Minggu, 27 Februari 2011

Kepala Batu

Muhammad Amin
http://www.lampungpost.com/

KETIKA melihat bulan terang, keinginannya memuncak. Tak bisa ditawar lagi. Selama ini setelah menjadi seorang suami dan bapak yang baik, tak pernah lagi ia melakukan pekerjaan yang paling menyenangkan baginya. Tentu, karena pekerjaan ini mendatangkan kepuasan batin tersendiri buat orang-orang seperti Nurdin.

Tiba-tiba saja angan-angan Nurdin melayang pada masa-masa mudanya.
Biasanya setelah selesai musim menanam padi, mereka, Nurdin dan enam sampai tujuh orang temannya, berangkat ke laut. Menyusuri tebing batu yang curam dan tajam. Mengalahkan ombak yang buas. Mengalahkan gigil dinginnya malam. Membawa lampu petromaks dan peralatan untuk ngejodang, juga makanan secukupnya.

Setelah sampai di tempat ngejodang, beberapa orang menyelam memasang jaring jodang yang berbentuk lingkaran sebesar tampi di lubang-lubang batu. Beberapa orang yang lain mengikatkan simpul tali di kakinya. Si penyelam akan memberi sebuah kode jika telah selesai memasang jaring, kemudian temannya yang berada di darat menarik mereka ke tepi.

Kemudian mereka tidur di atas bebatuan berselimutkan sarung menunggu datangnya pagi. Dan keesokannya akan mereka dapati jaring-jaring yang dipenuhi udang dan lobster. Mereka kemudian menjualnya ke pengusaha udang dan lobster untuk makanan di restoran kota besar, bahkan kabarnya dijual sampai ke luar negeri.

Begitu seterusnya selama beberapa hari mereka ngejodang, pulang dengan membawa banyak uang. Tak tanggung-tanggung, bahkan ada yang bisa membeli tanah dan memperbaiki rumah. Karena itu banyak yang ingin ikut ngejodang, namun pekerjaan ini memerlukan keahlian dan bakat tersendiri. Tak semua orang mampu melakukannya. Tak sedikit mereka kemudian melepas angan-angan untuk ikut ngejodang.

Mereka yang tak memiliki keahlian tersebut akhirnya memilih melaut saja yang hasilnya sering tak tentu, karena ikan-ikan di laut selalu berkurang akibat karang-karang rusak karena bom laut dan pukat.

Nurdin dan kawan-kawannya bisa membeli genset, parabola, tivi berwarna dan radio baru dari hasil ngejodang. Kadang untuk melepas lelah dan kepenatan bekerja, mereka bermain kartu atau gaple sampai larut, bahkan sampai subuh di warung Isah sembari makan kacang dan sekadar mencicipi segelas dua gelas Vigour. Ada pula yang kemudian pulang dengan gaya sempoyongan.

Di saat mereka kehabisan uang, istri mengomel dan anak menangis ingin dibelikan peralatan sekolah dan baju, mereka segera berangkat ngejodang. Kemudian pulang dengan membawa banyak uang.

Kini hal itu telah menjadi mitos tersendiri bagi setiap orang, karena tak jarang mereka yang ngejodang hanya namanya saja yang pulang. Satu per satu dari mereka tumbang di hadapan alam. Laut makin ganas melahap korban. Memang terlalu besar risiko melakukan pekerjaan ini, apalagi bila hanya seorang diri.

Dia ingat yang terakhir kali adalah adiknya sendiri. Saat itu, dini hari, Nurdin yang sedang mencari angin di pantai melihat cahaya petromaks menyusup di antara barisan pohon kelapa. Kerumunan orang menggotong tubuh tak bernyawa.

“Kami menemukan tubuh Bari terdampar di pinggir pantai. Semalam ada yang melihatnya pergi ngejodang sendiri!” teriak salah seorang.

Nurdin melihat tubuh adiknya yang telah kaku dan dipenuhi cakaran batu.

Lamunannya buyar seketika saat terdengar suara belanga terjatuh di lantai papan. Dia terkejut lalu bangkit ke dapur. Disepaknya kucing belang yang sedang melahap seekor tikus yang baru saja didapatnya dengan susah payah. Hatinya kesal juga gundah. Apa yang mesti ia lakukan?

Diambilnya peralatan jodang yang masih tergantung di dinding dapur. Semua masih utuh dan bagus. Jaring-jaring yang masih rapat, meski lingkaran besi selebar tampi itu sudah mulai berkarat.

Diambilnya lampu badai dan tambang. Topi hitam yang dulu selalu ia gunakan. Dikenakannya sepatu Toyako, kemudian disambarnya sarung lalu diselempangkan di leher.

Aku harus berangkat malam ini juga, begitu tekadnya. Dia bergegas ke kamar, ingin berpamitan dengan istri tercinta dan menyuruhnya mengunci pintu dari dalam. Tapi segera diurungkan niatnya. Tak tega ia mengganggu tidur pulas istrinya. Lagi pula tak mungkin ia diizinkan bila istrinya tahu.

Ditatapnya saja wajah pulas istrinya, seperti wajah peri di pantai Umbar, dan anak lelakinya yang bersarang di ketiak ibunya. Lalu ia keluar, menutup pintu perlahan, menuruni anak tangga rumah panggungnya.

Dihidupkannya lampu badai meski sinar bulan malam ini akan cukup menghantarkan perjalanannya. Suara lagu Sai Lagi dari sebuah radio yang mulai ringsek di warung Isah terseok-seok dibawa angin malam, mengiringi aroma embun dan tanah basah. Nurdin terus berjalan ke arah pantai. Wangi getah nipah meruap menyergap hidungnya. Dia senang bau nipah, juga makan buahnya yang masih muda.

Air muara yang sedang pasang meluap menutupi jalan, setinggi mata kaki, berkecipak oleh langkahnya yang tergesa. Setelah melewati sebuah jembatan, tibalah ia di pantai. Perahu-perahu cadik milik nelayan masih berjejer rapi di bawah pohon-pohon kelapa. Ada beberapa yang sudah dibawa oleh pemiliknya melaut.

Akhirnya Nurdin berangkat ngejodang seorang diri meski ini terlalu berbahaya. Namun, ia terlalu keras kepala. Dan memang begitulah watak Nurdin, tak heran orang-orang menambahkan kepala batu di belakang namanya.

Julukan Nurdin kepala batu melekat sampai sekarang dan nanti.

Ombak terlalu garang mengempas-empas dinding batu. Nurdin menghisap dalam-dalam sisa rokok terakhirnya, kemudian melempar puntungnya ke arah laut. Dia duduk sebentar sembari merapatkan sarung menahan dingin yang menggigilkan tulang sumsum.

Setelah dirasanya cukup baik untuk menyelam, Nurdin mengikatkan ujung simpul tali di kaki kirinya dan ujung satunya diikatkan di bongkahan batu. Nurdin turun ke laut dengan hati-hati dan menyelam ke dasar. Dipasangnya jaring-jaring jodang itu ke lubang-lubang batu tempat sarang lobster dan udang. Kemudian Nurdin menarik tali tambang di kakinya, menepi. Air laut terasa lebih hangat daripada udara malam.

Nurdin naik ke darat. Dia bersiul-siul sembari membayangkan hasil yang banyak esoknya. Hatinya bersorak, selain ada kepuasan batin, juga karena ia akan mendapat banyak uang. Dia sudah mengangan-angankan akan membeli apa setelah ini. Khayalannya terbang jauh. Ketika salah satu kakinya menginjak bebatuan yang licin berlumut, seketika tubuhnya melayang dan terpelanting, secepat kilat. Nurdin berteriak dan terjerembab. Lalu… serpihan cahaya, gelap pekat, cahaya, lorong- lorong yang panjang, asing, tempat yang asing,… terperosok ia di antara denyut waktu.

***

Saat subuh tengadah, Maryah, istri Nurdin baru saja terbangun. Tak ditemukannya Nurdin di tempat tidur, hanya anaknya yang masih pulas. Pintu juga tidak dikunci. Mungkin saja suamiku sudah berangkat kerja ke sawah, pikirnya menenangkan diri.

Maryah ke dapur menyalakan tungku. Asap mengepul sebentar, membuatnya terbatuk-batuk. Api menyala dan dihangatkannya sayur semalam. Kemudian memasak air dan membuat sambal terasi. Dibangunkannya anak lelakinya untuk mengantar sarapan bapaknya. Maryah mengambil cucian dan berangkat ke kali.

“Mak, Bapak tak ada di sawah,” Teriak anaknya dari kejauhan.

“Ke mana. Kau sudah mencarinya?”

“Sudah, tak seorang pun yang kutanya melihat bapak di sawah.”

Maryah cepat-cepat membereskan cucian dan pulang dengan tergesa. Tiba-tiba perasaannya tidak enak. Dia takut jika terjadi sesuatu seperti terjadi pada iparnya, si Bari tempo hari. Dia langsung ke dapur dan tidak didapatinya peralatan ngejodang yang biasa tergantung di dinding dapur.

Maryah makin resah. Tiba-tiba dia terduduk lemah. Sudah bolak-balik ia ke rumah tetangga, menanyakan keberadaan suaminya pada setiap orang yang lewat. Tak seorang pun yang tahu ke mana dan di mana Nurdin berada. Maryah minta tolong pada tetangga untuk mencari Nurdin ke tempat biasa ngejodang. Ada bisik-bisik dan cibiran dari mulut perempuan tetangga: beginilah akibat jika ada orang yang keras kepala, seperti tak tahu saja risikonya.

Sampai malam orang-orang baru pulang. Bukan Nurdin yang mereka temukan, tapi kabar buruk bahwa Nurdin sudah tak ada. Namun mayatnya tak ditemukan. Hanya lampu badai dan beberapa peralatan ngejodang yang mereka temukan.

Maryah dan anaknya hanya bisa pasrah setelah berbulan-bulan Nurdin belum juga bisa ditemukan. Berbagai isu menyebar, tubuh Nurdin ditelan ombak dan tak akan pernah dikembalikan. Ada pula yang mengatakan Nurdin ke pulau seberang karena ingin hidup kaya dan punya istri yang lebih cantik. Ada pula desas-desus Nurdin bertapa di goa keramat untuk memperoleh ilmu hitam. Namun tak satu pun isu tersebut dapat dibenarkan. Maryah hanya percaya suaminya mati ngejodang. Namun dari hatinya masih yakin bahwa Nurdin masih hidup dan akan kembali suatu saat, perasaan itu yang selalu dijaganya.

Setelah sepuluh tahun berlalu, tak ada yang berubah dari perasaan itu. Meski kampung kecilnya sudah banyak berubah: jalan sudah mulai diaspal, listrik PLN sudah masuk, tower telepon sudah berdiri.

Di dalam rumah panggung yang tak pernah berubah suasananya, Maryah menjahit baju di dekat jendela. Jika dilihatnya tetangga pulang melaut, disangkanya Nurdin yang datang. Jika terdengar dari luar suara telapak kaki dan ketukan pintu, cepat-cepat ia membuka pintu berharap suaminya yang pulang. Perasaannya agak terobati jika anak lelakinya yang telah bekerja di pertambangan batu galena menghiburnya. Anak itulah yang selalu menenangkan hati ibunya.

Hh, Maryah meghela napas panjang sembari tetap menatap daun-daun mangga yang masih bergoyang. Tertiup angin laut.

***

Dini hari yang mati. Baru saja akan menyambut pagi. Tiba-tiba Nurdin seolah baru bangun dari tidur nyenyaknya semalaman. Kemudian cepat-cepat dia memeriksa jaring jodangnya, namun betapa ia kecewa tak ditemukannya seekor pun udang yang tersangkut di jaring. Bahkan benang-benang jaring yang kokoh itu tampak jebol, hanya menyisakan lingkaran besi yang kian berkarat. Tak mungkin udang makan jaring, gerutunya tak percaya.

Kekecewaannya bertambah pula saat tak ditemukannya juga sarung dan lampu badai yang dibawanya semalam. Terpaksa ia harus pulang tanpa hasil apa-apa, dengan tubuh menggigil kedinginan. Barang-barangnya yang hilang dan jaringnya yang jebol tak terlalu ia pikirkan. Sekarang ia ingin segera pulang, mandi, sarapan, lalu tidur dengan selimut tebal. Dia ingin segera tiba di rumah, mungkin saja istrinya sudah bangun dan tak mendapatinya di tempat tidur. Nurdin sudah tidak sabar ingin cepat sampai ke rumah. Maka ia mempercepat langkah.

Nurdin sempat berpapasan dengan orang-orang yang dulunya tampak muda kini seketika tampak lebih tua. Mereka berjalan ke arah laut. Nurdin heran dan tak percaya. Dia menegur namun mereka tak menjawab. Bahkan mereka malah melempar tatapan aneh seolah melihat makhluk tak dikenal. Kemudian mereka cepat-cepat pergi setelah bergumam.

Begitu pula saat ia berpapasan dengan tetangga-tetangganya yang lain. Dia melihat kejanggalan yang sama. Mereka cepat-cepat pergi setelah bergumam: “Nurdin?” dengan nada tak percaya.

Ah, barangkali Nurdin memang tak pernah mau peduli dengan hal-hal aneh dan janggal. Dia ingin cepat sampai ke rumah, tubuhnya terasa lelah.

Kotaagung, 2008–2009

Sabtu, 26 Februari 2011

Vagina yang Haus Sperma:

Heteronormatifitas dan Falosentrisme dalam Novel Ayu Utami
Katrin Bandel
http://www.facebook.com/group.php?gid=38840078585

Beberapa waktu yang lalu saya sempat berdebat dengan seorang kawan mengenai karya Ayu Utami. Setelah membaca beberapa tulisan saya yang mengkritik karya itu dan mempertanyakan politik sastra seputarnya, kawan saya tersebut dapat memahami pandangan saya. Tapi meskipun demikian, baginya novel Ayu Utami tetap memiliki sebuah kelebihan: Menurut pengamatannya, novel Saman merupakan karya pertama yang dengan cukup tepat merepresentasikan gaya hidup kelompok masyarakat tertentu, yaitu gaya hidup yang dipilih sebagian perempuan kelas menengah perkotaan di Indonesia (terutama Jakarta). “Memang seperti itulah gaya hidup dan pergaulan sebagian kerabat dan kenalan saya di Jakarta”, jelas kawan saya itu dengan merujuk pada deskripsi kehidupan keempat tokoh perempuan muda dalam novel Saman dan Larung. “Baru dalam novel Ayu Utami saya menemukan representasi realitas yang saya kenal tersebut.”

Mungkin penilaian kawan saya tersebut ada benarnya. Tidak banyak novel yang menggambarkan kehidupan perempuan kelas menengah perkotaan Indonesia sebelum terbitnya Saman (1998), apalagi dengan fokus perilaku seks. Menurut pandangan saya, pada dasarnya gaya hidup perempuan kelas menengah bukan tema yang tidak menarik atau tidak relevan sebagai tema utama sebuah novel Indonesia. Namun ada hal yang bagi saya terasa sangat mengganggu pada novel Saman/Larung dan wacana seputarnya. Baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, novel Ayu Utami tersebut umumnya tidak diperkenalkan dan dibicarakan sekadar sebagai representasi gaya hidup sekelompok perempuan perkotaan (yaitu kelompok masyarakat yang relatif kecil). Karya Ayu Utami kerapkali diperkenalkan sebagai karya feminis yang dengan berani dan subversif menyuarakan perlawanan baik terhadap tabu seputar seksualitas maupun terhadap rejim Orde Baru. Disamping itu, bahasa dan gaya tulisnya konon mengandung pembaharuan yang mengagumkan.

Sejauh ini saya belum pernah membaca pembahasan yang dapat menerangkan secara argumentatif mengapa karya Ayu Utami dapat disebut feminis atau pembaharuan bahasa dan gaya tulis apa yang dilakukannya. Tulisan yang saya baca sering begitu saja mengasumsikan kelebihan-kelebihan tersebut. Dalam pembahasan berikut saya ingin menjelaskan mengapa penilaian tersebut, khususnya penilaian bahwa karya Ayu Utami adalah karya feminis, merupakan penilaian yang salah dan menyesatkan. Disamping itu saya ingin menunjukkan bahwa kesan yang menyesatkan tersebut bukanlah hal yang bisa dilepaskan dari tanggung jawab Ayu Utami dan komunitasnya. Baik dalam novelnya, maupun dalam sebuah esei seputar proses kreatifnya, Ayu Utami sendiri dengan cukup jelas menyampaikan harapannya agar novelnya dibaca sebagai karya feminis dan sebagai pembaharuan gaya tulis. Pesan serupa juga disampaikan dalam sebuah tulisan yang mengawali resepsi novel Ayu Utami di luar Indonesia, yaitu tulisan Goenawan Mohamad berjudul “Ayu Utami – The Body Is Heard” dalam buku 2000 Prince Claus Awards.

Saya sudah cukup sering menulis dan berbicara tentang Ayu Utami dan Komunitas Utan Kayu. Masih perlukah pembahasan itu diperpanjang? Bukankah masih banyak karya sastra lain yang lebih menarik dibahas?

Bagi saya, Ayu Utami tetap relevan dibahas bukan karena karyanya luar biasa menarik atau karena tidak ada karya lain yang pantas dibahas, tapi karena sampai saat ini penilaian menyesatkan yang saya sebut di atas tetap memiliki pengaruh yang cukup besar. Tidak jarang saya menjumpai orang yang secara spontan menghubungkan feminisme dengan Ayu Utami, kadang-kadang bahkan sambil menyamakan feminisme dengan pembebasan seksual atau dengan seks bebas. Definisi feminisme yang keliru tersebut cukup merugikan menurut pandangan saya karena menimbulkan kesan seakan-akan “maju” atau “terbelakang”nya seorang perempuan tergantung terutama pada perilaku seksualnya. Disamping itu, di dunia sastra dan kritik sastra (termasuk dunia akademis) pun pandangan tentang kelebihan-kelebihan karya Ayu Utami tetap kuat. Hal itu bukan hanya menguntungkan Ayu Utami dan komunitasnya secara finansial dan dari segi reputasi, tapi juga mempengaruhi penilaian terhadap karya sastra lain.

***

Pada bulan Maret-April 2008 sebuah esei saya yang berjudul “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa” diterbitkan di koran Republika. Esei tersebut menimbulkan perdebatan yang cukup sengit di sebuah mailing list, yaitu mailing list jurnalperempuan@yahoogroups.com. Di sini saya tidak bermaksud melanjutkan perdebatan tersebut secara keseluruhan, tapi saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk secara khusus membahas salah satu teks yang memiliki peran penting dalam wacana seputar representasi Ayu Utami dan karyanya di Eropa. Teks tersebut adalah tulisan “Ayu Utami – The Body Is Heard” oleh Goenawan Mohamad yang dimuat di buku 2000 Prince Claus Awards.

Buku yang diterbitkan dalam rangka merayakan dan mendokumentasikan pemberian penghargaan Prince Claus kepada ke-11 pemenang (satu pemenang utama dan 10 pemenang lainnya, di antaranya Ayu Utami) pada tahun 2000 tersebut tidak dijual secara bebas, juga tidak dapat diakses lewat internet. Karena keterbatasan akses itu, dalam esei “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa” saya terpaksa hanya menggunakan beberapa bagian dari teks tersebut, yaitu bagian yang sempat dikutip oleh penulis lain. Namun saat ini buku 2000 Prince Claus Awards sudah berhasil saya dapatkan. Maka kesempatan ini akan saya manfaatkan untuk membahas teks tersebut secara lebih menyeluruh.

Tulisan Goenawan tersebut relatif pendek (2 halaman), tidak jauh berbeda daripada tulisan-tulisan lain dalam buku itu (kecuali tulisan tentang pemenang utama). Novel Saman (yaitu satu-satunya karya fiksi Ayu Utami yang sudah terbit pada saat itu) hanya dibahas secara amat singkat di akhir tulisan tersebut. Selain itu Goenawan merujuk pada beberapa esei Ayu Utami, namun tidak menyebut judulnya dan di mana esei tersebut diterbitkan. Oleh karena itu, pembacaan Goenawan terhadap esei tersebut sulit dinilai. Referensi lengkap juga tidak disebut untuk buku bawah tanah tentang Suharto (“a readable booklet on Suharto’s business empire”) yang konon ditulis Ayu Utami. Yang pasti, penyebutan tulisan-tulisan tersebut menimbulkan kesan bahwa Ayu Utami sudah cukup lama aktif di dunia penulisan pada saat dirinya menerima Prince Claus Award. Hal itu berseberangan dengan kenyataan bahwa Ayu Utami tidak dikenal di dunia sastra Indonesia sebelum novel Saman memenangkan sayembara roman DKJ pada tahun 1998.

Fokus utama tulisan Goenawan Mohamad adalah posisi Ayu Utami di masa Orde Baru, khusunya hubungannya dengan kekuasaan. Goenawan menggambarkan Ayu Utami sebagai penulis muda yang aktif dalam perlawanan terhadap rejim Orde Baru. Sebagian besar dari tulisan Goenawan yang pendek itu menggambarkan keterlibatan Ayu Utami di AJI dan ISAI . Sejauh mana deskripsi tersebut tepat dan sesuai dengan kenyataan, sulit saya nilai. Yang pasti, representasi Ayu Utami sebagai disiden politis tersebut kemudian dikutip dan direproduksi oleh beberapa penulis dan institusi di Eropa.

Secara khusus, Goenawan Mohamad kemudian berfokus pada persoalan bahasa dalam kaitannya dengan kekuasaan dan dengan tubuh perempuan. Sayang sekali pembahasan tersebut bersifat sangat abstrak dan umum, sehingga sulit dipahami secara konkret apa yang dimaksudkan oleh Goenawan. Menurut pandangannya, di bawah rejim Orde Baru dimana kata-kata sering “dikorbankan” (“words [...] became victims of sacrifice”), manusia selalu terancam “kehilangan diri” dalam menggunakan bahasa (“The speaker [...] loses his selfhood.”) Ayu Utami, begitu penjelasan Goenawan selanjutnya, menggeluti dunia penulisan agar tidak kehilangan diri (“Not to lose her selfhood, that is what pushes Ayu further into writing.”). Mengenai cara Ayu Utami melakukan hal itu Goenawan Mohamad mengatakan:

“For a writer, however, there was a risk that the first casualty of such a confrontation would be his or her own relation with words. She or he could be drawn into imitating the regime’s practice – i.e. treating language as a mere sequence of messages. Ayu was one of the very few Indonesian writers who resisted the prevailing trend. The literary is political only when it stays ‘literary’, meaning that it is free from what she calls ‘functional language’.” (Goenawan Mohamad 2000, hlm. 81)
(Yang dimaksudkan dengan “confrontation” di kalimat pertama adalah konfrontasi dengan rejim Orde Baru.)

Argumentasi tersebut terkesan ganjil bagi saya. Mengapa Goenawan berpendapat bahwa rejim Orde Baru menggunakan bahasa “sekadar sebagai rangkaian pesan”? Bukankah justru sebaliknya, yaitu rejim Orde Baru dengan sengaja dan terencana menggunakan bahasa sebagai alat ideologis, dalam arti bahwa bahasa Orde Baru sering sama sekali tidak menyampaikan sebuah pesan secara apa adanya? Bukankah misalnya kata “pembangunan” sering bermakna penggusuran dan korupsi, “persatuan dan kesatuan” bermakna kekerasan dan pembungkaman, dan sebagainya? Bukankah bahasa Orde Baru penuh eufemisme (misalnya istilah seperti “lembaga pemasyarakatan”) dan kebohongan (misalnya pemalsuan sejarah seputar peristiwa 65)?

Menurut pengamatan saya, tulisan yang menjadi ancaman bagi rejim Orde Baru justru tulisan yang menggambarkan realitas sehari-hari di Indonesia secara apa adanya. Maka tidak mengherankan bahwa karya sastra yang dilarang atau disensor umumnya karya realis yang menyampaikan secara terbuka apa yang umumnya disembunyikan dalam wacana publik. Contohnya adalah karya Pramoedya Ananta Toer dan puisi Wiji Thukul, juga trilogi Ahmad Tohari yang sempat disensor.

Sebelum menyampaikan argumen di atas seputar bahasa yang digunakan Ayu Utami, Goenawan Mohamad menyebut usahanya bersama kawan-kawan (termasuk Ayu Utami) untuk “tidak membiarkan rejim meraih kemenangan total dalam perang informasi” (“not to give the regime the pleasure of getting a total victory in the information war”). Perang informasi itulah yang kemudian, menurut argumentasi Goenawan dalam kutipan di atas, mengandung risiko bagi penulis. Saya dapat menerima argumen Goenawan Mohamad bahwa ideologi yang dominan, dalam hal ini ideologi Orde Baru, sulit ditolak. Ideologi dominan umumnya hadir dalam kegiatan dan bahasa sehari-hari tanpa kita sadari. Mengambil jarak dan membangun sikap kritis terhadap ideologi itu adalah pekerjaan yang cukup berat.

Namum lompatan argumentasi seputar gaya tulis Ayu Utami sulit saya ikuti. Goenawan tidak menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan sastra yang “tetap ‘sastrawi’” dan “bebas dari ‘bahasa fungsional’”. Disamping itu, kalau memang gaya bahasa Ayu Utami memiliki kelebihan tertentu yang membuatnya lebih subversif atau lebih ampuh dalam perlawanan terhadap rejim Orde Baru, seharusnya hal itu dijelaskan, bukan sekadar diasumsikan. Dan saya tidak menemukan penjelasan semacam itu dalam tulisan Goenawan Mohamad tersebut.

Karena itu, menurut pandangan saya, pernyataan bahwa Ayu Utami merupakan “salah satu dari sangat sedikit penulis Indonesia yang melawan kecenderungan umum” adalah pernyataan yang sangat berlebihan. Bukankah banyak penulis, mungkin bahkan sebagian besar sastrawan Indonesia, bersikap kritis pada rejim Orde Baru – terutama sekali pada tahun-tahun terakhir rejim tersebut? Dan bukankah dalam situasi dimana kebebasan berpendapat sangat terbatas, banyak penulis memilih untuk tidak menyampaikan kritik mereka bukan sebagai protes yang lantang dan apa adanya, tapi mencari gaya dan cara penyampaian yang berbeda? Dalam hal apakah gaya tulis Ayu Utami begitu khas sehingga pantas disebut “melawan kecenderungan umum”?

Lebih jauh lagi, Goenawan Mohamad kemudian menghubungkan persoalan perlawanan terhadap rejim Orde Baru dan persoalan bahasa Ayu Utami yang konon menjadi terobosan baru tersebut dengan keperempuanan Ayu Utami:

“For this reason, I believe, she wrote a novel that uses words differently; making a paradigm of, as she puts it in an essay, kudangan. Kudangan is a moment when a Javanese mother, holding and touching her baby joyously and excitedly, sings words that carry nonverbal signification and sensuousness. In Ayu Utami’s highly acclaimed novel, ‘Saman’, one can feel the sensuous materiality of the words in its syntaxes. My impression is that her experience as a woman in today’s Indonesia has urged her to reinstall the presence of the body in language, as if insisting, to paraphrase Hélène Cixous’s slogan of 1974, that her body ‘must be heard’.” (Goenawan Mohamad 2000, hlm. 81)

Feminis Perancis Hélène Cixous terkenal terutama karena tulisan-tulisannya mengenai écriture féminine, “penulisan feminin”. Salah satu esei Cixous seputar tema tersebut yang paling sering disebut adalah “Le rire de la Méduse” (“The Laugh of the Medusa”, 1975 ). Dari esei itulah Goenawan mengutip pandangan Cixous mengenai tubuh dan bahasa.

Écriture feminine merupakan konsep yang cukup rumit dan sulit dipahami. Menurut Cixous dan beberapa pemikir pascastrukturalis lainnya, bahasa yang umumnya kita gunakan adalah bahasa yang maskulin dan logosentris, atau “phallogosentris”. Kebiasaan berbahasa yang dominan membuat kita berbicara/menulis seakan-akan kebenaran bersifat tunggal dan bisa diekspresikan secara linear, berjarak (objektif) dan terstuktur. Écriture féminine adalah usaha untuk mencari dan mengembangkan bahasa yang berbeda, yaitu bahasa yang mampu mengakomodasi dorongan-dorongan bawah sadar, yang tidak mengharuskan rasio menguasai atau menindas tubuh, dan yang lebih menghormati pluralitas dan ambiguitas. Seperti apakah “bahasa feminin” tersebut? Sudah adakah penulis yang berhasil menciptakannya? Sampai saat ini pertanyaan tersebut tetap terbuka.

Maka pernyataan Goenawan Mohamad tentang bahasa Ayu Utami di atas merupakan klaim yang luar biasa! Menurut pandangan Goenawan, Ayu Utami terdorong untuk “menghadirkan kembali tubuh dalam bahasa” (“reinstall the presence of the body in language”), sesuai dengan harapan Cixous agar perempuan membuat “membuat tubuhnya didengar”. Lebih jauh lagi, di mata Goenawan, Ayu Utami bukan hanya berusaha menciptakan bahasa baru yang diimpikan Cixous tersebut tapi dia benar-benar sudah berhasil menciptakannya! Paling tidak itu yang disampaikan oleh judul tulisan Goenawan, yaitu “The Body Is Heard” – tubuh bukan lagi mesti didengar, tapi sudah didengar!

Klaim tersebut sangat berlebihan menurut pandangan saya, terutama karena Goenawan Mohamad sama sekali tidak memberikan argumentasi yang lebih mendetil ketimbang sekadar asumsi-asumsi abstrak dan sulit diikuti dalam alinea yang saya kutip di atas. Apa yang dimaksudkan dengan “sensuous materiality of the words in its syntaxes” yang konon bisa dirasakan dalam novel Saman? Dengan cara apakah Ayu Utami menghadirkan tubuh dalam bahasa?

Seperti apa sebetulnya bahasa yang digunakan Ayu Utami dalam novel Saman? Ayu Utami sering memakai kata atau ekspresi yang kurang lazim digunakan (misalnya “selarit matahari”, “ceruk jalan” , dsb.), atau yang bahkan sama sekali tidak biasa digunakan dalam bahasa Indonesia (misalnya “bujet” ). Dia sering menggunakan perbandingan yang unik atau ganjil, misalnya “pucat bagai cicak” atau “wajahnya padam seperti api sumbu yang ditangkupkan stoples bening” . Disamping itu, dalam novel tersebut kita sering menemukan kalimat-kalimat “berfilsafat” yang terkesan abstrak atau “puitis”, tapi tidak begitu jelas maksudnya (paling tidak bagi saya), misalnya: “Tak pernah ada yang salah dengan cinta. Ia mengisi sesuatu yang tidak kosong. Tapi yang terjadi di sini adalah asmara, yang mengosongkan sesuatu yang semula ceper. Dengan rindu. Belum tentu nafsu.”

Itukah écriture féminine? Ciri khas apa yang membuat bahasa Ayu Utami tersebut “lebih perempuan” daripada bahasa penulis lain? Dan di manakah perlawanan terhadap rejim Orde Baru yang konon hadir dalam bahasa Ayu Utami?

Tulisan Goenawan tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Yang saya temukan di situ hanya asumsi dan renungan abstrak yang tidak dipertanggungjawabkan lewat argumentasi dan bukti.

***

Goenawan Mohamad dalam tulisannya yang saya bicarakan di atas hanya secara sekilas saja menyebut tema seksualitas dalam karya Ayu Utami. Fokusnya adalah representasi Ayu Utami sebagai peserta aktif dalam perjuangan melawan rejim Orde Baru. Mungkin fokus semacam itu dianggapnya lebih cocok dalam memperkenalkan Ayu Utami di luar negeri dan mempertanggungjawabkan pemberian Prince Claus Award.

Namun di Indonesia unsur yang paling banyak disebut seputar kedua novel Ayu Utami, Saman (1998) dan Larung (2001), adalah “keterbukaan baru” dalam representasi seksualitas. Pada bagian-bagian novel yang menceritakan keempat tokoh perempuan Shakuntala, Laila, Yasmin dan Cok, seks menjadi tema utama. Perilaku seksual yang diceritakan hampir sepenuhnya bertentangan dengan norma masyarakat (Indonesia), dalam arti bahwa yang diceritakan bukanlah hubungan heteroseksual yang disahkan oleh surat nikah. Shakuntala mempunyai kecenderungan biseksual, Laila jatuh cinta pada seorang laki-laki yang sudah menikah, namun akhirnya berhubungan seks dengan Shakuntala, Yasmin menghianati suaminya dengan sekaligus “memurtadkan” seorang pastor, lalu mewujudkan fantasi sadomasokisnya dengan bekas pastor tersebut, dan Cok gemar berganti-ganti pasangan. Kiranya tidak salah kalau kita menyimpulkan bahwa dalam kedua novel tersebut seksualitas direpresentasikan dengan cara yang provokatif.

Namun representasi seksualitas tersebut bukan hanya bersifat provokatif, tapi juga dengan sangat jelas dihubungkan dengan persoalan gender dan dengan feminisme. Seperti yang dikemukakan antara lain oleh Kris Budiman dalam bukunya Pelacur dan Pengantin Adalah Saya (2005), perlawanan terhadap ideologi patriarki alias falosentrisme terungkap dengan cukup eksplisit pada beberapa bagian kedua novel Ayu Utami tersebut. Khususnya, stereotipe perempuan sebagai pihak yang pasif di hadapan laki-laki yang aktif digugat antara lain dalam deskripsi hubungan seksual dimana vagina digambarkan sebagai bunga karnivora yang menjebak dan menghisap “binatang yang [...] bodoh, dan tak bertulang belakang” alias penis. Deskripsi itu bersama beberapa bagian novel yang lain menurut Kris Budiman “menunjukkan bahwa modus relasi seksual perempuan vis-a-vis laki-laki sebetulnya bukanlah intrusi atau secara pasif ‘di-coblos’, melainkan secara aktif mengkonsumsi, ‘meng-hisap’” .

Representasi perilaku dan orientasi seksual yang demikian beragam dan gugatan terhadap stereotipe perempuan yang pasif dengan mudah dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa novel Ayu Utami jauh dari nilai heteronormatif dan falosentris, atau bahwa Ayu berhasil menciptakan representasi seksualitas yang berbeda (“lebih perempuan”) daripada yang kita kenal selama ini (di Indonesia). Saman dan Larung hadir sebagai novel yang jelas-jelas minta dibaca sebagai novel feminis.

Feminisme macam apakah itu? Tampak dengan cukup jelas bahwa Ayu Utami terpengaruh oleh teori yang sama atau sejalan dengan yang dikutip Goenawan Mohamad dalam tulisannya yang saya bahas di atas. Ide-ide yang diungkapkan dalam kedua novel itu tampaknya sengaja disesuaikan dengan teori-teori feminisme Perancis (feminisme pascastruktural), paling tidak secara permukaan. Seperti yang sudah saya bicarakan secara sekilas di atas, menurut pemikiran Cixous dan pemikir lain yang “sealiran” (terutama Luce Irigaray), cara berpikir yang dominan dalam masyarakat modern (Barat) bersifat maskulin atau falosentris. Cirinya antara lain kepercayaan pada kebenaran yang tunggal, hierarki yang kaku dan pandangan humanis tentang individu yang bebas dan mandiri. Bagi pemikir tersebut, femininitas menjadi semacam konsep alternatif yang dipertentangkan dengan maskulinitas yang dominan itu – sebuah sikap hidup yang dinilai lebih positif.

Salah satu adegan novel Ayu Utami yang tampaknya terpengaruh oleh konsep-konsep tersebut adalah bagian novel Larung dimana Shakuntala membandingkan sikap hidupnya sendiri dengan sikap hidup abangnya. Penggambaran sifat si abang itu merupakan semacam karikatur maskulinitas dalam pemahamannya yang paling negatif: Si abang selalu berusaha membuktikan diri, “mencoba segala hal hingga maksimal” , khususnya dalam dua wilayah yang “khas laki-laki”, yaitu kemampuan berereksi dan kebolehan membawa sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Mengenai latihan ereksi abangnya, dengan nada sedikit mengejek Shakuntala mengatakan: “ia bisa menyuruh-nyuruh bagian-bagian tubuhnya seperti seorang komandan memerintah batalyon dan kompi” . Perbandingan dengan dunia militer itu pun tentu merupakan unsur konstruksi maskulinitas yang sangat sesuai dengan stereotipe negatif yang ingin dibangkitkan di sini. Disamping itu, si abang memiliki kepercayaan pada akal/rasio yang amat berlebihan, yakin “bahwa akal akan menaklukkan badan” , dan dia bahkan “tak mau percaya bahwa ada otot sadar dan otot tak sadar. Semua otot adalah sadar, ia bersikeras” . Berkat latihannya, dengan kekuatan akal (yaitu dengan mengulang-ulang kata “ngaceng”) dia dapat memerintah alat vitalnya untuk berdiri. Pendek kata, tokoh abang Shakuntala tampil sebagai wujud atau lambang falosentrisme par excellence. Dan penilaian yang ingin disampaikan terhadap sikap hidup semacam ini pun tampak dengan amat jelas. Karena begitu berlebihan, sifatnya terkesan konyol, dan akhirnya bahkan membawa celaka: Si abang meninggal disebabkan sebuah kecelakaan lalulintas ketika dia mencoba merealisasikan ambisinya untuk mengelingi pulau Jawa “dengan kecepatan puncak” di atas sepeda motornya.

Berseberangan dengan sikap abangnya, bagi Shakuntala “keputusan-keputusanku diperintah oleh dorongan tubuh untuk menari. Sebab bagiku menari adalah menjadi. [...] Tubuhku hanya ingin menjadi. Tapi apa salahnya menjadi tidak genap?” . Dalam sebuah esei berjudul “Membantah mantra, membantah subjek” di jurnal Kalam (edisi 12, 1998) Ayu Utami secara langsung menghubungkan sikap tokoh Shakuntala dalam novel Saman dengan sikapnya sendiri sebagai pengarang. Di bagian lain dari esei yang sama Ayu mengatakan: “Mengarang, bagi saya, adalah kesediaan melibatkan, meleburkan diri, dan menerima kemungkinan-kemungkinan yang tak direncanakan” – sangat mirip dengan ungkapan Shakuntala di atas. Dengan pilihannya untuk “menjadi tidak genap” (seperti novel Ayu yang diterbitkan sebagai “fragmen”), biseksualitasnya, dan pemberontakannya terhadap nilai-nilai patriarkal, Shakuntala menjadi semacam tokoh perempuan ideal yang sekaligus melambangkan “filsafat posmo” yang dipilih Ayu sebagai kredo kepengarangannya.

Seperti yang dilakukan Goenawan Mohamad dalam tulisan “Ayu Utami – The Body Is Heard”, Ayu Utami sendiri pun mempersoalkan gaya tulisnya dan menggambarkan gaya tulis tersebut sebagai pilihan yang istimewa dan baru. Dalam eseinya, Ayu menceritakan betapa dia “sengaja” memilih menulis “novel polifonik” dengan “diksi yang berbeda bagi masing-masing Aku”. Namun dia juga mengaku bahwa “novel itu tidak sepenuhnya menurut padaku”, kadang-kadang cerita berkembang di luar rencananya sendiri.
Pengakuan tersebut tentu sama sekali bukan sesuatu yang luar biasa. Bahwa dalam proses menulis ada hal-hal yang dengan sadar diatur dan diciptakan, dan ada pula hal yang timbul begitu saja tanpa sengaja, merupakan pengalaman yang pasti dikenal hampir setiap penulis. Yang terkesan sedikit ganjil bagi saya adalah penilaian yang secara implisit terkandung dalam ungkapan Ayu tentang pengalaman mengarangnya tersebut. Bukan saja dengan sangat percaya diri dia menilai novelnya sendiri sebagai “novel polifonik” (yang berarti memuji diri sendiri sebagai “pembaharu”, pembawa gaya tulis yang masih belum lumrah di Indonesia), juga ceritanya mengenai perkembangan alur novel yang di luar rencana semula terkesan amat tidak kritis. Menurut pengakuannya, pada titik tertentu tokoh-tokoh novelnya seakan-akan mulai memiliki hidup dan kemauannya sendiri, sehingga sebagai pengarang dia “terpaksa” “takluk [p]ada ciptaannya”. Meskipun menggunakan kata “terpaksa”, cukup jelas bahwa dia tidak menganggap kejadian itu sebagai sesuatu yang negatif. Malah timbul kesan bahwa dia sangat membanggakannya. Sepertinya dia merasa tidak perlu bersikap kritis terhadap bagian teks yang muncul “di luar rencana” itu, seakan-akan apa yang mengalir dari tangannya bersumber pada semacam “jenius” di kedalaman dirinya yang tak perlu diragukan. Padahal dalam esei yang sama, bahkan pada alinea yang sama, dia merujuk pada pemikiran Roland Barthes tentang matinya sang Pengarang!

Saya tidak percaya pada “jenius” semacam itu. Namun saya yakin bahwa dalam setiap teks pasti ada hal-hal yang disampaikan secara eksplisit, dan ada yang ikut tersampaikan dengan tersembunyi atau tanpa sengaja. Dan menurut pengalaman saya, hubungan antara kedua jenis “isi teks” itu sering penuh ambivalensi. Misalnya dalam sebuah novel dengan pesan yang jelas, mungkin saja kita menemukan bagian yang secara agak tersembunyi justru berlawanan dengan pesan tersebut. Ambivalensi semacam itu biasanya sangat menarik disoroti dan diteliti, dan itulah yang ingin saya lakukan dalam pembahasan saya terhadap novel Ayu Utami.

Dalam hal representasi seksualitas, novel Ayu Utami memiliki pesan yang cukup eksplisit, yaitu apa yang sudah saya sebut di atas: membicarakan seks dengan keterbukaan yang provokatif, memprotes stereotipe pasif perempuan, menolak falosentrisme pada umumnya, mengakui orientasi seksual yang plural. Namun ambivalensi tak terlalu sulit dicari. Berikut ini saya akan mengemukakan beberapa hal yang justru bertentangan dengan pesan eksplisit tersebut.

Dalam representasi hubungan homoseksual antar-perempuan (lesbianisme), novel Saman/Larung ternyata justru mereproduksi stereotipe yang sangat tidak menguntungkan bagi perempuan, khususnya lesbian. Tokoh Laila digambarkan sebagai seorang perempuan yang sama sekali tidak memiliki kecenderungan menjadi seorang lesbian. Dia heteroseksual 100%. Namun pada saat sedang patah hati karena dikecewakan oleh pacarnya, dia tidak menolak ketika didekati secara seksual oleh Shakuntala. Hubungan seks antara kedua perempuan itu pun terjadilah. Stereotipe yang direproduksi di sini adalah anggapan bahwa perempuan cenderung menjadi lesbian karena dikecewakan oleh laki-laki! Disamping itu, sebuah prasangka yang sering kita dengar dari orang awam tampaknya justru terbukti benar di sini, yaitu kekhawatiran bahwa lesbianisme dapat “menular” sehingga berbahayalah bagi perempuan “normal” (baca: heteroseksual) seperti Laila untuk bergaul dengan orang seperti Shakuntala.
Alasan Shakuntala mengajak Laila bercinta adalah untuk mengajari kawannya itu mengenal tubuhnya sendiri. Menurut penilaian Shakuntala, Laila belum pernah mengalami orgasme, dan keadaan itu tidak boleh dibiarkan berlangsung lebih lama. Argumentasi ini terasa janggal bagi saya: bukankah untuk mengenal tubuhnya sendiri dan mengalami orgasme seorang perempuan tidak mesti berhubungan seks, apalagi melakukan hubungan seks yang tidak sesuai dengan orientasi seksualnya sendiri? Kalau Laila memang begitu lugu atau kaku sehingga dia tidak berinisiatif untuk mengeksplorasi tubuhnya sendiri, bukankah cukup kalau Shakuntala menyarankan padanya untuk mencoba masturbasi, seperti yang misalnya dilakukan tokoh Lara pada Mei dalam situasi yang serupa dalam novel Tujuh Musim Setahun karya Clara Ng ?

Meskipun hampir seluruh kisah keempat sahabat Shakuntala, Laila, Cok dan Yasmin itu berkisar pada pengalaman seksual mereka, masturbasi hampir tidak pernah disebut, paling tidak masturbasi yang dilakukan perempuan. Misalnya pada bagian akhir Saman yang terdiri dari email Yasmin dan Saman, Saman memberitahukan bahwa dia masturbasi, dan Yasmin membalas bahwa dia membayangkan Saman pada saat dia melakukan hubungan seks dengan suaminya – hanya tokoh laki-laki yang melakukan masturbasi!

Absennya masturbasi tersebut dapat dihubungkan dengan sebuah gejala lain yang terdapat pada representasi kenikmatan seksual dan orgasme perempuan dalam novel Saman/Larung. Dalam buku hariannya, tokoh Cok menceritakan pengalamannya ketika sebagai murid SMA dia mulai melakukan hubungan seks. Karena tidak mau kehilangan keperawanannya, pada awalnya hubungan dengan pacarnya berbentuk tindakan sang pacar merangsang alat kelaminnya dengan menggosokkannya pada payudara Cok dan seks anal. “Lalu kupikir-pikir, kenapa aku harus menderita untuk menjaga selaput daraku sementara pacarku mendapat kenikmatan? Enak di dia nggak enak di gue”, begitu kesimpulan Cok mengenai pengalaman itu, dan dia pun memutuskan untuk berhenti menjaga keperawanannya . Di sini timbul kesan bahwa dalam hubungan heteroseksual, perempuan hanya dapat merasa nikmat dan mencapai orgasme apabila terjadi koitus (penetrasi penis ke dalam vagina), sedangkan laki-laki mempunyai alternatif lain untuk mencapai orgasme. Hal yang sama terjadi pada Laila saat dia berhubungan seks dengan pacarnya Sihar tanpa terjadinya penetrasi. Di sini pun Sihar mencapai orgasme, sedangkan Laila tidak .

Tentu saja kisah pengalaman seksual semacam itu dapat dikatakan cukup realistis sebab mungkin saja laki-laki, dalam hal ini pacar Cok dan Sihar, hanya mementingkan kenikmatannya sendiri dan tidak memperhatikan kebutuhan seksual pasangannya. Namun peristiwa hubungan seks yang kurang memuaskan itu sama sekali tidak dihubungkan dengan sebuah kelalaian, dalam arti bahwa seharusnya si gadis pun dirangsang, misalnya dengan jari atau mulut, sehingga tanpa terjadinya koitus pun dia dapat mencapai orgasme. Seperti juga masturbasi, praktek seks di luar koitus menjadi monopoli laki-laki.
Dalam sebuah email pada Saman, Yasmin menulis: “Orgasme dengan penis bukan sesuatu yang mutlak.” . Kalimat ini tampaknya berlawanan dengan apa yang saya kemukakan di atas. Apakah ini merupakan kalimat pembuka untuk bercerita tentang masturbasi atau tentang praktek seksual lain yang memberi kenikmatan pada perempuan tanpa terjadinya koitus, misalnya seks oral? Ternyata tidak. Yasmin melanjutkan emailnya: “Aku selalu orgasme jika membayangkan kamu. Aku orgasme karena keseluruhanmu.” Ternyata sekadar rayuan gombal untuk meredakan rasa rendah diri Saman karena tak mampu membuat Yasmin mencapai orgasme. Paling tidak, kata “orgasme” dalam konteks ini bisa dipahami sekedar sebagai ungkapan metaforis, bukan sebagai kata untuk menyebut pencapaian puncak seksual secara fisik.

Lalu bagaimana dengan hubungan seks yang terjadi antara Shakuntala dengan Laila? Jelaslah di sini tidak terjadi koitus, dan praktek seksual yang saya sebut sebagai monopoli laki-laki dalam hubungan heteroseksual di atas mestilah digunakan oleh kedua perempuan itu. Namun justru adegan itu diceritakan dengan sangat singkat dan kabur. Dengan “kesopanan” yang terasa janggal dalam sebuah karya yang begitu “terbuka” mengenai seks di bagian-bagian lain, narasi diputuskan pada saat Shakuntala membuka baju dan mulai berdekatan dengan Laila . Narasi kemudian malah dilanjutkan dengan cerita metaforis mengenai vagina sebagai bunga karnivora yang sudah saya sebut di atas, yaitu cerita yang justru mempersoalkan hubungan seksual antara perempuan dan laki-laki! Hanya kalimat terakhir yang, mungkin, dapat dibaca sebagai semacam keterangan mengenai apa yang terjadi antara Shakuntala dan Laila: “Tapi klitoris bunga ini tahu bagaimana menikmati dirinya dengan getaran yang disebabkan angin” . Apa perlunya “pengaburan” semacam itu? Mengapa misalnya cara abang Shakuntala melatih ereksinya diceritakan dengan begitu gamblang, sedangkan untuk mendeskripsikan rangsangan pada klitoris saja diperlukan metafora aneh yang kurang mengena tentang “angin” yang menggetarkannya?!

Bahwa cerita tentang bunga karnivora ditempatkan pada adegan itu bukanlah sebuah anakronisme. Setelah Shakuntala memutuskan bahwa Laila perlu diberi “pelajaran seks” sebelum menemui Sihar lagi, dia melanjutkan: “Setelah itu kamu [Laila] boleh pergi: Sebab vagina adalah sejenis bunga karnivora …” Artinya, lewat hubungan seks antar-perempuan Shakuntala bermaksud mengajari Laila mengenai hakekat hubungan seks “secara umum”, dan yang dimaksudkan dengan seks “secara umum” itu adalah hubungan heteroseksual. Heteronormatifitas yang tampak sangat jelas dalam adegan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa Laila tertarik pada sisi maskulin dalam diri Shakuntala, dan pada saat hubungan seks dimulai, Laila “tak tahu lagi siapa dia. Apakah Tala apakah Saman apakah Sihar” . Hubungan homoseksual di sini sekadar semacam variasi dari heterosexual matrix.

Seperti yang sudah diutarakan di atas, metafora bunga karnivora dapat dipahami (dan tampaknya dimaksudkan) sebagai gugatan terhadap stereotipe kepasrahan perempuan. Perempuan yang sering diibaratkan bunga yang madunya diisap kumbang, yaitu sebagai pihak yang pasif, di sini disulap menjadi pihak yang aktif sebagai bunga penghisap “cairan dari makhluk yang terjebak dalam rongga di balik kelopak-kelopaknya yang hangat”. Tapi di sisi lain, di sini pun sekali lagi ejakulasi laki-laki menjadi pusat segala kenikmatan: “Otot-ototnya yang kuat [...] akan memeras binatang yang masuk, dalam gerakan berulang-ulang, hingga bunga ini memperoleh cairan yang ia hauskan. Nitrogen pada nepenthes. Sperma pada vagina.” . Vagina yang haus akan sperma – itukah representasi seks versi perempuan, versi yang tidak falosentris? Dilihat dari segi biologis, representasi tersebut bisa dikatakan tidak sesuai dengan anatomi tubuh dan fungsi seksual perempuan. Dalam merasakan kenikmatan seksual dan mencapai orgasme ketika berhubungan seks, bagi seorang perempuan semprotan sperma ke dalam vagina jelas tidak terlalu berpengaruh, atau mungkin bahkan bisa dikatakan tidak berarti sama sekali. Misalnya kalau si laki-laki belum/tidak berejakulasi atau berejakulasi ke dalam kondom, hal itu tentu tidak menjadi halangan bagi pasangan perempuannya untuk mencapai orgasme.

Yang terasa mengganggu pada gambaran sterotipikal tentang perempuan sebagai bunga dan laki-laki sebagai kumbang antara lain adalah implikasi yang timbul karena gambaran itu diambil dari alam. Bunga sudah secara alami diam di tempat, dan kumbang sudah secara alami berpindah dari satu bunga ke bunga lain. Jadi dalam penggunaan pengupamaan semacam itu terdapat asumsi bahwa sifat pasif pada perempuan dan sifat aktif serta tidak setia pada laki-laki pun merupakan sifat alami (kodrati). Ayu Utami mengganti bunga yang pasif itu dengan jenis bunga yang ganas dan aktif namun cerita mengenai “kehausan” bunga itu akan cairan kembali membawa kita pada persoalan kodrat. Bukankah akhirnya kontraksi otot vagina (yang terjadi ketika perempuan mengalami orgasme) terkesan sebagai semacam “naluri alam” untuk menghisap sperma, dalam arti bahwa orgasme perempuan terjadi bukanlah demi kenikmatan, tapi demi masuknya sperma ke dalam rahim, atau dengan kata lain: demi kelanjutan umat manusia?

Dari sebuah novel yang mengangkat seksualitas perempuan sebagai salah satu tema utamanya saya tentu saja mengharapkan perhatian terhadap beberapa persoalan dasar yang menjadi ciri khas pengalaman seksual perempuan. Salah satunya adalah kenyataan bahwa perempuan dapat melakukan hubungan seks, dan bisa hamil karenanya, tanpa menikmatinya dan tanpa mencapai orgasme. Cerita mengenai vagina sebagai bunga karnivora menghubungkan kenikmatan/orgasme perempuan dengan ejakulasi laki-laki. Tapi bukankah setiap perempuan menyadari bahwa tanpa “diperas” sekalipun, “binatang bodoh tak bertulang belakang” itu tetap akan memuntahkan cairannya! Dengan kata lain, pengibaratan vagina sebagai bunga karnivora hanyalah sekedar sebuah permainan imaji yang tidak sesuai dengan realitas pengalaman perempuan.

Representasi seksualitas dalam novel Saman/Larung berpusat pada hubungan heteroseksual, khususnya pada koitus. Kecenderungan itu bahkan dapat ditemukan pada representasi tingkah laku seksual yang jauh menyimpang dari norma, yaitu hubungan sadomasokis Yasmin dengan Saman. Dilihat secara sekilas, di sini sekali lagi kita menemukan pemberontakan atau pemutarbalikan terhadap relasi kekuasaan laki-laki-perempuan yang normatif: Yasmin mengambil peran sebagai penyiksa, Saman sebagai korban. Kutipan berikut ini adalah deskripsi Yasmin tentang pengalaman itu dalam sebuah suratnya kepada Saman:

“Kamu biarkan aku mengikatmu pada ranjang seperti kelinci percobaan. Kamu biarkan jari-jariku bermain-main dengan tubuhmu seperti liliput mengeksplorasi manusia yang terdampar. Kamu biarkan aku menyakitimu seperti polisi rahasia menginterogasi mata-mata yang tertangkap. Kamu tak punya pilihan selain membiarkan aku menunda orgasmemu, atau membiarkan kamu tak memperolehnya, membuatmu menderita oleh coitus interuptus yang harafiah.” (Larung, hlm. 157)

Meskipun permainan seks yang digambarkan di sini jauh dari imaji normatif tentang persetubuhan, sekali lagi pusatnya adalah koitus. Dan siksaan yang diceritakan dengan paling rinci dan jelas adalah penundaan atau pencegahan orgasme Saman, sehingga timbul kesan bahwa coitus interuptus menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi seorang laki-laki. Penderitaan itu terkesan jauh lebih hebat daripada misalnya penderitaan Laila atau Cok yang terangsang dan birahi, namun tidak mencapai orgasme dalam permainan seks, seperti yang sudah saya sebut di atas. Ternyata dalam hubungan seks yang didominasi oleh seorang perempuan ini pun koitus digambarkan sebagai satu-satunya cara berhubungan seks, dan orgasme laki-laki menjadi pusat perhatian. Apakah Yasmin mencapai orgasme, sama sekali tidak dipersoalkan!

Disamping Shakuntala, Laila, Yasmin dan Cok, masih ada seorang tokoh perempuan lain yang tingkah laku seksualnya dipersoalkan dengan cukup rinci. Tokoh yang saya maksudkan adalah Upi, seorang gadis cacat mental yang diberi perhatian khusus oleh Romo Wis (Saman). Upi menjadi tokoh yang cukup penting bagi representasi seksualitas dalam novel Saman/Larung. Karena cacat mental, Upi digambarkan sebagai semacam wujud seksualitas yang tidak terkekang, yang “alami”. Bahwa birahi Upi dipahami terutama sebagai persoalan alam atau persoalan biologis, terlihat misalnya pada deskripsi Upi sebagai gadis “yang mentalnya tersendat namun fisik dan estrogen dan progesteronnya tumbuh matang” (Saman, hal. 76-77), juga pada keterangan ibu Upi bahwa sang gadis biasanya mengalami semacam masa birahi, yaitu dia menjadi beringas kira-kira seminggu sebelum haid.

Representasi seksualitas yang “alami” tersebut dalam beberapa hal tidak jauh dari seksualitas tokoh perempuan yang lain. Upi mencari kepuasan seksual secara aktif dan agresif seperti Cok dan Shakuntala, dan dia menggabungkan pemuasan birahi dengan tindakan penyiksaan seperti Yasmin, yaitu penyiksaan terhadap binatang. Namun ada hal yang khas pada representasi seksualitas Upi: gadis itulah satu-satunya tokoh perempuan yang diceritakan beronani. Masturbasi dilakukannya dengan cara menggosokkan selangkangannya pada pohon, tiang listrik, pagar atau sudut tembok , dan selain itu dia gemar “memperkosa” binatang. Tidak diterangkan dengan rinci apa yang dimaksudkan dengan “memperkosa” di sini, hanya satu kasus yang digambarkan dengan jelas, yaitu “ia mengempit seekor bebek di pangkal pahanya sambil mencekik leher binatang itu” .

Seksualitas Upi awalnya digambarkan seperti berikut:

“Gadis itu terkenal di kota ini karena satu hal. Dia biasa berkeliaran di jalan-jalan dan menggosok-gosokkan selangkangannya pada benda-benda [...] seperti binatang yang merancap. Tentu saja beberapa laki-laki iseng pernah memanfaatkan tubuhnya. Konon, anak perempuan ini menikmatinya juga. Karena itu, kata orang-orang, dia selalu saja kembali ke kota ini, mencari laki-laki atau tiang listrik” (Saman, hlm. 68).

Di sini timbul kesan bahwa pada awalnya Upi tidak birahi pada laki-laki, tingkah laku seksualnya berfokus pada tubuhnya sendiri. Seks baginya bukan interaksi dengan orang lain, melainkan stimulasi tubuhnya sendiri yang memberi kenikmatan. Segala macam rangsangan psikologis yang biasanya sangat berpengaruh dalam perilaku seksual manusia yang sehat mental, tampaknya tak begitu penting baginya. Seksualitasnya sepenuhnya persoalan tubuh. Dan hubungan seks dengan laki-laki yang kemudian terjadi atas inisiatif para laki-laki yang birahi, dinikmatinya bukan karena sifat hubungan pribadinya dengan laki-laki itu tetapi semata-mata karena rangsangan seksual yang diterimanya.

Tapi interpretasi dan intervensi yang kemudian dilakukan Romo Wis sangat jauh dari gambaran awal tentang seksualitas Upi tersebut. Karena kelakuan Upi kadang-kadang agresif dan membahayakan orang lain, keluarganya menguncinya dalam sebuah bilik. Wis pun tidak mampu mencari solusi lain – pengobatan di rumah sakit terlalu mahal – tapi dia memutuskan untuk meringankan penderitaan Upi dengan membuatkan “penjara” yang lebih luas dan bersih untuknya. Dalam pembuatan tempat tinggal Upi itu, kebutuhan seksual Upi juga diperhatikan. Wis mengenal tingkah laku seksual Upi (kutipan di atas adalah cerita seseorang padanya), dan dia sendiri pun sempat dikagetkan oleh pendekatan seksual Upi: Upi tiba-tiba meraba kemaluannya . Sebagai “solusi”, tempat tinggal Upi yang baru dilengkapinya dengan sebuah patung yang dipresentasikannya pada Upi dengan kata-kata berikut: “Upi! Kenalkan, ini pacarmu! Namanya Totem. Totem Phallus. Kau boleh masturbasi dengan dia. Dia laki-laki yang baik dan setia.” . Kalau pada awalnya masturbasi digambarkan sebagai perilaku seksual Upi yang utama, sedang seks dengan laki-laki hanya kebetulan dikenalnya, maka dalam ucapan Wis ini kita temukan asumsi bahwa seksualitas Upi adalah birahi pada laki-laki.

Masturbasi mengalami degradasi, dalam arti: masturbasi hanya menjadi pengganti seks yang “sungguhan”, yaitu seks dengan seorang laki-laki. Anehnya, meskipun konon dibuat untuk keperluan masturbasi, patung itu tidak dilengkapi alat kelamin! Artinya, yang dibuatkan Wis adalah simbol laki-laki atau simbol phallus, bukan alat yang secara teknis pantas digunakan sebagai alat masturbasi. Atau mungkin Upi diharapkan menggosokkan selangkangannya pada patung yang terbuat dari batang pohon itu seperti sebelumnya dia menggosokkannya pada benda lain – hanya saja batang pohon itu kini telah disulap menjadi “laki-laki”. Mungkinkah batang pohon itu akan mampu memberikan kenikmatan yang lebih pada Upi hanya karena sudah dijadikan simbol “laki-laki baik dan setia”?

Seksualitas Upi yang pada awalnya digambarkan sebagai semacam hasrat primitif untuk memperoleh kenikmatan dengan merangsang alat kelamin, diarahkan dan dipersempit menjadi hasrat heteroseksual. Penggunaan kata “phallus” dan “totem” bisa dipahami sebagai rujukan pada psikoanalisis dan pada totemisme, kepercayaan kuno yang sering diasosiasikan dengan “manusia primitif”. Karena kedua kata itu digunakan sebagai nama patung laki-laki yang diharapkan menjadi objek birahi Upi, pesan yang tersampaikan adalah bahwa hasrat heteroseksual-lah yang paling wajar, alami dan asli. Keterpusatan psikoanalisis pada penis atau phallus yang banyak dikritik feminis di sini diulangi tanpa sifat kritis sama sekali, phallus malah dijadikan totem, pusat pemujaan!

Memang pembuatan patung “Totem Phallus” itu dan pemahaman seksualitas Upi yang terkandung di dalamnya diceritakan sebagai buah pikiran dan perbuatan Romo Wis. Namun karena dalam novel “polifon” ini tidak terdapat suara lain yang menyoroti peristiwa itu dari perspektif lain, itulah satu-satunya versi yang tersampaikan. Bahwa interpretasi Wis terhadap seksualitas Upi merupakan penyempitan, sama sekali tidak dipersoalkan, sehingga saya rasa tidak terlalu mengada-ada kalau kita menganggap penyempitan itu tidak disadari penulis.

***

Kembali pada persoalan ambivalensi yang saya sebut di atas. Saya telah memperlihatkan bahwa dalam novel Saman/Larung disamping pesan-pesan eksplisit dan provokatif yang menentang falosentrisme (menempatkan perempuan sebagai pihak yang aktif, dan mengakui berbagai macam orientasi seksual) pada banyak adegan yang membicarakan seksualitas justru terdapat kecenderungan falosentis dan heteronormatif. Tentu adanya ambivalensi semacam itu tidak bisa begitu saja dijadikan indikator kegagalan sebuah karya. Ambivalensi merupakan hal yang lumrah, dan kita akan sulit mencari karya sastra yang bebas darinya.

Dalam eseinya yang sudah saya kutip di atas, Ayu mengatakan: “Saya berharap kritikus yang mencoba mendekati novel Saman dengan mencari subjek tunggal dan utuh pengarangnya akan kecewa. Sebab bukan itu sikap saya terhadap karya”. Bukankah menolak keutuhan dan ketunggalan subjek berarti membuka diri untuk menerima segala ambivalensi dan pertentangan dalam diri dan dalam karya dengan sadar dan lapang dada? Seorang perempuan bisa saja menggabungkan feminisme dan falosentrisme dalam dirinya, misalnya dengan memperjuangkan kebebasan perempuan, tapi sekaligus justru merindukan laki-laki yang dominan. Ambivalensi semacam itu adalah bagian dari kehidupan, konsekuensi dari kenyataan bahwa hidup manusia tidak sepenuhnya dapat dikuasai oleh akal seperti abang Shakuntala memerintah alat kelaminnya. Sebagai kritikus saya kecewa pada karya Ayu Utami justru karena ambivalensi yang seharusnya dipeluk dengan sadar dalam sebuah karya yang konon tanpa subjek tunggal dan utuh itu, ternyata kurang diolah.

Saya tidak menemukan indikasi bahwa ambivalensi dalam representasi seksualitas di novel Saman/Larung merupakan ambivalensi yang disadari. Karena itu, mungkin lebih tepat kalau pesan eksplisit mengenai seksualitas yang terdapat dalam novel itu kita sebut sebagai sebuah pretensi. Kritik terhadap falosentrisme hanya terjadi di permukaan, atau dengan kata lain, kritik itu dengan sengaja dimasukkan dalam beberapa adegan. Di level yang lain, yang justru jauh lebih penting secara tekstual, novel Ayu justru sangat falosentris.

***

Apakah keluhan saya seputar representasi seksualitas dalam novel Ayu Utami tidak terlalu mengada-ada? Bukankah seperti yang saya katakan di atas, gaya hidup perempuan kelas menengah perkotaan Indonesia sebelumnya belum banyak diangkat sebagai tema novel, khususnya dengan fokus terhadap kehidupan seksual? Bukankah usaha untuk menggali tema tersebut dan untuk meninggalkan tabu seputar seksualitas, pantas dihargai?

Saya rasa kritik saya tidak mengada-ada. Bukan sayalah yang menciptakan ekspektasi yang berlebihan terhadap karya Ayu Utami, yaitu bahwa karya tersebut merupakan karya feminis yang subversif dan penuh terobosan baru. Ekspektasi tersebut dengan sengaja ditimbulkan oleh novel itu sendiri dan oleh tulisan-tulisan di seputarnya, termasuk tulisan Goenawan Mohamad yang saya bahas di awal esei ini. Maka sudah sewajarnya kalau tidak terpenuhinya ekspektasi tersebut saya keluhkan dan pemujaan yang berlebihan saya kritik.***

Daftar Pustaka

Ayu Utami, Saman, Jakarta 1998.
—, “Membantah mantra, membantah subjek” Kalam edisi 12, 1998.
—, Larung, Jakarta 2001.

Bandel, Katrin, “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa”, Republika 23 Maret, 30 Maret dan 6 April 2008.

Clara Ng, Tujuh Musim Setahun, Jakarta 2002

Kris Budiman, Pelacur dan Pengantin Adalah Saya, Yogyakarta 2005.

Goenawan Mohamad, “Ayu Utami – The Body Is Heard”, 2000 Prince Claus Awards, The Hague 2000, hlm. 78-81.

Rembulan Terperangkap Ranting Dahan

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

(Pemenang III Sayembara Cerita Pendek Berdasar Cerita Panji yang Diadakan Dewan Kesenian Jawa Timur dan Dewan Kesenian Jombang 2010)

API hidup saya menyala di atas takdir yang lebih banyak bukan atas kuasa saya sendiri. Arusnya mengalir bagai di atas rel warisan para pendahulu saya. Saya hanyalah lokomotif dan pikiran saya adalah masinisnya yang lebih sering berganti orang lain ketimbang diri saya sendiri.

Dalam hati kecil sebetulnya saya menggemari segala dunia batin dan pemikiran yang terkait erat dengan ilmu psikologi. Entah mengapa selepas SMA saya masuk di jurusan Sastra Indonesia dengan spesialisasi bidang ilmu filologi.1) Ya, seperti halnya terjadi pada penggalan hidup saya yang lain, terhadap hal ini pun sebagai jalan tengah, saya lebih nikmat menyebutnya sebagai misteri takdir Tuhan.

Begitulah, saya yang sangat mengagumi misteri kejiwaan manusia kemudian terbawa arus menjadi mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Airlangga yang mengambil studi teks-teks sastra klasik. Dalam waktu yang terhitung cepat, lagi-lagi di luar dugaan saya, saya bisa menyelesaikan mata kuliah-mata kuliah berat dengan singkat.

Saya sungguh tidak mengerti potongan perjalanan hidup ini. Pertanyaan saya seputar itu pun tak pernah terjawab lengkap. Apalagi penggalan lain juga tak pernah terjawab oleh pengetahuan saya. Lagi-lagi, seperti biasa, untuk menghibur diri pikiran saya tersebut kemudian saya percaya pada takdir lain yang lebih dahsyat di luar diri saya.

Percaya pada takdir dan tentu saja yakin pada Tuhan.

Jadi sesungguhnya saya hanya ingin mengisahkan tentang takdir saya sendiri. Saya sama sekali tidak menceritakan orang lain. Apalagi cerita tentang orang lain yang sedang memerankan orang lain lagi. Sama sekali bukan.

Ini hanyalah perihal pribadi saya, pencarian diri saya, pertanyaan saya sendiri kepada diri saya. Saya hanya merasa semakin hari saya semakin tidak memahami diri saya sendiri. Apakah sebetulnya yang ada pada diri saya ini adalah pribadi saya ataukah sebetulnya ada banyak orang lain berdiam dalam tubuh, jiwa dan pikiran saya.

Semula saya tidak pedulikan hal itu benar—atas dasar pikiran memang tidak ada guna bagi setiap orang yang mencoba mencari orisinalitas dirinya. Pikiran yang ini ternyata hanya sesaat: ketidakpedulian yang sejenak, sekadar mampir saja. Yang lebih kuat justru dorongan untuk mencari kembali siapa sebetulnya sosok yang berdiri kaku atau duduk lembut di balik paras ayu, keras dan misterius perempuan seperti saya.

Saya tahu betul saya tidak bisa menguatkan suatu keyakinan atas dasar peristiwa sesaat, kejadian sejenak yang melintas. Tidak bisa. Bahwa yang melintas di tubuh dan jiwa saya senantiasa berkesinambungan. Betapa saya merasakan kesinambungan nasib dan takdir saya demikian nylenehnya.

Ah, mustahil saya sanggup mengisahkan diri saya sedemikian panjang sepanjang rel hidup saya yang aeng itu.

Takdir lain yang kemudian saya percaya adalah ketika saya mengambil penelitian untuk tesis di sebuah desa terpencil di Kecamatan Ngadiluwih, Kediri. Di sana saya mengampu pada sebuah keluarga yang sehari-harinya bergantung pada hasil pertunjukan kentrung. Seorang dalang dengan istri dan seorang putrinya. Sehari penuh mereka mengamen dengan perangkat musik kentrungnya kendang dan rebana menjajakan cerita dari kampung ke kampung. Berbulan-bulan. Bertahun-tahun.

Saya seorang peneliti yang terus terang dipaksa untuk menggilai kentrung, setidaknya dari tulisan-tulisan seorang doktor kentrung, Dr Suripan Sadi Hutomo.2) Bahwa betapa kentrung hanya tinggal segelintir saja keberadaannya. Saya juga terpikat dengan kreasi naskah Jaka Tarub-nya Akhudiat 3) yang juga ditopang oleh pengetahuannya semasa muda melihat kentrung di tanah kelahirannya.

Begitulah, lagi-lagi saya terdampar, tanpa kehendak saya sendiri—ini yang membedakan saya dengan pribadi seorang Doktor Kentrung.

Kali ini saya terdampar di keluarga dalang kentrung itu. Yang lelaki namanya Pak Jebrak, istrinya Juminten dan putri satu-satunya Juminem. Atas permintaan mereka, saya diminta tinggal bersamanya. Tentu saja semula saya menolak. Akan tetapi karena saya digariskan menjadi peneliti Kentrung, penolakan saya menjadi tidak beralasan. Terlebih ketika Pak Jebrak dan Mak Juminten mengatakan saya adalah rezekinya, maka sama sekali tidak ada alasan bagi saya untuk tidak tinggal dan hidup bersama mereka.

Saya menjadi tahu betul suka duka hidup mereka. Dukanya lebih banyak saya tahu ketimbang sukanya. Demikian pula perasaan saya pun sebagai seorang mahasiswi yang selama ini lebih banyak suka, akhirnya lebih banyak berduka bersama keluarga Pak Jebrak. Satu-satunya suka cita yang misterius berdiam pada saya adalah ketika Pak Jebrak mengatakan paras saya yang cantik inilah sumber tambahan rezeki buat mereka. Oleh karena itu ketika saya mengatakan saya akan membebani hidup mereka yang sulit, ditolak mentah-mentah oleh mereka. Saya tidak mengerti. Akan tetapi saya merasa bahwa paras saya memang lumayan cantik.

Saya tinggal bersama mereka selama berbulan-bulan. Seperti keluarga mereka sendiri. Seperti ayah ibu dan adik saya. Makan bersama, tidur pun bersama. Tapi bukan ini semua yang hendak saya ceritakan.

Saya hanya bercerita tentang diri saya.

***

CERITA tentang saya belum akan berakhir. Akan tetapi saya pikir cerita tentang penderitaan mereka segera berakhir setelah dalang Jebrak meninggal karena usia senja. Disusul kemudian tak berapa lama Mak Juminten pun menyusul. Beberapa hari sebelum meninggal Pak Jebrak membawakan Kisah Asmara Raden Panji dan Dewi Sekartaji tak henti-hentinya. Ini di luar kebiasaannya yang senantiasa diselingi dengan kisah Lahirnya Jaka Tarub pada hari lain. Meskipun demikian sama sekali ini bukan hal yang menarik perhatian saya.

Saya sudah berbulan-bulan bersamanya sehingga cerita itu menjadi tidak penting dan hampir tidak ada muatan yang cukup bagus untuk penelitian saya dan masa depan kentrung itu sendiri. Karena ini hanyalah penelitian sastra lama—sastra lisan yang sudah ketinggalan zaman. Andai saya bisa berbicara banyak perihal penelitian psikologi mereka, tentu dalam bayang saya hasilnya sangat menakjubkan. Tetapi begitulah lagi-lagi saya harus mengembalikan diri pada garis hidup saya.

Yang kemudian sangat mengejutkan saya—meskipun sebetulnya saya tidak kaget dengan posisi saya seperti ini—adalah saat Pak Jebrak dan juga dikukuhkan oleh Mak Juminten berharap, lebih tepatnya meminta saya menjadi dalang kentrung menggantikannya. Sebetulnya yang saya kejutkan lebih pada mitos-mitos di sekitar kentrung sebab bagaimanapun sebagai orang yang mengerti kejiwaan, sedikit banyak saya percayai. Sementara mereka pun memiliki seorang putera. Dari sisi kejiwaan seorang anak, termasuk mitos-mitos pengampu berdasarkan teori psikolog Carl Gustav Jung, ini tentu persoalan yang tidak sederhana.

Buat saya sendiri, dalam benak saya, betapa kurang ajar Pak Jebrak dan juga Mak Juminten—orang yang demikian menderita—punya keberanian untuk ikut andil dalam menentukan garis hidup saya: mentakdirkan saya untuk menjadi dalang. Pilihan katanya untuk menunjuk hidung, mata dan muka saya menjadi dalang menakjubkan saya. Apalagi alasannya. Pak Jebrak dalam usianya yang demikian renta betul-betul menyakinkan saya. Katanya daya tarik, sorot mata, kharisma dan juga pengetahuan mendalam saya lebih dari cukup untuk menjadikan saya dalang terhormat.

“Meskipun saya perempuan?”

“Meskipun kamu perempuan,” katanya.

Maklum, meski bukan tak boleh, memang tidak lumrah dalang perempuan. Bahkan generasi terakhir para dalang kentrung di Tulungagung, Nganjuk, Bojonegoro, Ponorogo, semuanya lelaki. Tidak satupun yang perempuan. Pak Jebrak menganugerahi nama baru untuk saya: Kilisuci—tokoh dalam kisah cerita panji yang jarang sekali ia tampilkan, mungkin karena memang tidak menarik. Karena itu saya pun juga tidak bangga dengan nama putri Prabu Airlangga yang menjadi pendeta dan memilih bertapa di puncak gunung itu. Andaikata saya diberi hak untuk memilih, saya lebih memilih Anggraini, gadis cantik lembut nan lugu dari hutan sebelah. Setidaknya cocok dengan paras saya yang menurut Pak Jebrak mengundang rezekinya ini. Tetapi begitulah, sama sekali dalam hidup saya tidak pernah sekalipun saya bisa menentukan diri saya sendiri. Ujung-ujungnya pun saya kian meragukan diri saya sendiri sebelum jatuh dalam penyesalan yang menjurang.

Tak berapa lama setelah Pak Jebrak turut campur menentukan garis hidup saya, ia meninggal. Ujian pertama saya ketika saya diminta mewakili keluarga memberikan sambutan perpisahan saat upacara mengantar jenazah Pak Jebrak ke liang lahat. Menurut saya inilah ujian terberat sepanjang hidup saya, ketika hendak menentukan sesuatu hal, memutuskan satu perkara antara diri saya dengan orang lain. Justru saya diminta berbicara tentang orang lain. Saat itu, saya pun tidak menceritakan tentang pribadi Pak Jebrak. Tepatnya saya hanyalah menceritakan diri saya sendiri selaku orang dengan predikat baru yang menempel pada tubuh saya yaitu calon dalang—hasil karya almarhum.

Kuliah saya berantakan. Penelitian saya kandas. Saya tidak tahu persis kecewa ataukah tidak merasakan apa-apa. Yang jelas, saya sedang menghadapi dunia baru yang lebih nyata. Seorang dalang. Seorang anak panggung. Seorang anak panggung yang terbiasa memikirkan diri saya sendiri, takdir saya sendiri dan tidak memikirkan orang lain. Saya untuk sementara tidak bisa membayangkan bagaimana saya musti membawakan tokoh-tokoh lakon sebagaimana biasa dikisahkan Pak Jebrak bila melihat diri saya seperti ini.

Saya hanya berpikir bahwa apa yang sudah dilakukan oleh Pak Jebrak, kisah-kisahnya tentang masa lalu, tentang dongeng Cerita Panji sama sekali tidak banyak berguna kecuali untuk menyambung hidup keluarga pengamen ini. Tidak lebih dari itu. Demi alasan itu pun, Pak Jebrak tidak mampu, tidak layak hidup meskipun bisa mengantarnya hingga ujung usianya. Apalagi untuk saya, jujur saja, sama sekali tidak berguna. Satu-satunya harapan saya pun kandas dengan jalan hidup yang sudah puluhan tahun ditempuh keluarga Pak Jebrak. Saya gagal meraih sarjana strata dua. Meskipun tentu saja ini bukan berarti bakal menggagalkan seluruh jalan hidup saya. Tidak bisa. Saya tidak boleh berpikir demikian. Saya sendiri yang tidak mengizinkannya hal itu terjadi, tak lain demi masa depan saya sendiri.

Masa depan? Masa depan saya ya hari ini: sebagai seorang dalang perempuan pilihan Pak Jebrak.

Sebagai seorang yang demikian, yang pertama kali saya lakukan setiap kali pertunjukkan adalah mengakui diri saya seperti itu. Posisi saya sebagai dalang seperti itu. Mengatakan hal sebenarnya pada hadirin—paling tidak menjelaskan garis hidup saya yang paling mutakhir adalah sedemikian itu. Sementara jika pun upacara-upacara sebelum pertunjukkan yang seolah menguatkan, menyakinkan, menghormati posisi saya sebagai dalang hal itu hanyalah kebetulan saja, hanya masalah bentuk artistik saja. Misalnya setiap kali ada pertunjukkan terlebih dulu digelar slametan, mengantar doa. Di panggung dibentangkanlah kain-kain warna hitam agar seolah-olah sakral. Lalu alat musik kendang jidor latihan pemanasan, silakan. Penembang juga demikian—suaranya yang melengking seolah membuat bulu kuduk hadirin merinding berdiri, silakan juga.

Saya tetaplah saya. Sekalipun di panggung kentrung nama saya Kilisuci. Saya bukanlah dalang kentrung yang sebenarnya. Bagi saya menggelar pertunjukkan kentrung hanyalah menghadirkan tokoh-tokoh saja. Tidak lebih dari itu. Karena itu tokoh-tokoh yang saya hadirkan dalam cerita-cerita saya pun sesungguhnya nasibnya serupa dengan saya sendiri. Mereka sedang bergelut dengan dirinya sendiri, mencari dirinya sendiri. Mungkin mereka tidak menyukai saya. Barangkali lebih dari itu mereka membenci sama sekali terhadap saya oleh karena tidak terima atas perlakuan saya pada mereka yang dengan seenaknya memberi embel-embel sebuah nama, lalu dengan nama itu mempersempit pikiran mereka. Saya bisa mengerti apabila hal itu terjadi pada mereka yang memiliki perasaan-perasaan yang sama seperti yang saya rasakan. Hanya saja terkadang ketidaktahuan saya pada diri saya sendiri menyebabkan saya pun tidak bisa sepenuhnya memahami mereka.

Mereka tidak sendiri. Mereka tidak hanya tokoh-tokoh dalam cerita panji. Lebih dari itu mereka tokoh yang tidak bisa menemukan dirinya sendiri pun juga terjadi pada banyak orang hadirin penonton-penonton pertunjukan kentrung saya. Saya tidak bisa menipu diri saya untuk menjadi dalang sebagaimana diinginkan Pak Jebrak. Juga sebagaimana dikehendaki oleh hadirin sekalian. Saya pun sudah merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan mereka bahwa bagaimana mungkin saya bisa menentukan kisah-kisah para tokoh yang demikian agungnya di mata mereka, sementara saya sendiri tidak becus mengurus diri saya sendiri. Saya menjadi orang yang tidak pernah bisa sampai hati.

Saya hanyalah orang biasa yang tidak sanggup menentukan jalan cerita. Ucapan, tindakan saya adalah semata-mata milik saya sendiri. Sekalipun saya diberi kuasa untuk menentukan hidup mati mereka, namun kekuasaan itu tidak pernah betul-betul saya gunakan. Sekalipun saya menggenggam takdir sebagaimana takdir Tuhan atas umatnya, tapi saya juga amat percaya setiap yang di luar diri saya berhak untuk menentukan takdirnya sendiri-sendiri.

“Sekali lagi saya meminta maaf kepada hadirin sekalian karena saya tidak sanggup untuk merebut takdir saya sendiri, termasuk takdir saya untuk menjadi dalang bagi tokoh-tokoh pujaan anda-anda sekalian,” nyatanya kalimat ini selalu berkali-kali saya sampaikan dalam setiap satu pertunjukkan.

Itulah sebabnya saya membiarkan dengan seenak saya sendiri memilih tokoh-tokoh Raden Panji, Dewi Anggraini, Dewi Sekartaji, Raja Jenggala, Raja Kediri, Permaisuri, Patih Brajanata di antara mereka sendiri. Di mata saya mereka semua hadirin penonton sekalian sama saja. Yang membedakan mereka hanyalah diri mereka sendiri—sejauh mana memahami diri mereka sendiri, seberapa berani menanggapi saya sebagai dalang yang kiranya sangat terhormat, karena memang saya menghormati diri saya sebagai orang yang sudah semestinya memberi kehormatan lebih kepada orang lain—penonton pertunjukkan saya.

Yang ada di pikiran saya sekarang adalah bagaimana menjelaskan situasi ini, bagaimana menghadapinya di panggung pertunjukkan. Sementara saya menghadapi pikiran saya sendiri, mereka pun musti mengerti diri sedang menghadapi persoalan pikirannya sendiri, perasaannya sendiri, emosinya sendiri. Asalkan tidak membohongi diri mereka sendiri, apalagi membohongi hati nuraninya sendiri pula.

Lantas bagaimana dengan diri saya? Mampukah saya mengemban selaku seorang dalang yang berbesar hati, tanpa sedikitpun mempertontonkan arogansi kekuasaan seorang dalang?

Yang saya ingat satu-satunya bekal saya mendalang adalah petuah Pak Jebrak yang menyakini sosok dalang yang menyingkapkan diri simbol ketuhanan dan kuasa menghidupkan wajah-wajah wayang ke dalam ruh jiwa manusia.

Pan ki dalang sejati-jati ning ratu
Sang ratu gentya ing nabi
Nabi gentya ning Hyang Agung
Ratu nabi prasasat ing
Hyang Mahagung kang kadalon 4)

Beruntunglah, saya seorang perempuan. Lembut, penuh kasih sayang dan yang pasti sudah sepantasnya diempukan.

***

PERTUNJUKAN dimulai. Saya bersiap diri di tengah. Setelah musik kentrung kendang dan rebana dimainkan rancak dengan nada tinggi, satu dua tembang dinyanyikan, musik mulai menurun lalu saya persilakan hadirin penonton untuk bersiap memilih tokoh-tokoh kisah Cerita Panji. Mula-mula orang-orang golongan tua yang terbiasa dengan dalang Pak Jebrak, memprotes keras. Saya dianggap lancang dan tidak menghormati karya leluhur-leluhur mereka. Namun setelah saya jelaskan mereka pun akhirnya paham, meskipun sebagian lainnya terutama golongan tua yang kehabisan nafas disebut-sebut kelompok pelestari kebudayaan dan tradisi adiluhung mencerca saya dan mengutuk saya kualat.

“Sebaiknya saudara belajar menjadi dalang dimulai dari menjadi dalang bagi diri anda sendiri. Mengapa hal itu tidak anda lakukan?” saya katakan kepada mereka terutama yang menghujat saya.

Mereka tidak bisa menjawab.

Kalaupun ada yang menjawab saya kira seringkali jawabannya sangatlah klise:

“Karena saya bukan keturunan dalang.”

“Lha wong saya tidak diberi wahyu untuk menjadi dalang,” jawab yang lain.

Pada saat keributan seperti itu, biasanya saya katakan pada mereka bahwa saya pun mengalami hal serupa dengan mereka. Bahwa saya sedang belajar menjadi dalang, sebetulnya hanyalah dalang untuk diri saya sendiri, utamanya. Sementara mengenai apa yang mereka sebut wahyu, tidak datang dengan sendirinya. Wahyu tetaplah harus diburu. Saya dalam hal ini sedang memburu wahyu itu. Harus jujur saya akui, tidak untuk orang lain, tetapi untuk diri saya sendiri.

Kekacauan hadirin penonton menyenangkan buat saya, karena ini tentu menjadi pertunjukan sendiri yang tidak kalah menariknya. Anggaplah ini carangan bagi setiap pertunjukkan, pikir saya. Kekacauan yang menurut saya akibat dari persoalan yang sangat subtansial: memperdebatkan otoritas seorang dalang. Hal yang sangat melegakan adalah, diantara mereka para hadirin mulai banyak yang menyatakan niatnya untuk menjadi dalang. Tentu saja ini menurut saya suatu hal yang jauh di luar pikiran saya. Maksud saya jauh dari kondisi saya yang sebenarnya.

Saya merasa tidak mampu dan belum pantas menjadi dalang, sementara penonton di hadapan saya justru berteriak-teriak karena didorong keinginannya untuk menjadi dalang. Tentu saja saya belum tahu apakah di balik keinginan mereka itu sebetulnya disokong oleh takdir mereka sendiri ataukah tidak. Inilah menurut saya pertunjukan yang sebenarnya: Mempertontonkan diri untuk tampil sebagaimana adanya ataukah ada maksud lain di balik pertunjukan dari cerita-cerita ini.

“Ini soal kejujuran, Bung!” suara mereka entah dilempar kemana saja, bahkan ke angkasa.

Sampai di sini di antara kami statusnya sama, nilainya sama, posisinya pun sama. Tiba-tiba kami terikat dalam satu kesepakatan, entah apa namanya. Kami bukanlah siapa-siapa. Kami sama sekali tak kuasa mempertontonkan kelebihan sendiri-sendiri. Kalau pun kami dianggap punya kelebihan, hanyalah saling mengingatkan soal kejujuran itu. Tetapi kelebihan ini pun dimiliki oleh setiap orang, bukan hanya dimiliki oleh seorang dalang. Apalagi dalang yang diberi wahyu untuk melakukan itu. Sama sekali tidak. Sementara soal wahyu itu sebenarnya jauh di luar kami semua. Wahyu itu seperti tamu yang datang ke rumah. Bukan tuan rumah yang betah tinggal dalam gedung megah tetapi tidak pernah beranjangsana pada tetangga. Oleh karena itu bagi kami satu-satunya kepercayaan pada wahyu itu adalah datang pada diri sendiri, dalam suasana pertunjukan yang tidak dikuasai oleh seorang dalang.

“Pertunjukan ini hanyalah usaha untuk membangun rumah, dan mengundang tamu untuk beranjangsana ke dalam ruangan diri pribadi kita,” tutur saya lebih kepada diri saya sendiri, sebetulnya.

Sampai di sini saya kira di antara kami dalang, awak panggung juga penonton sebetulnya sudah saling mengenali diri masing-masing. Siapakah sebetulnya kami? Siapakah sebetulnya diri kami di balik tubuh-tubuh kami ini?

Pertunjukkan tak lebih dari suatu kesepakatan batin naluriah yang mempertemukan kami. Pertunjukkan ini adalah pertemuan untuk membangun rumah, sayan untuk menyambut calon tamu kita yang akan datang. Mungkin kepada tamu yang belum kita kenal betul, selama ini seringkali kita berbasa-basi menyembunyikan sesuatu di balik tubuh kami. Akan tetapi di antara kami, sama sekali tidak ada sekecil apapun yang bisa disembunyikan dari kami. Kami sama-sama tahu rahasia kami. Bahwa kami ini semua sebetulnya hanyalah awak panggung, hanyalah aktor, hanyalah anak wayang yang ditakdirkan untuk terus mengundang tamu sebanyak-banyaknya agar senantiasa suatu saat tidak perlu lagi menyembunyikan suatu rahasia apapun.

“Kami hanyalah aktor yang berakting dalam pertunjukkan maha penting ini. Kami menari, kami menjamu dan kami menemukan diri kami di hadapan penonton yang agung, agar di luar pertunjukkan tidak perlu lagi segala kemunafikan kami yang dipertontonkan oleh makhluk lain dengan ritual gelap yang menyihir dan menipu kami,” ujar saya mulai tak jelas untuk saya sendiri ataukah untuk orang di luar diri saya.

Musik kentrung yang monoton itu terus naik turun menanti cerita-cerita mengendarainya. Tembang-tembang melayang. Sang dalang tidak juga memainkannya selain karena sibuk dengan pikiran dan hatinya sendiri, seolah dengan kesadaran tinggi ia menanti pemain-pemain saling berhamburan dari arah panggung pertunjukkan. Musik hanya turun naik merespon para aktor yang keluar dari arena penonton pagelaran itu.

“Nyi Kilisuci, saya tidak peduli apakah engkau dalang, sutradara, pengarang atau orang yang didapuk sebagai itu,” seorang pemuda tampaknya bakal memuntahkan gejolak hatinya. “Saya tidak peduli dengan saudara, karena saya sebetulnya hanyalah peduli pada diri saya sendiri saja. Akan tetapi karena ini suatu pertunjukkan penting dan kita dipertemukan di sini, saya yakin persoalan saya pun pada akhirnya juga menjadi persoalan saudara. Terus terang ini bukan pilihan saya sendiri, kalau pun saya meloncat dari arena penonton ke panggung ini untuk menjadi tokoh Raden Panji Kuda Waneng Pati. Saya tidak tahu dan tiba-tiba saja saya ditakdirkan menjadi tokoh ini. Saya tahu, saya tidak mampu menipu diri sebagai Raden Panji Kuda Waneng Pati, karena saya kira saya seperti anda lahir di sebuah negara miskin dan dari keluarga miskin pula. Penderitaan telah memberi banyak pelajaran pada saya dan saya sama sekali tidak pernah menerima ajaran sebagai seorang putra raja, apalagi seorang putra mahkota raja yang kelak diberi hak untuk menguasai rakyat jelata. Sama sekali tidak, Nyi Kilisuci. Walaupun sebetulnya tentu saja menjadi raja adalah keinginan banyak orang. Seperti anda, saya pun terobsesi untuk menjadi raja, meski pada malam hari ini sama sekali tidak punya pengetahuan apa saja kemampuan yang harus dimiliki untuk menjadi raja selain punya kekuasaan mutlak atas segalanya itu. Sayang, pada tahun 2010 ini saya mustahil menjadi raja. Yang sangat mungkin adalah bilamana saya menjadi dalang sebagaimana keinginan Raden Panji Kuda Waneng Pati. Saya ingin menjadi dalang yang sesungguh-sungguhnya dalang. Bukan dalang hanya demi tujuan membo-membo untuk bertemu banyak orang dan siapa tahu diantara banyak orang itu saya jumpai kekasih hati saya. Bukan. Seperti anda, saya ingin menjadi dalang untuk diri saya sendiri. Jadi sayalah Raden Panji Kuda Waneng Pati yang pura-pura kaya, Nyi. Satu-satunya yang tidak bisa saya tutup dengan kepura-puraan adalah kekayaan agung saya yang saya tanam dalam lubuk sanubari saya: cinta. Yang lain prekketek! Tidak ada obsesi terbesar dalam hidup saya pada pertunjukan ini kecuali memburu cinta. Bukit kan kudaki, laut kuseberangi pun rel kereta api kususuri tak lain demi untuk menemukan cinta sejati saya. Biarpun saya harus pura-pura kerja menjadi kuli, atau menyampaikan cerita-cerita seperti ini semuanya atas nama cinta. Apalagi hanya cinta dan perjodohan saya dengan Dewi Sekartaji. Cuma masalah kecil di kuku jari kelingking saya. Tidak sulit saya memerankan pertunjukkan ini sampai pada perjodohan dengan Putri Raja Kediri, Prabu Jayawarsya yang karena tidak cukup menyandang namanya di bumi sebab itu masih harus memakai nama Dewi di depannya. Karena itulah dalam kisah ini, saya rela keluar masuk hutan belantara demi cinta. Untuk sementara karena ini semata-mata demi kepentingan saya sendiri, saya abaikan dulu biar pun hutan-hutan tempat saya mengembara penuh dengan borok-borok gundul di tubuhnya. Saya juga abaikan panasnya kota karena jarum-jarum sinar matahari langsung menyengat kulit dan tak tertahan apapun di bumi. Saya tidak peduli, satu-satunya yang tidak bisa saya abaikan adalah pekerjaan karena saya tidak bisa hidup dengan menganggur. Menganggur itu pedih, saudara-saudara. Sebab saya harus cukup tahu diri mana yang betul-betul untuk kepentingan saya sendiri dengan membela kepentingan orang lain. Kalau pun diantara anda sekalian protes, hal itu maklum karena memang betapa sulit untuk betul-betul memisahkan demi kepentingan diri sendiri dengan kepentingan masyarakat apalagi demi kepentingan ilmu pengetahuan. Sulit. Tapi sekali lagi ini hanya untuk sementara. Mata saya melihat. Kuping saya mendengar. Kulit saya merasa. Hati saya pun cukup peka—biarpun saya seorang kuli biasa. Kepada saudara sekalian saya katakan, bukankah saya sendiri yang berhak menentukan jalan hidup saya? Menentukan pengembaraan batin saya, menentukan mimpi saya. Sekalipun saya lihat anda sekalian bermaksud bunuh diri, untuk sementara akan saya biarkan karena itu memang benar-benar hak saudara.”

Terus terang saya tersindir dengan tutur ucapan pemuda itu.

Selanjutnya pertunjukan malam itu tergambar seperti ini:

Ini saya tafsirkan dari suluk-suluk yang disampaikan penembang, meskipun saya sulit untuk mempercayai seluruh gambaran ceritanya. Suluk hanyalah kembang. Sekadar kerangka, sementara tokoh-tokoh cerita dalam pertunjukan malam ini, sebagaimana anda dengar sendiri sulit untuk diberi kerangka cerita.

Raden Panji Kuda Waneng Pati, mereguk nikmat hayat. Putera mahkota Kerajaan Jenggala itu takjub pada keindahan alami yang memancar dari senyum merekah di bibir Dewi Anggreini. Keindahan serupa mata air bening dari pegunungan perawan.

Pahlawan Kahuripan itu ingkar pada ayahandanya Prabu Jayantaka yang hendak menjodohkan putranda dengan puteri Kediri, Dewi Sekartaji. Sepenggal perjodohan demi niat melumatkan batas-batas yang dibuat Mpu Baradah nan sakti. Resi-resi Syiwa dan Wisnu telanjur menganugerahkan berkahnya, tatkala hendak dibangun kerajaan yang besar.

Itulah harapan sang ayah, Prabu Jayantaka melanjutkan cita-cita leluhurnya yang bijaksana Rake Halu Syri Lokesywara Dharmawangsa Airlangga Ananta Wikramatunggadewa. Hasrat yang bergolak sebelum akhirnya undur diri merasa sia-sia dan menjadi guru bangsa dengan mengikuti jejak putranda sang Kilisuci bertapa di biara Pucangan.5 Panjilah satu-satunya yang berdarah langsung keturunan Mpu Sindok, cikal bakal Ahala Isyana. Akan tetapi perjalanan pencarian jatidirinya ke hutan dan pegunungan telah mendamparkan jiwanya pada gadis Anggraini. Ia pun percaya perjumpaanya dengan gadis itu pun dharmanya untuk melunasi kedamaian abadi menuju kamoksan.

Akan tetapi apakah benar pertunjukan malam ini hanya tentang manusia luar biasa? ataukah manusia biasa? Ataukah justru bukan manusia juga ambil bagian dari pertunjukkan? Lantas bagaimana itu bisa terjadi bagi seorang aktor?

Terus terang sebagai manusia biasa dan sebagai orang yang pura-pura sebagai dalang, saya iri dengan segala yang ada pada Dewi Anggraini. Kecantikannya. Keindahannya. Kelembutannya. Ketulusannya. Kebesaran jiwanya. Segala kelebihannya itu telah melenyapkan setiap kekurangannya. Apalagi hanya sepotong sandang pangan papan, tiada tercermin dari yang ada pada Dewi Anggraini. Karena itulah andai saya diizinkan untuk memilih, saya tentu memilih kesempurnaan jiwa raga pada diri Dewi Anggraini. Tapi itu mustahil. Betapa saya masih terikat dengan urusan dunia. Sementara Dewi Anggraini saya kira bukanlah seorang manusia. Bukan. Dia sesungguhnya malaikat yang turun ke dunia dan memerankan sosok perempuan, tinggal menyendiri di hutan belantara dan jika pun turun ke kota, bukanlah soal betul bagi tugas dan kewajiban spiritualnya mengemban amanah Tuhan semesta sekalian alam.

“Apa yang bisa saya kemukakan perihal sosok seperti ini, saudara-saudara. Manusia setengah dewa atau dewi yang menyamar selaku manusia. Karena itu hadirin sekalian, saya tentu salut kepada perempuan yang memerankannya, sekaligus kehormatan baginya. Walaupun saya yakin tak seorang pun yang sanggup untuk itu, selain nabi dan orang yang menerima wahyu untuk itu. Akan tetapi sebagai orang yang iri hati kepadanya, dan sebagai dalang yang musti memberi kepercayaan pada tokoh-tokohnya, terus terang saya berat hati. Saya tidak pernah berjumpa dengan malaikat, bermimpi pun saya tidak pernah, meskipun berkali-kali mengagumi wanita cantik untuk cermin diri saya sendiri. Memang saya akui, kadang-kadang kita bisa melukis kecantikan manusia dengan puisi, dengan sepotong bulan bugil bulat yang timbul dan tenggelam di bukit yang kedatangannya pun senantiasa diharapkan orang. Tetapi itu hanya metafora, hanya bahasa puitik. Yang justru daya tariknya oleh karena kita tidak bisa menguasainya. Tetapi ini? Ini nyata—setidaknya dalam cerita malam ini—bahwa setiap orang, juga setiap lelaki akan mendambakan seluruh yang dia punya. Orang yang meninggalkan alamnya yang abadi untuk turun ke bumi. Lalu bagaimana engkau memerankan ini hei Dewi Anggraini? Bagaimana engkau menyembunyikan jatidirimu di bumi ini? Apakah di alam asalimu ada sekolah akting sehingga kau berani eksperimen di dunia yang penuh tipu muslihat ini? Ceritakanlah!”

Dewi Anggraini memang luar biasa cantik. Semampai. Andaikata saya bukan perempuan, persetan dengan pertunjukkan ini. Protes saya hanya melayang, tenggelam di balik tetabuhan irama kendang dan rebana. Andai saya lelaki, saya bisa merebutnya dari Panji Kuda Waneng Pati. Sayangnya, dasar saya tidak bisa menentukan diri saya sendiri, nama saya pun tidak matching dengan kisah ini. Saya dipaksa menjadi Kilisuci dan tidak bisa ikut menentukan jalan cerita. Menjadi seorang pendeta dan pertapa. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang pertapa bila tak turun dari gunung dan menjumpai alam nyata? Tidak ada kuasa. Tidak ada cerita. Tetapi pertapa yang sesungguhnya adalah Dewi Anggraini yang sanggup menyihir cerita menjadi begitu menakjubkan dan mengagumkan. Dialah yang menjadi sumber inspirasi semua orang yang mengenalnya, mendengar ceritanya, menerima mimpinya, melihat sosoknya. Entah oleh karena tubuhnya bersinar bagai kilau cahaya bulan ataukah jiwanya yang menyihir setiap yang ingin tahu jati dirinya.

“Ayo, Nduk…ceritakan. Jangan ragu. Kamu lebih cantik dari Dewi Parwati. Tubuhmu lebih bersinar ketimbang betis Ken Dedes!”

“Ah..Nyi Kilisuci sebetulnya melebih-lebihkan. Saya hanya gadis dusun di pinggir hutan. Saya perempuan biasa, anak orang biasa dan tidak ada teman main kecuali bermain dengan binatang-binatang di tepi hutan ini. Hanya itu. Cara pandang Nyi Kilisuci hanyalah cara melihat dan mengatakan bahwa saya nyentrik, nyleneh. Iya kan? Masak saya seperti ini dibilang malaikat? Yang benar aja dong. Saya hanyalah orang yang mencoba memahami diri, kelebihan dan kekurangan saya. Harus saya akui, saya tidak punya apa-apa. Karena itu saya tidak pernah punya keberanian untuk hidup lebih dari yang saya punya. Apalagi untuk bermimpi. Tidak. Saya mensyukuri apa yang saya punya dan karena itu takdir bagi saya sebetulnya datang dan pergi. Saya hanya menunggu dan tidak pernah menjumpai takdir dengan sendirinya. Saya nrimo, pasrah. Andaikata dalam cerita ini saya diizinkan untuk menambah nama di belakang saya, mungkin nama saya akan menjadi Dewi Anggraini Alhamdulillah. Saya tidak punya keberanian apapun apalagi untuk menentukan takdir orang-orang besar di luar diri saya. Satu-satunya yang saya punya hanyalah keberanian untuk menawarkan diri kepada Nyi Kilisuci untuk tampil malam ini. Hanya itu. Syukurlah, Nyi Kilisuci dalang yang berbaik hati, tidak menghukum saya manakala saya melanggar kekuasaannya. Keberanian saya untuk itu tak lain disokong oleh penderitaan hidup saya sepanjang masa, saudara-saudara sekalian. Penderitaan abadi, dan mustahil saya terbebas dari penderitaan ini. Penderitaan ini asyikk, Bung. Inilah bagi saya suatu cinta. Jadi cintalah yang saya punya. Sebetulnya ini pun berlebihan saudara-saudara sekalian. Mati sakjroning urip, urip sakjroning pati.6) Saya sendiri tidak mengerti mengapa menyuarakan ini, sepertinya ini bukan suara saya sendiri kok. Jadi sudahlah… hidup saya hanya menunggu waktu, menanti peristiwa dan menyongsong matahari. Saya tidak perlu mengatur diri, karena sudah ada yang mengatur. Kalau cinta dan perjodohan saya pun direnggut oleh begundal, saya kira dialah begundal yang tidak beruntung melintas di hidup saya. Sebaliknya, bila yang memburu cinta saya adalah seorang putra raja, mungkin dia sedang keblinger saja. Apa yang diharapkan dari gadis seperti saya? Hanya cinta? Mana ada lelaki zaman sekarang memuja cinta?”

“Jangan merendahkan diri seperti itu, Aini—panggilan Dewi Anggraini,” tutur Nyi Kilisuci. “Pandanganmu seperti itu hanyalah menambah luka perempuan dan menjadikannya objek lelaki. Maraknya poligami tak lain akibat pikiran serupa padamu masih diamini perempuan, Aini. Bagaimana bila itu lantas terjadi padamu? Dewi Anggraini menjadi istri kedua atau istri pertama dari sekian istri suaminya?”

“Lho..Nyi, jangan menitip pesan. Apalagi mendekte saya, dong. Sepenuhnya itu urusan pribadi, dan bukan urusan dalang. Saya sendiri tidak masalah, sepanjang atas dasar jatidiri cinta. Bukankah cinta tidak mengenal upacara, Nyi? Upacara hanyalah sekian potongan waktu dari penderitaan hidup atas nama cinta. Cinta dan upacara tidak ada hubungannya, Nyi. Silakan menggelar upacara sebanyak mungkin, pasti upacara usai juga. Cinta sejati adalah hidup ini, tidak bisa disederhanakan. Lantas lelaki mana yang berani menjamin akan dirinya telah menemukan cinta sejatinya? Saya kira ini pertanyaan penting bagi setiap perempuan. Pertanyaan yang tidak perlu dijawab, akan tetapi urgen dijalani di atas takdir keduanya. Takdir yang ditentukan sosok dalang dan takdir yang ditentukannya sendiri,” sergah tokoh yang mengaku gadis dari tepi hutan jati itu.

“Tapi saya tidak bisa menentukan apapun. Juga atas kamu, Aini,” ujar Nyi Kilisuci.
“Itulah kelebihanmu, sekaligus kekuranganmu. Kau tidak bisa menipu dirimu sendiri, Nyi,” balasnya.

“Kupercayakan kepadamu, kau menepis anggapan kebanyakan orang terhadap perempuan, Aini.”

“Itu masalah kecil Nyi. Sudah tugas saya dalam pertunjukan malam ini. Akan tetapi untuk sementara biarlah ini menjadi rahasia. Saya pun membutuhkan rahasia itu, karena tidak semua penonton cerdas olah pikir dan olah rasa. Mereka akan mengikuti semua jalan cerita sebagaimana kita ucapkan dan jalani. Saya kira rahasia saya pun menjadi bagian dari rahasia Nyi.” Lantas Dewi Anggraini membisikkan sesuatu kepada Nyi Kilisuci. “Sepakat?” Disambut anggukan ritmis Nyi Kilisuci dan genderang gendang.

“Baiklah, sekarang apa yang bisa anda lakukan, Aini.”

“Menunggu. Anda ini bagaimana sih?”

“Menunggu musik? Suluk?”

“Apa saja.”

“Baiklah. Musik. Suluk tidak penting lagi. Hanya pesan orang bijak itu.”

Musik kentrung kembali bertalu. Sudah tidak monoton lagi karena para pemusik sanggup memunculkan gairah bermainnya. Sementara Dewi Anggraini sedikit undur ke belakang, tidak jauh dari posisi saya selaku dalang. Hingar bingar penonton kendati hanya segelintir orang saja setelah ditinggalkan kaum tua, menggairahkan penonton lainnya.

Saya sendiri membayangkan. Mereka telah turut serta menjadi pemain. Bukan hanya penonton ketika rekan-rekan mereka sesama penonton memerankan tokoh-tokoh kisah dalam Cerita Panji ini. Mereka hanya seolah tinggal menunggu giliran saja, menjadi tokoh utama atau tokoh sampingan yang dalam pertunjukkan ini sama-sama pentingnya.

Lantas muncullah Panji Kuda Waneng Pati. Tokoh yang saya benci sekaligus saya puji. Saya sama sekali tak punya pengetahuan tentang satu hal ini. Saya hampir menutup mata sepanjang ia mengisahkan dirinya. Karena itu kisah yang terjadi di bawah ini sama sekali tidak masuk dalam alam pikiran saya. Saya tidak pernah bercinta dengan lelaki, meskipun saya pernah mengenal dan dekat dengannya. Saya tidak pernah mengerti bagaimana lelaki menggunakan haknya untuk menawarkan cinta pada perempuan pujaannya. Karena itu yang terjadi dengan kisah di bawah ini murni atas kehendak mereka berdua. Di luar campur tangan saya. Apalagi untuk mengisahkannya kembali di lain waktu. Satu-satunya yang berdiam di pikiran saya adalah kekaguman pada seorang kuli batu yang menawarkan cinta kepada gadis miskin yang cantiknya luar biasa.

Kisahnya seperti ini:

Sang Panji memutar otak memerah hati—hati seorang kuli bangunan—untuk merebut cinta gadis pujaan semua orang. Meskipun dia menyadari ini kekonyolan, tetapi Sang Panji boleh bermimpi. Jadi mungkin ini hanyalah cerita mimpi Sang Panji di hadapan kekasihnya. Dunia yang jauh tetapi diimaninya karena tiada larangan setiap orang untuk bermimpi. Justru mimpi yang paling kaya tentu adalah mimpi orang miskin. Jikapun ada mimpi yang lebih mahal dari pada itu tentu adalah mimpi orang-orang yang menderita. Mimpi yang disokong penderitaan dari luka hati yang paling dalam.

Betapa sampai di sini panji pun menebus keindahan dirinya, di hadapan Dewi Anggraini.

“Aini, kekasihku. Harus jujur saya akui, saya pun tidak pernah mempercayai ini semua terjadi sungguh di dunia nyata. Sayalah lelaki yang terpilih untuk bercinta denganmu, menyelami kedalaman hatimu dan melabuhkan segala harapan hidup saya. Hidup apapun telah saya tempuh. Perjalanan panjang cinta saya pada hidup sepanjang waktu hingga kini. Tiada yang saya kejar hingga hutan belantara dan pegunungan ini kecuali ilmu pengetahun mendalam dan juga cinta. Dan setelah sekian lama, saya putuskan untuk mendamparkan jiwa saya padamu, Aini. Saya percaya. Saya yakin engkaulah ujung terjauh dari samudera cinta yang saya arungi dengan sampan ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup. Biarpun guru terbaik bagiku adalah jalanan, Aini. Engkaulah jalan paling lempang dan terdekat untuk melunasi kedamaian hati saya menuju keabadian, Aini. Percayalah pada saya. Yakinlah pada saya. Saya telah benar-benar sanggup menyingkap tudung cinta sejatimu, juga tirai kasih hati saya, Aini. Saya pun telah mampu menepis keraguan dalam hati saya sendiri, bagaimana mungkin gadis secantik dan seindah engkau tinggal di hutan belantara yang basah lembab dan berbahaya ini? Engkaulah kiranya bidadari yang memberikan perasaan damai, menumbuhkan persemaian bunga-bunga cinta di dada saya. Bagimu saya bukanlah putera mahkota dalam kisah ini, bagimu saya pun bukan seorang kuli bangunan yang menunggu limpahan kerja dari proyek-proyek ternama. Melainkan bagimu, tentu sayalah seorang hamba yang akan bernaung dalam teduh kedamaian hatimu,” bisiknya dengan mesra.

“Jangan terburu nafsu Mas Panji. Saya hanyalah seorang gadis dusun. Saya hanya bisa masak, manak dan macak seadanya. Apakah tertuju pada gadis seperti itu yang kau namakan cinta sejatimu itu?”

“Sumpah mati, lebih dari itu, Aini, Kekasihku. Saya sudah menyuarakan suara dari hati saya setelah saya melihat dengan mata ketiga saya, mendengar dengan pendengaran batin saya, engkaulah cinta yang sesungguhnya, cinta yang tulus tanpa diembel-embeli kuasa atas dunia. Cinta yang tidak teraniaya, Aini. Percayalah. Tentu engkau pun menunggu lelaki yang membawa cinta sejati seperti itu bukan? Namun demikian sebelumnya maafkanlah, bilamana saya kesulitan untuk menyuarakan kata hati saya ini dengan bahasa biasa. Karena itu kusampaikan dengan puisi seperti ini. Karena memang tidak ada yang bisa saya sampaikan atas nama cinta selain dengan puisi, Aini. Saya pikir, ini pun belumlah cukup buat seorang gadis sesempurna engkau. Segala puisi boleh menawar keindahan bahasa puitik apapun, tetapi kepada cintamu saya sama sekali tidak bisa menawar apa-apa, Aini. Sebab itu apalah arti sepotong puisi seperti ini yang dibuat oleh seorang kuli? Akan tetapi demi cintaku padamu, dengarkanlah, renungkanlah, rasakanlah nikmatnya penderitaan cinta kita ini. Kekasih, telah sempurna kebahagiaanku di atas derita oleh karena menemukan sebutir permata di antara derai-derai cemara yang menari kukuh diterjang taifun. Selamat tinggal perjalanan menembus ruang menyeberang belantara untuk samadi di bawah rindang pohon pengetahuan. Kini telah saya temukan sebutir doa pada seuntai tasbih yang sirna, lalu bangkitlah raga yang linglung dari persembahyangan yang tak sempurna. Kekasihku, telah kutemukan bayang-bayang pengganti bayang tubuhku yang setia mengikuti kemana pun kami berdiam, lari dan sembunyi: engkaulah pilihan dewa. Juga pada saya, atas nama cintanya,” suara lelaki itu mengalun bagai syair lagu.

Lalu mereka berjanji setia untuk tidak terpisahkan biarpun oleh kekejaman ruang dan waktu. Di luar janji itu, tepuk tangan riuh menyambut cinta keduanya. Para penonton sorak-sorai antara percaya dan tidak percaya. Mereka saling bertanya antara mimpi, cerita dan kenyataan kisah cinta Aini dan Panji. Antara tidak mengerti, kurang mengerti dan pura-pura mengerti jalinan asmara keduanya.

Sementara saya, tidak tahu apa-apa. Saya hanya sibuk dengan kenangan saya sendiri tentang cinta itu, yang saya kira tidak juga saya temukan dimana muaranya. Saya hanya yakin memiliki sebutir kecil terselip dalam lipatan ingatan.

“Luar biasa, Kang,” sambut penonton sesama kuli.

“Tidak kusangka anda demikian hebatnya,” celetuk yang lain.

“Anda seorang kuli, tetapi begitu mahir berpuisi. Puisi cinta. Baru kini saya sadari ternyata anda seorang penyair meskipun selama ini tanpa syair.”

“Terimakasih bila anda sekalian para penonton puas. Akan tetapi jujur saja saya tidak mengerti apa yang baru saya lakukan. Saya hanya mengikuti kata hati saya selaku seorang pecinta yang menerima kata-kata indah bagai curahan air hujan.”

“Terus terang sebagai sesama kuli, saya bangga.”

Saya masih tetap diam tepekur. Tidak mengerti. Rasanya pengetahuan saya jauh dari pengetahuan para penonton dalam hal cinta. Hingga seorang penonton yang kritis mengusik saya pun, saya tetap tak bisa berbuat banyak. Saya pikir sebetulnya saya sudah hendak dikudeta sebagai seorang dalang. Namun saya kira tidaklah mengapa, karena saya berpendapat bahwa sebetulnya merekalah dalang sebenarnya dan berhak menentukan dirinya sendiri, pikirannya, perbuatannya juga mimpi-mimpinya.

“Bagaimana Nyi Kilisuci? Masih juga anda sibuk dengan diri anda sendiri? Kiranya anda sudah mendekati saatnya petuah-petuah anda didengar banyak orang.”

Saya masih menggeleng.

Tiba-tiba dari kerumunan penonton mengalirlah suluk dari orang golongan tua yang tetap ngotot bahwa pertunjukkan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut tanpa bimbingan orang orang-orang tua. Suluk yang diikuti oleh munculnya dua orang tua mewakili kelompok mereka.

Tersiraplah darah ayahanda Sang Prabu Jayantaka mengetahui gairah cinta kedua sejoli yang berakhir di pelaminan. Andai tak tertekuk hatinya oleh sang Permaisuri, mungkin amarah akan muntah dan darah berlinangan dimana-mana. Pemahaman getar-getar cinta yang berbeda ditambah prasangka yang subur akibat tiada pengetahuan suci yang menghamba pada ketulusan jalannya jiwa kembara menumbuhsuburkan benih petaka. Sang Prabu Jayawarsya Tunggadewa, raja Kediri, ayahanda Dewi Sekartadji merasa terhina dan mendorong kegiatan mata-mata. Maka dikirimlah sejumlah telik cikal bakal permusuhan yang telah diduga sebelumnya sebagaimana Mpu Baradah yang menumpahkan air suci dari guci di tangannya.

“Saya memang bukan seorang raja dan selamanya tidak akan pernah menjadi raja. Akan tetapi saya seorang ayah. Bagi saya seorang ayah jauh lebih mulia ketimbang seorang raja.”

“Demikian pula saya. Sebagai seorang ayah saya akan membiarkan anak saya menuju kedewasaannya, memilih jalan hidupnya. Sebagai seorang ayah saya hanya minta dihormati oleh anak-anak saya. Saya tahu sebagai seorang ayah tidak semua yang saya percayai dan yakini suatu saat kelak masih akan cukup berguna buat anak-anak saya. Karena itu silakan anak-anak saya memakai tradisi yang kami punya sepanjang masih berguna dan membuang jauh yang sia-sia. Anakku zaman tentu akan barubah. Akan tetapi satu hal yang tidak ingin saya berubah: saya tidak ingin melihat anak-anak saya berperang saling membunuh menaklukkan yang lain. Ini petuah sebagai ayah. Apalagi sebagai ayah saya tidak sampai hati untuk membunuh anak-anak saya sendiri karena saya bukanlah nabi yang ditugaskan untuk itu.”

“Akan tetapi ini politik. Politik berkata lain. Suara raja adalah suara Tuhan. Harus ada yang dikorbankan dalam politik demi tujuan mulianya mempersatukan kembali dua kerajaan ini. Meskipun anak-anak kita sendiri yang kita korbankan. Akan tetapi bila niat baik tidak gayung bersambut, peranglah pilihannya.”

Perang saudara besar bakal terjadi dan tak bisa dihindarkan, sebagaimana dilukiskan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh dalam perang besar antara keluarga Pandawa dan Kurawa dalam Baratayuda. Sebuah muasal kenangan getir bagi Kediri dan Jenggala berarak di depan mata. Sontak ketegangan politik kedua negara memuncak.

“Bagaimana Nyi Kilisuci? Apakah belum juga anda bisa memberikan petuah malam ini, untuk kami?”

“Petuah?”

“Ya.”

“Tidak. Nama saya bukan Kilisuci dan saya bukan pertapa. Satu-satunya yang menyebabkan saya sudi menyandang ini karena dipercaya Pak Jebrak dan saya pernah kuliah di Universitas Airlangga. Saya tidak pernah menolak apapun apalagi tahta dan hak saya yang musti saya terima. Kilisuci itu manusia bijak yang hanya ada dalam cerita—putra Sang Prabu Airlangga dan memilih jadi pertapa, menjadi dewa penolong yang sakti dan gaib,” tepis saya.

Saya hanya ingin katakan kalaupun saya bisa sampaikan semata-mata untuk diri saya sendiri dari suara hati nurani saya sendiri. Saya masih percaya ini. Bahwa cinta akan mengalahkan segalanya kecuali cinta itu sendiri. Ini bukan soal pertunjukkan cinta atau bukan. Tidak ada yang lebih bijak dari cinta itu. Seorang yang bijak mungkin masih menyimpan kemunafikan di dalamnya, sekalipun ia seorang pertapa. Akan tetapi setiap yang menjunjung tinggi cinta biarpun itu orang biasa, lebih agung dari kekuasaan apapun. Apalagi hanya soal politik kenegaraan. Cinta seorang kuli akan menggetarkan sebuah negara yang dibangun kokoh di atas penderitaan rakyatnya.

“Anda sekalian tentu sudah menduga apa yang bakal ditempuh oleh Mas Panji dan Aini yang dimabuk asmara. Keduanya akan bersumpah sehidup semati di atas bangunan cintanya. Demi cintanya diakorbankan segalanya, apalagi hanya seorang kuli. Ada yang tidak setuju?” saya mencoba memancing emosi penonton.

“Tapi dia sudah dijodohkan dengan Sekartaji demi tugas mulia politik kenegaraan,” seseorang mencoba berargumen.

“Ah, prek dengan politik,” langsung saya memotongnya. “Mana mungkin seorang kuli menimbang-nimbang politik? Dan lagi bukan zamannya, Bung, perjodohan seperti itu. Itu hanya ada dalam cerita panji dengan motif kekuasaan politik di balik perjodohan itu. Saya bicara kenyataan dari teropong hati nurani saya setidaknya untuk diri saya sendiri. Pengetahuan yang saya gali dari suara kecil di hati saya sendiri. Saya tidak perlu belajar cinta dari kesaktian ilmu tantra Mpu Baradah yang ternyata juga berujung dengan sekte-sekte di dalamnya.”

Pengakuan pertama dari Nyi Kilisuci langsung mengundang keributan penonton dari golongan tua. Jumlah mereka pun bertambah. Yang semula hanya dua tiga orang, lalu berkelompoklah mereka yang tidak puas dengan Nyi Kilisuci. Mereka memprotes sikap dalang yang tidak lebih mementingkan pribadi. Kesabaran mereka untuk menjadi penonton sudah mencapai titik batas. Mereka mulai timbul keinginan untuk menyampaikan mosi tidak percaya pada dalang. Juga benih-benih untuk mendongkel dalang Nyi Kilisuci tak terbendung.

“Hei…Nyi Kilisuci. Dari tadi anda bicara tentang kenyataan anda sendiri. Sama sekali pertunjukan kentrung ini tidak serius memberi pelajaran pada para penonton.”

“Ini pertunjukan. Bukan kenyataan.”

“Turun!!!”

Permintaan ini disambut hingar bingar teriakan yang sama sejumlah orang yang tidak puas. Beberapa yang tidak sabar langsung naik panggung dan menuturkan kisah sesuai versi mereka.

“Maaf saudara-saudara sekalian. Sejatinya Anggraini hanyalah duri yang tidak jelas muasalnya. Dia hanyalah pengacau garis hidup yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Hidup. Oleh karena itu, seorang Raja yang diberi kuasa Tuhan, Prabu Jayantaka musti melenyapkan gadis ingusan yang tidak tidak beradab itu. Dia musti disingkirkan karena merusak bangun tatanan dua kerajaan yang dengan kemauan mulia hendak dipersatukan. Dengan alasan politik, lantas diperintahkanlah Tumenggung Brajanata untuk mencari sarung baru keris terhunus. Setelah terlebih dahulu mengungsikan Panji ke Pucangan. Tak lain sarung baru itu adalah dada gadis Anggraini.”

Mendengar penuturan pria tak bermutu dan kurang ajar itu darah saya tersirap. Saya emosi karena darah perempuan saya merasa dihinakan. Saya kira ini seringkali terjadi, tetapi karena ini di depan mata, mustahil saya membiarkannya. Emosi saya tidak tertahan karena ini berkait erat dengan kenyataan dan bukan sekadar pertunjukkan yang diagung-agungkan pria tak mau berpikir itu.

“Sebagai perempuan, saya tidak terima dengan sikap anda meremehkan perempuan. Sebagai orang yang mengagungkan pertunjukkan pun anda sangat tidak menghormati dalang. Tidak hanya itu, anda pun telah begitu sombong di hadapan kekuasaan dalang yang lebih tinggi. Sejujurnya perlu saya sampaikan, meski sama-sama perempuan saya justru mendambakan hidup di bawah bayang-bayang cinta sejati Dewi Anggraini. Sama sekali saya tidak menghendaki pribadi Kilisuci. Anggraini, dialah perempuan yang sebetulnya tokoh utama dalam pertunjukan malam ini. Tanpa Anggraini, pertunjukan ini tanpa makna. Tanpa Anggraini malam gelap berkepanjangan karena Anggraini senantiasa memancarkan sinar gairah cinta sepanjang masa yang tiada berkesudahan. Hanya orang-orang yang menerima takdir pengetahuan akan keindahan yang terbuka hatinya menangkap bias sinar cinta dari perempuan Anggraini. Bagi saya, Dewi Anggraini bagai rembulan. Tapi anda sekalian dengan kebodohan yang lestari hanya berusaha menjaring rembulan sambil menusuk-nusuk tubuhnya dengan reranting dahan. Maaf saya kira saya berkata demikian lebih dari semata-mata karena saya seorang perempuan, Tuan-Tuan,” tiba-tiba suara saya seperti air hujan.

“Rembulan tidak akan pernah bersinar tanpa matahari, bukan?”

“Hei..lumayan juga pikiranmu tukang becak.”

“Tapi sebaiknya dalam pertunjukkan ini kita tidak mempertajam masalah keadilan laki-laki dan perempuan. Itu terlalu masuk ke dunia nyata.”

“Yang ingin saya tegaskan,” tutur saya, “Setiap takdir tidaklah musti tak bisa ditawar. Dan itu telah banyak dilakukan oleh gadis Anggraini, perempuan yang miskin, lemah. Akan tetapi dengan jiwa besarnya, ketulusannya, cinta kasihnya ia menawar itu takdirnya hingga di ujung keris Tumenggung Brajanata. Inilah mimpi saya di dunia nyata, saudara-saudara sekalian. Mimpi saya yang tak pernah menghampiri tubuh dan jiwa saya. Oleh karena itu saya pun tak punya keberanian untuk menyampaikan mimpi-mimpi saya ini dalam setiap pertunjukkan ini. Terus terang saya tidak memiliki kekuatan dan kemampuan batin untuk itu, biarpun sebetulnya saya sebagai dalang diberi kuasa. Ini pertarungan hebat dalam jiwa saya antara kenyataan, pertunjukkan dan mimpi saya sendiri. Mohon saudara-saudara sekalian memaklumi. Sesungguhnya saya bisa mempengaruhi saudara-saudara sekalian dengan segala daya pikiran, perasaan, dan hati nurani saya. Bila perlu dengan mengutip ayat-ayat kiriman Tuhan. Akan tetapi sejujurnya saya tidak bisa. Akan tetapi saya kira bila itu terjadi, saya bukanlah dalang yang menjaga amanah dengan baik. Karena sebagai seorang dalang saya pun seorang pribadi yang memburu amanah untuk diri saya sendiri. Saya kira pengalaman batin saya pun hanya untuk diri saya sendiri, tidak untuk diberitakan, dikabarkan apalagi untuk membuat reputasi saya sebagai dalang kian menjulang. Tidak. Sudah menjadi tekad saya untuk menjadi dalang tanpa wayang, penyair tanpa syair, saudara-saudara sekalian.”

Sebagai dalang, yang bisa saya lakukan hanyalah menggelar pertunjukkan ini. Lalu saya menjadi pelayan yang mengajak saudara-saudara sekalian mandi cahaya sinar rembulan dari pertunjukan ini. Siapa diantara kita yang mencium sedekat-dekatnya pada kerendahan hati rembulan, maka niscaya pertunjukkan seperti malam ini akan abadi, dinanti dan tak pernah lekang oleh waktu.

Hmmm….betapa rendah hati sang rembulan meski dirinya tak pernah bersedih karena tak memiliki cahaya itu dengan sendirinya, namun ia iklas membagi kepada siapapun di alam ini. Tak pernah pilih kasih, tidak pernah gelisah sekalipun terpenjara di reranting pepohonan atau kedinginan di danau yang teduh, tak pernah kesepian sekalipun kehadirannya hanya untuk menjadi saksi setiap bencana atau petaka. Kesabarannya mengumpulkan cahaya sepotong demi sepotong sebelum menuju purnama adalah kesabaran yang dianugerahkan padanya di dunia nyata.

Bayangkan andai kata di dunia nyata, seorang panglima tentara lulusan terbaik dan jam terbang tempur yang tinggi bernama Brajanata tiba-tiba dipilih untuk membunuh seorang perawan manis dengan kecantikan luar biasa. Apa yang terjadi?

“Jadikan dia istri kedua. Beres!”

“Tapi suara Tuhan membisikkan dia harus membunuh dan tangan Tuhan menyerahkan sebilah keris untuk disaruhkan pada dadanya.”

“Ya..Tuhan yang ini biadab betul.”

“Lanjutkan.”

Maka sang tentara itu bergelut, bergulat dengan batinnya sendiri sebagai seorang ksatria yang tinggi jam terbangnya di medan kurusetra. Seorang yang kemudian tersudut untuk menaklukkan keragu-raguan dalam dirinya, seorang yang terpilih karena telah menyimak petualangan Batara Krisna terhadap Arjuna yang ragu dalam Bhagawadgita. Inilah sebuah kisah keraguan untuk melenyapkan saudara, orangtua bahkan gurunya.

Kini keraguan itu musti ditaklukkan Brajanata sekalipun harus menghunus seorang wanita, perawan dengan kecantikan luarbiasa. “Jangan engkau berbicara sebagai perempuan! Engkau adalah kesatria Jenggala yang mengenal kehormatan dirinya!” Bukan keragu-raguan itu yang menusuk kalbu, tapi kesanggupannya yang menuntut layu kehormatan dirinya. Betapa Brajanata harus menipu, memaksa diri dari dosa, membunuh, entah atas nama apa. Kehormatan? Tugas negara? Ataukah bukan atas nama itu semua?

Kekalahan pertama Panglima Tentara Nasional Kerajaan itu di hadapan perawan Anggraini adalah saat ia keluarkan jurus akhirnya: membujuk. Dibujuklah Anggraini menyusul kekasih tercintanya, Panji yang sedang gerah ke Muara Kamal. Kita semua tidak bakal tahun dan tiada yang sanggup menyingkap isi pikiran gadis Anggraini dan Panglima Brajanata selama diam dalam perjalanan. Mustahil bisa. Kalaupun bisa tentulah cuma karangan atau dalam pertunjukkan.

Di tengah hutan itulah, kekalahan kedua Temenggung Brajanata, saat melampiaskan niatnya membunuh Anggraini. Dia tak pernah bisa melenyapkan keraguannya untuk membunuh gadis itu. Jelas Brajanata seorang tentara yang desersi karena keraguannya makin menggila saat Anggreini justru ikhlas dibunuh begitu dirinya tahu jadi penghalang perkawinan Panji dengan Sekartaji demi kepentingan kerajaan.

“Bagi saya seorang perempuan, saat seperti itu yang terjadi adalah ketika Panglima Tentara masih tertutup keraguan oleh belas kasihan, dan juga hati dan nyalinya yang luluh lantak, Anggreini cepat menyarungkan sendiri keris itu ke dadanya terucap dengan kata yang teramat menyentuh: Biar kuhapuskan diriku sendiri karena adaku di dunia hanya menambah beban kepada orang lain.”

“Sebagai seorang lelaki, andai saya Brajanata, sudah pasti saya menyaksikan itu semua dengan perasaan hancur. Karena jiwa ksatrianya takluk di depan seorang wanita. Ya, ketabahanku tak ada artinya dibandingkan ketabahan dan kesedihannya dalam meleburkan diri guna kepentingan yang lebih agung.”

“Andai saya seorang Panglima Tentara….”

“Ssstttt….percuma. Tentara belum boleh bersuara….”

Anggraini telah sirna. Bagai angslup di lembah terdalam dan tertahan reranting dahan.
Semenjak itu Panji dalam duka terdalamnya jatuh dalam kemuraman panjang. Ia jadi pemabuk, hilang ingatan dan hidup hanya dalam bayang-bayang matahari.

Takdir lain juga terjadi pada Sekartadji. Ia menyingkir dari kediamannya dan tak pernah punya keberanian untuk menunjukkan muka. Ia sibuk menyembunyikan diri di balik topeng wajahnya manakala tampil di hadapan orang banyak.

Pertunjukkan ini tak pernah selesai sampai di sini.

Tidak pernah ada yang sanggup membunuh Anggraini, apalagi membunuh cintanya. Sebaliknya mereka kian memuja cinta gadis itu. Demikian pula tokoh Panji selalu enggan untuk menjadi gila—meski seharusnya hilang akalnya. Sementara pada Sekartadji kebanyakan malah lebih suka mempertontonkan parasnya, terutama bila bermaksud berbuat kebaikan mottonya pun kini: rame ing pamrih sepi ing gawe.

***

SAYA sendiri tidak pernah benar-benar lulus dari setiap ujian hidup. Saya gagal menemukan jati diri saya sendiri. Saya kandas meraih gelar sarjana dari spesialisasi filologi Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Apalagi saya pun tak bisa memegang amanah menjadi dalang dengan baik. Mungkin karena saya perempuan. Tetapi saya sendiri menyakini tidak ada hubungannya dengan keperempuanan saya.

Yang pasti saya juga kehilangan banyak hal: kesempatan juga kenangan.

Sampai suatu ketika dalam suatu pertunjukkan yang entah mungkin yang terakhir, diantara penonton itu ada sesosok lelaki yang sepertinya pernah saya kenal sebelumnya. Tepatnya dia sama-sama pernah menjadi mahasiswa di Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Bukan saja pernah saya kenal, lebih tepatnya kami pernah punya kenangan, pernah saling jatuh hati hanya tidak pernah terucapkan.

Namanya Panji Kuncoro Hadi. Dia seorang penyair yang semasa mahasiswa menggunakan syair-syairnya untuk memikat gadis-gadis di kampus. Salah satunya syair-syair itulah yang membuat saya terpikat padanya. Syair-syair itu tidak pernah benar-benar pergi dari tubuh dan jiwa saya. Sekalipun pada akhirnya Mas Panji pergi meninggalkan saya.

“Ini tidak adil,” katanya waktu itu. “Sebagai penyair saya tahu betul tentang keadilan dan kini saya sedang dianiaya oleh kedua orangtua saya dengan memaksa menjodohkan saya agar mengawini perempuan dari keluarga kaya. Yang benar saja, hari gini masih dijodoh-jodohin? Saya lelaki, penyair lagi. Ini lebih busuk dari Datuk Maringgih!”

Soal keadilan pula yang menjadi alasan Mas Panji selanjutnya untuk meninggalkan saya. Ia pun menjadi pemuja penderitaan. Ia juga meninggalkan gadis pilihan orangtuanya dan menyingkir dari kehidupan keluarga. Beberapa tahun kemudian, dia pun dikenal dengan kredo penyair tanpa tanah air puisi dengan buku kumpulan puisi masterpiecenya Penyair Tanpa Syair.

Betapa ini sepotong keajaiban, bila suatu malam tiba-tiba Mas Panji ada di antara penonton pertunjukan Kentrung saya. Padahal semasa mahasiswa saya tidak pernah tahu dia menjadi juru bicara pelestari kebudayaan tradisional.

“Semata-mata karena kenangan, Aini,” katanya pada saya yang senantiasa membangkitkan hasrat tarian di hati. “Ada sepenggal syair yang tak bisa kutulis tetapi menyihir saya untuk melangkah kaki di tempat ini, menjumpaimu.”

“Apa kabarmu?”

“Masih seperti dulu: memeram luka dan membalutnya dengan derita.”

“Aku rindu dengan syair-syair cintamu, Mas Panji.”

“Ah, puisi terbaikku hanyalah apa yang menjadi bayangan jiwamu. Aku dan juga syair-syairku senantiasa ada di bawah bayang-bayangmu, Aini. Jadi apalah arti sepotong puisi bagimu, kini?”

Saya tidak bisa menipu diri. Saya menangis mendengar pengakuannya.

“Maafkan aku, Aini. Jalan penderitaanku telah demikian menyeretmu jauh lebih nestapa. Saya kira kau pun tak pernah menemukan cinta itu.”

“Aku menghormatimu, Mas Panji. Cukup bagiku syair-syairmu.”

“Aini, semenjak tak ada lagi kau, lukaku adalah luka kenyataan melampaui luka kenyataan puisi. Tiada kesedihan paling muram di dunia ini selain padaku yang kehilangan syair terbaik dan tak pernah lahir sebagai sajak ini. Karena itu kukejar terus bayanganmu dengan mata batinku yang tak pernah keliru—penderitaan telah cukup mengajariku untuk itu, Aini. Malam ini kulihat bayanganmu terbang dengan sayapnya menuju arah bulan purnama. Semakin membuat mata batinku yakin engkaulah kekasih para dewa. Aini, sungguh aku ingin menjadi matahari bagimu.”

Sebagai perempuan tak ada yang bisa saya lakukan kecuali menangis.

“Aini, maukah kau menjadi pendamping hidupku?”

Sebagai perempuan tak ada yang bisa saya lakukan…

“Menjadi istriku, Aini.”

Sebagai perempuan…

“Bagiku hanya kau yang sanggup memberi kedamaian, ketenangan, keindahan dan kemuliaan. Kami ingin hidup disinari kegemilangan cahayamu bulan,” ungkap Panji menatap dengan sepenuhnya hasrat rindu pada rembulan.

Airmata saya menderas, seperti hujan yang menyejukkan hati. Ada yang bergemuruh seperti guntur memecah di dada saya.

“Ya. Berhentilah mendalang, Aini.”

Ini permintaan serius dari Mas Panji, selain ajakannya untuk memulai perbuatan-perbuatan baik demi kebahagiaan orang banyak dan melupakan setiap kepentingan diri sendiri. Permintaan yang saya kira setali-tiga uang dengan petuah seorang dalang.

“Ah, biarlah andai kekasihku ini menggantikanku sebagai dalang. Tak mengapa,” pikir saya.

Bagi saya tidaklah sulit untuk melepas amanah Pak Jebrak menjadi dalang. Akan tetapi yang sangat sulit saya lepaskan adalah kebiasaan saya untuk mengubah nama-nama orang susuka saya sendiri. Saya tidak peduli dengan nama. Saat demikian yang berkuasa di pikiran saya adalah: apalah arti sebuah nama. Namun di sebalik itu dalam diri saya pun diam-diam tumbuh kasih sayang pada nama-nama itu: aku punya nama, maka aku ada.

Pada detik malam purnama itu dan malam-malam selanjutnya tidak pernah ada yang menyingkap bahwa sayalah sebetulnya gadis yang dijodohkan untuk mendampingi hidup Mas Panji oleh orangtuanya beberapa tahun lalu itu. Tidak pernah ada yang kuasa membuka rahasia ini.

Saya sendiri, biarpun sebagai dalang yang sekarang beralih profesi menjadi pengarang dan menuliskan cerita ini tidak pernah tahu rahasia itu. Yang saya lakukan hanyalah mengganti nama-nama tokoh cerita saya sesuka hati saya.

Sama sekali jauh dari kemampuan saya untuk menyingkap suatu rahasia.[]

Surabaya, 25 Juni 2010

Catatan:

1) Ilmu yang mempelajari kebudayaan manusia terutama dengan menelaah teks-teks sastra kuno atau sumber-sumber tertulis klasik. Menurut catatan Reymond dan Wilson (1968), filologi sudah dipelajari sejak abad ke-3 SM dan sudah berkembang di Iskandariyah, Yunani Kuna. Ilmu yang secara etimologis berarti “cinta kata” (karena berasal dari kata philos yang berarti cinta dan logos yang berarti kata) itu berkembang museum kuil tempat dewi kesenian Dewi Muses dalam mitologi Yunani. Di Museum inilah tempat mula kegiatan pengkajian naskah-naskah klasik yang salah satu tokohnya Erathostenes (295-214 SM) karena banyak memiliki ilmu pengetahuan juga dikenal sebagai ahli sastra. Perpustakaan di museumnya diperkirakan menyimpan 200-490 naskah. Berkat jasanya, teks-teks klasik Yunani Kuno dapat ditemukan dan sampai sekarang dalam keadaan baik. Sementara Universitas-universitas di Indonesia mengembangkan filologi melalui teori-teori dari sarjana-sarjana Belanda.

2) Cerita ini diilhami pengalaman Suripan Sadi Hutomo yang kemudian disebut Dalang Kentrung di hadapan tim penguji doktoralnya di Universitas Indonesia. Suripan, seorang doktor yang dijuluki “Doktor Kentrung, ” tak lain karena perhatiannya yang luas pada tradisi lisan, khususnya kentrung. Disertasinya yang dipertahankan di hadapan penguji Prof. Kuntjaraningrat, Prof. Harsya W. Bachtiar, Prof Sujudi dengan promotor fokloris Prof. Dr. James Danandjaja berjudul Sarahwulan: Cerita Kentrung dari Tuban. Suripan lahir di desa Ngawen, Kec. Ngawen, Blora, 5 Februari 1940 dan setamatnya dari SMA Bag. B di Blora, melanjutkan studinya ke FKIP Universitas Airlangga, Malang, tamat tahun 1968, lalu 1978 –1980 mempelajari filologi di Universitas Leiden, Belanda itu juga mendapat julukan “folkloris humanistis Indonesia pertama” setelah lulus doktoral dari Universitas Indonesia. Dalam laporannya Majalah Tempo, pada 15 Agustus 1987 sebagaimana dikutip Tempo Online, Cerita Kentrung Sarahwulan dibawakan oleh Mbok Rati, Mbok Jimah dan Pak Wadji (Suami Mbok Rati) mengamen di Desa Bate, pelosok 65 km dari Tuban, Jawa Timur. Menurut pengakuan Suripan, dirinya memang tak asing dengan kentrung yang dikenalnya sejak di rumah keluarganya, di Blora. Waktu itu, tutur Suripan, tahun 50-an. Keluarganya yang mitoni, atau memperingati tujuh bulan kehamilan, menampilkan kentrung, untuk hiburan. Alunan kisah Joko Tarub yang disaji seorang dalang kentrung wanita, sangat mengesankan baginya. Kesan itulah yang mengantarnya mendalami kentrung. Menurut catatan Suripan Sadi Hutomo, kentrung tersebar di sepanjang sungai Brantas hingga beberapa daerah lain. Ini sastra lisan yang dibawakan seorang dalang yang terkadang seorang perempuan. Dengan berlagu, sang dalang bercerita, diiringi musik sederhana berupa gendang dan satu rebana yang dimainkan semalam suntuk. Di Blitar, kentrung itu bernama templing atau kempling. Di Kediri, Ponorogo, Kentrung disebut Jemblung. Perbedaan lain di tiap daerah itu lebih karena variasi, gaya penceritaan, gending serta perbendaharaan cerita. Masih menurut Suripan sebagaimana dikutip media tersebut, di Blitar, kelompok dalang Semi, Markam, Mat Mosan hampir selalu menggunakan tembang-tembang Jawa yang populer yang di Tuban sering diharamkan. Dalang Basuni dari Ponorogo, ketika membuka kisah senang pula membaca doa panjang lebar dalam bahasa Arab, suatu hal yang tak ada dalam tradisi kentrung mana pun. Meskipun kentrung itu tradisi lisan alias hafalan, menurut Suripan namun hal itu terkait dengan tradisi tertulis macapatan atau naskah Joharsyah yang diduga berakar dari sastra Arab-Parsi. Karena itu, ragam cerita kentrung memang sulit lepas dari suasana Islam: Nabi, wali, Arab, atau pesantren. Ada pula kisah murwakala alias pencegah bala. Karena itu, tutur Suripan, tak usah heran jika Mbok Rati masih terpikat menabuh gendangnya, walau usianya hampir 70 tahun. Ia mendalang lantaran warisan. Mbah Siman dan Mbok Sukila, orangtuanya, dulu memaksa Rati kecil untuk belajar mengentrung. Tentang cerita yang dihafal, Mbok Rati mengaku hanya menguasai enam saja. Banyak hal yang menyebabkan kesenian ini mati, termasuk diantaranya mitos kentrung sendiri. Konon untuk jadi dalang kentrung, orang itu harus pula keturunan pengentrung. Konon pula, para pewaris kentrung selalu berakhir buta. Kerabunan mata Mbok Rati yang kini sedang menuju proses kebutaan, katanya, adalah gara-gara kentrung. Andai Mbok Rati masih hidup mungkin sekarang dia bersedih, melihat satu-satunya anaknya—karena ia tak memiliki putra lain—kesenian kentrung telah tenggelam di telan zaman. Sesedih syair-syairnya berikut ini: sampun bakdo anggen ngentrung/dulure sing duwe omah sampun bakdo dikentrungi/ngentrung ono babakane/ sepur ono setasion/gerobak ono nepose/perahu kapal ono jangkare… Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo meninggal dunia pada Jumat, 23 Januari 2001.

3) Dalam pengantar naskahnya tersebut, Akhudiat dramawan kelahiran Rogojampi, Banyuwangi, 5 Mei 1946 itu menulis: Suatu malam, ketika umur 7 tahun, di kampung Krajan, Rogojampi, Banyuwangi, saya nonton kentrung konon dari Trenggalek. Sekali itu melihat dan sampai sekarang tak pernah jumpa kentrung. Dalang membacakan kisah Jaka Tarub. Naskah ini salah satu yang memenangkan Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta tahun 1974. Naskahnya yang lain Graffito (1972), Rumah Tak Beratap (1974), Bui (1975), Re (1977), dan kesemuanya memenangkan sayembara penulisan lakon versi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

4) Terjemahannya: Dengan demikian si dalang sungguh merupakan gambaran sejati sang raja. Raja itu wakil sang nabi, sang nabi wakil yang maha agung, bila kita memandang raja atau nabi, kita seolah-olah memandang yang agung. Dinukil dari megatruh, Centini V dalam P. J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, Penerbit Gramedia, 1990: 289

5) Menurut ahli filologi Poerbatjaraka sebagaimana dicatat Sejarawan Prof Aminudin Kasdi, berdasarkan strukturnya Cerita Panji selalu menampilkan empat orang raja bersaudara, saudara tertua menjadi seorang pendeta bernama Kilisuci. Empat kerajaan yang disebut adalah Jenggala atau Kuripan, Daha atau Kedhiri atau Mamenang, Gagelang atau Urawan dan Singasari. Konon kini tempat yang disebut-sebut Biara Pucangan adalah di sekitar komplek Candi Jolotundo di Gunung Penanggungan, Dusun Biting Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Candi Jolotundo merupakan peninggalan Prabu Airlangga dan komplek tersebut juga diyakini sebagai tempat pertapaan Prabu Airlangga. Pada relief tertulis tahun 899 saka atau 977 Masehi. Dari catatan arkeolog asal Cologne, Jerman, yang meraih doktor di Sydney University dengan spesialisasi studi Cerita Panji, penemuan situs Gunung Penanggungan ini bermula dari arkeolog Belanda yang beberapa kali naik gunung tersebut. WF Stutterheim dan A Gall pada 1936 bersama penduduk setempat menemukan puing situs dan arca. Pada 1940-an VR van Romont juga naik dan menemukan punden, candi, pertapaan dan situs-situs yang mencapai jumlah 81 buah. Kekhasan Gunung Penanggungan puncaknya dilingkari 8 bukit. Konon dalam mitos sastra Jawa Kuna, Tantu Panggelaran dikisahkan ada gunung suci Gunung Meru yang dibawa oleh dewa-dewa dari India ke Jawa, karena luarbiasa besar dan jauh perjalanan, ada bagian gunung yang terjatuh di bagian barat Jawa. Sehingga pulau Jawa seimbang dan yang di bagian timur jatuh, puncak gunung dekat Penanggungan sementara badan gunung menjadi Gunung Semeru. Jadi Gunung Penanggungan tak lain adalah bagian atas Gunung Meru yang dianggap suci tersebut.

6) Terjemahan bebasnya: “kematian di dalam hidup dan hidup dalam kematian.”

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae