Nurul Anam *
Minggu Pagi Yogyakarta
10 agustus 2016 Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY)
mengadakan sebuah pembelajaran menulis atau bisa juga dikatakan belajar
bersama, dengan mendatangkan pembicara-pembicara yang dianggap mumpuni di
bidangnya seperti: Joni Ariadinata, Evi Idawati, Muhidin M Dahlan, Muhammadun,
dan A Yusrianto Elga.
Acara tersebut kami sebut “kelas menulis” dan dalam acara
tersebut sengaja kami tidak pungut biaya alias gratis bagi siapa saja yang ingin
belajar menulis. Hal ini bukan semata-mata karena pondok kami yang notabenenya
adalah pondok menulis hingga kami mengampanyekan ayo menulis, tidak. Semua itu
berangkat dari kepedulian kami yang merasa gelisah melihat anak-anak muda yang
sudah mulai meninggalkan kegiatan menulis dan membaca.
Kami percaya bahwa dengan diadakannya kelas menulis ini,
bisa membuat anak-anak muda tertarik lagi terhadap dunia tulis menulis,
setidaknya mereka bisa berpikir ulang bahwa kita mempunyai tanggung jawab yang
besar terhadap negeri ini, di mana jika sebuah negeri sudah bobrok generasi
mudanya maka jangan harap negeri itu akan maju dan berkembang.
Meskipun banyak beredar tulisan-tulisan belakangan yang
mengkritik habis para penulis-penulis muda yang cepat bangga dengan prestasi
yang telah mereka dapat atau dengan di muatnya beberapa karyanya di koran dan
majalah hingga mereka merasa bangga dan sesekali meng up load di akun
Facebooknya supaya mendapatkan like dan pujian dari teman-temannya.
Namun kami tidak mempersoalkan masalah itu, yang penting bagi kami adalah
bagaimana mengajak anak-anak muda untuk kembali mencintai tulis menulis bukan
mengajak untuk pamer karya dan sebagainya seperti yang para kritikus (kritikus
Fesbook) wacanakan.
Jika anak-anak muda sudah mencintai tulis menulis maka
pada akhirnya mereka akan tau juga etika menjadi seorang penulis, bukankah para
penulis kita, sebut saja para penyair, cerpenis dan esais (yang sudah tua),
pada dasarnya adalah penulis yang juga suka terhadap puji-pujian, ketika satu
dua karyanya di muat atau mendapatkan penghargaan. Bukankah mereka juga bangga
terhadap penghargaan tersebut, kalau tidak percaya mari kita buktikan dengan
mengkritik habis-habisan karya mereka yang di muat dan yang mendapat
penghargaan, bahwa karya tersebut tidak layak dan sungguh sangat memalukan.
Mereka yang karyanya di muat tersebut tidak akan terima dan akan bilang bahwa
kita (yang mengkritik) bodoh. Oleh karena itu maka sama halnya dengan para
penulis muda yang di kritik habis-habisan hingga mereka berhenti menulis karena
beranggapan bahwa tulisannya jelek dan sebagainya, akhirnya mereka tidak
menulis lagi alias gantung pena.
Kalau begitu maka tidakkah kita telah melakukan hal yang
salah dengan mengkritik habis mereka (penulis pemula), bolehlah kita mengkritik
tapi bagaimana kritik itu yang membangun bukan yang menjerumuskan hingga
anak-anak muda yang baru belajar menulis tobat dan tidak mau menulis lagi.
Perlu kita garis bawahi bahwa dalam dunia tulis menulis
tidak ada Nabinya, maka tidak ada kata haram atau wajib. Jika tidak ada kata
haram dan wajib, maka jelas penulis muda tidak di wajibkan untuk menulis
tulisan yang bagus menurut mereka (kritikus facebook) dan tidak haram pula jika
tulisannya kurang berkenan di hati mereka (kritikus facebook). Yang musti kita
wacanakan adalah bagaimana anak-anak muda sekarang yang mulai asik dengan dunia
virtualnya atau yang oleh Yasraf Amir Piliang disebut sebagai dunia
hiperrealitas ini, mencintai kembali dunia tulis menulis, bukan bagaimana
membunuh rasa cinta mereka terhadap dunia literasi yang belakangan mulai
ditinggalkan.
Maka dari itu kami anak-anak muda dari selatan (kominitas
Kutub) mencoba membangkitkan rasa cinta yang mulai luntur itu, supaya tumbuh
kembali di hati anak-anak muda sekarang. Sebab guru kami (alm. Gus Zainal
Arifin Thoha) selalu berpesan agar selalu menulis dan menulis, sebab “aku
menulis maka aku ada” ungkapnya dalam salah satu buku beliau. Bukan hanya itu
namun kami (kominitas Kutub) juga beranggapan kalau dengan menulis berarti
secara tidak langsung kami telah melestarikan budaya literasi negeri ini. Jika
bukan generasi muda siapa lagi yang akan menjadi penerus dari penulis-penulis
kita yang sudah menua.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa yang tua akan pergi dan
akan diganti oleh yang muda. Sutardji Calsoum Bachri yang di nobatkan sebagai
bapak penyair negeri ini tidak mungkin bertahan sampai seratus tahun kedepan,
Gunawan Muhammad, Sapardi Djoko Damono, Hamsat Rangkuti, Umbu Landu paranggi
dll, semua akan pergi meninggalkan dunia ini pada waktunya, dan siapa lagi yang
akan mengganti mereka jika bukan anak-anak muda sekarang.
Dengan demikian, marilah para kritikus (kritikus facebook)
untuk kembali berpikir ulang tentang nasib generasi penulis kita kedepan bukan
bagaimana kita membunuhnya sampai mereka benar-benar insaf dan tidak mau
menulis lagi. Kiranya perlu kami sampaikan bahwa tulisan ini bukan semata-mata
pembelaan bagi kaum muda terutama kami (kominitas Kutub) yang notabenenya
adalah anak-anak muda yang masih aktif kuliah, namun jelas semua ini adalah
semacam ajakan bagaimana kita menggeliatkan kembali dunia tulis menulis di hati
anak muda sekarang, dan tanpa embel-embel apa pun, apalagi semacam balas
dendam.
*) Nurul Anam, Esais tinggal di Yogyakarta. Sekarang
aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar