya mereka ingin masuk lingkaran dan mengikuti arah, kita beri jalan terbuka. Dan semakin lama lingkaran api unggun melebar, terus membesar, maka sebaiknya menciptakan lingkaran lagi di kota-kota besar, dengan itu bisa lebih punya nafas rangkap, jikalau mereka suatu masa berhasrat menumpas kita.
Lewat beberapa lingkaran kita buat, unsur-unsur ras kita, bertambah lama semakin tidak diabaikan, menjadi ancaman besar yang berpangku tangan melihat kita dengan kesinisan. Kita tahu debu-debu kita tidak mungkin masuk ke ruang-ruang elit, sebab terhalang kaca-kaca tebal. Tetapi tidakkah mereka pasti keluar jalan-jalan? Jalan pulang? Dan melihat lingkarang kita makin membesar, dan yang semakin banyak itu.
Kita ialah massa riel sebab lintasan kita selalu di jalan-jalan, massa kita telah mengetahui sejauh mana langkah dengan keyakinan itu. Kita tunjukkan sejauh ketepatan menang dari massa mereka sekelumit tidak jelas, yang mereka gembar-gemborkan selama ini sekadar nama tidak memiliki kejelasan pendirian. Kita ciptakan lembaga-lembaga tandingan yang tidak kalah dengannya. Dana kita berasal keringat sungguh. Yang tidak sungguh-sungguh bukanlah ras kita. Kita berangkat dari jalan-jalan tidak terlihat, lalu tampak bersama debu-debu perjalanan hayat nan abadi.
Tentu saudara mengetahui, debu selalu berada di bawah, sekali melayang mengenai pandangan mata mereka. Itulah kita, terus ciptakan kemungkinan lain, sesuatu yang tidak diperhitungkan, namun kita senantiasa menghitung langkah ini bermatang tempaan. Oleh sebab itu, harus mengetahui perubahan-perubahan. Dengan kekuatan alamiah, kita sanggup hidup lestari dan mereka yang terkena arus perubahan selalu tumbang di bawah kaki-kaki, oleh sesama mereka tidak memiliki emosional persahabatan. Kita masih di bawah sana, tentu tahu bagaimana debu-debu terlayangkan ke kelopak-kelopak mata, itulah saatnya mengambil alih waktu. Dan kartu-kartu yang besar masih aman dalam genggaman tangan kita.
Sekali-kali jangan anggap permainan selesai, kita harus kian jeli kedatangan anak-anak tanggung mereka. Sekali lagi, yang memiliki sifat pengecut, senantiasa tak puas menyaksikan keberhasilan atas kesungguhan kita. Dengan pengalaman mereka juga, kita timbah keilmuan bagaimana rentangan sayap-sayap, melebarkan kekuasaan seluas-luasnya, sehingga cakar-cakar ini benar-benar menancap dalam kalbu anak-anak kita terhormat, bukannya elusan.
Di sini menampilkan keseriusan beropera sekaligus propaganda. Perlu diperhatikan, di sisi kiri dan kanan masih berdiri tegak musuh-musuh. Rawatlah kewaspadaan, jangan sampai tumbang karena mengenang kilau perjuangan. Jangan mengikuti cara-cara yang melupakan tapak-tapak kaki hayati. Pengalaman ialah guru paling bijak, memantapkan diri menunjukkan kegigihan menjadi belati tajam setiap saat. Kitalah sang penanti sekaligus yang dinanti perubahan.
Meski keberhasilan kita lebih tinggi nilainya sebab berangkat dari bawah, tetapi tidak perlu melangsungkan pesta, tentu kita faham dalam tradisi, tak ada pesta bagi anak-anak kita. Pesta kita bersatu alam, membimbing anak-anak menjadi tangan-tangan perkasa. Bagi kita, pesta ialah pendidikan. Mencukupi kebutuhan anak-anak dengan wacana yang pernah kita kerjakan, itulah kabar sesungguhnya.
Jangan sekali-kali meliuk menari di lingkungan mereka apalagi bergaya sepertinya. Kita manusia kembara yang siap menenggelamkan orang-orang angkuh di depan publik. Kita beri pelajaran musum-musuh, bukan hanya mereka yang bisa naik eskalator, sebab itu hal kemudahan. Tetapi coba lihat apakah mereka sanggup menaiki tangga kayu? Saya melihat mereka takut menaikinya, apalagi jalan-jalan di trortoar malam tiga belas.
Kelebihan kita tidak sungkan terbebani hasil. Keberhasilan bagi tradisi kita sudah jelas dari pelajaran masa, hanya acungan jempol, senyum manis yang pasti hilang. Seperti gula-gula yang kita remuk dengan gigi-gigi laksana mengampuh kreweng moyang. Tidak menganggap keberhasilan kalau tidak seluruh lapisan mengikuti tarian gigi-gigi kita, tarian pemberontak yang menabrak kemapanan mencipta terkumpulnya darah pesakitan.
Dan harus terus menguatkan barisan, meski sebagian di antara kita sudah di atas panggung pagelaran, sebab ras-rasa kita yang ada juga tidak mau menyerahkan begitu saja kedudukan tanpa kita berusaha sunggu-sunguh, serta seharusnya melebihi para pendahulu.
*) Pengelana yang tinggal di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 25 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar