Selasa, 08 Oktober 2019

Menimbang Nurel yang Menimbang Sutardji Calzoum Bachri

Dwi Pranoto *

Pertama-tama, tentu, tumbuh campuran perasaan gentar dan antusias saat berhadapan dengan Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra; Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia (MMKI); Buku Pertama: Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia, karya Nurel Javissyarqi. Bagaimana tak tumbuh adukan perasaan gentar dan antusias, MMKI punya ketebalan xii + 570 halaman. Sangat tebal! Setidaknya bagi saya. Ketebalan buku yang luar biasa itu ditambah lagi dengan judul yang sangat panjang; 5 kata untuk judul “atas” atau “pengantar” + 4 kata untuk judul “tengah” atau “utama” + 8 kata untuk judul “bawah” atau “penutup”, total 17 kata untuk judul. Bukan saja panjangnya, judul itu, seperti juga diterangkan dalam 11 saf kata-kata – terdiri dari 3 kalimat – di bawah judul, punya pretensi heroik. Ketebalan dan judul buku itu baru kesan pada pandangan pertama, nah, begitu saya membaca paragraf pembuka yang tercetak miring pada Bagian I, saya disergap oleh struktur kalimat dan pilihan diksi yang yang tak biasa. Saya juga terperangah oleh argumentasi yang disusun secara analogis (justifikasi metaforal) yang memparalelkan norma pernikahan dengan etika kritik. Lalu, semakin saya memasuki halaman-halaman berikutnya dengan tertatih dan sempoyongan, saya seperti dilemparkan ke dalam tumpukan sekam yang tebal untuk mencari sebuah jarum. Menyasar Sutardji Calzoum Bachri melalui esai pidato Ignas Kleden, MMKI disesaki argumentasi-argumentasi analogistis yang membentuk bingkai-bingkai pemapaparan yang bersifat paralel dari pemikiran para cerdik pandai dari Nusantara, Eropa, Asia, dan Timur Tengah – baik masa klasik, modern, pun post-modern.

Nurel menilai SCB gagal sebagai sastrawan, sementara para kritikus sastra tidak ada yang menilaianya sebagai kegagalan. Para kritikus justru menilai SCB, puisi-puisi SCB, sebagai suatu pencapaian estetik yang tinggi. Lantas, atas dasar apa Nurel menilai SCB gagal sebagai sastrawan? Kegagalan SCB bagi Nurel tidak berasal dari tak mewujudnya atau tak terlaksananya janji-janji puitik, yang dimaklumatkan dalam konsepsi-konsepsi puitik SCB, seperti dalam Kredo Puisi – yang dianggap Ignas sebagai rencana kerja seorang penyair – dan esai-esai SCB yang terkait, di dalam puisi-puisi SCB. Nurel juga tak mengukur kegagalan SCB sebagai sastrawan dengan memeriksa puisi-puisi SCB melalui ukuran-ukuran artistik tertentu. Namun, Nurel menilai kegagalan SCB sebagai sastrawan melalui konsep bahasa atau kata-kata sebagai representasi. Dalam ulasan-ulasannya, Nurel selanjutnya mengadili SCB secara etik daripada mengadilinya secara estetik; seperti misalnya menganggap SCB sembrono atau serampangan menafsir dan menggunakan istilah “Kun Fayakun” yang ilahiah untuk melandasi pandangan puitiknya.

Hal pertama yang segera tampak dari penilaian bahwa SCB gagal sebagai sastrawan adalah alat ukur yang tak sesuai dan menjadi problem yang tak terselesaikan – karena telah sejak mula telah selesai dalam dirinya sendiri –. Nurel menggunakan konsep bahasa atau kata-kata sebagai representasi untuk mengevaluasi kerja kesusastraan SCB. Bagaimana mungkin Nurel akan menghasilkan penilaian yang sebaliknya: berhasil, bila ia menggunakan alat ukur yang secara gamblang ditolak oleh SCB sebagai konsep yang melandasi kerja puitiknya? Ini seperti hendak menjahit baju bayi dengan menggunakan ukuran baju orang dewasa atau sebaliknya. Ini seharusnya sudah selesai di sini; Nurel tidak membuktikan apa-apa, tidak membongkar apa-apa. Namun, baiklah, kita akan memeriksa landasan pengukuran Nurel: bahasa/kata-kata sebagai representasi.

Kita akan kesulitan untuk menemukan definisi yang jelas berkait bahasa/kata-kata sebagai representasi di MMKI. Namun demikian kita dapat berupaya memahaminya dari pernyataan-pernyataan Nurel dalam MMKI:

“Dalam beberapa hal, memang bahasa pun kata-kata itu ‘bebas’ dipergunakan demi satu nilai tertentu tafsirannya di bidang masing-masing, kalau berpatokan dasar standarisasi karya atas bentuknya. Tapi usaha ini menerobos inti dari partikel terkecil untuk mengetahui sejauh mana kata-kata sebagai wakil suara terdalam atas sikap, watak penulisnya di dalam menentukan nilai yang disuguhkan, demi menjawab perihal apa saja kemungkinan di balik yang terucap , terkatakan (teks)”. – MMKI hal. 10.

“Pena yang terlihat bengkok sebagaimana teks yang hadir melambung, mengendap pun jatuh tergantung daya penulisnya menyatakan kenyataan . . .”. – MMKI hal. 27.

“Saya kira lebih tepatnya bahwa penyair menggunakan kata-kata dalam kerja kepenyairannya. Mereka meraciknya tidak saja indah juga menyembulkan makna di kedalaman syair-syairnya dan bukan sosok penguasa kata-kata”. – MMKI hal. 50.

“Kata (sebutan, titel, namanya) beserta bendanya; apakah pisau, kursi, batu, tidak berpengertian, jika tidak punya kenangan pada benda itu bersama namanya”. – MMKI hal. 57.

Apa yang konsisten terus ada dalam empat kutipan yang menyatakan teks/kata-kata/bahasa mempunyai makna, dengan demikian representasional, adalah kehadiran subyek pembicara: penulisnya dalam kutipan pertama, penulisnya dalam kutipan kedua, dan mereka (para penyair) dalam kutipan ketiga. Dalam kutipan keempat subyek terkandung dalam kenangan, kenangan tidak mungkin menjadi yang dikenang tanpa subyek yang mengenang, yakni subyek empunya kenangan. Pada konteks bahasa sebagai representasi, yang mempunyai makna atau medium bagi makna, kehadiran subyek pembicara menjadi penting untuk menjamin kehadiran makna. Subyek pembicara itu disebut Logos, pusat dari teks. Jika Logos terguling dari pusatnya, teks kehilangan jangkar untuk pemaknaannya. Dalam tulisan (sebenarnya, menurut Derrida, ini juga mencakup lisan), subyek atau Logos tidak hadir secara fisik, tapi ia residu kehadiran subyek dalam komunikasi lisan yang mengendap dalam tulisan. Logos bisa dikatakan sebentuk kenangan atau hantu yang mempunyai fungsi menjamin kehadiran makna. Agar lebih mudah kita ambil saja contoh perkataan Tuhan “Kun Fayakun”, pada saat ini Tuhan tidak lagi berkata atau menulis “Kun Fayakun”, tapi saya yang menuliskannya. Saya bukan Tuhan, ucapan “Kun Fayakun” hanya mungkin dimaknai sebagai perintah penciptaan dunia bila Tuhan dianggap tetap semayam dalam ucapan/tulisan saya itu.

Lantas, apa maksudnya Nurel memanggil Derrida yang menggulingkan Logos dari pusat teks untuk proyek representasinya? Di sini, saya kira, Nurel memanggil Derrida untuk mengadili SCB secara etik. “ . . . tetapi tepat bagi Derrida dalam membongkar Marx lewat ini (apa yang Nurel sebut sebagai pembalikan ‘Kun Fayakun’ dalam drama Hamlet), yang condong tidak mempercayai tuhan, atau imajinasi mengenai tuhan adalah bikinan manusia. . . . Dan ketidakmasuk-akalan Sutardji dikarena juga tidak ilahiah, . . .”. Bagaimanapun, kita dapat membayangan dua pasang penjajaran simetris yang saling berhadapan: Derrida dan Nurel berhadapan dengan Marx dan Sutardji; Derrida membongkar Marx, Nurel membongkar Sutardji. Terus terang, saya kesulitan memahami apa yang Nurel pahami dari pemikiran Derrida, khususnya Specters of Marx yang ia sebut dan kutip bagiannya. Namun dari kutipan perihal pembongkaran Marx yang ‘kafir’ oleh Derrida di atas, saya menduga pemikiran Derrida dianggap merepresentasikan spirit ketuhanan oleh Nurel. Dalam Specters of Marx, Derrida berbicara tentang hantu-hantu Marx, menyingkap elemen metafisik karya-karya Marx. Spectres of Marx barangkali semirip S/Z, pembacaan novel Sarrasine karya Balzac oleh Roland Barthes. Sebagaimana S/Z yang menolak status novel realistis yang dilekatkan pada Sarrasine dengan menyingkapkan kekaburan-kekaburan dan misteri untuk membuyarkan kesatuan penggambaran yang utuh, begitu juga dengan Specters of Marx yang menolak status rasional-empiris yang dilekatkan pada karya-karya Marx dengan menyingkapkan elemen-elemen metafisik di dalamnya. Sebagai misal, Derrida menyingkapkan elemen metafisik karya Marx dengan mengutip benda/komoditas yang berbicara dalam Capital, Vol.I, “Bila komoditas-komoditas dapat berbicara, mereka akan mengatakan begini: ‘Nilai-guna kita bisa jadi menarik bagi manusia, tapi itu bukan kepunyaan kita sebagai obyek. Apa yang menjadi milik kita sebagai obyek, bagaimanapun, adalah nilai kita.  Persetubuhan antara kami sendiri sebagai komoditas membuktikannya. Kami saling berhubungan sebagai nilai-tukar”’. (Specters of Marx, hal 197). Secara ringkas Derrida menyatakan melalui kutipan itu bahwa apa yang berlaku dalam perdagangan (interaksi komunikatif) adalah nilai-tukar. Komoditas saling tukar ucapan “Aku komoditas yang berbicara”. Tapi, kita tak akan membahas lebih lanjut tentang ‘karakter metafisik’ dari komoditas yang merupakan hantu dari ruang dan waktu kerja yang semayam dalam benda.

Baiklah, sekarang kita membahas gagasan representasi sebagai mimesis. Nurel membandingkan ‘alibi’ SCB (“Puisi adalah alibi kata-kata”) dengan mimesis. Pada halaman 42 Nurel menulis, “Alibi, bukan sosok gagasan atau bayangannya pun bukan anak kembaran, tapi duplikat, palsu, plagiat”. Lalu pada halaman 43 Nurel menulis, “Saya cari padanan sesuai untuk mengetahui seluk-beluk maksud SCB yang dilontarkan Dr. Ignas Kleden lewat menyusuri jejekan lama. Setelah menampilkan kata “imitasi” melalui rerongga lain, guna membuka kemungkinan penghampiran kata duplikat, palsu, plastik”. Terus terang, saya sulit mengerti kenapa Nurel membandingkan kata ‘alibi’ dengan ‘mimesis’. Ada jurang lebar yang membentang antara ‘alibi’ ( tempat lain) dan ‘mimesis’ (imitasi, tiruan, representasi). Kita abaikan saja jurang itu, kita akan menggunakan jembatan yang sudah disediakan Nurel yang menyatakan alibi adalah duplikat. Namun kita tak akan menggunakan jembatan yang sudah dibangun Nurel untuk menghubungkan ‘alibi’ dengan ‘mimesis’. Kita menggunakan jembatan itu untuk memahami untuk apa Nurel membangun jembatan yang menghubungkan ‘alibi’ dengan ‘mimesis’. Saya kira Nurel menjembatani ‘alibi’ dengan ‘mimesis’ itu guna menghubungkan antara SCB dengan Plato dan Aristoteles. Melalui terhubungnya Plato dengan SCB, Nurel dapat mengadili SCB secara etik. Mari kita baca tulisan Nurel pada halaman 44 – 45, “Umpama bercermin pada terbunuhnya Socrates yang menenggak racun abadi, serta dihadapkan pada paham Plato dalam kitabnya Republic . . . Lalu berbalik pada suguhan tahapan mimesis Aristoteles, maka terlihat SCB ingin lepas (melepas) dari kebenaran Socrates. Atau tidak menenggak racun kebajikan, tapi dengan membuat alibi sebagai dasar kepenyairannya, sebentuk melarikan diri dalam berpuisi (berproses kreatif)”. SCB distigma ‘tidak menenggak racun kebajikan’ dan ‘melarikan diri’, atau ‘tidak bertanggungjawab’ (baca halaman 44, paragaraf 1) karena alibi dalam “puisi adalah alibi kata-kata” bertentangan dengan mimesis, dengan kata lain anti-representatif.

Masalahnya adalah apakah Plato (Aristoteles nggak ikut-ikutan) mengutuk para penyair karena mereka dianggap Plato sebagai anti-representatif atau tidak melandaskan kerja artistiknya pada mimesis? Sebaliknya, Plato mengutuk dan mengusir para penyair dari proyek negaranya karena para penyair melandaskan kerja artistiknya pada mimesis.”Maka haruskah kita tak menyimpulkan individu-individu puitis tersebut, semulai dengan Homer, adalah belaka para peniru; mereka menyalin citraan kebajikan dan sejenisnya, tapi kebenaran tak pernah mereka raih? Penyair seperti pelukis yang, sebagaimana kita telah amati, akan menyerupa seorang tukang sepatu meski ia tak tahu apapun tentang memperbaiki sepatu . . .” (Republic; Book X).  Plato memang memilah dua produk imitasi atau tiruan; mimesis yang didasarkan pada pengetahuan yang meniru suatu model dengan tepat dan yang didasarkan pada simulakra artistik yang meniru kenampakan belaka. Lebih mudahnya, pemilahan ini seperti memilah penyair dan tukang sepatu berdasarkan hasil akhirnya atau kegunaannya; penyair menghasilkan deskripsi sepatu sedangkan tukang sepatu menghasilkan sepatu. Jadi tidak ada urusan dengan ‘alibi’.

“Pengusiran platonik terhadap penyair didasarkan pada ketakmungkinan melakukan dua hal sekaligus yang didasarkan pada isi immoral fabel. Masalah fiksi yang utama adalah masalah yang berkaitan dengan distribusi ruang. Dari sudut pandang platonik, panggung, yang secara simultan adalah lokus kegiatan publik dan ruang-pamer untuk ‘fantasi-fantasi’, mengganggu sekat tegas identitas-identitas, kegiatan-kegiatan, dan ruang-ruang. Sama halnya dengan tulisan. Dengan menyelinap keluyuran tanpa mengetahui siapa yang yang berbicara dan siapa yang tak berbicara, menulis menghancurkan setiap pondasi legitimasi untuk sirkulasi kata-kata, untuk hubungan antara efek-efek bahasa dan tubuh-tubuh di ruang umum”. (Distribution of the Sensible; hal. 13,  Jacques Ranciere).

Penyair dalam negara platonik bukanlah jenis okupasi, penyair tidak memiliki ruang dan waktu tertentu berdasarkan cara melakukan dan membuat dalam praktik artistik. Penyair bukan sebagaimana pengrajin atau tukang yang karena jenis okupasinya tidak bertanggungjawab terhadap elemen-elemen umum dari komunitas karena tidak punya waktu untuk membaktikan dirinya untuk hal lain selain kerja dan tidak dapat berada di ruang lain sebab kerja tidak dapat menunggu. Dengan demikian pengusiran penyair adalah masalah struktur sosial yang di dalamnya peran dan fungsi tiap individu serta hubungan antar individu ditentukan secara politis.

Sampai sejauh ini kita bisa mengetahui, Nurel bukan saja keliru memilih ukuran untuk mengevaluasi SCB, Nurel bahkan tak memahami ukuran yang digunakannya itu. Tentu saja, dalam buku setebal xii + 570 halaman itu ada beberapa kasus di mana evaluasi terhadap SCB, sebagai misal, berkait dengan gugatan terhadap ketidakkonsistenan SCB untuk memegang prinsip artistik yang dinyatakan dalam Kredo Puisinya. Namun kasus semacam itu dalam tulisan ini kita sisihkan, bukan tidak penting, semata-mata karena ketersediaan waktu dan kesanggupan tubuh yang terbatas.

Bila Derrida menutup bahasan tentang ideologi dalam Specters of Marx dengan mengutip ucapan Marcellus kepada Horatio pada malam penampakan hantu semirip raja yang sudah mati dalam drama Hamlet: “Kau seorang sarjana; bicaralah padanya, Horatio”. Saya menutup tulisan ini juga dengan mengutip dari drama Hamlet, dialog Polonius dan Hamlet.

Polonius:
Apa yang Anda baca, Tuanku?

Hamlet:
Kata-kata, kata-kata, kata-kata
*****
*) Dwi Pranoto, sastrawan dan penerjemah. Tinggal di Jember, Jawa Timur. 

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae