Liza Wahyuninto *
Sejarah adalah kumpulan banyak hal yang bisa kita hindari. (Konrad Adenauer)
Membincang keindonesiaan adalah seperti bercerita tentang diri kita kepada seorang teman. Keindonesiaan adalah kehidupan kita sehari-hari dalam memaknai diri sebagai warga Negara Indonesia. Tentu saja, keindonesiaan kemudian menjadi harga mati bagi setiap warga Negara yang dilahirkan di negeri surgawi ini. Cara memaknainya juga beragam, dan tidak harus diseragamkan.
Kita dilahirkan dan dibesarkan di negeri ini dengan suku, agama, ras, dan etnis yang berbeda. Budaya sampai bahasa kita juga berbeda. Profesi, status social, tingkat pendidikan juga tidak sama. Ini merupakan kekayaan terbesar yang dimiliki Indonesia, dan belum tentu dimiliki pula oleh bangsa lain. Dalam perbedaan dan keanekaragaman tersebut, kita disatukan di bawah sayap burung Garuda. Yang kemduian kita kenal dengan sebutan pancasila.
Di dalam lima (5) sila inilah, Indonesia dirangkum. Keindonesiaan disusun berdasarkan visi, misi dan cita-cita terbesarnya. Pancasila dengan dilengkapi butir-butirnya sudah parpipurna disebut sebagai sumber hukum Negara. Tidak ada pemimpin Negara, mulai dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), presiden, sampai pada pemerintahan terkecil yaitu Rukun Tetangga (RT) yang boleh menyalahi aturan hokum yang terkandung dalam pancasila dan UUD 1945.
Selama kurun waktu 65 tahun sejak 1945, Indonesia sudah mengalami pergantian Presiden sebanyak 6 kali. Mulai dari Ir. Soekarno, Soeharto, B. J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan saat ini Soesilo Bambang Yudhoyono. Enam presiden yang telah mengepalai Negara Indonesia ini juga berusaha untuk memaknai pancasila. Tentu saja dengan tafsir mereka masing-masing. Sehingga, kita tidak perlu kaget atau terperanjat dengan pola kepemimpinan dari salah satu presiden yang terkadang membuat rakyatnya bingung atau bertanya-tanya.
Ir. Soekarno misalnya, menafsirkan pancasila dengan menjalankan sila yang ketiga dan kelima, yaitu persatuan Indonesia dan keadilan social bagi masyarakat Indonesia. Sehingga ketika ia berada di tampuk kepemimpinan, focus kinerjanya diarahkan pada dua sila ini. Abdurrahman Wahid yang lebih kental dengan panggilan Gus Dur, lebih menekankan pada sila kedua; yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Sehingga perjuangannya adalah perjuangan mengangkat hak dan martabat manusia Indonesia. Siapapun dia, bila ia adalah orang Indonesia maka harus diakui dan dinaikkan derajatnya. Salah satu contoh perjuangannya yaitu mengakui Konghucu sebagai agama dan mengganti mengangkat derajat etnis Tionghoa.
Apa salah menafsirkan pancasila seperti itu? Tentu saja tidak. Karena, kitapun harus maklum bahwa tidak semua dari pancasila dapat dilaksakan, jadi dipilihlah yang sesuai dengan standar kemampuan dan juga melihat kondisi social yang dibutuhkan masyarakat Indonesia.
Republik Malas
Pada zaman sebelum dan di awal kemerdekaan, Indonesia begitu banyak memiliki pemuda-pemuda yang pandai dan tekun dalam belajar serta bekerja. Kita masih mengenal Tan Malaka, Bung Hatta, Habibie, Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara dan lain sebagainya. Mereka adalah beberapa gelintir saja di antara yang lain sebagai tonggak the founding father di negeri ini. Semuanya mengakui bahwa yang harus dilakukan adalah berusaha, belajar, bekerja, untuk kemajuan bangsa.
Berbeda dengan zaman saat ini. Di mana pemuda negeri lebih mengedepankan menjadi konsumen daripada produsen. Kita lebih dikenal sebagai bangsa pemakai bukan pembuat. Lebih senang dengan hal-hal yang sifatnya instan, langsung dapat digunakan tanpa harus susah payah untuk memikirkan bagaimana cara untuk membuatnya atau malah menghasilakan yang lebih bagus dari itu. Tidak salah, jika kemudian bangsa kita disebut sebagai republik malas.
Tapi, tidak bijak juga hanya menyalahkan pemuda. Pemuda adalah tiang Negara, sang pelanjut masa depan arah Negara ini. Pemerintah, yang dalam hal ini kebijakannya terhadap pendidikan terutama, sangat mempengaruhi akan bagaimana dan menjadi apa pemuda bangsa ini nantinya. Banyaknya pengangguran terutama di kalangan pemuda bukan murni kesalahan pemuda, tapi tidak efektif dan berhasilnya pemerintah di negeri ini dalam memberikan lapangan pekerjaan.
Wajib belajar (WAJAR) 9 tahun yang diterapkan pemerintah tentu tidak cukup untuk membekali seseorang untuk fighting di zaman yang serba susah ini. Butuh inovasi baru untuk memikirkan bagaimana masalah tingginya angka pengangguran dan setiap tahunnya terus menanjak sebagai bencana besar yang harus menjadi focus utama untuk ditanggulangi. Pemerintah tidak harus mendatangkan atau terus-terusan mengundang investor asing untuk menanam modal di Indonesia, tapi mengutamakan bagaimana menjadikan setiap lahan yang masih dapat untuk dibuat lapangan kerja, sebagai tempat dan mimpi baru bagi pemuda Indonesia.
Melahirkan Kembali Gus Dur
Kita harus mampu untuk menanamkan sikap seperti sikapnya Gus Dur. Keterbatasan yang kita miliki bukanlah penghalang untuk menuju kesuksesan di masa depan. Kita harus yakin, di balik keterbatasan pada diri kita ada potensi besar yang kita miliki. Percaya atau tidak, biang keladi dari kemalasan dan semua penyakit yang menimpa pemuda di negeri ini berasal dari tidak memiliki rasa percaya diri terhadap diri sendiri. Kita bangsa yang minder, dan selalu tunduk di hadapan orang asing.
Kita harus melahirkan Gus Dur dalam diri kita. Sosok pejuang yang tidak pernah mengenal kata menyerah, putus asa, dan mengeluh sampai apa yang diperjuangkan dapat terwujud. Gus dur tidak dikenal karena ayah atau kakeknya, tapi memang murni dari apa yang ia perjuangkan dan ia lakukan untuk masyarakat Indonesia yang ia temui. Perjuangannya mempertahankan pluralisme sebagai harga mati dalam kerukunan beragama di Indonesia merupakan perjuangan ang harus terus dilanjutkan dikawal oleh kita para penerusnya.
Memaknai keindonesiaan adalah memaknai mimpi-mimpi Indonesia di tahun-tahun mendatang. Mengisi kemerdekaan dengan apa yang dapat kita lakukan saat ini adalah kunci utama. Momen kebangkitan nasional pada 20 mei lalu, seharusnya menjadi cambuk untuk melecut kembali semangat kita yang tertidur. Kita butuh lagi rasa kebersamaan dalam membangun bangsa. Tanpa membedakan suku, agama, ras, dan adat istiadat yang kita miliki.
Perbedaan adalah kekayaan bukan pemicu pertikaian. Ke depan, Indonesia yang memiliki Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indoneisa, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan social bagi rakyat Indonesia, akan terwujud dan tidak menjadi mimpi-mimpi belaka. Sudah saatnya kekayaan yang kita miliki kita sendiri yang menikmati, bukan dieksploitasi oleh bangsa asing.
Jas Merah, begitu kata Bung Karno. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Tapi, bukan berarti kita harus terus berbangga dengan sejarah emas yang kita miliki. Masih banyak masa keemasan yang akan kita raih. Hingga usia Indonesia 1 abad nanti, Indonesia harus tetap ada di muka bumi. Caranya, bagaimana dan kemana kita akan melangkahkan kaki pagi ini. Indonesiaku, memang bukan Indonesia-indonesiaan.
Indonesiaku adalah Indonesia, itu saja!
*) Liza Wahyuninto, Cerpenis dan Penulis Essai Sosial Kebudayaan.
http://pcansor-lamteng.blogspot.com/2012/03/indonesia-itu-saja.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar