Catatan Kesan atas Kumpulan Cerpen “Bocah Luar Pagar”
A. Syauqi Sumbawi
A. Syauqi Sumbawi
Lahirnya sebuah karya sastra, pada umumnya,
merepresentasikan proses berkesadaran. Dimulai dengan pembacaan atas hidup dan
kehidupan, manusia membuat jarak. Bukan terpisah, tetapi menjadikannya sebagai
“medan makna” untuk kemudian hadir dengan kesadaran atas eksistensinya, yang
termanifestasikan dalam karya. Karena itu, sebuah karya sastra tidak hanya
bermakna, tetapi juga menciptakan ruang bagi tumbuhnya kesadaran pada diri
manusia.
Proses di atas merupakan catatan kesan
terhadap 17 karya cerpen dalam buku antologi ini. Dari keseluruhannya, tampak
“potensi kesadaran” berkelindan dalam ragam gagasan dan kreativitas para
penulisnya, terutama berkaitan dengan permasalahan eksistensi diri, absurditas,
maupun idealitas vis a vis realitas.
Kesadaran atas Eksistensi Diri
Persoalan eksistensi diungkapkan Arul
Chandrana melalui cerpen ”Bocah Luar Pagar”— yang juga menjadi judul buku
antologi—, dengan menghadirkan tokoh Amar dalam upaya mewujudkan keberadaan
dirinya, yakni sebagai pelajar. Diawali dengan pengungkapan ketidakberdayaan,
Arul menempatkan tokoh dalam posisi bertahan. Tidak lari, melainkan berdiri di
luar pagar untuk melihat keberadaan diri yang tergambar dalam kehidupan di
dalamnya. Ketika mengakrabi kondisi yang “menyiksa” sekaligus merawat harapan
inilah, pemahaman atas konsep diri—kepenulisan dan dunia literasi— menjadi
dorongan kuat untuk menerobos pagar. Tidak hanya meraih gambaran atas
keberadaan diri, tetapi juga mengeskpresikannya, dimana pada gilirannya
melahirkan kesadaran baru, yakni keberadaan sebagai penulis. Dari sini, tampak
bahwa kesadaran atas eksistensi diri tidak bersifat tunggal, tetapi beragam
mengikuti perkembangan seluruh potensi yang dimiliki oleh manusia.
Pada cerpen “Tekad Penulis Muda” karya Agus
Buchori, eksistensi diri tidak dipandang sebagai hal yang tiba-tiba, tetapi
mensyaratkan adanya proses. Dalam kaitan ini, sebuah target pencapaian dianggap
penting sebagai “penanda” yang menghadirkan kesadaran. Selain itu, cerpen ini
juga menampilkan entitas lain yang saling mempengaruhi dengan eksistensi diri.
Hal inilah yang tersirat dalam tuntutan Gayatri kepada tokoh aku. Tidak hanya
sebagai calon suami, tokoh aku juga harus “menjadi sesuatu”, yakni penulis yang
keberadaannya ditandai oleh karya—yang dimuat—. Secara umum, cerpen ini
memproyeksikan kehidupan para penulis—sastrawan—, dimana karya merupakan
penanda atas kehadirannya.
Hubungan dengan keberadaan di luar eksistensi
diri, diungkapkan oleh Imamuddin SA. Melalui cerpen “Kiyai Sumeh”, kesalihan
dan dimensi supranatural ditampilkan sebagai kondisi yang melahirkan kharisma
dan sugesti, dimana pada gilirannya menggerakkan perubahan nilai terkait
keberadaan manusia—individu—dalam kehidupan masyarakat. Penambahan sebutan
Kiyai kepada tokoh Sumeh merupakan pengakuan terhadap proses kemanusiaan, yang
terus berlanjut dengan lahirnya perilaku konkrit masyarakat, yaitu menitipkan
anak-anaknya kepada sang Kiyai. Dalam posisinya sebagai reaksi, pengakuan
tersebut melahirkan reaksi lain, yakni kehadiran tokoh aku yang berusaha
melenyapkan Kiyai Sumeh. Meskipun sebuah “alibi” diciptakan melalui keberadaan
dua pemuda suruhan, tetapi keberadaan sebagai pembunuh, menjadi hal yang tidak
bisa disembunyikan. Keberadaan ini juga diidentifikasi oleh tujuh orang anak,
yang menuntut tokoh aku untuk menghadirkan kembali Kiyai Sumeh dalam kehidupan
mereka. Kiyai Sumeh yang menjadi “penanda” atas keberadaan mereka sebagai
santri.
Pemahaman atas keberadaan sebagai santri, juga
diungkapkan oleh Luluk Dianah dalam cerpen “Gus Fahmi Cairkan Kebekuan Mawar
Melatiku”. Dengan latar belakang hubungan antara santri dan Kyai—juga
keluarganya—, lahir kesadaran baru pada tokoh aku. Tidak hanya sebagai santri,
tokoh aku juga seorang perempuan yang mencintai putra Kyai-nya. Sayangnya,
keberadaan sebagai santri menjadi “pagar” bagi perasaan dan harapannya sebagai
perempuan. Secara umum, kesan cerpen ini mengarah pada proses “berkah” yang
umumnya dibuka dengan kesadaran atas eksistensi diri dan perjuangan
nilai-nilai.
Sementara dalam cerpen “Islah Pengabdian”,
Jadid El Farisy menampilkan kenangan sebagai entitas yang mempengaruhi
keberadaan diri dalam hubungan dengan yang lainnya. Dimulai dari kematian ayah,
tokoh aku kemudian hidup di pesantren. Tidak seperti santri yang lain, tokoh
aku tinggal di ndalem kyai, mengingat persahabatan antara ayah dan kyai. Di
sinilah, hubungan santri dan kyai “tidak mandiri”, tetapi dibalut oleh kenangan
seorang ayah. Kemudian setelah Bu Nyai meninggal dunia—pasca 1000 hari—,
seluruh hubungan memperlihatkan proses rekonsiliasi, yakni ketika kyai berniat
melamar ibu dari tokoh aku. Terkait hal tersebut, sebuah kesan memperlihatkan
bahwa segala perbuatan yang didasari oleh niat dan tujuan yang baik, tidak akan
merusak hubungan di antara manusia. Bahkan mempererat keberadaannya.
Kenangan sebagai ruang kesadaran manusia,
menjadi kesan penting dari cerpen “Mozaik Rindu” karya Pradhini HK. Barangkali,
karena berada di wilayah bawah sadar manusia, serta kehadirannya yang mensyaratkan
entitas lain, maka wajar jika keberadaannya dianggap utopis. Dalam cerpen ini,
foto keluarga merupakan entitas tersebut, yang tidak hanya menghadirkan
kenangan pada tokoh aku, tetapi juga menghadirkan kesadaran tentang keberadaan
dirinya, yakni seorang anak yang lama tidak bertemu dengan orang tuanya,
disebabkan kesibukan sebagai dosen. Demi mendamaikan rasa rindu, maka tokoh aku
pun mengubah rencana. Pulang, untuk bertemu dengan keberadaan yang memberi
makna keberadaan dirinya sebagai seorang anak.
Kenangan pada cerpen “Berkunjung” karya Fitri
Areta, dimunculkan dalam kaitannya dengan kepentingan manusia. Selain itu,
berkunjung juga menghadirkan kesadaran terkait keberadaan tokoh aku sebagai
sahabat. Dalam posisi dilematis antara persahabatan dan kepentingan, maka wajar
jika kegamangan menjadi ekspresi umum dari tokoh aku saat bertemu dengan Rani,
sahabat masa kecilnya. Kegamangan yang juga ditangkap oleh Rani. Hal yang
menarik dari cerpen ini, adalah posisi dilematis yang dijelaskan di bagian
akhir cerpen, yakni ketika map merah dihadirkan. Map merah berisi berkas
dokumen yang disiapkan untuk menjadi tanda terima penjualan sawah peninggalan
orang tua sahabatnya, yang tampaknya dimaksudkan oleh Fitri sebagai suspens.
Dan sebagai pilihan solusinya, kesadaran atas persahabatan yang dijalin secara
emosional dan senantiasa tersimpan dalam kenangan, tidak bisa dibandingkan
dengan hubungan apapun yang didasarkan pada kepentingan.
Berbeda dengan kenangan yang sudah “jadi” di
atas, Haris del Hakim menampilkan peristiwa-peristiwa “potensial” untuk tidak
mudah dilupakan dalam kehidupan tokoh saya. Barangkali, hal ini bisa menjadi
alasan terkait pemilihan judul “Sang Guru” dalam cerpennya kali ini. Karena
itu, wajar jika beberapa peristiwa yang dihadirkan mengarah pada hubungan yang
sifatnya personal dan emosional. Hal ini bisa dibaca pada kesan pertemuan
pertama dan juga reaksi tokoh saya ketika Sang Guru meninggal dunia. Begitu
juga peristiwa di sekitar munculnya dialog-dialog di antara keduanya. Kesan
yang tampak dalam cerpen ini, yakni peristiwa di atas tidak hanya tertancap
kuat dalam memori, tetapi potensial dalam membentuk diri manusia.
Kesadaran dan Absurditas Manusia
Persoalan terkait absurditas
hidup manusia diungkapkan oleh A. Rodhi Murtadho dalam cerpen “Abadi”.
Keinginan untuk hidup selama mungkin dengan cara melakukan penindasan dan
sebagainya, menyiratkan kehampaan makna atas keberadaan manusia. Hal inilah
yang terjadi pada tokoh aku, yang semakin terjerumus dalam absurditas ketika
segala peristiwa berjalan menguatkan asumsinya. Karena berpijak pada
materialisme, maka tidak heran jika hal tersebut akan sampai pada kondisi
kering spiritual, kendati tidak diakui, sebagaimana perbuatan tokoh aku yang
lebih merupakan pelarian. Semakin jauh dalam keterasingan, tokoh aku kemudian
mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan terkait hidupnya pada sosok Pak
Kirman yang mewakili kesadaran spiritualitas. Satu kesan penting yang dapat
diungkapkan, bahwa hidup bukan menunda kematian, tapi perjalanan kembali dengan
kesadaran atas hidup dan kehidupan.
Kekalahan hidup menjadi kesan penting dalam cerpen berjudul “Bang Mandor” karya Ahmad Zaini, yang diarahkan untuk menghidupkan kesadaran baru dalam setiap perubahan. Di sini, menjadi tua, tampaknya menjadi satu-satunya absurditas yang dihadapi oleh manusia yang cenderung mengandalkan kekuatan fisik. Begitu juga yang terjadi pada tokoh Darmo, yang tidak menyangka bahwa posisi sebagai mandor perusahaan, dirampas dari tangannya. Tentu saja, Darmo tidak percaya dan menggugat. Karena tidak ada kesadaran lain terkait keberadaan dirinya, selain menjadi mandor. Bahkan hingga akhir hidupnya. Kondisi ini yang kemudian mengantarkan Darmo pada keterasingan hidup. Kalaupun ada kesadaran, maka hal itu adalah ketidakberdayaan yang semakin kentara bersama tubuh yang semakin renta.
Keterasingan menjadi kesan yang kuat dalam
cerpen “Mukjizat dalam Cerita yang Meragukan” karya Atho’illah. Hal inilah yang
melatarbelakangi lahirnya cerita seorang tamu yang datang ke rumah Romo Yai di
malam hari yang hujan. Keterasingan hidup yang disebabkan kondisi yang tidak
sejalan antara harapan dan kenyataan pada diri Kamidi. Tidak seperti empat
orang kyai pengasuh pesantren, Kamidi tidak menemukan makna keberadaan dirinya,
selain adanya itu sendiri. Begitu juga cerita membanggakan yang
diulang-ulangnya, yang tidak lebih sebagai tempat pelarian bagi kehidupannya
yang tidak berarti. Kondisi ini juga yang tampaknya dialami oleh mereka yang
melestarikannya secara turun temurun. Lantas, apa kondisi yang mewakili keberadaan
orang-orang yang mengetahui kebenaran, namun tetap melestarikan versi
bualannya?!
Kondisi absurd ditampilkan Yuana Fatwallah
dalam cerpen berjudul “Gelap”, yang menceritakan nonton bareng pertandingan
sepakbola di halaman rumah Pak Lurah. Akan tetapi, berbeda dengan cerpen “Bang
Mandor”, setiap permasalahan dalam cerpen ini disikapi secara sederhana.
Menunggu pertandingan bola dengan bercengkerama bersama tetangga. Menghidupkan
televisi tepat pada waktunya, sebagai solusi atas kondisinya yang bermasalah.
Juga, tidak ada kekecewaan yang berlebihan ketika televisi tiba-tiba mati di
saat pertandingan bola sedang berlangsung. Di sini, absurditas dimaknai sebagai
hal yang biasa, sebagaimana tokoh Iqbal yang akrab dengan gelap. Hal yang
menjadi kesan dalam cerpen ini, bahwa ketidakcocokan antara harapan dan
kenyataan, perlu diakrabi secara sederhana. Dan ini hanya bisa dilakukan ketika
kehidupan manusia didasarkan pada nilai-nilai spiritual.
Kesadaran dan Idealitas
versus Realitas
Persoalan terkait idealitas
dunia kesusastraan diangkat oleh Saiful Anam Assyaibani alam cerpen “Belajar
Sastra.” Didorong oleh keinginan untuk mengikuti lomba menulis cerpen, tokoh
Aluna memberanikan diri untuk mengadakan percakapan lebih intens dengan tokoh
ustadz—yang menjadi narasumber diskusi literasi—. Kehidupan para sastrawan dan
karya-karyanya yang merepresentasikan idealitas dunia kesusastraan disajikan
oleh tokoh ustadz. Begitu juga pemahaman dalam berkarya, dimana pada gilirannya
merubah mindset tokoh Aluna. Pragmatisme untuk mengikuti lomba, berevolusi
menjadi proses berkesadaran. Hal yang menarik, sekaligus menjadi suspens cerpen
ini adalah hadirnya realitas—yakni permasalahan ekonomi—, yang tampaknya
sengaja dimunculkan untuk menjadi ruang-ruang bagi lahirnya kesadaran dalam
pembacaannya.
Jika dunia kepenulisan dalam
cerpen Saiful menunjuk pada proses kesadaran atas kemanusiaan, cerpen berjudul
“Impian” karya Nur Sholihah menghadirkan nilai-nilai yang menjadi dasar
orientasinya. Bahwa menulis harus dimaknai sebagai dakwah bil qalam. Pemahaman
ini sangat efektif, sebagaimana yang dialami oleh tokoh Firman ketika
dihadapkan dengan “realitas yang mengganggu”. Baik permasalahan ekonomi dan
asumsi negatif yang diwakili oleh pandangan tokoh ibu, “narasi yang terpenggal”
tentang kepenyairan, maupun rasa tidak percaya diri. Dengan pemahaman menulis
sebagai bagian dari melaksanakan perintah Allah, maka dapat dikatakan bahwa
menulis adalah proses ideologis. Hal positif yang bisa didapatkan, yaitu gairah
dan ekspresi akan tersalurkan secara wajar, dimana secara perlahan turut
merubah stigma masyarakat terhadap para sastrawan yang akrab dengan “kegilaan”.
Proyeksi idealitas “yang
kalah” ketika berhadapan dengan realitas, dalam cerpen “Balada Warung Kopi”
karya Nuruddin Zanki, secara spesifik menunjuk pada harapan sosial. Bukan hasil
yang menjadi ukuran, tetapi kehendak baik dan usaha maksimal. Dalam pembacaan
sederhana, cerpen ini menghadirkan kritik terhadap “kebandelan” manusia ketika
berada pada kondisi yang tidak ideal. Keberadaan warung kopi yang hanya menjual
kopi, tidak lain merupakan pelarian dari kondisi kekurangan ekonomi pada tokoh
Jiwo. Bukan untuk menghadapi kenyataan, warung kopi adalah tempat untuk
menghadirkan berbagai dalih atas kekalahan hidup secara sosial.
Posisi saling berhadapan antara idealitas
versus realitas dalam kehidupan manusia menjadi kesan paling kuat dari cerpen
“Mbok Nem dan Kelulusan” karya Atafras. Keberadaan orang tua yang tidak
ditemukan oleh tokoh Claverico, membuatnya yakin bahwa keduanya adalah orang-orang
yang tidak bertanggungjawab. Berbeda dengan tokoh Mbok Nem—orang lain—yang
terus mencurahkan kasih sayang kepadanya. Mbok Nem yang selalu membela ibunya,
ketika mereka berdebat. Mbok Nem yang terus bekerja, membiayai sekolahnya,
meskipun dengan tubuh renta. Kondisi inilah yang menjadikan Mbok Nem
digambarkan sebagai sosok yang ideal oleh Claverico. Dan, rahasia pun terbuka.
Mbok Nem mengemis untuk memenuhi segala kebutuhan, termasuk biaya sekolah
Claverico. Kenyataan ini membuatnya kaget. Idealitas terkait keberadaan Mbok
Nem, seketika hancur. Termasuk juga, kelulusannya. Hancur bersama jasad Mbok
Nem yang terkubur. Dalam kesendirian bersama kenangan tentang Mbok Nem,
Claverico terus berusaha memperjuangkan idealitas. Tidak lagi pada sosok,
melainkan pada nilai-nilai.
Kesadaran idealitas terkait identitas
diungkapkan oleh Ahad Bee dalam cerpen berjudul “Hujrahku dan Hijabku”. Hal
yang digarisbawahi dalam cerpen ini, bahwa menjadi pribadi yang ideal
mensyaratkan kehendak yang kuat untuk melakukan perubahan. Namun, hal itu belum
cukup, tanpa kesadaran terhadap nilai-nilai religius yang menjadi pijakannya,
sebagaimana digambarkan dalam episode tokoh aku yang berada pada posisi
dilematis. Karena itu, setiap perubahan untuk menjadi lebih baik harus dimaknai
sebagai hijrah. Begitupun dengan berhijab, yang tidak cukup dipandang sebagai
upaya menutup aurat jasmaniah, tetapi harus bermakna ketakwaan. Pada tataran
yang lebih khusus, berhijab pada hakikatnya adalah menutup segala sesuatu
kecuali Dzat-nya.
Ulasan di atas merupakan catatan kesan penulis
terhadap 17 cerpen yang terkumpul dalam buku Bocah Luar pagar ini. Karena lebih
diarahkan untuk mencari pesan umum dan kategorisasinya, tentunya catatan ini
memiliki banyak kekurangan. Juga belum mewadahi seluruh unsur yang terkandung
di dalamnya. Sebagai karya yang sudah jadi, maka inilah “Bocah Luar pagar” yang
setidaknya dapat diharapkan sebagai ruang-ruang bagi lahirnya kesadaran. [*]
Tulisan ini disampaikan pada
acara Launching dan Bedah buku kumpulan cerpen "Bocah Luar Pagar" ,
jumat, 5 oktober 2018 di PERPUSTAKAAN DAERAH LAMONGAN.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar