Rabu, 30 Juli 2008

Revolusi Diam Kaum Muda

Hudan Hidayat

Sebuah statemen tak bisa mengelak dari klaim. Seperti “sumpah kaum muda” adalah klaim akan rasa memiliki: Indonesia yang bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu. Dan klaim tak memerlukan referendum “diterima atau ditolak” bergantung isi statemennya sendiri. Teks “Proklamasi” dipuja rakyat Indonesia karena dengannya, mereka bebas dari belenggunya.

Antara “Sumpah Pemuda” dan “Proklamasi”, ada ide yang berlanjut. “Sumpah” adalah upaya penyatuan, sedang “Proklamasi” adalah upaya pernyataan. Ke-Indonesia- an yang telah disatukan kini dinyatakan telah merdeka, tak terikat atau tunduk pada penjajahnya. Ia merdeka. Ia bebas.

Dua teks di atas adalah karya “akbar kaum muda”. Akbar, karena ia berdaya mimpi dan berdaya inspirasi: mereka mengimajinasikan sesuatu yang belum ada, masih in absentia. Tetapi dengannya “in absentia” itu mewujud.

Indonesia telah jauh meninggalkan sejarah itu. Masuk dalam globalisasi bercorak ilmu pengetahuan dan tehnologi, yang memproduksi jasa dan benda, isu dan wacana. Lokomotifnya adalah “neo-kapitalisme global. Dalam kancah ini, di manakah posisi Indonesia? Mampukah ia memproduksi jasa dan benda, isu dan wacana? Atau ia hanya akan jadi konsumen? Dari kenyataan hidup sehari-hari, jawabnya sudah jelas sekali.

Sejarah adalah sejarah kaumnya sendiri, dengan konteks dan masalahnya sendiri. Respon dan jalan keluarnya sendiri. Maka bagaimana kaum muda Indonesia saat ini, menjawab sejarah hidupnya yang terkepung, dan dikepung, oleh corak global itu? Apakah pikiran mereka? Mampukah mereka keluar dengan mimpi dan inspirasi? Dapatkah mereka membuat imajinasi baru, meledakkannya dalam “statemen akbar” yang berdaya ubah? Sanggupkah mereka menemukan “kata dan kerja” in absentia?

Sejarah kebudayaan dan peradaban, adalah kisah manusia yang mendayakan akalnya, melalui institusi “ilmu” yang mengubah alam menjadi benda dan jasa. Isu dan wacana. Juga darah dan air mata. Tapi di Indonesia penangkapannya telah salah kaprah: ilmu itu, “tak diiringi” dengan “ilmu yang kita butuhkan”. Dan ini berkait dengan budaya, alam pikiran, cara pandang, akan kemajuan. Karenanya, meski sekolah, kampus, kursus, pelatihan, menjamur, tapi alam Indonesia tak juga berubah: ia tetap potensi alam, yang menunggu jamahan tangan putera-puterinya. Kalau pun ada tangan-tangan yang menjamah, itu adalah tangan putera-puteri anak negeri lain. Jamahan yang membuat kita jadi objek: mereka mengeduk alam kita, sedang kita dapatkan ampasnya.

Hal ini terjadi karena ilmu di Indonesia tidak menganak tehnologi, yang mampu mengubah alam menjadi benda dan jasa. Ilmu di Indonesia hanya ilmu yang mereproduksi “makna” - hubungan antar manusia, manusia dengan alamnya, atau manusia dengan pemerintahnya. Bila kita berjalan ke toko buku, terlihatlah ilmu yang menjual makna itu: buku filsafat, politik, hukum, novel, yang semuanya dilabeli “penting dan wajib dibaca”, terutama bagi mahasiswa atau pelajar. Padahal buku-buku itu, tak pernah bisa mengubah alam, mengubah padi jadi nasi. Demikian juga liputan media massa. Hampir sebagian besar tayangan media massa mengumbar “kegenitan” soal makna. Soal yang abstrak. Memang ada sandarannya: pemerintah, atau negara, dalam tata hubungan dengan rakyatnya. Tapi segala kesibukan itu hanya berhenti pada reproduksi “makna”. Sekali lagi: tak pernah bisa mengubah alam menjadi benda dan jasa.

Segala kesibukan itu akhirnya seolah menjadi kebenaran. Kaum muda merasa sudah bekerja, bila terlibat dalam rangkaian panjang produksi makna ini. Dan karena bekerja, maka tak ada rasa salah sama sekali. Begitulah mereka suka berderap ke DPR, Gedung Bundar Kejaksaan Agung, atau menghujat mantan Presiden Suharto. Atau beramai-ramai dalam ruang seminar, diskusi, ratusan Munas yang terjebak hanya dalam pemilihan Ketua dan semacamnya. Semua itu kerja. Semua itu seolah jalan penyelamatan. Padahal jalan penyelamatan adalah bagaimana mengubah alam – alam Indonesia. Apa boleh buat, kesadaran mengubah alam sebagai hakekat kerja, terbenam dalam kemilauan makna yang disokong oleh publisitas media massa. Ilmu dan budaya kerja, telah meleset dari tangan kita.

Maka apakah budaya kerja? Budaya kerja adalah sikap mental untuk mencari ilmu yang menganak tehnologi. Etos yang merelakan diri untuk melepas kegiatan fisik, bila karenanya akan menghambat pencarian ilmu. Tapi dalam ilmu, mesti ada keseimbangan antara ilmu yang menganak tehnologi, dengan ilmu yang menganak makna. Untuk konteks Indonesia kini, dalam porsi 9 banding 1. Biarlah kita memiliki segelintir filsuf, ahli humaniora, pakar politik dan hukum, jago ilmu ekonomi, atau sebiji novelis. Tapi sisanya masuk ke dalam penciptaan benda dan jasa. Biarlah forum-forum kita kosong melompong, karena ditinggalkan kaum muda yang masuk ke loboratorium, yang sepi dan jauh dari tepuk tangan. Tapi dari sepetak tempat sepi ini, alam dan lingkungan kita akan berubah. Bila padi ditanam menghasil sekaleng, maka laboratorium membuatnya jadi seton. Bila ikan ditangkap sekilo, maka laboratorium membuatnya “seperahu penuh ikan”.

Laboratorium akan membuat panen-panen kita naik secara signifikan. Membuat kita mengeduk hasil bumi secara proporsional. Membuat produk budaya atau olahraga menjadi industri. Memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dan ekspor untuk devisa. Eskpor dan devisa? Ya. Inilah jalan yang mesti ditempuh. Jalan yang akan mengayakan sebuah bangsa.

Maka kesinilah orientasi “Revolusi Kaum Muda”, sebuah revolusi diam dengan beban ganda: di satu pihak melakukan revolusi terhadap budaya kerja, di lain pihak melakukan revolusi dengan mencari ilmu yang menganak tehnologi pengubah alam. Inilah daerah atau kawasan in absentia kaum muda kini.

Apakah wujud praktis dari “Revolusi Diam Kaum Muda” ini? Adalah perlawanan yang datang dari kesadaran bahwa perubahan adalah hak. Manakala hak ini luput, atau lambat direspon oleh penguasa, maka kaum muda tampil merebut haknya. Mereka tidak tergantung lagi pada penguasa. Tapi memilih nasibnya sendiri. Menyatakan keinginan mereka sendiri. Tamat SMA tidak berderap ke fakultas politik, ekonomi, hukum, sosiologi, atau filsafat. Tapi berbondong ke “IPB” atau “ITB”. Tapi sekolah-sekolah semacam ini bisa dihitung dengan jari. Justru itulah soalnya: dengan tidak mau masuk ke sekolah “pencipta makna”, otomatis ada gelombang besar anak muda yang tertahan di tempatnya. Gelombang yang menciptakan “Revolusi Diam Kaum Muda”. Revolusi yang tidak dinyatakan dengan gerak fisik. Tapi revolusi sikap mental dengan gerak diam menunggu. Kita tahu, pemerintah tidak punya sekolah yang menampung revolusi diam itu. Tapi gelombang ini akan memaksa mereka berpikir, mencari jalan, dan akhirnya akan “membubarkan, memproporsionalkan”, sekolah-sekolah yang ada, dengan memetamorfosakannya ke sekolah-sekolah pencipta benda dan jasa. Sampai terjadi proporsi yang wajar, antara kedua kubu sekolah itu, yaitu 9 berbanding 1. Hasilnya: kita memiliki seorang jago politik, tapi 9 orang jago mengubah kekayaan alam.

Dengan demikian, di tangan kaum muda Indonesia kini, ada tiga “teks akbar”, teks yang mampu membangkitkan batang terendam, demi cita-cita kemajuan dan kemerdekaan Indonesia. Yaitu “Sumpah Pemuda”, “Proklamasi”, dan “Tehnologi Pencipta Benda dan Jasa”. Duhai kaum muda, carilah narasi “teks ketiga” ini.

Tidak percaya?
Cobalah tempuh jalan ini sesekali. Sebelum kamu “mati”.

(HH)

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae