Jumat, 30 September 2011

Tolong, Gigitlah Daku dengan Tulisanmu

Herman Hasyim
http://www.kompasiana.com/herman_hasyim

Seorang penulis yang baik adalah juga pembaca dan pencatat yang baik. Omong kosong belaka kalau ada yang bilang bahwa untuk menjadi penulis yang baik tak perlu rajin membaca dan mencatat.

Selaku kompasianer, jika punya cukup waktu senggang, saya rajin membaca karya-karya kompasianer lain, walau belum tentu saya mewariskan jejak. Jangan sangka saya hanya membaca tulisan-tulisan terbaru. Saya suka membaca tulisan-tulisan lampau juga jika saya merasa akan menggondol hal baru dari sana. Bisa jadi tulisan-tulisan terbaru malah terasa memualkan karena isinya tak lebih dari perulangan-perulangan yang nyaris basi. Sudah pasti saya akan mengelak untuk membaca karya-karya serupa itu.

Berjuang melawan klise. Bergerilya melawan repetisi. Itulah yang saya pantau sering diabaikan para kompasianer.

Apa yang disebut “baru” tak melulu berupa penyingkapan fakta-fakta baru atau penyodoran tema-tema baru. Teknik pengungkapan atau format penulisan dapat pula diperbarui terus-menerus. Demikian halnya dengan sudut pandang dan gaya bahasa.

Pada dasarnya tiap pembaca ingin dibuat terkesan. Karena itu tulisan yang biasa, apalagi hasil daur ulang yang gampang ditiru orang, sangat sukar merebut perhatian, apalagi menancap di ingatan. Kata-kata yang menampar akan membekas. Kata-kata yang lancip akan menusuk. Sebaliknya, kata-kata tumpul, jangankankan menusuk, menggores saja tak becus.

Bukan berarti saya mengultimatum agar para kompasianer mengobral tulisan-tulisan penuh caci maki dengan senjata kata-kata yang dibuat setajam belati. Tidak pula saya menghimbau para kompasianer supaya mengumbar tulisan sensasional agar setiap mata terbelalak. Bukan begitu, Kawan.

Para pembaca umumnya, termasuk saya tentu saja, menginginkan karya tulis yang mengandung sound bite.

Apakah gerangan sound bite itu?

Kita tahu, “sound” dalam bahasa Inggris berarti suara. Dalam konteks literasi, suara bisa pula diartikan sebagai karya tulis atau satuan-satuannya yang lebih kecil. Sementara “bite” berarti menggigit, menyengat, melubangi, merusak, menjepit. Sebagai sebuah frase, sound bite kerap dipahami sebagai pidato yang sangat singkat namun kena sasaran. Pendek kata, sound bite berarti kata-kata yang menggigit.

Baiklah, saya sodori contoh:

Perjuangan kami mengalahkan Manchester United tidak akan gampang, apalagi kami harus bermain di kandang lawan. Di lapangan, kami menghadapi 13 pemain lawan. Pemain ke-12 adalah wasit dan pemain ke-13 adalah para suporter. Beruntunglah pasukan kami didukung seorang Dewa. Dialah Messi. Dialah yang akan membuat 13 pemain lawan bertekuk lutut, bahkan menyembah-sembah.

Masing-masing kepala boleh menentukan sendiri: manakah di antara kata-kata atau kalimat di tulisan itu yang berdaya gigit. Yang terang, apa yang disebut sound bite tak harus terpampang di sekujur tulisan. Sebuah kalimat saja cukup. Lebih banyak tentu lebih baik.

Pertanyaan yang bisa diajukan: apakah terdapat formula atau rumus untuk menghasilkan kata-kata yang mengigit?

Selaku penulis, Anda mestinya lebih tahu dari saya. Ingat lho, saya kan hanya pembaca.

Salam Kompasiana!

Rawamangun, 8 Juni 2011
*) Setelah gagal membangun pabrik rokok, sekarang mendirikan pabrik aksara.

Kamis, 29 September 2011

Soekarno, Pancasila, dan Sejarah Teks

Ignas Kleden *
http://www2.kompas.com/

Istilah "sejarah teks" adalah terjemahan bebas oleh penulis untuk konsep hermeneutik yang lebih dikenal dalam versi bahasa Jerman sebagai Redaktionsgeschichte atau sejarah redaksi. Konsep ini menegaskan bahwa setiap teks yang diproduksi dalam kebudayaan selalu mempunyai semacam riwayat hidup berupa sejarah penyusunan, kodifikasi, perubahan, atau revisi redaksi dan mungkin juga otorisasi teks yang terjadi dari waktu ke waktu.

Mengetahui sejarah redaksi ini merupakan sebuah prasyarat penting untuk menyimak makna teks itu dalam hubungan dengan konteks penciptaan atau penyusunannya karena sering terjadi pergantian atau pertukaran semantik, penambahan anotasi, penyisipan bagian-bagian baru dalam editing, perbaikan sintaksis atau modulasi stilistik, yang mengakibatkan pergeseran makna atau perubahan tekanan pada berbagai bagian teks itu.

Sudah jelas Pancasila adalah sebuah teks utama untuk Indonesia. Dalam sejarah redaksinya, tanggal 1 Juni 1945 menjadi sebuah momen yang amat penting karena pada hari itu Pancasila dikemukakan kepada suatu publik politik untuk dipertimbangkan, diuraikan masing-masing silanya secara rinci, dan didemonstrasikan keseluruhannya sebagai suatu konfigurasi pemikiran yang utuh. Soekarno sebagai penggagas dan juru bicaranya pada waktu itu dengan tegas memberikan dua kualifikasi utama kepada Pancasila, yaitu kedudukannya sebagai dasar filsafat negara (philosophische grondslag) dan fungsinya sebagai suatu pandangan (tentang) dunia (Weltanschauung).

Soekarno dalam pidato yang bersejarah itu menyamakan begitu saja dasar filsafat negara dan suatu pandangan dunia. Patut dicatat bahwa pandangan dunia, yaitu world view atau Weltanschauung diperlakukan dalam ilmu-ilmu sosial sebagai pokok kajian dan penelitian ilmu-ilmu budaya. Clifford Geertz, misalnya, melihat world view sebagai gagasan orang-orang dalam suatu kelompok budaya tentang dunia yang mereka hadapi dan hayati, berupa ikhtisar kompleksitas dunia itu dalam beberapa gambaran yang disederhanakan: apakah dunia itu pada dasarnya baik atau jahat, real atau maya, abadi atau sementara, merupakan tempat persinggahan sejenak atau tempat orang mengolah nasib dan membangun masa depannya.

Sosiolog Jerman-Inggris, Karl Mannheim, berbicara tentang Weltanschauung eines Zeitalters atau pandangan dunia dalam suatu kurun waktu sejarah, jadi mirip dengan suatu semangat zaman atau Zeitgeist. Sementara itu, filosof Jerman, Karl Jaspers, berpendapat bahwa Weltanschauung tak lain dari suatu jenis filsafat(karena sifatnya yang menyeluruh dan tidak sektoral), tetapi tidak sekadar suatu filsafat yang spekulatif, tetapi filsafat yang efektif, suatu wirkende Philosophie, yang sanggup memberi harapan, kepercayaan, dan membangun komitmen.

Apa pun soalnya, cukup jelas bahwa Soekarno, selama dua dasawarsa (sejak 1926 hingga 1945), berpikir keras tentang apa yang dapat mempersatukan berbagai kelompok suku di Indonesia menjadi suatu bangsa yang dapat menentukan nasibnya sendiri melalui sebuah negara merdeka. Apakah mungkin tercapai sebuah dasar tempat semua orang dapat berdiri bersama secara politik di atas suatu platform nasional?

Sebagai aktivis politik yang berpengalaman, Soekarno memiliki perhatian yang tertuju pertama-tama pada suatu integrasi politik yang dapat mempertemukan dan mempersatukan berbagai kelompok politik pada watu itu. Dia tidak banyak berpikir tentang integrasi sosial atau integrasi budaya, yang kemudian menjadi pokok pemikiran tokoh-tokoh, seperti Ki Hadjar Dewantara atau Sutan Takdir Alisjahbana.

Apa yang dicari oleh Soekarno adalah suatu tema yang cukup luas, tetapi cukup terpadu, tempat semua kelompok politik terpenting pada masa itu merasa terwakili asasnya, identitasnya, dan kepentingannya. Dalam istilah ilmu politik sekarang, Soekarno secara meyakinkan melakukan suatu agregasi kepentingan politik dan mengartikulasikannya dengan berhasil.

Jelas sekali Soekarno harus memperhitungkan kelompok-kelompok agama, khususnya Islam, sebagai kelompok agama terbesar yang terwakili dalam NU dan Masjumi. Tanpa mencantumkan sila ke-Tuhan-an kelompok-kelompok agama sangat mungkin tidak tertarik mendukung negara yang akan didirikan. Atas cara yang sama tanpa mencantumkan sila kebangsaan golongan nasionalis yang mendapat kristalisasi politiknya dalam PNI barangkali akan tinggal apatis.

Demokrasi dan kedaulatan rakyat jelas akan menarik perhatian kelompok politik yang menekankan kepentingan rakyat seperti MURBA dan para pejuang demokrasi, seperti Hatta dan para muridnya dalam PNI Baru. Demikian pula tanpa mengikutsertakan sila keadilan sosial, partai-partai politik berhaluan kiri tidak akan merasa terpanggil.

Tak perlu diuraikan panjang lebar bahwa penghormatan kepada martabat manusia tidak bisa diabaikan karena hal tersebut merupakan isu yang dianggap menjadi tanda-kenal kaum inteligensia baru, khususnya kelompok politik yang mencita-citakan modernisme sebagaimana dapat diamati dalam subkultur PSI dan Masjumi misalnya.

Jadi, berbeda dari Karl Mannheim, Soekarno tidak berbicara tentang pandangan dunia dari suatu kurun waktu, tetapi dari suatu tempat tertentu yang bernama Indonesia. Juga, berbeda dari Karl Jaspers, Soekarno tidak berbicara tentang filsafat tentang dunia (Weltanschauung), tetapi filsafat tentang kehidupan bersama dalam suatu negara. Dalam arti itu, Pancasila diusulkan sebagai pandangan hidup (Lebensanschauung) secara politik Apakah prinsip-prinsip Pancasila dipetik dari nilai-nilai dalam peradaban dunia atau digali dari kebudayaan-kebudayaan Nusantara adalah isu yang dimainkan dengan piawai oleh Soekarno sebagai teknik promosi dan persuasi terhadap pendengarnya, melalui retorika yang amat terpelajar dengan pengucapan yang gilang-gemilang.

Dasar paling bawah (bottom line) pemikiran Soekarno adalah suatu gagasan yang dapat merepresentasikan identitas dan asas sebanyak mungkin kelompok politik, dan sekaligus dengan itu mengagregasikan kepentingan politik dalam spektrum seluas mungkin. Singkat kata, dari segi genealoginya, Pancasila terlahir sebagai suatu historico-political gentleman agreement, yaitu kesepakatan dari orang-orang dan kelompok-kelompok yang saling menghormati, meskipun mereka sadar ada banyak perkara di antara mereka yang tetap sulit dipertemukan. Kesepakatan itu harus dibuat agar dapat tercipta suatu landasan bagi konsensus nasional mengenai negara yang akan terbentuk.

Kita bersyukur bahwa RI sudah terbentuk di atas landasan tersebut. Fondasi politik ini sampai kini masih membuat Indonesia sebuah rumah bagi semua orang yang turut membangunnya, dan ingin hidup tenteram di dalamnya. Semoga rumah ini tidak berubah menjadi transit house, sekadar tempat bermalam dan menaruh koper bagi orang-orang yang hendak bepergian entah ke mana.

*) Ignas Kleden Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

Tan Malaka: Nasionalisme Seorang Marxis

Ignas Kleden *
http://majalah.tempointeraktif.com/

TAN Malaka meninggal pada usia 52 tahun. Setengah dari usia itu dilewatkannya di luar negeri: enam tahun belajar di Negeri Belanda dan 20 tahun mengembara dalam pelarian politik mengelilingi hampir separuh dunia. Pelarian politiknya dimulai di Amsterdam dan Rotterdam pada 1922, diteruskan ke Berlin, berlanjut ke Moskow, Kanton, Hong Kong, Manila, Shanghai, Amoy, dan beberapa desa di pedalaman Tiongkok, sebelum dia menyelundup ke Rangoon, Singapura, Penang, dan kembali ke Indonesia. Seluruhnya berlangsung antara 1922 dan 1942 dengan masa pelarian yang paling lama di Tiongkok.

Selama masa itu, dia menggunakan 13 alamat rahasia dan sekurangnya tujuh nama samaran. Di Manila dia dikenal sebagai Elias Fuentes dan Estahislau Rivera, sedangkan di Filipina Selatan dia menjadi Hasan Gozali. Di Shanghai dan Amoy dia adalah Ossario, wartawan Filipina. Ketika menyelundup ke Burma, dia mengubah namanya menjadi Oong Soong Lee, orang Cina kelahiran Hawaii. Di Singapura, ketika menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah atas, dia bernama Tan Ho Seng. Setelah masuk kembali ke Indonesia, dia bekerja di pertambangan Bayah, Banten, dan menjadi Ilyas Hussein.

Pelarian dan penyamaran itu dimungkinkan, salah satunya, karena dia menguasai bahasa-bahasa setempat dengan baik. Ketika dia ditangkap di Manila pada Agustus 1927, koran Amerika, Manila Bulletin, menulis, “Tan Malaka, seorang Bolsyewik Jawa, ditangkap. Dia berbicara bermacam-macam bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Tagalog, Tionghoa, dan Melayu.” Dalam pelarian itu, bermacam-macam pekerjaan sudah dilakukannya.

Di Amsterdam dan Rotterdam dia berkampanye untuk partai komunis Belanda pada waktu diadakan pemilu legislatif dan ditempatkan pada urutan ketiga. Di Moskow dia menjadi pejabat Komintern dengan tugas mengawasi perkembangan partai komunis di negara-negara Selatan, yang mencakup Burma, Siam, Annam, Filipina, dan Indonesia. Di Kanton dia menerbitkan majalah berbahasa Inggris, The Dawn. Di Manila dia menjadi kontributor untuk koran El Debate. Di Amoy dia mendirikan Foreign Languages School yang mendapat banyak peminat dan memberinya cukup uang. Di Singapura dia menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah atas walau tanpa ijazah.

Sebelum dibuang ke luar negeri, dia dipenjarakan tiga kali oleh pemerintah kolonial, di Bandung, Semarang, dan Jakarta. Dalam pelariannya ke luar negeri, dia dipenjarakan di Manila dan Hong Kong. Setelah kembali ke Indonesia, dia dimasukkan ke penjara oleh pemerintah Indonesia di Mojokerto (1946-1947).

Dia mengagumi secara khusus pejuang kemerdekaan Tiongkok, Dr Sun Yat-sen, yang di kalangan pengikut bawah tanah dipanggil Sun Man. Dia membaca buku San-Min-Chu-I dan berkesimpulan bahwa Dr Sun tidak sepaham dengan dia dalam teori dan metode. Menurut Tan Malaka, Dr Sun bukanlah seorang Marxis, melainkan sepenuh-penuhnya seorang nasionalis. Dalam metode, dia tidak berpikir dialektis, tapi logis. Namun kesanggupan analisisnya tinggi, kemampuan menulisnya baik sekali, dan dia seorang effective speaker. Kekuatan Dr Sun terdapat dalam dua hal lain, yaitu satunya kata dan tindakan serta tabah menghadapi kegagalan. Usahanya memerdekakan Tiongkok dari Kerajaan Manchu baru berhasil pada percobaan ke-17, setelah 16 kali gagal.

Dr Jose Rizal menjadi pahlawan Filipina dan pahlawan Tan Malaka karena ketenangannya menghadapi maut. Beberapa saat sebelum dia ditembak mati, seorang dokter Spanyol rekan seprofesinya meminta izin kepada komandan agar diperbolehkan memeriksa kondisi kesehatannya. Dengan tercengang si dokter melaporkan bahwa denyut pada pergelangan tangan Dr Rizal tetap pada ketukan normal, tanpa perubahan apa pun. Ini hanya mungkin terjadi pada seseorang yang sanggup menggabungkan keyakinan penuh pada perjuangan, ketabahan dalam menderita, dan keteguhan jiwa menghadapi maut. Di sini terlihat bahwa Tan Malaka bukanlah seorang Marxis fundamentalis, karena dia dapat menghargai Dr Sun Yat-sen, nasionalis pengkritik Marxisme, dan mengagumi Dr Rizal, seorang sinyo borjuis dengan berbagai bakat tapi menunjukkan sikap satria sebagai pejuang kemerdekaan.

Kritik Tan Malaka kepada Bung Karno tidaklah ada sangkut-pautnya dengan sikap Soekarno terhadap Madilog, tapi merupakan kritik yang wajar terhadap seseorang yang sangat dihormatinya. Dasar kritiknya adalah apa yang dilihatnya sebagai kebajikan Dr Sun Yat-sen, yaitu satunya kata dengan perbuatan. Menurut Tan Malaka, ketika memimpin PNI, Soekarno selalu mengajak penduduk Hindia Belanda yang berjumlah 70 juta jiwa itu untuk berjuang mencapai Indonesia merdeka dengan menggunakan tiga pegangan, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan aksi massa yang tak mengenal kompromi. Dia memberikan apresiasi tinggi bahwa Soekarno telah banyak menderita dan dibuang ke pengasingan karena gagasan-gagasan politiknya.

Maka dia kecewa melihat Soekarno berkolaborasi dengan Jepang selama pendudukan di Indonesia. Kekecewaan ini disebabkan oleh dua latar belakang. Pertama, Tan Malaka merasa dekat dengan Soekarno, yang menerapkan aksi massa dalam perjuangan politiknya hampir sepenuhnya menurut apa yang ditulisnya di Singapura pada 1926 dalam sebuah brosur tentang aksi massa. Kedua, dia sangat terpesona oleh perjuangan kemerdekaan Filipina dengan semboyan immediate, absolute and complete independence (kemerdekaan segera, tanpa syarat, dan penuh). Kekecewaan ini sedikit terobati ketika Soekarno-Hatta atas desakan pemuda revolusioner membuat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Salah satu karya Tan Malaka yang boleh dianggap sebagai opus magnum-nya adalah buku Madilog, yang ditulis selama delapan bulan dengan rata-rata tiga jam penulisan setiap hari di persembunyiannya dekat Cililitan. Buku itu menguraikan tiga soal yang menjadi pokok pemikirannya selama tahun-tahun pembuangan, dengan bahan-bahan studi yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, tapi sebagian besar harus dibuang untuk menghindari pemeriksaan Jepang. Naskah buku ini praktis ditulis hanya berdasarkan ingatan setelah bacaan dihafal di luar kepala dengan teknik pons asinorum (jembatan keledai).

Ketiga soal itu adalah materialisme, dialektika, dan logika. Materialisme diperkenalkannya sebagai paham tentang materi sebagai dasar terakhir alam semesta. Logika dibutuhkan untuk menetapkan sifat-sifat materi berdasarkan prinsip identitas atau prinsip nonkontradiksi. Prinsip logika berbunyi: A tidak mungkin sama dengan yang bukan A. Atau dalam rumusan lain: a thing is not its opposite. Sebaliknya, dialektika menunjukkan peralihan dari satu identitas ke identitas lain. Air adalah air dan bukan uap. Tapi dialektika menunjukkan perubahan air menjadi uap setelah dipanaskan hingga 100 derajat Celsius.

Madilog adalah penerapan filsafat Marxisme-Leninisme. Tesis utama filsafat ini berbunyi: bukan ide yang menentukan keadaan masyarakat dan kedudukan seseorang dalam masyarakat, melainkan sebaliknya, keadaan masyarakatlah yang menentukan ide. Kalau kita mengamati hidup dan perjuangan Tan Malaka, jelas sekali bahwa sedari awal dia hidup untuk merevolusionerkan kaum Murba, agar menjadi kekuatan massa dalam merebut kemerdekaan politik. Dia bergabung dengan Komintern di Moskow dan Kanton karena setuju dengan tesis Komintern bahwa partai komunis di negara-negara jajahan harus mendukung gerakan nasionalis untuk menentang imperialisme.

Semenjak masa mudanya di Negeri Belanda, Tan Malaka sudah terpesona oleh Marxisme-Leninisme. Paham inilah yang menyebabkan dia dipenjarakan berkali-kali dan dibuang ke luar negeri. Ini berarti bukan penjara dan pembuangan itu yang menjadikan dia seorang Marxis, melainkan sikap dan pendiriannya yang Marxislah yang menyebabkan dia dipenjarakan dan dibuang. Selain itu, dia pertama-tama tidak berjuang untuk kemenangan partai komunis di seluruh dunia, tapi untuk kemerdekaan tanah airnya.

Dengan demikian, hidup Tan Malaka menjadi falsifikasi radikal terhadap gagasan Madilog yang dikembangkannya. Paradoksnya: dia seorang Marxis tulen dalam pemikiran, tapi nasionalis yang tuntas dalam semua tindakannya. Kita ingat kata-katanya kepada pemerintah Belanda sebelum dibuang: Storm ahead (ada topan menanti di depan). Don’t lose your head! Ini sebuah language game yang punya arti ganda: jangan kehilangan akal dan jangan kehilangan kepala. Tragisnya, dia yang tak pernah kehabisan akal di berbagai negara tempatnya melarikan diri akhirnya kehilangan kepala di tanah air yang amat dicintainya.

11 Agustus 2008
*) Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

Senin, 26 September 2011

Tentang Jurnal Puisi Amper

Eva Dwi Kurniawan
http://manuskripdody.blogspot.com/

Selama ini saya memang tidak mengikuti proses kreatif yang dilakukan oleh kawan-kawan saya di Surabaya. Saya hanya tahu mereka dari status yang mereka tulis di akun facebook. Itu saja. Sementara saya, terhadap fecebook tidak terlalu begitu antusias. Apa yang ditanyakan, apa yang di bantah dalam akun fecebook saya, jika saya sedang ingin membalas, tentu akan saya balas. Namun, tampaknya, lebih banyak saya balas setelah sekian hari atau minggu. Saya tidak terlalu fanatik dengan facebook.

Beberapa waktu lalu, seorang kawan, Dody Kristianto mentag sebuah cover jurnal puisi. Setelah aku baca siapa yang berada di belakang jurnal itu, tampak nama-nama yang tidak asing didengar. Melihat nama-nama itu semua, tentu, besar harapan saya agar jurnal itu tetap bertahan. Mereka adalah Alek Subairi, A Muttaqin, Mardi Luhung, Timur Budi Raja, M Fauzi, Salamet Wahedi, Umar Fauzi Ballah, Dody Kristianto, Choirul Wadud, KH Mustofa Bisri (Gus Mus), Akhudiat, Tzalis Abdul Azis, Ashif Hasanuddin dan Putri Mayasari.

Kemungkinan besar, saya melihat, keberadaan jurnal itu adalah sebuah perkawainan antara teman-teman yang menamakan dirinya sebagai komunitas SARBI dengan teman-teman di komunitas Rabu Sore. Yang saya tahu, secara aktif komunitas yang menerbitkan sebuah tulisan dengan agak serius adalah komunitas SARBI (Sastra Anlienansi Berbasis Independen). Mereka memformat media tulisnya, yang awalnya berupa lembaran kertas biasa, sebagaimana halnya brosur-brosur pada umunya, diusahakan pula diwujudka menjadi media digital. Berformat PDF dan dapat didownload secara gratis. Tampilannya sangat bagus selayak media seni prfesional yang menampilkan disain menarik. Menyegarkan mata. Bagi saya, itu sudah menjadi kemajuan yang baik. Semantara itu, komunitas Rabu Sore masih seperti biasa yang saya ketahui, masih mengunakan media berupa kertas serupa brosur promosi sebuah produk.

Namun, keaktifan teman-teman di Surabaya, tampaknya memang harus mendapat apresiasi hangat. Bagaimana pun juga, hal itu layak untuk dicatat ke dalam sejarah kesasatraan Indonesia. Berbagai bentuk kegiatan dan karya yang dihasilkan layak untuk dicatat. Meniru apa yang dikatakan oleh Chairil Anwar, layak dicatat, layak mendapat tempat.

Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2011/06/tentang-jurnal-puisi-amper.html

Ketidakberdayaan Dalam Puisi Joko Pinurbo “Bayi di Dalam Kulkas”

(Kajian Semiotika)
Dody Kristianto
http://sastra-indonesia.com/

Pengantar

Karya Sastra (KS) adalah sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan bahasa sebagai medium (Pradopo, 1987:121). Bahasa sebagai medium tentu sudah merupakan satu sistem tanda. Untuk menguraikan sistem tanda tersebut diperlukan satu disiplin ilmu yang mengulas tentang tanda. Sistem tanda disebut semiotik. Sedangkan cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda disebut semiotika (Zoest, 1993:1).

Puisi adalah salah satu genre KS. Dunia perpuisian di Indonesia dewasa ini mengalami kemajuan yang cukup pesat. Baik dari segi bahasa maupun dari segi bentuknya. Bahkan puisi Chairil Anwar yang menjadi fenomena pada masanya, kini sudah terasa sebagai puisi yang biasa saja. Dari segi bentuk, bentuk lama yang terikat seperti syair, pantun, gurindam telah berkembang pesat menjadi bentuk kontemporer, bahkan nirbentuk. Begitu juga dengan tema yang ingin disampaikan penyair. Perkembangan tersebut bias disebabkan karena evolusi selera dan perubahan konsep estetik (Pradopo, 1987 :318).

Puisi adalah ekspresi atau ucapan tidak langsung sebagai ucaan ke inti pati masalah, peristiwa atau narasi (Pradopo, 1987:314). Sebagai wujud ucapan atau ekspresi, puisi tidak lepas dari hakikatnya sebagai KS. Dengan demikian, puisi tidak terlepas dari unsur-unsur estetik yang menjadi esensi dari sebuah KS. Dan bias kita pahami bahwa puisi adalah suatu sistem tanda. Dalam tanda-tanda, suatu inti peristiwa biasanya tersimpan dan disampaikan melalui puisi.

Pada periode 2000-an, bias dikatakan puisi-puisi yang berkembang adalah jenis puisi-puisi antromorfisme, profeik dan nirbait (Rampan dalam Waluyo, 2003:165). Dengan berbagai tema yang ingin disampaikan oleh penyair. Tema yang dominan muncul dalam puisi-puisi Indonesia yaitu kepedulian terhadap sesama. Tema tersebut bias berupa masalah ekonomi, politik, sosial, budaya maupun sekitar kehidupan sehari-hari.

Untuk membatasi masalah, peneliti ingin mengaji salah satu puisi Joko Pinurbo (JP). Mengapa JP? Karena selain tercatat sebagai salah satu penyair periode 2000-an, puisi JP juga menawarkan sebuah pemikiran cerdas yang dikemas dalam diksi-diksi humor yang segar.

Joko Pinurbo : Pesan dalam Berbagai Tanda

Keunikan yang peneliti rasakan ketika membaca puisi JP adalah ia mampu mengemas pesan dalam berbagai tanda. Tanda tersebut dipadukan dengan gaya bahasanya yang humoris, mengandung ironi tentang kehidupan. Peristiwa sehari-hari bias dijadikan puisi oleh JP. Ranjang, celana, buku, tubuh adalah sebagian tempat imajinasi JP (Superli,2004;xix). Bahkan batuk, yang oleh sebagian besar orang dianggap sebagai satu penyakit, oleh JP disulap sebagai satu harapan akan kebebasan, dari sebuah situasi yang kaku, yang mengunci, yang membatasi :

Batuk, beri aku letusan-letusan lembutmu
untuk menggempur limbah waktu
yang membatu di rongga dadaku

Berbagai tanda tersebut tidak hanya menampilkan pesan, namun juga menimbulkan kesan humor tersendiri. Tanda telah menghubungkan JP dengan dunia luar. Humor yang ringan tidak akan membuat kita merasa jijik tetapi justru jenaka (Kleden, 2001:xii).

Dalam salah satu puisi JP, Bayi di Dalam Kulkas, peneliti menangkap ada tema ketidakberdayaan. Mengapa ketidakberdayaan? Pada hakikatnya manusia memang mahluk yang serba tidak berdaya. Ada satu kekuatan transcendental yang mengikat dalam diri manusia. Manusia memang bias berdaya dan upaya untuk berbuat suatu hal yang lebih baik, namun hasil akhir tetap manusia tidak berdaya. Ketidakberdayaan ini sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Bentuk Ketidakberdayaan

Dalam tulisan ini, peneliti ingin mengungkap tanda ketidakberdayaan dalam salah satu puisi JP, Bayi di Dalam Kulkas. Menurut Esten (1987:9), petunjuk pertama dalam memahami puisi adalah dengan memperhatikan judul. Judul adalah sebuah petunjuk untuk menengok keseluruhan makna puisi. Dilihat dari judulnya, puisi Bayi di Dalam Kulkas sangat unik. Bayi (secara denotative) adalah mahluk yang baru lahir ke bumi, baru merasakan hawa kehidupan. Ia tak berdaya dan sangat rentan terhadap lingkungan sekitar serta membutuhkan bimbingan dan kasih saying dari orang tuanya. Bayi bias diartikan sebagai sebuah bentuk ketidakberdayaan. Sedang kulkas adalah lemari pendingin, tempat untuk menyimpan makanan dan minuman. Secara tidak langsung, bisa diartikan sebagai ketidakberdayaan yang tersimpan, membeku, tak bisa dilawan dan harus diterima sebagai takdir hidup manusia.

Manusia sebenarnya bias merasakan ketidakberdayaan itu. Namunmanusia tidak berdaa untuk melawan. Manusia sebagai mahluk yang selalu berharap, tentu mempunyai pengharapan kan kebebasan dari berbagai bentuk ketidakberdayaan. Tapi seringkali harapan manusia hanya tinggal harapan. Hal ini bisa dilihat dari :

Bayi di dalam kulkas lebih suka mendengarkan
pasang surutnya angin, bisu-kelunya malam
dan kuncup-layunya bunga-bunga di dalam taman.

Dan setiap orang yang mendengar tangisnya
mengatakan : “Akulah ibumu. Aku ingin menggigil
dan membeku bersamamu.”

JP sengaja memilih sosok ibu dalam puisi ini karena ibu bias diartikan sebagai sebuah harapan akan hidup yang lebih baik. Apalagi sosok bayi sangat membutuhkan sentuhan sosok ibu. Ibu adalah sosok harapan bagi bayi.

Di sini peneliti memandang penyair memberikan sosok bayi sebagi bentuk ironi. Bayi yang semestinya lucu menjadi sebuah hal yang miris. Tampaknya sosok bayi tidak akan pernah menemui harapannya.

Jika ingin lebih diperinci, ketidakberdayaan dalam puisi JP bias diartikan juga ketidakberdayaan rakyat kecil. Bagaimana pun rakyat merindukan pejabat yang baik, yang perduli akan penderitaan rakyat

“Bayi, nyenyakkah tidurmu?”
“Nyenyak sekali ibu. Aku terbang ke langit
ke bintang-bintang ke cakrawala ke detik penciptaan
bersama angin dan awan dan hujan dan kenangan.”

“Aku ikut. Jemputlah aku Bayi.
Aku ingin terbang dan melayang bersamamu.”

Bait di atas bisa diartikan sebagai ketidakberdayaan rakyat atas pejabat. Seperti biasa, jika ada kunjungan pejabat ke daerah akan selalu ada jawaban basa-basi. Seperti biasa jawaban yang ada hanyalah menunjukkan sesuatu yang positif saja, keadaan rakyat yang tenang, aman, tidak kekurangan apapun. Padahal jika melihat knyataan tidaklah sama dengan yang diucapkan. Bayi (rakyat) pun bersembunyi di balik kenyenyakan tidurnya dan impian-impiannya. Hanya itu yang bias dilakukan Bayi (rakyat) untuk melawan ketidakberdayaannya.

Bayi tersenyum, membuka dunia kecil yang merekah
di matanya, ketika ibu menjamah tubuhnya
yang ranum, seperti menjamah gumpalan jantung dan hati
yang dijernihkan untuk dipersembahkan di meja perjamuan.

Senyuman bayi adalah senyuman sinis dari rakyat ketika sosok ibu (pejabat) ingin menjamah bayi (rakyat). Seperti biasa janji yang diberikan oleh pejabat sudah dianggap sebagai janji kosong. Rakyat hanya dijadikan sarana bagi pejabat yang ingin memperoleh keuntungan pribadi. Hal ini yang ingin ditunjukkan dalam diksi dipersembahkan di meja perjamuan

“Biarkan aku tumbuh dan besar disini Ibu.
Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai Itu.”

Sungguh sangat ironis jika sosok bayi tidak mau keluar dari kulkas yang dingin. Dunia yang ramai memang terlalu berat bagi sosok bayi. Apalagi ibu yang akan mengeluarkan sosok sang bayi masih dipertanyakan. Rakyat lebih baik memilih diam dan tumbuh dalam kebekuan. Sebab jika mereka maju, maka dunia politik yang ramai, yang tidak jujur hanya akan membuat mereka menjadi obyek. Sikap diam dan tak berdaya bias jadi adalah sikap yang tepat untuk menghadapi dunia yang ramai.

Akhirnya semua kegelisahan rakyat hanya akan menjadi suatu rahasia bentuk ketidakberdayaan dalam menghadapi permainan politik yang memang kejam. Jika berbicara mereka tentu akan menghadapi tindakan represif. Akhirnya ini yang ingin disampaikan JP dalam bait terakhir :

Bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri
di hadapan mulut yang mengucapkannya.

Simpulan

Puisi Bayi di Dalam Kulkas karya JP bias diinterpretasikan sebagai sebuah bentuk ketidakberdayaan. Jika ingin lebih mengerucut, bias diartikan sebagai sebuah bentuk ketidakberdayaan rakyat dalam menghadapi birokrat. Namun pada umumnya manusia juga tidak berdaya dalam menghadapi kehidupan. Akan tetapi sekali lagi sebuah teks puisi tidak hanya tunduk pada satu pemaknaan, satu teks puisi bias menimbulkan berbagai penafsiran. Bergantung interpretan ingin menginterpretasi teks dari sudut pandang dan seperti apa.

Daftar Pustaka:
Esten, Mursal. 1984. Sepuluh Petunjuk dalam Memahami dan Membaca Puisi. Padang : Angkasa Raya
Kleden, Ignas (ed). 2001. Joko Pinurbo : Di Bawah Kibaran Sarung. Magelang : Indonesiatera
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Superli, Karlina (ed).2004. Joko Pinurbo : Kekasihku. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia
Waluyo, Herman. J. 2003. Apresiasi Puisi. Jakarta : Gramedia
Zoest, Aart van. 1993. Semiotika : Tentang Tanda, cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta : Yayasan Sumber Agung.

Sabtu, 24 September 2011

Melankolia, Seusai Neruda

Pringadi AS
http://reinvandiritto.blogspot.com/

I.
Cicak-cicak di dinding
Diam-diam merayap

Saya masih saja menatap ke dinding, ke jam dinding. Menatap jarumnya yang terus bergerak menghitung detiknya sendiri – detik yang entah kapan akan berhenti di kematiannya. Tapi, saya sama sekali tidak sedang memikirkan kematian. Saya malah sedang berpikir bagaimana caranya hidup, caranya bertahan hidup.

Cuma sisa cahaya bulan yang menerangi kamar ini. Ukuran kamar ini cukup kecil, sekitar 2,5 x 3 m. Tidak ada ranjang. Tidak ada lemari. Tidak ada meja. Ada selembar kasur kapuk dan beberapa helai baju yang tergantung di balik pintu. Dan abu rokok yang setia tergeletak di asbaknya.

Kalau kamu melihatnya, dengan matamu sendiri, kamu pasti heran bagaimana saya bisa bertahan hidup di ‘kamar’ ini. Tapi saya bahkan pernah bertahan hidup di dalam hutan selama beberapa hari. Saya tidak bohong. Waktu saya masih sekolah dulu, saya hobi naik gunung. Di suatu liburan, saya memutuskan naik gunung Dempo dengan kelima orang teman. Dan beruntungnya, kami sempat tersesat. Selama beberapa hari saja, kami makan dan minum seadanya. Dari daun, dan dari tanam-tanaman yang kami sangka saja bisa kami makan. Akhirnya setelah dua hari, kami berhasil ditemukan oleh warga setempat. Kenangan yang begitu memikat bukan?

Makanya, di kamar ini saya masih merasa hidup. Saya masih bisa membaringkan tubuh di kasur yang sudah kehilangan kata ‘empuk’. Dan menikmati sisa cahaya bulan yang menerangi kamar. Menyaksikan bagaimana cicak-cicak di dinding diam-diam merayap. Mengendap. Menanti seekor nyamuk bersedia untuk dilahap. Ah, bicara cicak saya jadi ingat kisah bahwa cicak tak bisa bertepuk tangan. Tapi saya tidak yakin. Cicak bukannya tidak bisa bertepuk tangan. Cicak hanya tidak mau bertepuk tangan. Karena itulah saya berjanji dalam hati saya sendiri, suatu saat saya akan membuat cicak bertepuk tangan. Bertepuk tangan atas kesuksesan yang saya raih.

II.
“Kamu mau jadi apa, Di?”

Saya masih ingat pertanyaan itu. Pertanyaan yang sudah berulang kali ditanyakan kepada saya, semenjak saya masih kecil. Saya pernah mengatakan saya mau jadi presiden, saya mau jadi tentara, saya mau jadi pilot, saya mau jadi dokter, dan lain-lain. Tapi sayangnya perkataan saya itu hanya menjadi sebatas kemauan. Kemauan yang nasibnya behenti di sebatas ucapan. Faktanya, sampai kini, saya belum menjadi apa-apa. Saya bukan siapa-siapa.

Dan sekarang saya tidak tahu dimana dia, bagaimana nasibnya. Terakhir kali kami bertemu setelah dua tahun lulus SMA, dalam sebuah reuni sekolah. Dia juga belum menjadi apa-apa saat itu. Sama seperti saya.

“Aku mau ke Jakarta,” kata dia. “Aku tidak mau hidup seperti ini, luntang-lantung tidak karuan, membebani orangtua,” lanjut dia lagi.

Saya masih diam, mencoba mencerna ucapannya. Belum sempat saya mencerna, dia sudah bertanya kepada saya, “kamu mau ikut?”

Saya belum pernah ke Jakarta, ibukotanya Negara Indonesia. Kabarnya ibukota lebih kejam dari ibu tiri. Dan saya jadi ingat dengan ibu tiri saya yang memang suka menyiksa saya sejak kecil. Tapi kini beliau tidak lagi berani menyiksa saya. Sebab saya sudah berani melawannya. Sebab saya sudah lebih perkasa, bisa saja balik menyiksanya. Tapi itu tidak saya lakukan. Saya sangat menyayangi ayah yang mencintai ibu tiri saya itu. Ayah saya sudah tua. Saya tidak tega menyakiti hati ayah yang kadang terlihat begitu tegar dengan bengkel mininya. Saya kadang mangkal di situ, melayani beberapa pelanggan yang hendak mengisi angin atau menampal ban. Dan setiap saya menampal ban saya jadi ingat, dari sinilah saya ‘diberi’ hidup. Makanya kemudian saya menggeleng saat dia mengajak saya ke Jakarta. Saya tidak tega meninggalkan ayah saya sendirian. Saya tidak tega.

III.
Tapi saya sekarang berada di Jakarta. Sudah hampir satu tahun saya di Jakarta. Saya bukannya tega meninggalkan ayah saya. Tapi ayah sayalah yang telah meninggalkan saya lebih dulu, sekitar satu tahun setelah ajakan itu. Saya masih ingat pucat wajahnya. Pucat wajah yang terakhir kali saya lihat dari balik kafan putih sebelum ia dikuburkan.
Nama di nisan dan kenanga di pekuburan menjadi pemandangan terakhir yang saya lihat sebelum saya memutuskan pergi merantau. Merantau. Ke kota asing yang penuh orang-orang asing. Ke kota asing yang kabarnya cuma saya tahu dari televisi, tentang kepadatan dan kemacetan yang menjadi ciri khasnya.

IV.
Saya tidak mengerti apa-apa tentang asuransi. Sama sekali. Tapi tahu-tahu saya menjadi pegawai sebuah perusahaan asuransi. Saya pikir, awalnya, ini adalah pekerjaan yang besar. Suatu saat saya akan jadi orang besar, begitu kata atasan saya yang melambungkan hati saya ke langit ketujuh (meski saya tidak tahu bagaimana langit ketujuh itu).

Tapi memang kenyataan tidak selalu semanis yang diharapkan. Akhirnya saya sadar, saya cuma sales di sebuah perusahaan asuransi kecil tak bernama. Saya diwajibkan keliling-keliling ibukota, naik bus, metromini, sampai bajaj yang rodanya cuma tiga, hanya untuk menawarkan program-program yang ada di perusahaan asuransi ini.

Kebanyakan dari mereka (atau hampir seluruhnya sebenarnya) mengernyitkan dahi ketika membaca nama perusahaan ini.

“Apa?! Asuransi Jiwa Antah Berantah? Saya belum pernah dengar itu. Jangan-jangan kamu penipu ya?”

Tidak terhitung berapa kali ucapan itu masuk tanpa permisi ke telinga saya.
Atau:

“O, maaf. Saya sudah terdaftar di AJB Bumiputera 1912.”

Rata-rata dari mereka mengaku telah menjadi partnernya. Saya jadi penasaran dengan perusahaan asuransi yang satu ini. Saya benar-benar mau tahu seperti apa AJB Bumuputera 1912. Jadi saya datangi kantornya. Saya lihat laki-laki dan wanita keluar – masuk. Dan saya tak jadi masuk.

V.
Pablo Neruda, siapa dia? Tiba-tiba saya tertarik membaca sebuah buku yang tetinggal di sebuah kursi metromini yang baru saya duduki. Saya buka, dan saya tidak mengerti artinya. Tapi kemudian mata saya tertarik, sangat tertarik, pada sebuah judul “Lost in the Forest”. Mungkin karena saya tahu atau tak asing pada kata ‘forest’. Sebab waktu kecil, meski ibu tiri saya sangat kejam, beliau suka membuat black forest setiap ulangtahunnya. Dan saya diberi sepotong. Setiap saya minta nambah, selalu saja beliau beralasan saya tak boleh makan ini banyak-banyak. Nanti sakit perut lah, nanti gigi saya berlubang lah. Dan saya hanya bisa cemberut. Mengurut kening yang saat itu belum berkerut.

Tapi tiba-tiba saja ada seorang laki-laki menaiki metromini ini. Merebut perhatian saya dari buku tadi. Saya sangat mengenali sosoknya meski sudah berbeda penampilannya. Itu dia. Tak salah lagi, itu dia – sahabat saya yang pernah mengajak saya ke Jakarta. Dia begitu rapi dan mengenakan dasi. Pakaiannya tampak mahal, setidaknya lebih mahal dari saya.

“Hei…” saya berusaha memanggilnya.

Dia menatap saya beberapa detik sebelum mengenali saya.

“Adi?”

Saya pun menganggukkan kepala.



Setelah dia duduk di samping saya, kami saling becerita.

“Kapan kamu ke sini?”

“Sudah hampir setahun, sejak…” saya diam sejenak, “sejak ayah meninggal.”

“O, maaf, aku benar-benar menyesal mendengar itu. Kamu kerja di sini?”

Saya mengangguk. “Iya, saya kerja di Asuransi Jiwa Antah Berantah.”

“Asuransi?”

“Pasti kamu tidak mengenal perusahaan ini kan? Saya jadi sales marketing di sini.”

“Nggak, bukan begitu. Kebetulan banget. Aku sedang mencari asuransi.”

“Memangnya kamu kerja dimana?”

“Aku sudah jadi manajer sekarang. Begini, Di… asuransi ini untuk bangunan pertokoan kami. Kami sedang mencari perusahaan asuransi yang tepat. Dan kebetulan aku ketemu kamu. Aku bisa rekomendasikan perusahaanmu tadi itu, apa namanya?”

“Asuransi Jiwa Antah Berantah..”

“Nah, itu dia, untuk jadi partner kerja kami.’

“Beneran? Kamu serius?”

“Ya iyalah, Di. Tapi ini ga main-main, kontaknya ratusan juta. Kamu bisa?”

“Tentu, tentu. Kenapa tidak?”

Kami tertawa bersama. Saya benar-benar bersyukur bisa bertemu dia. Apalagi dengan kontak baru yang besar ini, saya senang sekali.

VI.
Tapi kemudian setiap saya telepon dia, tidak pernah diangkatnya. Saya pikir mungkin dia sedang sibuk. Maklum, dia manajer. Sedangkan saya cuma sales marketing.

Tapi kemudian malah handphone saya yang berdering, dari atasan saya.

“Di, cepat kamu ke kantor. Sekarang!” Nadanya tiba-tiba menghardik.

VII.
Di kamar ini saya masih menatap dinding, dan jam dinding. Baru saja saya berhasil menerjemahkan Pablo Neruda yang saya temukan dulu, dengan berantakan.

Lost in the Forest
Tersesat di Hutan

Lost in the forest, I broke off the dark twig
And lifted its whisper to my thirsty lips:
Maybe it was the voice of rain crying,
A cracked bell, a torn heart

Tersesat di hutan, aku mematahkan ranting
Dan menaikkan bisikannya ke bibir yang haus
Mungkin ini adalah suara tangisan hujan,
Rintihan hantu, desahan hati

Something from far off it seemed
Deep and secret to me, hidden by the earth
A shout muffled by huge autumns
By the moist of half-open darkness of the leaves

Sesuatu dari kejauhan terlihat
Dalam dan tersembunyi untukku, tertutup oleh bumi
Jeritan teredam oleh musim semi yang besar
Oleh lembabnya kegelapan daun-daun

Wakening from the dreaming forest there, the hazel-sprig
Sang under my tongue, its drifting fragrance
Climbed up through my conscious mind

Terbangun dari mimpi hutan di sana,
Menyanyi di bawah lidahku, aroma berkelana
Memanjat ke atas alam sadarku

As if suddenly the roots I left behind
Cried out to me, the land I had lost with my childhood—
And I stopped, wounded by the wandering scent

Seperti tiba-tiba akar-akar yang kutinggalkan
Menangis kepadaku, tanah tempat aku pernah tersesat dengan masa kanak-kanakku
Dan aku berhenti, terluka oleh aroma tak bertuan

VIII.
Datang seekor nyamuk
Lalu ditangkap

Saya bukan seekor cicak. Tapi saya juga bukan seekor nyamuk. Tapi kenapa saya seperti seekor nyamuk yang baru saja ditangkap dan dilahap oleh cicak?

Tersesat di hutan, Neruda itu. Sedangkan saya tersesat di kehidupan. Tapi saya tidak cemas. Saya sudah pernah bilang sama kamu, saya sudah pernah tersesat di hutan dan bertahan hidup selama dua hari. Tapi ini sudah hari keenam sejak saya melihat sisa api yang membakar perkantoran yang baru saja terasuransikan.

Saya pun kembali menatap dinding, jam dinding, dan cicak-cicak di dinding yang seolah tampak tersenyum sinis kepada saya.

Dan mereka bertepuk tangan.

Bertepuk tangan.

Lalu jatuh.

Saya pun tersenyum dan segera menyalakan api dari korek yang tersisa hanya beberapa biji.

Hei cicak, mari saya ajari bagaimana caranya menjadi Ibrahim!

Rabu, 21 September 2011

Perjamuan Magrib: Metafor Rambut yang Ranum

Adhy Rical
http://sastra-indonesia.com/

Membaca sajak penyair Syaifuddin Gani (SG) maka kita akan terbawa pada sebuah tempat. Rumah. Itu saja? Iya. Sederhana sekali. Sajak ini tak banyak bermain dalam wilayah makna seperti penyair lain. Prosais sekali jika sepintas membaca “Perjamuan Magrib” yang ditulis dua tahun lalu itu. Saya menyukai sajak ini karena sederhana.

1
istriku, azan magrib mengulum matamu
alismu rebah terbangun
rambutmu yang magrib lelap di leherku
kunikmati ranumnya seperti menyuntuki batubatu tasbih

merah di luar kamar bercengkrama di keningmu
matamu terbuka seumpama fajar terluka
bilal mengundang ke perjamuan magrib
menyantap sumsum alfatiha dan anggur arrahman

suamiku, bangunlah dari bebetan istirah
syair bilal mengelana di dadamu
penyetia yang tak lekang mengirim hubbu
matamu berkabut surau menyambut

temaram isya segera datang, satusatu bintang bertandang
di luar, jamaah melenggang ke taman sembahyang
sebelum iqamah datang
sebelum kiamat datang

2
sepasang suami istri membuka pagar
kakikakinya lariklarik puisi
hikmat dan nikmat ke terowongan magrib

jamaah bersorban berkerudung langit
mengerubung kiblat, lalu imam berkidung
oi, alangkah mawar allahu akbar
penawar jiwajiwa memar
rubuh dan rukuk dalam geluruh sembahyang

kendari, 12 agustus 2008

1/
Larik sajak ini sangat menarik perhatian. Ada beberapa diksi yang sering berulang diucapkan tapi pemaknaannya tak sama. Magrib. Saya memulainya dari kata “magrib” ini dulu sebagaimana penyair memulai dengan judul sajaknya. Mungkin dari situ kita temukan pemaknaan yang lebih jurus dan likat.

“istriku, azan magrib mengulum matamu
alismu rebah terbangun
rambutmu yang magrib lelap di leherku”

Pada bait di atas akan kita temukan dua kata “magrib”. Magrib pertama akan mudah ditebak karena pengertian denotatif sajak itu pun jelas. Azan Magrib adalah pintu awal memasuki sajak ini. Latar waktu pada magrib saat azan tiba. Lalu menyusul dua bulu (saya menggunakan kata biologik saja) biar lebih mudah pendefinisiannya. Personifikasi magrib pada larik berikutnya memukau. “rambutmu yang magrib lelap di leherku”. Magrib bisa dikatakan hitam. Rambut hitammu itu (sudah) lelap di leherku sejak lama. Ini diperkuat dengan larik pertama, si “aku” memanggil seseorang itu dengan “istriku”.

Setelah basmalah maka ada tiga ayat yang kita ucapkan dalam batubatu tasbih. Rambut telah menjadi buah yang ranum. Mungkin seperti rambutan Kendari yang sangat ranum. Rambut perempuan (istrinya) itu diandaikan buah yang ranum. Ia tiduri kekasihnya itu seperti tetap berzikir kepada Allah. Subhanallah. Lebih jauh sajak ini membuka cakrawala berpikir yang sangat menawan. Gaulilah istrimu sebagai ladang yang subur. Bukan main. Sajak ini memberikan mukaddimah langit dalam hubungan suami istri. Maka bahasa tuhan telah turun padanya sebelum sajak ini hadir secara lengkap.

“Merah di luar kamar itu bercengkrama dengan keningmu”. Bukankah ini gambaran senja? Magrib dianggap sebagai waktu yang paling romantis mengalahkan waktu-waktu yang lain. Bisa jadi penyair memilih magrib karena ia menyukai senja, menyukai warna-warna cakrawala yang menguatkan daya pukau cintanya pada istri. Atau magrib menandakan waktu ia kembali bersama istri setelah bekerja di luar rumah. Bisa jadi. Bisa juga magrib adalah waktu singkat sebagaimana waktu subuh. Ia yang takwa tak ingin lepas begitu saja. Seperti sesorang yang menunggu film kegemarannya di bioskop. Magrib menembus dimensi makna dan rupa bahasa. Anda boleh mencari lebih jauh pemaknaan itu. Masih terbuka kemungkinan ada pemaknaan lain dari magrib. Sampai di situ penyair belum berhenti memuji istrinya itu.

Lalu “matamu terbuka seumpama fajar terluka”. Ada kontradiksi di sini tetapi justru menjadi lebih indah. Kontradiksi yang tepat. “Luka” pada umumnya sesuatu yang sakit tapi “fajar terluka” di sini adalah terbuka. Sebuah metafor yang indah membawa kita pada ruang makna yang dalam. Magrib pun bisa terluka ketika matamu terbuka duhai istriku. Ya Allah, ini yang paling sulit dilakukan suami-istri: salat berjamaah. Penyair menggambarkan berjamaah itu sangat cantik di larik ini.

Kegairahan itu ternyata tak berhenti dengan pukau sang suami (aku) karena istri pun memiliki cara ucap yang berbeda tetapi rasa cinta yang sama.

“suamiku, bangunlah dari bebetan istirah
syair bilal mengelana di dadamu
penyetia yang tak lekang mengirim hubbu
matamu berkabut surau menyambut”

Istri yang baik adalah istri yang membangunkan suaminya salat jika waktunya telah tiba. Sajak ini bukan hanya bermakna sederhana seperti itu. Tapi ia lebih jauh menjangkau pemaknaan yang lain. Bangun tak sekadar lepas dari lelap/tidur tetapi dari riang yang mungkin saja dilipakan si “aku” itu.

SG sangat piawai mengajak romantisasi terjadi di rumah sendiri bahkan dalam jelang salat pun ia cerdas mengolahnya menjadi bahasa yang indah.

Saya hanya tak menemukan pengertian lain dari kata “bilal” dalam sajak ini. Ia tetap bilal tak seperti magrib yang benar-benar magrib dan sesuatu yang lain, mungkin bermakna rambut yang hitam seperti di awal esai ini kutuliskan. Selebihnya, kita patut bersyukur masih diingatkan dengan manis cara menemui kekasih ranjang dan kekasih sajadah secara bersamaan dengan cara yang paling romantis. Di luar itu, kita patut mengikuti jejaknya, bermain bahasa sang penyair ini tak pernah redup. Sepertinya ia selalu hadir di tempat yang tidak terduga. SG adalah penyair paling produktif di Sulawesi Tenggara. Pun kita tetap berharap akan hadir sajak-sajak lain yang lebih jauh pemaknaannya melebihi yang pernah ia tulis sebelumnya.

Salut penyairku. Aku ingin hadir di perjamuanmu! Mengajariku bercinta dengan tuhan sambil bercinta dengan kekasih yang lain setelah magrib selesai. Bukankah kita bisa bermain lebih lama di waktu Isya?
***

Kendari, 2010
Dijumput dari: http://kendarisyaifuddingani.blogspot.com/2010/07/perjamuan-magrib-metafor-rambut-yang.html

Saut Situmorang: Ngotobiografi Lewat Puisi? (1)

Wawan Eko Yulianto
http://sastra-indonesia.com/

Membicarakan Saut Situmorang selalu menghadirkan imaji yang keras (:D). Ya, para penikmat sastra penghuni benua ketujuh pasti sekali dua kali pernah mendapati tulisan-tulisannya yang membawa kritik-kritik pedas tentang 1) kritik(us) sastra Indonesia masa kini, 2) dominasi Komunitas Utan Kayu beserta para eksponen-eksponennya, 3) budaya massa di Indonesia (saya pernah baca esai Saut tentang bahasa Indonesia yang nginggris di film-film nasional). Orang-orang di sana-sini suka membicarakannya dan suka dibikin resah dengan gaya komunikasi cybernya yang keras. Orang-orang juga suka membicarakan pemikiran-pemikirannya. Padahal, ada satu “karir” pentingnya: sebagai penyair. Buat saya yang tinggal di Malang, yang agak jauh dari Yogyakarta, stomping groundnya Saut, kepenyairan Saut malah kurang terasa. Tulisan di koran-koran yang suka menyinggung Saut juga kebayakan menyinggung pemikiran dan “polah tingkah intelektualnya” (:D), bukan puisinya (kecuali puisi fenomenalnya “Aku MencintaiMu dengan Seluruh J****tKu”. Padahal dia punya tiga buku puisi lho. Okelah, nggak usah berpanjang-panjang, bisa-bisa jadi terkenal si Saut ini nanti (hehehe…).

Sekarang kita ngobrol saja soal buku puisi ketiga Saut Situmorang yang sampai ke tas saya lewat jasa baik penyair Ngalam Ragil Sukriwul (suwun ya, cak): Otobiografi. Tanpa perlu diklaim si penulis sendiri pun saya bisa bilang kumpulan syair ini memang diniatkan untuk menjadi otobiografi penulisnya. Di sini, si Saut membuat kumpulan lengkap sajak-sajaknya seolah (dengan segala keisengan!) ingin menyaingi kumpulan sajak-sajak lengkap Goenawan Mohamad 1961-2001. Bedanya sama si musuh besar, di Otobiografi Saut tidak mengkompilasikan sajak-sajaknya berdasarkan urutan waktu, namun berdasarkan “penjurusan” dan, baru kemudian, waktu penulisan. Kita akan temukan di sini sub judul “cinta” (yang isinya sajak-sajak yang memoaris, mengabadikan kehidupan batin si penyair dari waktu ke waktu tanpa pola pewaktuan yang tidak bisa dipastikan), kemudian “politik” (yang berisi unek-unek si penyair sebagai warga negara yang kebetulan tahu fakta-fakta tentang kebejatan penguasa dan tahu cara mengungkapkan protesnya, dan juga unek-unek si penyair tentang kejadian-kejadian di lingkungan sosialnya), dan terakhir adalah “rantau” (yang berisi sajak-sajak berbahasa Inggris yang kebanyakan ditulis waktu di ranah rantau Selandia Baru—yang sebagian sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia [atau mungkin juga dari bahasa Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa Inggris]).

Sepertinya demikian saja gambaran singkat tentang fenomena Saut Situmorang dan pratilik (halah!) atas kumpulan sajak terakhirnya, Otobiografi. Selanjutnya, kita ceburi sekalian sajak-sajak di buku tersebut dengan pendekatan … pendekatan apa ya … pendekatan yang asyik aja deh. Ya, pendekatan ASYIKISTIS di mana saya baca sajak-sajaknya dan kemudian akan saya ceritakan hal-hal menarik yang saya temui dan bersitan-bersitan yang saya dapatkan saat membaca dan tenger-tenger merenungkannya. Hokeh, let’s get it on! (to be continued…)

P.S. Kali ini jangan kuatir, sudah ada kelanjutannya kok, tapi kebetulan saja dicicil biar pas dan thrilling gitu deh (halah!):D
have a nice reading… and please consider ethics even in this opensource era…

February 17th, 2008
Sumber: http://berbagi-mimpi.info/2008/02/17/saut-situmorang-ngotobiografi-lewat-puisi-1/

Saut Situmorang: Ngotobiografi Lewat Puisi? (2)

Wawan Eko Yulianto
http://sastra-indonesia.com/

Pertama adalah sajak-sajak di bawah sub judul “cinta”. Ya, sebenarnya pada bagian ini sajak-sajaknya bukan cuman saja cinta. Mungkin, kalau boleh dikasih sub judul yang lebih merangkul, saya akan menyarankan “otobiografi” karena dari penandaan tingkat sekian kita akan menemukan cukup banyak informasi tentang kedirian si penyair (hehehe… tapi what’s in a subtitle? yang penting bagian itu berisi sajak-sajak yang lahir dari luapan kata hati nan murni yang tanpa kepentingan politik apapun, tak ingin mengungkapkan protes, tak ingin mencari duit, hanya kata hati … dan kebayakan dilandasi cinta, weissss…).

Dari puisi-puisi awal seperti “Tidurlah Cicak”, “Sajak Cicak”, “Boraspati”, kita akan bisa melihat dengan gamblang kalau Saut adalah jenis penyair yang sangat menggemari musikalitas puisi. Sajak pertama dan kedua yang saya sebutkan di atas sangat kentara sekali bermusiknya, kata-kata diulang-ulang dengan nyaman, dsb. meskipun IMHO makna yang ditawarkan tidak terlalu mendalam, kecuali untuk “Sajak Cicak” yang salah tiga barisnya berbunyi “mengapa anjing ribut tadi/menggonggong terus menggonggong/setelah membakar rumahmu”. Saat kali pertama baca sajak ini sih biasa-biasa saja, tapi setelah membaca sajak 1966 (dua versi, Inggris dan Indonesia) di mana salah tiga barisnya berbunyi “anjing-anjing setan gentayangan di jalanan/mendobrak rumah rumah/dan membunuh dan membunuh dan membunuh” saya jadi sadar, seperti yang dibilang di “Sajak Cicak” itu mengacu ke “anjing-anjing yang sama”. Musikalitas ini terasa pada banyak sajak Saut, meskipun tidak semuanya (oh ya, saya pertama kali mencurigai Saut suka musikalitas sajak saat baca esai pembuka “Tradisi dan Bakat Individu” yang dalam sebuah posting di satu milis dikatakannya sebagai kredonya itu, hehehe… esai nyambi kredo,:D ).

Satu hal lagi yang tampak jelas dari sajak-sajak Saut di bagian ini adalah KEBEBASANnya. Ada dua tingkat sih kebebasan dalam sajak-sajaknya: kebebasan di permukaan dan kebebasan di isinya.

Di permukaan, kita bisa jelas melihat betapa Saut dengan sangat bebas dalam menggunakan bahasa. Bahkan dalam sajak-sajak yang berbahasa Indonesia pun, seringkali Saut keceplosan mengeluarkan kata-kata bahasa Inggris. Dari situ, saya mensinyalir bahwa dia melakukannya asal kata itu dia rasa cocok dan bisa mewakili apa yang diinginkannya dan saat tiba-tiba keceplosan menggunakan bahasa Inggris, misalnya, seperti dia melakukannya karena kata yang berbahasa Inggris lebih bisa menghadirkan (bunyi) kata atau imaji (dua hal ini merupakan kegemaran Saut sebagaimana dia sebutkan dalam wawancara proses kreatifnya yang dimuat di majalah Imajio). Berbeda dengan GM (lagi-lagi GM, maklum lah, dia kan musuh politiksastranya bang Saut ini), yang suka membuatkan ejaan Indonesia untuk kata-kata berbahasa Inggris yang ingin dia selundupkan ke sajak-sajaknya (misalkan kata “rekes” atau “mineur” yang kali ini untuk mengepaskan dengan rima, atau kata-kata lain yang seringkali nyelempit di catatan pinggir), Saut lebih suka membiarkan kata-kata itu apa adanya. Lihat saja baris-baris ini: “ah, jangan menangis lagi kau untukku, francis!/do you like basketball, berangere?” atau “’maaf, pak, saya cari bemo saja’/thanks anyway, for my fucked up identity!” atau “menemaniku menyusuri/hangover gang gang Kuta-Legian”, “spring sudah tiba dan jarum kompas. Dan banyak lagi yang lainnya…

Kebebasan di permukaan lainnya adalah kebebasan Saut dalam memilih bentuk sajaknya. Ada kalanya sajak yang tercipta adalah sajak-sajak liris dengan bentuk standar, berrima di tempat-tempat yang semestinya, dst. dsb. Ada kalanya juga sajaknya bermain tipografi (contoh paling ekstrimnya adalah pada sajak “dongeng enggang matahari” [yang ini sangat mengingatkan pada sajak “cat” punya ee cummings] dan “sajak hujan”) di mana selain memberikan bahasa yang memaksa kita mengimajinasikan artinya, ada juga gambar ala kadarnya yang membantu mengarahkan imajinasi kita. Ada juga permainan tipografi yang dipakai tidak dalam keseluruhan sajak, hanya pada saat diinginkan saja, misalnya di sini

“ adalah kelopak mawar merah di atas meja
yang menetes
j
a
t
u
h”

Bisa juga kita temui sajak yang hanya terdiri dari satu kalimat “di kepalaku ada gempa”, tapi diulang-ulang teruuuuuus sampai 83 kali, seperti orang wiridan (sajaknya sendiri adalah doa, “bapa kami yang ada di sorga”), yang pastilah buat publik sastra Indonesia akan mengingatkan “tanah, tanah, tanah, tanah, dst.” dalam Adam Ma’rifat. Selain ini, silakan temukan juga bentuk-bentuk lain: berbentuk dua kolom, berbentuk rata tengah (diformat ctrl+e), atau bait-bait yang menjorok, atau kata-kata yang menjorok, yang mana, menurut saya, sangat dipengaruhi gerak hati si penyair sendiri.

Masih di tingkat permukaan, ada lagi kebebasan Saut mengutil-ngutil kata-kata dari sajak-sajak yang pernah dia baca, sepertinya tanpa pretensi. Mungkin ini hanya tuduhan semata, sementara ini saya baru lihat pada sajak “gondang gaib memukul mukul kelima indraKu” di mana ada “karena para pelacur menolak dibayar dengan sajak sajaknya/karena kemaluannya sendiri o bulan di atas kuburan”. Nah, semua orang kayaknya kenal “bulan di atas kuburan” Sitor yang baru saya sadar juga Situmorang. Atau, cobalah baca ini: “apalah arti sebuah batu/walau nisan/yang, mungkin, kan bertuliskan” yang pada awalnya dari karya sastra tapi sekarang sudah menjadi puisi mati. Atau sajak aku ingin yang, bukannya sendu nan bijak seperti aku inginnya pak Sapardi, malah berbunyi: “aku ingin mencintaiMu dengan membabi buta”. Sepertinya kesadaran sepenuhnya si penyair atas intertekstualitas bisa menjelaskan ini.

Demikian kebebasan permukaan si penyair. Sekarang kebebasan isinya:

Untuk kebebasan ini, sepertinya kita tidak perlu banyak-banyak bicara sebab, saya yakin, kita semua tahu sama tahu seperti apa kebebasan pandangan seorang seniman bohemian. Dia tak terlalu diberati oleh ada tidaknya Tuhan. Lihat saja betapa dia memainkan huruf kapital untuk Mu dan Ku yang, sebagaimana konvensi, hanya digunakan untuk mengacu kepada You-know-who, Dia, Allah, Tuhan. Di sini, saya mensinyalir bahwa yang mendapat kehormatan disebut dengan memakai huruf kapital adalah hal-hal atau orang-orang yang dia puja: kekasih, dirinya sendiri, botol bir, arak bali, dst. Bacalah “sentimentalia sebuah nama” yang diawali dengan baris pertama “selalu aku memberangkatkanMu/dengan puisi dan botol botol bir kosong”, atau “aku ingin kau mencintaiKu dengan membabi buta”, atau “aku tak mau Kau meninggalkanKU”. Ya, di situ ada puja kepada hal-hal lain, tapi tampak juga puja kepada dirinya sendiri. Hmmm…

Selain itu, sangat terasa juga nadanya yang selengekan. Mungkinkah seperti ini syair-syair generasi beat Amerika? Bahasa yang dipakai tak jauh-jauh dari bahasa sehari-hari yang bisa berbunyi kasar ataupun halus. Namun tetap saja, di sana-sini bahasa yang down-to-earth itu memunculkan imaji-imaji touchy seperti “airmata anak anak seperti gelas tumpah/sebuah sapu tangan putih/tak cukup/untuk mengeringkannya”

Keselengekanan Saut ini juga kelihatan dari betapa cueknya dia masukkan kata-kata secara manasuka. Atau, di sini bisa dibilang bahwa Saut percaya sama kejujuran bersajak yang meliputi pemilihan kata-kata. Atau lebih kongkrit lagi, Saut ini bukan model penyair yang repot-repot mencari kata-kata bahasa Melayu untuk menjadikan puisinya (seolah-olah) indah. Tak perlu lagi dia repot-repot menghadirkan kata “lindap” (:D), “sangsai”, “elan” atau apalah kata-kata melayu yang mengesankan kecantikan karena ketidakmudahdipahamiannya itu. Hehehe… Saut santai saja memakai imaji “ketombe yang luruh”, dsj. untuk mengungkapkan isi hatinya. Yah, sepertinya Saut senada dengan Mikael Johani dalam hal kejujuran ekspresi ini: kalau memang sekarang jamannya orang chatting, kenapa pula kita terus-menerus mengambil imaji “ilalang di tengah padang” yang sebenarnya tidak ditemui dalam kehidupan sehari-hari orang Jakarta, atau “masak jaman sekarang imaji-imajinya tetap ‘dahan, kayu, dst’”.

Nah, sementara begitu dulu. Tetap degan semangat yang sama (agak thrilling…dan biar blognya kelihatan diisi tiap hari), saya akan lanjutkan bagian ketiga ngimpi tentang Saut Situmorang. (to be continued…)
have a nice reading… and please consider ethics even in this opensource era…

February 18th, 2008
Sumber: http://berbagi-mimpi.info/2008/02/18/saut-situmorang-ngotobiografi-lewat-puisi-2/

Menggelintar Menuju Matahari

Ilham Q. Moehiddin
http://sastra-indonesia.com/

tanah dibakar api, gersang
api ditiup angin, arang
angin diburu gelombang, tumbang
gelombang ditelan tanah, garang

bulan jatuh ke bumi, diam.
(Malam Memanggang Rindu : hal 33)

Sebuah petikan sajak dari buku Surat dari Matahari, menandai tangkapan saya pada arah kepenyairan Syaifuddin Gani. Membaca 66 sajak Penyair Syaif—demikian dia dikenal—seolah kita dihubungkan dengan titik-titik animatif yang merangkum semua perjalanan hidup kemanusiaan, yang dimanifestasikannya secara kontemplatif pada dirinya.

Kita tidak hanya disodori kemurungan, kegembiraan, keseimbangannya, kritikannya, bahkan kesaksiaannya yang dirangkum sedemikian indah lewat kata-kata maknawi pada satu buhul simpulan saja: kerinduan.

Ya, Penyair Syaif memang rindu. Kita akan dibawanya pada perjalanan yang penuh juang seorang anak manusia. Dari berbagai tempat, sang penyair melukiskan pada kita geliat peradaban di Wondulako, melintasi Konawe, hingga menjaring kabut di gang-gang panjang Sleman-Yogyakarta, kembali melebur di benteng Keraton Butuni, dan ke tempat-tempat berikutnya, menggelintar dari kota ke kota lainnya. Dia memotret keengganan, kegamangan, dan lanskap alam yang berlapis, demi untuk mengantar kita pada kerinduan.

airmata langit/ dan gerimis yang jatuh bersuara parau/ mengguyur serambi ini/ yang tinggal batu-batu/ dan sebiji peluru// pabila malam pulang/ hanya udara yang datang sempoyongan/ bercerita tentang sepucuk surat dari matahari/ yang berlabuh di meulaboh//

Pada sajak Surat dari Matahari (hal 36) di atas, yang terpilih sebagai tajuk buku ini, sejujurnya, sajak-sajak penyair Syaif hendak menabalkan premis tunggal bahwa girah kemanusiaan itu demikian ringan. Hidup yang singkat, sukar didominasi kepura-puraan. Bahkan terlalu singkat, sehingga sebuah perjalanan hidup dengan mudahnya berakhir di sebuah ‘dermaga’. Penyair Syaif secara luar biasa berhasil mengeksplorasi lapisan dimensi keinginan manusia, menggalinya dalam-dalam dengan beliung kata—yang tak sekadar indah, dan mengalirkannya ke wilayah personal manusia.

Manusia yang tualang tergambar begitu akrab dan murung dalam 66 sajak dalam buku ini.

“Kesaksian Syaifuddin Gani dapatlah diangkat sebagai kemurungan sosial-kemanusiaan. Kemurungan yang menggeliat pada manusia kini, dan secara cerdas dan bernas ditangkap sang penyair.” Demikian konklusi yang digambarkan sastrawan dan penyair Agus R. Sarjono, dalam bedah buku ini beberapa waktu lalu.

Buku Surat dari Matahari, rupanya sedikit-banyak, dapat menjawab pertanyaan perihal apa di balik realitas hidup manusia kini; sebagaimana sepucuk surat yang dilabuhkannya menuju matahari.

Judul: SURAT DARI MATAHARI Sebuah Antologi Sajak
©Karya: Syaifuddin Gani
Hak cipta dilindungi undang-undang. All right reserved.
Desain Sampul: T. Ramadhan Bouqie
Visual Isi: Tim KomodoBooks
Cetakan ke-1, April 2011 100 hlm. 14 x 20,5 cm
ISBN 978-602-95983-4-6

*) Resenser adalah penggagas Perhimpunan The Indonesian Freedom Writers, dan aktif menulis di berbagai media. Penulis Kitab & Tafsir Perawan Nemesis (2000), Unabomber: Gadis Kecil di Elliot House (2002), dan Kabin 21 (2003). Kini bermukim Kendari (Sulra).
Dijumput dari: http://sosbud.kompasiana.com/2011/09/07/menggelintar-menuju-matahari/

Senin, 19 September 2011

Tepi Jalan Ahmad Yani

Salamet Wahedi *
Surabaya post, 6 Feb 2010

Gadis itu menggigit-gigit kuku jari telunjuknya dengan gigi depannya. Sapuan matanya menyisakan nanar keruh. Air mukanya pun menampak riak berdebu. Raut belia itu tambah kusam saja saat butir debu yang diterbangkan mobil-mobil di depannya lengket di wajahnya. Kulit wajahnya begitu berminyak. Seperti bentangan kanvas lusuh, wajahnya sekilas menguar panorama senja. Namun, kerling retinanya menegaskan usianya yang masih di bawah dua puluh tahun.

Sudah berhari-hari ia berdiri di tepi Jalan Ahmad Yani. Kebaya biru langit tuanya, yang mendekati warna ungu, mengesankan kemuraman. Apalagi malam mulai bergegas seperti orang-orang yang menderu dengan kendaraan pribadinya masing-masing. Tampaklah sebuah duka yang maha.

Ia menggigit-gigit kuku jari telunjuknya. Seperti menggigit-gigit sesuatu yang tak habis-habis. Seperti mengunyah permen karet. Tapi sebenarnya ia hendak mengunyah kerikil yang berserakan di kepalanya. Mengganjal di benaknya. Kerikil-kerikil yang berjatuhan dari tubuh lelaki yang sempat dipujanya. Lelaki yang selalu memanggilnya, Manisku. Lelaki yang meninggalkan jejak ngilu dan kelu kata-kata di tubuhnya.

”Manisku, kita akan mengarungi dunia ini seperti kupu-kupu yang aneka warna. Kita akan melintasi taman-taman, menziarahi tempat penuh kenangan.” Lelaki itu selalu memberinya imajinasi. Mengajaknya melayang dari atas awan. Beterjunan menikmati luas cakrawala, menatap dunia fantasi tingkat tinggi.

”Seperti Adam dan Hawa, kita akan menemukan surga kita dalam desah kita. Dalam dengus kita. Dan sempurnalah kita yang memang dilahirkan untuk menjadi sepasang pecinta.” Lelaki itu selalu membuatnya teringat pada espisode-episode sinetron kesukaannya. Sinetron yang selalu disantapnya mulai sehabis maghrib hingga menjelang malam.

Lelaki yang tiga tahun lebih tua dibanding usianya, diimpikannya sebagai sosok yang akan meninggalkan sepotong masalah, sepenggal gelisah, lalu beberapa tahun kemudian akan datang dengan senyum sumringah. Seperti sinetron-sinetron yang selalu menggelar drama percintaan, tragedi kejahatan picisan dan melankolia romantisme karbitan, yang kadang-kadang ditolak suara hatinya. Tapi tak pernah mampu ditepikannya. Selalu, cerita-cerita semacam itu tergelar dari satu sinetron ke sinetron lain.

Lelaki itu selalu diimpikannya, kadang-kadang sebagai Anjasmara, Rizky Aditya, atau Dude Herlino. Tiap malam ia selalu terbayang senyumnya, gerak rekah bibir yang memanggil namanya, Manisku, atau raut wajah yang selalu membuatnya melayang.

Tapi lelaki itu, kini hanya menyisakan lengang gersang di dadanya. Membekaskan suara-suara yang mengerang seperti sayatan parang. Lelaki itu kini pergi seperti elang. Lelaki yang entah ke mana kini ia menghilang.
***

Jauh sebelum ia berdiri di tepi jalan Ahmad Yani, jauh sebelum ia hanya menggigit-gigit kuku jari telunjuknya, menggigit-gigit segumpal kerikil masalah yang membuat hatinya nelangsa, biasanya menjelang maghrib, Gadis itu, Ardina, sudah bergegas mandi. Sehabis adzan, ia langsung merampungkan shalatnya. Setelah itu, ia akan terpaku di depan televisi. Di temani ayah-ibunya yang juga kesemsem tangis Sireen Sungkar, derai tawa Chelsea Olivia, atau siasat busuk picisan para tokoh antagonis yang selalu diulang-ulang dengan adegan yang tidak logis.

”Bu, baju yang dipakai Fitri kalem ya Bu? Motifnya tidak menyolok, dan paduan warnanya sangat mendukung postur dan kulit langsatnya”. Tubuh Ardina melengos di atas sofa. Di tengah jeda sinetron, Ardina dan ibunya selalu mengomentari mode pakaian yang dipakai tokoh-tokoh sinetron. Apalagi mode pakaian yang dipakai oleh para aktrisnya

Sedang ayahnya hanya sesekali memberi penjelasan yang kurang enak di hati ibunya, ”Baju-baju itu memang pesanan. Tidak hanya sekadar memesan, tapi juga hendak menghembuskan nafas budaya baru. Budaya orang-orang yang jauh bertolak belakang dengan budaya kita”

”Wah Bapak sok tahu aja. Komentarnya selalu miring terhadap sinetron kita. Ceritanya yang picisan lha. Aroma kapitalis yang begitu kental lha. Atau tokoh-tokohnya tampil tanpa budaya di mana cerita itu dirangkai. Ada-ada aja.”, bibir bawah mulut ibu Ardina agak maju.

Percakapan tentang gaya hidup a la sinetron di tengah keluarga Ardina telah menjadi menu sampingan yang pokok. Setiap malam, di tengah jeda sinetron, atau di tengah interlude satu sinetron ke sinetron berikutnya, atau bahkan di pagi hari, saat mereka menyantap sarapan pagi, perbincangan mode, pola hidup, atau cerita lika-liku cinta yang romantis, atau melodrama tragis maupun logika cerita yang kadang terkesan tidak logis selalu tersuguh begitu hangat.

”Bu sungguh ironi sikap Nona Mikad. Masak sudah punya suami ganteng kayak tuan Aldir. Kaya lagi. Masih doyan main selingkuhan”.

”Lho, itu dah biasa Din. Kalau tidak seperti itu bukan jaman modern namanya. Coba kau lihat, tokoh Marsulin dalam sinetron “Kupu-Kupu Hijau”. Mulanya ia digambarkan anak yang cantik, pendiam dan berprestasi dalam belajar. Tapi itu kan cerita-cerita kuno. Hingga sutradara pun perlu mengubah alur ceritanya. Perlu mengikuti selera masa kini. Si Marsulin pun akhirnya, gara-gara camping liburan akhir tahun pelajaran, jatuh hati sama Si Rodek. Sampai-sampai ia rela hamil di luar nikah. Sampai-sampai ia rela menangis dan menahan sesak dada kala Rodek meninggalkannya. Tapi toh akhirnya, ceritanya ditutup dengan happy ending. Itu baru gaya hidup sekarang. Kau pun harus seperti mereka kalau mau maju”.

”Hussy, belum tentu apa yang digambarkan sinetron itu semuanya benar”, Bapak Ardina selalu menanggapi komentar istrinya dengan nada berseberangan.

Tapi di mata Ardina, ibunya sosok yang selalu dibayangkannya seperti ibu-ibu di sinetron yang suka mendorong anak-anaknya untuk maju. Ibu yang memberlakukannya bak si Bawang Putih,. Bukan bawang merah atau Cinderella. Sedang ayahnya sosok yang kaku. Terlalu berhati-hati. Ardina lebih memilih kata-kata ibunya daripada kalimat-kalimat ayahnya yang pelan dan penuh perhatian.

Sebagai sinetron-lovers, Ardina lambat-laun mulai meniru gaya dan mode hidup para aktris pujaannya. Para aktris itu, menurut ibunya begitu total menampilkan karakter yang dimainkannya, dan panats dijadikan contoh.. Di kamar tidurnya, Ardina tidak lupa memajang gambar-gambar aktor dan aktris pujaannya. Di kamar mandi, sabun dan segala perabotan mandinya, juga sama seperti yang dilihatnya dalam kamar-kamar mandi sinetron. Bahkan gaya bicaranya pun mulai meniru Laura Cintya.

Di tengah teman-temannya, sesama pecinta sinetron, Ardina tidak hanya dielu-elukan atau sekadar dibanding-bandingkan dengan bintang sinetron yang cantik. Tetapi ia selalu hadir sebagai titik pusat di tengah lingkungannya. Ia selalu dikasak-kusukkan sebagai putri yang dikelilingi seribu lelaki.

Ardina selalu membayangkan dirinya diperebutkan. Ia selalu membayangkan indahnya dan romantisnya dijemput dan dibawa berkeliling ke mall oleh si Arman, pangeran pujaan hatinya. Ia selalu membayangkan cerita kesehariannya seperti cerita dalam sinetron yang kini begitu akrab di dalam kamarnya.

Ardina membayangkan tangan Arman seperti tangan Dude Herlino membelai rambut kepala lawan mainnya di sinetron. Seperti Rizky Aditya menjamah tubuh pasangannya, ai bayangkan bibir Arman menapak bibirnya. Ia membayangkan Anjasmaralah yang menindih tubuhnya. Ia membayangkan yang bersemi di rahimnya adalah benih-benih para aktor pujaannya.
***

Malam itu, malam ke duapuluh satu di bulan kelima Ardina menunggu kabar Arman, lelaki yang kini meninggalkan setitik kelu dalam perutnya. Secuil ngilu di antara sendi dadanya. Lelaki yang dulu selalu dibayangkannya membawa setangkup kata-kata penuh sendu, tak kunjung muncul. Mungkin tidak akan pernah muncul.

Malam itu, Ardina mulai mengelus dada yang kini luluh. Memandang langit yang diharapkan mengajaknya untuk mencari tempat teduh. Tempat di mana ceritanya akan menjadi sinetron yang dielu.

Mila, pacar Redo, teman Arman, dengan wajah cemberut dan kata-kata dipenuhi beban, di suatu pagi, saat matahari beranjak setombak. Saat mereka coba membayangkan diri sebagai anak-anak sinetron yang berangkat sekolah. Mengabarkan akan alur picisan yang selalu ditemuinya dalam cerita sinetron.

”Din, Arman kini benar-benar menghilang. Ayah-ibunya dipindah-tugaskan. Tetangganya tidak ada yang tahu alamat mereka. Mereka dipindah-tugaskan ke Surabaya”
”Kok bisa?”
”Bapaknya Arman itu hanya konsultan di sini. Masa kontraknya hanya dua tahun...”
”Terus...”

Mila, sebentar, menarik nafas. Lalu ia memandangi wajah temannya. Dengan berat hati, ia masih membayangkan kepergian Arman sebagai tangga dramatik cerita cinta temannya. Ardina mambalas tatapan temannya. Dengan wajah kuyu, ia meminta pertimbangan. Sejenak mereka terdiam. Lalu derai tawa menyeringai di sudut bibir keduanya. Keduanya coba sama-sama membayangkan: kepergian Arman tak ubahnya kepergian yang dilakonkan dalam sinetron. Kepergian yang karena terpaksa. Kepergian yang tak pernah diinginkannya sendiri. Mereka coba tertawa. Coba menumbuhkan ketengan di hati masing-masing.

Pagi itu, kembali Ardina membayangkan dirinya sebagai tokoh yang tengah ditimpa kesusahan sebelum benar-benar mencicipi manisnya madu. Ardina memastikan dirinya akan tetap tegar menanggung segala derita awal ini.

”Tenang Mil, aku akan tetap tegar kok. Ini kan cuma sebentar. Arman pasti kembali. Cerita sinetron selamanya berangkat dari kenyataan. Berangkat dari rasa pahit dan berakhir manis. Dan ceritaku ini, aku yakin akan seperti cerita sinetron”

”Tapi Din...” pagi itu Mila sebenarnya hendak menepis segala apa yang dikatakan temannya. Mila hendak memastikan hidup bukanlah sinetron. Hidup adalah cerita yang tak bisa direkayasa.

Ya hidup bukanlah kenyataan yang tak bisa direkayasa. Kepergian Arman, bukanlah sekadar cerita yang bisa di-cut di sembarang fragmennya, atau direka ulang potongan peristiwanya. Arman benar-benar pergi jauh. Jauh sekali. Hanya nasiblah yang akan membawanya kembali.
***

Sudah dua tahun Arman raib. Sudah puluhan episode sinetron yang diikuti Ardina untuk memupus kegundahannya. Tapi kesabaran ada batasnya. Ardian tak mungkin menunggu. Hanya menunggu happy ending yang selalu dilihatnya dalam sinetron. Ardina, dengan gaya anakmuda sinetron memutuskan mencari kekasihnya ke kota sana. Dengan gaya anakmuda sinetron, Ardina diam-diam minggat dari rumah. Minggat demi cinta kasih pada Arman. Pada lelaki yang dibayangkannya seperti Dude Herlino.

Berhari-hari Ardina melanglang buana di kota besar. Kota di mana hidup seperti deru laju kendaraan. Di tepi jalan Ardina memasang nama kekasihnya di dadanya: ARMAN, Aku mencarimu! Ia pasang tulisan itu dengan ukuran besar. 40 x 60 cm. Ia berharap, dengan memasang keplek itu, ada orang yang memahaminya.

Tapi kota tetaplah hutan belantara.
***

Berhari-hari Ardina mencari kekasihnya, Arman, di kota. Berhari-hari Ardina menunggu kekasihnya, Arman, di tepi jalan raya.
***

Malam itu, gadis berkebaya biru tua, yang hampir mendekati warna ungu itu hanya menggigit-gigit kuku telunjuknya. Sudah beberapa hari ini, ia tidak peduli dirinya. Beberapa hari ini, ia hanya berharap kekasihnya, Arman, datang menjemputnya. Ia tidak peduli perutnya bernyanyi. Kepalanya berdengung sunyi. Dan matanya berkunang-kunang sepi.

Sedang lalu lalang kota selalu siap menelannya. Melumatnya bersama kelu pedih hatinya.
***

Esok paginya, gadis itu tidak lagi menggit-gigit kuku jari telunjuknya. Esok paginya, tubuhnya tergeletak di halaman depan sebuah koran. Bajunya bersimbah warna merah. Sedang senyumnya tetap memendam pendar penantian. Kota pun geger. Polisi bertindak cepat. Dan semua pihak yang memiliki hubungan dengannya dihadirkan ke studio-studio. Dikorek perasaannya. Ditanya kesannya.

‘Seorang gadis belia mati bunuh diri, dengan menabrakkan diri ke kekendaraan yang melaju di atas kecepetan 100 km/jam. Ia diduga stres karena ditinggal pacarnya. Ia ...’ seorang wartawan menulis berita kematiannya dengan nada jurnalisme dramatik, tangga cerita yang memukau.
Sedang aku terinspirasi ceritanya untuk sebuah naskah sinetron tentang sebuah kota.

Lidahwetan, September 2009
*) Salamet Wahedi, Lahir di Sumenep, 03 Mei 1984. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media, antara lain: Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Suara Pembaruan, dan Batam Pos. Juga dalam beberapa antologi: Nemor Kara (antologi puisi Madura, Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (antologi puisi santri Jawa Timur, Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan lain-lain. Tinggal di di Lidah Wetan, Gang VI No. 24 Surabaya.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=319809922274

Sabtu, 17 September 2011

BELAJAR MENULIS DARI AZYUMARDI AZRA*

Sutejo
http://sastra-indonesia.com/

Sejak mahasiswa tingkat S1, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini sudah rajin menulis. Awalnya dia menulis sajak dan puisi yang dimuat majalah Time. Berangkat dari kelompok diskusi mulailah dia menulis artikel di berbagai media massa, dan buku pertama yang diterbitkan adalah tesis dan disertasinya. Hingga kini –paling tidak- telah menghasilkan 18 judul.

Menulis bagi Azyumardi menebarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Dia tidak pernah memikirkan pendapatan yang dihasilkan dari menulis buku. Bahkan, dia tidak pernah tahu berapa royalti yang dia dapatkan ataupun eksemplar bukunya yang terjual. “Bagi saya, begitu selesai menulis, saya tidak memikirkan hal lain lagi, bahkan saya tidak pernah tahu persis honor yang saya terima dari hasil menulis kolom atau artikel,” ujar ayah empat anak ini.

Keseriusan dalam menulis menyebabkan dia mendapat penghargaan Buku Utama dari Yayasan di bawah naungan Depdiknas tahun 2000, buku berjudul Renaisans Islam di Asia Tenggara mendapat penghargaan karya terbaik dalam bidang humaniora dan ilmu sosial. Tahun 2002 ia mendapat penghargaan dari Mizan sebagai penulis paling produktif dan mendapat hadiah sebesar Rp 10 juta. Akan tetapi, jika dia harus menghitung, tentu saja honor menulis buku sama sekali ti¬dak menutupi biaya yang harus dia keluarkan untuk menghasilkan buku tersebut. “Saya harus riset, kadang membutuhkan waktu lama.” ujarnya.

Nah, dari pengakuan Azyumardi demikian, apa yang dapat dipetik? Pertama, menulis itu membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan untuk melakukan research -yang tentu- biayanya tidak sedikit. Di samping, pengorbanan waktu untuk meluangkan setiap saat. Menulis, dengan begitu, membutuhkan kerelaan untuk memfasilitasi, memberikan ruang, dan apa pun untuk memfasilitasi ide penulisan. Dalam banyak kasus menulis perlu mengumpulkan bahan, baik itu melalui penelitian ataupun dari berbagai sumber referensi yang memadai. Di sinilah, tergambar bagaimana menulis sesungguhnya membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Permasalahannya adalah bagaimana untuk kita yang pemula? Sebab, permodalan seringkali menjadi hambatan utamanya. Berbagai sumber bisa diakses gratis, katakanlah lewat internet, perpustakaan daerah, atau boleh jadi pinjam. Jika ini yang kita lakukan hal penting yang dapat dilakukan adalah membuat kartu kutipan yang akan berisi hal-hal penting dari berbagai sumber bacaan terperoleh.

Kedua, sebaiknya menulis tidak usah mempertimbangkan berapa honor yang kita terima, tetapi pada tingkat kepuasan dan keinginan untuk berbagi ilmu pengetahuan. Sebuah idealisme kepenulisan yang luar biasa, yang dapat dicontoh oleh siapa pun kita. Meskipun, sesungguhnya menulis juga dapat dipergunakan untuk mencari uang tetapi bagi Azyumardi hal itu dinomorduakan karena komitmen keinginan berbagi. Penulisan buku, misalnya, memang dapat menjadi jariyah bagi penulisnya. Hal ini, sebagaimana Steven Covey, pengarang buku Eight Habits, yang pernah mengatakan bahwa orang harus punya sesuatu yang bisa diwariskan setelah mati selain nama. Covey bilang, “Apa sih yang ingin orang ucapkan tentang kamu di depan makam kamu. Cuma nama saja, atau kamu ingin diumpat sebagai penjahat, atau diingat karya-karyanya atau pemikirannya?”

Keinginan berbagi, ini sebenarnya tidak saja bagi Azyumardi tetapi juga Rhenald Kasali. Bagi Rhenald Kasali, misalnya, bisa menulis buku itu satu anugerah, suatu kebanggaan yang tidak terhingga lantaran penulisnya meninggalkan warisan pemikiran kepada orang lain. Di sinilah, makna terpenting dari hal yang dapat kita petik dari Azyumardi yang dalam bahasa Rhenald dimaknakan sebagai anugerah. Bagaimana dengan kita? Berbagi pengalaman lewat tulisan tentunya akan menjadi forum komunikasi positif yang ujungnya mewariskan pengalaman pada orang lain.

Ketiga, membiasakan menulis sejak kecil sangat bermanfaat bagi kepenulisan selanjutnya. Di sinilah, menariknya andai kita mau membiasakan menulis sejak dini. Jika kita belajar dari Azyumardi, paling tidak, ketika kuliah di perguruan tinggi, penting untuk mengembangkan kepenulisan itu. Usia mahasiswa boleh jadi usia produktif secara intelektual, karena itu, jika kita ingin mengembangkannya masa-masa ini adalah “masa emas” yang penting diselamatkan.

Pelatihan yang dapat dilakukan sejak dini adalah membiasakan untuk (a) memiliki buku harian, (b) latihan mengungkapkan gagasan secara tertulis, (c) mencatat hal-hal penting yang ditemukan, (d) merespon pikiran orang lewat tulisan, (e) memberikan komentar kritis atas realita yang terjadi, (f) membuat laporan hasil kunjungan, dan (g) menulis feature hasil perjalanan, ilmu pengetahuan, maupun ketokohan. Dalam pelatihan ini, mengingatkan kita akan kiat yang dilakukan Maman S Mahayana dalam melatihkan kepenulisan kepada para mahasiswa dengan berbagai kegiatan kecil: mendeskripsikan tokoh, melukiskan peristiwa, menggambarkan tempat, merangkaikan peristiwa, dan seterusnya.

Keempat, jangan remehkan puisi. Kalau Azyumardi mengawali kepenulisannya lewat puisi yang dimuat di majalah Time maka makna yang dapat ditarik adalah dengan menulis puisi (a) kita melatih empati, (b) menuangkan ekspresi, dan (c) mengorganisasi “potongan-potongan” ekspresi. Dalam teori menulis kreatif, sebenarnya, menulis puisi relatif lebih sulit dibandingkan dengan menulis popular. Pengalaman Azymardi menjadi unik dan menarik untuk direnungkan.

Menulis puisi pada tahap awal biasanya berpusar pada masalah cinta dan kemanusiaan. Ungkapan remaja dan mahasiswa yang sedang kasmaran, misalnya, dapat dijadikan media awal latihan itu. Banyak penulis yang mengawali darinya. Untuk itu, jangan malu ketika kita arif belajar dari pesan Azyumardi ini.

Dalam pengalamannya yang mengesankan bagi saya adalah (a) bagaimana Azyumardi mendampingi tulisan-tulisan yang dihasilkan mahasiswanya, (b) mengoreksi, dan (c) memberikan rekomendasi untuk dikirimkan ke media tertentu yang cocok. Pengorbanan seorang Azyumardi, karenanya, adalah contoh keteladanan intelektual yang menarik untuk dibudidayakan di masyarakat kita. Dalam kasus ini, akan menjadi wahana penting dalam belajar menulis.

Akhirnya, belajar dari pengalaman Azyumardi itu ada baiknya kita bertanya: maukah kita menulis? Mengorbankan waktu dan finansial untuk berbagi ilmu? Jika kita ingin dikenang dalam sejarah peradaban manusia, maka menulis tentu akan menjadi pilihan yang harus dilakukan. Mudah-mudahan.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Qiu Shui Yi

Lan Fang
Jawa Pos, 20 Feb 2011

AKU menekukkan punggung seperti panda yang malas bergerak. Angin menggasak dada. Dingin menghajar kulit. Kunaikkan retsliting jaket tipisku, agak macet. Jaketku tampak tua, pudar dan lepek. Warna birunya sudah tidak sempurna seperti tarikan retslitingku yang tersendat-sendat.

Dengan kesal, kutarik retsliting jaket sekuat-kuatnya. Seketika itu juga gigi retsliting lepas dari relnya. Aku tidak tahu apa sebabnya. Apakah aku yang terlalu kuat menariknya atau jaket yang kukenakan ini….

Tiba-tiba aku teringat kata-kata si pramuniaga toko ketika ia memajang sebuah jaket yang tampak begitu sempurna.

“Jaket ini terbuat dari kulit kualitas nomor satu. Kulitnya halus, kencang dan gemerlap. Tidak berserat, retas atau kerut. Jahitannya rapi sampai ke pelipit. Bagian sebelah dalam dilapisi wol tipis sehingga menghangatkan.”

Hm…, jaket kualitas satu…. Artinya ada jaket kualitas dua, kualitas tiga…. Lalu jaket yang kukenakan ini termasuk katagori kualitas ke berapa ya? Atau sama sekali tidak berkualitas…?

Aku sudah lupa kapan dan dimana aku mulai mengenakan jaket bulukan ini. Tetapi yang pasti jaketku bukan dari toko, plaza apalagi butik. Aku mendapatkannya dari seorang perempuan tua pedagang kaki lima—seperti diriku.

Ketika itu kami sama-sama berjualan di trotoar Zhongzhan Beilu. Perempuan tua itu bertubuh pendek, gempal dengan banyak bercak di wajahnya. Ia memakai sweater dekil yang benang-benangnya sudah banyak terlepas. Ia jarang sekali mengajakku bercakap apalagi berbasa-basi menawariku bakpao hangat. Ia hanya bertanya satu kali “siapa namamu?”

“Qiu Shui Yi,” jawabku sambil mengamati betapa giatnya ia menawari para pejalan kaki yang lewat.

Ia menjual jaket-jaket. Ada yang terbuat dari jeans, kaos, katun tipis atau kulit sintetis. Ada yang panjangnya sampai selutut, sepinggang atau cuma menggantung di dada. Model dan warnanya juga bermacam-macam. Menurutnya, jaket-jaket itu semua baru. Dijualnya dengan murah, hanya 15 RMB [1] karena ada diskon besar dari perusahaan garmen.

Bah! Dipikirnya aku bisa dibohongi dengan mudah?

Aku tahu jaket-jaket itu adalah stok lama yang sudah ketinggalan model. Itu barang yang sudah tidak laku dijual di toko. Parahnya lagi, warnanya sudah luntur dan baunya apek. Banyak calon pembeli yang mengeryitkan kening ketika membolak balik jaket yang mereka pilih. Mereka menemukan kancingnya yang lepas, lubang di lengannya, kerahnya yang sobek, dan banyak cacat ini itu sehingga mereka batal membelinya.

Ia ulet sekali merayu calon pembeli. Ia tidak hanya memuji-muji barang jualannya saja, tetapi ia juga setengah merengek sekaligus setengah memaksa. Bahkan kadang-kadang ia mengejar pembeli yang sudah menjauh. Bila kebetulan kami bertemu pandang, ia segera melengos seakan-akan aku kuman menular yang menjijikkan.

Sebagai sesama pedagang kaki lima, aku merasa lebih berkelas dibanding penjual jaket loakan itu. Sebab aku tidak menjual barang bekas. Aku menjual gantungan kunci dan gantungan handphone dengan berbagai macam bentuk yang lucu dan menggemaskan. Ada bentuk mickey mouse, pucha, amor, teddy bear, peluit, pengantin Cina, dan lainnya.

Para pembeliku kebanyakan gadis-gadis muda dengan penampilan trendi. Saat musim panas mereka lalu lalang dengan mengenakan rok mini, stoking jala laba-laba, sepatu boot pendek, tank top yang ditutupi jaket pendek penuh rantai-rantai yang bergelantungan. Ketika musim dingin mereka hilir mudik dengan memakai celana legging ketat, rok berimpel, sepatu boot setinggi lutut dan syal yang berjuntai di tengah jaket panjang. Aku berharap suatu saat aku juga bisa tampil secantik mereka.

Zhongzhan Beilu adalah sebuah jalan protokol di Quanzhou. Di sepanjang jalan ini banyak butik yang memajang pakaian pengantin. Ada pakaian pengantin ala Cina dengan model kerah Shanghai yang menutupi leher, berwarna merah dengan belahan rok samping sampai ke atas paha. Ada juga berbagai macam model baju pengantin Eropa berwarna putih gading, bahu terbuka dengan bagian bawah yang mekar bertumpuk-tumpuk. Butik itu menamai koleksi gaun pengantin untuk musim dingin kali ini The Winter Bride. Di emperan butik itulah aku meletakkan meja kecil untuk menata jualanku.

Tetapi pada suatu malam ketika lampu-lampu toko di sepanjang Zhongzhan Beilu belum dipadamkan, tiba-tiba serombongan polisi menyisir trotoar dari ujung terminal. Segerombolan pengemis dan orang-orang yang pura-pura mengemis, pemulung dan orang-orang yang pura-pura memulung, pencopet yang belum atau sedang sungguh-sungguh mencopet langsung bubar dengan menggerutu.

Biasanya mereka berkumpul dan mengorek-ngorek tong sampah mengambil sisa burger dan soft drink. Kalau ada mangkuk mie instan bekas, mereka pergunakan untuk menyeruput teh panas atau kuah mie. Kemudian mereka merokok sambil menghitung pendapatan mereka. Bila lewat tengah malam, barulah mereka mengambil plastik dan kardus untuk dipakai alas tidur.

Rupanya para polisi tidak hanya menangkapi pengemis, pencopet dan pemulung yang menjajah Zhongzhan Beilu dengan merdeka. Mereka juga mengobrak-abrik pedagang kaki lima, sudah tentu termasuk diriku. Mereka bergerak secepat angin puting beliung menggulung semua yang tercecer di trotoar. Tetapi jangan pernah ada yang meremehkan pedagang kaki lima. Kami mirip para triad yang mempunyai kemampuan mengendus kemana arah angin bertiup.

Tanpa perlu dikomando, aku segera meraup barang-barang daganganku. Tanganku sudah terlatih seperti tangan pesulap. Hanya dalam hitungan detik, gantungan-gantungan kunci dan handphone yang tidak seberapa banyak itu sudah aman berada di dalam kantung plastik kecil. Meja kecil yang kupergunakan untuk menata barang dagangan kudekap bagaikan memeluk lelakiku. Punggungku disergap dingin ketika menempel di etalase The Winter Bride.

Pada saat itu ada sesuatu melayang menutupi kepalaku. “Kau bawa dulu!” aku hanya mendengar suara perempuan tua penjual jaket itu.

Ketika aku berhasil melepaskan diri dari timpukannya barulah kusadari bahwa ia melemparkan sebuah jaket bulukan kepadaku.

“Ingat, besok kembalikan padaku!” perintahnya sambil menyelamatkan seluruh harta bendanya. Ia menarik dua kardus besar yang belum sepenuhnya tertutup dengan rapi. Banyak lengan jaket yang masih bergelantungan di bibir kardus, berjuntai seperti mengepel trotoar.

Tetapi besok, lusa dan hari-hari selanjutnya kami tidak pernah bertemu lagi. Sebab di sepanjang Zhongzhan Beilu, polisi rajin mondar mandir seperti setrika merapikan trotoar dari pengemis, pemulung, pencopet dan pedagang kaki lima. Sejak itu maka jaket bulukan ini kukenakan. Memang jaket ini tidak lebih bagus dari kain pel tetapi lumayan juga untuk menahan gempuran angin yang menabrak dada.

Lalu pindahlah aku ke jalan di sebelah Zhongzhan Beilu, yaitu: Dong Jie Lu. Sepanjang jalan ini ada toko-toko kecil, depot mie, bank, hotel, rumah teh, juga pangkalan angkatan laut. Sebuah kios pulsa, toko handphone dan rombong jagung rebus ada di tikungannya. Aku menggelar daganganku di pinggir sebuah toko pakaian besar yang menjual berbagai macam pakaian laki-laki dan perempuan. Kaca etalasenya lebar. Di sana berdirilah banyak manekin dengan pakaian-pakaian model terbaru.

Aku naksir sebuah jaket berkerah tinggi. Kerahnya terbuat dari bulu lembut bagaikan ekor musang yang meliliti leher. Aku jatuh cinta pada jaket itu pada pandangan pertama. Jaket itu tampak jinak, tidak mematikan.

Pada bagian depan ada empat kancing besar seperti jas para pajabat saat mereka disorot kamera televisi. Warnanya bukan shocking pink, atau putih suram yang mudah menampakkan kotor, juga bukan hitam gelap seperti pada saat lampu-lampu toko dipadamkan. Warna jaket itu coklat maroon, necis dan elegan. Warna yang selalu mengingatkanku pada saat-saat perpindahan musim. Aku sempat melirik bandrol harga yang ditautkan di belakang kerah. 1.250 RMB.

Sejak dipajang, banyak orang tertarik pada jaket itu. Setiap hari ada saja orang yang melihat, menyentuh, mencoba dan mematut-matut diri dengan mengenakan jaket itu. Dari emperan toko, kupandangi mereka dengan sengit dan perasaan tidak rela. Semakin kupandang, aku kian merasa jaket itu adalah milikku.

Aku bahagia sebab sudah tiga bulan tidak ada seorang pun yang membeli jaket itu. Jaket itu tetap dikenakan si manekin yang berada di balik kaca tebal. Ia berdiri dengan tubuh miring ke belakang, posisi salah satu kakinya tersilang di depan dan berselimut jaket idamanku. Ia mengulum senyum. Aku sirik sekali dengan nasib baiknya!

Kularikan pandangan kepada jalanan yang basah. Dalam hati kusumpahi langit yang sejak pagi membuat jualanku belum ada yang laku satu pun. Sampai malam begini, hujan masih terus membuat orang-orang sibuk mencari tempat berteduh daripada membeli gantungan kunci.

Tiba-tiba seorang perempuan singgah dengan terburu. Ia merapat padaku untuk ikut berteduh di bawah teras toko. Harum jagung rebus menguap dari kantong kecil yang ditentengnya. Ia menepis bulir-bulir yang belum terlalu banyak membasahinya. Bulir-bulir itu menimpaku. Betapa kurang ajarnya dia!

“Hey!” seruku. Aku sedang ingin membuat persoalan.

“Ups! Dui bu qi [2]….” jawabnya dengan logat yang aneh. Aku jadi ingin lebih memperhatikannya.

Rambutnya hitam, tidak kuning seperti surai-surai jagung. Warna kulitnya seperti sari kedelai, tidak putih juga tidak coklat. Bentuk matanya seperti kuaci. Ia mengenakan jaket katun yang dipenuhi gambar.

Gambar-gambar di jaketnya semarak, tetapi aku belum pernah melihat gambar-gambar seperti itu sebelumnya. Seperti gambar kuntum bunga persik, tetapi lebih mirip kelopak awan. Mirip kelopak awan, tetapi lebih menyerupai tanduk menjangan. Serupa tanduk menjangan, tetapi persis sekali ekor phoenix. Persis ekor phoenix tetapi bagaikan …

“Ni hao [3]?” ia tersenyum menyapaku karena merasa kuperhatikan.

“Kau bukan orang Cina ya? Kau darimana?” aku tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahuku.

“Indonesia,” sahutnya dengan langgam Mandarin yang terdengar aneh di telingaku.

“Oh, Indonesia….” seruku.

Belakangan ini, aku sering melihat berita Indonesia muncul di televisi. Ini negara yang banyak mengirim orang bekerja ke Hongkong. Dan semalam kudengar ada banjir tsunami, gempa dan gunung merapi yang meletus di sana. Lalu apakah perempuan ini sedang mengungsi ke Quanzhou? Atau ia adalah salah seorang dari perempuan-perempuan Indonesia yang bekerja di Hongkong? Aku menerka dalam hati.

“Iya, aku dari Indonesia,” tegasnya.

Lalu ia nyerocos seperti petasan kampung dengan bahasa Mandarin yang patah-patah. Ia berusaha keras membuatku mengerti apa yang dimaksudkannya dengan mimik wajah yang membuatku teringat pemain opera layar tancap di desaku. Ia kelihatan bersemangat walaupun penontonnya cuma aku seorang.

Diam-diam aku terus memperhatikan jaketnya yang penuh gambar itu. Menurutku, jaket manekin di dalam etalase itu jauh lebih keren. Tetapi entah kenapa jaket yang dipakainya begitu menarik perhatianku. Atau aku sedang terpesona dengan gaya bicaranya?

“Hei, apakah kau menjual gantungan kunci yang bertulis Quanzhou?” tanyanya sambil meneliti gantungan-gantungan kunci di meja kecilku.

Aku langsung bersukacita. Seharian belum ada satu pun gantungan kunci yang terjual. Kusodorkan gantungan kunci berbentuk sepasang boneka pengantin yang berciuman. “Ini bagus, murah dan lucu sekali. Cuma 10 RMB.”

Ia menggeleng-gelengkan kepala.

“Ayolah, sepasang boneka pengantin ini cocok untuk gantungan kunci. Kau satu dan kekasihmu satu. Kalian adalah sepasang yang saling mengunci.” Aku meniru perempuan tua penjual jaket itu pada saat merayu calon pembeli. Aku terkejut dengan kata-kata manis yang terlontar begitu saja. Rupanya pada saat membutuhkan uang, orang bisa berbicara sangat manis.

Ia tetap menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi kali ini gelengannya tidak sedashyat gelengannya yang pertama.

“Bagaimana kalau gantungan kunci peluit ini saja?” aku mulai mengeluarkan jurus setengah memaksa. “Pada saat kau merindukan kekasihmu, tiuplah. Begini…,” kutiup peluit kecil itu sampai mengeluarkan suara mendenging.

“Apakah suaranya bisa sampai ke Indonesia?” tanyanya.

“Oh, bisa! Coba saja….”

Ia mengambil sebuah gantungan kunci peluit. Ia mengembangkan dada untuk menghimpun udara sebanyak-banyaknya. Lalu pipinya menggelembung seperti balon. Ia meniup peluit sekuat tenaga.

Bunyi peluit terdengar panjang membelah gerimis. Berkelok di setiap tikungan jalan, berputar di lampu setopan, memantul dari dinding-dingin gedung, menggelinding di trotoar pejalan kaki, mampir sejenak di badan bis kota, kemudian menempel pada biji-biji hujan, diterbangkan angin, menembus awan, langit, laut…

…. bunyinya panjang…, tidak meratap, tidak merintih, tidak meraung. Tetapi melengking. Seperti suara jantung yang diiris dengan pecahan beling. Itu suara kerinduan yang menggelepar sekarat sendirian.

Setelah selesai meniup peluit, ia berkata, “Aku menginap di Golden Star Hotel. Tetapi sudah dua malam aku tidak bisa tidur. Anginnya kencang sekali seperti berteriak-teriak kehausan. Padahal bukankah ia membawa banyak kantung-kantung air? Ia menabrak kaca jendela kamarku sampai berderak-derak. Kamarku di lantai lima. Aku kuatir kalau hotel itu ambruk dan aku terperangkap di dalamnya,” sambungnya dengan ketololan yang tidak tertolong lagi.

Bagaimana tidak? Hotel yang disebutkannya adalah hotel berbintang empat di belokan pertama Dong Jie Lu. Hotel itu berada di depan pangkalan angkatan laut. Logikanya, ia aman dan nyaman menginap di sana.

Tiba-tiba ia bertanya, “Ng…, apakah besok kau ada waktu mengantarku berjalan-jalan? Lusa aku pulang ke Indonesia….” ia setengah bergumam sambil mengangsurkan sebongkol jagung rebus.

Aku tidak mau bergengsi-gengsi lagi untuk menolak tawarannya. Sejak tadi harum jagung rebus itu begitu menggiurkan. Apalagi saat dingin dan basah begini. Aku membutuhkan sesuatu yang bisa menghangatkan kulit dan darahku.

“Dui bu qi, besok aku harus berjualan,” ujarku sambil mengerokoti biji-biji jagung, mengunyah ampasnya, memamahnya sampai halus dan sari jagung meluncur, menyumpal dingin di perutku. Sekarang aku merasa jauh lebih baik.

Sebenarnya aku ingin menanyakan berapa ia akan membayarku untuk mengantarnya berkeliling Quanzhou. Tapi kulihat ia tidak berpotongan perempuan kaya. Jika ia perempuan kaya, saat ini ia makan di meja jamuan dengan cucuran red wine. Atau keluar masuk mal sambil menenteng tas belanjaan yang berisi baju dan sepatu bermerk, membeli perhiasan, minum teh sepat panas di tea house, kemudian memilih gelang giok yang kilau hijaunya berkualitas nomer satu….

Aku mendadak teringat jaket kualitas nomer satu yang dipakai manekin di dalam etalase toko….

“Begini saja, besok antarkan aku dan aku akan membeli semua barang jualanmu…,” kata-katanya membuatku terkesiap.

Ia akan memborong barang daganganku…?! Apakah telingaku tidak salah mendengar? Wow, rejeki nomplok!

***

Tepat seperti dugaanku semula, ia bukan perempuan kaya. Sehari penuh kami berkeliling Quanzhou tapi ia tidak berbelanja apa-apa. Ia justru membawaku ke tempat yang belum pernah kudatangi. Kami pergi ke komplek kuburan suci di Bukit Ling Zhan.

Di sana ia mencatat dan memotret batu-batu bertitik, bergaris, berlengkung dan berbujur, yang dibaca dari atas ke bawah dan dari kanan ke kiri. Titik, garis, lengkung, bujur yang mengguratkan sejarah perjalanan mulia, yang mencetak keindahan abad demi abad, yang menuliskan nama manusia di dalam sepetak tanah, yang dibaca manusia lain ketika debu kembali ke abu, yang bila ditarik lebih panjang akan menjadi catatan baru.

Sampai petang datang, barulah kami mengakhiri perjalanan. Gerimis menderas. Angin kian keras menampar dada. Kami terdampar di emperan toko, di depan etalase manekin yang mengenakan jaket kualitas nomor satu. Ia mengibaskan bulir-bulir yang membasahi tubuhnya. Aku bersidekap melawan dingin.

Lalu aku mengeluarkan kantung plastik yang berisi semua gantungan kunci dan gantungan handphone. Kuserahkan padanya. Seharusnya ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya, bukan?

Aku tidak mau berkata apa-apa seperti, “Ini semua barangku, kau berjanji akan membelinya. Untuk siapa saja sih? Kok banyak sekali? Ini cukup berat loh.” Kurasa, kata-kata ini itu hanya akan menciptakan suasana sentimental. Bahkan aku kuatir bisa membatalkan niatnya memborong semua jualanku.

Ia mengangsurkan 2.000 RMB. “Ini uang yang kujanjikan kemarin. Xie-xie [4] untuk sepanjang hari yang menyenangkan ini….”

2.000 RMB! Uang yang lebih dari cukup untuk membeli jaket kualitas nomor satu itu…

Tetapi ia tidak mengambil semua barang yang kuserahkan padanya. Ia hanya mengambil sebuah peluit. “Aku hanya ingin peluit ini, peluit kerinduan….” kantung plastik yang masih penuh berisi gantungan kunci dan gantungan handphone dikembalikannya lagi kepadaku.

Aku terkejut, terkesima dan semakin melongo ketika tiba-tiba ia melepaskan jaketnya yang penuh gambar itu. Ia menyorongkannya kepadaku. “Wo song gei ni [5]… Aku tidak punya apa-apa untuk kenang-kenangan. Aku ingin kau mengingatku. Nah, bila kau memakai jaket ini, maka kau akan ingat padaku….”

Aku terperangah karena mendadak rasa sedih menyergapku. Walau pun aku hanya pedagang kaki lima, tetapi aku cukup cerdas untuk mengerti sebuah kalimat perpisahan. Kata-katanya membuat mataku terasa panas. Ada sesuatu hampir tumpah dari sana.

Aku terdiam. Ia pun terdiam.

Aku memandangnya. Ia pun memandangku.

“Zai jian [6]….” ia menghela nafas, bangkit dan melambaikan tangan.

“Hei…, tunggu….” aku belum sempat mengucapkan terima kasih. Juga belum sempat menanyakan siapa namanya, apa pekerjaannya, kapan ia akan datang lagi, nomor handphone-nya, atau bagaimana caranya agar kami bisa bertemu lagi….

Tetapi ia sudah menerjang hujan. Bayangannya diterkam malam.

Sedangkan di etalase, si manekin masih mengenakan jaket kualitas nomor satu, masih berdiri miring, masih tersenyum.

Sayup-sayup kudengar lengking peluit. Panjang menjeritkan kerinduan. (*)

Catatan:
[1] RMB: Ren Ming Bi = mata uang China. 1 RMB setara kurang lebih Rp. 1.300,-
[2] Dui bu qi = maafkan saya
[3] Ni hao? = apa kabar?
[4] Xie-xie = terima kasih
[5] Wo song gei ni = aku memberikan (ini) untukmu
[6] Zai jian = sampai jumpa lagi
Dijumput dari: http://lakonhidup.wordpress.com/2011/02/21/qiu-shui-yi/

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae