Jumat, 29 Juli 2011

Ateisme Kepenyairan, Jalan Menuju Tuhan

Damhuri Muhammad*
Kompas, 9 Desember 2008

BISAKAH sastra dan agama bersekutu, lalu mendedahkan kebenaran yang sama? Bila pertanyaan ini diajukan kepada Adonis, dipastikan jawabnya mustahil. Bagi penyair Arab terkemuka itu, puisi dan agama bagai dua sumbu kebenaran yang bertolak belakang.

Puisi adalah pertanyaan, sementara agama adalah jawaban. Puisi adalah pengembaraan yang dituntun oleh keragu-raguan, sedangkan agama adalah tempat berlabuhnya iman dan kepasrahan. Lebih jauh, di ranah kesusastraan Arab, puisi dan agama bukan saja tak seiring jalan, agama bahkan memaklumatkan, jalan puisi bukan jalan yang menghulu pada kebenaran, tetapi menjerumuskan pada lubang kesesatan. Agama menyingkirkan para penyair Arab jahiliah ke dalam kelompok orang-orang sesat, orang-orang majnun (gila), penyihir. Inilah muasal segala kegelisahan dalam kepenyairan Adonis, yang disampaikannya pada kuliah umum di Komunitas Salihara, Jakarta (3/11/2008).

Tak ragu Adonis mengatakan bahwa sejak munculnya agama, tradisi puisi Arab redup dan akhirnya padam. Para penyair dianggap gila lantaran jalan puisi adalah jalan sesat, lagi menyesatkan. Itu sebabnya Adonis menjadi pembela jalan puisi yang telah disumbat rapat-rapat itu. Lahir dengan nama asli Ali Ahmad Said di Desa Al-Qassabin, Suriah, 1930. Meski baru bersekolah di usia 13 tahun, anak seorang petani yang juga imam masjid itu sudah belajar menulis dan membaca pada seorang guru di desanya dan sudah hafal Al Quran di usia sebelia itu.

Pada tahun 1944 ia membacakan puisi heroiknya di hadapan Presiden Suriah Shukri al-Kuwatli. Presiden terpesona dan mengirimkan Adonis masuk ke sebuah sekolah Perancis di kota Tartus. Adonis lulus dari Universitas Damaskus (1954) dengan spesifikasi filsafat.

Ia menerbitkan kumpulan sajak pertamanya pada 1955 dan pernah dipenjara karena pandangan politiknya. Pada 1956, Adonis meninggalkan tanah airnya, pindah ke Lebanon. Selama 20 tahun ia tinggal dan jadi warga negara di tanah jiran itu. Sejak 1986 Adonis pindah ke Paris. Ia telah menulis karya: puisi dan prosa lebih kurang 30 buku dan telah diterjemahkan ke pelbagai bahasa. Namanya kerap disebut sebagai calon kuat peraih Hadiah Nobel Sastra (tahun 2005, 2006, 2007).

Antologi puisi Nyanyian Mihyar dari Damaskus (terjemahan dari Aghânî Mihyâr Dimasyqî ini disebut-sebut sebagai karyanya yang paling masyhur di samping al-Tsawâbit wal Mutahawwil (Yang Tetap dan Yang Berubah)—yang kerap disebut karya pengarang ateis khas Timur. Adonis mengagumi pencapaian puitis para penyair Arab klasik seperti Imrul Qays (w. 550 M) yang menurutnya telah meniupkan ruh kebebasan berkreasi, memperlihatkan upaya pencarian ”yang baharu” dalam ungkapan, susunan kata, dan tidak mengacu pada ukuran-ukuran masa lampau. Namun, menurut dia, tradisi puisi yang gemilang ini mati sejak munculnya tradisi wahyu. Dalam pencarian kebenaran, penyair digantikan nabi. Di titik inilah ateisme kepenyairan Adonis bertumbuh, berkembang lalu memuncak pada sajak-sajak pendeknya seperti;

kita mati jika tidak kita ciptakan Tuhan
kita mati jika tidak kita bunuh Tuhan (dari sajak ”Sebuah Kematian”).

Mihyar sebentuk lagu pilu, elegi guna meratapi matinya kebebasan di jalan puisi. Adonis membangun sekian banyak pengamsalan tentang ketersingkiran penyair Arab kuno; penyihir debu, lonceng tanpa denting, orang-orang asing yang bahkan diasingkan oleh bahasanya sendiri. Ini senada dengan penilaian Ulil Abshar Abdalla (2004) bahwa Adonis mengumpamakan tradisi kepenyairan Arab seperti keterlunta-luntaan dan kepahitan hidup Al-Mutanabbi, penyair besar masa Dinasti Abbasiyah (abad ke-9). Al-Mutanabbi salah satu penyair yang dikagumi Adonis dan ia hendak mengasosiasikan diri pada sosok penyair yang hidupnya penuh liku dan dramatis itu. Satu ketika menjadi penyair istana, dipuja-puji, dihormati, tetapi kemudian dimusuhi istana, dijauhi oleh masyarakat, sejak itu ia menulis sajak-sajak yang pesimistis. Hidupnya berantakan dan akhirnya meninggal dengan cara yang tragis karena miskin. Pesimisme macam itu juga tergambar dalam sajak-sajak Adonis;

akan kami bunuh kebangkitan dan harapan
kami akan menyanyi dan berlindung
kami akan hidup bersama batu: kami, puisi, dan hujan
Biarkan kami o, Abu Nuwas. (Elegi untuk Abu Nuwas).

Adonis ateis?

Akan tetapi, benarkah Adonis mengingkari jalan wahyu karena tradisi kenabian telah mengalahkan tradisi kepenyairan? Apakah tuduhan ”ateis” layak diberikan kepadanya lantaran ia hendak meniadakan Tuhan demi kelapangan jalan puisi? Kalaupun ada teks agama yang memaktubkan ketersesatan penyair Arab, tentu tidak serta-merta berarti ketersesatan semua penyair pada masa itu. Tengoklah Hasan bin Tsabit yang tetap menggubah syair-syair madah (pujian) setelah teks turun. Berapa banyak penyair Arab yang cemerlang di masa nabi, lebih- lebih masa sesudah nabi? Lagi pula setiap ayat yang turun selalu dilatarbelakangi oleh asbab an-nuzul (sebab-sebab turun ayat). Artinya, penegasan teks perihal penyair sebagai penyihir dan majnun itu sifatnya kasuistik, tidak menggeneralisasi semua penyair. Bila Adonis kecewa dengan jalan kepenyairan yang menurutnya telah dibuntukan itu, kenapa ia masih mengakui pencapaian estetik Al-Mutanabbi, Al-Ma’arri dan Al-Buhturi yang ketiganya hidup di kurun pasca-kenabian?

Meski Adonis ”meniadakan” Tuhan di jalan kepenyairan, tetapi ”ateisme” itu tidak dalam rangka menjauhi Tuhan sebagaimana lelaku para ateis lain. Tampaknya Adonis hanya sedang dijangkiti kegelisahan lantaran sekian banyak jalan lama ternyata gagal mengantarkannya kepada Tuhan. Itu sebabnya ia meneruka jalan baru, yang meski tanpa Tuhan, tetapi pasti menghulu ke hadirat-Nya. Diam-diam Adonis sedang mempersiapkan sajak-sajaknya menjadi sebentuk ”bahasa lain” guna menjelaskan Tuhan masa depan:

sungguh, aku bahasa untuk Tuhan masa depan
sungguh aku penyair debu (Orpheus).

Jalan puisi yang hendak menyelamatkan nama Tuhan, yang selama berkurun-kurun terperangkap dalam bahasa agama- agama. Sampai di sini, Mihyar bukan lagi elegi untuk kematian puisi, di tangan Adonis, ia menjadi gairah asketis yang tiada bersudah dalam meraih persekutuan dengan Tuhan. Maka, tak ada yang perlu dicemaskan pada kepenyairan Adonis sebab ia bukan ateis, tetapi (mungkin) seorang perenialis….

*) Cerpenis Bergiat di Balesastra Kecapi, Jakarta
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/12/sastra-dan-agama-ateisme-kepenyairan.html

Lokalitas dan Siasat Sastrawan

Raudal Tanjung Banua
http://www.lampungpost.com/

Penghormatan terhadap khazanah lokal, tampaknya tetap relevan sebagai wacana dan kerja-kerja kebudayaan ke depan. Maklumlah, kita sedang merayakan otonomi daerah pascaera sentralistik yang menyuguhkan dominasi tema-tema nasional. Di sisi lain, realitas dunia tanpa batas memang dirasa kian familiar, tapi ongkosnya mahal: redupnya nilai-nilai lokal. Tapi di atas itu semua, dalam konteks kesenian, khususnya kesusasteraan, alasan kreatif lebih masuk akal—lokalitas sebagai sumber penciptaan!

Ya, di pusaran inilah sastra ambil bagian. Bukan sesuatu yang serta-merta jika dikatakan bahwa penghormatan atas khazanah lokal cukup kental di dalam sastra Indonesia modern. Salah satunya, sastra Indonesia memiliki diskursus seputar lokalitas. Lokalitas pada awalnya muncul sebagai respons terhadap tegangan globalitas yang tidak hanya menggerus bentuk-bentuk kesenian, tapi juga mengubah nilai-nilai anutan suatu masyarakat. Wacana seputar ini marak sekitar tahun 70—80-an, berbarengan masuknya isu-isu globalisasi, dan dibuat masif oleh rezim Orba dengan semboyan Indonesia menuju era tinggal landas.

Respons kreatif untuk melihat yang lokal tentu tidak hanya di sastra, juga di teater, tari, musik, dan disiplin seni lainnya. Kita mengenal misalnya teater yang naskah dan pola pertunjukannya merujuk khazanah lokal. Misalnya Gandrik berpola ketoprakkan; Bumi Teater Padang dengan pola randai, Teater Ketjil dengan absruditas lokal, Bengkel Teater dengan transformasi naskah Barat ke latar Jawa atau Banten; Opera Batak yang menghidupkan kembali tradisi opera Batak, atau Sanggar Budaya Banjarmasin dengan pola mamanda dan mengangkat cerita seputar Perang Banjar, dan seterusnya.

Berbarengan dengan itu, dalam sastra muncul gerakan kembali ke akar, kembali ke sumber. Seorang tokohnya, Abdul Hadi W.M. meyakinkan bahwa tahun 70-an merupakan tonggak kebangkitan estetika timur. Sosok sastrawan yang gigih memasukkan unsur lokal di dalam karyanya bermunculan pada periode ini. Sebut saja Darman Moenir, Wisran Hadi, Chairul Harun, Upita Agustin (Minang), Bokor Hutasuhut (Batak), Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, B.M. Syam (Melayu), Ramadhan K.H. (Sunda), Danarto, Ahmad Tohari, Darmanto Jatman, Linus Suryadi A.G. (Jawa), Korrie Layun Rampan (Dayak), D. Zawawi Imron (Madura), Nyoman Rastha Sindu (Bali), Gerson Poyk (Timor), Hijaz Yamani, Ajamudin Tifani (Banjar), dan lain-lain.

Sederetan literatur berkiblat lokalitas pun lahir, seperti roman Bako, Puti Bungsu, Penakluk Ujung Dunia, Priangan Si Jelita, Godlob, Ronggeng Dukuh Paruk, Pengakuan Pariyem, Upacara, Tanah Huma, Bantalku Ombak Selimutku Angin, Ketika Kulkul Berbunyi di Bale Banjar dan seterusnya.

Lokalitas dalam Lokalitas

Kreativitas menarik di ranah khazanah lokal ini adalah usaha memberi nilai lebih pada lokalitas. Para sastrawan menempuh siasat, meluruhkan tema nasional sembari mencegat mainstream di wilayah tempatan. Sepanjang pengamatan saya, ada beberapa siasat yang ditempuh. Pertama, menjadi “pelintas-batas” wilayah etnik. Meski berasal dari etnik tertentu, sejumlah sastrawan ternyata bisa masuk ke wilayah etnik yang lain.

D. Zawawi Imron, misalnya, di samping menulis karya berlatar budaya Madura, ia juga menulis dalam latar Bugis. Kumpulan puisinya yang dianggap reflektif dan sugestif, Berlayar di Pamor Badik, sepenuhnya merujuk Bugis sebagai sumber penciptaan. Pun Gus Tf. Sakai, menulis bermacam latar etnik dalam buku kumpulan cerpennya Laba-laba (Gramedia, 2003)—meski agak terburu menilai lokalitas dari satu atau dua cerpen, pada upaya penjelajahan ragam etnik. Sebelumnya, ia menulis novelet berlatar budaya Banjar berjudul Riu dan terbit bersama dua novelet yang berlatar budaya Minang dalam buku Tiga Cinta, Ibu (Gramedia, 2002). Banjar sebagai wilayah lintasan dan Minang sebagai wilayah asal, bisa ia hadirkan dengan porsinya masing-masing.

Kedua, sastrawan yang memberi suplemen wacana sastra di antara lokalitas yang mereka usung. Ia tidak hanya merujuk ritual, tata-cara, silsilah dan konflik-konflik lokal di dalam teksnya. Namun memberi suplemen khusus sehingga wacana lokalitas di satu sisi, berhampiran dengan wacana sufistik, kritik sosial, dan lingkungan hidup di sisi lain.

Kuntowijoyo dan Danarto dapat mewakili potret ini, di mana lokalitas Jawa mengalami transformasi kultural jika bukan peleburan dengan konsep-konsep sufisme yang kemudian melahirkan sufisme ala Jawa, tasauf Kejawen, dan seterusnya. Bahkan dari gaya keduanya yang berbeda, kita juga mendapat beberapa diskursus menarik seperti gaya Danarto yang surealis kerap disebut mengusung realis-magis ala Jawa, dan Kuntowijoyo yang realis-konvensional dianggap realis-udik.

Begitu pula A.A. Navis yang berlatar Minang, atau yang lebih muda Ode Barta Ananda, membawa lokalitas mereka pada tataran kritik sosial yang lebih luas dan universal, sehingga menjadi potret kesalehan sosial di Tanah Air. Cerpen Robohnya Surau Kami, merupakan protetipe model ini, dan jika ditelisik lebih jauh hampir semua cerpen dan juga novel Navis terasa senapas. Begitu pula Ode Barta Ananda dalam bukunya Emas Sebesar Kuda (Akar Indonesia, 2005) menjadikan Minang sebagai potret-mini Indonesia.

Ketiga, sastrawan yang menulis lokalitas di luar mainstream tempatan. Misalnya, lokalitas Jawa yang umumnya berpusat di keraton dengan anjungan bahasa tinggi (baca: ala Mataraman), diserpih oleh Ahmad Tohari dalam lokalitas Jawa ngapak-Banyumasan. Lahirlah Ronggeng Dukuh Paruk yang tidak mengharamkan bahasa-bahasa kasar semacam anjing buduk! atau asu buntung! Ia juga menghadirkan latar perdesaan dengan pola pikir masyarakat yang sederhana tapi bukannya tanpa power di mana seni kolektif dihidupkan sang ronggeng dengan dukungan penuh masyarakatnya tanpa harus munafik pada harapan terhindarnya kutukkan serta beroleh barokah kesuburan.

Bandingkan dengan Para Priayi Umar Kayam yang ber-setting Jawa Mataraman yang dianggap terdidik dan agung, tetapi terlihat betapa totalitas pengabdian mereka terasa tanggung jika bukan canggung. Meski perbandingan di sini bukan hendak mempersoalkan perkara nilai, baik-buruk, melainkan untuk menunjukkan bahwa lokalitas sastra bukan hanya urusan pusat-mainstream, melainkan juga menemukan ladang yang subur di wilayah-wilayah kultural pinggiran.

Ini pula yang berhasil dilakukan Wildan Yatim lewat novel Pergolakan dan kumpulan cerpen Jalur Membenam. Lokalitas yang dihadirkan Wildan menyerpih dari dua kutub mainstream, Batak atau Minang. Ia justru mengangkat lokalitas Tapanuli/Padang Sidempuan yang bukan Batak dan bukan Minang.

Memang, secara administratif wilayah Tapanuli/Sidempuan yang menjadi latar karya Wildan terletak di perbatasan Sumut-Sumbar, tapi keberadaannya semacam enclave budaya yang memiliki nilai dan tata-caranya sendiri. Ini sekaligus menorehkan perhatian publik pada sesuatu yang terabaikan. Selama ini, jika menyebut Batak atau Minang, seolah tangan-tangan kulturalnya membentang mutlak ke semua kawasan, padahal ada kawasan tertentu yang betapa pun memiliki kesamaan/kemiripan, toh juga memiliki perbedaan-perbedaan. Demikian halnya Sidempuan dengan Batak, Minang dengan budaya darek, pesisir dan rantaunya; Bali Utara yang “berbeda” dengan Bali Selatan, atau Aceh dengan Gayo-nya.

Atau bisa dilihat juga upaya Toha Mohtar dengan sejumlah karyanya—satu di antaranya novel Pulang—yang menampilkan lokalitas masyarakat sekitar Gunung Wilis yang beraroma perdesaan pada zaman berjoang. Ia tidak menggarap kultur arek yang lebih bersifat urban dan dikenal luas di Jawa Timur. Ia tertarik menggarap sesuatu yang tidak dominan, mungkin sama menariknya jika ia menggarap kultur lain khas Jawa Timuran seperti abangan atau Using (Blambangan). Persoalan pusat-pinggiran dalam konteks ini diluruhkan.

Ketiga siasat tersebut tidak berlebihan dikatakan sebagai gerakan “lokalitas dalam lokalitas”, yakni upaya mengaktualkan khazanah lokal dengan memanfaatkan segala potensi kelokalannya. Dan ini menurut saya merupakan modal besar bagi penghormatan khazanah lokal ke depan, tentu dengan tantangannya sendiri. Monggo, siapa ikut, ambil bagian…

Raudal Tanjung Banua, Koordinator Komunitas Rumah Lebah, Yogyakarta, dan Redaktur Jurnal Cerpen Indonesia.

PEZIARAHAN DAN MASYARAKAT BARU

Yunanto Sutyastomo
http://pawonsastra.blogspot.com/

Peradaban terasa berjalan sangat cepat, entah ini karena perasaan kita atau perubahan yang terjadi. Tapi yang pasti kini seolah manusia terus bergerak, tidak ada ruang dan waktu untuk berhenti sejenak. Peradaban seperti seorang pertualang dengan sepeda motor DKW yang memakai jaket kulit, yang sebenarnya butuh waktu untuk berhenti di pinggir jalan. Dan punya kewajiban untuk menoleh ke belakang, agar dia tahu apa saja yang telah dilewatinya. Tapi seolah memburu waktu, tidak ada kesempatan untuk berhenti dan menoleh ke belakang.

Pesimis mengejala sebagai ketidakmampuan manusia menghadapi tantangan yang mungkin muncul pada masa-masa yang akan datang. Pembaharuan di berbagai bidang kehidupan ternyata tidak memberikan ketenangan dan rasa optimis akan hari depan. Malahan munculnya berbagai hal yang baru dalam kehidupan melahirkan berbagai persoalan yang menghadang. Tantangan tidak berhenti pada satu soal, tapi justru bereproduksi memunculkan tantangan baru.

Pertanyaan yang muncul adalah mau kemana kehidupan ini? Seseorang pernah mengatakan hidup ini adalah peziarahan. Maka dibutuhkan masyarakat baru yang harus segera lahir sebagai jawaban atas persoalan ini, masyarakat yang membangun sebuah etik yang baru, tatanan yang baru dan memiliki masa depan yang berbeda dengan masyarakat saat ini. Tapi untuk melahirkan masyarakat yang baru dibutuhkan penyelesaian berbagai persoalan saat ini. Persoalan harus selesai bukan saja karena hal ini bentuk pekerjaan rumah, tapi persoalan ini adalah catatan penting bagi masa depan kita.

Masyarakat baru tentu harus memiliki bekal, agar dia nantinya tidak tersesat seperti masyarakat hari ini. Bekal-bekal itu haruslah cukup untuk mencapai tujuan nantinya. Peziarahan hidup tidaklah perjalanan di garis lurus, tetapi perjalanan yang panjang, melewati lembah dan persimpangan jalan. Sekali keliru mengambil jalan, dapat dipastikan sulit untuk kembali.

Sebagai sebuah tinjauan sejarah, kita mencatat dua perubahan penting di Eropa yang mampu berpengaruh hingga saat ini. Revolusi Prancis dan Revolusi Industri, yang sebenarnya kedua revolusi ini dampak pencerahan di Eropa. Revolusi Prancis membawa perubahan pada etik politik di dunia. Negara kemudian menghormati hak-hak yang ada pada warga negara. Sementara itu Revolusi Industri memberi perubahan pada tingkat kemajuan peradaban manusia di bidang ekonomi dan industri.

Saat ini peziarahan berhenti, karena berbagai persoalan yang masih belum selesai sebagai bagian hidup. Teknologi yang hadir di belakang hari ternyata tak cukup mampu untuk menjawab persoalan saat ini. Banyak hal yang tak selesai karena teknologi, justru banyak persoalan sosial yang muncul akibat munculnya teknologi.

Prolog tulisan ini yang berbicara tentang mobilitas manusia, ternyata hanyalah sebuah adegan jalan ditempat peradaban manusia. Peziarahan jadi semu, kita seperti melihat bayangan dikaca yang menjebak. Di kaca kita seperti berjalan, padahal kita masih ditempat yang kini dipijak. Kapan peziarahan mau berangkat lagi ? kita tidak tahu.

Monumen Kata untuk Sitor Situmorang

Judul : Menimbang Sitor Situmorang
Penyunting : J.J. Rizal
Penerbit : Komunitas Bambu dan KITLV, Jakarta
Terbit : 2009
Tebal : xiv + 293 Halaman
Peresensi : Bandung Mawardi *
Lampung Post, 27 Des 2009

SITOR Situmorang dicatat sebagai pokok dan tokoh kesusastraan Indonesia modern oleh Subagio Sastrowardoyo, A. Teeuw, A.H. Johns, dan Harry Aveling dalam esai-esai panjang dan kritis. Sitor pun diakui sebagai penyair mumpuni dan cerpenis memukau dengan pergulatan identitas-kultural.

Jejak-jejak kepenyairan Sitor telah terekam dalam buku puisi Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Zaman Baru (1962), Dinding Waktu (1976), Peta Perjalanan (1977), Angin Danau (1982), Paris la Nuit (2001), The Rites of the Bali Aga (2001), Biksu Tak Berjubah (2004), dan Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1948–2005 (2006).

Daftar buku puisi ini mengukuhkan pencapaian estetika puisi dari Sitor Situmorang sebagai penyair “si anak hilang”. Frase ini kelak mendapati gugatan karena Sitor sudah bukan “si anak hilang”, tapi menjadi “si anak belang-belang”.

Ikhtiar penghormatan dan pendokumentasian jejak kepenyairan Sitor secara intensif dilakukan oleh J.J. Rizal dan Komunitas Bambu (Jakarta) melalui seri penerbitan buku Sitor. Rizal sebagai penyunting buku Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1948–2005 (2006) mengingatkan bahwa untuk bisa menilai Sitor secara proposional, harus ada pembacaan utuh terhadap puisi-puisi Sitor sebagai juru bicara penting. Pembaca mesti juga membaca cerpen, esai, lakon, dan autobiografi Sitor agar tak gegabah dalam menjatuhkan vonis dalam tendensi sastra atau politis.

Ikhtiar besar lalu dibuktikan dengan penerbitan buku Menimbang Sitor Situmorang (2009) sebagai dedikasi penghormatan terhadap Sitor untuk laku sastra. Penerbitan buku ini terlambat lima tahun dari rencana persembahan untuk hari ulang tahun ke-80 pada 2004.

Buku ini menghimpun esai-esai kritis, serpihan biografis, dan puisi-puisi dari A. Teeuw, A.H. Johns, Afrizal Malna, Alle G. Hoekema, Binhad Nurrohmat, C.H. Watson, D.S. Moeljanto, Farida Soemargono, Harry Avelling, Hasyim Wahid, Johann Angerler, Martina Heinschke, Muhammad Haji Saleh, Pranita Dewi, Radhar Panca Dahana, Sitok Srengenge, Subagio Sastrowardoyo, dan V.S. Naipul.

Buku ini seperti monumen kata untuk mengekalkan Sitor Situmorang. Penghadiran kembali esai klasik dari Subagio Sastrowardoyo dengan judul Manusia Terasing di Balik Simbolisme Sitor Situmorang mengingatkan pembaca pada puncak olah estetika Sitor dalam napas kosmopolitanisme. Sitor menjadi sosok ahli waris dunia dengan menerima warisan-warisan estetika dunia di Barat dan Timur untuk diolah dalam puisi.

Simbolisme menjadi kekuatan Sitor dalam tegangan lokalitas dan modernitas. Sitor juga merepresentasikan gairah pengarang dalam badai eksistensialisme dalam sastra Indonesia modern. Sitor adalah tokoh penting dalam puisi dan pencapaian puncak estetika telah membuat puisi-puisi Sitor pantas diabadikan sebagai penanda zaman.

Subagio Sastrowardoyo memberi konklusi bahwa puisi-puisi panjang Sitor membayangkan inti kemanusiaan sebagai orang yang sadar kehadiran di mana pun dan waktu apa pun, tapi tidak sanggup untuk mempertalikan diri. Puisi-puisi Sitor mengucapkan diri sebagai manusia terasing. Keterasingan ini tak membuat Sitor berhenti atau mati. Puisi-puisi justru terus mengalir meski usia senja.

Puisi jadi perlambang dari diri dan negeri dalam pergulatan identitas-kultural. Konklusi ini mendapat penguatan dari A.H. Johns yang mengungkapkan bahwa pergulatan identitas-kultural membuat Sitor ada dalam dua dunia dengan risiko: acuan kultural terhadap Batak telah hilang dan perasaan menjadi Indonesia sebagai identitas geokultural belum lagi matang.

Sumbangan puisi ikut menentukan posisi Sitor dan makna kehadiran dalam peta sastra Indonesia modern. Afrizal Malna mengabadikan Sitor dalam puisi Kuda Merah untuk Sitor: Sitor, 80 tahun seperti tempat tidur yang penuh gam-/bar. Hei, mulut waktu. Hei, sore yang menutup jendela./ Ibu sudah tidur. Kita bermain lagi. kita curi kuda merah/ milik leluhur. Hei, jangan ribut. Jangan berisik, ya. Nanti/ kita ditangkap para penjaga leluhur. Petikan puisi ini mengingatkan proses Sitor mencari jalan pulang ke “rumah kultural”. Petualangan di berbagai negeri telah membuat lelah. Rumah kultural (Batak) menjadi tempat untuk mengonstruksi ulang identitas kultural.

Perjumpaan V.S. Naipul dengan Sitor Situmorang ketika di Jakarta melahirkan kesan, “Ia seorang penyair yang hadir sebagai penulis yang manusiawi dan suka merenung.” Peraih Nobel Sastra 2001 ini memerlukan diri mencatatkan Sitor sebagai penyair penting dalam belantara perpuisian dunia. Sitor memiliki dunia dan dunia memiliki Sitor. Kehadiran esai Merekonstruksi Masa Lalu dari Naipul adalah sisi samar dalam biografi Sitor. Naipul memilih perspektif ini mungkin karena mirip dengan pergulatannya untuk mencari dan bergelimang dengan identitas-kultural. Begitukah?

*) Peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/12/buku-monumen-kata-untuk-sitor.html

Mengkritisi Kritik Sastra

Sjifa Amori
http://jurnalnasional.com/

Harus terus digairahkan, di antara menderasnya karya-karya sastra Indonesia yang bermunculan.

Suatu kali, HB Jassin pernah berkata, “Seorang kritikus adalah manusia biasa.” Kalimat yang dilontarkan kritikus sastra terkemuka ini dituliskan kembali dalam Resume Mata Kuliah Kajian Puisi: Sajak Mengundang Asosiasi, Bukan Interpretasi, pada blog komunitas anak sastra.

Apa kiranya yang membuat HB Jassin mengutarakan pernyataan ini? Apakah karena tuntutan terhadap seorang kritikus, terutama sastra, begitu beratnya sehingga membuat kritikus merasa terbebani. Seperti kata Kris Budiman, kritikus toh bukan nabi yang membawa pesan dari Tuhan untuk manusia. Jadi, bagaimana bisa kritikus diminta menjawab semua persoalan sastra. Meski dalam prakteknya, pengkritik haruslah orang yang memiliki wawasan jauh lebih luas daripada orang awam ataupun sastrawannya sendiri.

“Syarat mutlaknya jelas wawasan yang luas. Dia juga harus mampu berpikir interdisipliner,” kata sastrawan dan dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Ibnu Wahyudi. Ini menjadi wajib ketika kritik sastra diharapkan memberi kontribusi kepada perkembangan sastra itu sendiri.

Tentunya syarat ini juga untuk mencegah adanya kritik sastra yang tidak memadai. Yaitu yang diistilahkan Nensi Suherman dalam www.kartunet.com tergolong kritik sastra memprihatinkan. Karena kritikus yang menulis kritik sastra tidak mendalami bidangnya secara sungguh-sungguh. Belum lagi isi kritik sastra yang kurang ilmiah, dan lontaran berupa kritik sastra yang obyektif, intuitif, serta pesan-pesan, lebih banyak menceritakan isi karya sastra tanpa ulasan yang harusnya menjadi faktor utama.

Padahal, ada masanya ketika kritik sastra bahkan mampu mengungkap keaslian sebuah karya. Karena sejak zaman dulu, banyak fenomena di mana karya yang dihasilkan sebenarnya merupakan sebuah bentuk penceritaan kembali dari satu karya yang telah hadir lebih dulu (already told). Dalam hal ini, kritik sastra berfungsi sebagai penengah antara karya asli dan kebudayaan pendukungnya. Hal ini dikemukakan dalam rosiadha.wordpress.com yang menulis Perkembangan Kedudukan Kritik Sastra dalam “Criticism as a Secondary Art” karya Murray Krieger.

Kritik seni, menurut Saut Situmorang yang memperluas definisi kritiknya kritikus Amerika MH Abrams, dinyatakan sebagai studi analisis bersifat interpretatif-evaluatif atas karya seni ataupun seorang seniman.

JJ.Kusni, menulis di Paris pada Februari 2004, seperti dimuat dalam www.freelists.org, mengenai kritik modern. Khususnya metode retrospektif Denis Diderot, penulis dan pemikir besar Perancis abad XVIII. Dengan metode tersebut, diharapkan kritik tidak terlalu jauh dari kenyataan. Boleh jadi dengan metode ini, kata JJ. Kusni, kita bisa membaca isi ide yang disampaikan penulis “sebelum” dan “sesudah karya itu ditulis”.

Boleh jadi, karena adanya kaidah-kaidah tertentu yang tak tertulis dalam mengkritisi karya sastra dan ukuran kategori dalam kritik sastra, maka kritik sastra jadi tidak begitu diminati. Malah, Saut dengan sangat prihatin menyatakan tentang ketiadaan kritik sastra, apalagi sebuah tradisi kritik sastra, yang mendampingi perjalanan sejarah sastra berbahasa Indonesia. Benarkah sudah sekritis ini kondisi kritik sastra Indonesia?

Bekal Pengetahuan

“Saya tidak bersepakat dengan Saut Situmorang yang menyatakan kritik sastra telah mati. Kita memiliki tokoh-tokoh semacam Kris Budiman, Hudan Hidayat, Arif B Prasetyo, Maman S Mahayana, Nirwan Dewanto, dan lain-lain. Kesemuanya terus menulis untuk mewujudkan kritik sastra yang sehat. Berusaha memasuki teks sastra untuk diapresiasi. Ditafsirkan. Lihat saja tulisan Kris Budiman yang membahas puisi Mashuri dan Iyut Fitra. Tulisan tersebut cukup mampu menelaah dan memposisikan puisi dalam kerangka struktural. Dan setelah melalui penelaahan, baru diketahui, puisi Mashuri dan Iyut Fitra masih lemah dalam menjalin logika tekstual,” kata kritikus sastra Ribut Wijoto.

Kris Budiman sendiri memilih untuk tidak memusingkan perkara siapa yang mampu, bisa dan boleh, serta akan mengkritik karya seni. Baginya, kritikus adalah juga pembaca. “Siapa saja yang pernah belajar kritik sastra silahkan menulis kritik sastra. Yang penting punya bekal keterampilan pengetahuan untuk membuat itu.” Artinya, bagi Kris, tidak masalah apakah sang kritikus adalah jebolan Fakultas Sastra atau justru pelaku sastranya sendiri.

Secara jumlah, kritik sastra yang ditulis kalangan akademisi jauh lebih banyak. Sayang, kritik sastra yang akademik ini dianggap tidak banyak memberikan pencerahan terhadap pembaca sastra dan terhadap kesustraannya sendiri.

“Ada betulnya memang anggapan itu. Terutama kalau tolak ukurnya adalah media massa cetak, seperti koran, majalah, dan jurnal khusus seperti Horison. Karena yang muncul di media ini kan pasti lebih banyak praktisi. Yaitu sastrawan yang juga melakukan kritik. Situasi ini sebenarnya tidak ideal. Karena bagaimanapun ada unsur subyektif yang kemudian tak mampu lagi dibedakan apakah dia sedang mengkritik atau sedang memuji teman komplotannya atau sedang melakukan studi sastra. Karena kalau bicara mengenai kritik kan sebenarnya berbicara mengenai sebuah disiplin. Keilmuan yang berkembang kan di perguruan tinggi. Masalahnya tidak banyak orang di perguruan tinggi yang menerapkan kritik itu mendapatkan publisitas dari media massa cetak umum,” kata Ibnu Wahyudi pada Jurnal Nasional.

Permasalahan makin kompleks ketika akademisi sastra yang semestinya menjadi pihak “ideal” dalam mengkritisi sastra karena dianggap kuat secara teori dan bebas keberpihakan justru tak pernah mengkritik dengan sungguh-sungguh.

Mayoritas Sampah

Seperti yang digambarkan oleh kritikus sastra Ribut Wijoto bahwa sampai saat ini, belum ada skripsi yang mampu mempresentasikan kritik sastra secara jernih dan argumentatif. “Mayoritas adalah sampah. Karena kesadaran mahasiswa sastra terhadap kritik sastra amat rendah. Mereka menyikapi skripsi sebagai tugas. Hal lain adalah kemampuan dosen. Banyak dosen sastra Indonesia yang hanya sibuk sebagai pegawai negeri. Mereka enggan mendatangi forum-forum sastra. Keilmuan mereka juga tidak beranjak. Baca buku teorinya hanya ketika masih kuliah. Artinya, dosen tidak mampu membimbing mahasiswa untuk menciptakan karya kritik yang cemerlang. Tapi tidak bisa dipungkiri, pasti ada satu atau dua skripsi yang memiliki kekuatan kritik sastra. Persoalannya, apakah pihak penerbit mau susah payah menyisir ke kampus-kampus.”

Belum lagi miskinnya buku teori kritik sastra. Dalam literatur Kritik “Sakit’ Sastra Indonesia dalam Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III 2008 di situs www.sastra-indonesia.com, Liza Wahyuninto menjelaskan bahwa hingga saat ini, kesusastraan Indonesia dapat dikatakan terus saja miskin buku-buku teori kritik sastra. Buku-buku teori yang ada, kebanyakan buku terbitan lama dengan pembicaraan yang tidak lagi mutakhir. Buku-buku terbitan lama itu pun sulit didapat karena jumlahnya sedikit dan dimiliki oleh kalangan terbatas.

Di sinilah Ibnu Wahyudi melihat adanya ketimpangan antara kritik sastra oleh pelaku sastra dan oleh sarjana sastra. Yaitu bahwa banyak dari kalangan sarjana sastra tidak punya sikap melihat sastra sebagai bagian kehidupan intelektual mereka.

“Banyak faktor yang menyebabkan kritik sastra ditinggalkan jauh di belakang oleh karya sastranya. Mungkin saja karena media untuk kritik sastra terbatas. Atau karena pendidikan sastra kurang baik. Dan faktor-faktor ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu sistem. Atau ada kondisi lain seperti persoalan ekonomi yang membuat kritik tidak ditulis orang. Jadi jangan menyalahkan akademisi atau sastrawan yang mengkritik. Boleh aja sastrawan menulis kritik seperti pelukis mengomentari pelukis lain. Kalau masalah subjektivitas, memang apa sih yang obyektif?” kata Kris Budiman yang tulisan-tulisannya, terutama mengenai sastra, gender, dan media, dipublikasikan di beberapa surat kabar, majalah, jurnal, dan buku bunga rampai.

Karena keterkaitan yang disampaikan oleh Kris ini, jadi terlihat bahwa tidak sesederhana itu menyimpulkan mengenai perkembangan kritik sastra di dunia perguruan tinggi. Faktanya, Ribut bersama teman-teman di Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) termasuk dari salah satu produk akademik yang mayoritas adalah bekas mahasiswa Sastra Indonesia Unair Surabaya. “Tapi proses kreatif kami lebih banyak berada di luar kampus. Itu artinya, tidak ada keterkaitan langsung antara proses pengajaran dengan proses kreatif. Kami harus menciptakan sendiri forum-forum diskusi sastra. Tapi apakah kami ada kalau tidak ada Fakultas Sastra. Hal ini masih perlu diperdebatkan lagi.”

Ketika kritik sastra akademik ternyata perlu ditambahi juga oleh proses kreatif yang seringkali malah membuat sang sarjana sastra mencemplungkan diri dalam pembuatan karya sastra. Itu artinya batas antara kritik sastra akademik dan non-akademik menjadi kabur. Mungkin ini merupakan bagian dinamika dari kritik sastra di Indonesia. Sebagaimana dinamika di mana sebuah kritik lama-lama menjelma menjadi karya sastra itu sendiri, seperti yang diungkapkan Ibnu.

Mencari Kritik Argumentatif

Tapi rupanya dinamika semacam ini terjadi juga di negara-negara Barat. Atau, lebih tepatnya, apa yang terjadi pada kritik sastra di Indonesia memang segala sesuatu yang terjadi di luar negeri. Bahkan, teori-teori yang dipakai dalam sebuah kritik sastra adalah teori yang berasal dari Barat. Biar bagaimana pun, budaya kritik sendiri memang bukan kepunyaan bangsa ini. Wajar kalau banyak dari kontennya memang mengacu ke Barat.

Pada pertengahan sampai akhir dasawarsa 1980-an, pernah ramai dibincangkan kemungkinan dilahirkannya kritik sastra Indonesia yang khas bercirikan keindonesiaan.

Beberapa istilah pun kemudian bermunculan. Satyagraha Hoerip, misalnya, melontarkan gagasannya dengan mengusung istilah Teori dan Kritik Sastra PDN (produksi dalam negeri). Yang lain menyebutnya dengan teori dan kritik sastra yang khas Indonesia. Apa pun istilahnya, kata Maman Mahayana dalam http://mahayana-mahadewa.com, telah ada perbincangan yang membahas perlunya dirumuskan teori dan kritik sastra yang tak lagi berkiblat ke Barat. Maman mengakui kalau teori dan kritik sastra Barat tidak dapat terhindarkan.

“Kalau kita baca karya Danarto dengan pendekatan luar negeri ya nggak cocok. Cuma metode kritik kita pinjam. Tapi, saya kira, meskipun pada tahun 70-an ada perdebatan antara kritik sastra aliran Rawamangun yang diusung dosen sastra UI, M.S. Hutagalung, M. Saleh Saad, dan J.U. Nasution, dan kritik Ganzheit dari Goenawan Mohamad dan Arief Budiman, para pengkritik sekarang juga sudah lupa. Teori ini jarang dipakai waktu mengkritik. Terutama kritik sastra di media massa cetak. Paling di jurnal khusus, tapi itu jarang,” kata Ibnu lagi.

Meski begitu, di mata Ribut yang esai sastranya pernah jadi pemenang pertama pilihan Pusat Bahasa Depdiksnas, percobaan apresiasi karya sastra tetap penting. “Semakin banyak apresiasi tentu akan membuat situasi sastra bertambah ramai. Kondusif. Kita memang membutuhkan perspektif dan eksplorasi baru. Itu karena usia sastra modern Indonesia juga belum terlalu tua. Kita bisa menuliskan kritik sastra secara argumentatif dan mendalam saja sudah bagus. Jadi keinginan untuk menelorkan teori sastra sendiri adalah keinginan yang terlalu berlebihan.”

Kamis, 28 Juli 2011

KOMUNITAS SASTRA DI SEKELILING KITA *

Robin Al Kautsar
—Jurnal Jombangana

Mengkonsumsi dan memproduksi teks sastra pada hakekatnya urusan pribadi. Tetapi karena manusia adalah mahluk sosial maka tidak ada salahnya konsumen maupun podusen sastra berhimpun dalam sebuah komunitas, sepanjang dapat memperkaya individu-individu pendukungnya. Bukan saja di dalam komunitas kita dapat berbagi materi sastra yang dimiliki masing-masing, di sini kita juga dapat belajar menghormati pendapat orang lain, keyakinan orang lain, termasuk belajar berani tampil beda, berani berkonfrontasi dengan pemikiran orang lain. Bagaimanapun kita harus sadar medan sastra, baik sebagai konsumen maupun produsen, adalah medan kreativitas yang sifatnya tidak pernah massal, melainkan sangat pribadi dan bahkan bisa soliter. Komunitas sastra secara sekilas tampak beda jauh dengan komunitas punk rock, komunitas penggemar Iwan Fals. Yang sama biasanya hanya kisaran umur anggotanya.

Komunitas sastra pada umumnya informal, dan jarang yang berbentuk yayasan, LSM atau lembaga formal lainnya. Hal ini memiliki kelemahan dan kelebihan. Kelemahannya organisasi semacam ini sulit memperoleh bantuan atau sponsor dari pemerintah atau perusahaan swasta, karena tidak memiliki susunan organisasi formal dan eksplisit. Tetapi kelebihannya, organisasi ini dapat langsung berbicara substansi tanpa direpotkan oleh aturan organisasi, hirarki, hak/kewajiban dan sebagainya, sehingga bisa lebih akrab, lebih “nyeniman”. Dan satu lagi cirinya, komunitas sastra jarang yang berumur panjang.

Sebuah komunitas muncul seringkali dilandasi oleh visi yang sama dalam memandang dinamika sastra serta misi yang sama untuk menyumbang khazanah sastra ke depan, baik untuk memperbaiki kekurangan maupun memperkaya yang sudah ada, dan bila mungkin untuk melakukan pemberontakan terhadap stagnasi. Oleh karena itu kreativitas adalah panglima yang akan mengarahkan perjalanan dan memperkuat daya tahan komunitas. Jadi komunitas yang baik bukan sekadar kumpulan orang yang segagasan, sekegelisahan dan sepengharapan tetapi lebih dari itu, kumpulan orang-orang kreatif yang berhasrat kuat untuk menyumbang sesuatu bagi bangsanya. Sebagai contoh, komunitas sastra yang menamakan diri Gelanggang Seniman Merdeka, dengan semangat untuk mendobrak kemapanan Pujangga Baru mereka berani menawarkan perubahan yang dimanifestasikan melalui “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Dan ternyata mereka berhasil mengusung gerakan yang bernama “Angkatan 45” di panggung sejarah sastra. Nama itu bukan sekadar label, melainkan telah menjadi identitas, kepribadian, wawasan sekaligus gerakan kultural.

Dalam sejarah sastra di berbagai belahan dunia peran sebuah komunitas sering kali menjadi pioner sekaligus sebagai agen perubahan. Bahkan tak sedikit yang pengaruhnya justru mengubah paradigma, pola berpikir, dan membuka berbagai kemungkinan yang lebih luas bagi kemajuan kebudayaan dan kemanusiaan secara umum. Dan sejarah juga mencatat bahwa eksperimentasi, pemberontakan pada tradisi dan gerakan pembaharuan yang monumental sebagian dipelopori oleh sastrawan yang tergabung dalam komunitas-komunitas. Dengan demikian terbukti komunitas telah memainkan peran penting sebagai kawah candradimuka. Proses belajar dan pematangan yang terjadi dapat lebih intensif dalam komunitas-komunitas, meski tentu saja karier kesastrawanannya sangat ditentukan oleh kreativitas sastrawan secara pribadi. Mereka sengaja bergabung atau membentuk komunitas dengan kesadaran membangun sebuah genre, aliran, atau berbagai aktivitas olah pikir untuk mematangkan jati diri sekaligus memantapkan peran kesastrawanannya. Untuk mencapai tujuan itulah, mereka lalu menerbitkan jurnal, majalah, atau buku-buku antologi karya anggota komunitas sendiri maupun komunitas lain.

Itulah peran penting sebuah komunitas! Tetapi sebuah komunitas yang buruk menjadikan anggotanya terkungkung, tumpul kreativitas, banyak lagak, sombong dan merasa besar sendiri atau mengidap megalomania. Akibatnya mereka haus pujian, kebakaran jenggot kalau dikritik, iri hati dan dengki terhadap kemajuan komunitas lain, bahkan prestise satu-satunya adalah menghalang-halangi dan menganggu komunitas lain. Di desa saya ada sebuah komunitas yang dikritik oleh komunitas lain, sampai lima kali lebaran berlalu, genderang permusuhan masih juga ditabuh. Kadangkala kita kalah dewasa kalau dibanding ilmuwan. Ilmuwan sudah biasa mengundang mazhab lain untuk bicara di seminar dan simposium mazhabnya sendiri.

Seandainya segenap komunitas sastra di Jombang atau bahkan di Indonesia membangun dan memperkuat jaringan antar komunitas, dan masing-masing bersinergi mengusung kreativitas yang berkualitas, Insya Allah akan lahir karya-karya baru yang monumental di hati bangsa.

*) Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].

Rabu, 06 Juli 2011

YANG DIRENGKUH DAN BERLABUH

Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/

1.
Sebuah roman adat istiadat Jawa yang ditulis alam bahasa Indonesia yang apik oleh Arti Purbani (nama samara BRAy. Siti Partini Djajadiniingrat) berjudul “Widyawati”(1949) mengisahkan seorang gadis jelita dari kalangan rakyat, Widyawati alias Widati, yang memiliki ketabahan luar biasa dan gemar berprihatin buat mencapai cita-cita luhurnya. Dalam istilah “prihatin”, direngkuh dua anasir yang saling melengkapi, yakni : banyak menahan diri, tirakat dan mengendapkan duka, sehingga kehidupan hari nanti diliputi sinar surya. Anasir satunya adalah, bagaimana satu individu memandang manusia bukan menghambakan diri kepadanya, melainkan berusaha untuk menciptakan “rasa bakti nan terindah” dalam sukmanya. Karenanya, kisah cibta—sebagaimana Widati akhirnya sukses dalam kisah cintanya dengan bangsawan Kusumoprojo—adalah untaian bahagia yang disulam pada beludru perenungan masa kini mau mengkaji buku tersebut, kiranya akan banyak nilai yang bisa dipetik, seperti umpamanya kesabaran dalam berharap dan memetik rakhmatNya.

2.
Kelebihan dalam merengkuh, lebih kiranya dibandingkan dengan keberangkatan untuk berlabuh. Merengkuh, artinya menguasai sesuatu dengan sikap seperti melindungi, mengayomi dan membawanya pada gapaian nan sebaik mungkin. Sedangkan dalam istilah berlabuh, maka manusia dengan sendirinya menggalang pelayaran itu darisatu dermaga dengan tujuan pasti. Sedangkan pelabuhan yang dipahatkan di benak bisa disebutkan sebagai hal yang menggapai pulau-pulau terpencil. Kiat dalam perjalanan begini, dapat dipandang sebagai manifestasi sang pencahari yang memerlukan Bandar baru dalam penghidupan. Sekiranya orang memperhatikan, dalam pewartaan Kasih Antara Manusia, senantiasa terasa betapa terdapat sumber keberuntungan nan masih samar. Kita perlu menyelami hakikatnya. Sebuah bangsa, tatkala menuju kematangan, juga bertarung melawan angin rebut, nafsu-nafsi pribadi, bahkan juga egoism dan kenaifan. Tambahan lagi, pertatungan itu relatif panjang. Apalagi, jika yag diperjuangkan adalah pemantapan jatidiri berkebudayaan.

3.
Prof. Dr. Mr. Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan pada forum Kongres Filsafat Internasional (3-9 Januari 1990 di Jakarta), bahwa Indonesia seharusnya dapat mempelopori berdirinya satu institute yang melanjutkna pemikiran tentang kedua masalah ini, dalam rangka menarik minat banyak orang terhadap filsafat. Dikatakan lebih lanjut, teknologi hanyalah alat yang diciptakan manusia untuk kepentingan manusia sendiri, dan perlombaan teknologi akan menghilangkan tanggungjawab masa depan dan tujuan hidup manusia. Kini sudah saatnya manusia kembali pada dirinya sendiri. Filsafat akan mengembalikan manusia pada kedudukannya sebagaimana manusia yang bukan sebagai alat. Tetapi sebagai khalifah atau makhluk yang tertinggi derajatnya dan bertanggungjawab terhadap semua yang ada di dunia ini. Krisis yang paling benar sekarang ini, katanya—adalah dunia modern yang dengan kemajuan teknologinya dapat mencciptakan bom atom yang dapat membahayakan umat manusia. “Kita jangan hanyut dengan tidak punya kemauan, tidak punya pemikiran dan tidak punya tanggungjawab. Tetapi kita harus menentukan tanggungjawab masa depan untuk mencapai satu masyarakat dan kebudayaan manusia yang lebih baik”, turunya.

4.
Melagakan kepentingan—antara kelompok pemikir satu dengan yang lainnya, boleh dianggap wajah dari jaman penuh pergolakan ini. Suatu parade panjang yang melibatkan anak-anak manusia pada perayaan dimaksud, sudah barangtentu membawa serta keculasan yang tidak diharapkan. Tuan dapat juga menceritakan bahwa penentuan rasa berdikari dari suatu kaum, layaknya muncul dari beberapa dialog yang tersusun. Dengan kata lain, dialog ini adalah didorong oleh rasa ingin menjembatani sejumlah latar-kultural sekaligus. Oleh dorongan yang kuatlah maka manusia terbilang untuk masuk serta mengembangkan dimensi-dimensi kolegial. Pada prinsipnya, dengan membingkiskan aduan yang sehat kita bentuk kalangan yang memiliki persepsi humoniora—dan dengan rasa gempita ikut memberikan sumbangsihnnya kepada persada Pertiwi. Secara runtut, manakala dikisahkan tentang tolak-tarik yang memacu orang-orang yang baru memasuki gerbang kejuangan—dan karena itu, terlorong individual yang menjamin kesentausaan bangsa adalah dari dada ini.

5.
Sering kita menyebut tentang restu yang tersenbunyi, karena merasakan bahwa doa serta ucapan yang terlimpah adalah merupakan penunjuk terhadap luapan kasih di hati. Manusia menjalin kepentingan sebagai daulat yang dipertuan, manakala pada segi ini, dirinya benar-benar menjadi tiang, sekaligus atap (dari perumahan maknawi selama ini). Kongkritnya kehidupan, kurang lebih dijelmakan seperti burung rajawalidengan sayapnya, dan kemudian sayap ini meliputi pengertian serabut syaraf yang paling lembut yang diserapnya. Karenanya, jika rajawali terbang megah di angkasa biru, ia mengepakkan seluruh berkas bulu dan urat-urat dahsyat yang menstimulir ruang-ruang di dalam kait-helai peraba yang terpacak di situ. Pada pengertian filsafat suatu nation, maka jika dikatakan tentang alam pikirn serta tanggapan dunia ini, pertama-tama kita bicara tentang struktur budayawi, baru kemudian tentang kemotan-kemotan tradisi dialog yang menyumberinya. Daya-muat yang diendapkan oleh kekuatan filosofisnya benar-benar menyatu dengan kesempurnaan tubuh yang terus berkembang. Alam, selingkingan, gerak-geliat dan rasa yang mendewasa jadi sebingkis pakem di puncaknya.

6.
Barangkali saya boleh mengambil ungkapan, tentang dua figure kepahlwanan, masing-masing Raden Ajeng Kartini dan Tjut Nya’ Dhien yang dewasa ini sering diperbincangkan sebagai produk peradaban Nusantara yang mengkristal dalam sosok bangsawan putri yang melebiji kekuatan situasional. R.A Kartini, dengan segenap karya cipta sastranya, seseungguuhnya pejuang intelektual yang telah berbicara tentang suatu zaman yang seratus tahun lebih awal daripada kehadiran masa bersangkutan. Gerak dan elemen yang menyangkup filsafat hidupnya, terus terang, sarat dengan lambang kawicaksanaan dan kawaskithan, sehingga wujud dari wawasan ini adalah jatidirinya pula. Tjut Nya’ Dhien, kendati tiada berjuang di lapangan intelektual (karena dia tak punya impresi susastra seperti Kartini), toh melakukan krida juang di lapangan pembaharuan masa. Caranya adalah banyak mengikuti arus pembangunan kultur rakyat di mukim-mukim, gampong-gampong, madrasah-madrasah, sehingga perempuan (yang pernah jadi isteri Teuku Umar) ini mengenal lika-liku penghidupan suku Aceh dari dasarnya. Penghampiran (Approach) yang diambilnya—setelah kekuasaan ada di tangan—adalah berasal dari sejumlah bahan rujukan literer kuno, yang mengilhami pembaharuan negeri tersebut. Maka tatkala dia ambil ide mengasah rencong dan kelewang untuk melawan kekuatan kolonial yang bersimaharaja, dia tak terpeleset pada klise-klise sebelumnya. Seseorang yang mampu mengantisipasi lingkungan, tegar selalu!

7.
Maka,manakala saya berharap, bahwa Nusantara Masa kini, bahkan juga dalam istilah “Indonesia Futura” (Indonesia masa datang) adalah refleksi dari laku hidup para pejuangnya, dari gelombang ke gelombang, tiadalah salah kiranya. Pada liputan demikian, seorang pemikir, pejuang dan pemetik kecapi falsafah, berdiri di atas pulau yang terpencil di tengah samudera raya, sementara para pendengarnya nyaris tak terjamah. Tapi, setiap angin dan badai yang bertiup serta dibawa oleh gerak-arus samudra tersebut, kiranya mendukung dari jerit dan lontaran dari bibir sang pujangga. Dalam sisiran bianglal historis, seringkali harus dikatakan, bahwa tiada watas antara kemantapan rakyat “untuk menyergap nuansa-nuansa alamiah” dari kentongan sabda pujangga yang terluncurkan perlahan-lahan, dengan naluri “berpetuah” dari tokoh pemikir yang berdiri sebatangkara di tengah ruwet-kemelut sana. Titik berat ketekunan itu adalah pada sejauh mana dia menertawakan kebenaran yang shahih (bukan otoriter), dan betapa masyarakat menampungnya suara tadi. Tapi memang acapkali, lintasan suara-suara begini tiada sinkron..

8.
Tebalnya gris-garis anggitan dalam percakapan muslim, menurut hemat saya seperti berikut : pertama, bagaimana tiap sudut dalam kalbu kita ini bisa ter-elus oleh bayu yang bertiup, dalam waktu tertentu, hingga segi-segi yang terpagut di situ adalah menjadi ukuran tubuh yang bulat. Kedua, ada daya analisa pada tiap pribadi (yang mendengar dan mewjudkan nilaibudaya) itu, sehingga manusia merupakan situs sejarah dari zamansekarang yang bergerak leluasa dan dinamis ini (jadi: tiada yang kadaluwarsa). Ketiga, atau pungkasan, ada sdalam kefaktaan yang ideal ini, satu aspirasi yang terus menerus tumbuh, meninggi, melingkar, menjembar dan membelantar—sehingga tiada halangan apapun yang takkan bisa diberantasnya. Dan, jika kita tulis riwayat bangsa, aspek ini lekat pada andaran tersebut.

* Tanggungjawab posting atas PuJa [PUstaka puJAngga]

Perayaan Kemurungan

Beni Setia
http://www.lampungpost.com/

Mitos yang mengeliling Li Tai-Po, seorang penyair liris China klasik, berkaitan dengan arak, bersampan setengah berhanyut di arus sungai, dan menulis puisi dengan kepekaan batin merespons berdasarkan apa yang tampil di kesadarannya—baik akibat rangsangan objektif kesekitaran atau melulu hanya cetusan imajinasi instinktif dalam batin.

KATANYA, ia menulis beratus-ratus puisi untuk dihanyutkan bila secara diksiah gagal karena tak bisa direvisi lagi, dan kemurungan kehilangan emosi liris yang tidak bisa dikonkretkan itu akan menjadi sebuah energi liris (baca: level kepekaan puitik) yang membuat menulis puisi semakin membius.

Energi tranced. Mungkin itu artifisialitas menulis—katanya Li Tai-Po kehilangan orientasi ketika merasa menemukan bulan dan merengkuh bayangan bulan di air yang disangka bulan itu sendiri, dan ia mati tenggelam di arus. Tapi identifikasi pada corak energi kreatif itu itu dipertegas oleh seorang Rahmah Purwahida, ketika ia membahas 10 cerpenis muda Jawa Tengah, yang tergabung dalam antoloji cerpen Joglo 10: Paras Perempuan Padas, TBJT, Solo 2011, di TBJT, (28-05). Dosen UMS ini menyebut itu sebagai perayaan kemurungan, saat energi kreatif dan kepekaan bersinergi dengan hal-hal keseharian yang tak lagi menggugah simpati dan solidaritas kemanusiaan kita, lantas kemurungan bangkit menggarisbawahinya dalam narasi yang sepertinya hanya mimesis memotret kenyataan sosial.

Keunggulan cerpen—dan pada akhirnya novel dan puisi—simpati sosial semacam itu terletak pada penggarisbawahan yang menyebabkan sebuah potret berbeda dengan lukisan, sebuah berita dengan prosa dan puisi. Dan karenanya, meski ada kesejajaran dengan olah kepekaan puitik Li Tai-Po, tekanan Rahmah Purwahida terletak pada apa yang jadi obsesi kreatif mereka merupakan ihwal yang ada di luar diri, bersipat objek dan berlevel sosial. Ini berbeda dengan Li Tai-Po yang bersipat reflektif, menggali ke kedalaman diri, subjektif seperti bersilarat-larat dengan hal yang liris—meski mampu memotret yang objektif, yang naratif menuturkan apa yang tampak dengan nampan puitika liris yang kental. Dan seorang Isbedy Stiawan Z.S.—terutama dalam Taman di Bibirmu, Siger Publisher dan Lamban Sastra, Bandar Lampung, 2011—bermain dalam tataran ini, bergerak reflektif ke dalam dan naratif ke luar.

Ada 82 puisi dalam kumpulan puisi setebal 104 halaman ini, dan yang lebih unik puisi tertua dalam kumpulan ini ber-titi mangsa 2011—2010;23.31 dan diletakkan di sisi belakang, sedangkan yang terbaru bertarikh 5211.7:23 dengan diletakkan di depan. Ini mengesankan sebuah pemindahan dari dokumentasi file dari laptop ke ujud pra cetak secara sederhana, dan sepengetahuan saya Isbedy Stiawan Z.S. selalu membawa laptop ke mana pun pergi—kini malah dilengkapi oleh handycam untuk merekam momentum sosial yang unik sesuai dengan tuntutan sebagai si pewarta televisi di Bandar Lampung. Pada status Facebook-nya ia pernah bercerita tentang perjalanan jarak jauh dengan sepeda motor, kelelahan perjalanan, daya tahan fisik sebagai seorang karateka, dan kepekaan puitik Li Tai-Po dan instink merayakan kemurungan ala Rahmah Purwahida yang menuntut bergerak dan terus bergerak.

Tak heran kalau dari kumpulan puisi terbarunya kita bisa menemukan romatisme sentimental liris tentang cinta dan si dia seperti tersurat dalam puisi-puisi Mawar, Menjadi Api, Kupilih Wajahmu, Sebuah Pesan, Di Tepi Kolam, dan banyak lagi. Selain narasi seperti yang tertera dalam puisi-puisi Kau adalah Laut, Lelaki Penjaga Pohon, Bulan di Kota Awan, Liwa, Dalam Bayangan, Kembali ke Kotamu, Mencatat sebagai Peristiwa, dan seterusnya. Sebuah rentetan puitika yang berada dalam liris reflektif dan narasi kuyup emosi—sebuah pencapaian yang berawal dari 20 November 2010 sampai 05 Februari 2011—sebuah pencapaian kreativitas dalam rentang 10 minggu, energi kreatif yang sebenarnya tak hanya merujuk 82 buah puisi tapi juga ada sekian cerpen, esei-esai sastra dan sosial-budaya, dan mungkin beberapa berita/liputan televisi. Satu aset sastrawiah yang mencengangkan, yang dieksolorasi dan dieksploitasi dengan sangat efisien—tapi tak pernah benar-benar diapresiasi secara benar.

Bagi saya Isbedy merupakan passion serta daya tahan, terlebih ketika bersitemu dengannya selalu ada membawa ransel yang menggelembung di punggung dan tas di tangan. Dengan berjaket dan bertopi ia seperti sedang memindahkan kesiapan untuk mengeksploitasi kepekaan puitik dan mengeksplorasi wacana kemurungan (realitas) sosial—kesiapan yang dimanifestasikan dalam perlengkapan yang kayak arep minggat dalam idiom Surabayaan. Tak heran kalau keutamaan Isbedy sesungguhnya terletak pada produktivitas, bahkan produktivitas yang tak kenal jeda sejak pertengah dekade 1980-an. Rentangan produktivitas (baca: keajekan mengolah kreativitas) yang ada di sekitar hitungan 25 tahunan lebih. Dan dalam rentangan itu kita menemukan karya sastranya berada di berbagai media massa cetak di mana-mana, dan dalam bermacam-macam dan tak putusnya terbit setiap tahun—terutama dalam hitungan dekade terakhir.

Dan ia sebenarnya tak sendirian—ada Soni Farid Maulana yang berkubang dalam puisi an kemudian Bandung Mawardi yang lebih konsentrasi pada esai dan apresiasi. Celakanya, khazanah sastra Indonesia tak begitu peduli dengan fakta itu. Di tengah minat baca sastra yang lemah, yang menyebabkan buku sastra tersenggal—dan seorang Nurel Javissyarqi, sang penerbit yang memegang bendera Pustaka Pujangga, pernah mengatakan pasar ril buku sastra hanya 300 buku, sedangkan seorang penerbit lain di Solo bilang ongkos cetak yang efisien minimal 500 eksemplar dengan titik optimum 1.000 eksemplar—, penghargaan justru lebih dipusatkan pada kualitas cq Khatulistiwa Award, misalnya. Produktivitas bertahan dengan ekplorasi dan eksploitasi kreativitas yang tanpa jeda dan dalam jangka panjang dan dilakukan dengan irasionalitas berterus mengolah kreativitas tak pernah dipedulikan.

Tak ada penghargaan bagi loyalitas buat pengabdian sepanjang masa, karena itu kita berkaca-kaca melihat nasibnya Ratna Indraswari Ibrahim yang sakit dan tak bisa berkreasi. Semua itu dianggap wajar, itu dianggap risiko pribadi dari pengamalan hidup sesuai dengan filsafat Eksistensialisme—seperti pejabat yang siap pensiun dan dihantui KPK. Padahal selain Ratna Indraswari Ibrahim kita telah mencatat dan sekaligus melupakan beberapa sastrawan berbakat yang didera masa surut dan terjerembab dalam sakit dan dianggap rongsokan yang tak perlu diingat. Menurut saya, seharusnya the stakeholder yang berkepentingan dengan sastra Indonesia mau memedulikan pengabdian kreatif sastrawan, dengan hadiah yang bersipat pengabdian lifetime, dan juga semacam fund untuk mengongkosi sastrawan produktif untuk berkarya dalam acuan risidensi.

Pertamina pernah mengundang sastrawan menuliskan tentang kilang minyak di lepas pantai Papua, seorang individu membiayai penulisan novel bertemakan korban G30S/PKI dari Seno Gumira Ajidarma serta cerpen-cerpen bertema kota di Amerika Serikat dari Budi Darma dkk., TSI III meminta beberapa sastrawan menulis puisi serta cerpen tentang Tanjungpinang, dan TSI IV membiayai beberapa sastrawan berbakat ke Halmahera. Tapi itu tak cukup. Dan sebuah dana residensi pada Isbedy dkk. mungkin membuat kita menemukan sebuah tempat serta satu eksotika yang unik dalam sebuah kumpulan puisi dan prosa. Memang! Tapi siapa yang mau peduli kalau eksekutif dan legislatif lebih terpikat membiayai sepak bola dengan APBD kabupaten/kota? Karena—sebenarnya—sastra itu berada di ekor dari proyek pencitraan politis.

Beni Setia, pengarang

Telaah Kumpulan Cerpen Sebutir Peluru dalam Buku karya Olyrinson

Musa Ismail
Riau Pos, 5 Juni 2011

Sekapur Sirih, Seulas Pinang

Realitas memang tidak dapat dipisahkan dari genre sastra apapun. Seabsurd atau seirasional apapun karya sastra, sudah dipastikan memiliki sisi realitas di dalamnya. Istilah realitas berawal dari realisme. Sebagai istilah estetika, realisme pertama sekali digunakan dalam Majalah Mercure Francais di XIX Siecle pada 1826. Di majalah itu, realisme digambarkan sebagai “peniruan bukan dari karya seni tradisi, melainkan peniruan dari aslinya yang disajikan oleh alam” (Luxemburg dalam Mahayana, 2005:356).

Tentang realitas ini, pada seminar dan peluncuran buku bertajuk Pramoedya Ananta Toer: Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia di Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Rabu (31/12/2010), Pramoedya menjelaskan, realisme sastra memberikan kemerdekaan kepada publik untuk mengambil kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang dituliskan oleh sastrawan. Dalam hal ini, setiap kali menuliskan karyanya, sastrawan harus membuktikan baik-buruknya sesuatu atau seseorang dengan berpijak pada kenyataan yang dilihatnya. Sastrawan harus berani menyodorkan fakta. Selain itu, juga membebasan sastrawan dan publik dari belenggu pemikiran, paham, tradisi, mitos, dan legenda yang tidak manusiawi. Dengan mengedepankan fakta-fakta sosial, berarti publik diberi hak untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu hal tanpa merasa didikte. Sementara itu, Zainul Milal Bizawie menguraikan, bagi realisme-sosialis, setiap fakta adalah proses dialektika yang berjalan terus-menerus menuju kebenaran. Realitas bukan tujuan atau kebenaran itu sendiri. Karena itu, karya sastra harus menunjukkan keberpihakannya pada rakyat.

Honoré de Balzac adalah novelis pertama yang menyuarakan gerakan realis lewat karya-karyanya seperti Eugénie Grandet (1833), Le Père Goriot (1834), dan karya monumentalnya, La comédie humaine (1842-1848). Kejeniusan novel Balzac ini memicu banyak penulis lain, namun dua saja yang menonjol. Yang pertama adalah Champfleury yang kemudian menuliskan sebuah manifesto resmi bagi arah baru gerakan sastra Perancis dalam kumpulan esainya, Le réalisme (1857), sehingga gerakan ini dinamai realis. Namun, penulis kedua yang justru lebih diakui bapak sastra realis dan gaya tulisannya diikuti banyak penulis sesudahnya. Dialah Gustave Flaubert yang pertama kali mengaplikasikan kejeniusan metode Balzac lewat Madame Bovary (1857), lalu L’éducation Sentimentale (1869) yang lebih mematangkan program realis.

Dalam perkembangan sastra kita, dinamika sejarah sastra dunia, sangat berpengaruh. Tengok Pujangga Baru, yang merupakan gema dari angkatan 80 di negeri Belanda. Angkatan Gelanggang atau Angkatan 45, yang digemari oleh sastra dunia yang memiliki konsepsi modernisme. Demikian juga dengan dekade 70-an, lewat eksistensialisme dan absurditas. Termasuk juga polemik sastra, karya sastra yang bersifat postmodernisme, yang merupakan gema yang sudah berkecamuk pada tahun 70-an di Eropa. Tak ketinggalan polemik sastra kontekstual, yang merupakan gema dari gerakan sastra multikultur yang menggejala di sastra dunia hingga kini.

Dalam perkembangan sastra kita selama satu abad ini, selalu dijiwai oleh sastra realisme, kita perhatikan semenjak Siti Nurbaya tahun 1920-an hingga para pemenang Lomba novel DKJ, 1998-2008, banyak didominasi oleh sastra realitas sosial yang berangkat dari pengalaman pribadi dan hasil penelitian. Laskar Pelangi (termasuk tetraloginya) karya Andrea Hirata pun bisa dikategorikan ke ranah ini. Dalam kondisi bangsa yang mengalami ketimpangan sosial, kemarjinalan, ketidakberdayaan kaum bawah, kapitalisme menyeruak, politik gelang karet, mafia kasus hukum, demokrasi semu, kehidupan ekonomi yang tidak stabil, kerusakan lingkungan hidup, dan goncangan-goncangan keterpecahan bangsa, serta masih kuatnya kuku kekuasaan.

Sastrawan Riau tidak begitu banyak mengangkat realitas kehidupan masyarakat negeri ini. Salah seorang di antara yang tidak banyak tersebut adalah Olyrinson, sastrawan keturunan Tionghoa-Nasrani, tetapi banyak mengangkat kehidupan Melayu, termasuk hal-ikhwal islami. Realitas-realitas yang diangkat Oly begitu rinci, dekat, deskriptif, dan eksploratif terhadap kehidupan-kehidupan di sekitar lingkungannya. Untuk lebih menukik, berikut ini saya mengajak pembaca untuk mengapresiasi karya-karyanya.

Sebilah Kacip

Sebutir Peluru dalam Buku (SPdB) merupakan kumpulan cerpen perdana Olyrinson yang diterbitkan Palagan Press, April 2011. Karena ragu beberapa hal, saya sempat sms-an dengan Oly —begitu saya menyapanya— sebelum mengulas cerpen-cerpen SPdB. Oly yang Tionghoa-Nasrani, bisa menyelinap sedikit ke realitas islami. Ya, terminologi realitas inilah yang dapat saya tangkap dengan begitu nyata dalam karya-karya cerpennya. ’’Semuanya itu realitas, Cikgu,’’ jawabnya terhadap pertanyaan saya. ’’Karena aku nggak ada ilmu sastra, Cikgu, jadi nggak bisa aku beraneh-aneh dalam menulis. Jadi, konvensional saja,’’ sambungnya. Namun, ternyata Oly punya pandangan tersendiri tentang karya-karya realis. Menurutnya, dengan realis, kita (sastrawan) bisa menyampaikan maksud tanpa perlu membuat pembaca bingung. Dengan realis, cerpen bisa kuat, penokohan dan karakter dibangun dengan struktur cerita, detailnya terjaga. Yang terpenting, cerpen-cerpen realis akan terasa jauh lebih indah (tentunya saya yakin Oly tidak mengerdilkan karya-karya yang non-realis). Dapat dikatakan, Oly memang realis (mungkin pengagum realisme) sejati. Ini dapat pula kita buktikan melalui kajian cerpen-cerpennya dalam SPdB.

Mahayana mengatakan, secara teknis, realisme merupakan aliran atau paham yang berusaha mematuhi fakta real yang terjadi. Real berarti yang aktual atau yang ada. Acuannya adalah benda-benda atau kejadian-kejadian yang sungguh-sungguh terjadi dan kasat mata. Dalam bidang sastra, realis berarti gambaran tentang benda-benda atau kejadian yang tampak seperti keadaan sebenarnya. Yang terungkap di sana adalah gambaran terperinci kehidupan biasa yang sebenarnya, yang menyangkut kegiatan-kegiatan manusia secara konkret.

Karya sastra bukan idealisme, tetapi refleksi realitas. Itulah yang dapat kita tangkap dari cerpen-cerpen Oly. Melalui kumpulan cerpen SPdB, sastrawan yang sering memenangkan berbagai sayembara menulis ini, lebih banyak menekankan makna karyanya pada beberapa kenyataan ironis. Pertama, sikap para penguasa dan pengusaha terhadap masyarakat di sekitar lingkungannya. Kedua, ketertekanan kehidupan rakyat kelas bawah di tengah lingkungan para penguasa dan pengusaha. Ketiga, kemiskinan, kelaparan, kejahatan, dan marwah rakyat kelas bawah yang tercabik-cabik. Keempat, kontradiksi kehidupan kaya-miskin di negeri Melayu (yang kayat-raya ini). Semua ironisme ini dapat dirangkum dalam satu pernyataan: Cerpen-cerpen Oly mengangkat realitas para penguasa dan pengusaha yang membunuh (Melayu) Riau: membunuh lingkungan, membunuh harmonisasi, membunuh kemerdekaan, dan membunuh hak-hak masyarakatnya.

’’Beberapa tokoh dalam cerpen saya, masih hidup, Cikgu…’’ begitu Oly meyakinkan saya tentang objek realitas yang digarapnya. Secara etnik, tokoh-tokoh dalam SPdB ini sangat Melayu. Tokoh-tokoh inilah yang dihidupkan kembali oleh Oly dalam cerpen-cerpennya. Sebagian besar, tokoh-tokoh yang ’’dibungkusnya’’ berada dalam latar suasana susah, terjepit, tertekan, miskin, dan tidak mampu berbuat apa-apa. Paradoks realitas kehidupan masyarakat Melayu (Riau) dapat kita tangkap dengan amat jelas dalam kutipan cerpen “Rembulan Tengah Hari” berikut ini.

’’Orang-orang perusahaan minyak itu menyebut abah pencuri. Tapi bagi kami anak-anaknya abahku adalah pahlawan. Ia berjuang untuk menghidupi seorang isteri yang hamil tua serta lima orang anak yang masih kecil-kecil. “Tidak ada seorang pun yang mau dilahirkan sebagai pencuri, Ima,” Kata abahku suatu hari kepada emak. “ Begitu juga dengan aku. Jangan kau pikir aku senang melakukan semua ini. Tapi apa yang dapat aku lakukan. Tanah kita sudah habis terjual dan orang yang mengambil untungnya. Kita tidak pernah dapat kesempatan. Kita ditindas, dibilang bodoh, pemalas, tidak punya otak. Padahal, tanah kitalah yang mereka garap, hak kitalah yang mereka kangkangi. Berapa kali aku mencoba mencari kerja, tapi apa yang aku dapat? Orang lain juga yang menerima gajinya. Dengan apa akan kita beri makan anak-anak kita, Ima…?”

Cuplikan di atas merupakan deskripsi-realitas yang sangat dramatis dan tragis. Kondisi menyedihkan inilah yang terjadi di bumi Riau. Deskripsi ini merupakan masalah serius yang tidak pernah tuntas, baik oleh penguasa maupun pengusaha (perusahaan minyak bumi dan sawit) yang merampas hak-hak kehidupan rakyat. Akibat kekurangpedulian penguasa dan pengusaha, lahirlah kejahatan. Tidak dapat membedakan lagi antara pendosa (pencuri) dan pahlawan (pencari rezeki).
Paparan deskripsi-realitas-dramatis sangat dominan dalam SPdB. Selain gambaran tokoh-tokoh, pelukisan latar dan konflik juga sangat fokus dirincikan Oly, terutama jika dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat di sekitar perusahaan. Menurut saya, Oly secara tidak langsung telah memberikan catatan penting dalam peristiwa-peristiwa kehidupan nyata masyarakat yang bermukin di sekitar perusahaan. Cerpen-cerpennya ini merupakan hasil observasi yang sangat maksimal. Karena itu, secara tidak langsung, juga merupakan hasil penelitian yang dituangkan dalam bentuk rekaan yang minimal. Cerpen-cerpen Oly merupakan realitas kerakyatan.

Kenyataan-kenyataan yang dihadirkan dalam SPdB berkaitan dengan gambaran alam (latar tempat), keadaan fisik tokoh, dan pikiran serta perasaan tokoh. Sebagian besar latar tempatnya berada di lingkungan perkebunan sawit, HPH, dan perusahaan minyak yang dapat kita telusuri fakta-faktanya di Riau. Kondisi fisik, pikiran, dan perasaan tokoh jelas merupakan lukisan keadaan kejiwaan masyarakat yang tertekan dan tragis. Masyarakat yang bermastautin di sekitar latar tempat dalam cerpen-cerpen tersebut. Oly menggambarkan bagaimana kondisi pikiran dan perasaan masyarakat miskin, tertekan, didera kelaparan, dan keterpaksaan menjadi pencuri besi bekas di perusahaan-perusahaan. Gambaran kehidupan miris sangat kentara di dalam kumpulan cerpennya. Tentang kondisi tersebut, dapat kita kaji dalam cerpen “Bulan Ngapepekon”, “Konvoi”, “Emak”, “Jalan Sumur Mati”, “Malam Lebaran di Field”, “Menjual Trenggiling”, dan “Rembulan Tengah Hari” (sekedar menyebutkan beberapa judul).

Ada satu hal yang penting dalam pendeskripsian penokohan dalam karya-karya Oly. Kebanyakan karya-karyanya ini memfokuskan tokoh pada karakter anak kecil. Saya memandang ini suatu simbolisasi Oly yang bisa diartikan sebagai ’’masyarakat kelas bawah’’ atau ’’masyarakat kecil’’. Berarti pula bahwa Oly menyoroti masyarakat besar dan luas melalui penokohan anak kecil di dalam cerpennya. Simbolisasi dan metafora ini—disadari atau tidak oleh penulisnya—memberikan kekuatan tersendiri bagi pendeskripsian penokohan.

Aneka peristiwa yang hadir dalam SPdB merupakan fakta-fakta faktual masyarakat (Melayu) Riau. Jejak-jejak fakta tersebut dapat saja ditelusuri dalam kehidupan nyata sehari-hari. Panorama miris dan ironis dalam SPdB akan kita temukan pula jika kita mengamati kehidupan nyata masyarakat negeri ini. Secara sosiologi, fakta ini tidak terbantahkan. Yang lebih memprihatinkan, fakta ini tidak banyak mengalami perubahan. Kehadiran pengusaha dan penguasa ternyata belum bisa memberikan kehidupan harmonis di sekitar lingkungannya. SPdB merupakan hasil interpretasi Oly terhadap lingkungan, masyarakat, norma-norma kehidupan masyarakat (Melayu) Riau. Diakhir tulisan ini, saya mengajak untuk kembali merenungkan realitas kegetiran hidup masyarakat (Melayu) Riau alam cerpen “Menunggu Ayah Pulang Ninja”.

‘’Makanya kami lebih baik mati dari pada tertangkap. Kalau kami mati dengan dodos kami sendiri, kami bangga. Sebab kami berjuang mencari makan bukan untuk perut kami, tapi untuk keluarga kami, anak-anak kami dan sejauh kerabat yang dapat kami hidupi. Bagi kami orang yang mati dimakan dodos sendiri saat menjadi ninja adalah pahlawan. Setidaknya bagi keluarga kami. Karena orang yang mati dalam ninja bukan mati sebagai pencuri, tapi mati untuk menuntut kemerdekaan kami. Merdeka untuk mengelola tanah kami sendiri, hutan dan sungai kami sendiri.’

Musa Ismail, guru SMAN 3 Bengkalis, mahasiswa pascasarjana Prodi Manajemen Pendidikan, Universitas Riau. Menulis berbagai genre sastra, dan telah menerbitkan beberapa buku, termasuk tiga kumpulan cerpen. Tinggal di Bengkalis.

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/06/realitas-penguasapengusaha-yang.html

Sejarah yang Dibebaskan

Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX
Penyusun:E. Ulrich Kratz
Penyunting:Pax Benedanto
Penerbit:Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2000
Peresensi :Radhar Panca Dahana
http://majalah.tempointeraktif.com/

Hal yang paling menarik dari buku ini tentu bukan tebalnya yang lebih dari 1.000 halaman, atau ketekunan penyusunnya yang telah lebih dari tiga dekade menggumuli sastra Indonesia dan sastra Melayu pada umumnya, tetapi pada keberanian sang penyusun menampilkan 97 artikel pilihan (tepatnya 98, jika ditambah artikel pengantar dari penyusunnya sendiri) dari tahun 1928 hingga 1997, atas nama “Sejarah Sastra Indonesia”. Keberanian ini setidaknya terlihat pada absennya penjelasan dari penyusunnya tentang arti “sejarah”. Inilah sebuah istilah yang ternyata begitu menimbulkan polemik dan penuh risiko jebakan menyesatkan, bahkan untuk mereka yang kita sebut sejarawan.

Dalam sastra, kata “sejarah” banyak dibincangkan dengan tekanan (yang terus direproduksi hingga hari ini) pada soal asal-muasal “sastra Indonesia”, dominasi politik pada historiografi sastra, peran sastrawan, atau soal periodisasi.

Sementara itu, dalam pengantarnya, yang justru menjadi salah satu artikel paling menarik dalam “menggugat” apa yang kita sebut “sastra Indonesia”, Kratz mendasari pemilihannya pada artikel-artikel “yang bergelut dengan soal perumusan kriteria dan sifat-sifat sastra Indonesia” (xvi). Ini adalah sebuah pilihan yang luas dan terbuka, yang bagi penyusunnya tak memiliki ambisi menyodorkan “sejarah alternatif”, tapi jelas menawarkan arti sejarah pergulatan intelektual para pelakunya.

Betapapun upaya Kratz membuka arti sejarah sastra, tampaknya ia belum berhasil meloloskan diri dari asumsi dasar kita tentang “sejarah sastra”, yang justru paling digugat. Pilihan dua artikel pertamanya, misalnya Poetoesan Congres Pemoeda Indonesia dan Sumpah Indonesia Raya, menyodorkan pertimbangan bahwa sastra Indonesia tumbuh dan diawali oleh peristiwa dan pemahaman politik. Begitu pun pilihan artikel ketiga, tentang Peranan Balai Pustaka, yang dijelaskan Nur St. Iskandar berawal dari Politik Etis dan kebijakan bahasa pemerintahan kolonial yang sangat ketat, memberi pemahaman betapa perkembangan sastra Indonesia berikutnya dipengaruhi dan ditentukan oleh politisasi acuan dan standar-standar artisitik.

Pemahaman ini secara tak langsung menjelaskan kerisauan utama sang penyusun akan begitu bakunya “kayu ukur nilai sastra”, juga tentang klise-klise seputar hubungan seni dan masyarakat, serta posisi sastra sebagai pemersatu kebudayaan nasional. Bahkan, sejak awalnya, semua soal sastra (di) Indonesia, dalam setiap mainstream-nya, secara taken for granted berada dalam lingkaran diskursus politik.

Hal inilah yang menciptakan alasan kedua bagi keberanian Kratz menempatkan sejarah sastra dalam diskursus intelektual yang sejak mula sejarahnya disesaki oleh praduga-praduga dialektis antara modernisme dan tradisionalisme, Barat dan Timur, subordinat dan superordinat, atau pusat dan daerah. Karenanya, sejarah semacam ini tak kan mampu meloloskan diri dari elitisme intelektual dalam setiap dimensinya. Sebagai risiko, kecenderungan-kecenderungan dan ekspresi-ekspresi literer non-Melayu dan yang minor atau “picisan” menjadi luput dalam diskursus semacam ini.

Kita mengetahui benar, beberapa pengarang dan kritikus keturunan Tionghoa atau Indo (secara genetis atau kultural), macam Lie Kim Hok, Breton de Nijs, atau Tjalie Robinson, membuat catatan-catatan cukup penting dalam riwayat sastra di kepulauan ini. Catatan penting itu juga terlihat pada esai dan pembelaan para pengarang picisan atau sastra pop, dari Matu Mona hingga Motingge Busye, dari D. Sudraji hingga Marianne Katoppo. Belum lagi menghitung esai-esai para pengarang berbahasa etnis lain, seperti Jawa, Sunda, Bali, Batak, dan lainnya, yang riwayatnya membujur jauh melewati batas sejarah politik dan nasionalisme bahasa Melayu.

Hal ketiga yang kita puji atas keberanian Kratz menyusun Sejarah Sastra Indonesia Abad XX adalah luputnya esai-esai pendek Chairil Anwar, Dami N. Toda, Remy Silado, atau beberapa esai berharga di antara kemeriahan sastra tahun 1980 dan 1990-an, yang tak dapat diwakili hanya oleh—sekali lagi—masalah klasik yang politis dari “pernyataan” Mochtar Lubis, Asrul Sani, dan Putu Wijaya yang membahas Pramudya dan hadiah Magsaysay.

Dalam upaya memandang sejarah sastra Indonesia dari diskursus intelektualnya, ia tetap tak terbebaskan dari penjara praduga politik. Artinya, sejarah itu, kalaupun ia harus disusun, mendesak untuk dibebaskan pada segala kemungkinan literer yang pernah ada. Tentu saja itu tidak dilakukan melalui pilihan-pilihan subyektif dalam sebuah buku yang begitu tebal dan dokumentatif.

Sutardji Vs Nurel J

Tosa Poetra
http://sastra-indonesia.com/

Jangankan dalam kehidupan dalam dunia karya tulis, segala sesuatu memang syarat dengan kontroversi, setuju dan tidak setuju merupakan hal yang wajar dan biasa terjadi, pro dan kontra lazim terjadi yang mana apapun pendapat itu hendaknya dihargai agar dapat menjadi tambahan kekayaan ilmu pengetahuan dan wawasan agar dapat menjadi semakin baik, bukannya menjadi bahan perseteruan abadi.

Arogansi Teks Dan Elaborasi Penakluk Ide: Sebuah Prolog Kegelisahan

Agus Sulton
http://sastra-indonesia.com/

Manusia adalah pencipta budaya, dan sosial sebagai kekuatan ambisi untuk proses berbudaya. Individualitas berfikir setidaknya mampu membentuk budaya, namun budaya sendiri akan mempengarui manusia terhadapa kepribadian seseorang. Keduanya sebagai akar relasi akomodatif, dalam artian saling menyesuaikan dan dapat berkembang selama manusianya tidak menafikan sejarah pendahulu, kamudian dikemas ke dunia kekinian. Sebab itulah, sejarah sebagai tiang kekuatan bangsanya bahwa bangsa tersebut dikatakan bangsa yang banyak menyimpang tradisi-berbudaya.

Dengan kata lain, keberadaan budaya sekarang adalah hasil perkembangan dari budaya tradisional. Sama seperti hasil kesusastraan kekinian, sebaliknya merupakan perpanjangan kesusastraan yang dibangung dari sastra kedaerahan. Mulai dari lingkungan kerajaan, keraton, kaum kromo daerah, sastra Melayu peranakan, dan sastra Indonesia modern. Yang pasti hasil karya itu sebagai rekaman akan zamannya, paling tidak cerminan deskriptif pribadi dari hasil kekuatan sosial yang mempengarui.

Sastra Indonesia modern sendiri berakar dari sastra Melayu (kesusastraan Indonesia lama). Pengetahuan segala kejadian yang terkait dengan sastra Melayu, baik beredar dari mulut atau bentuk tulis itulah yang dimaksud dengan sastra Indonesia lama. Sedangkan sejarah sastra Indonesia modern, penulis tidak sepatutnya mengupas secara keterkaitan, karena dalam buku yang banyak kita baca, sejarah sastra Indonesia banyak ditunggangi politik kepentingan-pemikiran korup dan kekuasaan kolonial yang gagap mengolah perubahan.

Meski begitu, perlulah dicamkan untuk lebih kritis dalam mengamati sejerah perkembangan sastra Indonesia secara objektif dan general. Pentingnya ini akan menghadirkan analisis dari beberapa pemikiran, baik berbentuk estetika penceritaan kekinian, simbolisme tokoh, sampai polemik kesusastraan dan beberapa aliran sastra yang dari tahun 80-an hingga sekarang menuai banyak perdebatan. Dalam sastra (puisi) sejauh ini juga menawarkan kebebasan, entah dalam pemilihan kata, model ekspresi, sampai menyelingkungi konvensi. Sampai-sampai terkadang kita linglung untuk memahami teks tersebut, karena banyaknya benturan benda-benda seolah tidak ada keterkaitan, dan fungsionalitas yang dapat membentuk struktur. Terkesan sok dianggap serius, walaupun penulisnya sendiri terkadang ”kowah-kowoh” untuk menafsirkan, malah membuatnya terjerambah pada kemandulan kreatifitas. Pola ini tak ubahnya kompetensi kegenitan, dianggap keblinger. Bisa jadi melacur kepincangan eksistensi dengan berbagai statemen kubangan.

Seakan-akan ada nuansa bentuk state of madness, yaitu bentuk-bentuk kegilaan histeria di mana hubungan realitas batin telah sirna dan pikiran manusia telah terpisah dari perasaan. Di samping itu, kemasan teks yang ditawarkan pengarang terkadang juga minim pengetahuan, sehingga berdampak pada pemaksaan ide yang dalam logika berfikir terkesan ”ngamplah” walaupun kegiatan intelektual pengarang melahirkan keindahan estetik, tetapi referent yang didapat-nya masih kering. Problematika inilah yang penulis perlu garis bawahi, pengarang seolah-olah ingin memberi wabah (propaganda;tulis) kepada pembaca, namun olah intelektualitasnya masih perlu dipertanyakan. Pemahamannya dirasa arogansi teks yang kebenaran dan kepastiannya salah kaprah, toh sebetulnya sastra indentik dengan fiksi namun fiksi yang terbentuk dari fakta realitas kamudian pengarang membumbui dengan teks-teks imajinatif.

Sehubungan dengan itu kita dapat menemukan beberapa bagian terkecil dari antologi puisi Aditya, seperti pada puisi

Manuskrip
:buat Wiasa Hestitama

seperti gamelan jawa yang asyik mendengkur di museum
ditinggal keraton-keraton tua pergi naik kereta
menuju stasiun-stasiun baru, yang disebut televisi
di mana Mpu Gandring atau Mahapatih Gajah Mada tak lagi kita jumpai
sejarah sudah bengkok, menyempal dari akar tua tradisi
menempuh jauh jalan tol, menghampiri kota-kota yang sok sibuk
mengurusi penggusuran lokalisasi untuk pelebaran industri

anjungkan panji-panji plastik: junkfood dan softdrink di barisan depan
meneriakkan yel-yel berbahaya:
hei kau anak muda, come on, come on, join us brother.
hei , apa itu ditanganmu, naskah kuno? manuskrip apa peta buta?
kok tidak bersampul, dimakan rayap, apa hebatnya sih?
itu bisa dibaca ya, terus buat apa? Jual sajalah
atau tukarkan sebotol bir di diskotik terdekat
”come on man, join us, let’s dance and drunk together…”

saudara, bukankah gong yang dulu pernah ditabuh moyang kita
gaungnya sampai di telinga Columbus, dan juga Vasco Da Gama.
pelayaran demi pelayaran, kapal-kapal tak dikenal begitu lancang
tanpa permisi menciumi pipi kepulauan ini abad demi abad
mereka cuma minta, cuma-cuma dan tak pernah membeli
itu artinya kita kaya, kaya raya, saudara!
ning nong ning gung – ning nong ning gung

Ngoro, 2011

Pada puisi yang berjudul “Manuskrip” jelas-jelas penulis mengganpnya naskah atau manuskrip sebagai suatu yang paling bernilai (an sich), akar sumber budaya, karena manuskrip adalah bukti otentik tradisi tulis nenek moyang kita. Bahkan Negara Malaysia banyak berburu naskah Melayu tidak lain sebagai kekuatan Negara, mereka banyak membeli naskah-naskah dari Masyarakat Sumatra, Kalimantan. Kelak mereka menginginkan bahwa Malaysia menjadi pusat sastra Melayu tua.

Meskipun manuskrip sebagai tongga kekuatan tradisi sejarah tulis, dan kekayaan intelektual bangsanya, namun kalau kita sedikit toreh puisi di atas bahwa kesemrawutan kota, modernisasi;

menempuh jauh jalan tol, menghampiri kota-kota yang sok sibuk
mengurusi penggusuran lokalisasi untuk pelebaran industri.

Tidak sepatutnya menjadikan pengaruh, korelasi antara manuskrip dan kemajuan zaman kemiskinan moral, hedonisme, termasuk jenis makanan dan minuman mengandung bahan kimia beracun untuk bunuh diri masal secara perlahan.

Sebenarnya diera modern seperti ini yang patut kita salahkan bukanlah diri kepribadian seseorang, kenapa mereka enggan untuk mempelajari gamelan, atau sekedar cinta dan merawat naskah-naskah nenek moyang kita. Tetapi salahkanlah pada pemerintah, dalam hal ini pihak pemegang sistem pendidikan nasional. Mereka mulai lincah dalam memojokkan pelajaran dan wawasan nuansa kedaerahan, berakibat pada minimnya pengetahuan budaya kedaerahan pada generasi kita, umumnya. Bahkan pihak Indonesiais (barat) yang peduli pada naskah-naskah kita, dan mereka hidup di lingkungan perkotaan, yang kebudayaan sudut kota banyak dipenuhi kesemrawutan kian beragam dan budaya hedonisme, terkadang atheis.

Kita tengok pakar-pakar peneliti naskah di Indonesia seperti, Cohen Struart, Gericke, Van der wolen, Van der tuuk, Kern, Gonda, Juynboll, Sellabear, Winstend, Van Ronkel, Raffles, Robson, Behrend, Crewfurd, dsb. Dan naskah-naskah kita banyak diburu dan diteliti oleh Negara lain, sedangkan Indonesia sendiri belum mampu untuk menghargai sumber budayanya sendiri. Indonesia saat ini hanya mampu berontak kolektif kalau budayanya diperkosa oleh negara tetangga. Sebenarnya kita sangat terharu oleh neraga Malaysia, Singapura, Brunai, Srilangka, Thailand, Mesir, Inggris, Jerman, Rusia, Austria, Hongaria, Swedia, Afrika Selatan, Belanda, Spanyol, Italia, Prancis, Amerika, dan Belgia mereka banyak peduli dan sebagai peneliti aktif naskah-naskah kita.

Sehingga tidak perlu arogan dalam mengungkap sebuah gagasan, sebuah kekuatan karya dapat diukur dari kekuatan teks itu sendiri. Semakin “blarah nang kawul-kawul” teks itu, semakin enggan pula pembaca untuk menggurui kesan dan pesan yang tersimpan dalam teks. Malah dianggapnya kubangan murahan dengan polesan estetis, tetapi teksnya kering eksperimentasi fakta struktural.

Memaknai hakikat berkarya pasti ada sisi kelebihan dan kekurangan. Namun kita patut berbangga diri karena cak genjus yang masih usia brondong sudah mampu menelorkan teks keterbukaan yang dibentuk berdasarkan kepiawaian pengarang dalam memanfaatkan bahasa sebagai media ungkap gagasan, termasuk melahirkan keindahan estetika-humoris sebagai alat wejangan sense humanitas. Hampir semua puisi cak genjus adalah sebuah kegelisahan, berak evaluatif pengarang selama bermigrasi dari beberapa warung kopi. Lagi-lagi teks dijadikan jalinan komunikasi, dan kemenyan simbol terselubung dengan memborong semangat kemanusiaan.

Kiranya, jika kita tengok filosofi puisi yang ditulis cak genjus merupakan puisi yang bertemakan sederhana sekecil atom, tetapi menyimpan elektron dan beberapa partikel zat, tetapi masih punya kepekaan konseptual pada elektron dan proton, yaitu kontruksi sosial. Coretan peristiwa warung kopi dijadikan dominasi (eksperimentasi) fakta sosial, keluh kesah kondisi maupun terkondisi terlilit sistem sekaligus keberpihakan dan budi pekerti mengajarkan untuk berbuat jujur tanpa ada rasa keserakahan.

Disadari atau tidak sepertinya mas genjus orang yang sudah piawai dalam membangung maupun mencipta ide. Dia mampu merekam setiap kejadian di warung kopi, entah warung itu dekat mesin ATM, stasiun, terminal, sampai ledokan tempat prostitusi. Warung bagi dia adalah markas objek sastra, menyimpan jeritan impian dari seorang rakyat kecil yang hari-hari bekerja sebagai buruh tani, tambal ban, jok sadel, pedagang sayur di pasar, pekerja seks, dsb. Sesekali mas genjus juga menggambarkan kebisingan kota yang dipenuhi ketimpangan, kepalsuan, materialistik, dan watak-watak pragmatis.

Bagaimanapun juga, semua persoalan di atas dalam antologi puisi ini adalah sebuah deskripsi dan kebenaran reflektif yang ada di masyarakat sekitar kita. Namun yang sebelumnya penulis tidak sangka bahwa mas genjus juga menyimpan kegelisahan diri pribadinya, baik masalah asmara, keluarga, dan kondisi sepi keuangan. Berdasarkan pembacaan penulis, antologi puisi ini adalah ”berak kegelisahan” pada persoalan pribadi, masyarakat, dan negara yang banyak dimunculkan dari orang-orang pinggiran (kurang beruntung secara materi). Yang pasti coret demi coret dalam antologi puisi mas genjus seperti membangun identitas resistensi-perlahan karena tumbuh dari kegelisahan kondisi, dengan maksud memperhalus nilai moral. Semoga

1) Asdi S. Dipodjojo, Kesusastraan Indonesia Lama Pada Zaman Pengaruh Islam (Yogyakarta: Lukman, 1986) hal. 4

2) Zainuddin Fananie dalam Sastra: Idiologi, Politik, Dan Kekuasaan. (Muhammadiyah Universitas Press, 2000: 22) Hal yang kasat mata dijadikan kekuatan tanpa menomorsatukan logika perfikir. Kata dijadikan kekuatan Sugestif, sehingga integrasi (kaitan) antar teks kurang bisa menawarkan gagasan yang inovatif disegala pihak, terkecuali.

*) Agus Sulton, Tinggal dan berkarya di Jombang.

Puisi: Strategi Perekaman Dalam Situasi Dadakan

Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

“Banyak waktu untuk masalah kecil. Banyak waktu untuk masalah besar.
Sedikit waktu untuk masalah kecil. Sedikit waktu untuk masalah besar.”

Puisi adalah hasil sadapan peristiwa alam semesta, di mana permasalahan yang amat gigantik dirangkum dan diperas sedemikian rupa menjadi santan, hingga sedemikian ringkas, padat, kental dalam satu rasa dan makna. Dari seribu permasalahan misalnya, puisi bisa merekam efektif mendekati target nominal yang sulit dicerpenkan, apalagi dinovelkan. Itu sebab, puisi kerap sebagai jalur paling ramai dilintasi sastrawan pemula sebelum merambah ke wilayah yang lebih lebar cakupannya: cerpen, novel.

Sastra (puisi) seruas dengan hal tak terduga, lepas dari prediksi dan jangkauan macam apa pun, tiba-tiba ada, hadir, mengalir, nyata, kemudian hilang, senyap, muram, kelam dan remang. Keunikan apa sesungguhnya yang terjadi di balik fenomena sastra? Sehingga sedemikian ‘membatmentul-nya’diayunkan keseimbangan sejarah.

Sebagaimana perjalanan sejarah, sastra tak luput dari pertarungan ‘trik-intrik’pengibaran bendera: sebutlah yang paling dikenal dengan aliran realis dan surealis, keduanya gigih menyiapkan jala untuk menjaring alasan mengenai siapa yang paling mendekati (limite) fungsi sastra ketika dihadapkan pada disiplin ilmu lain. Namun, terlepas dari pengibaran bendera dimaksut, sastra tetap lahir laksana gaung pertapa dari dalam goa, ia nyaring dari gesekan ‘sreekk’ tapak kaki perantau di bebatuan cadas, ‘nyess’ lesapan air di padang gersang, atau ‘creass’ dari clorotan jatuhnya meteor di angkasaraya.

Usahlah sastra dituntut berdisiplin dengan ilmu lain, sebab ia merupakan unsur kelembutan, serupa ‘sel lentik’ dalam berbagai keilmuan. Hanya saja, sejauh mana pengudalan sastra dilakukan secara singkronik dalam ilmu lain.

Kehilangan sastra dalam berbagai lini keilmuan, samahalnya melempar segumpal kerinduan jauh ke lorong hal paling sunyi. Keadaan demikain, disadari atau tidak, pada kadar dan kurun waktu tertentu akan terserap oleh daya gravitasi pertemuan atas berlangsungnya kelayakan sebuah ekstase. Kenyataannya, tidak ada yang terputus dalam sastra, seumpama snapsot, berdiri di tepian tebing dan beberapa detik kemudian terjungkal bersama lengkingan selamat tinggal dan terjerembab ke jurang kematian sejarah. Di mana pun, tidak ada pedang bersilang linier yang memenggal urat nadi sastra secara tragis dan menggelepar, yang terjadi adalah tangis siklikal jabang bayi sebagai pananda kelahiran sastra garda depan dari rahim senja artistik silam (Esai Nostalgia Pengantin Sastra).

Membaca buku Antologi Puisi ‘Mobilisasi Warung Kopi’ karya Aditya Ardi Nugroho (Genjus), mengingatkan saya ketika nyeruput segelas kopi di beberapa warung. Ada kata kunci di sana: namanya tetap sama, yaitu kopi, tetapi berbeda rasa. Di kawasan panas pantai Kuta (Bali), tidak senyamleng pegunungan Trunyan-Kintamani dan Bedugul. Atau di perbukitan Asta Tinggi (Sumenep), berbeda dengan sekitaran industri Krakatau Still (Merak). Bahkan di tanah kelahiran sendiri (Jombang), antara warkop Yudar (Nglele), Mak Siti (Ringin Contong), Mak Muhsini (Gebangmalang), berbeda dengan warkop P. Tris (depan kampus SKIP Jombang), warkop Assalamu’alaikaum (gerbang UNMUH Malang). Ada banyak faktor pembeda yang berkaitan dengan seduhan, kemurnian, campuran serta suasana. Di sini Genjus berperan dalam 96 tuangan puisinya yang dikemas hingga 106 halaman.

Sebagaimana Dr. Suwardi Endraswara, M. Hum selaku pengantar buku ini, saya tersentak. Apa yang misterius dari sosok Genjus, mahasiswa jebolan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Jombang, hingga kumpulan puisinya tidak bisa dibilang pemula. Genjus meyeduh kerja puitika sedemikian tulus dan ulet untuk di persembahkan ke pembaca. Kerja puitika dimaksut ialah bagaimana Genjus mencari atau mewadahi intuisi, menentukan stilistika, tema, pencitraan, serta meramu berbagai genre puisinya.

Ada sekitar 20 jenis lirik puisi Genjus jika ditinjau dari 35 jenis lirik yang dikategorikan oleh Sutejo dan Sugianto dosen STKIP Ponorogo (Apreseasi Puisi, Pustaka Felicha, 2010). Banyaknya jenis lirik dalam buku ini, penulis sengaja menjebol sekat-sekat aliran dari gawang perpuisian yang kian rusuh dengan pertentangan. Bagi Genjus, pertengkaran kubu yang terus menerus, tak ubahnya orang yang bersikukuh berebut ‘benar’ dan ‘tua’ hingga eyel-eyelan sampai mengeluarkan KTP. Lucu.

Mantabnya, semua jenis puisi Genjus berdisiplin dengan A. Teeuw yang mengikat puisi tidak lepas dari kode bahasa, kode sastra dan kode budaya.

Puisi berjenis Hukla yang enak dipanggungkan, dapat kita temukan pada Surat Kaleng (hal.85), Sri Nangis Lagi (hal.86), Orang-Orang Panggung (hal.105). Puisi ini setara dengan Kembalikan Indonesia Padaku (MAJO, Taufik Ismail). Ratapan batin Genjus, terekam dalam warna elegis / karena aku hanya tembakau murahan / digulung dalam papir lusuh, beringsut, baunya kecut (Bersetubuh Siksa). Sedang yang paling privacy disembunyikan dalam puisi kamar / hening cipta / mati rasa (Yang Maha Sepi,hal.24) persis dengan puisi M. Fauzi Madura /di Sinai, ayat ayat itu mentasbih perjumpaan kita / rindu yang lahir berabad, berbetahbetah di ujung batumu (Horison, April 2006). Ada pun jenis lirik yang lain tersebar dan larat di sepanjang lanskap buku ini, semisal: Prismatis (Titik Habis, hal. 81), Diafan (Sri Nangis Lagi), Dramatis (Global Warning, hal. 91), Didaktis (Jagal Raya), Humoris (Gegar Otak), Romantis (Dia Wanita Militan), Metafisikal (Reaktor), Ode (Ibu, Ode Buat Aku), Kontemporer (Sepenggal Gerimis Untukmu), Naratif (Karnaval), Parodi (Kremasi Puisi).

Kejanggalan beberapa puisi dalam buku ini, seperti cerminan usia penulis yang masih dituntut sublimitasi karya, di mana hal yang adonis sekali pun tidak harus diungkap secara vulgar. Dalam Ode Buat Aku, penulis bertingkah narsis dengan mempahlawankan dirinya, tidak seperti Ode Buat Gus Durnya D. Zawawi Imron. Pengaruh usia juga terlihat dari lemahnya puisi bernada Parnasian yang menggarap puisi atas pertimbangan ilmu dan peningkatan ekonomi. Demikian juga tanda Platonik yang memasuki wilayah Tuhan dengan sangat mesra seperti Hamid Jabbar dalam judul puisinya Ke Puncak Diam / setiap langkah adalah darah / mengucap kejadian pasrah / yang bersipongah ngngngnggg / dari lengang ke lengang ngngg / ke dalam jeram / alirkan salam ke puncak diam.

Kepedulian buku ‘Mobilisasi Warung Kopi’ terhadap ketimpangan sosial, dapat dianalisa dari perbandingan puisi Satire yang mendominasi keseluruhan tema hingga 62 % dibanding puisi lainnya yang berjenis romantis, elegis, epigram, liris dll. Satire bukan puisi bisu yang tak andil merubah rezim Suharto hingga pergolakan Nazaruddin di tubuh Partai Demokrat. Di sini Genjus menempatkan barisan bersama Rendra dan Wiji Tukul yang menyorong puisinya ke mobilisasi pemberontakan dengan pamflet (Peniup Peluit, Harakiri, Haru Biru Air Matamu, Kesaksian Cacing, Surat Kaleng, Sebatang Paradoks). Meski pun masih mengekor, akan berbeda suguhannya jika Genjus menggeser bentuk budaya puisinya dari puisi Rendra. Sebab kebudayaan sebagaimana kekekalan energi tidak akan hilang dari naluri manusia, tetapi bisa berubah bentuk (Setya Yuwana Sudikan, makalah seminar di STKIP Ngawi 18 Januari 2011).

Buku ini penting bagi pembelajar sastra. Pembaca dapat mengutip bagaimana cara penulisnya merefleksi kejadian sesaat menjadi rekaman abadi secara baik dan benar. Sikap brilian penyair ialah ketepatan menguasai situasi dalam perubahan dadakan: Sesaat yang mempertaruhkan nilai. Itulah Genjus dengan karyanya.

*). Sabrank Suparno. Esais Jombang. Bergiat di Lincak Sastra Dowong. Tim pengelola media web: www.Sastra Indonesia.com.
*) Makalah bedah buku Antologi Puisi Mobilisasi Warung Kopi, karya Genjus, di HMP Bahtra Indonesia STKIP PGRI Jombang, pada 18 Juni 2011.

Standar Ganda Publikasi Karya Sastra

Iwan Gunadi
Riau Pos, 19 Juni 2011

SEORANG penulis cerita pendek (cerpen) dongkol lantaran cerpennya yang dimuat di dua media cetak berbeda digugat seseorang. Gugatan dalam salah satu surat pembaca yang muncul di media cetak yang terakhir memajang cerpennya itu menyalahkan pemuatan ganda tersebut. Kata si penggugat, pemuatan ganda itu merugikan pembaca dan cerpenis lain. Pembaca kehilangan kesempatan untuk menikmati cerpen atau informasi yang berbeda. Sementara cerpenis lain kehilangan peluang untuk ikut dimuat di media cetak itu.

Yang makin membuatnya dongkol, si penggugat itu adalah temannya sendiri. Ia bukan cerpenis, melainkan penulis puisi. Ia memang tak pernah mengirimkan puisi ke dua media cetak sebelum salah satunya menyatakan menolak. Tapi banyak temannya sesama penulis puisi tak melakukan hal serupa. Akhirnya, banyak puisi yang sama dimuat di lebih dari satu media cetak. Yang bikin ia keki, tak seorang pun yang pernah mempermasalahkannya. “Diamput, ini benar-benar standar ganda,” makinya seraya merobek-robek koran yang memuat surat gugatan itu.

Kekesalan sang cerpenis adalah sebuah fakta. Satu cerpen yang sama dimuat di lebih dari satu media cetak —biasanya di dua media cetak berbeda— juga fakta. Fakta yang lebih sering lagi adalah pemuatan satu puisi yang sama di lebih dari satu media cetak —bahkan bisa di tiga sampai dengan lima media cetak berbeda.
Yang lebih jarang terjadi adalah publikasi satu esai atau kritik sastra yang sama di lebih dari satu media cetak. Tapi, sebaliknya, tak jarang satu esai nonsastra, terutama esai yang berisi opini, dimuat di lebih dari satu media cetak.

Waktu pemuatannya bisa sama. Kalau itu yang terjadi, pembaca mudah menengarai dan menginformasikannya, termasuk ke redaksi media cetak yang memuat tulisan tersebut. Tapi, kalau waktunya berbeda, apalagi dengan rentang yang sangat jauh, tak mudah bagi pembaca untuk menengarai dan menginformasikannya. Di sini, pembaca cenderung berfungsi sebagai pengontrol.

Redaktur yang bertanggung jawab meloloskan tulisan-tulisan itu sendiri tak mungkin mengontrol dan mendata semua tulisan yang pernah dimuat media cetak lain dengan beban kesibukan yang dipikulnya. Jangan-jangan, ada media cetak yang tak mendata tulisan-tulisan, terutama dari luar, yang telah dimuatnya sendiri. Buktinya, masih ada media cetak yang memuat tulisan, termasuk cerpen, sampai lebih dari sekali —biasanya dua kali— tanpa bermaksud menyengajanya.

Boleh jadi, setiap redaktur tak bermaksud menerapkan standar ganda untuk cerpen, esai sastra, dan esai nonsastra di satu sisi dan puisi di sisi lain. Pemuatan ganda cerpen, esai sastra, dan esai nonsastra biasanya diganjar masuk daftar hitam orang-orang yang tulisannya tak lakak dipublikasikan lagi. Itu dilakukan setelah pemuatan ganda itu diketahui redaktur. Sebaliknya, pemuatan ganda puisi seperti tak pernah diganjar “hukuman” setimpal. Penyebabnya tampaknya lebih bukan lantaran redaktur tak mau melakukannya, melainkan karena tak tahu. Pembaca pun nyaris tak ada yang menginformasikannya.

Pemuatan ganda sendiri terjadi karena penulisnya mengirimkan tulisan yang sama ke lebih dari satu media cetak. Tulisan tersebut biasanya dikirim dalam rentang waktu berbeda. Setelah menunggu sekian waktu tak dimuat juga di satu media cetak, penulis mengirimkannya ke media cetak lain. Pemuatan ganda tak mungkin terjadi jika penulis menginformasikan ke redaktur tentang penarikan tulisan itu sebelum dikirim ke media cetak lain atau redaktur tak telat menerima informasi penarikan tersebut.

Namun, ada juga penulis yang sengaja tak memberi tahu redaktur tentang penarikan tulisan itu. Penulis seperti itu biasanya memang masih berharap tulisannya dimuat media cetak tersebut. Bahkan, ada penulis puisi yang sengaja mengirimkan puisi yang telah lama dimuat di satu media cetak ke media cetak lain dengan harapan mengutip honorarium ganda.

Di sisi lain, pemuatan ganda sendiri kadang-kadang disengaja. Ini biasanya berlaku bagi tulisan dari pihak luar media cetak yang diterima bukan karena penulisnya mengirimkan ke banyak media cetak. Tulisan semacam ini dimuat ganda —kurang dipedulikan apakah media cetak lain telah memuatnya atau belum— lantaran pentingnya isi tulisan tersebut atau pentingnya orang yang menulisnya dan media cetak tersebut tak perlu membayarnya. Misalnya, naskah pidato presiden pada kesempatan tertentu (poin c Pasal 13 Undang-Undang UU RI Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta —selanjutnya disebut UU Hak Cipta— yang mulai berlaku sejak 29 Juli 2003 lalu).

Persoalannya, apakah pemuatan ganda itu menyalahi peraturan? Setahu saya, tak ada satu peraturan pun yang mengakomodasi secara khusus masalah pemuatan ganda di media cetak. Meski begitu, ada pasal dalam UU Hak Cipta yang mengarah ke pengesahan pemuatan ganda.

Sebab, Pasal 46 UU tersebut menyebutkan, “Kecuali diperjanjikan lain, pemegang hak cipta tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga…” Pasal tersebut dapat ditafsirkan, penulis sebagai pemegang hak cipta boleh mengirim satu tulisan yang sama ke lebih dari satu media cetak dengan konsekuensi dimuat di lebih dari satu media cetak pula, baik dimuat secara serempak atau dalam waktu yang berbeda.

Memang, di sana ada klausa “Kecuali diperjanjikan lain”. Tapi, persoalannya, perjanjian yang mana? Lazimnya, perjanjian melibatkan dan disepakati kedua belah pihak yang berjanji. UU Hak Cipta pun cenderung mendefinisikan perjanjian seperti itu. Bahkan, UU tersebut mewajibkan perjanjian lisensi wajib dicatatkan di Direktorat Jenderal (Ditjen) Hak Cipta agar mempunyai akibat hukum kepada pihak ketiga (Pasal 47, ayat [2]).

Kalau perjanjian seperti itu yang dimaksud, saya tak pernah tahu bahwa ada penulis cerpen, puisi, esai sastra, atau bentuk tulisan lain sebagai pemegang hak cipta menandatangani perjanjian dengan pihak media cetak tentang pelimpahan hak eksklusif dari penulis kepada media cetak untuk mengumumkan atau memperbanyak tulisannya. Apalagi kalau sampai dicatatkan di Ditjen Hak Cipta.

Yang ada biasanya hanyalah ketentuan yang dibikin sendiri oleh pihak media cetak bahwa tulisan tidak pernah dimuat media cetak atau media massa lain. Ketentuan yang melarang pengiriman tulisan ke media cetak atau media massa lain nyaris tidak ada—untuk tak menyebut tak ada sama sekali.

Ketentuan yang melarang mengirim tulisan yang pernah dipublikasikan itu pun tak diketahui setiap penulis. Sebab, ketentuan itu tak pernah dimuat secara permanen atau terus-menerus di setiap media cetak. Penulis biasanya hanya tahu dari surat balasan bila tulisannya ditolak untuk dimuat. Padahal, tak semua media cetak menolak tulisan dengan cara seperti itu.

Kalau ketentuannya seperti dalam UU Hak Cipta, apa pihak media cetak tak dirugikan? Dengan prosedur seperti sekarang, pemuatan ganda sedikit banyak merugikan pihak media cetak, apalagi pihak media cetak yang memuatnya bukan pada kesempatan pertama.

Namun, dengan mempertimbangkan motif masyarakat Indonesia membeli media cetak, seberapa besar sih anggota masyarakat yang membeli media cetak hanya dengan alasan ingin membaca karya sastra, termasuk esai atau kritik sastra? Meski angka pastinya tak ada, jumlahnya diyakini sangat kecil. Apalagi masing-masing media cetak diasumsikan punya target pasar berbeda.

Dengan asumsi yang sama, pembeli media cetak pun berpeluang sangat kecil untuk dirugikan. Kalau dia ternyata biasa membeli lebih dari satu media cetak dengan asumsi target pasar yang berbeda itu dan membeli dengan motif tunggal ingin membaca karya sastra, toh, dia masih punya hak untuk tak membeli media cetak yang memuat karya sastra yang sama.

Namun, kesempatan tampil karya sastra penulis lain jadi berkurang? Betul. Tapi itulah pilihan redaksi media cetak yang bersangkutan. Itulah hak prerogatifnya, walau mungkin kemudian disesalinya karena ternyata dimuat juga media cetak lain. Di sisi lain, itulah hasil kompetisi: karya siapa yang dianggap bagus di mata redaksi, karya itu pula yang dimunculkan.

Nyatanya, yang lebih banyak dirugikan secara ekonomis adalah penulis. Masih banyak media cetak yang tak memberikan honorarium —UU Hak Cipta hanya menyebut royalti— kepada penulis. Padahal, meski diawali dengan klausa “Kecuali diperjanjikan lain”, Pasal 45, ayat (3), UU tersebut mewajibkan pemberian royalti kepada pemegang hak cipta oleh penerima lisensi. Tak sedikit pula media cetak yang memberikannya dalam jumlah alakadarnya.

Masih ada pula media cetak yang menghanguskan honorarium yang tak diambil penulis secara langsung dalam jangka waktu tertentu—biasanya paling telat tiga bulan. Ini biasanya berlaku untuk penulis yang sekota dengan kantor (pusat) media cetak itu atau berdekatan dengan kota kantor tersebut. Padahal, media cetak tersebut tak pernah memberitahukan ihwal pemuatan tulisannya.

Ujungnya, urusan pemuatan ganda menjadi kelihatan repot di mata penulis cerpen dan penulis puisi tadi. Tapi mereka berdua tak lagi saling dongkol. Mereka tak lagi mengirimkan tulisannya ke media cetak.

Maklum, media cetak tak lagi menyediakan ruang bagi mereka. Sebab, media cetak pun pusing kalau harus mengontrol tulisan di semua media cetak lain dan mematuhi ketentuan UU Hak Cipta. Padahal, niat mereka menyediakan ruang itu hanya untuk “ibadah”. Kalau untuk “ibadah” saja dibikin pusing dan repot, ngapain “ibadah” kalau akhirnya nggak ikhlas.

Iwan Gunadi, eseis dan peneliti sastra. Pernah menjadi Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Tinggal di Tangerang, Banten.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/06/standar-ganda-publikasi-karya-sastra.html

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae