Minggu, 22 Maret 2020

MEMBACA ALAM PIKIRAN NUREL JAVISSYARQI

Catatan Kesan atas buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
A. Syauqi Sumbawi *

Konstruksi kesusastraan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari hadirnya karya-karya dan tokoh-tokoh “yang dianggap penting” dalam proses historisnya. Kehadiran yang penting ini setidaknya dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu kualitas karya, peran kritikus, dan apresiasi masyarakat sastra. Selain itu, hal yang tidak bisa dinafikan, yakni kedekatan personal di kalangan “elit” kesusastraan itu sendiri. 

Di antara sastrawan Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu nama “yang dianggap penting” di atas. Karya-karya puisinya sebagaimana yang terkumpul dalam antologi O Amuk Kapak[1] dan lain-lain, juga konsepsinya tentang kredo puisi,[2] disebut-sebut memperlihatkan pembaruan dalam puisi Indonesia. Pada konteks ini, Ignas Kleden—kritikus sastra—memberikan ulasan tentang karya dan kepenyairan Sutardji CB dalam esainya, Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri,[3] yang sampai pada kesimpulan bahwa apa yang disebut Sutardji CB dengan “membebaskan kata” ternyata lebih menunjuk pada proses dekonstruksi, melalui penerobosan—(baca: menerobos) makna kata, jenis kata, bentuk kata, dan tata bahasa.  

Permasalahan terkait kredo puisi  dan esai Ignas Kleden di atas inilah yang digugat oleh Nurel Javissyarqi dalam buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia (MMKI).[4] Dalam pembacaannya, Nurel menilai bahwa Ignas Kleden kurang objektif—masih subjektif—dalam mengulas karya dan kepenyairan Sutardji CB. Apalagi, ulasan tersebut disampaikan pada acara penghormatan kepada sang penyair. Lantas, benarkah?!    

Tampaknya, subjektivitas menjadi “kecurigaan” terbesar dalam pikiran Nurel, sekaligus ”pemantik” daya kritis. Subjektivitas yang dikhawatirkan akan terus berulang-ulang hingga mencapai tarafnya yang akut, yakni kondisi yang disebutnya dengan “mitos”. Karena itu harus dibongkar. Bukan hanya kredo puisi Sutardji CB dan esai Ignas Kleden saja, tetapi juga seluruh subjektivitas yang terdapat dalam konstruksi dan sejarah kesusastraan Indonesia pada umumnya.

Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia; Kritik atas Subjektivitas

Sebagaimana judulnya, buku MMKI ini dimaksudkan sebagai kumpulan esai-kritik sastra. Akan tetapi, bukan esai mainstream seperti yang biasa kita temukan dalam koran atau majalah. Begitu juga konstruksi dan gaya penulisan yang digunakan oleh penulisnya. Maka, wajar jika di antara kita menganggap bahwa buku ini membingungkan. Bahkan meragukan buku ini sebagaimana keberadaannya di atas. Jika benar demikian, maka salam saya adalah, “selamat datang di dunia Nurel Javissyarqi!”

Yup, tidak lazim. Unik! Itulah asumsi saya tentang esai-esai yang terkumpul dalam buku ini. Beberapa hal yang mengisyaratkan keunikannya tersebut, yaitu [1] Nurel menulis 408 halaman hanya untuk mengupas enam paragrap pertama dari esai Ignas Kleden—yang menjadi fokus bahasan. [2] Sebagai kumpulan esai-kritik sastra, buku ini juga mengungkap pemikiran berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, tafsir, filsafat, sejarah, antropologi, arkeologi, geografi, dan sebagainya. Bahkan, dengan porsi yang lebih besar daripada ulasan terhadap fokus bahasan. [3] Keberadaan dialog imajiner—antara penulis dengan M. Yamin—, yang cukup intens pada bagian XXIV (hlm. 322-395). [4] Penggunaan gaya bahasa liris, bahasa jawa yang tidak umum, serta penambahan dan penggurangan awalan dan akhiran, sehingga menjadikannya tidak mudah untuk dicerna.   

Jika sebuah pertanyaan dilontarkan, apakah MMKI merupakan buku esai-kritik sastra?! Maka, jawabannya adalah ya, bisa dikatakan demikian. Karena di dalamnya terdapat ulasan mengenai sastra, terutama kredo puisi dan esai Ignas Kleden. Dalam pembacaannya terhadap permasalahan tersebut, subjektivitas menjadi kesan paling kuat yang ditangkap oleh Nurel. Subjektivitas yang dikhawatirkan akan semakin akut dan berubah menjadi “mitos”. Kritik terhadap subjektivitas inilah yang tampaknya menjadi pintu masuk atas hadirnya buku ini. Di antara subjektivitas dalam kesusastraan Indonesia yang digugat Nurel, yaitu subjektivitas atas karya dan subjektivitas terhadap tokoh—sastrawan dan kritikus—.

Dalam mengulas subjektivitas atas karya, Nurel melihat bahwa terkait kualitas karya sastra, masyarakat (pembaca sastra) cenderung lebih percaya pada “berita” sekaligus “iklan”, baik melalui resensi dan ulasan buku di media massa, esai para kritikus, maupun dari mulut ke mulut. Juga, penerbit effect. Tidak dipungkiri, hal tersebut dapat dipandang sebagai “seleksi awal” untuk memilih karya sastra dalam posisinya sebagai bacaan. Akan tetapi, jangan sampai “berita” itu menggerus nalar kritis. Menurut Nurel, kualitas sebuah karya sastra tidak berasal dari berita atau iklan, tetapi ada dalam buku itu sendiri, yang hanya bisa didapatkan melalui pengalaman diri. Di sini, tampak bahwa membaca adalah proses intelektualitas. 

Terkait subjektivitas terhadap tokoh, Nurel melihat adanya sekat dikotomi antara senior dan junior di kalangan sastrawan. Nurel tidak menafikan diferensiasi para sastrawan, baik yang telah lama maupun yang belum lama berproses sastra. Hal yang dikritik oleh Nurel adalah subjektivitas bahwa apa yang lahir dari para senior selalu diterima dan berkualitas. Karena itu, nalar kritis—dan juga nyali— para sastrawan tidak boleh tumpul hanya karena berhadapan dengan senioritas.

Lepas dari keberadaannya yang dimaksudkan sebagai buku esai-kritik sastra, saya melihat bahwa MMKI lebih merupakan gambaran dari lanskap alam pikiran Nurel Javissyarqi. Dalam pandangan imajiner saya, tampak Nurel sedang berselancar melintasi alam pikirannya. Bergumul dan berlompatan dengan berbagai pemikiran. Dan MMKI adalah hasilnya. Karena itu, tidak heran jika konstruksi buku ini didominasi oleh berbagai pemikiran lintas disiplin ilmu.

Lantas, apa hubungannya dengan kredo puisi Sutardji CB dan esai Ignas Kleden?! Atas pertanyaan ini, barangkali tulisan Nurel bisa menjadi jawabannya, bahwa, “esainya Ignas Kleden itu sekedar jalan, sketsa, jalur rel kereta api yang nantinya menjalar menerus…”.[5] Atau perspektif saya, bahwa kredo puisi dan esai Ignas Kleden merupakan pintu masuk sekaligus penanda, darimana Nurel berangkat dan akan kembali ketika berselancar di alam pikirannya.  

Kemudian, mengenai ketidaklaziman MMKI sebagaimana diuraikan di atas, maka saya menduga bahwa hanya pembaca “berdaya besar” saja yang mungkin akan bertahan untuk menikmati buku MMKI hingga akhir. Dan tampaknya, Nurel pun telah “mencurigai” bahwa pembaca sastra termasuk jenis pembaca tersebut. Barangkali, hal ini bisa menjadi salah satu alasan, kenapa buku ini diberi judul “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia.”  

Kredo Puisi dan Dekonstruksi; Tampilan Sudut Pandang

Beberapa hal yang menjadi fokus gugatan Nurel Javissyarqi yang bisa dimasukkan dalam sub pembahasan kredo puisi dan dekonstruksi ini, yaitu pertama, perbedaan pernyataan antara “membebaskan” dan “menerobos”. Kedua, pernyataan “Puisi adalah alibi kata-kata”. Ketiga, ungkapan, “Jadi maka Jadilah!Jadi, lantas jadilah!, dan Kun Fayakun.

[1] Antara Membebaskan dan Menerobos

Kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri menyebutkan bahwa tugas kepenyairan adalah “membebaskan kata-kata”. Sementara dalam esainya, Ignas Kleden menulis, “...menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa… Menurut Nurel, penggunaan kata “menerobos” oleh Ignas Kleden—yang berbeda dengan “membebaskan” versi Sutardji CB—, menyiratkan sikapnya yang ragu-ragu dan berada di wilayah abu-abu, antara mengkritik (objektif) atau memuja (subjektif). Lantas, benarkah?!

Untuk menjelaskan permasalahan ini, maka pemahaman atas perspektif menjadi penting. Kata “membebaskan” Sutardji CB menunjukkan posisinya sebagai penyair. Di sini, kredo puisi yang tidak lain adalah pemahaman dasar atas proses kepenyairan menjelaskan tugasnya, yaitu mengembalikan kata pada asalnya. Pada sisi lain, penggunaan kata “menerobos” menjelaskan posisi Ignas Kleden sebagai kritikus. Kata ini kemudian mendapatkan penjelasan secara lebih lanjut pada bagian tengah esainya, baik menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos makna kata, maupun menerobos tata bahasa.

Dalam perspektif antara penyair dan kritikus, tidak hanya kata “membebaskan” dan “menerobos” saja yang berbeda di antara keduanya. Ignas Kleden pun berbeda mengenai istilah kredo puisi. Menurutnya, istilah yang tepat bukan kredo puisi, melainkan kredo penyair, karena hal tersebut lebih merupakan sebuah bentuk dari licentia poetica.

[2] Puisi adalah Alibi Kata-kata

Dalam esainya, Sutardji Calzoum Bachri menulis, Puisi adalah alibi kata-kata.[6] Di sini, istilah “alibi” menjadi fokus dari gugatan Nurel, yang dipandangnya mengandung kesan negatif, terutama dikaitkan dengan kepenyairan. Menurut Nurel, istilah tersebut menggambarkan sikap penyair yang ingin ales atau menghindar dari pertanggungjawaban atas karya-karyanya. Sebagaimana kasus terkait ungkapan “Jadi maka jadilah!” dan “Jadi, lantas jadilah!”, yang dianggapnya sebagai bentuk kecerobohan Sutardji CB dalam menerjemahkan “Kun Fayakun”. Lantas, benarkah?!

Untuk menanggapi permasalahan ini, maka penting bagi kita melihat konteks di mana ungkapan tersebut muncul. Yakni, ketika kata-kata berhadapan dengan kekuatan-kekuatan di luar dirinya, yang memenjarakan dalam makna—yang spesifik—. Kekuatan yang penuh kepalsuan dan hipokrisi, baik kepentingan politik, ekonomi, dan sebagainya dalam kehidupan manusia. Sebagai ilustrasi, jika kehidupan manusia dipenuhi pragmatisme, maka puisi menjadi ruang bagi idealisme untuk terus hidup. Ruang bagi lahirnya kesadaran, dimana manusia kemudian memperjuangkan idealisme-idealisme kemanusiaannya.

Dari uraian di atas, tampak bahwa ungkapan “Puisi adalah alibi kata-kata,” perspektif Sutardji CB berada pada wilayah pemikiran. Sedangkan interpretasi dan gugatan Nurel masuk pada wilayah sikap dan tanggungjawab kepenyairan.            

[3] Antara “Jadi maka Jadilah!”, “Jadi, lantas jadilah!”, dan “Kun Fayakun”.

Kun Fayakun—dalam al-Qur’an—menjadi referensi Nurel ketika menggugat dua ungkapan Sutardji Calzoum Bachri di atas. “Jadi maka Jadilah!” yang termuat dalam “Bukan-Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000”, dan “Jadi, lantas jadilah!” pada “Sambutan Sutardji Calzoum Bachri pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra MASTERA”. Nurel menilai dua ungkapan—terjemahan— dari Kun Fayakun tersebut sebagai kecerobohan.

Di sini muncul sebuah pertanyaan, apakah Kun Fayakun menjadi referensi dari dua ungkapan Sutardji CB tersebut?! Jangan-jangan, dia tidak menjadikan Kun Fayakun sebagai referensi, kendati akrab.

Lepas dari pertanyaan di atas, saya melihat bahwa dua ungkapan tersebut mengandung interpretasi yang berbeda, sebab konteksnya tidak sama. Dalam ungkapan “Jadi maka Jadilah!”, konteks dan pemahaman menunjuk tataran hakikat. Sedangkan pada “Jadi, lantas jadilah!“ mengarah pada tataran proses.  

Menggugat “Politik” dalam Kesusastraan Indonesia; Antara Label dan Proses

Kesan mengenai adanya “politik” dalam kesusastraan Indonesia sangat kuat dalam pemikiran Nurel. Pemberian gelar Presiden Penyair Indonesia—oleh sebagian sastrawan—, yang kemudian diikuti dengan munculnya gelar Presiden Penyair Jawa Timur, misalnya, tampak mengganggu pikirannya. Menurutnya, “pelabelan” seperti ini merupakan bentuk subjektivitas, yang dikhawatirkan akan melahirkan kondisi yang kontraproduktif bagi perkembangan kesusastraan Indonesia itu sendiri. Sederhananya, bukan label yang menjadi ukuran kualitas, tetapi muncul dari proses yang terus-menerus. Karena itu, biar sejarah yang mengungkapkannya.

Kritik terhadap subjektivitas, yang sebenarnya menjadi concern Nurel. Demikian pula dengan gugatannya terhadap Deklarasi “Hari Puisi Indonesia” yang melibatkan “dukungan” para sastrawan. Pembacaan deklarasi yang diwakilkan kepada Presiden Penyair Indonesia serta penetapan tanggal 26 Juli sebagai “Hari Puisi Indonesia”, yang dinisbatkan dari tanggal lahir Chairil Anwar. Menanggapi persoalan ini, Nurel menggugat. Seperti bertanya, kenapa penetapan “Hari Puisi Indonesia” tidak menjadikan sejarah sebagai referensi?! Kenapa tanggal yang dipilih tidak merepresentasikan semua penyair, melainkan hanya Chairil Anwar dan mereka yang mendukung penetapannya saja?!

Nurel juga mengungkapkan “peta politik” kalangan sastrawan yang ada “di belakang meja” media massa, baik koran, majalah, maupun media online. Selain itu, kalangan sastrawan yang seperti “terkotak-kotak” dalam komunitas-komunitas dan identitas tertentu. Mengenai hal ini, Nurel kembali pada kritiknya terhadap subjektivitas, yakni jangan sampai “perkoncoan”  (penilaian subjektif) menggerus nalar kritis dan objektivitas.

Penutup

Tulisan ini merupakan catatan kesan penulis atas buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia” karya Nurel Javissyarqi. Buku ini merupakan buku pertama, yang diharapkan segera disusul buku kedua dan seterusnya. Dalam buku ini, saya merasakan energi besar, yang perlu dialirkan melalui saluran-saluran yang benar, secara tepat dan elegan, serta dengan dosis yang tertakar.

*) Sastrawan kelahiran Lamongan, Jawa Timur.



[1] Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK; Tiga Kumpulan Sajak (Jakarta: Sinar Harapan, 1981)
[2] Menulis puisi bagi Sutardji Calzoum Bachri adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera.  Tanggal yang tertera pada penjelasan kredo puisi yaitu 30 Maret 1973. Lihat, Sutardji Calzoum Bacri, “Kredo Puisi” dalam Isyarat: Kumpulan Esai (Yogyakarta: Indonesia Tera, 2007) hlm. 3-4. Kredo puisi kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam tulisannya yang lain, seperti “Bukan-Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000-“, “Sambutan Sutardji Calzoum Bachri pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra MASTERA”, dan “Pidato Penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998” yang terkumpul dalam buku Isyarat: Kumpulan Esai.       
[3] Rubrik Bentara, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” dalam Kompas, Sabtu 04 Agustus 2007. Esai ini berasal dari Pidato Kebudayaan yang disampaikan pada Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di Taman Ismail Marzuki, Jakarta 19 Juli 2007, untuk menghormati penyair Sutardji Calzoum Bachri 66 Tahun.
[4] Judul lengkap buku ini adalah Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia; Bagian Pertama: Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia (Lamongan: Pustaka Pujangga bekerjasama dengan Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2018).
[5] Nurel Javissyarqi, “Bayangan dan Kenyataan Lain Bedah Buku di PDS H.B. Jassin”, dalam lampiran Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia, hlm. 528
[6] “Pidato Penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998” dalam Isyarat: Kumpulan Esai.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae