Faktor Kepentingan antara Muhammadiyah dan NU
Agus Buchori *
Benturan
budaya sudah sering menjadi bumbu penyedap dalam cerita fiksi. Namun bagaimana
kalau yang menjadi bumbu adalah friksi dalam interaksi sosial antara dua ormas
terbesar di Indonesia; Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).
Tentunya
ini sangat rawan untuk diperbincangkan namun dalam jagad dunia fiksi- baca
sastra, semua yang tidak mungkin menjadi mungkin karena kenyataan dan rekaan
dalam fiksi berkelindan mesra dalam sebuah teks yang bebas untuk ditafsirkan.
Dalam
novel karangan Mahfud Ikhwan ini, konflik diawali dengan keinginan Miftahul
Abrar dan Nurul Fauzia untuk menikah dan masing masing harus meminta
persetujuan kedua orang tuanya. Dari sini semua kompleksitas cerita bermula.
Keduanya
adalah anak dua tokoh penting di dusun Centong yang masing masing menjadi
pengurus Masjid Utara dan Masjid Selatan dan di kedua mesjid tersebut adalah
perwujudan dua ormas besar di negeri ini yaitu Muhammadiyah dan NU.
Iskandar
sebagai orang tua Mif, panggilan Miftahul Abrar adalah pengurus Masjid Utara
yang berafiliasi ke Muhammadiyah yang mengklaim sebagai Islam pembaruan dan
Muhammad Fauzan ayah dari Fauzia adalah pengurus Masjid Selatan yang
berafiliasi ke NU yang dianggap sebagai Islam tradisionalis.
Ternyata
tanpa sepengetahuan Mif dan Fauzia kedua orangtua yang akan berbesanan ini
meskipun berbeda organisasi, sebenarnya keduanya ini adalah sahabat di waktu
kecil. Bahkan tanpa sepengetahuan kedua sejoli yang hendak menikah ini,
ternyata ibu fauziah adalah gadis yang dulu sempat berpacaran dengan bapaknya
mif. Hanya karena berbeda golongan saja bapaknya mif urung menikah dengan
ibunya fauzia.
Konflik
antara muhammadiyah dan NU yang disodorkan dalam novel ini memang sebagaimana
konflik yang terjadi di tataran akar rumput yang selama ini terjadi pada kedua
organisasi ini. Perdebatan antara Qunut dan tidak Qunut dalam shalat subuh,
jumlah rakaat dalam tarawih maupun ritual kebudayaan lainnya semisal syukuran
sedekah bumi dan masalah dua adzan dalam pelaksanaan shalat Jumat.
Penggambaran
konflik dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia pada novel ini yang mengambil
setting sebuah kampung kecil di pantai utara Lamongan berbatasan dengan
Kabupaten Tuban ini seolah menjadi kaca benggala bagaimana interaksi kedua
ormas tersebut selama ini berlangsung dan mewarnai kehidupan agama kedua Ormas
ini di Indonesia.
Novel
ini seolah mengkritik bagaimana konflik yang terjadi pada kedua ormas tersebut
sebenarnya hanyalah berkutat pada hal hal yang bukan prinsipil dalam sebuah
ritual keagamaan karena apa yang kedua ormas ini jalani keduanya bisa
dibenarkan karena masing masing mengacu pada lima mazhab besar, Sunni.
Sebagai
organisasi yang sama-sama ahlussunah mungkin perdebatan yang terjadi hanyalah
sebuah riak kecil karena banyak faktor-faktor lain selain factor agama yang
membuat perdebatan ini lestari pada tataran akar rumput kedua organisasi.
Akhirnya,
apakah masing masing menerima jalan hidup yang hendak ditempuh anak-anaknya
atau harus memegang teguh garis organisasi yang mereka yakini. Akankah keluarga
mereka menjalankan ritual berbeda dalam satu rumah jika keduanya harus
berbesanan.
Bagaimana
para jamaah masjid utara dan jamaah masjid Selatan akan bersuara melihat apa
yang telah mereka jalani. Apakah demi cinta anak anak mereka, mereka harus rela
melakukan kompromi meski itu melawan garis garis organisasi yang sudah selama
ini mereka perjuangkan hingga menjadi sebuah trade mark yang diyakini banyak
orang. Selamat membaca!
Judul:
Kambing dan Hujan
Penulis:
Mahfud Ikhwan
Penerbit:
Bentang (PT Bentang Pustaka) Yogyakarta
Cetakan:
Mei 2015
Tebal:
vi+374 hlm; 20,5 cm
ISBN:
978-602-291-027-5
*) Arsiparis Lamongan

Tidak ada komentar:
Posting Komentar