Sebuah Catatan untuk Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer
Haris del Hakim
Kertarajasa, pada masa muda dikenal sebagai Ken Arok, tergeragap dari tidurnya. Ujung keris telah menempel di ulu hatinya. Kesadaran yang baru saja diperolehnya hilang sesaat kemudian kembali dan digenggamnya erat-erat. Dalam keadaan apa pun ia tetap seorang raja, berandal yang digelari Arok, dan panglima pasukan yang pernah menikamkan kerisnya ke jantung Tunggul Ametung.
Cahaya lampu minyak jarak di sudut ruangan membantu pandangan matanya yang sudah tua untuk mengenali anak muda yang sedang menghunuskan keris ke ulu hatinya. Ia ingat puluhan tahun lalu saat ia berbuat sama terhadap ayah pemuda itu. Kini ia harus berganti peran. Dia terbaring tak berdaya sebagaimana ayahnya, Tunggul Ametung. Anak tiri yang dibesarkan oleh kasih sayangnya itu sedang memerankan dirinya. Bukankah dulu dia juga mencecap kasih sayang yang dilimpahkan oleh Tunggul Ametung, meskipun atas saran dari Mpu Lohgawe? Sekarang, ia memetik karma dari pohon yang ditanamnya puluhan tahun lalu.
Ia masih terbaring. Tangannya meraba ke samping kanan dan tidak mendapati siapa-siapa. Ia tersenyum dan bertanya. “Ke mana, ibumu?”
Anak muda itu merunduk. Lengan kirinya menempel di leher ayah tirinya. Bibirnya berbisik dengan perlahan sambil mengucapkan kata-kata yang perih. “Mengapa kautanyakan perempuan yang kaupaksa menyintaimu kemudian kausakiti hatinya?”
Lelaki tua di atas ranjang pualam itu masih bisa menunjukkan wajah bersinar, meskipun tekanan lengan anak muda itu perlahan mulai menyesakkan nafasnya, dan ujung keris semakin menyarangkan mata tajamnya. Usia yang dijalaninya telah mengajarkan segala macam jenis kematian manusia. Bahkan, beberapa kali ia membantu malaikat maut mencabut nyawa manusia dan tidak bisa lagi menghitung berapa jumlahnya. Ia juga tahu suatu saat akan menghadapi kematian dengan cara yang tidak pernah terbayangkan olehnya. Dan, kematian di ujung keris yang pernah ditikamkan pada akuwu itu pula yang akan mengakhiri hidupnya.
“Aku tidak pernah menyakitinya,” kata Lelaki itu. “Akulah yang membebaskannya dari belenggu tulang rapuh bapakmu dan mengangkat derajatnya sejajar dengan para permaisuri raja. Bukankah ia ceritakan semua kepadamu dan menjelaskan dosa-dosa bapakmu, seperti yang selalu dikeluhkannya kepadaku di setiap malam?”
Anak muda itu geram. Ia semakin menindih tubuh tua yang tidak berdaya. Bibirnya mencibir, “Aku adalah samudera tumpahan jeritan luka hatinya. Sejak dalam buaian kudengar lagu-lagu perih wanita yang dikhianati orang yang pernah dianggap menyintainya. Ia tanamkan pula benih dendam kematian ayahku dan setia menyiraminya sepanjang umurku. Apakah wanita seperti itu kaukatakan terbebas dari belenggu dan menepuk dada di atas singgasana permaisuri?”
“Anusapati!” kata sang raja gusar. “Katakan padaku dosa apa yang kulakukan terhadap dirinya? Luka hati seperti apa yang menuntun seorang istri meninggalkan ranjang tidur suaminya?”
“Kertarajasa! Seperti inikah pertanyaan ayahku, Tunggul Ametung, sebelum kautikamkan kerismu ke jantungnya?” tanya Anusapati.
Lelaki tua itu tertawa. Anusapati buru-buru menggeser lengan kirinya ke pangkal leher raja yang tinggal beberapa saat lagi umurnya. Ia kuatir ada prajurit yang mendengarnya dan menimbulkan kecurigaan. Sementara lelaki tua itu tersengal-sengal. Kedua tangannya yang bebas sengaja tidak digunakan untuk melakukan perlawanan. Dia belum tentu kalah menghadapi anak kemarin sore yang sedang terbakar oleh dendam, tapi ia merasa sudah tua untuk selalu mengelak dari karma-karma yang pernah dilakukannya di waktu muda. Ia sudah mendapatkan semua warna hidup seorang manusia. Ia pernah menjadi berandal yang malang melintang di tengah kegelapan hutan, juga pernah menjadi pimpinan prajurit yang disanjung-sanjung kedatangannya. Ia telah merasakan sebagai anak terbuang dan terlantar, juga merasakan sebagai raja yang sabdanya dinantikan setiap orang. Ia pun telah mendapatkan Ken Dedes yang diperebutkan oleh para Adipati hingga Raja Kediri, bahkan sebagai lelaki telah mendapatkan semua wanita yang diinginkannya. Ia sudah mengalami nelangsa dihinakan sebagai gelandangan tanpa kampung halaman, juga mengalami puja sanjung sebagai raja Singasari. Kehidupannya tinggal disempurnakan oleh kematian.
“Anusapati!” kata Kertarajasa dengan tenang. “Tunggul Ametung mati di tangan Kebo Ijo dan bukan tanganku. Takdir telah menentukan seperti itu dan takdir pula yang mengangkatku sebagai pengganti Tunggul Ametung.”
Kini Anusapati yang tersenyum. “Aku percaya pada bibir wanita yang rahimnya melahirkanku daripada mulutmu. Seperti yang pernah kaukatakan, tidak ada yang lebih jujur dari perempuan yang sakit hati.”
Anusapati belum menikamkan kerisnya. Ia ingin membuat ayah tirinya itu menghiba untuk selembar nyawanya. Ia ingin menyaksikan bagaimana seorang raja yang selalu dimintai segala sesuatu, seperti dewa, memohon-mohon padanya.
“Rupanya ia sudah menceritakan semuanya kepadamu,” kata Kertarajasa. “Apakah ia juga menceritakan ke mana perginya saat ayahmu tewas di ujung keris?”
“Aku tidak pernah menanyakannya, tapi aku berjanji memberitahu jawabannya padamu saat kau sudah menjadi abu.”
Kertarajasa tersenyum tipis. Ia ingat pada saat remaja sering bertindak gegabah. Ia tertawa.
“Sekarang ceritakan sakit hati seperti apa yang membesarkanmu?” tanya Kertarajasa.
“Kertarajasa! Begitu berartikah sakit hati yang dipendam perempuan itu hingga lebih kaupentingkan dari nyawamu sendiri?”
Ayam jantan berkokok. Dinding-dinding kraton masih tetap beku dalam dingin. Tidak ada seorang prajurit pun yang memberikan tanda kehadirannya melalui suara langkah kaki. Anusapati telah mengatur semuanya. Ia belajar dari ibunya bagaimana Ken Arok menyusun rencananya selama berbulan-bulan demi menghunuskan keris ke jantung ayahnya. “Bahkan, ia juga merencanakan berapa orang yang harus menangis atas meninggalnya ayahmu,” begitu kata ibunya ketika itu.
Kertarajasa tersenyum mendapat tanggapan seperti itu. “Ya,” jawab Kertarajasa dengan nada bicara masih tenang dan berwibawa. “Sakit hati itu tentu sangat perih dan meremukredamkan hatinya, hingga waktu puluhan tahun tidak sanggup menghapuskan atau mengutuhkannya kembali. Aku bisa merasakan senggukan tangisnya melalui bibirmu. Tetapi, aku ingin sebelum berakhir hidupku kuketahui semua dosa yang pernah kulakukan. Biarlah aku tahu siapa diriku pada saat-saat menjelang sekaratku.”
“Apakah semua itu lebih berarti dari kerajaan yang kaubangun dengan darah ribuan orang ini?”
Kertarajasa tidak menyalahkan atau membenarkan. Dia memberikan nasehat, “Anusapati, kekuasaan tidak pernah abadi di tangan seseorang. Kekuasaan direbut, dipertahankan, diwariskan, atau diberikan secara paksa kepada orang lain. Kita tidak bisa memaksa diri untuk selalu menggenggamnya. Manusia semakin tua sementara orang-orang muda terus lahir ke dunia. Yang tua harus merelakan diri digantikan yang lebih muda. Pada akhirnya, manusia baru sadar bila menghadapi maut sendirian.”
Anusapati menyimak ungkapan ayah tirinya itu. Ia tidak memungkiri kewibawaan dan kebijaksanaannya. Hanya bayang-bayang ayahnya yang ia gambarkan di kepalanya yang selalu mengatakan bahwa ia tidak dapat berdusta bila lelaki itu adalah pembunuh ayahnya. Setiap kali bertemu dengannya, ia merasa seperti arang yang dilemparkan ke dalam tungku. Semakin bertambah umurnya semakin membara keinginan untuk membalaskan sakit hati ayah dan ibunya.
Kertarajasa seorang raja yang tidak mengenal gentar. Dalam keadaan leher tertekan lengan dan ujung keris yang sewaktu-waktu menusuk ke ulu hatinya, ia dapat berbicara lancar tanpa gagap sedikit pun. “Anusapati! Sebentar lagi matahari akan terbit. Lekas katakan sebelum tindakanmu ini diketahui oleh orang lain dan kau tidak dapat membalaskan dendam ayahmu. Bahkan, kamu sendiri yang akan dipancung di alun-alun kota dan tidak ada lagi yang kalian andalkan untuk membalas dendam kepadaku.”
Anusapati tertawa tanpa menggerakkan gerahamnya. “Inikah kekuatanmu terakhir sebagai seorang raja, Kertarajasa? Kau andalkan sisa-sisa kepercayaan dirimu dengan mengancamku. Kamu boleh memilih, kukatakan sendiri atau perempuan itu yang akan mengatakannya kepadamu?”
“Anakku Anusapati,” kata Kertarajasa dengan nada kebapakan. “Waspadalah terhadap dirimu sendiri. Jangan sekali-kali kemenangan membuatmu lupa diri dan sewenang-wenang, apalagi belum berada dalam genggaman tanganmu. Kamu pemuda tangguh yang sering bertindak sembrono. Jangan sia-siakan kesempatan yang diberikan kepadamu. Hunjamkan keris itu segera sebelum matahari terbit. Apakah kamu tidak mendengar talu lesung para petani di kejauhan?”
Pemuda itu melepaskan tekanan lengan kirinya. Ia memandangi wajah yang selalu dipanggilnya sebagai ayah. Ia tidak pernah merasa terbedakan dari Tohjaya. Batinnya berbisik, “Mengapa orang tua adalah yang meneteskan darahnya di tubuhku dan bukan yang memberikan kebaikan-kebaikan?” Barangkali benar kata ayah tirinya itu. Ia juga menjalani garis takdir untuk membunuhnya.
“Kau telah menikahi Uma dan seperti ini takdir yang harus kujalani,” jawab Anusapati. “Perempuan itu sering menerawang ke langit dan menyebut nama ayahku bila perih pengkhianatanmu melintas di batinnya. Ia bisa memaafkanmu saat kaubunuh Tunggul Ametung, tapi ia terlalu sakit dan menderita ketika mendengar Tohjaya menangis. Tidakkah kau perhatikan tubuhnya yang makin kurus dan kecantikannya yang berubah menjadi dongeng?”
Anusapati menitikkan air mata. Begitu pun lelaki yang berbaring di hadapannya. Tangan yang dulu kekar itu mengusap air bening di sudut matanya dengan jari telunjuk. Ia memandang anak tirinya yang memegang keris terhunus. “Katakan kepadanya bahwa Ken Arok minta maaf,” katanya penuh penyesalan.
Anusapati mengangguk. Ia melihat wajah ayah tirinya yang pasrah, menunggu ujung keris di tangannya yang akan menikam ulu hatinya. Dengan tangan gemetar Anusapati menikamkan keris pusaka pemberian ibunya itu. Ia pejamkan mata menyaksikan sang raja yang tersenyum menyambut maut.
“Anakku,” kata Kertarajasa. “Kuwariskan kerajaan ini tanpa dendam.”
Anusapati mengangguk. Ia tidak bisa berkata apa-apa hingga tidak terdengar lagi suara nafas. Perlahan ia membuka kedua matanya. Setetes air mata mengalir bersamaan hulu keris yang ditarik keluar dari dada pembunuh ayahnya. Darah menyembur dari lubang tikaman.
“Ayah, maafkan aku,” kata Anusapati menyarungkan kerisnya yang masih berlumuran darah.
Lelaki itu mengangguk sangat pelan sambil memejamkan mata. Kepalanya terkulai.***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 29 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar