Ignas Kleden *
jehovahsabaoth.wordpress.com
DI Jerman ada pepatah Alles neu macht der Mai (Mei membuat semuanya baru). Pepatah itu tentulah berhubung dengan perputaran musim, ketika bulan Mei membawa musim semi sampai ke puncaknya, saat daun-daun dan kembang baru muncul dengan tenaga gaib dari rahim Bumi yang lelap selama musim dingin.
Di Indonesia, bulan Mei tidak banyak membawa pembaharuan klimatologis. Tetapi Mei 1998 tak dapat dilupakan, karena membawa akhir sebuah cerita panjang yang penuh saat-saat pahit dan getir, dan membuka awal sebuah pembaharuan, sekalipun belum seperti diharapkan banyak orang. Bagaikan baru kemarin terjadinya, Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari tugas, menyerahkan kekuasaan kepada BJ Habibie. Tetapi 21 Mei 1998 rupanya bukanlah awal musim semi dalam politik Indonesia. Peralihan kekuasaan itu sudah didahului dan kemudian disusul oleh berbagai kekerasan di banyak kota, dari pulau ke pulau. Politik Indonesia sedang ditimpa kemarau panjang, dan setitik api ternyata dapat mengakibatkan kebakaran besar dan kecil.
Adalah suatu yang mungkin khas Soeharto bahwa dia yang telah mendapatkan dan memperbesar kekuasaannya dengan menggunakan berbagai kekerasan, harus mengakhirinya dengan epilog kekerasan panjang yang belum juga tamat hingga kini. Dengan itu hendak dikatakan bahwa apa pun alasannya, dan bagaimanapun penjelasannya, secara faktual Orde Baru tak dapat dibayangkan tanpa kekerasan. Secara gampangnya dapat dikatakan, kekerasan yang dilakukan oleh rezim Soeharto adalah kekerasan dari negara, oleh negara, untuk masyarakat. Akan diuraikan secara singkat bahwa masyarakat yang mengalami kekerasan itu adalah mereka yang mewakili kehidupan komunal dalam suatu komunitas budaya, dan mereka yang mewakili civil society dalam suatu masyarakat hukum. Selain itu, kekerasan Orde Baru telah mengalami suatu perkembangan canggih yang amat tinggi tarafnya, sehingga untuk mengakhirinya dibutuhkan suatu tingkat sophistication yang sama baiknya.
***
DALAM tipologi yang sederhana, kekerasan Orde Baru dapat dibedakan ke dalam tiga jenis.
Kekerasan jenis pertama yang paling mudah diamati adalah kekerasan fisik, yang secara teknis kita namakan saja represi, yaitu penggunaan kekuatan fisik berupa ancaman senjata, teror, intimidasi, penculikan atau penjara untuk memaksakan kehendak penguasa dan menekan dan membatasi kehendak pihak lain. Ternyata kekerasan fisik ini berfungsi secara efektif karena didukung oleh beberapa prasarana kelembagaan.
Secara legal kekerasan apa pun yang dilakukan oleh negara dapat dengan mudah dibenarkan oleh hukum, sejauh kekerasan itu diberlakukan pada sekelompok orang atau satu individu yang dianggap melakukan tindakan yang membahayakan negara. Seperti kita tahu, rumusan “membahayakan negara” atau “tindakan subversif” adalah suatu pengertian yang tidak pernah jelas isi dan batasnya. Pasal-pasal itu bagaikan karet busa yang selalu dapat menyerap apa saja yang dikehendaki penguasa untuk membungkam setiap tindakan atau pendapat politik yang dianggap merugikan kekuasaan atau kewibawaannya.
UU subversi mendapatkan pasangannya dalam doktrin stabilitas nasional. Mestinya doktrin itu, menurut kata-katanya, harus mencakup keamanan negara dan keamanan masyarakat, ketenangan pemerintah dan ketenangan rakyat. Sayang, dalam praktiknya hal ini tidak terjadi. Jadi rupa-rupanya yang dimaksud dengan stabilitas nasional adalah keamanan negara dan keselamatan pemerintah saja. Sebagai contoh, sebelum berakhirnya Orde Baru, setiap 100 mahasiswa yang mendatangi gedung MPR pastilah dianggap mengganggu stabilitas nasional. Sebaliknya, kalau kantor LBH dilempari batu, atau kalau kantor pusat PDI diserang oleh ratusan orang dan mengakibatkan banyak orang mati atau cedera berat, tidak ada pejabat keamanan yang berbicara tentang ancaman terhadap stabilitas nasional, seakan-akan lembaga-lembaga tersebut bukanlah bagian dari nasion Indonesia.
Secara ekonomi-politik Pemerintahan Soeharto amat menekankan stabilitas nasional karena hal ini menjadi prasyarat bagi perencanaan dan pembangunan ekonomi. Selain memberi ketenangan bekerja kepada pemerintah, stabilitas nasional itu juga akan menarik hati para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia tanpa banyak rasa waswas.
Secara sosial-politik penggunaan kekerasan fisik atau represi dipermudah oleh adanya Dwifungsi ABRI yang memberi kesempatan luas kepada militer di Indonesia untuk turut-serta dalam politik sipil dan birokrasi sipil. Dwifungsi tersebut telah membawa banyak akibat, baik secara politik praktis maupun secara budaya politik. Suatu akibat yang amat nyata adalah gejala yang dapat kita namakan kriminalisasi konflik politik, tetapi sebagai masalah kriminal yang harus diselesaikan dengan pendekatan keamanan, dan diatasi dengan kekerasan fisik.
Tidaklah mengherankan bahwa setiap potensi konflik politik (antara mahasiswa dan pemerintah, antara media massa dan pemerintah, antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, antara LSM dan birokrasi, atau antara sebuah kelompok komunal dengan pemerintah daerah) tidak ditanggapi sebagai masalah politik dalam demokrasi yang menghalalkan konflik tersebut, tetapi sebagai potensi kriminalitas yang mengancam keamanan negara.
***
KEKERASAN jenis kedua yang kurang transparan tetapi sama efektifnya adalah kekerasan struktural atau dominasi. Wujudnya terdapat dalam keadaan tidak berimbang antara berbagai kekuatan sosial (unequal exchange of social forces), baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang politik.
Dalam ekonomi ketidak-seimbangan itu terdapat antara penjual dan pembeli atau antara produsen dan konsumen. Wujud paling keras dari ketidakseimbangan ini adalah monopoli, yaitu keadaan di mana hanya terdapat satu penjual di pasar (dan karena itu dapat menentukan harga jual sesuka hati), dan monopsoni di mana hanya ada satu pembeli di pasar (dan karena itu dapat menentukan harga beli secara sewenang-wenang). Praktik monopoli (hak jual pada satu orang) atau oligopoli (hak jual pada beberapa orang saja) adalah sasaran yang diguncang oleh gerakan reformasi 1998. Sejauh menyangkut hubungan produsen dan konsumen, maka hak-hak konsumen di Indonesia sudah banyak disosialisasikan dan juga diadvokasi oleh badan-badan seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.
Dalam politik ketidakseimbangan itu lebih mencolok. Antara lain: ketidakseimbangan antara negara dan masyarakat, antara pemerintah dan rakyat, antara birokrasi dan warganegara, antara the ruling party dan partai politik lainnya, antara eksekutif dan legislatif, atau antara ABRI dan sipil. Sebagai contoh yang gampang, kalau para pelanggan listrik terlambat atau lalai membayar, maka pelanggan tersebut akan kena sanksi oleh PLN. Sebaliknya, kalau listrik sering mati dan banyak kerja (di komputer misalnya) yang dirugikan, maka pelanggan sangat sulit meminta ganti-rugi pada PLN. Demikian pun Golkar sebagai the ruling party dapat mempergunakan semua kekuasaannya dalam memerintah, tetapi partai lain tidak boleh melakukan oposisi politik. Atau ABRI yang dapat masuk ke dalam politik sipil dan birokrasi sipil, tetapi tidak akan terbayangkan hal yang sebaliknya.
Dominasi seperti tersebut di atas merupakan suatu kekerasan, karena struktur yang ada sudah membuat pihak yang satu lebih kuat, lebih unggul dan lebih enak (tanpa yang bersangkutan harus terlalu bersusah-payah untuk itu), sementara pihak lain berada dalam kedudukan lebih lemah, lebih terbelakang, dan lebih berat (sekalipun yang bersangkutan berusaha mati-matian untuk memperbaiki keadaannya). Pihak yang terakhir ini terpaksa oleh keadaan untuk menerima kondisinya yang tidak menguntungkan. Dalam masyarakat tradisional misalnya, kaum bangsawan, karena statusnya, dapat memaksakan banyak hal kepada wong cilik tanpa perlu melakukan ancaman atau represi. Ada suatu selisih kekuasaan (power differential) yang menyebabkan pihak yang lebih lemah harus terus-menerus menerima paksaan dari pihak yang lebih kuat, tanpa dapat melawan atau melakukan negosiasi untuk perbaikan keadaan.
***
KEKERASAN jenis ketiga adalah kekerasan kultural yang dapat kita namakan hegemoni. Yang terjadi di sini bukanlah ketidakseimbangan di antara kekuatan-kekuatan sosial yang ada, melainkan suatu ketidakseimbangan dalam tukar-menukar makna (unequal exchange of meaning). Pihak yang satu dianggap memproduksi makna sedangkan pihak lain hanya menjadi konsumennya.
Selama Orde Baru apa yang dikatakan oleh Presiden Soeharto tentang kebudayaan nasional misalnya, dianggap lebih benar dari apa pun yang ditulis oleh seorang antropolog berdasarkan penelitiannya. Demikian pun, apa yang diucapkannya tentang agama cenderung dianggap amat penting, sekalipun mantan presiden itu tidak pernah belajar teologi atau sosiologi agama. Terlebih lagi, kalau Presiden Soeharto berbicara tentang Pancasila, maka ucapannya didengar dengan khidmat bagaikan kebenaran. Orang lebih mempercayai apa yang dikatakan oleh Presiden Soeharto dari apa pun yang dikatakan oleh seorang ahli ilmu politik tentang Pancasila berdasarkan studi yang mendalam, atau apa pun yang dikatakan oleh seorang ahli filsafat yang melakukan refleksi sistematis tentang Pancasila.
Hegemoni adalah makna yang diterima bukan karena bobot kebenaran yang dikandungnya, tetapi oleh bobot kekuasaan dan kewibawaan yang mendukungnya. Dalam pendidikan di sekolah, para guru juga mempunyai semacam hegemoni. Apa yang mereka katakan lebih dipercaya oleh murid-muridnya dari apa yang dikatakan oleh orangtua murid. Hal ini terjadi tidak selalu karena ucapan guru lebih masuk akal atau lebih terbukti, tetapi karena para guru mempunyai kekuasaan atas diri anak-didiknya selama mereka belajar di sekolah tersebut.
***
KALAU diperhatikan secara teliti, ketiga jenis kekerasan itu mempunyai efek yang berbeda.
Represi menggunakan kekuatan fisik untuk memaksakan kehendak sendiri dan melanggar kebebasan kehendak orang lain. Di sini yang dilanggar adalah asas otonomi setiap individu. Orang dipaksa melakukan suatu tindakan yang menurut pertimbangannya sendiri tidak patut, atau bahkan tidak boleh dilakukan. Kalau seorang tahanan di bawah ancaman penganiayaan dipaksa menandatangani suatu kesaksian palsu maka di sana terjadi suatu represi secara harafiah.
Dominasi atau kekerasan struktural telah melembagakan ketimpangan dalam pembagian hak dan karena itu melanggar asas keadilan. Menurut teori demokrasi mana pun pemerintah sebagai eksekutif menjalankan kekuasaan, sedangkan rakyatlah yang mengawasi pemerintah dalam menjalankan kekuasaan itu. Selama Orde Baru yang terjadi adalah pemerintah menjalankan kekuasaan tanpa dapat dikontrol oleh rakyat, sedangkan rakyat yang tidak mempunyai kekuasaan apa pun dikontrol secara ketat oleh pemerintah.
Hegemoni atau kekerasan kultural mengakibatkan macetnya kebebasan berpikir dan kemungkinan berpendapat yang kemudian menyebabkan seseorang lebih suka menerima pendapat orang lain yang dianggapnya lebih berwibawa daripada mencoba mengajukan pendapat sendiri. Pemaksaan seakan-akan terjadi secara bebas dan sukarela, sehingga hegemoni sering dinamakan juga suatu pemaksaan liberal. Akan tetapi dengan itu dibatalkan seluruh proses pencerahan dan kita terperangkap kembali ke dalam selbstversculdete Unmuendigkeit atau ketidak-dewasaan yang dibikin sendiri, untuk mengutip ucapan yang amat masyhur dari filosof Pencerahan Immanuel Kant.
Adapun kekuatan dari tiga jenis kekerasan itu pun berbeda-beda. Represi dimungkinkan oleh kuasa-lebih (surplus power), dominasi lahir dari nilai-lebih (surplus value), sedangkan hegemoni ditopang oleh makna-lebih (surplus meaning).
***
PERLU dikatakan bahwa selama Orde baru negara mempunyai tiga sarana kekerasan tersebut. Berakhirnya Orde Baru langsung mengakhiri hegemoninya (yang terlihat dari berbagai kritik dan hujatan terhadap mantan Presiden Soeharto), sedangkan reformasi dengan tuntutan tanpa kompromi untuk menghapus KKN adalah sebuah berondongan ke arah semua jenis dominasi yang selama bertahun-tahun berjalan enak dan tanpa gangguan. Dalam pada itu kekuatan utama yang dimanfaatkan Orde Baru untuk represi yaitu ABRI menjadi jauh lebih berhati-hati karena berhadapan dengan pendapat umum yang menolak Dwifungsinya.
Ternyata setahun pemerintahan Presiden Habibie juga merupakan periode kekerasan. Kali ini bukan kekerasan oleh negara, dari negara, terhadap masyarakat, tetapi kekerasan dari dan oleh kelompok-kelompok masyarakat terhadap siapa saja, yang dianggap menjadi representasi kekerasan Orde Baru, baik represinya, baik dominasinya maupun hegemoninya.
Kekerasan komunal misalnya adalah reaksi yang muncul dalam bidang sosial-budaya, sebagai suatu bidang yang selama Orde Baru diremehkan sebagai faktor-faktor non-ekonomi dan yang konflik-konfliknya dipetieskan oleh doktrin SARA. Kekerasan komunal adalah semacam pembalasan terhadap hegemoni negara yang meremehkan nilai-nilai budaya atau memanfaatkannya untuk tujuan kekuasaan. Demonstrasi dan militansi para mahasiswa adalah reaksi terhadap dominasi negara terhadap civil society, melalui manipulasi hukum untuk kepentingan penguasa.
Rupanya dibutuhkan lebih banyak analisa tentang kekerasan sekarang ini dalam hubungan dengan kekerasan negara dari masa sebelumnya, daripada berbicara tentang kemungkinan bahaya-bahaya lain yang tidak relevan, yang mungkin bermaksud mengalihkan perhatian, tetapi dapat menimbulkan kesimpulan dan kepercayaan yang jauh dari kenyataan. Kesalahan analisa akan menimbulkan bencana fatal bahwa kita akhirnya memberikan obat sakit perut kepada masyarakat kita yang barangkali sedang menggigil karena demam berdarah.
*) Ignas Kleden, Sosiolog, tinggal di Jakarta.
https://jehovahsabaoth.wordpress.com/2011/09/07/kekerasan-orde-baru-dan-setahun-mei-kelabu/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar