Hudan Hidayat
http://jawabali.com/
PEMBUNUHAN-pembunuhan itu membuatku menjadi dingin. Aku jadi orang apatis. Aku tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan salah. Sama saja bukan? Salah atau benar semuanya ada dalam tatanan Tuhan. Direncanakan atau kebetulan, tetap saja ia adalah karya Tuhan, yang tidak bisa kita tolak. Beruntunglah orang yang ada di dalam garis Tuhan, hidup enak dan tidak berliku. Pada orang-orang seperti itu, aku tidak cemburu. Biasa saja. Tidak merendahkan atau meninggikan. Aku justru simpati dengan orang-orang yang kalah, orang-orang berdosa, yang dari awalnya sudah menempuh jalan berbeda.
Untuk menunjukkan rasa simpati itu, aku keluar dari sekolah. Kepada guru kelas SMA, yang dengan segala daya merayuku agar tidak keluar, aku hanya tersenyum. Kukatakan keputusanku tidak bisa ditawar. Ia berkata, "Mengapa? Apa yang terjadi? Tiga bulan lagi kamu ujian. Habis itu jalan terbentang. Kau bisa masuk filsafat seperti yang kau kehendaki. Atau psikologi, hukum, atau ekonomi. Pendeknya apa saja. Asal kau jangan keluar. Please, Dani sayang!" Katanya sambil menjenguk ke dalam mataku. Dapatkah kau sesuatu dari sana, Ibu? Tidak, kau tidak akan mendapatkan sesuatu. Sebab aku telah menguncinya. Aku memang punya rasa cinta. Bahkan sejak aku berpikir aku punya rasa cinta. Kadang aku begitu sayu dengan rasa cintaku. Kukenang dengan segala jiwa dan ragaku. Aku meloncat dari satu cinta ke cinta yang lain. Mula-mula aku tidak menyadari ini. Kukira cuma perasaan biasa. Aku tertarik karena wanita yang kutemui memang mengesankan. Tapi kemudian aku tahu bahwa aku memang gampang terbuai cinta. Aku tidak tahu siapa yang sesungguhnya kucinta. Mungkin seluruh perempuan-perempuan itu. Yang kukenal ketika aku masih kecil. Kelak setelah dewasa, perasaan cinta model itulah yang menjerumuskanku pada banyak wanita.
Waktu umurku 4 tahun, aku pernah melamunkan seorang yang usianya jauh dari diriku, sekitar 13 tahun. Seorang perempuan yang cantik dan lembut. Siang malam aku memikirkan perempuan itu. Kadang aku membayangkan hal-hal yang besar untuknya, yang bisa dibanggakan. Dia begitu dekat denganku. Ketika aku sakit, perempuan itu membelaiku dengan senyumnya. Aku menerima segala belaian itu, bergerak manja seperti kucing hitamku. Tapi aku tahu, bersama itu aku mempunyai geliat lain: nafsu, yang belakangan aku mengerti, adalah hasrat untuk membunuh. Kubayangkan perempuan itu membelaiku, sementara aku menusukkan belati padanya. Rasa cinta sama besar dengan rasa membunuh. Itulah hatiku. Dan kamu tidak akan tahu itu, Maya-ku. Kamu tidak akan mendapatkannya. Percuma bola matamu yang lembut itu menjenguk ke dasar jiwaku. Tak ada apa-apa di sana. Perempuan yang menjadi guruku masih sangat muda. Paling 21 tahun. Dan ia tidak hanya cantik, tapi lembut dan selalu memberi simpati. Apapun juga, aku akan tetap bergerak ke arah lain, Maya.
Aku tetap ingin keluar. Dia, dengan segala kelembutan dan rasa sayangnya, berlinang air mata. Tiba-tiba ia memeluk dan menyandarkan kepalanya ke dadaku. Ia terisak dan tetap memintaku jangan keluar. Aku melihat ke sekitar, sekolah kami sepi. Hari sudah menjelang senja. Kawan-kawanku sudah pulang. Kami ada di sudut gedung yang tak terlihat siapa pun. Entah mengapa aku membelainya. Aku cium kening wanita yang sangat baik kepadaku itu. Rambut dan tubuhnya mengeluarkan bau harum. Aku jadi terangsang. Birahiku bangkit. Kutatap wajahnya. Pelan-pelan bibirku mencium bibirnya. Ada sesuatu yang bergerak dalam hatiku, tapi aku cepat-cepat membunuhnya. Aku tidak ingin terlibat emosi. Aku memang tidak menempatkan dirinya dalam posisi pelacur-pelacur yang kusetubuhi, tapi aku tidak mau hatiku tercuri dan akhirnya berhenti. Kami keluar dari halaman sekolah seperti sepasang kekasih. Berjalan kaki menuju jalan raya. Sengaja kupilih jalan-jalan yang banyak gembelnya. Tidak sukar di Jakarta untuk mencari jalan-jalan seperti itu.
Di depan Megaria kami berhenti. Perempuan cantik anak orang kaya ini memperhatikanku, seakan-akan aku adalah makhluk asing baginya. Aku diam saja. Aku tetap memerhatikan orang-orang yang bergeletakan di stasiun kereta api. Ada loper koran yang termenung-menung sendiri. Lampu jalanan dan suasana malam membuat ia seperti mati, duduk dengan koran di tangannya. Mungkin ia terkenang kampung halamannya. Ayah yang mengusirnya. Ibu yang menyuruhnya mencari uang untuk membantu keluarga. Banyak alasan mengapa anak usia 6 tahun itu duduk di tempatnya. Aku juga memandang seorang bapak tua dengan pakaian kumal di tubuhnya. Ia seorang lelaki 60 tahunan. Wajahnya tua dan keriput. Matanya sayu tanpa harapan. Ke manakah keluarganya? Mungkin ia sendiri saja di dunia. Seperti aku. Aku juga sendiri saja. Setelah ayah dan kakek meninggal, aku tidak punya seorang pun lagi. Bebas merdeka seperti burung, terbang tinggi. Terbanglah sesuka hati. Ya, tapi ke mana? Ke mana saja. Kau dapat terbang dari sebuah pengalaman ke pengalaman lain. Dari sebuah pembunuhan ke pembunuhan lain. Ah, kalau itu bukan mauku. Benar aku mempunyai impuls-impuls ke arah situ. Tapi itu bukan segala-galanya. Setidaknya ia bukan suara yang dominan. Ia lebih disebabkan keadaan, yang membuatku harus mengerjakannya. Bagaimana kalau wanita di sampingmu? Ia jelas sungguh-sungguh mengharapkanmu. Bukan harapan seorang guru kepada muridnya lagi. Tapi penantian seorang perempuan terhadap lelaki. Mengapa kau tolak dia? Bukankah itu juga suara hatimu, meski kecil dan selalu kau ingkari. Aku tak tahu.
Kukira ada yang bergerak dalam hatiku. Entah apa. Semacam usia muda yang ingin mengelana. Fase di mana suatu saat akan berhenti. Tapi yang jelas tidak sekarang ini. Rasa-rasanya aku lebih enak sendiri. Mungkin aku inginkan ibu, tapi ibu telah lama mati. Dan aku tidak akan pernah lagi berjumpa dengannya. Mungkin perempuan ini mirip ibuku, sehingga kau tak bisa mencampakkannya. Mungkin juga. Lihat dia tersenyum mengerti dengan apa yang kau pikirkan, dan memegang tanganmu seperti ibumu yang kau rindu. Pokoknya cobalah dulu. Kalau tidak bisa baru kau tolak. Apa susahnya mengatakan tidak. Toh membunuh pun kau sanggup. Bayangan pembunuhan itu membuyarkan lamunanku. Segalanya terasa tawar kembali. Juga malam dan orang-orang yang bergeletakan. Aku mulai lagi dikuasai rasa marah pada Tuhan. Juga putus asa. Apa salahnya kami-kami ini, sampai Kau hukum dengan jalan kelam seperti ini. Mengapa tidak semua manusia Kau buat bahagia? Bukankah Kau punya kekuasaan untuk itu? Apa yang Kau sembunyikan? Mengapa?
Sebuah tangan yang hangat mendekapku. Ibu Maya berkata dengan lembut, "Kita pulang, sayang?" Aku mengangguk. Kami menyetop taksi pulang.
Aku sudah keluar dari sekolah, dan beberapa orang tetanggaku menanyakan keberadaan ayah dan kakekku. Aku berkata ayah dan kakek pergi jauh, mereka mengerti dan tidak pernah bertanya lagi. Ayah dan kakek memang suka pergi lama. Meninggalkanku sendirian. Pernah mereka pergi hampir dua tahun. Berburu ke Afrika. Dan aku mengerjakan semuanya sendirian. Menyapu, memasak, mengepel, semua kulakukan sendiri. Rumah ayah cukup besar. Dua tingkat dengan 4 kamar. Belum lagi ruang-ruang lain dan halaman. Jadi cukup memerlukan waktu untuk membersihkan rumah. Sehingga aku sering terkenang dengan ibu, saat ia sedang mengerjakan pekerjaan rumah. Kukira kalau ibu ada, ibu pasti mengerjakan pekerjaan yang kulakukan. Menarik juga rasanya melihat ibu memasak nasi, memotong dan menggoreng ayam untuk kami. Atau menyapu halaman rumah saat sore. Ibu pasti senang mengerjakan pekerjaan itu. Dia seorang perempuan periang.
Dari catatan ayah aku tahu bahwa ibu sangat mencintai ayah dan aku. Ia seorang perempuan yang lembut. Ayah menulis, istri saya sangat mencintai anaknya yang baru berusia 3 tahun, sedang lucu-lucunya. Sering saya lihat ia mengajak anaknya bicara, dan selalu saya mendengar kata-kata ini: Ibu sayang kamu Nak, Ibu sayang kamu Nak. Nanti kalau sudah besar kamu mau jadi apa? Kamu harus jadi anak yang saleh. Pintar. Dan sayang sama kedua orang tuamu ya. Jangan sekali-sekali kamu membangkang. Apa artinya hidup kalau kamu keluar dari jalan Tuhan. Dan ibu selalu mengakhiri kata-katanya sendiri, dengan menciumiku sejadi-jadinya. Kadang air matanya berlinang melihat kebahagiaan yang didapatnya. Sebab ia orang miskin dan berasal dari keluarga miskin. Tapi memperoleh suami yang sangat sayang sama dirinya, dan anak yang sedang lucu-lucunya. Ayah selalu mengakhiri catatannya dengan perasaan menyesal. Saya menyesal sekali. Mungkin ini satu-satunya kekeliruan yang terbesar dalam hidupku. Mungkin waktu itu aku harus melawan kemauan ayah. Sebab bukankah kita bisa menjadi atheis tanpa harus menghabisi keluarga? Tapi mungkin juga ini hukum karma: sebab hampir sepanjang hidup saya, ibu yang kubunuh datang dalam mimpi, membawa tanda bahwa saya juga akan membunuh istri sendiri, sebelum terbunuh oleh anak sendiri. Saya menyesal. Tapi apa yang bisa saya lakukan? Saya hanya bisa melakukan agar anak saya tidak menjadi atheis seperti kakek dan ayahnya. Agar ia menjadi orang baik-baik. Dapatkah keinginan saya ini terkabul? Mengapa pertanda itu selalu berulang dalam mimpi-mimpiku? Apakah aku dikejar perasaan berdosa? Tapi aku tidak percaya Tuhan? Saya tidak pernah mengakui kekuasaan-Nya. Saya juga sudah tidak memedulikan-Nya. Bagaimana orang yang tidak percaya dapat diburu dosa?
Esoknya aku kembali lagi ke Megaria. Aku ingin bertanya kepada anak kecil dan kakek itu, apa yang terjadi dengan hidup mereka. Apakah seperti yang kupikirkan kemarin, atau ada hal lain. Kukira ini penting. Setidaknya aku dapat membanding. Perbandingan apa pun, aku tahu tidak akan berguna untukku. Aku sudah mengambil sikap yang jelas. Tapi entah mengapa aku tetap melakukannya. Mungkin karena aku melihat diriku dalam diri anak kecil itu: ketika ia termenung seperti orang mati, dan aku juga melihat diriku dalam diri orang tua itu, ketika keriput wajahnya dan hampa matanya, kubayangkan sebagai keriput dan hampa mataku di hari tua. Ya, barangkali hari tuaku akan berakhir seperti anak dan orang tua itu: sendirian. Bila itu terjadi, aku berharap aku tetap saja di kota ini. Tidak pergi ke mana-mana. Sebab aku sudah merasa nyaman di sini: kota ini seperti bayanganku sendiri. Aku suka kesibukannya yang tak habis-habis. Orang-orangnya yang tak sabar dan segala-galanya centang-perenang. Aku suka karena di dalam ketidakberesannya itulah aku dapat hidup: ia seakan memberikan benteng padaku, seolah apa yang terjadi pada diriku mendapat pembenarannya, dalam kota yang keras dan tak manusiawi ini.
Aku menunggu tiga jam, tapi kakek dan anak itu tetap tidak kelihatan. Seakan mereka ditelan bumi. Beberapa orang datang dan beberapa orang pergi. Stasiun itu mulai sepi. Aku duduk mencangkung di salah satu pojoknya yang menghadap ke sebuah hotel. Aku sudah tiga jam mengamati orang-orang yang turun dan pergi dari hotel itu. Sambil menunggu satu jam lagi, aku tetap mengamati kegiatan di lobi hotel itu. Siang tadi matahari demikian panas. Tapi malam panasnya berkurang. Angin malam dan lampu-lampu jalanan membuat kota ini menjadi lain bagiku. Aku selalu terpukau dengan kota di malam hari. Sesuatu tak terkatakan ada di sini, di malam hari ini. Seakan suara orang minta ditunggu dalam sebuah perjalanan jauh dan tak pernah kembali. Seakan sebuah dunia yang damai dalam diam. Atau perang dalam keheningan. Entahlah. Semuanya mengabur. Inilah saatnya aku suka lepas kendali. Kontrolku hilang. Sudah dua jam yang lalu aku melupakan anak dan kakek itu. Perhatianku tercurah kepada mobil-mobil bagus yang memuntahkan penumpang ke hotel di depanku. Ada lima puluh perempuan, kalau aku tidak salah hitung, terserap dan keluar dari hotel itu. Siapakah mereka? Apa yang terjadi di balik bangunan megah bernama hotel ini? Saat Adam memakan buah yang kemudian disebut buah kuldi, karena terbujuk oleh ular, konon yang terjadi adalah aurat mereka terbuka. Sehingga mereka malu dan menutup auratnya dengan daun-daun surga. Jadi ini simbol perzinaan pertama. Dan simbol inilah yang melemparkan mereka ke dunia. Aku menambahkan versiku sendiri: setelah auratnya terbuka, mereka jadi bernafsu. Lalu kedua Bapa kita itu bersetubuh.
Berapa banyak orang-orang di hotel ini telah memakan buah kuldi? Sebanyak tamu-tamu yang terserap dan dilemparkannya kembali. Mereka telah memakan buah kuldi dari hari ke hari. Dilindungi tembok dan aturan. Dan ada sebuah 'kuldi' lain ketika jam ke empat aku di sana: saat aku hendak pulang, aku melihat dua bayangan berkelebat. Aku merasa itulah bayangan orang yang kucari-cari. Maka aku mengikuti ke mana mereka pergi. Mereka masuk ke dalam lorong-lorong di bawah stasiun yang gelap, karena lampu tak ada. Hanya mengandalkan bias penerangan jalan. Aku terus mengikuti mereka. Mereka terus masuk dan berkelok, sampai ke tempat yang paling tersembunyi dari stasiun itu. Aku menahan napas ketika kedua orang yang kucari mulai membuka pakaian, dan kakek itu dengan bersemangat mulai menusukkan penisnya ke pantat anak itu, lalu kudengar napas mereka memburu, sebelum terhempas ke dalam erangan yang terasa sangat menyesakkan.
Sumber: Media Indonesia Online
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar