Maman S Mahayana *
Kisah Chairil Anwar dengan segala hal tentang sepak-terjang kepenyairan dan sikap berkeseniannya adalah sebuah legenda. Dalam perjalanan hidupnya yang pendek itu (26 Juli 1922-28 April 1949), ia berhasil menanamkan pohon kreativitas yang hingga kini masih terus berkembang-berbuah. Bahwa pohon kreativitas yang berupa sejumlah puisi dan esai-esainya itu sampai sekarang masih terus berbunga-berbuah, sangat mungkin lantaran Chairil Anwar sendiri menanamnya sebagai sikap hidup.[1]
Dan itu diperlihatkannya dalam wujud perbuatan. Jadi, hampir semua buah karya Chairil Anwar laksana merepresentasikan sikap hidup, gagasan, dan perbuatannya. Dengan demikian, usaha memahami sosok penyair binatang jalang ini secara lengkap, tidak dapat lain, kita mesti menelusuri ketiga hal itu sikap hidup, gagasan, dan segala perbuatan dalam masa hidupnya yang pendek itu. Ketiganya berjalin-kelindan, dan ketika kita coba menelusuri salah satunya, kita seperti didesak-paksa mencantelkannya dengan dua hal yang lainnya.
Sikap hidup Chairil Anwar yang paling banyak disoroti para pengamat sastra adalah hasrat mencipta yang didasari oleh semangat kebebasan, tanpa sekat isme, konvensi, dan segala bentuk pemasungan kreatif. Sikap hidup Chairil Anwar yang menempatkan kebebasan sebagai hal yang penting dalam mencipta ditunjukkan dengan kebenciannya terhadap kebijakan politik pemerintah pendudukan Jepang.[2] Menurut Aoh K. Hadimadja, dari tulisan-tulisan Chairil Anwar kepada H.B. Jassin, tampak betapa ia benci dengan tipuan-tipuan Jepang itu. Hanya tiga bulan ia bekerja di Kantor Statistik dalam masa Jepang itu sebagai penyalin bahasa Belanda-Jerman. Akan tetapi sebab-sebabnya benar ia tidak bekerja pada pemerintah itu, ialah karena pekerjaannya tidak sesuai dengan panggilan jiwanya sebagai seniman. Maka dipilihnya penghidupan melarat yang pahit itu daripada jalan yang burgerlijk (ambtenaar; msm), tetapi tidak memuaskan batin. [3]
Pada masa itu pula kebenciannya pada Jepang dan sinismenya pada sejumlah seniman yang tergabung dalam Kantor Pusat Kebudayaan yang dikatakan Aoh sebagai pemijit jiwa yang harus menelorkan ?seni? kalau segera diminta oleh Badan-badan Pemerintah lebih-lebih untuk kepentingan propaganda,[4] diejawantahkan melalui sejumlah puisinya yang menyuarakan jiwa pemberontak dan jiwa yang bebas. Dalam hal pemberontakan ini, Chairil tidak hanya menunjukkan sikapnya yang menolak segala bentuk penjajahan, tetapi juga tampil sebagai pelopor yang mula pertama merombak konvensi berkesenian "khasnya sastra" yang berlaku pada masa itu dan masa sebelumnya yang diusung Pujangga Baru. Perhatikan motto yang ditulis Chairil Anwar dalam "Pidato Chairil Anwar 1943."[5]
Motto:
Kita guyah lemah
Sekali tetak tentu rebah
Segala erang dan jeritan
Kita pendam dalam keseharian
Mari berdiri merentak
Diri-sekeliling kita bentak
Ini malam bulan akan menembus awan
Motto yang ditulis dalam bentuk puisi ini seperti hendak menegaskan, bahwa kehidupan kesenian dan kebudayaan Indonesia, begitu goyah-lemah yang dalam sekali hentakan saja akan rubuh. Segala hal yang dalam masa Pujangga Baru disuarakan dengan gaya keluh-kesah, mengerang-menjerit sebagai perilaku kehidupan keseharian, harus segera ditinggalkan, dibenamkan. Dengan cara itu, kegelapan tidak bakal lagi menutupi harapan. "Ini malam bulan akan menembus awan".[6]
Penolakan Chairil Anwar atas model estetik Pujangga Baru, ditegaskan lagi dalam Kata Pendahuluan antologi puisi, Tiga Menguak Takdir,[7] sebuah antologi puisi yang memuat karya Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin merupakan bentuk penolakan Chairil Anwar ?dan sastrawan seangkatannya?terhadap Pujangga Baru. Sementara itu, sikap berkesenian Chairil, tampak pula dalam Lampiran Kebudajaan Gelanggang yang memuat tulisan Chairil Anwar berjudul "Angkatan 1945".[8] Tulisan Chairil Anwar itu dimaksudkan untuk menolak gagasan Sutan Takdir Alisjahbana yang menganjurkan agar bangsa Indonesia "Bekerdjalah dengan sungguh2 dan girang dilapangan masing2." Menurut Chairil, "Angkatan 1945 harus merapatkan barisannja dan berusaha sekeras2nja untuk menegakkan selfrespect dan melaksanakan selfhelp. Pertjaja pada diri sendiri dan berusaha meneguhkan ikatan-sosial dan ikatan-nasional dikalangan bangsa Indonesia."
Sikap non-kooperatif dengan segala bentuk penjajahan itu diperlihatkan lagi, ketika Chairil Anwar, Asrul Sani, Mochtar Apin, Rivai Apin, dan Baharudin, diminta mengelola majalah Gema Suasana, Januari 1948 yang diterbitkan oleh Stichting-Opbouw-Pembangunan. Salah seorang redaktur lainnya adalah seorang Belanda dari kabinet van Mook. Pada awalnya, sebagaimana yang ditulis Chairil Anwar dalam edisi pertamanya, semangat majalah ini adalah hendak menembus kabut dan hawa busuk dari pers (Indonesia) selama tahun awal Indonesia merdeka (1945-1947).
Majalah ini juga membuka diri atas "segala pikiran yang paling maju di dunia, yang tidak menghendaki pagar-pagar kepicikan dan menganjurkan persaudaraan manusia seluruh dunia."[9] Belakangan disadari, bahwa Belanda melalui majalah itu sesungguhnya hendak menyebarkan semangat kemanusiaan sejagat (humanisme universal), justru untuk mengendorkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang waktu itu penting artinya dalam menghadapi kedatangan Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia.
Terjadinya agresi militer yang dilakukan tentara Belanda menyadarkan sastrawan Indonesia yang menjadi redaktur majalah itu. Maka, pada bulan Juni 1948, setelah enam penerbitan majalah itu, Chairil Anwar dan kawan-kawan, menyatakan keluar dari majalah itu dan memperkuat redaksi Gelanggang, sebagai lampiran majalah Siasat yang sebenarnya sudah terbit sejak Maret 1948. Gema Suasana yang kemudian berganti nama menjadi Gema masih terus hidup dengan jajaran redaksi yang lain. September 1950, majalah itu almarhum.
***
Gagasan Chairil Anwar, baik yang diwujudkan dalam sejumlah puisi, maupun dalam esai-esianya yang menegaskan sikap hidup dan pandangannya tentang kesusastraan dan kebudayaan Indonesia, ternyata begitu inspiring yang kemudian tidak hanya mempengaruhi teman-teman sesama sastrawan, tetapi juga sesama seniman. Untuk puisi, sebagaimana yang telah begitu banyak disinggung para peneliti sastra Indonesia, Chairil Anwar telah menanamkan tonggak penting dalam sastra Indonesia atau dalam menghidupkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kesusastraan.[10]
Dalam hal itu, Aoh mencatat bahwa dekorasi sandiwara Usmar Ismail menunjukkan adanya usaha untuk menghemat sebagaimana yang dilakukan Chairil Anwar dalam memanfaatkan kata sehematnya dalam puisi dan esainya. Basuki Resobowo dan Affandi, juga memperlihatkan keterpengaruhan Chairil Anwar dalam menawarkan gaya ekspresionistis seni lukisnya. Jadi, dengan demikian, dalam pergaulan dengan teman-teman seangkatannya, ia tidak hanya pandai menyihir, tetapi juga selalu tampil meyakinkan ketika ia melakukan provokasi dan menanamkan pengaruhnya. Di sana, kita melihat, dominasi dan pengaruh Chairil Anwar telah ikut mewarnai pandangan mereka dalam kehidupan berkesenian.[11]
Sementara itu, dalam hal penamaan Angkatan 45 yang konon pertama kali dilansir Rosihan Anwar di dalam majalah Siasat, 9 Januari 1949,[12] sejumlah besar tulisan yang membicarakan masalah itu, nyaris semuanya menempatkan Chairil Anwar sebagai tokoh sentral Angkatan 45. Beberapa esai yang berkaitan dengan persoalan itu, seperti yang ditulis, antara lain, Rosihan Anwar, [13] dua tulisan Sitor Situmorang,[14] Achdiat Karta Mihardja,[15] atau dua esai Pramoedya Ananta Toer, meskipun esai yang ditulis dalam majalah Poedjangga Baroe mengkritik tajma Pujangga Baru dan Angkatan 45.[16] Bahkan, di antara sejumlah nama angkatan yang ditawarkan, seperti Angkatan Perang, Angkatan Merdeka, atau Angkatan Chairil Anwar, menurut Sitor Situmorang[17] penamaan Angkatan 45 itu justru datang dari Chairil Anwar. Lebih lanjut dikatakan Sitor Situmorang sebagai berikut:
Sebutan ini berasal dari Chairil Anwar. Dia memilih angka 45. Orang akan bertanja "mengapakah bukan angka 42 atau angka lain" Pilihan ini sebenarnja hanja soal "momentopname" sedjarah bagi Chairil sendiri dan bagi angkatan jang dimaksudnja. 17 Agustus 1945 hanja satu moment, saat meletusnja revolusi Indonesia. Angka 45 hanja suatu angka patokan dalam kelandjutan sedjarah.
Bukan suatu angka mutlak, tetapi suatu istilah jang dapat harganja dari complex peristiwa-peristiwa dan perobahan-perobahan tjepat dilapangan politik, sosial, dll. Dan antaranja jang terpenting ialah Proklamasi 17 Agustus. Karena itu Chairil memilih tahun 45 dan bukan tahun lain.
H.B. Jassin yang mungkin pada awalnya sekadar hendak memperkenalkan capaian estetik Chairil Anwar, tentu saja ikut menggelindingkan kisah penyair itu menjelma menjadi mitos.[18] Dalam sebuah tulisannya yang bertajuk Selamat Tinggal Tahun "52" (Zenith, No. 2, III, Februari 1953) sebagai kritikus, Jassin ternyata juga tidak dapat melepaskan diri dari kekagumannya pada diri Chairil Anwar dengan menggelamkan reputasi dan capaian estetik sastra Indonesia lainnya, seperti Pramoedya Ananta Toer, Achdiat Karta Mihardja, atau Mochtar Lubis. Dalam esai itu, dikatakan: "Chairil Anwar telah menciptakan suatu dunia baru dalam persajakan, tetapi yang melebihi dia, sekarang sudah empat tahun ia meninggal, belum lagi kelihatan. Semuanya baru sampai pada pembikinan kepingan-kepingan, belum bisa bikin monumen yang besar."[19]
Sosok Chairil dengan segala sepak-terjangnya itu, tidak terhindarkan pada akhirnya membawa nama dan Chairil Anwar begitu reputasional. Chairil Anwar pada akhirnya tidak hanya menjadi salah satu ikon kesusastraan Indonesia, melainkan juga telah menjadi tonggak penting yang menjulang sendiri di antara nama-nama penyair lain. Kerajaan Chairil Anwar dibangun karya-karya dan gagasan-gagasannya yang begitu kuat mempengaruhi sastrawan seangkatannya "bahkan sastrawan angkatan selanjutnya hingga kini" yang kemudian meluas memasuki wilayah dunia pendidikan yang dari tahun ke tahun peranannya terus mengalami reproduksi. Para kritikus, sastrawan, dan guru-guru sastra tanpa sadar telah menciptakan legenda tentang Chairil Anwar. Maka, sampai sejauh ini, entah sudah berapa ribu tulisan tentang Chairil Anwar sebagai pelopor Angkatan 45 diproduksi, direproduksi yang pada gilirannya menciptakan tafsir baru, makna baru, mitos baru.
Pertanyaannya kini: apa sumbangan Chairil Anwar bagi usaha menanamkan semangat kebangsaan? Lewat puisi-puisinya, Chairil Anwar telah mencengkeramkan pengaruhnya dalam dunia pendidikan, yang menjadikan anak-anak sekolah yang senang berpuisi, mencintai puisi, mencintai sastra, mencintai Indonesia.
Lewat pemberontakannya, Chairil Anwar telah mengajari sejumlah sastrawan seangkatannya dan sastrawan yang kemudian, untuk juga melakukan pemberonntakan, mengejar capaian estetik sampai ke tingkat tertinggi. Seperti yang dilakukan Chairil Anwar terhadap Amir Hamzah atau sastrawan Pujangga Baru, pemberontakan dan capaian estetik itu hanya dapat dilakukan, jika ia juga memahami capaian estetik yang digapai sastrawan sebelumnya.
Di mata masyarakat sastra Internasional, Chairil Anwar boleh dikatakan sebagai perintis, pelopor pertama yang membukakan pintu kesusastraan Indonesia seluas-luasnya. Berkat karya-karya Chairil Anwar pula, kesusastraan Indonesia memperoleh reputasi internasional. Seniman adalah seorang perintis jalan yang penuh keberanian dan vitalitas yang sanggup mengambil gambar rontgen sampai ke putih tulang-belulang. Maka, berserulah Chairil Anwar: Sekarang: Hopplaa! Lompatan yang sejauhnya, penuh ke dara-remajaan bagi Negara remaja ini.
Akhirnya perlu saya sitir kembali tulisan H.B. Jassin yang mengutip pernyataan Sarojini Naidu: ?Nama jenderal-jenderal besar, raja-raja, dan pendeta-pendeta dilupakan. Tetapi ucapan-ucapan seorang pengarang atau seorang penyair yang bermimpikan mimpi persatuan dan peri kemanusiaan akan hidup selalu. Chairil Anwar agaknya telah membuktikan itu!
msm/mklh/ca/15042008
[1] H.B. Jassin dalam suratnya kepada M. Balfas (bertarikh 31 Desember 1952) mengatakan, bahwa masa hidup Chairil Anwar yang pendek itu tidak mengurangi kesungguhannya sebagai penyair yang menempatkan pengetahuan sebagai hal yang penting dalam karier kepenyairan. Dikatakan Jassin, Di sinilah letaknya kekuatan Chairil Anwar sebagai penyair. Dalam usianya yang hanya 27 tahun, 7 tahun yang akhir merupakan hidup yang intensif dalam segalanya, dalam mencari pengalaman dan menambah pengetahuan. Di dalam 7 tahun itu dia membuat 75 sajak. Ini menunjukkan bagaimana sungguh-sungguh Chairil Anwar dalam pertanggungjawaban mengenai kesenian (H.B. Jassin, Surat-Surat 1943?1983, Jakarta; Gramedia, 1984; hlm. 110).
[2] Berdasarkan kolofon yang memuat tarikh yang terdapat dalam puisi-puisi Chairil Anwar, kita dapati puisi yang dihasilkannya antara 1943-1945 sebanyak 42 puisi. Tetapi yang dipublikasikan pada zaman Jepang, sejauh pengamatan, hanya satu, yaitu puisi yang berjudul Siap Sedia dimuat Keboedajaan Timoer, No. 3, 1945, hlm. 166 yang menurut Jassin tahun 2604 yang berarti tahun 1944 (Lihat juga E.U. Kratz, Bibliografi Kesusastraan Indonesia dalam Majalah, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988, hlm. 86-87). Dalam hal ini, Jassin keliru, seharusnya tahun 2605. Sementara itu, menurut Aoh K Hadimadja (Beberapa Paham Angkatan 45, Djakarta: Tintamas, 1952, hlm. 31), puisi pertama yang dipublikasikan adalah Diponegoro dimuat harian Asia Raja (?). Dalam penelitian yang saya lakukan terhadap karya-karya sastra yang dimuat harian itu (29 April 1942-7 September 1945), saya tidak menemukan puisi Diponegoro.
[3] Aoh K Hadimadja (Karlan Hadi), Beberapa Paham Angkatan 45, Djakarta: Tintamas, 1952, hlm. 30-31.
[4] Aoh K Hadimadja sendiri ketika itu bekerja di Kantor Pusat Kebudayaan bersama Armijn Pane. Usmar Ismail, Sutomo Djauhar Arifin, dan Inu Kertapati. Aoh juga menyadari peranan lembaga ini. Dikatakannya, ?Dapatlah dimengerti Pemerintah Fascis (sic!) itu diharamkan oleh kaum seniman karena perkosaannya terhadap suara jiwa yang diiinjak-injaknya dengan semena-mena.
[5] Pidato Chairil Anwar 1943 dimuat majalah Zenith, Th I, No. 2, Februari 1951. Dalam buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, H.B. Jassin memberi catatan kaki atas pidato itu sebagai Diucapkan di muka Angkatan Baru Pusat Kebudayaan, 7 Juli 1943. Menurut keterangan Aoh K Hadimadja yang ketika itu bekerja sebagai sekretaris Angkatan Muda, sebuah perkumpulan sastrawan yang dibentuk Pusat Kebudayaan, Pidato Chairil Anwar itu tidak pernah diucapkan, karena Chairil ditangkap polisi beberapa jam sebelum malam pidato dilaksanakan.
[6] Penolakan Chairil Anwar atas konsepsi Pujangga Baru dan kebijaksanaan pemerintahan pendudukan Jepang, lebih jelas lagi dalam esainya yang bertajuk Hopplaa! Dikatakan Chairil Anwar, Pujangga Baru sebenarnya tidak membawa apa-apa dalam arti penetapan-penetapan kebudayaan. Sekarang: Hopplaa! Lompatan yang sejauhnya, penuh ke dara-remajaan bagi Negara remaja ini. Sesudah masa mendurhaka pada Kata kita lupa bahwa Kata adalah yang menjalar mengurat, hidup dari masa ke masa, terisi pada dengan penghargaan, Mimpi Pengharapan, Cinta dan Dendam manusia. Kata ialah Kebenaran!!! Bahwa kata tidak membudak pada dua majikan, bahwa Kata ialah These sendiri!!" Kemerdekaan dan Pertanggungan Jawab adalah harga manusia, harga Penghidupan ini".
[7] Terbit Januari 1950 yang sebenarnya sudah dipersiapkan pertengahan tahun 1948. Pernyataan-pernyataan dalam Kata Pendahuluan itu, antara lain, Angkatan ini tidak saja harus ada, tapi juga harus mempunyai pandangan hidup, suatu tujuan takdir. Di dalam memperbincangkan soal-soal Weltanschauung dari angkatan Gelanggang ini, kami merasakan pendekatan kami bertiga.
[8] Chairil Anwar, Angkatan 1945 Gelanggang, 6 November 1949. Jika benar ini tulisan Chairil Anwar, maka pemuatan tulisan ini tujuh bulan setelah Chairil meninggal, 28 April 1949.
[9] Aoh K Hadimadja (Karlan Hadi), Beberapa Paham Angkatan 45, Djakarta: Tintamas, 1952, hlm. 102.
[10]Pembicaraan mengenai puisi-puisi Chairil Anwar sebagai monumen penting dan kepeloporannya dalam sejarah kesusastraan Indonesia sangat boleh jadi telah mencapai ribuan tulisan. Dan selalu, pembicaraan itu mengungkap sisi lain dari kelebihan-kedalaman atau apa pun dari puisi-puisinya itu. Untuk menghindari pembicaraan yang berulang-ulang dan duplikasi, dalam tulisan ini saya sengaja tidak menyinggung terlalu jauh tentang capaian estetik puisi-puisi Chairil Anwar.
[11] Salah satu pengaruh Chairil Anwar, tampak misalnya, dari prakarsanya membentuk perkumpulan kesenian (kunstkring) yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Gelanggang Seniman Merdeka. Beberapa seniman yang tergabung di sana,selain Chairil Anwar sendiri, antara lain, Asrul Sani, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, Mochtar Apin, Baharudian, Henk Ngantung. Kelompok seniman ini kemudian merumuskan sikap mereka dalam memandang kebudayaan Indonesia yang terungkap dalam preamble Gelanggang bertarikh 19 November 1946, berbunyi: Generasi Gelanggang terlahir dari pergolakan ruh dan pikiran kita, yang sedang mencipta manusia Indonesia yang hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian dari bangsa kita. Bahwa kita hendak melepaskan diri kita dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk, dan kita berani menantang pandangan, sifat dan anasir lama ini untuk menyalakan bara kekuatan baru, dan anggaran dasarnya seperti yang tertera di halaman-halaman yang sudah.
[12] H.B. Jassin, Angkatan 45 Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay, (Djakarta: Gunung Agung, 1954), hlm. 189; A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia 1 (Ende: Nusa Indah, 1978), 169; Teeuw menyinggung juga artikel Hazil Tanzil, Pemuda dan Perdjuangan Kita, Pudjangga Baru, 10. 5,November 1948: 19?23 yang menurutnya, istilah Angkatan 45 sudah digunakan Tanzil, tetapi publikasinya lebih dahulu artikel Rosihan Anwar; Keith Foulcher, Angkatan 45: Sastra Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia (Jakarta: Jaringan Kerja Budaya, 1994) cenderung menggunakan sumber Jassin yang menyebutkan Rosihan Anwar yang pertama mencetuskan nama Angkatan 45; Periksa juga Angkatan 45 dan Warisannya: Seniman Indonesia sebagai Warga Masyarakat Dunia, Asrul Sani 70 Tahun (Pustaka Jaya, 1997; hlm 85?114). Lihat juga Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Binacipta, 1976; Cet. I, 1969), hlm. 91.
[13] Rosihan Anwar, Angkatan 1945 buat Martabat Kemanusiaan, Siasat, No. 2, 1948.
[14] Sitor Situmorang, Konsepsi Seni Angkatan 45, Siasat, No. 3, 1949 dan Angkatan 45? Gelanggang, 6 November 1949.
[15] Achdiat Karta Mihardja, Angkatan 45 Angkatan Chairil Angkatan Merdeka, Poedjangga Baroe, No. 10, Oktober 1949.
[16] Pramoedya Ananta Toer, Tentang Angkatan, Indonesia, Th. I, No. 12, Desember 1952 dan Tentang Angkatan, Poedjangga Baroe, No. 4, Oktober 1952.
[17] Sitor Situmorang Angkatan 45 Gelanggang, 6 November 1949.
[18] Pada tulisan-tulisan awal H.B. Jassin tentang Chairil Anwar, tampak bahwa Jassin ketika itu belum menunjukkan kekagumannya. Dalam esainya yang bertajuk Kesusasteraan di masa Djepang yang bertarikh 31 Juli 1946 (H.B. Jassin, Kesusasteraan dimasa Djepang, Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay (Djakarta: Gunung Agung, 1954, hlm. 74-85) Jassin belum banyak mengangkat Chairil Anwar, hanya, dikatakannya, Penjair jang paling individualistis dalam zaman Jepang, tapi bisa djuga muntjul ialah Chairil Anwar. Dikatakan pula, Perlu diingat bahwa Chairil Anwar masih sangat muda sekali, pada waktu Djepang baru masuk umurnja belum dua puluh, dan karena itu keberaniannja boleh dikatakan masih keberanian orang muda jang belum usah memikirkan anak bini dan rumah tangga, dan belum pula usah berkompromi dengan dunia sekelilingnja. Dalam Pendahuluan buku Kesusasteraan Indonesia dimasa Djepang (1948), kutipan di atas dihilangkan, dan diganti dengan pembicaraan yang agak panjang tentang pembaruan yang telah dilakukan Chairil Anwar. Sebagai contoh, kalimat "Penjair jang paling individualistis dalam zaman Djepang, tapi bisa djuga muntjul ialah Chairil Anwar" dalam Pendahuluan itu ditambahkan dengan kalimat: "Dia membawa udara jang segar dalam kesusasteraan Indonesia, dengan sadjak-sadjaknja jang isi dan bentuknja revolusioner." Penambahan pembicaraan tentang Chairil Anwar itu tentu saja bukan sekadar demi kepentingan Pendahuluan untuk buku yang terbit tahun 1948 itu, melainkan justru memperlihatkan perkembangan Jassin dalam mengamati kepenyairan Chairil Anwar itu sendiri. Dalam tulisan-tulisan lainnya yang muncul selepas itu, makin tampak pengamatan Jassin tentang Chairil Anwar cenderung menjadi kekaguman terhadap sosok penyair itu.
[19] Artikel Jassin itu memang terasa begitu pedas. Pramoedya Ananta Toer kemudian menanggapi artikel itu dalam esainya yang berjudul ?Offensif Kesusasteraan 1953? (dimuat majalah Poedjangga Baroe, No. 8, Februari 1963). Dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, artikel inilah yang kemudian mengawali terjadinya polemik, bahkan konflik Pramoedya Ananta Toer?Jassin, meskipun dalam beberapa tulisannya yang lain, Jassin tetap memuji novel-novel Pramoedya.
_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2008/10/legenda-chairil-anwar/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar