Mahmud
Jauhari Ali
"A leader is best when people barely know he
exists, when his work is done, his aim fulfilled, they will say: we did it
ourselves." - Lao Tzu
Jujur saja, saya terlalu menjadi orang awam untuk
mengerti makna sejati dari kata "pemimpin". Banyak makna yang
dikandungnya sesuai keberagaman sudut pandang setiap manusia. Berangkat dari
situ ada yang mengatakan bahwa "sosok tertentu" adalah pemimpin
baginya. Sementara yang lain berpendapat sosok lainlah yang cocok menjadi
pemimpin. Mungkin dalam bahasa formalnya, "Entah siapa yang layak disebut
pemimpin, terutama pada masa kini." Saya sendiri sering menemukan
seseorang yang saya lihat sebagai pemimpin dari banyak orang di bawahnya, tapi
tidak serta merta membuat saya kagum padanya. Kagum sebagai manusia, apalagi
sebagai pemimpin. Mungkin benar bahwa kita tak dianjurkan mengagumi segala yang
dicipta, melainkan kagumlah kepada Sang Pencipta.
Meski demikian, tentu ada
harapan, setidaknya imajinasi memiliki pemimpin yang ideal. Misalnya mengutip
pendapat seorang filsuf pada zaman Dinasti Zhou bernama Lao Tzu di atas.
Menurutnya, seorang pemimpin yang terbaik (paling ideal) adalah
ketika orang hampir tidak tahu dia ada, ketika pekerjaannya selesai, tujuannya
terpenuhi, mereka akan berkata: kita melakukannya sendiri. Kira-kira begitulah
inti pemikiran dari filsuf yang hingga kini masih dimuliakan banyak orang
tersebut. Kata-katanya jika cermati, mengandung makna yang dalam. Betapa tidak?
Jarang orang yang bekerja secara diam-diam. Atau katakanlah tidak pamer. Kalau
pun ada, sedikit sekali pemimpin yang seperti itu. Dia bekerja hingga visi
tercapai, tapi tidak menginginkan dilihat, apalagi diliput banyak media untuk
sekadar mendapatkan pujian. Jarang, 'kan? Sudah menjadi rahasia umum, secara
empiris, hal yang paling susah ditiadakan adalah media. Suka tidak suka, mau
tidak mau, realitas yang tersaji ialah pencitraan demi pencitraan sang pemimpin
selalu ditampilkan di media-media massa. Terlebih jika sang pemimpin yang
bersangkutan mencalonkan kembali sebagai pemimpin pada priode berikutnya. Ini
satu contoh susahnya menjadi pemimpin yang ideal jika dikaitkan dengan pendapat
Lao Tzu.
Lebih dalam lagi, saya masih
ingat ada satu kalimat paling berat yang dipikul seorang pemimpin. Apa itu?
"Setiap pemimpin bertanggung jawab atas orang-orang yang
dipimpinnya." Bagi saya pribadi, ini berat sekali. Ya, ini berat, kamu
tidak akan kuat, biar aku saja, ha ha ha. Beratnya begini, pemimpin, baik itu
ketua karang taruna, kepala desa, kepala negara seperti raja, sultan, presiden,
maupun lainnya wajib bertanggung jawab atas segala yang berkaitan dengan
orang-orang (yang) dipimpinnyanya. Atau dengan kata lain, sebut saja presiden,
jangan hanya karena ambisi pribadi yang besar, dia melupakan rakyatnya sendiri.
Bagian terakhir ini dapat kita lihat contohnya dalam kehidupan sehari-hari.
Infrastruktur misalnya, dibangun di sana sini, tapi fakta di lapangan,
outcome-nya tidak begitu mendukung terhadap usaha penyejahteraan rakyat,
terutama kalangan ekonomi kelas bawah. Saking banyaknya data di lapangan (di
banyak negara) seperti itu, sudah banyak pula pengejawantahannya dalam berbagai
bentuk. Sebut saja novel Ma Yan karya Sanie B Kuncoro. Dalam novel itu
dikisahkan perjuangan berat seorang anak perempuan bernama Ma Yan yang berasal
dari keluarga miskin di daratan Republik Rakyat Cina. Sebagai bagian dari Suku
Hui yang beragama Islam, Ma Yan dan keluarganya termasuk muslim yang taat di
tengah himpitan kemiskinan materi. Kisah ini diangkat dari cerita nyata dan
menjadi satu bukti kegagalan pemimpin di sana dalam menyejahterakan rakyatnya.
Di bawah catatan singkat ini ada saya tampilkan bagian awal novel tersebut.
Lalu apa yang dapat kita
lakukan dalam kaitannya dengan memilih pemimpin yang ideal? Orang awam seperti
saya pasti akan berkata bahwa sebagai orang yang ber-Tuhan, memohon petunjuk
dari-Nya sebelum memilih adalah hal yang mutlak dilakukan. Kedua, mencermati
rekam jejak para kandidat yang ada. Analisis penokohan ini diperlukan untuk
mengetahui karakter seseorang atau tokoh. Nah, seandainya karakter seorang
tokoh baik, boleh jadi dia akan menjadi pemimpin yang ideal pada masa depan.
Lalu bagaimana langkah selanjutnya? Saya pikir yang ketiga dan seterusnya,
terserah Anda. Ha ha ha. Ah, tak terduga, ternyata hari sudah pagi. Maka, sudah
waktunya menikmati secangkir kopi. O iya, ini hanya celotehan lho ya dan jangan
dianggap kampanye politik karena saya bukan orang partai mana pun. Akhirnya
saya tutup dengan senyuman. Wassalam.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar