ruangbaca.com
Hudan Hidayat mengirimkan pesan singkat yang panjang sekali pada suatu tengah malam ke telepon genggam saya. Dan telepon genggam saya, benda paling tidak canggih yang saya miliki, memenggal-menggal pesan itu menjadi 14 SMS yang datang berurutan dan masing-masing pesan ruwet bunyinya. Saya baru tahu kemudian, dari pembicaraan teman-teman, bahwa pesan singkat yang panjang sekali itu ternyata adalah Memo Indonesia. Sampai hari ini, ketika teman-teman sudah tidak lagi membicarakannya, saya tetap tidak tahu apa isi memo tersebut.
Malam itu, dengan paras mengantuk dan hati murung karena gagal menyatukan 14 SMS menjadi satu karangan utuh, saya membalas Hudan: “Dan, sebaiknya kau menulis satu saja cerita yang membuatmu layak mendapatkan hadiah Nobel, ketimbang mengirimiku rombongan spanduk yang menyedihkan ini.” Beberapa kali sebelumnya, ia sudah sering mengirimkan ke telepon saya slogan-slogan dan, saya pikir, dengan produktivitasnya berslogan ia akan lebih berhasil menjadi penulis spanduk ketimbang penulis cerpen. Tetapi malam itu Hudan berjanji akan menulis cerpen seperti yang saya maksudkan.
Mudah-mudahan ia bisa mewujudkan janjinya, tetapi kemungkinan besar ia gagal. Menulis karya yang layak Nobel, Anda mafhum, pastilah tidak mudah dan sampai sekarang tidak ada buku panduannya. Memang ada banyak buku teknik menulis di toko, beberapa ditulis oleh orang-orang yang tidak pernah saya jumpai tulisannya selain buku itu sendiri. Ada yang berjudul Menulis Nggak Perlu Bakat atau Menulis itu Seperti Bicara atau Teknik Menulis Buku Bestseller atau Menjadi Kaya dengan Menulis. Saya sendiri menulis Creative Writing: Teknik-teknik terburuk untuk menghasilkan cerpen dan novel. Jauh sebelumnya, Arswendo telah menulis Mengarang itu Gampang.
Kita bisa memperdebatkan judul-judul itu –apakah mengarang itu benar-benar gampang atau tidak perlu bakat atau seperti bicara atau seperti menangis –tetapi buku-buku semacam itu saya pikir tetap bermanfaat. Mungkin mereka akan memberi bekal seperlunya kepada Anda, atau membuat Anda sungguh bisa menulis dengan mudah, atau, apes-apesnya, membuat Anda semakin penasaran untuk mencari buku panduan lainnya yang lebih baik.
Tentang buku tuntunan menulis karya yang layak mendapatkan Nobel, terus terang, saya terus merindukannya. Mungkin ini kerinduan yang mengada-ada, tetapi, jika buku itu ada, ia akan memungkinkan siapa saja untuk memimpikan puncak pencapaian. Saya kira para pemenang Nobel Sastra punya kredibilitas untuk menulis buku semacam itu. Persoalannya, mereka pasti tidak memiliki kepercayaan diri yang dipunyai oleh para motivator yang gigih mengajari kita cara menjadi makmur dengan mudah, cara menjadi jutawan tanpa bekerja, atau cara menjadi kaya tanpa modal. Mereka juga tidak seperti para penggugah yang pantang lelah memberi tahu kita bagaimana cara menjadi manajer terbaik, menjadi pengusaha nomor satu, menjadi tukang sihir jempolan, atau menjadi pembuat karpet terbang paling tampan. Karena itu, ketika segala hal ditulis menjadi buku, saya tetap tidak menemukan buku panduan cara meraih Nobel Sastra.
Kalau buku semacam itu memang tidak akan pernah ada sampai tiba hari kiamat, mestinya patut dipikirkan cara lain untuk melahirkan penulis-penulis yang baik. Sekarang ini saya semakin gentar mendengar pengakuan (atau cibiran?) teman-teman bahwa mereka tidak pernah bisa tahan membaca karya-karya pribumi. Kalaupun mereka mencoba membaca, pembacaan itu pasti mandek di tengah jalan. Pernyataan ini menyiratkan keputusasaan orang terhadap mutu karya-karya penulis kita.
Mungkin kita memerlukan sebuah lab atau proyek atau apa pun namanya untuk mengkaji karya-karya terbaik dan bagaimana menghasilkannya. Di bidang ilmu-ilmu eksakta, Yohannes Surya berani mengumumkan “langkah pertama ke arah Nobel”. Ia memelopori proyek penetasan para juara olimpiade fisika, matematika, biologi, dan sebagainya. Ada jangkauan jauh pada proyek tersebut. Kita bicara soal mimpi di sini –juga soal target. Mimpi membuat kita membebaskan diri dari kungkungan kenyataan, atau apa yang diyakini sebagai kenyataan; target memberikan rangsangan pada otak kita untuk mewujudkan sesuatu yang dimimpikan.
Target, Anda tahu, bisa berupa tiang jauh yang disasar dari garis tengah lapangan oleh David Beckham ketika ia berlatih menendang bola setiap hari. Target adalah angan-angan Bruce Lee untuk mencapai batas tertinggi kekuatan tubuh manusia yang bisa diupayakan. Dan Bruce Lee diilhami oleh seorang juara lainnya, Muhammad Ali, petinju dengan bobot seratus kilo lebih, yang mampu menari-nari lincah di atas kanvas. Muhammad Ali mendapatkan ilhamnya dari alam: melayang seperti kupu-kupu, menyengat seperti lebah. Dan Ali tahu apa yang harus dilakukan untuk menjadikan dirinya seperti itu.
Kesusastraan kita saya kira sangat memerlukan orang-orang yang tahu apa yang harus mereka lakukan. Sama seperti bidang ilmu-ilmu eksakta, sastra pun tampaknya memerlukan orang yang berani menyerukan mimpi: “Langkah awal menuju Nobel”. Mungkin gagasan ini mengada-ada atau terasa ngelunjak. Tetapi rasanya lebih baik mengada-ada semacam ini ketimbang mengikuti keruwetan yang tak menggeser kita ke mana-mana.
Memang kadang-kadang keruwetan bisa terasa sebagai sesuatu yang mengasyikkan, atau tampak seperti sebuah dinamika, sekalipun yang terjadi sesungguhnya sekadar pergunjingan. Keruwetan yang saya maksud ini belakangan tampil dalam bentuk kesibukan orang untuk memelesetkan nama-nama atau membuat memo pribadi atau meraung-raung menodong kebebasan berekspresi. Ada juga yang menyalak keras-keras mempersoalkan puisi yang dianggap menodai malaikat. Malaikat mana yang dimaksud? Yang bersayap unggas atau yang tidak?
Saya akui bahwa kadang-kadang saya menyesali keterasingan saya dari “dinamika sastra Indonesia” itu. Keawaman terhadap gunjing-menggunjing menjadikan saya betul-betul tidak tahu, misalnya, kenapa Hudan dan kawan-kawan menyebut-nyebut soal kebebasan berekspresi dalam memo yang mereka bikin. Saya dengar karena Taufiq Ismail, satu orang saja dari dua ratus juta lebih penduduk Indonesia, senewen terhadap cerita-cerita yang bersyahwat-vulgar.
Saya menjadi teringat pada Linus Suryadi Ag. dan Pengakuan Pariyem-nya. Dalam karyanya itu Linus ada menuliskan kalimat “… wah, anunya gede banget. Saya marem meladeninya….” Karya itu mendapat sambutan yang baik dan tidak pernah terdengar Linus, semasa hidupnya, meraung-raung meminta hak atas kebebasan berekspresi. Saya kira memang ada cara menulis yang baik dan ada pula cara menulis yang buruk. Dan jalan untuk menghasilkan tulisan yang baik tentunya bisa dilacak dan ditempuh. Sementara ini, sebelum ada proyek ambisius yang diniatkan untuk melahirkan penulis hebat, kita tetaplah harus belajar dan menempuh latihan kita sendiri: dengan membaca karya-karya terbaik, dengan bertekun mengkaji hal-hal apa saja yang membuat karya-karya itu menjadi baik, dan dengan menulis. Saya kira begitu sajalah.
***
*) A.S. LAKSANA, cerpenis kelahiran Semarang, 25 Desember 1968. Ia merupakan lulusan Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Buku kumpulan cerpennya Bidadari yang Mengembara (KataKita, 2004) terpilih sebagai buku sastra terbaik 2004 pilihan Majalah Tempo. Sementara itu, novelnya Cinta Silver (Gagas Media, 2005) difilmkan dengan judul yang sama. Buku-buku kumpulan cerpennya yang lain adalah Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu (Gagas Media, 2013) dan Si Janggut Mengencingi Herucakra (Marjin Kiri, 2015). Sedangkan buku-buku non-fiksinya yang telah terbit, antara lain Creative Writing: Tips dan Strategi Menulis Cerpen dan Novel (Mediakita, 2007), Podium DeTik (Sipress, 1995), Skandal Bank Bali (Detak, 1999), dan Creative Writing (Banana, 2020). A.S. Laksana pernah menjadi wartawan Detik, Detak, dan Tabloid Investigasi. Selanjutnya, ia mendirikan dan mengajar di sekolah penulisan kreatif Jakarta School. http://sastra-indonesia.com/2010/10/panduan-meraih-nobel-sastra/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar