Sabtu, 29 Oktober 2011

DAMPAK LICENTIA POETICA BERNAMA “KREDO PUISI” TERHADAP EKSISTENSI BAHASA

Hadi Napster
http://sastra-indonesia.com/

Pada tanggal 02 Oktober 2011 yang lalu, tepatnya pukul 20:08 WIB, di Grup Komunitas Bengkel Puisi Swadaya Mandiri (BPSM), terjadi satu interaksi sangat menarik dengan tema pembahasan “licentia poetica” dalam sebuah diskusi yang diawali oleh posting Dimas Arika Mihardja (DAM) melalui tulisan:

Jumat, 21 Oktober 2011

LELAKI BERSANDAR PADA ANGIN

Bambang kempling
http://sastra-indonesia.com/

Lorong menuju kamar itu, mengingatkannya pada kebisuan-kebisuan yang tidak sempat tertulis. Begitu banyak yang mendesak perlahan, termasuk pilihan-pilihan. Tetapi ada semacam kesadaran bahwa kata-kata yang menjelma begitu saja, tidak seharusnya berakhir sia-sia.

Hari lewat tengah malam, dengan sempoyongan dia masuki lorong sempit itu. Sebuah lorong melarat, dimana barangkali seluruh debunya telah terlebih dahulu mencatatkan peristiwa setiap hari yang dilalui menjadi satu tarikan abstraksi jalan hidup.

“Apakah masih ada kegembiraan?”desisnya, membaur dengan bau yang tertimbun oleh kepengapan udara kamar.

Masih begitu diingatnya, bagaimana mesti menyembunyikan keganjilan ketika lewat pada sebuah jalan kecil samping masjid; suara azan yang syahdu, juga bersimpangannya dengan orang-orang yang hendak berkunjung ke rumah Tuhan, dan tentang bagaimana dia secara tiba-tiba berlari menjauh. Ekpresi aneh segera tergambar dari setiap wajah mereka.

Begitu kencang larinya. Di depan kaca jendela sebuah ruang gedung dia berhenti. Bagaikan etalase bayang-bayang, di antara bayang-bayang itu, wajahnya berekspresi aneh bahkan lebih aneh dari mereka. Difokuskan perhatian pada warna matanya, “Ada yang hilang dari sorot mata ini!” katanya. Dikupilnya lumut pinggir got tumpuan pijakan kakinya, ditulis kata “Cuk!!” tepat menutupi bayangan kedua matanya.

“Heh! Kurang ajar, jadi sejak tadi kau mengintip aku sedang berganti pakaian hah!!?” tiba-tiba berseru seorang perempuan dari dalam.

Betapa terkejutnya dia. Dengan rasa heran yang berlebih, tanpa sengaja Dia justru menyusupkan fokus pandangnya menembus kaca jendela, mencari sumber suara. Sunguh satu kenaifan karena rasa bersalah dalam ketak-sengajaan. Sementara dari dalam, dengan kutang separoh dikenakan perempuan tadi semakin keras menghardik.

“Kurang ajar!! Pergi gendeng!!”

Dalam gerak reflek dia melompat menjauh, karena terlalu bernafsu menahan malu dan untuk segera menghindar, justru lompatannya mengarahkan moncong hidungnya mengenai sebuah pilar beton. Dia terjatuh dan berdarah.

“Mampus kau!!” sengit perempuan tadi.

Darah bening diusapnya dengan kerah baju, nafas dan keringat bersatu melawan pacuan degup jantung yang luka. Tapi sebagai laki-laki, masih tersembul juga kata dalam hati: “Ambooi…” Libido pun membawa khayal menuju taman bidadari dimana dialah sang kupu-kupu yang sedang mengangkasa, hinggap di setiap bunga mekar. Lalu seorang bidadari entah dari mana datangnya, tiba-tiba menyembul dari rerimbun bunga-bunga dan menangkapnya. Dia pasrah dalam belaian jari-jari tangan lembut itu. Dia pun pasrah dikecupi. Dan bibir mungilnya merasakan kenikmatan dari kasih sayang luar biasa. Bahkan ketika hendak dilepaskan, nafsu piciknya mengajak untuk berpura-pura terkulai di telapak tangan. Tiba-tiba ada ide untuk terbang lantas hinggap di setiap geraian rambut: menciumi helai demi helai dari pangkal sampai ujung. Maka sebagai kupu-kupu, dialah kupu-kupu paling bahagia dalam taman sorga yang tercipta dari khayalan.

*

Senyumnya masih mengembang, ketika klakson mobil dan umpatan sang sopir menghentaknya.

“Mau mati apa!?”

Mobil terus melaju dengan kepalan tangan dan longokan penuh kebencian sang sopir yang mengarah ke dia. Dalam waktu yang hampir bersamaan dari belakang sebuah motor melaju kencang, membalapnya lantas menyahut tangan sang sopir. Dari jauhan sepertinya ada sesuatu terjatuh ke jalan raya.

“Jambret!!!” teriak sang sopir.

Seorang tukang becak yang sedang mangkal di bawah pohon besar, segera bertindak menyelamatkan sesuatu yang terjatuh itu lalu mengayuh becaknya ke arah berlawanan. Dan sang sopir bertambah kesal,

“Bajingan!!” teriaknya semakin keras.

*

Hiruk-pikuk jalanan menghantarkannya ke sebuah peron stasiun kota. Lalu-lalang orang asing disikapi sebagai satu kemestian, sebagaimana sikap orang-orang yang berlalu-lalang itu terhadapnya: ‘Hidup di bumi yang sama dan tidak harus saling mengenal’. Ada sebagian yang menyapa, tapi dia terlalu asyik untuk bercengkrama dengan keengganannya.

“Apa lagi yang hendak kusaksikan?” desisnya, mengambang di antara lalu-lalang orang yang bergegas, dengan gerbong-gerbong kereta, dengan rel kereta, dengan pilar-pilar, dengan semua yang terlingkup dalam satu penyaksiannya.

Lengking dan deru kereta dari kejauhan merambat sampai di telinga berpuluh-puluh kepala yang secara tiba-tiba melongok. Sesampai kereta di depan mata, segera ditangkapnya wajah-wajah gembira untuk satu harapan pertemuan. Dia berjingkat dari kursi tunggu menuju pintu-pintu kereta, berjalan dari pintu ke pintu. Ada sesuatu yang ditunggu.

“Barangkali besok.” desisnya. Satu kewajaran dari satu harapan yang salah, kemudian Dia beranjak pergi meningalkan satu kesia-siaan.

*

Hari telah terlalu sore untuk dinikmati ketika sampai di sebuah kedai minuman. Bergelas-gelas arak dihabiskannya, seolah ada keinginan untuk melumatkan seluruh kekecewaannya di sebuah kedai dimana banyak orang tenggelam dalam kesombongan sepi, atau para pembual yang bergentayangan dengan ilmu yang belum selesai, tapi merasa berhak untuk membusungkan dada.

Begitulah. Sehari telah dilewatkan dengan diam dan curiga kepada jalan hidupnya, terhadap mimpi-mimpi, bahkan ada keingkaran terhadap doa dari secuil kepercayaan pada perburuan yang belum selesai. Sebagaimana mimpi bayang-bayang, ada yang hendak dipakukan dari kecurigaan-kecurigaan, bahwa sesekali dia juga ingin menciptakan bayang-bayang. tidak sebagaimana hidupnya kini, atau barangkali keberhakan atas pemujaan ciptaan telah dipupuskan oleh para filusuf terdahulu bahkan termasuk seniman-seniman besar yang telah terabadikan namanya di langit. Tapi obsesi tidak selalu sekedar utopi. Paling tidak begitulah kesimpulan sehari pengembaraan sebelum berakhir di bergelas-gelas minuman, sebelum berkabar pada debu-debu lantai kamar.

*

Dia baringkan capek di atas dipan teramat sederhana, “Apakah ini juga surga yang kucipta itu?” desisnya. Tiba-tiba dirasanya seluruh ruang berputar. Berputar – berputar membentuk sebuah pusaran teramat kuat untuk menyedot dirinya menjadi makhluk yang sangat kecil di tengah pendar-pendar meyilaukan. Dalam ketakberdayaan, dia sempat memicingkan mata mencari sumber putaran itu di langit kamar. “Nah…! sudah mulai..!” katanya. Akhirnya semacam nina bobo ‘tong edan’ memaksanya untuk terpejam dalam pusaran, dalam penjara detak weker di atas meja yang berpacu melawan jantungnya: semakin keras – semakin keras, bahkan telinga yang teramat capek tidak mampu untuk menyihirnya menjadi kebisuan. Dalam waktu yang hampir bersamaan, seperti ada yang mengaduk-aduk perutnya, dia muntah, setelah itu tertidur dalam siksa haus. Dalam desir angin dia menjelajah mimpi berkabut. Kegundahan menciutkan telanjang jalan. Semakin jauh, semakin jauh sukma terbang menjemput sosok bidadari.Di ujung jalan perempuan berparas bunga, melambai. Lekuk tubuhnya mempesona di balik rok transparan berumbai, dan sebagai lelaki dia menghampiri.

*

Udara dingin menusuki pori-pori kulit, sebagian tersedot nafasnya, dan dia terbangun dari mimpi yang belum selesai. Kepalanya pening, terasa ngilu di seluruh persendian. Sebelum beranjak disempatkannya mengingat-ingat mimpi yang belum selesai. Di atas meja ada setengah gelas air putih sisa kemarin, diambilnya sambil dalam hati mengumpat ketololannya, “Cuk! Kenapa tidak saya minum air ini tadi malam?” Disampingnya selembar kertas bertuliskan sajak yang belum selesai. Jendela masih tetap terbuka, bahkan selalu terbuka. Dibacanya keras-keras sajak itu.

“Cicak itu kawin sayang, sedang kita hanya berciuman.”

(Itu saja yang kuingat, ketika kita ciptakan dua bayangan di dinding

Dua makhluk hitam saling mendekap..)

“Penyair gendeng!!” suara seorang gadis dari luar, disusul longokan wajah dan senyum yang manis sekali.

“Maak..! Penyair kita sudah bangun, kopinya mana?

Tadi malam dia mabok lagi. Kumat, aduh… bau banget! Muntah ya? Masuk angin ya? Kasihan ndak ada yang ngerokin..!”

“Kopinya tuan…

Kopi manis hitam warnanya

Dalam cangkir berwarna merah

Dinda yang manis kemana perginya

Sampai tuan rinduuuu…sekali

Ha…ha…ha…” teriak seorang ibu dari dapur, disusul kelakar yang menggodanya untuk menjeput secangkir kopi seperti biasanya.

Sebentar suasana menjadi penuh keriangan, dan dia tiba-tiba merasa tercabut dari kesedihan pagi. Hiburan semacam itu kadang-kadang membuatnya betah untuk tinggal: Suatu rumah surealis ekpresif yang dipenuhi orang yang bermula dari keasingan hingga berlanjut menjadi ketidak-asingan dalam satu keluarga aneh, termasuk dia. Akhirnya suatu keberartian hidup bersama sangatlah baik bagi orang yang tenggelam dalam kemarahan panjang?

Pagi dengan pesona tungku dan segelas kopi membaur dengan kesejukan udara. Sesaat dicondongkan wajah menuju matahari. Kesyahduan mengalir di seluruh syaraf otaknya. Biru langit berselaput mendung tipis diperhatikannya dalam-dalam… dalam-dalam. Mendadak seperti ada yang menyedot dirinya menuju matahari, berjalan di atas awan sambil membacakan sajaknya yang belum selesai. Karena terlalu tenggelam dalam kegembiraan, kewaspadaannya tidak terkontrol dan tanpa disadari, tiba-tiba sebuah lubang awan memerosokkannya. Dia terjerembab, terpental melayang jatuh di atas rimbun belukar belantara yang terbakar. Dia mengaduh panjang:

“Sakiiiit…!! Pengembaraaku belumlah selesai sebab seuntai sajak telah kehilangan pesonanya bagi sekawanan burung …hanya sebatas bunga rahasia…bunga rahasia” sekeras-kerasnya dia mengaduh, mengaduh dan mengaduh. Panas menguliti kepalanya.

Rumah kecil di pinggir sungai kecil itu dalam waktu sekejap berkerumun banyak orang. Dari arah timur, seorang gadis cantik berbaju kuning tampak keheranan.

“Lho… kok baru datang?” sapa salah seorang di antara mereka.

“Ada apa?” tanyanya

“Tiba-tiba dia menyusupkan kepalanya ke tungku.”

“Sekarang di mana?”

“Rumah sakit.”

Gadis itu segera pergi menelusuri jejak air mata.

Pebruari 2004
____________________
*) Bambang Kempling lahir di Lamongan, 17 April 1967 dengan nama lengkap Bambang Purnomo Setyo. Menyelesaikan Pendidikan terakhir di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UMM tahun 1992. Semasa mahasiswa aktif di berbagai kegiatan berkesenian diantaranya Teater MELARAT, Kelompok Musik Seteman Ngobrol IQr.
Sekarang aktif di KOSTELA (KOMUNITAS SASTRA DAN TEATER LAMONGAN). Publikasi cerpen-cerpennya hanya terbatas di kalangan CANDRAKIRANA KOSTELA dan antologi cerpen pilihan “Pada Sebuah Alamat” oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unisda Lamongan. Sedangkan untuk puisi-puisinya bisa ditemui di Antologi Tunggalnya KATA SEBUAH SAJAK 2002, Majalah Indupati, Antologi Bersama Teman-teman KOSTELA “Rebana Kesunyian”, “Imajinasi Nama”, Antologi bersama “Permohonan Hijau” yang diterbitkan oleh Festival Seni Surabaya tahun 2003, “Bulan Merayap” (DKL 2004), “Lanskap Telunjuk” (DKL 2004), “Duka Atjeh Duka Bersama (DKJT 2005), dan tabloit Telunjuk.

Sisi Lain: Menembus Batas

Ardus M Sawega
Kompas, 12 Des 2010

APA yang hendak dicapai dari sebuah pameran seni rupa oleh ”nonperupa” yang selama ini lebih dikenal publik sebagai seniman atau intelektual? Mengundang kagum, sensasi, sekadar ramai-ramai atau lucu-lucuan? Lepas dari berbagai prasangka itu, kurator pameran seni rupa ”Sisi Lain” yang digelar di Galeri ISI Surakarta, 27 November-11 Desember 2010, punya argumentasi konkret mengapa 25 pesohor itu diboyong dalam satu pameran bersama.

Sederet nama berikut ini pasti dikenal bukan sebagai perupa. Sam Bimbo dan Leo Kristi, misalnya, selama ini lebih beken sebagai pemusik. Kalau Sam menjadi legenda di kancah musik pop, Leo adalah legenda penyanyi balada yang lagu-lagunya menggugah semangat cinta Tanah Air. Di luar urusan musik, Samsudin Dajat Hardjakusumah (68) adalah pelukis yang beberapa kali berpameran tunggal, apalagi dia menyandang gelar sarjana dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.

Adapun Leo Kristi (61) sejak muda menekuni seni lukis ketika kata-kata dan lirik lagu tak cukup menampung kegundahan batinnya. Dalam pameran ini, tiga karyanya dalam gaya abstrak-ekspresionistik memperlihatkan penguasaan teknis yang sempurna.

Di sini, orang boleh heran mendapati lukisan karya Putu Wijaya karena ia lebih dikenal sebagai sastrawan dan dramawan. Begitu pula pada Butet Kartaredjasa yang tersohor sebagai aktor yang luwes, baik di panggung maupun di film dan televisi. Padahal, ia pernah kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Yogyakarta. Karya-karya visualnya dengan tema satwa dan lingkungan menunjukkan jejak pendidikannya itu.

Jejak serupa kita temukan pada Djaduk Ferianto, adik Butet, yang dikenal sebagai pemusik kreatif. Juga Gotot Prakoso, kini pengajar di Institut Kesenian Jakarta, yang pernah mengenyam pendidikan di SMSR Yogyakarta.

Sedikit beda pada Lini Natalia Widhiasi, kini 46 tahun dan berprofesi sebagai psikolog. Orang sayup-sayup mengingatnya di tahun 1970-an sebagai ”pelukis cilik ajaib” yang sempat digadang-gadang oleh maestro Affandi. Pada karyanya, ”Hutan”, Lini masih memperlihatkan kekuatan drawing sekaligus imajinasinya yang absurd.

Multitalenta

Pameran ”Sisi Lain” berpretensi mengungkap potensi atau talenta yang dimiliki para budayawan dan intelektual di luar profesinya yang selama ini diketahui publik. Karya-karya visual mereka ini menjadi petunjuk akan eksistensi manusia yang multidimensi. Dimensi-dimensi itu sering kali ’terabaikan’ ketika hidup hanya mengenal identitas tunggal, terlebih pada zaman modern yang menuntut spesialisasi ini.

Menurut Mudji Sutrisno, manusia ada kalanya memerlukan ruang batin (inner space) untuk merenungkan dirinya sebagai sosok multidimensi. ”Tuhan mencipta manusia sebagai makhluk multidimensi,” ujarnya.

Kurator pameran, I Gusti Nengah Nurata, menjelaskan, banyak di antara seniman, budayawan, dan intelektual kita diam-diam menyimpan talenta di luar profesinya. Pilihan terhadap mereka untuk mengikuti pameran, katanya, bukan dinilai dari karyanya semata.

”Spirit yang ada pada Putu Wijaya, Suprapto Suryodarmo, Samar Gantang, Sam Bimbo, Wayan Sadra, KH Fuad, dan lain-lain dalam proses berkarya itulah yang utama. Itulah yang membedakan mereka dengan karya-karya seni rupa umumnya,” kata Nurata.

Estetika Nusantara

Ibarat menjelajah di belantara taman sari, pameran seni rupa lintas profesi ini menyuguhkan karya-karya nonperupa (profesional) yang kadang menimbulkan sensasi. Bahasa ungkap mereka otentik walau secara umum bisa digolongkan sebagai seni rupa modern. Ini bisa dipahami mengingat mereka adalah kaum terpelajar yang berkiprah dalam persoalan kekinian, tetapi beberapa amat menguasai teknik seni lukis modern.

Itu tercermin pada karya Tommy F Awuy yang sehari-hari pengajar filsafat. Pada ”Exit Permit”, ia secara subtil melukiskan bumi yang chaos, bahkan katastrop berupa pemanasan global, krisis ekonomi, politik, dan kekerasan fisik di mana-mana. Atau pada Restu Iman Sari yang lebih dikenal sebagai penari dan ahli lanskap.

Bahasa visual yang dipengaruhi tradisi dan kosmologi Hindu-Bali kita temukan pada drawing karya Samar Gantang yang dikenal sebagai penyair, serta komponis Wayan Sadra. Adapun Suprapto Suryodarmo (65) menggabungkan antara seni visual dan gerak meditasi dalam ”Sesaji Ruang Rupa”.

Nurata juga berpendapat, sekaranglah saatnya mengedepankan konsep estetika Nusantara. Ini mengingat kebudayaan Nusantara amat kaya, sedangkan penghayatan masyarakat akan nilai-nilai serta filosofi budayanya dilakukan secara khas. Sebagai contoh, Nurata menyebut sejumlah seniman Bali yang multitalenta di masa lampau, seperti I Gusti Nyoman Lempad, Ida Bagus Made Poleng, Ida Bagus Made Nadra, Anak Agung Gede Sobrat, dan sebagainya.

”Mereka itu ada yang menonjol sebagai pelukis atau pematung, penari, pengrawit, arsitek, spiritualis, dan sastrawan sekaligus, tetapi sehari-hari mereka juga petani di sawah,” katanya.

(Ardus M Sawega, Wartawan di Solo)
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/12/pameran-sisi-lain-menembus-batas.html

Pesona Sajak ”Karena Kalian Gunung, Kami pun Menjelma Jadi Angin”

Agus Sri Danardana
Riau Pos, 26 Desember 2010

SAJAK “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin” dimuat dalam Fragmen Waktu: Sajak Pilihan Riau Pos 2010 (Yayasan Sagang, 2010:27-29). Sajak itu (terdiri atas 9 bait) didedikasikan untuk rakyat Riau yang terus berjuang. Secara tekstual, sajak itu dapat diduga merupakan pernyataan sikap perlawanan yang dilakukan kami/angin atas keberadaan kalian/gunung. Sikap perlawanan itu muncul karena kami/angin sudah benar-benar merasa jengkel, kesal, dan bahkan muak terhadap perilaku kalian/gunung. Deskripsi lengkap sajak itu, lebih kurang, sebagai berikut.

Sesungguhnya kami sudah cukup bersabar meskipun sudah lama mengetahui bahwa gunung telah mendatangkan kegelapan (bait 1). Kami pun sudah lama mengetahui bahwa gunung telah menghancurkan emporium (bait 2), memamerkan kegarangan dan kerakusan (bait 3), serta tidak dapat berlaku adil (bait 4). Untuk mendukung tuduhannya itu, kami memperlihatkan berbagai peristiwa pedih dan tragis yang terjadi: inilah negeri tak bergunung tapi bermarwah/sejak dulu jadi ladang perburuan/tiap waktu terus dikepung/dari perbukitan hingga lautan/dari butiran pasir hingga hutan/dari pertambangan hingga lahan/dari minyak hingga perniagaan/apa lagi kini yang tersisa?//dah lama tudung periuk tak dinyanyikan/dah habis kain buruk menghapus tangisan/dah lama pesan perih disampaikan/dah habis pula segala ucapan/dah lama janji ditaburkan/dah habis pula kesabaran (bait 5 dan 6). Hal itu dilakukan, di samping sebagai bukti kerakusan dan ketamakan gunung, juga dapat menjadi pelegal (argumentasi) langkah-langkah yang diambilnya.

Begitulah, setelah menjabarkan semuanya itu, kami pun menyampaikan niatnya: meminta segala punya (bait 7), dengan sebuah ancaman metaforis: karena kalian gunung/kami pun menjelma jadi angin/sebab angin dapat tiupkan awan/dan awan akan turunkan hujan/hanya hujan luluhkan kalian (bait 8). Sambil mengacungkan kepalan (tangan) dan mengeluarkan teriakan ancaman: jangan tunggu amuk kami, kami pun kembali membuat pernyataan pelegal bahwa semuanya itu dilakukan atas nama harga diri yang disemangati oleh dua pepatah: sekali layar dikembangkan/tak mungkin surut lagi dan esa hilang dua terbilang/tak ‘kan melayu hilang di bumi (bait 9).

Fakhrunnas dan Kondisi Sosial Budaya Riau
Menurut Kuntowijoyo (1987:127), ada tiga peranan sastrawan dalam menciptakan karya sastra, yaitu menanggapi realitas (mode of comprehension), berkomunikasi dengan realitas (mode of communication), dan menciptakan kembali realitas (mode of creation). Dengan demikian, mempelajari karya sastra akan sampai pada taraf pemahaman kondisi sosial budaya suatu masyarakat karena karya sastra berakar pada suatu lingkungan sosial dan geografis tertentu (Hoggart dalam Haridas, 1986:79). Lewat karya sastra, dapat diamati pantulan tata nilai budaya yang dianut masyarakat dan kondisi sosial budaya yang melahirkan karya sastra tersebut, yang pada gilirannya karya sastra menyodorkan sejumlah ide atau konsep-konsep mengenai manusia dan lingkungannya. Pendapat yang sama juga dilontarkan Grebstein (dalam Damono, 1978:4) bahwa karya sastra tidak akan dapat dipahami selengkap-lengkapnya jika dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan/peradaban yang menghasilkannya. Sastra harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya karena setiap karya sastra merupakan hasil dari pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural.

Atas dasar itu, dalam sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin” (dan karya-karya Fakhrunnas lainnya) dapat diamati pantulan tata nilai, kondisi sosial budaya, serta gagasan-gagasan (ide) masyarakat Melayu (Riau). Fakhrunnas M.A. Jabbar (lahir di Tanjungbarulak, Kampar, 18 Januari 1959), sebagai pengarang dan putra Melayu (Riau) yang memiliki kepedulian tinggi atas keberadaan dan nasib puak Melayu, dengan demikian, dapat dipastikan tidak terbebas dari semua peristiwa dan perubahan kondisi sosial budaya yang terus terjadi dalam masyarakatnya itu.

Perihal keberadaan dan nasib orang Melayu (Riau) yang kalah dan terpinggirkan, sesungguhnya, bukanlah hal yang baru. Hampir semua sastrawan besar Riau (seperti Taufik Ikram Jamil, Rida K. Liamsi, Hang Kafrawi, Marhalim Zaini, Musa Ismail, M. Badri, dan Olyrinson) pernah dan bahkan sering menyuarakan hal itu dalam karya-karyanya. Begitu pula Fakhrunnas, sebagaimana telah dilansir oleh para pengamat, karya-karyanya banyak yang mempersoalkan hal itu.

Jika demikian, apa keistimewaan (pesona) sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin”? Jawabannya akan diuraikan berikut ini.
Dalam salah satu tulisannya, “Sebatang Ceri di Serambi: Perlawanan Kultural Orang Melayu” (dalam Krisis Sastra Riau, 2007:189-198), Maman S Mahayana mengatakan bahwa agak berbeda dengan sastrawan Melayu sezamannya, dalam diri Fakhrunnas, kita tidak merasakan adanya semangat menggelegak suara perlawanan dalam menggugat dikotomi pusat-daerah. Ia tak hanyut pada ingatan kolektif tentang keagungan puak Melayu. Ia tak menggugat pemerintah pusat (Jakarta) yang mengambil bahasaanya (bahasa Melayu) dan menguras harta kekayaan alamnya. Ia lebih memusatkan diri pada perilaku dan cara berpikir puaknya yang tidak dapat melepaskan diri dari sikap budaya tradisional, berikut mitos-mitosnya. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh Junaidi (Interpretasi Dunia Sastra, 2009:31—35). Dari salah satu tulisan Junaidi, “Derita Riau dalam Sajak Fakhrunnas”, itu dapat ditarik sebuah simpulan bahwa Fakhrunnas banyak membeberkan ketidakberdayaan orang Riau. Kalaupun terlihat ada usaha memprovokasi melawan kezaliman, provokasi itu disampaikan dengan sangat romantis.

Amatan Maman dan Junaidi itu tentu menjadi tidak benar jika diterapkan pada sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin”. Fakhrunnas, melalui sajak itu, justru memperlihatkan semangat perlawanan yang luar bisa dalam menggugat kezaliman. Ia tidak hanya menggugat dengan teriakan, tetapi juga dengan ancaman (tindakan). Di sinilah mungkin letak salah satu keistimewaan sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin”. Jika semua amatan itu benar, sajak itu sekaligus membuktikan bahwa Fakhrunnas telah berubah sikap dalam menanggapi dan berkomunikasi dengan realitas yang dihadapi masyarakatnya (Melayu Riau).

Keistimewaan lain yang dimiliki sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin” adalah bentuknya. Di samping memperlihatkan tiga peranan Fakhrunnas dalam menciptakannya (yaitu menanggapi realitas (mode of comprehension), berkomunikasi dengan realitas (mode of communication), dan menciptakan kembali realitas (mode of creation), sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin” juga memperlihatkan sebuah bangunan penuh simbol-simbol yang metaforis dan imajinatif.

Keterlibatan Fakhrunnas dalam menanggapi dan berkomunikasi dengan realitas yang dihadapi masyarakat Melayu (Riau) tereksplisitkan pada penggunaan kata ganti kami. Kata ganti orang pertama jamak itu sekaligus memperlihatkan keberpihakan Fakhrunnas. Ia secara tegas memosisikan dirinya di pihak orang-orang yang memberi dukungan kepada rakyat Riau yang terus berjuang melawan orang-orang yang disapa dengan kata ganti kalian.

Penggunaan simbol gunung (untuk kalian) dan angin (untuk kami) juga pantas mendapat perhatian. Tidak seperti biasanya (dalam kebanyakan karya sastra, gunung dan angin digunakan untuk melambangkan kemegahan/kewibawaan dan keenergisan/ kebersemangatan), gunung dan angin dalam sajak Fakhrunnas digunakan untuk melambangkan keangkuhan/kebebalan dan perlawanan/permusuhan. Dengan demikian, secara sederhana, judul sajak Fakhrunnas itu pun dapat dibaca: Karena kalian angkuh dan bebal, kami pun mengobarkan perlawanan dan permusuhan. Artinya, jika selama ini (melalui karya-karyanya) Fakhrunnas terkesan santun dan romantis, dalam sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin” ia terlihat lebih bertenaga. Betulkah demikian? Wallahu alam bissawab.***
_______________________
Agus Sri Danardana, Kepala Balai Bahasa Riau. Menulis esai dan kritik sastra di banyak media, dan telah dibukukan dalam beberapa buku. Tinggal di Pekanbaru
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/12/pesona-sajak-karena-kalian-gunung-kami.html

Apa Kabar Naskah Lakon Indonesia?

Idha Saraswati
Kompas, 17 Des 2010

PENULIS naskah lakon Indonesia masa kini didominasi orang-orang yang terikat dengan kelompok teater tertentu. Penulis naskah di luar kelompok teater tidak mendapat ruang sehingga karya mereka tidak terdengar. Benarkah?

Kondisi itu setidaknya dirasakan sejumlah penulis naskah di Yogyakarta. Heru Kesawa Murti, misalnya, menulis naskah untuk Teater Gandrik. Lalu, ada Joned Suryatmoko yang menulis untuk Teater Gardanalla atau Gunawan Maryanto yang menulis untuk Teater Garasi. Gunawan Maryanto menilai kondisi penulisan naskah lakon saat ini berbeda jauh apabila dibandingkan dengan era tahun 50-an hingga 60-an. Waktu itu, naskah lakon muncul di media-media sastra.

Maka, para penulis sastra yang tidak berhubungan dengan dunia teater pun rajin menulis naskah lakon. Penulisan naskah lakon menjadi marak. Naskah lakon menjadi kaya. Pegiat teater memiliki banyak pilihan. Berangkat dari situ, Gunawan bersama Joned Suryatmoko serta penggiat teater lainnya lalu menggelar acara bertajuk ”Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF)”. Kegiatan itu diharapkan bisa menciptakan ruang mediasi antara penulis naskah dan penggiat teater sehingga akan membangkitkan kembali gairah penulisan naskah di Indonesia.

Acara itu digelar di dua kota, yakni Yogyakarta (3-5 November dan 6 Desember) dan Jakarta (24-26 November). Pembacaan naskah yang menandai penutupan rangkaian acara IDRF dilakukan hari Senin (6/12) di auditorium Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta. Acara penutupan itu juga ditandai peluncuran empat jilid buku Antologi Drama Indonesia yang berisi naskah lakon Indonesia dari tahun 1895–2000.

Penonton dibuat terpingkal-pingkal oleh penampilan Teater Gandrik saat membacakan naskah Senja dengan Dua Kelelawar karya Kirdjomulyo. Sementara Teater Garasi membacakan naskah terjemahan berjudul Sari Jeli Almond karya penulis Jepang Wishing Chong.

Panggung

Di atas panggung, mereka benar-benar membaca dari buku naskah. Teater Garasi, misalnya, menampilkan tiga pembaca naskah yang bergaya kasual. Satu orang sebagai narator, satu orang sebagai karakter laki-laki, dan satu orang sebagai karakter perempuan.

Mereka berdialog dari kursi masing-masing. Hanya ada sedikit iringan musik, serta lampu kerlap kerlip di atas tumpukan kardus yang ditampilkan. Selebihnya, penonton dibiarkan membayangkan sendiri semua adegan yang mestinya terjadi pada malam Natal yang dingin itu: menuang sake, lapis demi lapis percakapan, tangis, serta pelukan.

Mengapa pembacaan naskah? Gunawan Maryanto selaku penata program IDRF menuturkan, membacakan naskah adalah cara yang paling sederhana untuk memublikasikan karya tersebut.

IDRF yang digelar kali pertama itu mengambil tema ”Melihat Kembali Drama Realis Indonesia”. Menurut Gunawan, tema tersebut dipilih karena sejarah penulisan naskah lakon di Indonesia diduga bermula dari realisme. Para penulis drama pada waktu itu masuk ke realisme karena ingin melepaskan diri dari tradisi lisan dalam pertunjukan serta melepaskan diri dari tema-tema yang dianggap tidak membumi karena tidak didasarkan pada kenyataan yang tengah berlangsung.

Maka, IDRF melulu diisi pembacaan naskah drama yang bergaya realis. Naskah-naskah tersebut dibacakan para penggiat teater di Yogyakarta dan Jakarta.

Ada sembilan naskah dibacakan, terdiri atas tiga naskah lakon Indonesia lama, tiga naskah lakon Indonesia baru, serta tiga naskah lakon terjemahan dari Asia. Mulanya, IDRF ingin menampilkan naskah Indonesia baru saja. Namun, akhirnya mereka sepakat membacakan karya lama dan terjemahan sebagai bahan pembanding bagi naskah-naskah baru.

Kesembilan naskah tersebut adalah Lelakon Raden Bei Surio Retno karya F Wiggers (1901), Citra karya Usmar Ismail (1943), Senja dengan Dua Kelelawar karya Kirdjomulyo (1957), Keok karya Ibed Surgana Yuga (2010), Kawan Tidur karya Hanna Fransisca (2010), Biar Kutulis Untukmu Sebuah Puisi Jelek yang Lain karya Andri Nur Latif (2010), Sari Jeli Almond karya Wishing Chong dari Jepang (2000), Loteng karya Yoji Sakate dari Jepang (2002), serta Dr Resureccion: Akan Menyembuhkan Bangsa karya Layeta P Bucoy dari Filiphina (2009).

Membangun jejaring IDRF digelar dengan optimisme bahwa minat menulis naskah lakon di Indonesia sesungguhnya masih besar. Minimnya media publikasilah yang membuat minat itu tidak tersalurkan. Dari mana optimisme itu muncul? Menurut Gunawan Maryanto, minat itu bisa dilihat dalam ajang sayembara penulisan naskah.

Festival penulisan naskah realis yang diselenggarakan Komunitas Salihara, misalnya, menerima tak kurang dari 200 naskah. ”Animo penulis naskah cukup besar,” katanya.

Sebagai permulaan, IDRF yang pertama ini menerima sekitar 20 naskah dari Yogyakarta, Jawa Timur, Jakarta, serta Lampung. Tiga naskah terpilih, yakni Keok, Kawan Tidur, dan Biar Kutulis Untukmu Sebuah Puisi Jelek yang Lain, dibacakan dalam IDRF. Jumlah naskah yang masuk mungkin akan terus bertambah pada IDRF berikutnya. Pimpinan Produksi IDRF Lusia Neti Cahyani mengatakan, dengan segala keterbatasan, panitia mendapat jaminan untuk kembali menggelar acara ini pada tahun 2011 dan 2012. IDRF ingin menjadi mediator yang mempertemukan para penulis naskah dengan penggiat teater. Pertemuan semacam itu diharapkan bisa memberi ruang bagi para penulis naskah lakon sehingga mereka punya alasan terus menulis.

Dengan begitu, penulisan naskah lakon Indonesia bisa kembali marak. ”Kami juga berharap bisa membangun jejaring dengan penulis naskah lain di luar negeri karena ternyata di beberapa negara acara seperti IDRF ini sudah berjalan. Jadi, akan lebih banyak naskah dari Indonesia bisa dibacakan di sana,” tutur Gunawan.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/12/festival-apa-kabar-naskah-lakon.html

Warna Melayu dalam Negeri Anyaman

Joni Lis Efendi
Riau Pos, 12 Des 2010

MENYEBUT “Melayu” pada dasarnya kita membicarakan tentang suatu ras yang memiliki karakter dan ciri-ciri fisik yang khas, terutama bentuk tubuh dan berkulit sawo matang. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Melayu merupakan hasil pencampuran antara ras Mongolia yang berkulit kuning, Dravisa yang berkulit hitam, dan Arian yang berkulit putih. Dalam pengertian ini, semua orang yang berkulit coklat (sawo matang) di seluruh Nusantara bisa digolongkan sebagai ras Melayu. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar berkulit sawo matang dapat dikelompokkan sebagai ras Melayu. Mereka tersebar di pulau-pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Oleh karena itu sering terdengar sebutan-sebutan Melayu Aceh, Melayu Riau, Melayu Batak, Melayu Bugis, Melayu Dayak, Melayu Ambon, dan sebagainya.

Melayu juga dapat diartikan sebagai suku bangsa. Oleh karena perkembangan sejarah dan perubahan politik, konsentrasi ras Melayu terbesar berada di negara-negara Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand dan Filipina. Dalam kesatuan bangsa di masing-masing negara, Melayu tidak dipandang sebagai ras tetapi sebagai sukubangsa. Populasi orang Melayu di gugusan kepulauan Asia Tenggara mencapai 500 juta jiwa. Sebuah populasi yang terbilang besar, yang seharusnya bisa menjadi garansi bagi eksistensi mereka terutama dalam pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa internasional.

Mengenai orang Melayu yang ada di Indonesia, diperkirakan mereka berasal dari daratan benua Asia mengikuti suatu gelombang migrasi yang berlangsung pertama kali pada sekitar 2500-1500 SM. Gelombang migrasi ini datang ke Indonesia sebagian melalui Semenanjung Melayu masuk ke Sumatera, Kalimantan, Jawa; dan lainnya melalui Filipina masuk ke Sulawesi. Para migran ini disebut kelompok Melayu Tua (Proto Melayu).

Gelombang migrasi berikutnya dari daratan Asia yang juga melalui Semenanjung Melayu dan Filipina disebut Melayu Muda (Deutero Melayu). Ini terjadi sekitar 300 SM. Sukubangsa yang termasuk Melayu Muda ini, antara lain orang Aceh, Tamiang, Melayu Deli, Melayu Riau, Minangkabau, Melayu Jambi, orang Penghulu, Melayu Bengkulu, Palembang, Melayu Pontianak, Melayu Belitong, Kutai, Berau, Minahasa, Bugis, Makassar, Bali, Sasak dan lain-lain. Beberapa suku bangsa lainnya yang juga masih mengidentifikasikan diri sebagai “orang Melayu”, adalah Melayu Biliton, Melayu Betawi, dan sebagainya.

Orang Melayu menetapkan identitas kemelayuannya dengan tiga ciri pokok, yaitu berbahasa Melayu, beradat-istiadat Melayu, dan beragama Islam. Melayu identik dengan Islam, menjadi orang Melayu berarti menjadi penganut Islam, dan menjadi Islam berarti sekaligus menjadi Melayu. Dan sebaliknya, keluar dari agama Islam berarti keluar dari Melayu dan keluar dari Melayu berarti keluar dari Islam. Slogan ini demikian mengakar di kalangan masyarakat Melayu, sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam niscaya dengan sendirinya akan banyak melandasi perumusan nilai-nilai kehidupan dan perilaku masyarakat Melayu, tak terkecuali dalam mengekspresikan gagasan-gagasan tentang politik, ekonomi, dan kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari.

Kembali ke judul tulisan ini, warna Melayu sangat terasa ketika membaca Negeri Anyaman (NA), buku kumpulan cerpen pilihan Riau Pos 2010. Penulis menemukan setidaknya ada 10 cerpen yang secara langsung mengambil ranah kreatif penulisannya berlatar Melayu. Penulis mendasarkan pengelompokkan ini dari ciri khas penulisan yang menyandingkan unsur-unsur Melayu di dalamnya, seperti penggunaan dialek Melayu, tokoh cerita orang Melayu, dan daerah serta tempat terjadinya peristiwa di ranah Melayu.

Dalam memudahkan pembacaannya, penulis mengurutkan ulasan secara sistematis dari cerpen pangkal sampai ujung. Karena masing-masing cerita memiliki kedalaman yang butuh “stamina” kata-kata untuk mengulitinya. Sehingga agak lebih bijaknya jika hanya mengupas topik sentral dari masing-masing cerpen tersebut lalu mengapungkannya sebuah bentuk dimensi dari salah satu aspek Melayu.

Pembacaan pertama terhadap cerpen “Kepala”, yang ditulis Ahmad Ijazi H. Cerpen ini dengan jelas menyuguhkan tentang akibat buruk mencuri. Orang Melayu, sangat berpantang mencuri. Apapun alasannya, mencuri tidak dibenarkan karena itu termasuk perbuatan dosa yang dilarang agama. Namun karena adanya kesempatan, Zulman (tokoh cerita) mencuri anting-anting emas. Muasal anting-anting emas yang dicurinya itu dari kepala seorang wanita terbungkus plastik yang teronggok di pintu rumahnya.

Awalnya Zulman takut dan panik membuka bungkusan yang berisi kepala itu. Tapi setelah ditelinya baik-baik, ada anting-anting emas yang berjuntai di telinga kepala itu. Tak perlu menunggu lama, Zulman mencopot anting-anting itu lalu memasukkannya ke dalam saku celana jins. Dia pun pergi ke ladang hendak menguburkan kepala wanita itu. Ketika dia sampai di rumah, orang-orang ramai mengerumuni rumahnya. Istrinya mendapati mayat tanpa kepala di kolong rumahnya. Polisi pun memeriksanya dan menemukan anting-anting emas dalam saku celananya. Zulman akhirnya ditangkap.

Setelah membaca cerpen ini, mencuri bukanlah tabiat orang Melayu dan itu adalah perbuatan yang tidak terpuji. “Tangan mencincang, bahu memikul,” adalah pepatah yang benar adanya. Konsekuensi dari perbuatan ini akan mencelakan diri si pelaku sendiri. Kejujuran adalah karakter mulia yang dimiliki oleh orang Melayu, yang sayangnya saat ini mulai mengalami pengikisan. Dalih mereka mencuri karena faktor kemiskinan untuk bakan anak bini tidak bisa dibenarkan dalam nilai-nilai Melayu.

Pembincangan mengenai asal-usul orang Melayu dapat kita jumpai dari cerpen “Kampung Anyaman” (KA) karya Benny Arnas. Cerpen ini merangkai cerita tentang orang-orang Melayu yang sangat suka menganyam. Bahkan, kelihaian menganyam seakan-akan mengalir saja dalam diri orang-orang Melayu, sama status mereka sebuah orang Melayu yang tidak bersusah memperjuangkannya, karena mereka sudah mendapat status orang Melayu sejak tangis pertama mereka pecah di dunia ini.

Sejatinya, kau tak tahu bagaimana kau demikian lihai melipat-kunci bilah, daun dan temali. Kau tak tahu dari mana datangnya kecakapan itu, layaknya tak tahu (atau memang tak pernah ingin tahu), bagaimana kau mengonggok di tanah ini (KA, hal. 15).

KA juga memaparkan tentang sejarah orang Melayu, yang kisah tentang mereka lebih mirip seperti dongeng. “Sejatinya, asal orang Melayu seperti asal orang-orang lain. Dari dongeng.” (KA, hal 18). Tentang silsilah orang Melayu dapat dibaca lebih lanjut dari halaman 19-20. Semua runtutan silsilah tentang orang Melayu memiliki keterikatan historis dan nilai-nilai Islam, yang mengantikan agama Hindu dan Budha yang dianut oleh generasi Melayu terdahulu. Perikatan ini mengalami kemunduran sejak penjajah memancangkan kukuh penjajahan di Nusantara, yang memisahkan Semenanjung Malaya dan Singgapura dengan Indonesia.

Saat membaca KA, kita menemukan adanya pergeseran nilai yang dianut oleh orang Melayu sekarang. Dalam pendangan orang Melayu, sangat berpantang istri durhaka kepada suaminya, “menjadi istri tak usah berlebihan tunduk pada laki (suami)” (KA hal. 16). Walau si istri menyadari bahwa untuk sampai ke surga, dia harus mendapat keridhaan suaminya, baik selagi hidup di dunia maupun setelah mati kelak. “Laki tetaplah imam kita untuk pergi ke taman langit” (KA hal. 16). Para istri tahu benar bahwa mereka harus taat kepada suami. Namun karena sifat merasa lebih hebat (baik dari penghasilan, ilmu, gelar, status keluarga, dll), sering melihat suaminya sebelah mata.

Membaca cerpen “Aku dan Istriku Terpaksa Membunuh” (AdITM), yang ditulis Eddy Akhmad RM, mengajak kita untuk merenung tentang hakikat sebuah pernikahan. Lazaminya sebuah pernikahan, yang tentunya kedua pasangan ingin sama-sama mengecap kebahagian dan kehangatan cinta. Namun tidak dengan suami istri ini yang hidup bersama dalam bayang-bayang masa lalu. Si istri selalu dihantui oleh ayahnya, yang lama meninggal sehingga tidak bisa merestui pernikahan mereka. Sedangkan suaminya, menikahinya tanpa restu ayahnya. Karena si ayah tidak suka bermenantu dengan seorang wanita yang tidak jelas asal usulnya.

Pengalaman pahit masa lalu itulah yang menyebabkan si istri takut hamil dan mempunyai anak. Dia tidak mau nanti anaknya itu tumbuh tidak normal, karena membayangkan suaminya akan bertabiat buruk seperti ayahnya. Namun dengan kesabaran dan ketulusan cinta, si suami akhirnya mampu meyakinkan istrinya bahwa dia sanggup menjadi ayah yang baik bagi anak mereka. Dalam kehidupan orang Melayu, pernikahan adalah sarana yang disahkan negara dan dihalalkan agama untuk mendapat keturunan. Namun tidak sedikit, para orang tua yang justru menelantarkan, menyiksa dan melecehkan anak-anaknya sendiri. Kekerasan fisik dan mental terhadap anak tidak bisa dibenarkan dalam nilai-nilai yang diyakini oleh orang Melayu. Tapi ini masih saja terjadi.

Cerpen “Burung Walet” yang ditulis Ellyan Katan, bercerita tentang kerinduan yang mendalam dari seorang anak rantau, Aslan, terhadap kampung halamannya. Pengalaman traumatik, pernah ditolak oleh ayah dari gadis pujaan hatinya, yang meragukan langkah kakinya untuk mengijak kembali tanah halaman rumahnya, yang sudah 7 tahun ditinggalkan. Deraan kerinduan itu dipersonifikasikan dengan kedatangan seekor burung walet yang acap menyinggahi kamar kosnya. Pergulatan batin tokoh Aslan adalah suatu yang alami berkecamuk dalam setiap anak rantau, yang rindu dengan kampung halamannya. Namun segores pengalaman tak sedap di kampung halaman terkadang menjadi karang yang menghalangi badan berbalik pulang. Pada akhirnya pertentangan batin itu justru menyebabkan dirinya gelisah dan terus didera perasaan rindu yang membuncah. Bagaimanapun, seorang anak Melayu perantauan pasti memiliki keinginan untuk kembali. Sama seperti elang yang terbang membubung tinggi di langit biru, suatu saat ia pasti ingin untuk kembali ke sarangnya.

Cerpen yang ditulis Fakhrunnas MA Jabbar, “Semokel”, adalah isu yang selalu aktual yang dihadapi oleh orang-orang Melayu, terkhusus yang ada dalam cerpen ini tentang Melayu Riau daratan. Isu tentang lingkungan hidup, terutama kerusakan hutan tidak bisa dipisahkan dari penduduk tempatan, yang halaman belakang rumah mereka adalah hutan belantara. Namun tidak kini, hutan-hutan perawan itu telah dijarah dan dibinasakan mesin-mesin chainsaw. Umang tokoh cerita adalah tetua kampung yang dulunya bekas semokel dan pembalak hutan. Semokel adalah penyelundupan tradisional lintas batas, yang menjual tual-tual kayu hasil balakan hutan dari Tanjung Kembar ke luar negeri, bahkan sampai ke Cina dan Jepang.

Namun tidak demikian setelah zaman berubah dan pemimpin di negeri ini berganti. Penebangan dan pembalakan liar merajalela. Hutan dibabat sampai punah ranah, lingkungan rusak dan dunia pun mengecam pembalakan liar di Tanjung Kembar. Sebagai tokoh mantan pembalak dan semokel, Umang dimintai keterangan, sempat ditahan seminggu lalu dipersidangkan. Walau akhirnya dia dibebaskan oleh hakim dari segala tuntutan hukum karena terbukti tidak bersalah. Namun dari lubuk hatinya, Umang menangis melihat hutan kampungnya habis dibalak.

Walaupun orang-orang Melayu pedalaman, seperti Umang, menebangi hutan tapi mereka tetap arif dengan tidak menebangi hutan larangan, yang mereka yakini berpenghuni (binatang langkah yang dilindungi) dan menjaga persediaan air, rotan, damar dan madu yang mendukung kehidupan orang-orang kampung. Semua itu, mereka lakukan demi makan anak istri. Sekarang orang menebang hutan bukan untuk segantang dua gantang beras, tapi untuk menumpuk-numpuk kekayaan, yang sampai tujuh keturunan tidak habis dimakan. Cerpen ini cukup berhasil memberi pencerahan dan penyadaran kepada kita, bahwa orang-orang kampung itu bukan biang keladi kerusakan hutan di Tanjung Kembar, semua itu ulah tauke pemilik modal di pusat sana.

Tabiat orang Melayu kalau keinginannya tidak terturuti adalah dengan merajuk. Inilah agaknya yang menjadi ide awal bagi Jafri Al Malay untuk menulis cerpen “Rajuk”. Diceritakan tentang sosok “aku”, yang waktu muda belia dulu suka merajuk kalau keinginannya tidak terpenuhi. Pernah ebah dan emak, melarangnya bergabung dengan grup Sandiwara Bangsawan. Namun karena kekerasan hatinya, akhirnya abah dan emak meluluskan keinginannya. Akhirnya si “aku” bergabung dengan grup Sandiwara Bengsawan dan sudah tidak terhitung kali mengadakan penampilan sandiwara. Sampai akhinya ia berhasil menjadi pemimpin grup tersebut dan imam (sutradara).

Setelah menginjak usia senja, gairah berkesenian si “aku” kembali menggelora ketika terbaca kabar di koran bahwa di kotanya sudah berdiri sebuah bangunan teater yang teramat megah. Keinginan kuatnya untuk kembali naik panggung mendapat pertentangan dari anak kandungnya, yang menganggapnya sudah terlalu tua untuk memainkan Sandiwara Bangsawan. Si “aku” kembali merajuk. Rajuknya kali ini tidak bisa diobati sampai dia benar-benar tampil di gedung seni pertunjukan yang megah itu. Dengan bantuan anak tetangganya, Iwan, si “aku” mendatangi gedung pertunjukan itu. Namun alangkah terkejutnya dia ketika mendapati gedung yang besar dan megah itu kosong melompong, tidak satu pun seniman yang dijumpainya di sana. Dengan memendam kekesalan, dia kembali pulang. Rajuknya kali ini tidak bisa terobati, malah berujung dengan kekecewaan.

Cerpen “Malam Tergelap” yang ditulis Mohd Amin MS, menyuguhkan tentang sebuah realita yang dihadapi orang-orang Melayu saat ini. Tokoh Kasan, menjadi gundah gulana karena ulah PLN yang lebih suka matinya ketimbang hidup. Padahal malam itu jadwalnya liga Inggris, dan dia sangat menggebu untuk melihat tim kesayangannya Manchester United (MU) berlaga. Tapi PLN mati sehingga teve di rumahnya tidak bisa menyala. Akhirnya dia putuskan untuk melihat ke rumah sahabatnya, yang kebetulan punya aki. Namun di tengah jalan, Kasan berpapasan dengan Pak RT, yang justru mengajaknya ke pos ronda. Dengan mencari kesempatan, akhirnya Kasan berhasil juga sampai ke rumah sahabatnya. Tapi sayangnya, pertandingan bola telah usai. Kasan sangat kecewa dan seketika itu sakit jantungnya kambuh, yang mengakhiri nyawanya.

Kemajuan zaman di satu sisi dapat menghadirkan kesenangan dan kenyamanan hidup. Namun justru melenakan mereka dari akar-akar budaya yang sudah mengakar generasi demi generasi di tengah-tengah kehidupan mereka. Tersebutlah ketika PLN masuk kampung mereka sejak 6 bulan lalu, orang-orang kampung itu seketika tahu tentang dunia luar, hiburan, Indonesian Idol, gosip-gosip artis, dan liga Inggris. Orang-orang kampung terkagum-kagum dengan benda ajaib kota bersegi itu yang menghadirkan dunia yang benar-benar baru bagi mereka. Bahkan, para istri di kampung itu mulai ikut-ikutan ngelunjak dan berani beradu mulut (sampai membentak) suami, menirukan apa yang mereka lihat dari tayangan sinetron Suami-suami Takut Istri. Cerpen ini menyuguhkan sesuatu perubahan tata nilai yang terjadi di tengah masyarakat Melayu saat ini. Sebuah teknik penyajian yang apik.

Cerpen “Orang Aneh: Menunggu Setitik Cahaya” yang ditulis Musa Ismail berkisah tentang tokoh yang lebih memilih menjaga kebersihan hatinya ketimbang mengotorinya dengan perkara-perkara dunia yang dalam pandangannya adalah sampah. Namun tidak dengan sahabatnya Sumarta yang selalu menunggu-nunggu kesempatan untuk bisa mendapatkan jabatan yang lebih tinggi. Tokoh si “aku” dicap aneh oleh rekan-rekan kerjanya karena menolak sebuah tawaran “basah” yang sangat menggiurkan. Alasan tokoh “aku” menolaknya karena tidak ingin mengotori hatinya.

Berbeda dengan Sumatra, yang walau sudah memiliki jabatan hebat di kantor” tetap saja mencari job luar dengan menjadi tim sukses salah seorang calon bupati yang ikut pilkada. Sumatra sangat lihai mengambil hati cabup itu, akhirnya dia mendapatkan apa yang diinginkannya setelah berhasil mengantarkan calon tersebut menang pilkada. Justru tokoh “aku” melihat kelakukan Sumarta itu yang aneh, yang mau menjadi penjilat demi mengejar kesenangan dunia yang hanya sesaat itu.

Sebuah ironi dihadirkan oleh Sobirin Zaini dalam cerpen “Akhir Riwayat Biola Tua”. Cerpen ini bertutur tentang tokoh “aku” yang berniat ingin belajar menggesek biola dengan Wak Sandung, lelaki tua pemain biola yang satu-satunya mereka hidup di kampungnya. Sudah sekian lama keinginan itu hanya terpendam dalam dadanya, inilah saatnya dia ingin belajar biola. Jauh-jauh dari kota tokoh “aku” menjumpai Wak Sandung untuk meluakka keinginannya itu. Namun hanya kekecewaan yang dia dapati setelah mengetahui dari mulut Wak Sandung sendiri bahwa biola satu-satunya itu telah dijualnya untuk membeli beras. Wak Sandung merasa biola itu tidak penting lagi dan tidak sanggup untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari. Begitulah nasib para seniman dalam usia senjanya, dulu pernah ada tapi kini setelah renta tak dianggap lagi.

Zainul Ikhwan mengajak kita melihat sebuah realita yang terpampang jelas dalam cerpennya “Kubur Terendam”. Pembangunan tidak selamanya membawa kesejahteraan bagi penduduk di sekitarnya. Malah justru mendatangkan bencana. Sebut saja dalam cerpen ini tentang pembangunan waduk Kotohilang, yang nantinya bisa menggerakkan turbin pembangkit listri yang dapat mengalirkan 114MW listrik ke segenap penjuru pulau. Namun apa lacur, proyek pembangunan itu justru menenggelamkan 14 kampung termasuk kuburan emak si tokoh cerita. Orang-orang kampungnya diusir paksa ke daerah pemukiman baru di tepi hutan, tidak ada jalan, tidak ada penerangan listrik. Jejak kampungnya dulu, yang sudah ditenggelamkan air waduk kini menjadi objek wisata. Sebuah ironi dari sebuah kata yang bernama “pembangunan”.***
____________________
Joni Lis Efendi, penikmat sastra, penulis buku, mantan Ketua FLP Riau. Berdomisili di Pekanbaru.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/12/warna-melayu-dalam-negeri-anyaman.html

Sapardi Mempertanyakan Kebenaran

Sapardi Djoko Damono
Pewawancara: Ilham Khoiri
Kompas, 12 Des 2010

SAPARDI Djoko Damono adalah sosok sastrawan Indonesia yang lengkap. Dia seorang penyair, pengamat sastra, dan pendidik yang tekun—bahkan sempat menjadi birokrat kampus. Lebih menarik lagi, hingga usianya yang ke-70 tahun, lelaki ini tetap aktif berkarya.

Sebagai penyair, Sapardi lebih dikenal lewat puisi-puisi yang bercorak liris. Puisinya dianggap mewakili pengelolaan pikiran dan perasaan yang mendalam. Diksinya sederhana, tetapi tajam; rumit sekaligus halus.

Hingga kini, karya-karya semacam itu terus lahir darinya. ”Saya terus menulis. Kalau tidak menulis, sepertinya ada sesuatu yang hilang. Praktis tiap hari saya di depan komputer, pokoknya tak-tuk, tak-tuk…,” katanya seraya memeragakan orang mengetik.

Kami ngobrol santai di rumahnya yang bersahaja di Kompleks Perumahan Dosen Universitas Indonesia (UI) di Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, pertengahan November lalu. Malam itu gerimis. Udara lembab dari Setu Gintung di belakang rumahnya sesekali menyelinap masuk lewat jendela.

Seniman itu tampak segar dan bersemangat. Maklum saja, tak banyak sastrawan yang dikaruniai umur panjang dan tetap punya energi besar untuk berkarya. Dia sempat menjalani operasi katarak di matanya beberapa waktu lalu, tetapi kini sudah sembuh.

Setiap hari lelaki ini biasa bangun subuh. Setelah sarapan, kerap kali dengan masak sendiri, dia minum kopi. Kalau ada jadwal mengajar, seperti di UI atau Institut Kesenian Jakarta, dia segera berangkat ke kampus. Kalau tidak, dia kerap memilih tinggal di rumah.

”Saya membuat puisi, kadang menulis cerita, atau menerjemahkan teks sastra Inggris,” katanya. Sapardi menunjukkan puisi terakhirnya, Sajak dalam Sembilan Bagian, yang terbit di Kompas, pekan sebelumnya. Baginya, menulis adalah pekerjaan yang tak kenal pensiun.

Kapan pertama kali menulis puisi?

Saya pertama kali membuat puisi tahun 1957 saat umur saya 17 tahun. Tapi, puisi saya baru diterbitkan tahun 1958 di Majalah Mimbar Indonesia. Setelah itu sampai sekarang saya terus menulis puisi.

Saat kuliah di Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta (tahun 1958-1964), saya berlatih sandiwara, menjadi sutradara, dan bergabung dengan kelompok WS Rendra. Kadang, saya juga menerjemahkan drama dari sastra Inggris.

Bagaimana proses kreatif selanjutnya?

Saya hijrah ke Jakarta tahun 1973 untuk menjadi redaktur Majalah Horison dan mengajar sastra di UI. Bagi saya, masa itu paling kreatif. Sastra Indonesia bangkit dengan banyak inovasi atau eksperimen.

Buku kumpulan puisi saya pertama, duka-Mu Abadi, terbit tahun 1969. Sejak awal, bahasa saya memang sudah liris, penuh penghayatan perasaan.

Tahun 1974, terbit dua buku lagi, yaitu Mata Pisau dan Akuarium. Saya mengambil bentuk, yang oleh pengamat sastra asal Belanda, Prof A Teeuw, disebut ”belum ada namanya”. Puisi, tetapi mirip dongeng. Benda-benda menjadi hidup, seperti manusia.

Sepuluh tahun kemudian, tahun 1984, baru terbit lagi Perahu Kertas. Karakter puisinya lebih dikendalikan, lebih halus, selain masuk juga hal-hal baru. Banyak imaji masa kanak-kanak.

Tahun 1989, terbit buku Hujan Bulan Juni. Puisinya lebih rapi, menggunakan perlambangan, imaji, seperti hujan. Suasananya sendu, tenang.

Bagaimana kemudian puisi Anda dikenal sebagai puisi liris?

Banyak orang lebih menyukai puisi saya yang liris, seperti tentang hujan dan cinta. Beberapa puisi semacam itu kemudian terkenal, seperti Hujan Bulan Juni atau Aku Ingin.

Puisi itu populer karena ada musikalisasi puisi. Banyak anak muda yang hanya kenal lagu itu. Bahkan, ada orang bikin undangan pernikahan yang memuat sajak itu dengan keterangan karya Kahlil Gibran. Puisi ini juga pernah dibaca artis sinetron di televisi, tanpa tahu siapa pengarangnya.

Sapardi menambahkan, sebenarnya puisinya beragam. Tahun 1998, misalnya, dia mengeluarkan buku puisi Arloji, kemudian Ayat-ayat Api (tahun 2000), Mata Jendela (2002), dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002). Sebagian puisi di dalamnya bernada protes sebagai respons terhadap suasana pergolakan sosial-politik saat itu, termasuk tentang pembunuhan buruh Marsinah atau pendudukan kantor PDI-P. Namun, yang lebih dikenal orang memang puisi-puisi cinta.

Pendidik

Sosok Sapardi juga lekat dengan dunia pendidikan. Begitu selesai kuliah di UGM tahun 1964, dia bekerja sebagai guru. Lelaki ini pernah menjadi guru Bahasa Inggris di Kursus B1 Saraswati, Solo, mengajar Bahasa Inggris di IKIP Madiun, kemudian di Jurusan Inggris Universitas Diponegoro, Semarang.

Pindah ke Jakarta, dia lantas mengajar sastra di UI sejak tahun 1973. Ia kemudian dipercaya sebagai Dekan Fakultas Sastra UI tahun 1995-1999.

Bagaimana pengalaman Anda selama menjadi dekan?

Itu, kan, seperti arisan dan kebetulan saya yang dapat giliran. Begitu terpilih sebagai dekan, saya tak bisa menolak. Saya belajar manajemen agar bisa masuk dengan pas. Dengan sistem yang sudah jadi, saya fokus membuat gagasan. Kan, nanti ada pegawai-pegawai yang melaksanakannya.

Saya pernah memimpin lembaga dari tingkat lebih rendah. Sebelumnya, saya menjadi pembantu dekan III dan pembantu dekan I. Pekerjaan sastrawan itu, kan, tidak setiap hari dan bisa dikerjakan secara sambilan. Beberapa sastrawan lain pernah menduduki jabatan, seperti Umar Khayam atau Budi Darma.

Sastra pop

Sapardi juga dikenal sebagai pengamat sastra. Beberapa esainya kemudian terbit, seperti Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia sebelum Perang (1979), Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983), dan Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990).

Sebagai pengamat, seniman ini bisa memetakan perkembangan sastra Indonesia secara lebih jernih karena dia sendiri menjadi bagian dan saksi sejarah sastra selama lebih dari 50 tahun. Teori sastra ditekuni lewat pendidikan akademis hingga tingkat doktoral dan kemudian menjadi guru besar bidang sastra di UI tahun 1994.

Bagaimana Anda melihat perkembangan sastra zaman sekarang?

Sastra berkembang cepat. Buku sastra diterbitkan di mana-mana. Ada kumpulan puisi, cerpen, atau novel. Apalagi sekarang ada media dunia maya di internet yang memungkinkan siapa saja menulis sastra, entah lewat blog, Facebook, Twitter, atau e-mail.

Media ini luar biasa karena membuat sastra mudah tersebar ke mana-mana. Semua itu berpengaruh besar terhadap tumbuhnya minat baca dan menulis serta pengembangan bahasa.

Kualitasnya bagaimana?

Jumlah karya sastra banyak dan di antaranya ada yang bagus. Sebagian anak muda serius menguasai bahasa. Yang menarik, para pengarang itu tak terpaut hanya pada bahasa baku, tetapi bahasa sehari-hari, seperti bahasa gaul yang sangat luwes.

Bagaimana dengan sukses pasar novel Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi, misalnya?

Sastra itu bukan barang sakral. Semua orang bisa ambil bagian karena sastra milik kita semua.

Dua novel itu termasuk sastra populer. Dalam arti, keduanya mengandung sesuatu yang disukai, pesannya jelas, mencoba untuk luruskan keadaan, dan mengusung kesimpulan jelas: yang benar harus diberi hadiah dan yang salah dihukum. Mungkin ada misi dakwah yang disampaikan secara gamblang.

Di luar negeri, sastra populer juga diminati, seperti novel The Da Vinci Code karangan Dan Brown, Twilight karya Stephenie Meyer, atau Harry Potter karya JK Rowling. Karya-karya sastra pop belum tentu jelek dan karya sastra eksperimental juga belum tentu bagus. Itu perkara selera. Biarkan pembaca menilai. Iklimnya sekarang jauh lebih demokratis.

Bagaimana perkembangan sastra yang tidak populer?

Marak juga, tetapi tak banyak yang mengeroyok. Ada perkembangan baru, seperti dari karya Nukila Amal, Djoko Pinurbo, Linda Christanty, dan Ayu Utami. Namun, jangkauannya terbatas. Mungkin Saman karya Ayu Utami bisa jadi contoh sastra inovatif yang laku.

Saya menyebutnya sebagai sastra inovatif karena berniat mempertanyakan norma umum, kebenaran. Penulis menyajikan masalah secara baru, mengungkapkan kompleksitasnya, dan mencoba mempertanyakan segala sesuatu, termasuk nilai yang disepakati bersama.

Itu pula yang dilakukan Armijn Pane lewat novel Belenggu tahun 1940-an, Mochtar Lubis (Jalan Tak Ada Ujung, 1950-an), dan NH Dini (Pada Sebuah Kapal, tahun 1970-an). Mereka mempertanyakan nilai-nilai yang berkembang saat itu, entah soal rumah tangga, perjuangan, atau hubungan antarmanusia.

Nah, pada tahun 2000-an sekarang, beberapa pengarang berusaha mempertanyakan soal seksualitas, agama, hubungan perempuan-perempuan, dan atau membongkar nilai-nilai lain. Di sini, pembaca seperti diajak untuk ikut menulis, menciptakan dunia sendiri yang baru. Teks sastra hanya semacam godaan yang merangsang pemikiran.

Apa relevansi sastra bagi kehidupan sekarang?

Kebutuhan akan sastra itu naluriah. Tak mungkin orang hidup tanpa sastra. Orang tak bisa hidup tanpa dongeng, cerita, atau gosip. Manusia membutuhkan semua itu agar menjadi manusia.

Sastra itu, kan, teks cerita yang tercetak dalam buku. Namun, sebenarnya dongeng itu juga bisa berbentuk audio visual, seperti film atau sinetron. Itu bentuk lain sastra. Bahkan, kitab suci agama juga diturunkan dalam bentuk dongeng, seperti kisah Adam dan Hawa.

Dari dongeng itu, kita memperoleh nilai, mempertanyakan kebenaran, dan menolong kita untuk menemukan diri sendiri.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/12/persona-sapardi-mempertanyakan.html

Kamis, 20 Oktober 2011

Ode Kampung bagi si Pemimpi

Wawan Eko Yulianto
http://berbagi-mimpi.info/

Belum lama berselang, ada semacam diskusi akbar di Serang tertajuk Ode Kampung. Sepertinya, sepertinya sih, pertemuan itu dihadiri tokoh-tokoh penting dalam jagad sastra Indonesia mutakhir. Nah, seperti halnya rapat yang setiap selesai harus ada hasilnya, Ode Kampung juga bertelor (sungguh, saya tidak bermaksud menyamakan Ode Kampung dengan Ayam Kampung!). Telornya adalah Pernyataan Sikap Sastrawan Ode Kampung Serang, Banten, 20-22 Juli 2007.

Pernyataan sikap itu diawali dengan kalimat “Kondisi Sastra Indonesia saat ini memperlihatkan gejala berlangsungnya dominasi sebuah komunitas dan azas yang dianutnya terhadap komunitas-komunitas sastra lainnya“. Untuk menyikapi keadaan itu, maka dirumuskanlah tiga sikap para sastrawan, yakni:

1. Menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas lainnya.
2. Menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika.
3. Menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kebudayaan kita.

Salah satu bagian terpenting dari Pernyataan Sikap ini adalah nama-nama para penyetuju “petisi” ini. Di situs puisi.net, ada tercatat 154 nama pendukung, dimulai dari Wowok Hesti Prabowo dan diakhiri dengan T.S. Pinang (daftar ini bisa bertambah asal masih ada yang mengirim imel ke odekampung2@yahoo.com untuk menyatakan dukungan.

Nah, bagaimana si Pemimpi menyikapi fenomena ini? Wah, gimana ya. Dalam sebuah konferensi pers imajiner, saya menyatakan sikap saya terhadap pertanyaan sikap itu kepada para hadirin imajiner yang menyimak pernyataan saya dengan sangat imajiner saat diwawancarai Rosiana Imajiner (seorang pewawancara imajiner paling berani). Begini wawancara imajiner itu:

Rosiana Imajiner (RI): Bagaimana dik Pemimpi menyikapi Pernyataan Sikap Ode Kampung kemarin?

Pemimpi (P): soal ode kampung di banten, khusus sila pertama pada pernyataan sikap (1. menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas lainnya) saya agak bertanya-tanya. memangnya apa seperlu itu kita menentang yang namanya tuk, kuk, dan yang dianggap “menindas” itu? Apa seperlu itu penulis sastra melawan penulis sastra? saya kok memandang begini mas (sambil mengelus jenggot sebijak merlin): hmm… apa mereka-mereka yang menentang “penindasan” komunitas lain ini bukan hanya orang yang kuatir sastranya tidak dibaca banyak orang dan kemudian tidak dapat duit karena tidak dimuat di koran? atau, bukankah mereka ini hanya sastrawan yang takut terpinggirkan PADA JAMAN SEKARANG? kalau dilihat-lihat ya, seperti sastra itu “barang” yang masa pakainya tidak terbatas tahun ini tahun depan tahun depannya lagi selama di sastrawan hidup. sastra itu “barang” abadi kan? kalau memang bagus pasti teruji, dan kalau memang bagus dan teruji, pasti tahan lama. kalau memang niatnya menulis sastra untuk menyajikan karya yang (menurut si penulis) superbagus, pasti dia akan melepaskan karya itu, akan memberikan karya itu agar dibaca orang atau diterbitkan penerbit kecil, atau koran kecil, atau apa saja. dan kalau memang sudah terbit karya itu bagus, sudahlah pasti akan lolos saringan dan tetap dibaca orang. TAPI, LAGI-LAGI…. LAIN LAGI CERITANYA KALAU KITA MENULIS SASTRA MEMANG UNTUK PENGHIDUPAN (DAN INI TIDAK SALAH!), YA MEMANGLAH HARUS DIPERJUANGKAN DENGAN AKAL DAN OKOL. tapi lagi… ya sebaiknya kita berbesar hati mengaku kalau memang menulis dengan penghidupan.

RI: Bisa Anda jelaskan lebih jauh lagi?

P: saya sangat mengagumi (dan menggurukan) seorang penulis yang ketika bersama saya naik mikrolet malam-malam, melewati pasar yang becek dan kotor, di tengah udara sejuk dataran tinggi, bilang kepada saya: KALAU SAYA KAN MENULIS DENGAN ORIENTASI EKONOMI…(tidak perlu saya teruskan kalimatnya, ini saja sudah cukup). dia mengakuinya dan bahkan sempat satu dua kali dalam suratnya. andaikan di dalam sila pertama ode kampung itu perihal orientasi ekonomi ini juga disertakan. kalau semata-mata karena tidak menginginkan penyeragaman ideologi sastra, saya rasa lebih bijak lagi kalau perlawanan/penolakan dilakukan dengan cara menghadirkan sastra tandingan (atau estetika tandingan? ah,:D). begitu saja. kalau seperti sila pertama itu, jadinya kan akan terbalik penindasannya, lha wong yang di luar komunitas pendominasi itu lebih banyak daripada si komunitas pendominasi! kalau memang si komunitas pendominasi lebih dibaca banyak orang daripada komunitas yang lainnya, ya menurut saya wajar-wajar saja lha wong dia yang punya media. apa salah? apa dia menyuruh orang lain mengikutinya?

RI: Bagaimana dengan sila kedua dan ketiga?

P: Kalau sila kedua dan ketiga, saya manut, tunduk, seratus persen. bahkan kalau bisa lebih, akan saya berikan sebanyak apapun persen.

RI: Wah, begitu ya. Terakhir, Anda ingin menyampaikan sesuatu kepada Ode Kampung atau pihak-pihak yang terlibat di dalamnya?

P: Hidup ode kampung (khusus sila kedua dan ketiga)!!!

Begitulah saya menyikapi Ode Kampung kemarin. Semoga hasil wawancara ini bisa membantu saya sendiri dalam karir kepemimpian saya. Dan jika memang bisa membantu Anda sekalian yang sempat mampir di mimpi saya ini, saya sangat senang bisa melakukannya.

have a nice reading… and please consider ethics even in this opensource era…
Dijumput dari: http://berbagi-mimpi.info/2007/08/10/ode-kampung-bagi-si-pemimpi/

Sastrawan Jawa Timur: Peta Kebangkitan Jaman

Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Jawa Timur yang luasnya sekitar157.922 kilo meter persegi, dengan jumlah penduduk 36.294.280 merupakan wilayah fenomenik. Berbagai kajian keilmuan tak pernah sepi mengangkat Jawa Timur sebagai topik utama.

Dari sudut sastra, para esais sastra sedang gencar mengupas perihal tarik-ulur eksistensi kesusastraan yang pada akhirnya menguatkan titik fokus jati diri Jawa Timur sebagai wilayah kesusastraan tersendiri di Indonesia, wilayah yang tak lagi menjadikan Jakarta dan Melayu sebagai pusat imperium kesusasteraan.

Dari sudut politik, kita dapat amati setiap menjelang berlangsungnya pemilu. Partai politik, bahkan calon kandidat presiden sekali pun, memprioritaskan agenda utama dalam rangka menggaet suara dari Jawa Timur. Dengan jumlah penduduk yang padat dalam wilayah yang tanggung dibanding Kalimantan, Sulawesi, Sumatera serta Irian, diasumsikan kalau menang pemilu di Jawa Timur, kemungkinan besar menang pemilu di Indonesia.

Secara antropologi, kekondangan Jawa Timur dikenal dunia sejak pernah bercokolnya kerajaan besar Majapahit, kerajaan yang luasnya mencapai duapertiga belahan bumi hingga ke semenanjung Madagaskar dan beberapa bagian negara Filipina.

Potensialitas intelektual juga tumbuh merebak. Banyak tokoh kaliber nasional menduduki posisi penting di pemerintahan pusat. Dari lima kali pergantian presiden di Indonesia, tiga diantaranya dari Jawa Timur: Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Sejarawan Barat abad terkini mulai menggeser teorinya tentang perdaban tertinggi di dunia. Bukan lagi Mesopotamia-Byzantium. Karena pada wilayah ini tidak ditemukan indikator pendukung terjadinya kebudayaan tertinggi: yaitu banyaknya gunung berapi dan aliran sungai sebagai kemakmuran agrarian. Gunung berapi pangkal kesuburan vulkanik, serta sungai sebagai sarana penunjang irigasi. Sementara wilayah kecil Jawa Timur dihuni gunung berapi terbanyak di dunia. Sedari Kelud hingga Semeru, tercatat sekitar 10 gunung berapi. Tak ada yang menyamai wilayah ini.

Dari sinilah optimisme degub kebangkitan jaman berpusat di Jawa Timur. Apalagi bagi penduduk muslim, sebagai indikator ke dua setelah jumlah gunung berapi dan sungai, ialah keyakinan ajaran islam.

Sholat, bagi muslim merupakan referentasi kehidupan total yang menyangkut perilaku moral individu dan sosial. Sudah pasti, terangkum pula ilmu pengetahuan di dalamnya. Bagi muslim, runtutan gerak rukun sholat berpusat ketika tahiyat akhir. Sebuah posisi yang menjadi ujung sahnya sholat. Do’a tahiyat akhir pun merupakan dialektika langsung antara Nabi Muhammad dengan Alloh saat mi’roj ke Sidratul Muntaha, sebuah pertemuan dengan kapasitas peradaban tertinggi. Posisi tahiyat akhir dapat ditarik temu ruasnya dengan peta propinsi Jawa Timur.

Posisi tahiyat akhir, jika dilihat dari atas (langit) persis peta Jawa Timur. Yakni kaki kiri: tumit, telapak hingga ujung jari menjadi semenanjung Banyuwangi: Blambangan, pesisir Ketapang, Sritanjung, pesisir Bondowoso, Situbondo hingga lengkungan pantai Kenjeran. Sementara telapak kaki kanan menjorok ke timur menjadi pulau Madura. Sedang lutut kanan menjadi tapal batas Bojonegoro. Dan lutut kaki kiri juga menjorok ke pojok barat menjadi perbatasan Pacitan. Pendeknya, sepulang mi’roj dari Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad membawa peta Jawa Timur: peta kebangkitan jaman yang sudah ditentukan theokrasi.

Indikator berikutnya, Syeh Subakir jauh dari Ubyekistan datang mbabat alas di pulau Jawa ini, yang kemudian meninggalkan jejak para wali dalam missi membangun peradaban masyarakat Jawa. Dari 9 wali, 5 diantaranya di Jawa Timur pesisir utara. Sebagian ahli kebatinan berasumsi bahwa keberadaan 5 wali yang menduduki pesisir utara, berfungsi sebagai pengimbang pulau Jawa Timur agar tidak miring ke selatan, sebab bagian selatan pulau Jawa banyak dihuni gunung berapi. Terbukti pulau Jawa miring ke utara yang ditandai dengan aliran air yang pasti ke utara. Kecuali satu sungai di Tulungagung mengalir ke selatan. Sungai yang dibangun Belanda sabagai alternatirf pengesatan wilayah tersebut.

Barulah berdiri kerajaan islam Demak yang diamping Sunan Kalijaga. Dengan sistim perdikannya, Sunan Kalijaga membagi kekuasaan kepada 147 anak Brawijaya V dari Mataram hingga seluruh wilayah nusantara. Tidak hanya itu, Sunan Kalijaga juga sebelumnya menguasai pusat persenjataan Majapahit yang dipegang oleh Empu Supo, tokoh persenjataan yang tak tertandingi waktu itu. Padatan gelombang waktu ini simbol penjinakan kekuasaan militer sebelum menjadi negara federal atau yang dikenal dengan otonomi daerah.

Kebangkitan Jawa Timur masa kolonial ditandai pekik takbir Bung Tomo untuk membakar semangat jihat Arek Suroboyo yang didukung para santri seJawa Timur. Terdepaklah agresi militer II yang dikenal dengan pertempuran 10 November.

Ada satu pertanyaan untuk menyongsong jati diri Jawa Timur sebagai peta kebangkitan jaman mendatang. Yakni sejauhmana kesiapan pelaku sejarah di Jawa Timur mengetahui jati dirinya bahwa mereka berpotensi besar? Naif jika Jawa Timur tidak mempersiapkan kebesarannya sedini mungkin. Selayaknyalah Jawa Timur mulai menentukan skala kebesaran dalam berkiprah. Sekaliber regional, nasional, atau mendunia?
_______________
*) Penulis Sabrank Suparno. Menulis esai, puisi, cerpen, cerkak bahasa nJombangan. Redaktur Bulletin Lincak Sastra. Team pengelola media web: www.Sastra-Indonesia.com. Forum Sastra Jombang.blogspot. Alumnus MAN Filial Tambakberas di Balongrejo dan Pondok Pesantren Kwadungan Sumobito tahun 1997. Jebol 2 semester Universitas Sunan Giri (Unsuri) jurusan sospol HI dan Universitas Taruna (Unita) jurusan pendidikan. Lalu bekerja sebagai pedangan Art Shop di Bali hingga tahun 2003. Pernah kursus bahasa Inggris di BESC (Basic Ingglis Study Club) Kediri. Pernah menjadi Team Riset litbang Kajian Keislaman di STAIN Kediri. Pernah berkerja nyambi membina Yayasan Anak Yatim Tunas Harapan di Sumenep tahun 2006. Perumus jaringan pemuda tiga negara: Indonesia, Portugal, Timor Laste, sehingga pada 12 Juli 2009 menggelar acara: Diskusi Ilmiah Budaya yang dihadiri Carlos Miquel Fonseca Horta (seniman asal Portugal) di tempat penulis bersama remaja desa. Pernah menjalani sebagai pedagang kaligrafi keliling seputar Tugu Pahlawan-halaman Balai Kota Madya-Kebun Binatang- Masjid Agung Surabaya. Memenangi lomba penulisan esai sastra Islami Jamaah Maiyah yang diselenggarakan oleh Emha Ainun Nadjib dkk. Aktif sebagai penulis warta di Pengajian Padhang mBulan di Jombang dan Komunitas Bang Bang Wetan di Balai Pemuda Surabaya (tiap bulan) hingga sekarang. Team motifator penulis Jombang hingga sekarang. Pemangku Devisi Kepenulisan di Komunitas Seni Tirto Agung Mojoagung-Jombang. Ajeg bertani dan menghadiri undangan pembinaan jurnajistik hingga sekarang. Esai dan cerpen pernah dimuat beberapa media Rasar Mojokerto-Jombang (esai), Radar Surabaya (esai), Bulletin Maiyah Jawa Timur (esai), Majalah Santri Tebuireng (esai), Buku Antologi Hujan Sunyi Banaspati (cerpen). Beralamat di Dowong RT/RW: 08/02, desa Plosokerep, kecamatan Sumobito, kabupaten Jombang. Email: sabrank_bre@yahoo.com.HP: 085-735-970-909.

Minggu, 16 Oktober 2011

Gairah dari Tepi Sungai Linggang

Nunuy Nurhayati
http://majalah.tempointeraktif.com/

DI tepi Sungai Linggang, pondok kecil itu berdiri. Terkucil dari perkampungan penduduk. Atapnya dari seng, dindingnya bata merah. Tak ada bangunan lain di sekelilingnya. Yang terlihat hanya hamparan padang savana yang ditumbuhi ilalang dan pohon gelam. Dari beranda, bayangan Gunung Selimar di kejauhan perlahan-lahan lenyap seiring dengan tenggelamnya matahari. Gelap dan sunyi. Satu-satunya sumber penerangan adalah genset dengan kapasitas terbatas. Suara serangga malam, nyamuk-nyamuk nakal, dan kecipak air manakala seekor buaya berenang melintasi sungai menjadi sahabat pengisi malam.

Pondok kecil itu dinamakan Rumah Puisi. Andrea Hirata sengaja membangunnya untuk mereka yang ingin mengabadikan keindahan kampung kelahirannya dalam wujud lukisan, foto, lagu, puisi, cerpen, ataupun novel. Kesunyian dan kondisi lingkungan yang benar-benar alami dipercaya mampu mendatangkan inspirasi.

Tak perlu membayar bila ingin menyewa rumah yang dilengkapi empat tempat tidur dan perabotan memasak seadanya itu. Cukup mendaftar ke kantor kepala desa dan menjelaskan proyek seni atau sastra yang akan dikerjakan. Syarat lain yang wajib dipatuhi adalah laki-laki dan perempuan tak boleh bercampur. “Rumah Puisi diharapkan mampu menjadi daya tarik wisata baru Desa Linggang,” kata sang kepala desa, Fakhrur Rizal.

Rumah Puisi mulai digunakan sejak November lalu, bertepatan dengan digelarnya puncak acara Festival Laskar Pelangi yang berlangsung sebulan penuh sepanjang November itu. Hajatan besar ini sekaligus mengukuhkan keinginan Desa Linggang sebagai desa sastra yang punya daya tarik bagi wisatawan. Rencananya, desa sastra yang digagas Andrea Hirata ini akan berfokus pada kegiatan residensi yang diwujudkan dalam bentuk Rumah Puisi dan kegiatan apreasiasi yang direalisasi dalam bentuk Festival Laskar Pelangi. Tapi, yang tak kalah penting, sebagai desa sastra, Linggang diharapkan mampu menyediakan tempat bagi berbagai acara yang berkaitan dengan sastra.

Yang jelas, Linggang saat ini adalah desa yang berusaha bangkit secara ekonomi, sosial, maupun budaya dengan mereproduksi popularitas Laskar Pelangi. “Di desa ini, kita bisa menikmati desa seperti dalam kisah novel Laskar Pelangi, termasuk juga bagaimana gedung SD Muhammadiyah tempat Ikal dan kawan-kawan bersekolah,” Andrea berpromosi. Sepotong jalan desa, yang melintasi kediaman orang tua Andrea, bahkan dinamai Jalan Laskar Pelangi.

Gedung sekolah yang diceritakan dalam novel ataupun film Laskar Pelangi itu kini memang sudah berganti rupa, tak lagi reot dan kumuh. Tapi para pelancong dapat menikmati replika SD Muhammadiyah yang digunakan untuk syuting film itu. Sekolah itu kini berdiri di atas bukit, di kawasan yang sama dengan Rumah Puisi. Kawasan seluas 67 hektare yang disediakan pemerintah daerah Belitung Timur itu dinamakan Kampung Laskar Pelangi. “Semoga kawasan ini bisa jadi destinasi wisata yang bisa dibanggakan di Belitung Timur,” ujar Bupati Belitung Timur Basuri Cahaya Purnama.

Bangunan sekolah yang didirikan dari bilah-bilah kayu itu terlihat tua dan rapuh. Agar tak roboh, bagian kanan sekolah yang diberi nama SD Laskar Pelangi itu disangga sebatang kayu sepanjang lima meter. Persis seperti yang tergambar dalam film Laskar Pelangi. Sekolah Laskar Pelangi menjadi daya pikat utama wisata Gantung. “Dengan kejeniusannya, Andrea mampu membangun daerah dengan paradigma sastra. Paradigma baru bahwa ternyata sebuah novel bisa menggerakkan ekonomi masyarakat. Hebat,” kata Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Ahmad Helmy Faishal Zaini ketika meresmikan replika SD Muhammadiyah pada akhir November lalu.

l l l

Desa Linggang terletak di Kecamatan Gantung, Belitung Timur. Lima tahun lalu desa ini tak berbeda dengan desa-desa lain yang tersebar di Belitung Timur. Ia merupakan daerah penambangan timah miskin, yang 80 persen penduduknya menyandarkan hidup sebagai penambang timah. Gantung terletak di muara Sungai Linggang, yang berhubungan langsung dengan laut.

Awalnya Sungai Linggang hanyalah sungai kecil yang dangkal. Untuk memungkinkan kapal keruk timah masuk lebih ke pedalaman, Belanda memblok sungai dengan membangun bendungan di bagian hulu untuk menaikkan permukaan airnya. Mereka menyebutnya Bendungan Piche. Bendungan ini mulai dibangun pada 1934 dan selesai dua tahun berikutnya. Bendungan Piche belakangan menjadi kawasan rekreasi. Setiap akhir pekan bendungan ini dipenuhi warga desa yang ingin mencari hiburan.

Tapi Bendungan Piche, juga alamnya yang unik-sungai, lembah, danau, gunung, pantai, padang savana, dan hutan-serta jejak-jejak peninggalan sejarah timah yang tua, tak cukup kuat menarik pelancong dari luar Gantung. Gantung dan Linggang mulai dikenal seiring dengan meledaknya novel dan film Laskar Pelangi yang ditulis Andrea Hirata, pemuda yang lahir dan besar di desa ini. Laskar Pelangi bercerita tentang perjuangan anak-anak kampung meraih pendidikan. Novel yang pertama kali diterbitkan Bentang Pustaka pada 2005 itu laris manis. Laskar Pelangi dan tiga novel berikutnya-Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov-menjadi fenomenal dan memberikan inspirasi bagi banyak orang.

Desa Linggang menjadi terkenal karena banyak diceritakan dalam Laskar Pelangi. Orang-orang pun sengaja datang ke sana demi menelusuri jejak Laskar Pelangi. Mereka menengok sekolah bekas pembuatan film yang hampir roboh, mengunjungi rumah Ikal dan Bu Muslimah (dua tokoh penting dalam cerita), dan melihat Pasar Gantung. Bendungan Piche pun kini masuk agenda sebagian besar pelancong yang mengunjungi Gantung. “Jumlah wisatawan yang datang meningkat 800 persen,” kata Fakhrur Rizal. Sejak heboh Laskar Pelangi lima tahun lalu, tiap tahunnya tak kurang dari 7.000 wisatawan singgah di desanya.

Ketika Festival Laskar Pelangi digelar, desa ini kebanjiran wisatawan tak kurang dari 1.700 orang. Selama sebulan penuh festival rakyat yang sebagian dibiayai dana kas desa itu menyuguhkan berbagai macam pertunjukan tradisional asli Belitung, seperti tarian campak, drama mulok, besepen, begubang, betiong, hingga kesenian khas Tionghoa barongsai. Tak lupa diadakan pawai budaya keliling kampung yang diikuti murid-murid sekolah, seperti yang tergambar dalam salah satu adegan film Laskar Pelangi.

Tak cuma seniman lokal, pemusik jazz Aminoto Kosin ikut meramaikan panggung festival. Dia berkolaborasi dengan Madi Seruling membawakan lagu dangdut Pengalaman Pertama (Lirikan Matamu), yang dulu dipopulerkan penyanyi dangdut A. Rafiq. Pertunjukan itu digelar di tanah lapang yang disulap menjadi Pasar Laskar Pelangi, lengkap dengan warung kopi dan toko cendera mata. Festival Laskar Pelangi yang bakal digelar setiap tahun ini diharapkan mampu menjadi magnet baru penarik wisatawan untuk datang ke pulau kaya timah itu.

Berkah Laskar Pelangi menyebar ke seluruh penjuru Belitung. Pulau seluas 4.574 kilometer persegi itu bahkan menabalkan diri sebagai Negeri Laskar Pelangi. Sebuah pulau yang dikelilingi pantai menawan dengan pasir putih sehalus pupur dan batu-batu granit raksasa. Belitung kini tak hanya dikenal sebagai pulau yang lingkungan alamnya di ambang kehancuran.

17 Januari 2011

Jumat, 14 Oktober 2011

SAYA ANTI DEMOKRASI

Emha Ainun Nadjib
Sumber: Irib

Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Depag, Polsek, dan Danramil harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator mayoritas. Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas, asalkan yang mayoritas bukan yang selain Islam – harus mengalah dan wajib kalah. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namanya.

Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina banyak teroris, yang salah adalah Islam. Kalau Saddam Hussein nranyak, yang salah adalah Islam. Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan Kristen. Kalau Amerika Serikat jumawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat Irak, yang salah bukan Kristen. Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero Bagdad, Amerika Serikatlah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah pasti adalah Islam.

“Agama” yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaimana yang pro dan yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam.

Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam.

Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka.

Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Qur’an, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai Islam.

Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomer-nomer musik, yang karena bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki wilayah musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Musik Kiai Kanjeng mengandung unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa lagi. Seorang teman menyapa: “Banyak nuansa Arabnya ya? Mbok lain kali bikin yang etnis ‘gitu…”

Lho kok Arab bukan etnis?

Bukan. Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada Islam. Nada Arab tak diakui sebagai warga etno-musik, karena ia indikatif Islam. Sama-sama kolak, sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia Islam-menjadi bukan kolak, bukan sambal, dan bukan lalap.

Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada Espanyola, itu primordial namanya. Kalau Gipsy King mentransfer kasidah “Yarim Wadi-sakib…”, itu universal namanya. Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman, tidak memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.

Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang ditimpakan oleh peradapan yang fasiq dan penuh dhonn kepada Islam, telah terakumulasi sedemikian parahnya. Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat Islam. Kecurangan atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya.

“Al-Islamu mahjubun bil-muslimin”. Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri.

Endapan-endapan dalam kalbu kollektif ummat Islam itu, kalau pada suatu momentum menemukan titik bocor – maka akan meledak. Pemerintah Indonesia kayaknya harus segera merevisi metoda dan strategi penanganan antar ummat beragama. Kita perlu menyelenggarakan ‘sidang pleno’ yang transparan, berhati jernih dan berfikiran adil. Sebab kalau tidak, berarti kita sepakat untuk menabuh pisau dan mesiu untuk peperangan di masa depan.

Dijumput dari: http://myartikel.wordpress.com/2011/02/20/emha-ainun-nadjib-saya-anti-demokrasi/

Selasa, 11 Oktober 2011

Kuduk

Arie MP Tamba
Jurnal Nasional, 21 Sep 2008

Apa ukuran sebuah puisi yang berhasil? Bila Anda tanyakan ini kepada penyair Acep Zam Zam Noor, maka jawabnya sederhana. ”Sajak itu membuat bulu kuduk saya berdiri!” begitulah kata Acep, yang telah disampaikannya berkali-kali dalam berbagai forum. Hingga, Acep Zam Zam Noor kemudian, di antara teman-temannya penyair, acap kali disindir sebagai penyair ’bulu kuduk’.

Tapi masalah ’bulu kuduk’ ini ternyata mendapat perhatian serius dari Dr Mikihiro Moriyama, yang memberikan kata pengantar untuk buku kumpulan puisi Acep yang mendapatkan penghargaan Khatulistiwa Award 2007, Menjadi Penyair Lagi. Dari uraian Moriyama, jelas bahwa persoalan ’bulu kuduk’ yang meremang saat membaca puisi, dan juga mencipta puisi bagi Acep – tidaklah dimaksudkan untuk ’lucu-lucuan’.

Sebab pemilihan ungkapan ’meremangnya bulu kuduk’ si penyair, ketika menciptakan atau membaca puisi yang bagus, bisa juga ditafsirkan sebagai penjelasan atas beroperasinya subyektivitas seorang pencipta (dan pembaca) ketika berhadapan dengan sebuah puisi. Artinya: jawaban Acep hanya ingin menggarisbawahi maksimalnya subyektivitas dalam penciptaan dan pemaknaan puisi, dengan kata-kata sederhana. Sebagaimana ditegaskan berulang-ulang, oleh para kritikus sastra posmodernis, tentang kemerdekaan penciptaan yang juga melahirkan kebebasan setiap pembacaan.

Dan kemampuan penyair Acep Zam Zam Noor, yang paling menyolok, menurut saya adalah: menyampaikan perenungan mendalam tentang kehidupan, dengan menggunakan metafora alam yang diakrabinya – dalam rangkaian diksi sederhana. Ia begitu piawai menyosokkan refleksi bathinnya, melalui bahasa alam, dan seluruhnya terbujur, tergambar, secara gamblang dan panoramik, dalam hamparan pemandangan alam yang indah.

Simaklah puisi-puisinya yang terkumpul Di Atas Umbria (1999). Salah satu kumpulan puisi Acep yang paling berhasil menurut saya, selain Menjadi Penyair Lagi. Dan salah satu puisi yang saya suka dari Di Atas Umbria adalah:

ULUWATU

Karang-karang terjal menopang keagungan
Dari setiap penjuru angin
Jauh di bawahnya ombak bergelora
Ketika suara gamelan, bersimpuh pada keremangan
Ketika gadis-gadis berkebaya, dengan bunga di telinga
Dengan butir-butir beras di keningnya
Dengan sesaji di tangannya
Berkelebat menguraikan beribu gerak

Di bawah redupnya cahaya matahari
Di kaki langit yang kabur garis batasnya
Kulihat burung-burung mengambang
Kilihat lambaian hijau pohon-pohon kelapa
Kulihat lengkung pantai yang menyisir tepi bumi
Semuanya seperti isyarat dan jawaban
Ketika sunyi bertahta di atas air
Di atas pasir
Ketika biru dan gelap bersahut-sahutan

Di bukit para dewa
Yang ditopang karang-karang terjal itu
Sulur-sulur pohon khusyuk berdoa
Bunga-bunga melepaskan wanginya ke udara
Gamelan sorga meletakkan suaranya di tanah
Gadis-gadis menitipkan gerak dan senyumnya
Pada angin dan guguran daun
Sedang di langit, rakit bintang-bintang mulai berlayar
Malah telah menyempurnakan sunyi
Menjadi sebuah kerajaan

Puisi ini, meski kompleks dengan unsur alam yang dipaparkan melalui satu tangkapan mata yang terus bergerak, tersuguh secara sugestif dan memesona. Hal ini hanya dimungkinkan, oleh kedekatan si penyair dengan berbagai anasir alam itu sendiri, seperti angin, ombak, langit, bintang, pasir, pantai, bumi, pohon-pohon, dll. Hingga, ia begitu mudah ’menangkap’ semuanya itu sebagai rangkaian kehidupan yang dicermati si penyair.

Melalui puisi Uluwatu ini, setiap kali saya serasa terus-terusan menemukan “Bali” yang mendapatkan pengayaan makna secara berkelanjutan. Dalam puisi ini, Acep begitu terampil menyusun lanskap alam sebagai landasan mengisyaratkan makna-makna kehidupan yang teronggok di alam itu sendiri – sebagai potensi pemaknaan. Yang tentu saja, hanya dapat diraih dengan intuisi dan intelektualitas yang dioperasikan Acep.

Kulihat lengkung pantai yang menyisir tepi bumi
Semuanya seperti isyarat dan jawaban

Sublim dan mendedahkan kesungguhan dalam mengimani Tuhan! Tak heran, bila beberapa kritikus menyebutkan Acep juga penyair yang memiliki kedekatan pemikiran dengan para penyair sufistik. Sebab, para penyair sufistik pun sama-sama menjadikan alam sebagai ’bahasa bantuan’ – untuk ikut menyosokkan nilai-nilai ketuhanan – yang diyakini dan setiap kali ingin disegarkan dalam pengalaman puitika.

Dalam hal ini, pendekatan biografis yang semakin jarang digunakan dalam apresiasi sastra, boleh jadi cukup jitu menjelaskan puisi-puisi Acep. Sebagai seorang penyair, yang lahir dan dewasa di likungan pesantren dan pedesaan Jawa Barat – saya menduga – Acep selalu gembira dengan alam pedusunan yang dikaruniakan kepadanya. Dan sampai sekarang, ia enggan meninggalkannya – bahkan dari puisinya.

Diksi Traumatik Acep Zamzam Noor

Beni Setia
http://cetak.kompas.com/

Struktur kumpulan puisi terakhir Acep Zamzam Noor, Menjadi Penyair Lagi, (Pustaka Azan, 2007), dibangun dua fondasi: “Ada yang Belum Kuucapkan” (AyBK), yang terdiri dari 53 sajak, dan “Menjadi Penyair Lagi” (MPL), yang terdiri dari 38 sajak. Bukanlah satu kebetulan bila kumpulan itu diawali dengan sajak “Setelah Mencintaimu” (dari AyBK) dan diakhiri sajak “Di Malioboro” (dari MPL) yang memang diletakkan di pengujung.

Memang ada dua sajak yang mengawali sajak “Setelah Mencintaimu”. Namun, sajak “Preluda” memang dihadirkan untuk mengartikulasikan kehadiran sebuah sajak sebagai ikon dari sebuah peristiwa yang telah lewat. Asilum untuk menurunkan beban kekinian, retreat, dan bagaimana semua itu ditinjau sebagai liku hidup yang menjadi harta batin, dengan segala suka dan duka yang selesai. Adapun sajak “Lagu Berdua” merupakan proklamasi estetis penulisan kreatif puisi Acep Zamzam Noor.

Ada dua fenomena dalam sajak itu. Fenomena riil pada tiga bait pertama, dan fenomena puitis haiku dalam tiga bait selanjutnya. Kesejajaran teks yang tak beda jauh antara yang ingin diungkapkan, yang ditandai, dan yang mengungkapkannya, sang penanda, merujuk pada pengakuan (kata pengantar) sang penyair kalau ketika itu (April 2007, sebelum kumpulan itu terbit), ia kembali ke pola ungkapan sederhana.

Ungkapan sederhana-sehingga apa yang terkandung dalam teks puisi gampang ditebak-berkaitan dengan intensitas pengalaman, kepekatan empati memaknai kejadian, dan kejernihan perumusan peristiwa yang mengusung diksi yang memiliki gigil bat?n khas puisi lirisjauh dari benturan kejadian yang mendorong rumusan naratif bersifat berita, balada, dan puisi protes sebagaimana yang diisyaratkan dalam sajak “Menjadi Penyair Lagi”. Substansi pola dan metode kreasi sederhana Acep Zamzam Noor ini, dengan jernih ditangkap Mikihiro Moriyama, dan diungkapkannya dalam pengantar yang simbolik memotret suasana pastoral dan guyub insan pedesaan Singaparna, Tasikmalaya. Manifestasi mencintai

Dalam kerangka itu, kita bisa menandai pentingnya kehadiran sajak “Setelah Mencintaimu”, yang bertumpu pada peristiwa perpisahan sepasang kekasih di Stasiun Tugu, Yogyakarta, setelah terjalin saling pengertian. Sebuah perpisahan yang bersifat wajib agar sang penyair yang dikodratkan untuk selalu mencari terra incognita bisa mencari wanita lain. Si anonim yang harus dikenalinya, dan yang akan melahirkan pengalaman mencintai yang tak kesampaian, mencintai yang kesampaian, mencintai yang ditolak, mencintai yang dicampahkan, dan seterusnya. Yang melahirkan lentikan pengalaman otentik yang berasal dari diskursus alamiah dengan yang berkualitas terra incognita.

Satu kreativitas yang bermula dari ingin mengalami yang baru di antara hal-hal yang biasa terjadi dan ada di sekitar kita, tetapi tampil otentik sebagai yang dirasuki dan merasuki batin si bersangkutan sebagai diskursus fenomenologis yang menggetarkan-dalam terminologi Acep Zamzam Noor-membuat bulu kuduk berdiri. Konsepsi dasar yang rumit ini bisa kita jabarkan dengan merujuk satu tulisan rama Sindhunata, tentang pola kreasi seorang Martopangrawit, yang teramat tergantung pada eksistensi pengalaman romantis otentik pracipta, sehingga kita tak bisa membedakan apakah ia Cassanova yang pangrawit atau pangrawit yang playboy (“Martopangrawit, Empu Gending: Perasaan adalah Pangkal Utama dalam Menggubah”, dalam Cikar Bobrok, Penerbit Kanisius dan Bentara Budaya, cetakan VI/2002, halaman 51-57).

Sementara itu, sajak “Di Malioboro” kembali menempatkan sang penyair di Stasiun Tugu. Bedanya, dulu ia naik kereta api untuk pergi ke barat, tetapi kini ia turun dari kereta api yang beranjak ke timur. Sebuah siklus telah genap. Ia kembali menemui kekasih dan mengukuhkan kenyataan-semuanya telah selesai. Telah menjadi berita pada majalah lama, menjadi satu episode catatan sejarah di kata pengantar, Acep Zamzam Noor mengakuinya sebagai, “yang mengingatkan saya pada sejumlah tempat dan peristiwa…sejumlah nama.” Sebuah ziarah puitis yang berperan sebagai ekspresi kesetiaan (sajak “Mei”) atau isyarat ketuaan (sajak “Remang”), yang menandai teramat banyak kepiluan hubungan pria dan wanita.

Goenawan Mohamad berpuisi untuk (atau tentang) mengabadikan sesuatu yang kelak (pasti) retak. Sapardi Djoko Damono (dalam satu sajaknya) merumuskan keikhlasan pengorbanan dan penghancuran (eksistensi) sebagai manifestasi mencintai. Acep Zamzam Noor berpuisi tentang mengekalkan luka sambil mengenangkan yang terindah dari percintaan yang harus buyar meski tidak gagal. Penghukuman diri

Sajak “Menjadi Penyair Lagi”-dengan pembacaan pola sajak “Lagu Berdua”-sebenarnya mengungkap (1) kenangan satu peristiwa percintaan dan (2) rumusan reflektif atas kenangan kuat yang bertumpu pada saat menziarahinya pada masa kini. Ini merupakan teks puisi karena merujuk pada yang ditandai pada masa lalu sehingga (3) hakikat puisi adalah kehadiran (penghadiran) diksi otentik yang memproyeksikan pengalaman masa lalu yang traumatik, tetapi disaring sehingga tidak sekadar lanturan. Maka, bagi Acep Zamzam Noor, bencana alam, peristiwa sosial, dan seterusnya hanya fatamorgana, narasi ilusi lancung tanpa otentisitas pengalaman aku lirik.

Meski sosok Acep Zamzam Noor sebagai manusia dan penyair baur, ia tetap bisa dingin akademik, obyektif memisahkan kebauran itu dan sigap analisis mengerat-ngerat perasaan dan batinnya sendiri, agresif memisahkan aku-manusia, yang mencari terra incognita di mana pun dan kapan pun, dari aku-penyair yang terlena. Peneguhan yang mampu menyebabkan aku-penyair bangkit, dan terjadilah proses penghukuman (diri) yang agresif dan luka-luka itu langsung diempati sehingga pengalaman otentik tersuling.

Sebuah proses penyiksaan diri yang membangkitkan harga diri seperti yang dilakukan seorang samurai yang ber-seppuku dengan pisau pendeknya. Seperti yang diungkapkan Mikihiro Moriyama, “…tidak langsung diekspresikan, tetapi ditahan dan dikiaskan.” Tidaklah mengherankan, kumpulan puisi yang mengerat-ngerat diri ini, setelah dengan amat sadar ia terlebih dahulu mengeluyurkan itu, bisa memenangi KLA 2007 di bidang puisi.

Sebuah anugerah bagi satu pola kreasi yang berpangkal dari pengembaraan dan ditutup dengan upaya dingin agresif menghukum diri secara empatik.

Minggu, 09 Oktober 2011

Ibuku Perkasa

Ahmad Zaini
http://sastra-indonesia.com/

Di bilik rumah sebelah kanan, terdengar suara suamiku mengerang-erang kesakitan. Riuh rendah suaranya terbawa oleh hembusan udara yang memenuhi ruang depan. Rintihan-rintihan itu seakan seperti sembilu yang menyayat-nyayat kalbu. Rasa sakit yang berkepanjangan belum juga sampai ke muara kesembuhan. Pedih rasanya mendengar erangan suami yang menahan rasa sakit di luar kemampuannya.

Adonis, Meretas Sekat dan Batas

Maria Hartiningsih
Kompas, 14 Nov 2008

”… thus I no longer hesitate to say: / ’the I and the other / are me…” Satu frasa dalam karya Adonis, ”A Desire Moving Through the Maps of the Material” (1986-1987), sudah cukup mengungkapkan pendirian penyair dan esais terkemuka dunia asal Suriah itu tentang ”liyan” (the other) dan ”yang diliyankan”.

BAGI Adonis (78), nama pena Ali Ahmad Sa’id, sejak usia 19 tahun, sang liyan dan sang diri menyatu dalam kesatuan diri; terasing dan diasingkan. Pengasingan tidak berarti secara fisik. Bahasa itu sendiri lahir dalam keterasingan.

Seperti banyak intelektual Arab yang tinggal di negara lain, Adonis hidup di antara dua keterasingan; di dalam dan di luar diri. ”I live between the plague and the fire, with my language, with this speechless worlds…,” begitu tulisnya dalam ”The Fall” (dari Songs of Mihyar).

Beberapa negara Arab menutup pintu baginya karena kritiknya yang tajam mengenai kemandekan sastra dan budaya Arab. Ia pun mengalami bentuk-bentuk pengasingan lain: sensor, larangan, pengusiran, pemenjaraan, dan (ancaman) kekerasan.

Pandangan Adonis tentang kebenaran sebagai sesuatu yang harus terus diuji senantiasa berhadapan dengan pandangan arus utama tentang kebenaran sebagai yang sudah pasti. Itulah jantung perbedaan puisi dan teks agama. Puisi berproses dalam situasi yang terus berubah dan menjadi. Puisi adalah tindakan awal tanpa akhir.

Tujuan puisi adalah pertanyaan, pengamatan, penelitian, dan terobosan. Puisi memberi ruang bagi ”sang liyan” dalam berbagai bentuknya, bahkan menjadi identitas puisi yang terus-menerus melakukan hijrah dalam bahasa. Puisi menembus batas agama.

Adonis, yang banyak disebut sebagai sosok paling berpengaruh dalam kritik sastra, puisi, dan sastra Arab, ditemui pada suatu pagi pekan lalu di Jakarta, beberapa hari setelah memberikan kuliah umum mengenai kebenaran puisi dan kebenaran agama di Salihara, Senin (3/11).

Mohamad Guntur Romli, yang belajar akidah filsafat di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, membantu menerjemahkan wawancara dalam bahasa Arab.

Pembebasan

Bagi Adonis, teks agama sering kali ditafsirkan sebagai alat kekuasaan untuk mencapai tujuan politik tertentu. Aliran politik yang despotik dan penafsiran sempit ideologi keagamaan senantiasa melahirkan pemaksaan dan kekerasan. Kemanusiaan yang tanpa sekat tak mendapat tempat.

”Sejarah memperlihatkan, yang kuat yang menafsirkan. Mereka menciptakan kebenaran tunggal,” kata Adonis menambahkan ”mereka” adalah kolaborasi penguasa, intelektual, dan uang.

Pemikiran di luar lingkaran itu dibenamkan. Orang-orangnya dikafirkan, diliyankan. Itu terjadi pada para sufi, filsuf, dan penyair yang pemikirannya tak pernah tunduk pada klaim tertentu. Mereka adalah ”liyan”, si ikan paus biru dalam karyanya, Musiqa al-Hut-al-Azraq (Musik Paus Biru).

”Toleransi sejati tak mungkin dibangun kalau satu pihak mengklaim kebenaran tertinggi,” tegasnya.

Di dalam kebenaran tunggal, kebudayaan tak bisa berkembang karena kreativitas yang melahirkan pembaruan hanya dimungkinkan jika akal dan imajinasi manusia tidak dipenjara oleh sesuatu yang dianggap tak pernah bisa berubah.

Stagnasi, kata Adonis, ”Karena teks menguasai realitas.”

Hal itu pula yang membuat orang malas berpikir untuk mencari solusi atas persoalan- persoalan riil sosial kemasyarakatan. ”Berpikir adalah pekerjaan berat, tetapi merupakan langkah maju. Kemalasan berpikir membuat orang berjalan mundur, mencari solusi persoalan masa kini dari masa lalu,” tegas Adonis.

Pemikiran-pemikiran Adonis dapat dibaca dalam karya monumental Adonis berjudul al-Tsâwabit wal Mutahawwil (Yang Tetap dan Yang Berubah). Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta menerbitkan empat jilid edisi bahasa Indonesia. Dalam dua jilid pertama, berjudul Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, terpapar pembacaan yang sangat luas tentang pertarungan dua kubu di ranah sastra, teologi, politik, dan budaya Arab- Islam.

Kubu yang ingin menguatkan kemapanan berlindung di balik kekuasaan teks untuk memaksakan satu versi tafsir yang sahih. Kubu lainnya menjadikan teks sebagai khazanah tafsir yang terus mengalami pembaruan dan penyesuaian.

Dipuja dan dikecam

Meskipun kritis terhadap persoalan Islam di Timur Tengah, sebagai penyair, Adonis tampaknya lebih tertarik pada eksperimentasi, bahasa, dan pembebasan puisi dari formalisme tradisi.

Ia dipuja sekaligus dikecam karena mendobrak pakem-pakem puisi Arab yang telah mapan berkurun waktu. Barangkali, di sinilah letak pentingnya karya Adonis, seperti dibaca dalam uraiannya di Salihara; menggedor yang dianggap mapan, dan menguatkan pembaruan dalam dua ranah sekaligus, sastra dan agama.

Adonis lahir di Desa Al-Qassabin, dekat Kota Lakasia, Suriah, tahun 1930. Meski tak duduk di sekolah formal sampai usia 12 tahun, anak pertama dari enam bersaudara ini sudah belajar membaca dan menulis pada seorang guru desa dan mendapat pendidikan Islam tradisional dari ayahnya, seorang petani dan imam masjid.

Ketika membacakan puisi- puisi heroik karyanya di depan Presiden Suriah Shukri al-Quwatli, tahun 1944, Sang Presiden terpesona, lalu mengirim Adonis ke sekolah Perancis di Kota Tartus. Adonis yang cerdas melompati tingkat-tingkat kelas.

Ia menyelesaikan studi di bidang hukum dan filsafat di Universitas Damaskus, dan sempat belajar di Perancis. Tahun 1973, ia memperoleh PhD dalam Sastra Arab dari Universitas St Joseph di Beirut.

Semangat pembaharu terkandung dalam pilihan nama pena yang diambilnya dari mitologi Yunani. Ia sempat merasakan dinginnya lantai penjara pada tahun 1955.

Bersama istrinya, kritikus sastra, Khalida Said (kini 76 tahun), mereka pindah ke Lebanon tahun 1956. Ia mendirikan jurnal Shi’ir yang memperkenalkan gagasan modernitas ke dalam puisi Arab, dan langsung dilarang di beberapa negara Arab. Ia juga mendirikan jurnal kebudayaan, Mawaqif.

Adonis mengajar Sastra Arab di Universitas Lebanon sebelum menetap di Paris awal tahun 1980-an karena perang saudara di Lebanon. Ia mengajar di Sorbonne Paris III, dan menjadi dosen tamu beberapa universitas di AS dan Swiss.

Meski berpindah-pindah tempat tinggal, ia tak pernah dirisaukan soal identitas. Bagi dia, identitas adalah proses ”menjadi” yang terus-menerus.

Ayah dua anak perempuan, Arwad (50) dan Ninar (35), ini dikenal sebagai intelektual Muslim dan penulis dunia yang membangun jembatan-jembatan pemikiran. Ia menerima berbagai penghargaan dari berbagai negara. Namanya berada dalam daftar pendek nominasi Nobel untuk Kesusasteraan sejak tahun 2003.

Karya Adonis lainnya

Beberapa karya Adonis antara lain lebih dari 20 buku puisi. Puisi pertamanya terbit tahun 1957, ”Leaves in the Wind” (1958). Adikaryanya, ”Aghani Mihyar al-Dimashqi” atau ”Songs of Mihyar the Damascene” (1961), baru diluncurkan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Karya Adonis lainnya antara lain ”A Time Between Ashes and Roses” (2004), ”If Only the Sea Could Sleep” (2003), ”The Pages of Day and Night” (2001), dan ”The Blood of Adonis” (1971).

Adonis juga editor dari buku-buku antologi, ahli teoretisi puisi, dan penerjemah buku-buku berbahasa asing ke bahasa Arab.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/11/sosok-adonis-meretas-sekat-dan-batas.html

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae