Djoko Saryono *
/1/
Makna istilah rakyat dan bukan rakyat bisa merujuk pada kategori sosial politik dan sosial ekonomi. Ketika ada pejabat mengatakan bahwa rakyat nggak jelas, dia memosisikan diri sebagai penguasa. Di sini istilah rakyat beroposisi biner dengan penguasa, yang bisa kita sebut sebagai kategori sosial politik. Tatkala para politikus dan pejabat pemerintah selalu menyebut kata rakyat di dalam setiap pidato, mereka sedang membuat garis batas makna antara rakyat dan bukan rakyat, yang juga bisa kita sebut sebagai kategori sosial politik.
Namun, ketika seorang konglomerat kakap menyatakan usaha-besarnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat, dia sedang memosisikan diri sebagai kapitalis, yang bisa kita katakan sebagai ketegori sosial ekonomi. Demikian juga tatkala kaum berpunya mengidentifikasi diri berbeda dengan orang kebanyakan, dia tengah menarik garis batas makna antara rakyat dan kaum berada. Di sini istilah rakyat beroposisi biner dengan kaum kaya atau borjuis, yang dapat kita sebut sebagai kategori sosial ekonomi.
Sebab itu, boleh dikatakan, rakyat dan bukan rakyat merupakan pembelahan sosial politik dan sosial ekonomi. Ini kemudian digunakan sebagai parameter dan demarkasi kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya. Lebih lanjut, hal itu melahirkan istilah gaya hidup rakyat, ekonomi rakyat, dan [ke]budaya[an] rakyat (yang dibayangkan berbeda dengan gaya hidup borjuis, ekonomi kapitalis, dan [ke]budaya[an] borjuis atau tinggi).
Seturut dengan itu, istilah kerakyatan acap dilekatkan pada frasa gaya hidup kerakyatan, ekonomi kerakyatan, politik kerakyatan, kebudayaan kerakyatan, kesenian kerakyatan, dan juga sastra kerakyatan, misalnya. Ini dilawankan secara biner dengan frasa gaya hidup borjuis/kapitalis, ekonomi kapitalis/borjuis, politik elitis, kebudayaan borjuis/kapitalis/tinggi, kesenian borjuis/kapitalis/adiluhung, dan sastra borjuis/elitis/kanon-adiluhung. Demi eksistensi, masing-masing kategori menegaskan identitas dan jati diri secara berbeda-tajam meskipun tak jarang bertindak saling subversif.
Implikasinya, kebudayaan kerakyatan, kesenian kerakyatan, dan atau sastra kerakyatan berusaha mengkonstruksi identitas dan jati diri, bahkan juga kedudukan, peran, dan sikap sosial politik dan sosial ekonomi yang berbeda [secara diametral] dengan kebudayaan borjuis-kapitalis, kesenian borjuis-priyayi-kapitalis, dan atau sastra borjuis-priyayi-kapitalis. Begitu juga sebaliknya: kebudayaan borjuis-priyayi-kapitalis, kesenian borjuis-priyayi-kapitalis, dan atau sastra borjuis-priyayi-kapitalis selalu mengkonstruksi penanda-penanda identitas dan jati diri di samping kedudukan, peran, dan sikap sosial politik dan sosial ekonomi yang amat berbeda demi kemantapan eksistensi.
Dengan akumulasi kekuatan modal sosial politik dan sosial ekonomi yang dimiliki, kebudayaan borjuis-priyayi-kapitalis, kesenian borjuis-priyayi-kapitalis, dan atau sastra borjuis-priyayi-kapitalis acap berusaha menguasai segala lini arena atau habitus kebudayaan, kesenian, dan atau sastra. Merangsek dan merasuk masif ke arena, habitus, atau ruang kebudayaan, kesenian, dan atau sastra kerakyatan. Secara khusus boleh dibilang, kesenian atau sastra borjuis-priyayi-kapitalis membangun kedudukan, peran, dan sikap sebagai penentu dalam kehidupan kesenian atau kesastraan berdasarkan modal sosial politik dan sosial ekonomi yang telah diakumulasi.
Tak heran, kesenian atau kesastraan borjuis-priyayi-kapitalis kerap berambisi menentukan dan menetapkan standar, parameter, dan kriteria kesenian atau kesastraan berlandaskan kepentingan identitas dan jati diri kesenian atau kesastraan borjuis-priyayi-kapitalis. Di sini kita bertemu dengan politik literer, puitika, estetika atau budaya yang standar, parameter, dan aturannya didasarkan pada identitas dan jati diri kesenian atau kesastraan borjuis-priyayi-kapitalis.
Modal sosial politik dan sosial ekonomi menjadikan para pendukung kesenian atau kesastraan borjuis-priyayi-kapitalis sebagai elite kesenian atau kesastraan. Elite kesenian atau kesastraan yang notabene “pemeluk teguh” kesenian atau kesastraan borjuis-priyayi-kapitalis tersebut kerap menjalankan politik dominasi, hegemoni, subordinasi, labelisasi negatif, bahkan eksklusi dan “peliyanan” (othering) terhadap kesenian atau kesastraan yang kurang atau tidak memenuhi standar, parameter, dan atau aturan kesenian atau kesastraan borjuis-priyayi-kapitalis. Misalnya standar, parameter, dan aturan estetika atau puitika, termasuk terhadap kesenian atau sastra kerakyatan.
Kesenian atau kesastraan borjuis-priyayi-kapitalis mengkonstruksi identitas dan jati diri estetis atau puitis. Setidaknya ada delapan identitas dan jati diri estetis atau puitis. Pertama, memandang sesuatu estetis atau puitis secara vertikal [bukan horisontal]. Kedua, menempatkan diri pada kedudukan tinggi dan adiluhung secara estetis atau puitis. Ketiga, menjadikan keberpilin-pilinan dan kenjelimetan [sofistikasi] simbolis dan metaforis sebagai standar dan parameter estetis atau puitis.
Selanjutnya, keempat, menjadikan keanggunan dan keadiluhungan [keeleganan] ekspresi simbolis atau puitis sebagai takaran estetis atau puitis kesenian atau sastra. Kelima, menempatkan kehalusan dan kelembutan sebagai serat keanggunan dan keadiluhungan estetis atau puitis. Keenam, menempatkan ketersembunyian dan kemenduan, bahkan keremangan sebagai tikungan standar estetis atau puitis [bukan ketersuratan lugas, kelangsungan ekspresi, keterang-benderangan diksi dan pikiran, dan kepastian semantis]. Ketujuh, menempatkan kecanggihan ekspresi [beyond the line] gagasan dan pikiran sebagai sumbu estetis atau puitis [bukan ke-literal-an atau kelugasan gagasan dan pikiran]. Kedelapan, menjadikan ke-prigel-an satuan atau anasir seni atau bahasa sebagai palang pintu estetis atau puitis suatu karya seni atau karya sastra.
Dapat dikatakan, kedelapan hal tersebut menjadi “aturan hukum” karya seni atau karya sastra. Karya seni atau karya sastra yang mampu memenuhi delapan aturan hukum tersebut bakal dilegitimasi dan diformalisasi sebagai karya seni atau karya sastra yang bagus atau baik. Karya seni atau karya sastra yang kurang atau tidak sanggup memenuhi delapan aturan hukum tersebut bakal didelegitimasi dan dideformalisasi, bahkan dilabelisasi dan dieksklusi sebagai karya seni atau karya sastra.
Dari situlah bisa timbul empat kategori karya sastra. Pertama, sastra yang dilegitimasi dan disahkan sebagai karya sastra yang unggul [sastra kanon atau adiluhung]. Kedua, sastra yang didelegitimasi dan diremehkan atau direndahkan sebagai karya sastra yang bagus. Ketiga, sastra yang didelegitimasi dan dihina-dinakan sebagai karya sastra yang bagus. Terakhir, sastra yang didelegitimasi dan tidak diakui sebagai karya sastra yang bagus.
Karya sastra kategori pertama niscaya menjadi formal transcript dalam dunia sastra, sedang karya sastra kategori kedua bakal menduduki informal transcript dalam dunia sastra. Demikian juga karya sastra kategori ketiga akan menjadi hidden transcript dalam dunia sastra. Lantas karya sastra kategori keempat bakal menjadi the other transcript dalam dunia sastra. Meminjam bahasa Gayatri Spivak, karya sastra kategori ketiga dan keempat hanya menjadi subaltern dalam dunia sastra di tanah air.
Sehubungan dengan itu, dalam kehidupan kesenian atau kesusastraan di tanah air, kita dapat menyaksikan empat fenomena sebagai berikut. Pertama, lantaran memenuhi delapan aturan hukum kesenian atau sastra di atas, maka puisi-puisi Goenawan Mohamad dan Nirwan Dewanto ditasbihkan sebagai puisi kanon dan bagus sehingga memperoleh Penghargaan Kusala Khatulistiwa (Khatulistiwa Literary Award). Novel Ayu Utami [misalnya Zaman dan Larung], Leila S. Chudori, Laksmi Pamuntjak, dan Eka Kurniawan diabsahkan sebagai sastra bermutu tinggi sehingga memperoleh berbagai penghargaan sastra baik dalam maupun luar negeri. Puisi dan novel pengarang-pengarang tersebut menjadi sastra kanon Indonesia yang menjadi formal transcript sastra Indonesia.
Kedua, karena kurang memenuhi delapan aturan hukum kesenian atau sastra di atas, maka novel-novel Hindia Belanda, peranakan Tionghoa-Indonesia, dan populer Indonesia [karya-karya Marga T, S.G. Mara, V Lestari, dan Sujiwo Tejo] didelegitimasi dan diremehkan sebagai novel. Wajarlah karya tersebut tak pernah [tidak akan pernah?] memperoleh penghargaan dan penyambutan dari sana-sini, kecuali dari para pengkaji dan pembaca setianya. Novel pengarang-pengarang tersebut hanya menempati informal transcript dalam dunia novel Indonesia.
Selanjutnya ketiga, karena sedikit memenuhi delapan aturan hukum kesenian atau sastra kanon, maka cerita-cerita teenlit’s, chicklit’s, based on true strory, dan novel-novel berjuluk “pembangkit motivasi atau keimanan” sejenis Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan Assalamu’alaikum Beijing cenderung didelegitimasi secara “habis-habisan” sekaligus didinakan sebagai karya sastra. Tak ayal, kurang memperoleh apresiasi pembaca khusus-ahli, apalagi penghargaan dari pemerintah, teoretikus sastra, dan penyelenggara hadiah-hadiah sastra. Malah tidak jarang karya-karya tersebut memperoleh cercaan dan celaan dari kalangan akademik dan elite sastra di samping tidak memperoleh ruang akademik dan ruang sosial yang memadai. Karya-karya tersebut menempati hidden transcript dalam dunia sastra di tanah air.
Keempat, sebab tidak memenuhi delapan aturan hukum kesenian atau sastra di atas, cerita-cerita perjalanan [traveling literature] sejenis Garis Batas, Selimut Debu, dan Menyusuri Lorong-lorong Dunia, novel-novel motivasional, puisi-puisi saiber atau virtual yang menghuni situs dan grup-grup layanan ponsel cerdas [smartphone], dan puisi-puisi yang dihajatkan untuk tujuan tertentu yang jelas secara terus-menerus didelegitimasi dan tidak diakui sebagai karya sastra. Logislah, bukan hanya tak pernah memperoleh apresiasi dan penghargaan, tapi juga secara masif telah mengalami penyingkiran dan peniadaan [eksklusi dan de-eksistensi] sebagai karya sastra. Karya-karya tersebut menempati the other transcript dalam dunia sastra di tanah air.
Dengan akumulasi modal sosial politik dan sosial ekonomi, yang merengkuh pula modal sosial budaya, sastra kategori pertama atau sastra kanon yang menjadi formal transcript tentu saja terus-menerus melaksanakan konsolidasi dalam rangka mengamankan dan melanggengkan eksitensi, identitas, dan jati diri. Itu sebabnya, sastra kategori pertama ini tak melakukan pergerakan, apalagi perlawanan. Namun, justru melakukan pelestarian dan pelanggengan sastra di samping tidak mengklaim atau menjustifikasi diri sebagai sastra pergerakan atau sastra perlawanan.
Begitu juga sastra kategori kedua atau sastra diremehkan yang menjadi informal transcript dalam dunia sastra kurang melakukan perhitungan kritis dan ofensif. Tidak tampak meneguhkan diri sebagai sastra pergerakan atau sastra perlawanan. Sastra diremehkan ini cenderung melakukan adaptasi-adaptasi dan negosiasi-negosiasi, kadang-kadang subversi-subversi dalam rangka mempertahankan dan menyesuaikan eksistensi, identitas, dan jati diri berdasarkan modal sosial ekonomi dan sosial politik yang dimiliki.
Adapun sastra kategori ketiga atau sastra yang dihina-dinakan dan sastra kategori keempat atau sastra yang dibukansastrakan selalu berusaha melakukan pergerakan, perlawanan, bahkan pemberontakan estetis atau puitis demi identitas dan jati diri di samping kepastian ekstensi, kedudukan, dan peran sosial politik dan sosial ekonomi. Sastra didinakan dan sastra dibukansastrakan ini gigih mencoba melakukan gerakan-gerakan perlawanan atau pemberontakan estetis atau puitis dan kultural dalam rangka memperoleh arena atau habitus kehidupan yang mantap agar eksistensi, kedudukan, dan perannya dalam dunia sastra di tanah air diakui.
Sebagian besar agen atau aktor gerakan perlawanan atau pemberontakan estetis atau puitis ini [yang mutatis mutandis sastra kategori ketiga dan keempat di atas] adalah himpunan orang-orang yang berjuluk rakyat kebanyakan, yang kurang atau tidak memiliki modal sosial politik dan sosial ekonomi memadai. Dengan demikian, sastra kerakyatan adalah sastra yang didinakan sebagai sastra dan sastra yang dibukansastrakan dalam rumah dunia sastra. Karena itu, tak kenal lelah melakukan pergerakan, perlawanan, bahkan pemberontakan estetis atau puitis dan kultural. Maksudnya, agar beroleh ruang eksitensi, peneguhan indentitas, dan penguatan jati diri. Karena itu, sastra kerakyatan adalah sastra sastra perlawanan atau sastra pemberontakan.
Gerakan sastra pedalaman, gerakan puisi anti-korupsi, gerakan PMK (Puisi Menolak Korupsi), “gerakan puisi Memo untuk Presiden”, dan gerakan sastra yang dihidupi oleh berbagai komunitas lokal adalah contoh sastra kerakyatan yang telah dan sedang melakukan pergerakan, perlawanan, bahkan pemberontakan estetis (puitis) dan kultural terhadap dominasi, hegemoni, dan subordinasi sastra kanon atau sastra yang dilegitimasi sebagai sastra beserta piranti modal sosial politik dan sosial ekonominya. Demi ringkasnya, ini semua dapat kita sebut gerakan sastra kerakyatan.
Berkebalikan dengan sastra kanon yang borjuis-priyayi-kapitalis, gerakan sastra kerakyatan mengusung konstruksi identitas dan jati diri estetis atau puitis tersendiri. Paling tidak terlihat ada sembilan identitas dan jati diri estetis atau puitis. Pertama, memandang semua ekspresi kesenian atau sastra secara horisontal yang membentuk jejaring sosial sehingga tidak memandang bentuk-bentuk ekspresi estetis atau puitis lain yang berbeda lebih tinggi atau lebih rendah. Kedua, menempatkan diri secara setara sebagai salah satu simpul jejaring sosial sehingga bentuk-bentuk ekspresi estetis atau puitis menjadi rajutan utuh.
Kemudian ketiga, tidak mengejar, mengutamakan, dan atau memuja kekanonan dan keadiluhungan bentuk eskpresi estetis atau puitis. Namun, lebih menekankan keterbacaan, keberartian, dan kebermanfaatan sosial setiap bentuk ekspresi estetis atau puitis. Selanjutnya keempat, tidak menjunjung tinggi dan menomorsatukan kecanggihan dan keketatan simbolis dan atau metaforis yang bisa berupa kenjelimetan dan keberpilin-pilinan bentuk-bentuk ekspresi simbolis dan atau metaforis sebagai standar dan parameter estetis atau puitis. Tetapi, lebih mementingkan kejelasan, ketegasan, dan keteguhan gagasan, pesan, dan alamat ekspresi simbolis dan atau metaforis
Selanjutnya kelima, tak menjunjung dan memuja keanggunan dan keadiluhungan “bungkus” ekspresi simbolis dan atau metaforis sebagai takaran estetis atau puitis, melainkan kelangsungan dan kejujuran ekspresi simbolis dan atau metaforis sebagai penanda estetis atau puitis. Keenam, menempatkan kewajaran dan kecukupan alamiah ekspresi simbolis dan atau metaforis sebagai kunci pokok kelangsungan dan kejujuran ekspresi simbolis dan atau metaforis. Ketujuh, menekankan kelugasan, kelangsungan ekspresi, keterang-benderangan diksi dan pikiran, dan kepastian semantis sebagai takaran estetis atau puitis dari bentuk-bentuk ekspresi simbolis dan atau metaforis.
Lebih jauh, ciri kedelapan, tidak menomorsatukan ke-prigel-an atau kepiawaian keperajinan menata anasir bahasa atau sastra sebagai prasyarat penciptaan bentuk ekspresi simbolis dan atau metaforis. Lebih ditekankan keberanian dan kemauan menata anasir bahasa atau sastra sebagai prasyarat penciptaan estetika atau puitika. Terakhir, kesembilan, menempatkan sublimasi, kontemplasi, dan refleksi lebih sosiologis atau sosiokultural dan sosiopolitis daripada filosofis dan psikologis. Tak heran, diutamakan sublimasi, kontemplasi dan refleksi sosiologis sebagai sumbu estetis atau puitisnya bentuk-bentuk ekspresi simbolis dan atau metaforis.
Kesembilan konstruksi identitas dan jati diri estetika atau puitika sastra kerakyatan tersebut, sudah barang tentu berbeda secara diametral dengan konstruksi identitas dan jatidiri sastra kanon yang borjuis-priyayi-kapitalis. Di sinilah terjadi dialektika, negosiasi, bahkan perbenturan estetika atau puitika.
Seperti gerakan kaum minoritas atau subaltern pada umumnya, gerakan perlawanan atau pemberontakan oleh sastra kerakyatan ini sudah tentu memiliki militansi dan soliditas yang mengagumkan kendati kurang didukung oleh modal sosial politik dan sosial ekonomi, bahkan modal sosial budaya, yang andal dan kuat. Agenda gerakannya jelas dan tegas, aktor gerakannya militan dan solid, dan struktur gerakannya terbuka dan sederhana sehingga memiliki keliatan dan ketangkasan bergerak dan berkelit dari terjangan agen dan struktur dominatif yang ditopang oleh kekuatan modal sosial politik dan sosial ekonomi.
Berhasilkah? Seperti berbagai gerakan perlawanan atau pemberontakan kaum minoritas atau kaum marginal lain pada umumnya, meski tak gampang memenangi perlawanan atau pemberontakan, terbukti gerakan perlawanan atau pemberontakan estetis dan kultural sastra kerakyatan tak pernah mati. Tak heran, gerakan perlawanan atau pemberontakan sastra kerakyatan menjadi bagian penting dinamika politik kesusastraan atau estetika (puitika).
____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
http://sastra-indonesia.com/2020/03/perihal-sastra-kerakyatan-sastra-pergerakan-dan-sastra-perlawanan/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar