Rabu, 03 Januari 2018

Kekerasan Orde Baru dan Setahun Mei Kelabu

Ignas Kleden *
jehovahsabaoth.wordpress.com

DI Jerman ada pepatah Alles neu macht der Mai (Mei membuat semuanya baru). Pepatah itu tentulah berhubung dengan perputaran musim, ketika bulan Mei membawa musim semi sampai ke puncaknya, saat daun-daun dan kembang baru muncul dengan tenaga gaib dari rahim Bumi yang lelap selama musim dingin.

Di Indonesia, bulan Mei tidak banyak membawa pembaharuan klimatologis. Tetapi Mei 1998 tak dapat dilupakan, karena membawa akhir sebuah cerita panjang yang penuh saat-saat pahit dan getir, dan membuka awal sebuah pembaharuan, sekalipun belum seperti diharapkan banyak orang. Bagaikan baru kemarin terjadinya, Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari tugas, menyerahkan kekuasaan kepada BJ Habibie. Tetapi 21 Mei 1998 rupanya bukanlah awal musim semi dalam politik Indonesia. Peralihan kekuasaan itu sudah didahului dan kemudian disusul oleh berbagai kekerasan di banyak kota, dari pulau ke pulau. Politik Indonesia sedang ditimpa kemarau panjang, dan setitik api ternyata dapat mengakibatkan kebakaran besar dan kecil.

Adalah suatu yang mungkin khas Soeharto bahwa dia yang telah mendapatkan dan memperbesar kekuasaannya dengan menggunakan berbagai kekerasan, harus mengakhirinya dengan epilog kekerasan panjang yang belum juga tamat hingga kini. Dengan itu hendak dikatakan bahwa apa pun alasannya, dan bagaimanapun penjelasannya, secara faktual Orde Baru tak dapat dibayangkan tanpa kekerasan. Secara gampangnya dapat dikatakan, kekerasan yang dilakukan oleh rezim Soeharto adalah kekerasan dari negara, oleh negara, untuk masyarakat. Akan diuraikan secara singkat bahwa masyarakat yang mengalami kekerasan itu adalah mereka yang mewakili kehidupan komunal dalam suatu komunitas budaya, dan mereka yang mewakili civil society dalam suatu masyarakat hukum. Selain itu, kekerasan Orde Baru telah mengalami suatu perkembangan canggih yang amat tinggi tarafnya, sehingga untuk mengakhirinya dibutuhkan suatu tingkat sophistication yang sama baiknya.

***

DALAM tipologi yang sederhana, kekerasan Orde Baru dapat dibedakan ke dalam tiga jenis.

Kekerasan jenis pertama yang paling mudah diamati adalah kekerasan fisik, yang secara teknis kita namakan saja represi, yaitu penggunaan kekuatan fisik berupa ancaman senjata, teror, intimidasi, penculikan atau penjara untuk memaksakan kehendak penguasa dan menekan dan membatasi kehendak pihak lain. Ternyata kekerasan fisik ini berfungsi secara efektif karena didukung oleh beberapa prasarana kelembagaan.

Secara legal kekerasan apa pun yang dilakukan oleh negara dapat dengan mudah dibenarkan oleh hukum, sejauh kekerasan itu diberlakukan pada sekelompok orang atau satu individu yang dianggap melakukan tindakan yang membahayakan negara. Seperti kita tahu, rumusan “membahayakan negara” atau “tindakan subversif” adalah suatu pengertian yang tidak pernah jelas isi dan batasnya. Pasal-pasal itu bagaikan karet busa yang selalu dapat menyerap apa saja yang dikehendaki penguasa untuk membungkam setiap tindakan atau pendapat politik yang dianggap merugikan kekuasaan atau kewibawaannya.

UU subversi mendapatkan pasangannya dalam doktrin stabilitas nasional. Mestinya doktrin itu, menurut kata-katanya, harus mencakup keamanan negara dan keamanan masyarakat, ketenangan pemerintah dan ketenangan rakyat. Sayang, dalam praktiknya hal ini tidak terjadi. Jadi rupa-rupanya yang dimaksud dengan stabilitas nasional adalah keamanan negara dan keselamatan pemerintah saja. Sebagai contoh, sebelum berakhirnya Orde Baru, setiap 100 mahasiswa yang mendatangi gedung MPR pastilah dianggap mengganggu stabilitas nasional. Sebaliknya, kalau kantor LBH dilempari batu, atau kalau kantor pusat PDI diserang oleh ratusan orang dan mengakibatkan banyak orang mati atau cedera berat, tidak ada pejabat keamanan yang berbicara tentang ancaman terhadap stabilitas nasional, seakan-akan lembaga-lembaga tersebut bukanlah bagian dari nasion Indonesia.

Secara ekonomi-politik Pemerintahan Soeharto amat menekankan stabilitas nasional karena hal ini menjadi prasyarat bagi perencanaan dan pembangunan ekonomi. Selain memberi ketenangan bekerja kepada pemerintah, stabilitas nasional itu juga akan menarik hati para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia tanpa banyak rasa waswas.

Secara sosial-politik penggunaan kekerasan fisik atau represi dipermudah oleh adanya Dwifungsi ABRI yang memberi kesempatan luas kepada militer di Indonesia untuk turut-serta dalam politik sipil dan birokrasi sipil. Dwifungsi tersebut telah membawa banyak akibat, baik secara politik praktis maupun secara budaya politik. Suatu akibat yang amat nyata adalah gejala yang dapat kita namakan kriminalisasi konflik politik, tetapi sebagai masalah kriminal yang harus diselesaikan dengan pendekatan keamanan, dan diatasi dengan kekerasan fisik.

Tidaklah mengherankan bahwa setiap potensi konflik politik (antara mahasiswa dan pemerintah, antara media massa dan pemerintah, antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, antara LSM dan birokrasi, atau antara sebuah kelompok komunal dengan pemerintah daerah) tidak ditanggapi sebagai masalah politik dalam demokrasi yang menghalalkan konflik tersebut, tetapi sebagai potensi kriminalitas yang mengancam keamanan negara.

***

KEKERASAN jenis kedua yang kurang transparan tetapi sama efektifnya adalah kekerasan struktural atau dominasi. Wujudnya terdapat dalam keadaan tidak berimbang antara berbagai kekuatan sosial (unequal exchange of social forces), baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang politik.

Dalam ekonomi ketidak-seimbangan itu terdapat antara penjual dan pembeli atau antara produsen dan konsumen. Wujud paling keras dari ketidakseimbangan ini adalah monopoli, yaitu keadaan di mana hanya terdapat satu penjual di pasar (dan karena itu dapat menentukan harga jual sesuka hati), dan monopsoni di mana hanya ada satu pembeli di pasar (dan karena itu dapat menentukan harga beli secara sewenang-wenang). Praktik monopoli (hak jual pada satu orang) atau oligopoli (hak jual pada beberapa orang saja) adalah sasaran yang diguncang oleh gerakan reformasi 1998. Sejauh menyangkut hubungan produsen dan konsumen, maka hak-hak konsumen di Indonesia sudah banyak disosialisasikan dan juga diadvokasi oleh badan-badan seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.

Dalam politik ketidakseimbangan itu lebih mencolok. Antara lain: ketidakseimbangan antara negara dan masyarakat, antara pemerintah dan rakyat, antara birokrasi dan warganegara, antara the ruling party dan partai politik lainnya, antara eksekutif dan legislatif, atau antara ABRI dan sipil. Sebagai contoh yang gampang, kalau para pelanggan listrik terlambat atau lalai membayar, maka pelanggan tersebut akan kena sanksi oleh PLN. Sebaliknya, kalau listrik sering mati dan banyak kerja (di komputer misalnya) yang dirugikan, maka pelanggan sangat sulit meminta ganti-rugi pada PLN. Demikian pun Golkar sebagai the ruling party dapat mempergunakan semua kekuasaannya dalam memerintah, tetapi partai lain tidak boleh melakukan oposisi politik. Atau ABRI yang dapat masuk ke dalam politik sipil dan birokrasi sipil, tetapi tidak akan terbayangkan hal yang sebaliknya.

Dominasi seperti tersebut di atas merupakan suatu kekerasan, karena struktur yang ada sudah membuat pihak yang satu lebih kuat, lebih unggul dan lebih enak (tanpa yang bersangkutan harus terlalu bersusah-payah untuk itu), sementara pihak lain berada dalam kedudukan lebih lemah, lebih terbelakang, dan lebih berat (sekalipun yang bersangkutan berusaha mati-matian untuk memperbaiki keadaannya). Pihak yang terakhir ini terpaksa oleh keadaan untuk menerima kondisinya yang tidak menguntungkan. Dalam masyarakat tradisional misalnya, kaum bangsawan, karena statusnya, dapat memaksakan banyak hal kepada wong cilik tanpa perlu melakukan ancaman atau represi. Ada suatu selisih kekuasaan (power differential) yang menyebabkan pihak yang lebih lemah harus terus-menerus menerima paksaan dari pihak yang lebih kuat, tanpa dapat melawan atau melakukan negosiasi untuk perbaikan keadaan.

***

KEKERASAN jenis ketiga adalah kekerasan kultural yang dapat kita namakan hegemoni. Yang terjadi di sini bukanlah ketidakseimbangan di antara kekuatan-kekuatan sosial yang ada, melainkan suatu ketidakseimbangan dalam tukar-menukar makna (unequal exchange of meaning). Pihak yang satu dianggap memproduksi makna sedangkan pihak lain hanya menjadi konsumennya.

Selama Orde Baru apa yang dikatakan oleh Presiden Soeharto tentang kebudayaan nasional misalnya, dianggap lebih benar dari apa pun yang ditulis oleh seorang antropolog berdasarkan penelitiannya. Demikian pun, apa yang diucapkannya tentang agama cenderung dianggap amat penting, sekalipun mantan presiden itu tidak pernah belajar teologi atau sosiologi agama. Terlebih lagi, kalau Presiden Soeharto berbicara tentang Pancasila, maka ucapannya didengar dengan khidmat bagaikan kebenaran. Orang lebih mempercayai apa yang dikatakan oleh Presiden Soeharto dari apa pun yang dikatakan oleh seorang ahli ilmu politik tentang Pancasila berdasarkan studi yang mendalam, atau apa pun yang dikatakan oleh seorang ahli filsafat yang melakukan refleksi sistematis tentang Pancasila.

Hegemoni adalah makna yang diterima bukan karena bobot kebenaran yang dikandungnya, tetapi oleh bobot kekuasaan dan kewibawaan yang mendukungnya. Dalam pendidikan di sekolah, para guru juga mempunyai semacam hegemoni. Apa yang mereka katakan lebih dipercaya oleh murid-muridnya dari apa yang dikatakan oleh orangtua murid. Hal ini terjadi tidak selalu karena ucapan guru lebih masuk akal atau lebih terbukti, tetapi karena para guru mempunyai kekuasaan atas diri anak-didiknya selama mereka belajar di sekolah tersebut.

***

KALAU diperhatikan secara teliti, ketiga jenis kekerasan itu mempunyai efek yang berbeda.

Represi menggunakan kekuatan fisik untuk memaksakan kehendak sendiri dan melanggar kebebasan kehendak orang lain. Di sini yang dilanggar adalah asas otonomi setiap individu. Orang dipaksa melakukan suatu tindakan yang menurut pertimbangannya sendiri tidak patut, atau bahkan tidak boleh dilakukan. Kalau seorang tahanan di bawah ancaman penganiayaan dipaksa menandatangani suatu kesaksian palsu maka di sana terjadi suatu represi secara harafiah.

Dominasi atau kekerasan struktural telah melembagakan ketimpangan dalam pembagian hak dan karena itu melanggar asas keadilan. Menurut teori demokrasi mana pun pemerintah sebagai eksekutif menjalankan kekuasaan, sedangkan rakyatlah yang mengawasi pemerintah dalam menjalankan kekuasaan itu. Selama Orde Baru yang terjadi adalah pemerintah menjalankan kekuasaan tanpa dapat dikontrol oleh rakyat, sedangkan rakyat yang tidak mempunyai kekuasaan apa pun dikontrol secara ketat oleh pemerintah.

Hegemoni atau kekerasan kultural mengakibatkan macetnya kebebasan berpikir dan kemungkinan berpendapat yang kemudian menyebabkan seseorang lebih suka menerima pendapat orang lain yang dianggapnya lebih berwibawa daripada mencoba mengajukan pendapat sendiri. Pemaksaan seakan-akan terjadi secara bebas dan sukarela, sehingga hegemoni sering dinamakan juga suatu pemaksaan liberal. Akan tetapi dengan itu dibatalkan seluruh proses pencerahan dan kita terperangkap kembali ke dalam selbstversculdete Unmuendigkeit atau ketidak-dewasaan yang dibikin sendiri, untuk mengutip ucapan yang amat masyhur dari filosof Pencerahan Immanuel Kant.

Adapun kekuatan dari tiga jenis kekerasan itu pun berbeda-beda. Represi dimungkinkan oleh kuasa-lebih (surplus power), dominasi lahir dari nilai-lebih (surplus value), sedangkan hegemoni ditopang oleh makna-lebih (surplus meaning).

***

PERLU dikatakan bahwa selama Orde baru negara mempunyai tiga sarana kekerasan tersebut. Berakhirnya Orde Baru langsung mengakhiri hegemoninya (yang terlihat dari berbagai kritik dan hujatan terhadap mantan Presiden Soeharto), sedangkan reformasi dengan tuntutan tanpa kompromi untuk menghapus KKN adalah sebuah berondongan ke arah semua jenis dominasi yang selama bertahun-tahun berjalan enak dan tanpa gangguan. Dalam pada itu kekuatan utama yang dimanfaatkan Orde Baru untuk represi yaitu ABRI menjadi jauh lebih berhati-hati karena berhadapan dengan pendapat umum yang menolak Dwifungsinya.

Ternyata setahun pemerintahan Presiden Habibie juga merupakan periode kekerasan. Kali ini bukan kekerasan oleh negara, dari negara, terhadap masyarakat, tetapi kekerasan dari dan oleh kelompok-kelompok masyarakat terhadap siapa saja, yang dianggap menjadi representasi kekerasan Orde Baru, baik represinya, baik dominasinya maupun hegemoninya.

Kekerasan komunal misalnya adalah reaksi yang muncul dalam bidang sosial-budaya, sebagai suatu bidang yang selama Orde Baru diremehkan sebagai faktor-faktor non-ekonomi dan yang konflik-konfliknya dipetieskan oleh doktrin SARA. Kekerasan komunal adalah semacam pembalasan terhadap hegemoni negara yang meremehkan nilai-nilai budaya atau memanfaatkannya untuk tujuan kekuasaan. Demonstrasi dan militansi para mahasiswa adalah reaksi terhadap dominasi negara terhadap civil society, melalui manipulasi hukum untuk kepentingan penguasa.

Rupanya dibutuhkan lebih banyak analisa tentang kekerasan sekarang ini dalam hubungan dengan kekerasan negara dari masa sebelumnya, daripada berbicara tentang kemungkinan bahaya-bahaya lain yang tidak relevan, yang mungkin bermaksud mengalihkan perhatian, tetapi dapat menimbulkan kesimpulan dan kepercayaan yang jauh dari kenyataan. Kesalahan analisa akan menimbulkan bencana fatal bahwa kita akhirnya memberikan obat sakit perut kepada masyarakat kita yang barangkali sedang menggigil karena demam berdarah.

*) Ignas Kleden, Sosiolog, tinggal di Jakarta.
https://jehovahsabaoth.wordpress.com/2011/09/07/kekerasan-orde-baru-dan-setahun-mei-kelabu/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae