Selasa, 25 Januari 2011

Kebudayaan dan Kebangsaan

100 Tahun Kebangkitan Nasional
Ignas Kleden
http://nasional.kompas.com/

Ketika kesadaran kebangsaan dicetuskan di Indonesia pada awal abad ke-20, wacana politik berlangsung di atas atau di luar kebudayaan. Dengan istilah sekarang, nasionalisme yang digerakkan oleh para pemimpin pada waktu itu menghindari setiap kemungkinan identity politics (politik identitas). Seluruh rakyat dikerahkan untuk bersatu padu dan seakan harus ”melupakan” buat sementara waktu asal-usulnya, suku bangsanya, dan kelompok budayanya.

Berlainan dengan nasionalisme di Barat yang berkembang dari kesadaran kebudayaan (berdasarkan Blut und Boden, darah dan tanah), nasionalisme Indonesia yang datang bagaikan puting beliung dari negeri-negeri yang jauh, diharap menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan oleh penjajah asing. Nasionalisme Indonesia datang dengan watak suprakultural.

Mohammad Yamin dan Roestam Effendi bolehlah dianggap sebagai penyair modern awal dalam sastra Indonesia Baru yang paling nasionalis. Keduanya berusaha menyanyikan Tanah Air dan kemerdekaan dalam sajak-sajak mereka, sudah pada awal tahun 1930-an, tetapi dengan menumpang metafora-metafora yang serba halus dan romantis, yang tak akan segera mengingatkan pembaca pada hasrat kemerdekaan.

Yamin merindukan tanah airnya, tetapi itu seakan rindu seorang muda remaja untuk pulang kampung ke Sumatera dan Bukit Barisan meskipun pada akhir sebuah sajak keluar juga pemberontakan itu: ”Aduhai diriku sepantun burung/Mata lepas badan terkurung” (sajak ”Sungguhkah?”). Roestam Effendi melukiskan hasrat kemerdekaan dalam perjuangan cinta antara Bujangga dan gadis idamannya, Bebasari, yang berkata kepada kekasihnya: ”Akh untungku putung/Bilakan lepas dari dikurung”. Bujangga dan Bebasari tentulah variasi yang dibuat dari kata bujang dan bebas.

Memang ada berbagai gerakan pemuda yang terhimpun dalam Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, atau Jong Ambon, tetapi jelas itu bukanlah perhimpunan etnis untuk gerakan kebudayaan, melainkan komponen dari suatu gerakan besar nasionalis di kalangan pemuda di seantero negeri. Di kalangan pendidikan Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa, tetapi itu bukanlah pendidikan berasaskan kebudayaan Jawa, melainkan berdasarkan kepercayaan diri seorang nasionalis, yang enggan bahwa pendidikan dijadikan alat kolonial. Di Sumatera, MS Latif mendirikan INS Kayutanam sebagai alternatif terhadap pendidikan kolonial, tetapi asasnya bukanlah kebudayaan Melayu, tetapi kemandirian orang merdeka.

Di kalangan pemikir kebudayaan, S Takdir Alisjahbana mengumumkan penolakannya secara kategoris terhadap semua kebudayaan tradisional sebagai dasar masyarakat baru yang akan merdeka. Kembali ke kebudayaan tradisional adalah identik dengan kembali ke masa pra-Indonesia, yang akan membawa pertentangan etnis yang tak habis-habisnya di antara berbagai kelompok budaya.

Usulnya untuk mengambil kebudayaan Barat sebagai model kebudayaan baru di Indonesia mendapat banyak pertentangan, tetapi sangat dapat dipahami sebagai bagian dari gerakan nasionalis yang bersifat suprakultural. Tidak ada kebudayaan di Indonesia yang melahirkan nasionalisme dan karena itu tidak ada kebudayaan di Indonesia yang dapat menjadi dasar masyarakat baru dalam alam kemerdekaan.

Dalam sejarah politik Indonesia, kebudayaan barulah menjadi referensi kebangsaan pada saat penguasa menghadapi kesulitan karena politik yang mereka jalankan mulai bertentangan dengan kebangsaan dan kemerdekaan. Ketika Soekarno memberlakukan Demokrasi Terpimpin, dia mulai berbicara tentang kebudayaan sebagai kepribadian bangsa. Ketika Soeharto menghapuskan oposisi politik, dia juga rajin berbicara tentang nilai-nilai harmoni dalam kebudayaan.

Sekarang ini otonomi daerah telah membuat setiap provinsi dan kabupaten giat mencari ekspresi dan simbol-simbol kebudayaan lokal sebagai ikon bagi otonomi politiknya. Pejabat dan politisi di tingkat nasional masih juga mengulang dalil bahwa politik nasional haruslah berdasarkan nilai-nilai budaya Indonesia, sementara korupsi berkembang biak dan berjalan mulus tanpa dipersoalkan apakah itu bagian kebudayaan Indonesia atau bukan.

Akan tetapi, dengarlah kesaksian mereka yang benar-benar bekerja membangun kebudayaan: para pendidik, wartawan, ilmuwan, seniman, dan penyair Indonesia. Penyair Taufiq Ismail dalam ”Tirani dan Benteng” mengatakan: ”Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada tapi dalam/kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di/tumpukan jerami selepas menuai padi” (sajak ”Malu (aku) jadi orang Indonesia”).

Kita jangan berpura-pura terhadap sejarah. Kebudayaan tak pernah melahirkan kebangsaan di bumi Nusantara. Kebangsaan adalah ibu yang harus melahirkan anak-anaknya: kebudayaan baru dalam alam kemerdekaan dan memberi mereka tugas sejarah untuk mewujudkan kemerdekaan bagi semua anggota bangsa. Mengutip Abraham Lincoln dalam sebuah pidatonya tahun 1862: ”Fellow citizens, we cannot escape history. No personal significance or insignificance can spare one or another of us…. We shall nobly save, or meanly lose, the last, best hope of earth” (Sesama warga negaraku, kita tak dapat menghindari sejarah. Penting-tidaknya diri kita tak dapat menyelamatkan siapa pun dari antara kita. Kita akan menyelamatkan secara bermartabat, atau kehilangan secara hina, harapan terakhir dan terbaik yang ada di bumi).

Dalam kata-kata Chairil Anwar, kewajiban warga negara dan para pemimpin adalah: ”sekali berarti/sudah itu mati” (sajak ”Diponegoro”).

Ignas Kleden Sosiolog; Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

Dari Sakral Menjadi Banal

Hanibal W. Y. Wijayanta, Syaiful Amin
http://majalah.tempointeraktif.com/

SEJARAH mencatat, tayub muncul pada zaman Kerajaan Kediri, abad ke-11 Masehi. Mulai berkembang di Jawa bagian timur dan tengah, tradisi ini tercatat dalam buku Kakawin Bharata Yudha karya Mpu Sedhah dan Mpu Panuluh pada 1079 Saka atau 1157 Masehi. Pada pupuh XIII bait ke-8 terdapat kisah para Pandawa yang sedang nayub. Prof Dr. R.M. Sutjipta Wirjosuparto (1968) menerjemahkan nayub sebagai “menari-nari dan bergembira dengan riuhnya”.

Namun, Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka dalam Bahasa dan Budaya III (2 – 1954) berpendapat bahwa nayub bukan dari kata “tayub”, melainkan dari “sayub” yang berarti ganda: makanan yang sudah basi dan minuman keras. Keterkaitan tayub dengan minuman keras juga tercatat dalam Kamus Kawi-Jawa susunan C.F. Winter dan R. Ng. Ranggawarsita: “nayub, ngombe, sukan-sukan”, bergembira dengan mereguk minuman keras.

Sedangkan mendiang Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (Tradisi dari Blora, 1996), mengartikannya secara etimologis. Pertama, dari kata tayub, yang dalam tradisi lisan adalah kirata-bahasa dari kalimat ditata cik ben guyub (diatur agar menjadi rukun). Ahli tayub dari Universitas Negeri Surabaya itu menyebut arti kedua, dengan merujuk makna tayub dalam kamus Baoesastra Djawa karya W.J.S. Poerwadarminta, 1939: “kasukan jogedan nganggo dijogedi ing tledek” (bersuka ria menari bersama wanita penghibur).

Halaman 2084 Kamus Jawa Kuno karangan Roorda (1847) menerangkan lebih detail. Buku pusaka Puro Pakualaman itu menduga tayub berasal dari dua akar kata: guyub (rukun, bersatu) dan ma-taya (menari). Ini dianggap cocok dengan sosok arca Sang Hyang Taya ataupun Siwa Nata Raja dalam ajaran Hindu. Syiwa diwujudkan lagi menari dengan satu kakinya diangkat. “Ma-taya dan gu-yub membentuk kata baru, tayub,” kata Tamdaru dari Lembaga Kajian dan Informasi Kebudayaan TeMBI Yogyakarta.

Awalnya, konon, pengamal tayub adalah penganut ajaran Syiwa yang menyembah syakti-nya: Durga Mahisasuramardini. Dalam keyakinannya, mereka berusaha mencapai moksa dan penyatuan diri dengan Tuhan (terminologi Jawa: Manunggaling Kawula Gusti). Untuk mencapainya, mereka menari dengan melibatkan mamsa (daging), matsya (ikan), madya (alkohol), maithuna (persetubuhan), dan mudra (sikap tangan).

Dalam praktek, tayub jelas terkait erat dengan madya dan maithuna. Pengungkapan madya tampak lewat minuman keras ciu yang selalu menyertai tayuban. Sedangkan maithuna melibatkan seks, yang tak terpisahkan dari pergelaran tayub.

Kepercayaan Hindu-Tantrayana itulah yang dengan mudah terserap dengan kultur agraris masyarakat Jawa yang animistis-dinamistis. Sebab, tayub dan sejenisnya menjadi salah satu unsur upacara pengungkapan syukur dan harapan tetap suburnya tanah. Upacara pascapanen ini, menurut budayawan Ahmad Tohari, “Juga berkaitan dengan penghormatan kepada Dewi Sri.”

Tarian agraris ini diduga berasal dari budaya rakyat jelata. “Tayub berasal dari kesenian di luar Negara Gung,” kata Dosen Fisipol Universitas Jenderal Soedirman, Bambang Widodo. Setelah dibawa ke keraton, nama dan gerakan tayub diperhalus. (Gambyong sebenarnya berasal dari nama seorang penari tayub cantik jelita tahun 1880-an.) Tapi, sebagian peneliti menganggap tari gambyong dibawa ke luar keraton, lalu berkembang di tengah rakyat.

Bisa juga keduanya terjadi bersamaan. Kisah tentang Ki Ageng Mangir Wanabaya bisa direnungkan. Menurut Babad Mangir, untuk menumpas pemberontakan pemimpin tanah perdikan itu, Panembahan Senopati, Raja Mataram pertama, mengutus putri sulungnya, Sekar Pambayun, untuk menjadi telik sandi.

Nah, Sekar pun menyaru sebagai penari tayub. Setelah Wanabaya tergoda kecantikan sang penari, ia dengan mudah dibunuh Senopati. Kisah ini sekaligus menunjukkan kehadiran tayub di tengah masyarakat.

Jelas, tayub telah menjadi hiburan populer sejak awal abad ke-19 bagi orang kebanyakan ataupun priayi. Serat Centhini karya Mangkunegoro IV menggambarkannya dalam beberapa bait vulger. Sir Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java (1817) juga mencatatnya. Ledhek tayub pun mulai berperilaku menyerupai pelacur.

Madya dan maithuna, yang semula sakral, kini dipakai mencapai kepuasan sesaat. Dan ajaran Sang Hyang Taya dan Dewi Sri pun pudar.

29 Juni 2003

Bingkai: Cerpen dari Metafora Pemikat Baru

Asarpin*
Lampung Post, 6 April 2008

ADA dua cerpen S.W. Teofani yang pernah terbit di Lampung Post yang menggoda imaji saya saat membacanya: Gapura Pulau Panggung (12-2-2006) dan Gapura Doa (16-3-2008). S.W. Teofani belum begitu dikenal sebagai penulis cerpen, bahkan namanya sangat samar, tapi dua cerpennya ini hemat saya layak dipertimbangkan. Teofani mampu menghadirkan kersik kata-kata tanpa beban dalam berbahasa. Alunan rimanya terasa hening seperti peri kesepian-sejenis vibrasi yang hanya memberi perhentian sejenak untuk kemudian berjalan mengalir pelan dan bening menuju mata air sumber kecemerlangan.

Dua cerpen ini ingin saya lekatkan dalam satu laboratorium pembacaan teks yang hidup dalam menangkap daya kekuatan pengarang dalam mendayakan harkat kata dalam cerita yang memang pendek. Dua cerpen ini pantas disebut “cerita isotopi” dengan semangat kasih sayang yang menyuguhkan teknik penulisan cerita yang piawai dengan kata-kata yang isotopinya sendiri nyaris tandas.

Bahasa dari Duka yang Bisu

Metafora gapura dalam dua cerpen ini mendulang keakraban dan keintiman sang narator yang berusaha mempermainkan gebalau hidup di tengah chaos. Sang pengarang bahkan ingin menghadirkan suspens diam-diam dan sangat sederhana. Dalam cerpen Gapura Doa narator mengakhiri kisahnya semacam kamuflase yang tak mengejutkan karena ini memang bukan puisi: ini “Taqdir” katanya.

Dalam Gapura Pulau Panggung, S.W. Teofani-nama pena Susilowati ini-dengan intim menghayati gapura dengan menampilkan pernik-pernik psikologis antara pulang dan pergi: atau rumah dan pulang dalam cerpen. Cerpen ini mengungkai tematik cinta, takdir, dan maut yang penuh gelora. Pengarang tidak terjebak pada pskologis Freudian atau cinta Platonik, melainkan menghadirkan kisah cinta yang sejenis dengan cinta sufistik, penuh takzim pada keterbatasan dan kesementaraan manusia di hadapan Sang Khalik.

Amanah-amanah yang tampil dalam larik ceritanya memang harus tampil dan tidak mengurangi bobot diksi lirisnya. Doa sang tokoh perempuan dalam Gapura Doa tidak lagi menjelma sebagai doa syariat, melainkan sebuah puisi liris yang posesif. Bahasanya terasa gagu, kalimatnya pendek-pendek, dan tak hendak mengembang walau sering tergoda untuk berkembang. Metafora gapura pun begitu kuat menggoda imaji sang pengarang.

S.W. Teofani menampilkan denting suara penari yang meliuk seperti ranting bergoyang di dahan atau seperti menonton penyair yang menari dan bercerita dengan ringannya, berbaur seketika dengan alunan regium Mozart yang menyihir penyair. Kehadiran kembang dan bunga-bunga dalam cerpennya seakan menyuguhkan cerita fantasi yang mengajak kita masuk ke dalam cerita sembilan waktu model sufi Robiah Al-Adawiyah.

Cerpen Gapura Pulau Panggung dibuka dengan bahasa liris: Engkau datang dalam waktuku. Waktu yang selalu mempersembahkan kisah-kisah baru; entah nyata atau fatamorgana. Kita mengada di dalamnya, bersama dalam mimpi-mimpi yang menjelma dalam kenyataan. Kenyataan yang tersembunyi di balik mimpi-mimpi…Cerpen Gapura Doa dimulai dari: Aku coba melupa, menutup sirip kenangan dengan taburan doa, mengelupas tiap helai tanpa nada; meski tak pernah benar-benar mencapai amnesia. Gapura itu tetap dan selalu ada, di ceruk paling maya, mengada dalam taman jiwa. Gigir ngarai yang pernah kita sisir, memanggil dengan suara paling mesra…

Nuansa main-main masih terbaca kuat dan membuat saya terbetot oleh permainan gema, alunan detonasi dan desir pencarian yang seakan meloncatkan ludah harapan di pucuk klorofil daun damar kaca. Sebuah refleksi yang belum sampai satire tapi masuk dalam rasa hayatan yang kuat. Sayang sekali S.W. Teofani kurang teliti dalam mempermainkan logika kata-kata. Kalimatnya masih kurang pitch control dalam menyanyikan puisi kefanaan dan kehidupan lewat metafora gapura hingga seting ceritanya bunyar dan tidak masuk akal; di negeri salju (Eropa) tak berapa lama muncul harum bunga kopi dan musim durian; dalam keheningan menghayati syair khakhiwang di “tanah kelahiran”, tiba-tiba muncul kata pendingin salju kutub dan gapura itu makin indah. Kalau idiom-idiom yang menunjukkan Lampung dihilangkan justru cerpen Gapura Doa jauh lebih menawan ketimbang dipaksakan karena bisa merusak kejadian yang sedang berlangsung.

Bahasa cerpen Gapura Pulau Panggung dan Gapura Doa hampir saja mendekati bahasa Khalil Gibran-pujangga pemuja cinta dan bayang-bayang. Dalam ketangkasan mengikuti arus ritmik berbahasa, sang pengarang menghadirkan kata-kata sampai mengeluarkan gema dan tak lagi terpaku pada satu rumusan gaya dan tema yang ditetapkan ideologi media, yang masih bersifat dicari-cari.

Dalam mengiringi sebuah pemberangkatan ke negeri salju tempat bersemayam harapan dan anugerah, bahasanya menampilkan refleksi anti-sentimentalisme. Ketika sang tokoh pergi, tak ada lagi pikiran untuk bisa pulang kembali menghirup harum kopi dan laut biru atau “pulau yang damai” karena “kita terlupa tentang kehilangan”…”aku lupa jalan pulang”…”sunyi” dan “Hidup adalah hari ini yang mesti kita nikmati”, bukan kemarin atau yang akan datang.

Walau gapura sudah di depan mata, katakan saja bahwa dawai lara putri Gibran telah membuat bimbang dan memutuskan tidak jadi pulang karena sayap-sayap patah tak sampai menemui-Nya, karena kata terus saja berkisar pada makna takdir penghabisan agar sang putri Gibran bisa sampai di pantai kesadaran imaji diam, atau karena hujan telah menjatuhkan putik bunga dari kuncupnya, atau ranting kayu yang terpelanting miring dari curuknya. Ahai, biarlah logika bertabrakan asal kisah yang dituliskan jadi semerbak wewangian, menjelma rajah peri kesepian yang ingin mendaki langit lazuardi kehidupan.

Susilowati seakan menjelmakan dirinya sebagai putri Gibran yang secara layak menafsirkan Sayap-Sayap Patah, Jiwa-Jiwa Pemberontak, Tuhan-tuhan Bumi hingga Taman Sang Nabi. Warna suram begitu kuat membayang sang monolog perempuan mirip Selma Karamy yang dilukiskan Gibran tatkala jiwanya terampas di hadapan takdir yang mematahkan sayap-sayap cintanya hingga takdirnya pun berakhir. Dua cerpen satu tema ini mampu menghadirkan dialog batin yang mengawali bencana cinta sang putri Gibran yang bimbang, yang dengan tangkas mengekspresikan pulang dan pergi antara negeri salju dan negeri kopi, negeri musim gugur dan negeri musim durian.

Sang perempuan adalah sang tokoh pembebasan yang menantang di hadapan kumbang jantan:” Andai kutinggal semua kenang, kau terlunta dalam sengsara. Bila kususuri jalan gapura, tidakkah ada yang terluka?” Sang perempuan tak ingin dijinakkan dan tunduk pada pesona cinta laki-laki dan memilih melepas semua kenangan walau ia tahu apa akibatnya. Kata-katanya menggemakan larik puisi dari sang pujangga yang terluka tapi tak ingin luka untuk kedua kalinya.

Kenangan yang menyakitkan seakan terayun-ayun di gaba-gaba kenangan oleh hempasan harapan dan kedamaian abadi yang “bukan patah dahan, kekasih”, tapi sebuah keberangkatan yang sunyi menuju kehidupan. Renungan rantau yang tak ingin kembali. Sebuah ikhtiar pada ketakziman yang sementara. Sebuah renungan dalam menerima kehilangan secara lapang. Bukan meratapi atau melantunkan samudera air mata terhadap masa lalu, tapi kekinian yang menghidupkan kisah. Sebuah kematian sekaligus kehidupan. Amorfati, kata Nietzsche.

Membaca cerpen dengan desah gebalau, suatu renungan pribadi sunyi, suatu lirik bening atau bisikan senyap dari makna sepi yang hanya kedengaran bagi pembaca yang berhati besar, yang bersiap untuk paham, memang terasa nikmat. Sugesti puitik dengan klimak penampilan larik doa yang-sambil mengutip frase Dami N. Toda-sebuah rintik bening di tengah danau kehidupan yang hanya terdengar suara “plung” dengan satu kata: “Amin!” Maka larik ini dapat dibandingkan dengan puisi Terry McDonagh ini: suatu saat,/ketika kita tak berani/membicarakan beberapa sajakku/yang setengah jadi-Amin!

Metafora Pemikat Baru

Kadar makna cerpen Susilowati tidak ditentukan hanya dengan ukuran kata atau intrusi bahasa, melainkan metafora atau imajinasi. Metafora merupakan bentuk puitika bagi cerpen yang berfungsi sebagai sebuah kerja penakwilan. Kritik cerpen tidak berhenti pada sebatas ilustrasi dengan memaparkan dan menjelaskan isi sebuah cerita atau malah mencincangnya. Apa yang disebut ilustrasi (washf) kata Adonis (2007), kenyataannya cuma “bersifat gradasi”; suatu penyusunan yang “menggabungkan elemen-elemen sesuatu hingga karakteristiknya tampak melalui sifat-sifat yang sudah dikenal sebelum membacanya”. Ilustrasi sering kali menyusun sesuatu dengan hati-hati dan tekun, lamban, sementara metafora berusaha menangannya secara cepat bagai kilat yang memberikan indikasi bahwa nilai dari suatu cerpen bukanlah ilustratif tapi metaforik.

Metafora mewujud dalam vibrasi yang melirik-mengenalkan sesuatu dengan cara yang berbeda. Apa yang penting bagi Susilowati bukan lagi sesuatu itu sendiri, melainkan hubungan yang ada antara sesuatu dengan sesuatu yang lain-sebuah atribut dan makna sunyi mencari yang muncul dari kontemplasi. Metafora bukan lagi cuma hiasan yang memberikan warna dan dinamika terhadap gaya bahasa, tapi sebuah ketaksaan yang terpola pascaluka yang membedakan inti kemaknaan dalam situasi yang “normal”. Cara S.W. Teofani menyambung cerita cukup unik: “ini kali pertama kau kehilangan seorang sahabat” dan disambung “kita bertemu pada kali yang lain”.

Ketika mengekspresikan kosmos secara metaforis, sang pengarang tak hendak mengubah alam menjadi citra sesuatu, tetapi jagad itu justru bisa berubah menjadi citra itu sendiri. Dari sini tampak bahwa metafora yang ditampilkan agak main-main dan segala kemungkinan dalam menerima kehilangan, sementara cerpenisnya sendiri tidak menerimanya-entah eksplisit maupun implisit.

Di sini metafora memperlihatkan transformasi yang menjadi tinanda dari pengalaman hidup yang kepenuhan. Sang pengarang mampu mengungkai pencarian intrusi sekaligus metafora yang hidup dan memancarkan pesona hingga mata terpana oleh bobot renungan dan bisa jadi kemunculannya hanya sekali dan disusul kelahiran dua kali untuk menepati janji.

Walhasil, inilah cerpen yang menghadirkan cerita metafora pemikat baru atau permajasan yang sublim. Sang pengarang menampilkan suatu kekayaan kemaknaan dan mentransformasikan dunia bawah sadarnya dengan penuh penghayatan untuk kemudian mentransformasikan suatu fiksi menurut citra dan gayanya sendiri.

* Asarpin, Pembaca sastra

Sumber: dijumput dari http://ulunlampung.blogspot.com/2008/04/bingkai-cerpen-dari-metafora-pemikat.html

Kredo Puisi dalam Pencitraan Politisi

Abdul Aziz Rasjid
Minggu Pagi, V Maret 2009.

Semoga masih terkenang di ingatan kita saat beberapa politisi negeri ini mengutip sebuah bait puisi untuk kepentingan mengkampanyekan diri. Salah satunya bait puisi Chairil Anwar “sekali berarti sudah itu mati”, dimanfaatkan seorang politisi untuk mempopulerkan namanya pada masyarakat. Bait puisi itu tak hanya terpampang pada spanduk-spanduk di tepi jalan atau surat kabar harian, kita juga menyaksikan bait puisi itu berkali-kali tampil di layar televisi.

Politisi lainnya lalu ikut serta menggunakan modus yang serupa, mulai dengan mengutip bait puisi dari luar negeri sampai dengan membuat pantun kreasi sendiri. Kemudian beberapa orang menanggapi aksi itu; diantara mereka ada yang menyimpulkan bahwa aksi itu adalah bentuk politisasi puisi, sebagian sebaliknya dengan menyatakan bahwa aksi itu merupakan puitisasi politik, bahkan ada pula yang melakukan interpretasi dengan menggunakan pandangan kritik seni.

Fenomena itu tentu tidak tiba-tiba jatuh dari angkasa, berkembangnya tekhnologi media dan informasi menjadi salah sebuah penyebabnya. Politisi yang membutuhkan diri untuk dikenal dan tampil dalam cakupan sosial yang luas tentu memfungsikan kemajuan itu semaksimal mungkin ?melakukan beberapa eksperimentasi pembentukan citra diri? salah satunya menggunakan bait puisi sebagai daya tarik pembentuk imaji pada massa.

Puisi, ketika diambil alih guna mendongkrak citra diri sebagai pembentuk imaji tentu berpengaruh pula terhadap proses pemberadaban publik. Sebab puisi yang tampil dalam media kampanye itu, yang bersatu padu bersama layar juga gambar berpotensi untuk membentuk keadaan baru pada masyarakat, yaitu masyarakat sebagai subjek yang tidak lagi terkait dengan kenyataan aktual. Namun, secara perlahan-lahan masyarakat terjebak pada tipuan virtual dan identitas kedirian mereka pun terbentuk lewat jejaring komunikasi virtual.

Dari puisi ke pencitraan diri

Jika kita kaitkan gejala ini dengan kata-kata yang pernah diucapkan Pramoedya Ananta Toer di tahun 1952, bahwa kesusastraan digunakan sebagai “senjata utama” untuk mereka yang tak punya kekuasaan, tak punya uang, tak punya bedil dan tak punya Japamantera. Maka, apa yang diucapkan Pramoedya puluhan tahun lalu itu kini menjadi tak berlaku lagi.

Sebab perkembangan kebudayaan masa kini yang sangat terasa dikendalikan oleh kekuatan media dan informasi, pada akhirnya menciptakan posisi masyarakat di antara batas-batas imajiner suatu geografi kultural yang setiap saat bergerak, bergeser dan meluas. Kondisi ini dalam sisi positif memang meluaskan pengguna kesusastraan, namun sebaliknya dapat pula menghadirkan penyempitan dalam sisi yang negatif.

Kesusastraan yang diharapkan dapat menjadi alat untuk membentuk pemberadaban publik, bila dikaitkan pada fenomena yang sedang kita perbincangkan ?politisi dan puisi? rentan untuk mengalami penyempitan fungsi, karena ketika sastra hanya diperankan sebagai penguat citra kedirian segelintir orang untuk mengejar kursi kekuasaan, sebenarnya hanya menjadikan sastra serupa merk dagang.

Apalagi puisi dalam fenomena ini tak lagi berdiri dalam keutuhan. Tapi sepenggal bait yang dikemas lalu dicampur adukkan dengan gambar, program, visi dan misi. Puisi menjadi semacam korespondensi untuk mendongkrak derajat pada masyarakat sehingga menghadirkan penandaan identitas ?pembawa kemakmuran dan pemberadaban.

Dalam kasus ini, Jaques Lacan benar, bahwa bahasa yang berpotensi untuk menghadirkan gambaran akan kedirian seseorang berpeluang untuk melahirkan sebuah bentuk citraan imajiner. Namun, citraan itu tak lebih hanya bermuatan hasrat narsisitik yang sebenarnya berupa identitas yang ilusi.

Sebab puisi yang difungsikan dalam pola seperti itu, tak lagi mengambil jarak atau melakukan transedensi secara sadar dari jebakan sosial dan berbagai masalah budaya. Tetapi kesusastraan ?secara sadar? di tangan politisi dijadikan alat untuk membentuk jebakan sosial karena difungsikan untuk mewujudkan kepentingan segelintir orang. Dan, dalam setiap jebakan yang tidak boleh dilupakan selalu ada kata ”bahaya” yang turut serta.

Pembelotan kenyataan aktual

Kembali pada bait puisi Chairil Anwar itu, kita setidaknya mendapati sebuah kredo puisi. Semacam prinsip yang juga pernah dipuisikan oleh Wiji Thukul, ”Hanya ada satu kata: Lawan!”. Dalam bait itu terpendam makna dari sebuah kenyataan aktual pada suatu masa, juga sebentuk laku sebagai oposisi binernya. Dimana Chairil mendapatkannya ketika ia meletakkan kemerdekaan lebih tingi dari kehidupan yang berada di tengah kuasa kolonial, sedang Wiji Thukul mendapatkannya ketika ia secara aktif memperjuangkan demokrasi di tengah kekuasaan yang represif dan otoriter pada masa orde baru.

Tapi, kredo puisi dalam kemasan politisi telah mengalami pergeseran dari kenyataan aktualnya. Dimana kenyataan aktual telah dibelotkan menjadi kepentingan individual, dan proses pembelotan itu dijalankan secara sistematis ?teks yang pada mulanya difungsikan untuk memobilisasi kesadaran massa digubah menjadi mobilisasi pencitraan kekuasaan? sampai akhirnya dikemas dalam jalinan virtual semenarik mungkin.

Kita sama tahu, pembelotan itu memang tak langsung bersangkut dengan kehendak manusia, tetapi buah dari sistem kekuasaan yang otoriter. Dimana berbagai fenomena telah menunjukkan pada kita: tak jarang politisi itu setelah berhasil menjadi fungsionaris Negara, seringkali menjadi tunduk bahkan takluk untuk melakukan apa saja yang diperintahkan oleh sistem, walaupun perintah itu termasuk kejahatan.

Itulah banalitas kejahatan dalam kebudayaan virtual, sebuah kenyataan aktual yang melanda negeri ini. Dan kredo puisi dikemas dalam bentuk serupa apapun oleh siapapun, tetap menjalani takdirnya sebagai penentang yang abadi, sebab pemberontakan manusia lapar tak dapat ditindas/ aku menentang paham, doktrin, ideologi perongrong keutuhan dan keagungan manusia (M Fadjroel Rachman, “Hotel Salak, 1964-1966”).

***

Dimuat di Tabloid Minggu Pagi No 52 Th 61 Minggu V, Maret 2009. Di siar ulang dalam catatan facebook 26 Oktober 2009.

Membaca Peristiwa dalam Pesona Sastra

Judul buku : Syair Lampung Karam: Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883
Penulis : Suryadi
Editor : Yurnaldi
Penerbit : Komunitas Penggiat Sastra Padang (KPSP)
Cetakan : II, Januari 2010
Tebal : xiii + 206 halaman
Peresensi : S.W. Teofani*
http://www.lampungpost.com/

MEMBACA peristiwa melalui berita adalah hal biasa. Tapi, menyimak kejadian yang tertuang dalam syair menjadi kenikmatan tak terkira. Apalagi peristiwa yang disajikan sebuah kejadian kemanusiaan mahadahsyat yang menggegerkan jagat. Dikemas dalam bait-bait kuartet dengan irama yang teratur dan penghayatan dalam, Syair Lampung Karam mampu membuat sisi kemanusiaan kita terkesima.

Sebagai orang yang menyaksikan langsung kejadian meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883, Muhammad Saleh, penggubah Syair Lampung Karam, mampu menggambarkan kengerian kejadian itu dari awal hingga akhir. Bukan hanya rangkaian peristiwa ke kejadian berikutnya, melainkan hal-hal kecil sampai sesuatu yang penting pada peristiwa itu mampu diungkapkannya dengan lugas tanpa meninggalkan nilai estetika karya sastra.

Diungkapkan dalam 375 bait sajak empat seuntai, dengan rima AA-AA, menyuguhkan kenikmatan tersendiri bagi pembaca. Selain kenikmatan membaca, kita juga akan mendapati kedahsyatan dan penggambaran kengerian sempurna pada pesan yang disampaikan. Simak saja syair pada bait ke 38-40, berikut:

Di dalam hal demikian peri
Berbunyi meriam tiga kali
Kerasnya itu tak terperi
Bertambah gentar seisi negeri
Negeri sangat ketakutan
Keras bunyinya tiada tertahan
Turunlah angin sertanya hujan
Mengadang mata umat sekalian
Banyaklah lari membawa hartanya
Di dalam perahu sampan koleknya
Dipukul gelombang hilang dianya
Harta perahu habis semuanya

Syair ini ditulis tiga bulan setelah meletusnya Gunung Krakatau. Secara detail menggambarkan waktu kejadian, kedahsyatan letusannya, tragedi kemanusiaan yang menyertaian, hingga kenakalan manusia yang mengambil kesempatan pada masa-masa sulit itu. Syair yang digubah 127 tahun lalu itu ditulis dengan aksara Arab-Melayu atau yang biasa disebut aksara Jawi, merupakan satu-satunya bukti tertulis kesaksian penduduk pribumi pada pristiwa meletusnya Gunung Krakatau.

Syair ini bisa menjadi saksi sejarah yang tidak diragukan keautentikannya karena ditulis oleh orang yang menyaksikan peristiwa itu, sekaligus penduduk pribumi yang mengalami musibah besar ini. Membaca syair-syair ini laksana mendengar cerita langsung dari yang mengalaminya sehingga kita tidak berjarak. Selain itu syair ini mengingatkan kearifan lokal dari penduduk pribumi yang selalu mengaitkan kejadian semesta dengan kekuasaan Allah dan harapan keinsyafan manusia. Bukan data-data kering yang mengagungkan akal pikir tapi menjauhkan manusia pada Khaliknya. Sebagai mana tertuang pada syair 128–131:

Orang banyak nyatalah tentu
Bilangan lebih dari seribu
Mati sekalian orangnya itu
Ditimpa lumpur, api, dan abu.
Khabarnya tuan di pulau ini
Lebih dua hela tebalnya sini
Alangkah sakit mahluk kherani
Sedikit hidup banyak yang fani
Kata orang empunya peri
Kayu dan rumah ilang sekali
Pulaunya licin tiadalah ghari
Sudah taqdir Ilahi Roby
Khabar ini sahlah nyata
Bukan hamba membuat dusta
Malik al Rahman empunya perintah
Hamba mendengar lemah anggota

Kita yang hidup di zaman bahasa alay mungkin tak familiar lagi dengan naskah kuno itu. Tapi bukan berarti tidak bisa membaca data klasik tersebut. Dari usaha Suryadi, seorang filolog yang kini menjadi pengajar dan peneliti di Universitas Leiden, kita bisa menyimaknya dalam buku Syair Lampung Karam: Dahsyatnya Letusan Kratau 1883.

Selama dua tahun Suryadi mengadakan penelitian secara intensif pada dokumen klasik yang terpisah di enam negara, yaitu Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia. Selama dua tahun meneliti, Suryadi menemukan syair ini sebagai satu-satunya kesaksian pribumi dari peristiwa meletusnya Gunung Krakatau. Dengan gigih Suryadi menghimpun syair-syair yang terberai tersebut, kemudian mengalihaksarakan dan menyusunnya dalam sebuah buku.

Dengan kerja keras Suryadi kita bisa dengan mudah mendapatkan khazanah langka itu di toko-toko buku. Dalam buku ini, Suryadi bukan hanya mengalih aksarakan Syair Lampung Karam, melainkan memberi gambaran juga tentang kajian naskah yang tertuang pada bagian satu. Sedangkan bagian dua buku ini memuat secara utuh naskah Syair Lampung Karam. Pada bagian ketiga, Suryadi menyertakan gambar naskah asli, foto-foto atau sketsa-sketsa, dan data-data lain yang menceritakan kedahsyatan peristiwa meletusnya Gunung Krakatau.

Buku setebal 206 halaman ini sarat dengan data-data yang bisa menguatkan data lain tentang peristiwa Krakatau di masa lampau. Tiada gading yang tak retak, begitu pun dalam buku yang dieditori Yurnaldi ini. Kita akan mendapati cita sastra yang imbang jika pada bagian lain selain isi Syair Lampung Karam ditulis dengan bahasa dan pendekatan yang lebih nyastra. Dalam buku ini mempersembahkan karya sastra klasik, tapi disajikan dengan serius. Untuk sebuah kajian, mungkin sah-sah saja.

Akhirnya, bagi Anda yang ingin tahu kepiawaian penduduk pribumi menatah syair duka Ibu Pertiwi, sekaligus kegigihan anak negeri menjaga khazanah bangsanya, buku ini sangat layak untuk dibaca.

*) Penyuka sastra dan sejarah, tinggal di Lampung.

Ziarah ke Negeri Kata-kata

Kenedi Nurhan
http://oase.kompas.com/

Pada abad ke-19, Pulau Penyengat yang saat ini berada di Provinsi Kepulauan Riau dikenal juga dengan sebutan taman para penulis (bustan al katibin). Di pulau kecil inilah Raja Ali Haji melahirkan karya-karya besarnya, termasuk Gurindam Dua Belas yang sangat populer itu.

Penyair-esais Afrizal Malna tampak tertegun ketika muncul di ruang diskusi. Antara percaya dan tidak, antara berseloroh dan serius, Afrizal lalu berucap dalam nada tanya: ”Ini pertemuan sastrawan atau pengajian majelis taklim?”

Saat itu ruang diskusi memang didominasi ibu-ibu, yang belakangan diketahui adalah guru SMP dan SMA di Kota Tanjung Pinang dan sekitarnya. Mereka mengisi lebih separuh tempat duduk di ruang seminar bertajuk ”Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman” tersebut. Sementara di deretan agak lebih ke depan para mahasiswa setempat duduk berderet.

Sebaliknya, sebagian besar peserta Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III/2010 yang datang dari berbagai kota di Tanah Air malah berada di luar ruangan, terlibat ”diskusi” ringan dalam kelompok-kelompok kecil. Pemandangan ini berlangsung sepanjang pelaksanaan seminar selama dua hari tersebut. Dalam tiap sesi tanya jawab, perbincangan tidak lagi terfokus pada tema besar yang diusung TSI III/2010, tapi lari ke hal-hal yang bersifat praktis dan lebih untuk kepentingan proses pembelajaran sastra di sekolah.

Bahkan pada sesi tentang ”Kemelayuan dan Keindonesiaan: Perihal Keragaman Akar Sastrawan”, setelah paparan makalah oleh pembicara, forum cenderung hanya jadi semacam ruang keluh kesah peserta tentang mengapa Melayu ditinggalkan dalam proses ”menjadi” Indonesia. Seorang perempuan pemantun dari satu pulau kecil di dekat Batam yang ikut seminar bahkan memanfaatkan ruang diskusi untuk memamerkan kepiawaiannya dalam berpantun.

Akibatnya, apa dan bagaimana potret sesungguhnya perkembangan sastra Indonesia mutakhir tidak jadi bahan utama perbincangan. Pokok persoalan yang melatari semangat diadakan pertemuan kali ini, yakni untuk melihat anatomi sastra Indonesia mutakhir berikut berbagai fenomena yang melingkupinya, malah terpinggirkan.

Gagasan menarik terkait topik-topik yang didiskusikan, yang dengan jeli dan bernas didedahkan oleh para pemakalah maupun penyanggah, akhirnya hanya berhenti pada pertukaran wacana di atas panggung. Begitu sampai pada sesi diskusi yang melibatkan peserta, fokus persoalan kerap buyar karena pemakalah dan penyanggah harus meladeni pertanyaan-pertanyaan tidak substansial, apalagi menukik ke akar persoalan yang didiskusikan.

Namun, masalah sesungguhnya bukan semata karena peserta seminar didominasi para guru, yang sangat boleh jadi kurang mengikuti perkembangan sastra Indonesia mutakhir sebagai tema sentral diskusi. Kalangan sastrawan peserta TSI III/2010 pun sebagian besar tidak menunjukkan antusiasme untuk terlibat dalam diskusi formal tersebut.

Saat acara berlangsung, banyak di antara mereka hanya duduk-duduk di restoran dan lobi hotel di lantai dasar, sebagian lainnya asyik bersama teman sejawat ngobrol di luar ruang diskusi. Padahal, ruang pertukaran gagasan dan pengalaman tentang sastra Indonesia mutakhir yang dikemas dalam bentuk seminar merupakan agenda inti dalam rangkaian acara TSI III/2010.

Alhasil, sulit menghapus kesan bahwa hajatan semacam ini dimanfaatkan oleh sebagian sastrawan lebih untuk kepentingan ”temu kangen” antarsesama mereka. Gagasan besar yang diusung dalam pertemuan ini, yang dengan susah payah dipersiapkan oleh tim kurator dalam diskusi dan rapat- rapat kecil mereka di Tanjung Pinang dan Yogyakarta jauh sebelum TSI III/2010 digelar, akhirnya hanya dimanfaatkan oleh para pemakalah dan penyanggah lewat kertas kerja yang dikirimkan ke panitia, tanpa pertukaran gagasan dalam ranah diskusi.

Pokok-pokok pikiran mereka memang dipaparkan di ruang seminar. Akan tetapi, karena sedikit direspons dalam sesi diskusi, hasil telaah berikut pandangan para pembicara terkait apa dan bagaimana perkembangan sastra Indonesia mutakhir (dalam kritik) tidak cukup teruji alias berhenti sebagai wacana di atas kertas.

Politik sastra

Secara umum, ada beberapa gagasan dan persoalan yang diangkat dalam TSI III/2010. Memang tidak ada sesuatu yang benar-benar baru. Namun, paling tidak butir-butir persoalan yang mengemuka lewat kertas kerja para pembicara harus diakui cukup memberikan rangsangan untuk meneroka lebih dalam apa yang dirumuskan panitia sebagai sastra Indonesia mutakhir.

Selain gambaran besar mengenai sastra Indonesia mutakhir terkait persoalan kritik dan keragamannya, juga dibahas isu menyangkut keberadaan komunitas dan media dari sudut pandang keragaman ideologi dan ekspresi sastrawan sebagai salah satu fenomena yang ada di balik perkembangan sastra Indonesia mutakhir. Persoalan kemelayuan dan keindonesiaan berikut sejauh mana keragaman akar sastrawan berkarya, serta bagaimana situasi terkini proses penjelajahan dan pendalaman karya sastra Indonesia mutakhir di tangan para kritikus, disoroti lewat uraian deskriptif yang cukup memadai sebagai bahan awal untuk perbincangan lebih lanjut.

Bagaimanapun, menyimak telaah dan pemikiran mereka, khalayak sastra Indonesia diingatkan kembali bahwa ada yang tidak beres dalam perkembangan sastra Indonesia. Karya-karya memang terus lahir, penulis-penulis baru bertumbuh, kegiatan penerbitan juga bertambah sumbur, dan aktivitas kesastraan di berbagai pelosok negeri masih terus bermunculan.

Akan tetapi, di balik itu semua, iklim yang memayunginya dinilai masih tidak sehat. Kondisi ini terjadi disebabkan banyak faktor. Salah satunya diyakini karena kehidupan sastra Indonesia mutakhir tidak diimbangi kehidupan kritik yang memadai.

”Sastra Indonesia mutakhir tumbuh nyaris tanpa kritik,” begitu tesis yang dimunculkan tim kurator TSI III/2010 terkait alasan mengapa tema ini penting jadi bahan perbincangan.

”Mendung krisis kritik sastra masih dirasakan pekat merundung ranah kesusastraan kita,” timpal Arif Bagus Prasetyo, penulis dan kurator yang mencoba menggeluti dunia kritik sastra independen. ”Saya termasuk orang yang sejak lama ikut menuding kehidupan sastra di Indonesia tidak sehat karena tidak diimbangi oleh kehidupan kritik,” kata sastrawan Putu Wijaya menambahkan.

Akibat ketiadaan kritik sastra yang mumpuni, bukan sekadar kritik yang dibangga-banggakan kalangan akademisi dengan seperangkat teori analisis yang justru dinilai kerap mengerdilkan akal sehat (atau meminjam istilah Budi Darma hanyalah artefak kering, kurang darah, kurang daging, dan kurang semangat hidup) itu, dunia sastra pun jadi korban.

Namun, ketiadaan kritik sastra yang representatif hanya salah satu penyebab. Perseteruan antarberbagai komunitas sastra yang memiliki ideologi masing-masing, serta peran media yang dituding kerap berpihak, juga dinilai ikut mempersempit ruang gerak sastra Indonesia.

Bahkan dalam pandangan Katrin Bandel, pengamat sastra Indonesia asal Jerman yang kini bermukim di Yogyakarta, dunia sastra Indonesia saat ini tidak bebas dari pergulatan kekuasaan. ”Dunia sastra Indonesia penuh dengan permainan politik sastra,” ujarnya.

Katrin Bandel lalu mencontohkan keberadaan satu komunitas sastra di Jakarta yang memiliki pengaruh cukup besar dalam jagat kesusastraan Indonesia mutakhir. Sayangnya, menurut Katrin, pengaruh itu bersifat negatif dan menimbulkan ketidakadilan.

Lebih celaka lagi, politik sastra tersebut—disadari atau tidak—telah bersinggungan dengan dunia akademis. Dalam konteks ini, keterkaitan akademisi antara lain terjadi lewat ”peran” mereka dalam mempromosikan sebuah karya sastra, semisal melegitimasi terpilihnya karya sastra tertentu dalam sebuah lomba. Di samping itu, pilihan seorang akademisi untuk membahas karya tertentu dan tidak mengacuhkan karya lain beserta penilaian terhadap karya-karya yang dibahas tidaklah bebas nilai, tapi bersifat politis dan dipengaruhi oleh pertarungan politik sastra yang sedang berlangsung.

”Menurut pandangan saya, saat ini kondisi wacana seputar sastra Indonesia (pembahasan dan kritik sastra) cukup memprihatinkan. Kritik sastra sebagai kerja intelektual yang serius, berani dan bertanggung jawab, masih sangat langka. Sebagai akibatnya, pembahasan dan telaah sastra yang pada dasarnya tidak layak disebut kritik sastra yang bermutu tetap memiliki pengaruh yang cukup besar,” kata Katrin Bandel.

Begitu memprihatinkankah situasi yang melingkupi dunia sastra Indonesia saat ini? Akankah semua keprihatinan itu hanya sebatas kata-kata, lalu dibalas argumentasi bersifat pengiyaan ataupun penidakan juga dengan kata-kata, tanpa ada yang mau menjawabnya dengan tindakan yang juga memanfaatkan kekuatan kata-kata?

Jika begitu, lantas di mana kekuatan kata sebagai sumber energi kehidupan bagi mereka yang terlibat dalam dunia sastra? Ataukah dunia sastra pun sudah terkontaminasi perilaku elite politik pemangku negeri ini yang memang lebih suka bermain dengan kata-kata?

Sajak-Sajak Nurel Javissyarqi

http://pustakapujangga.com/2011/01/poetry-of-nurel-javissyarqi-6/
[PERCAKAPAN PANTAI]

Kerutan dahi ke jalan sunyi
menyusuri anakan sungai,
membisikkan suara-suara
ke telinga kalem nan tegar,
menuruni lembah-lembah hati
melonjaki sakit berseri-serasi.

Saat tersandung batu atau
ranting patah kemarau lalu,
hendak cita menuju samudra
menemui mata air nasibmu;
kau tinggalkan pedalaman
berkelana semata pelangi.

Ada suara-suara panggilan
bergaung tidak dihiraukan
walau memecah hening
menimpa butiran pasir;
bekunya kalbu di udara
bercampuran gemintang.

Malam meleburkan jiwa-raga
sejumlah dunia mengucapkan,
terhempas ke ceruk terpejam
sunyi nan tenggelam;
kereta kencana ditarik taupan
menuju negeri-negeri kegaiban.

Melepaskan beban tubuh berulang
memutari ketinggian,
awan-gemawan terlelap kemabukan
diayunnya kelembutan,
sehelai sampur pengikat kenangan
diusapnya kesaksian,
sederai gayuhan gelombang
membasuh wajah penantian.



[SERAUT BAYANG LUKISAN]

Kupu-kupu ke puncak biru
bila tengah malam tiba
kerlip kunang-kunang,
jikalau lelah beterbangan
sayap cahayanya kan padam.

Mata penjajah berkedipan pandang
buah bergelantung di pinggiran jalan
menanjaki udara tawarkan kenangan,
bertiduran melamun awan menggulung
melipat pucuk pinus sedingin pebukitan.

Barisan bangau merapatkan kesedihan ditinggalkan musim
kabut memanggil diajak menuruni lembah ngarai mata air
gemerincing melonjaki batu-batu mengaliri petak sawah,
merasuk persendian jiwa karang lepas disapu gelombang
bunga-bunga terhanyut berlayar terhempas pada pantai.

Keringat menguap memanggang pundak,
suara tersuling membumbung ke angkasa
diikuti pusaran angin ke pegunungan badai
menitipkan kabut perawan ke pucuk-pucuk.

Hawa malam mengelus kulit tipis gemetaran,
bara percakapan api di relung gelap berulang
di sebelah senyuman terkumpul tali keraguan.

Membenamkan dada bulan
bintang berdegup meriap
hilang kuas bebulu kuda
seraut bayang di lukisan.



[PENYAIR TAK DIKENAL]

Sejauh padang-padang sepi
desiran bayu titian hari hampa.

Pada perburuan debur air mata,
debu tubuh takdir yang terbelah.

Bayangan ruh membuncah beku
sepulang gerimis deras membatu.

Jiwa tersuruk perkelahian kekal
harumkan asap dupa kata-kata.

Mata ajal melesat. Mencapai
guguran daun-daun kaki bukit.

Menebah pekuburan besi baja
menyobek duka lara sejarah.

Kertas-kertas membisu
malam hujan abu-abu.

Muka memar dihajar waktu
sehalus sum-sum ragu-ragu.



[NAFAS KASIH]

Kepadamu nafas-nafasku menyatu
debur ombak menggulung nadimu.

Gemuruh dikoyak kalbu cemburu
menelisik dalam ceruk rahasia
menapaki janji mencipta rindu.

Senyanyian abadi kaki-kaki kembara
menyapa duri-duri kaktus liar-meliar
; kerikil cadas wetan halangi ingatan.

Sejauh bayu mekarkan bunga tulus
menanjaki hari kesungguhan batu
dibopongnya ke pelaminan kabut.

Adakah keraguanmu terkumpul?
Cepatlah, pantai memanggilmu.

Rindu cemburu bertalu-talu
menaiki tangga awan kelabu.

Menghujani kota bumi pulaumu
fahami lamunan segenap waktu;
sang surya taburkan cahaya rasa.

Duhai kasih, kecup kalbuku di sebrang
tuntun jalan tempuh menyatukan restu.

Seair hangat pegunungan kapur
membasahi rambutmu tergerai.

Di malam-malam tak berujung
kepada setingkap letih jemarimu;
pergumulan kertas, tinta hitammu.



[NAFAS PANJANG PENGELANA]

Kala ribuan embun mencipta pagi
kupunguti kata-kata tanpa wujud.

Sebening kalbu tebarkan kalimah
mewangi hidupi nafasmu-nafasku
dalam kisah panjang dunia kelana.

Berbaca kitab airmata sampai muara
mengajak ke ujung tlatah peraduan.

Lautanmu serupa langitku membiru
dan burung-burung camar bercanda
melewati gemawan batas kenangan.

Seair kesucian gemerincing abadi
melafalkan mantra di dedaun jati
diterpa bayu malam para petapa.

Adakah yang datang kepadamu
membawa segenggam cahaya?

Hanya sakit demam dekati maut
aku mencoba ulang menulis sajak
lantas lenyap bertarian mata pena.

Kepakkan masa telusuri rongga dada
berkeringat selubungi jantung angin
kumpulkan reranting tebarkan daun.

Di setiap hembus berpeluk rintian
menyisiri anak-anakan rambutmu.

Saat sangkala menikam petang
sesulur hutan rimba raya agung
sehitam tinta nyanyikan kalam.



[DI UJUNG PERPISAHAN]

Awan berbondong menutupi bayanganmu
hasrat mengendap mencuri lewat jendela
: hujan mengaliri riuh ombak sungai jiwa.

Melewati keletihan lama menggerus masa
selembut aroma kohwa di ruang terpencil
dihuni malam menyibak sunyi daun ganjil.

Jikalau siang terbakar langit bara pebukitan
batuan api menyekutui badai digulung angin
pada ketinggian ruh memanjat dada cahaya.

Memandangi senjakala di akhir pelabuhan
pohonan menarikan bayu menanti petang,
pulang membelakangi bulan ditunggu rindu.

Oh helaian masa harapan melangkah
berdentingan memusari mata pena,
ke tebing-tebing cakrawala kecewa.

Senin, 10 Januari 2011

Perempuan Panggilan

Evi Idawati
http://www.suarakarya-online.com/

Malam menusuk. Sunyi menggelayut. Titik cahaya dari gurun awan memanggil, mendesah dan menggigil. Mendengar suara dari hati yang menekuk lidah. Yang selalu berdetak dengan satu kata. Air yang mengalir dari ujung mata, persembahan bagi kedamaian dan gairah untuk mencintainya. Seperti rasa nyaman perempuan dalam pelukan suami setelah bisa rindu menggigit tulangnya. Seakan bayi yang lelap dalam buaian bunda. Perasaan itulah yang selalu membuatku berputar dan berputar. Aku terbang! Membelah langit! Menyusur malam! Membelai bulan!

Maka, jika aku menggulung sajadah sekarang, sayap yang aku punya akan terbakar. Menghentikan dikirku padanya, tak! Aku mencintainya, sama beratnya dengan mencintai mimpi yang aku bangun dari masakecilku. Tapi jantung yang terpompa sekian lama, merubah arah. Aku terpaku. Ngilu.

“Mbak, sampeyan cantik sekali. Eksotik. Mau saya kenalkan dengan majikan saya. Bule. Dia sedang mencari perempuan untuk dijadikan istri-istrian selama tinggal di sini. Pasti anak-anak sampeyan akan cantik dan bagus-bagus. Atau menemani majikan saya saja, semalam. Biasanya tarif sampeyan berapa?” padam mukaku. Mataku pisau. Menari-nari, menakar dan mengira, bisa menancapkannya dimana, pada tubuh sopir taksi yang sedang mencoba meramahiku. Aku memang baru keluar dari hotel yang biasa dijadikan tempat menginap para bule.

Dia pasti mengira aku sedang melayani tamu dan sekarang sedang berniat melayani tamu yang lain. Ah, apa yang tampak dan terlihat,jika dikatakan, menyakitkan! Aku gemetar. Runtuh sudah kebanggaan yang kubangun atas nama cinta. Sopir taksi masih mengoceh dan bertanya tentang banyak hal lainnya.

Tapi aku tak berminat berkata. Aku menekuk lidahku dan berdikir. Saat taksi berhenti di depan rumah. Aku turun perlahan. Dan membuka gerbang rumahku. Masih terdengar suara sopir taksi.

“Rumahnya disini to mbak. Syukurlah, saya jadi tidak perlu repot-repot mencari sampeyan jika majikan saya ingin dicarikan perempuan.” Aku berusaha tersenyum. Dan mentertawakan diriku sendiri. Tapi bibirku kaku. Gigi menjadi besi. Dan kata-kata tersembunyi, menukik dipalung terdalam lautan. Ikan-ikan yang berumah disana menggelepar. Bukan bebatuan yang terlempar ditubuhku. Tak pula reruntuhan tembok rumah yang terguncang lindu. Ada yang menampar pipiku berulang. Menjambak rambut dan memutar-mutarnyakannya. Ada yang membantingku ke tanah. Ngilu, nyeri tak tertahankan. Aku mendekap dadaku. Terduduk di sofa. Dering telepon. Tak membuatku beranjak. Aku ingin bersembunyi, bersama sunyi. Menari dan menyetubuhinya. Tak ada kata-kata hanya tatapan mata dan peleburan rasa.

“Wahai Engkau yang aku puja! Lihatlah! Tak ada yang bisa membuatku beranjak! Kemana aku menyembunyikan diri dari penglihatan dan dugaan. Aku menyerahkan diriku padaMu, segalanya menjadi debu di namaMu. Engkau pemilik hidupku, keagungan yang senantiasa aku rindu! ”

Aku merintih dalam sujud panjang. Dikir yang mengaung sekian lama. Dalam gerak, nafas dan kehidupan. kembali mengalir dengan dentuman luka. Kepedihan ini, Kekasihku. Menjadi lukisan. Aku pernah berdosa! Jika kata-kata yang lewat dan terdengar kemudian terasa menyakitkan, aku berharap, hanya caraMu mengingatkan.

Bukankah aku sedang menujuMu, mencari ridhoMu. Suara hati yang tertoreh luka hanya jadi redaman, menjadi gelisah yang berkepanjangan. Tapi sujudku malam ini, bukan hanya meminta pengampunan. Tapi kerinduan untuk menyapa kekasih jiwa. Jika tangan ini bergerak dan jantung berdetak. Detakannya adalah seruan cinta. Atas nama dan ridhoMu, aku melaju pada ruang samar yang Kau gariskan.

“Istriku sayang, aku ingin kamu menyusulku ke Bali, hari ini. Aku kangen!” suara lelaki dari telepon yang sudah menjadi hidupku sekarang ini. Membuka pagi. Aku menyiapkan segala hal yang berhubungan dengan kepergiaanku. Telepon biro travel. Memesan tiket pesawat. Konfirmasi dan lain-lain. Entah kenapa aku bahagia. Menjalani hidup yang samar-samar.

Barangkali hal-hal yang teramat jelas dan benderang memuakkan. Mungkin juga karena tidak ada tempat diruang terang itu untukku. Atau dengan terlindung cahaya, aku bisa lebih banyak membaca detail, gerak, ikhwal segala hal yang terlintas dan menjadi bagian dari kehidupan benderang. Dan aku bisa mencatatkannya. Meski begitu kegelapan tidak mampu memikatku. Aku tidak tertarik pada kelam.

Aku memang perempuan panggilan. Aku akan kemana saja untuk bersama dengan lelaki yang menjadi suamiku sekarang ini. Karena Allah aku mencintainya. Jika dia menginginkan aku, maka dia akan telepon dan memintaku menyusulnya. Kemanapun.

Di hotel A, di kota B, di dusun C, aku menurutinya. Tidak ada kehidupan yang normal seperti orang kebanyakan. Kami tidak punya rumah, apalagi cita-cita bersama.Kami hanya bercinta, berbahagia. Berjanji mencintai dan aku mensetiainya. Orang tidak tahu jika aku istrinya. Maka perkataan seperti yang diucapkan sopir taksi itu, yang sering aku dengar, tidak bisa disalahkan. Pun tatapan mata dari para pegawai hotel dan karyawannya. Kadang aku bisa melupakan dengan cepat. Tapi kadang mengganggu.

Sering aku menyalahkan diriku sendiri dan merasa terjebak dengan perasaan cinta yang berlebihan. Tapi aku bukan pemilik diriku sendiri. Bukankah aku dengan rela hati menyerahkan diri dan kehidupanku pada yang memberi hidup. Maka jika Dia menitipkan sesuatu padaku, aku akan menerima dan mensyukurinya.

Malam berlabuh dimatamu. Sepi bergulir. Menarawang cinta dari bibir rindu. Aku memandang wajah lelaki yang tertidur di sebelahku. Begitu lelap. Rekat matanya. Nafasnya mengalun lembut. Apa yang ada di mimpinya. Melihatnya damai dan tenang, aku terpesona. Setiap kali bertemu, aku selalu jatuh cinta padanya. Bahkan dalam kemarahanku. Aku merindukannya. Maka jika harus melompati gunung. Menyeberang sunyi, senang hati, aku memilih bersamanya. Tak akan kudengarkan suara orang. Perempuan panggilan! Ah! Biarkan saja!
***

Njaran1

Wong Wing King
http://sastra-indonesia.com/

“Dapatkah kau teruskan pekerjaan bapakmu?”
“Yang mana pak?”
“Yang mana menurutmu layak diperjuangkan?”

Bapak memalingkan muka kearah timur, tepat dikanan pundaknya, jidatnya ditempelkan pada kaca yang tertutup rapat, seolah mencari matahari yang akan terbit dari balik rimbunan siluet batang bambu. Aku menatap batang lehernya yang mengkerut kulitnya, terlihat tulang tengkuknya. Kuarahkan pandangan keatasnya lagi, dari beningnya kaca padang mbulan2 menampakkan kalangan3 nya. Menyejukkan sekali mataku, cahaya terang menyirami batang – batang jagung muda, berumur empat puluh lima hari yang terhampar seluas lima hektar di samping rumah. Sedikit aneh dari pandangan mataku, bulan purnama sekarang, menyembul dari ubun – ubun bapak.

Aku nyalakan sebatang rokok khas lintingan4 bapak, tinggal beberapa batang saja tak akan cukup untuk jagongan5 semalam suntuk.

Bapak…bapak, ada…ada saja. Tak merasa rindukah padaku yang baru masuk rumah selama empat jam. Jantungku belum sepenuhnya meraskan kesejukkan angin desa. Kiranya apa untungnya aku menjawab pertanyaan itu., toh aku merasa sudah mampu menghidupi mulutku sendiri, bahkan sudah empat kalinya kedatangan ku sekarang ini hanya untuk mengajaknya lagi melihat kemegahan padang Arofah dan saksi bisu bukit Sofa – Marwa ketika Adam dan Hawa memperjuangkan diri dari kepunahan. Kemudian lahirlah aku, tapi bapak – ibuku dipertemukan dalam program pemerataan penduduk di zaman presiden ke dua negara ini. Rokok yang berat dihisap, membuat lidahku gatal, sedikit rasa takdim bahwa rokok hasil karya bapakku, aku menahan rasa sakit yang teramat sakit disertai nyeri di dada kiriku, spontan hampir batuk ketika itu juga bapak berjalan ke sebelah barat tangannnya menekan tombol power radio, suara langgam jawa dan campur sari meledak dari speaker, ku buka mulutku hendak batuk yang tak tertahan lagi, bapak menolehku, menetap tanpa air muka, sejenak kata – kata yang keluar dari mulutnya memukulku, batuk tak jadi, tersiksa malu aku.

Pada usia tujuh tahun aku dapat merasakan surga ada ditelapak kaki ibu. Ditahun – tahun selanjutnya surga ada di telapak kaki bapak. Kebiasaan yang sulit bapak rubah adalah kekolotannya terhadapku, di mata bapak aku masih bocah yang apapun kebutuhanku harus sesuai keinginan bapak. Itulah yang membuatku tidak enak tinggal di rumah joglo hasil keringatnya. Dan lebih memilih membiarkan bapak dalam kesendirian bapak merawat rumah.

Pak, aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku saat ini. Cuti yang ku ambil hanya tujuh puluh dua jam di negara ini.

Channel radio di pindah bapak, irama musik menyedot kesunyian dan isi dalam tulang rusuknya, seakan tak perduli tentang pendapatku.
“Berapa lama kamu tidak melihat jaranan?”
“Sebelum aku menjadi tukang sapu di Negara paman sam!”
“Berapa tahun?”
“Lebih dari delapan belas tahun yang lalu”.
“Kalau begitu lihat ini”.

Bapak mematikan radio, berpindah tempat kearah berlawanan menghidupkan cd player, memasukkan cd dan menekan power televisi. Dalam layar monitor muncul turonggo budoyo, rakaman ala kadarnya menjadikan gambar – gambar yang muncul pun tak maksimal. Mataku panas terkena asap rokok. Suara kendang menusuk telinga, terompetnya seperti menjahit gendangku. Sudah lama pertunjukkan ini tak kulihat di tempatku bekerja video – video pertunjukkan jauh lebih hidup penyajiannya, lebih canggih dan iramanya sangat pas di telingaku yang ada di kepala, kampungan itu.

Ha,..ha..,ha.. bapak ada di rekaman video itu, terlihat masih agak muda meskipun gambarnya terlihat seperti video dokumentasi zaman perang, jadul banget.

Bapak melihatku meringis, diambilnya sisa rokok yang hanya sebatang. Di sulutnya, suara meledak dari rokok lintingannya sendiri, ada pijaran api seperti tungku masak tukang besi,bapak begitu menikmati sensasinya, di tiap hempasan asap kelabu. Kumisnya yang tebal tak dirapikan dan tubuhnya gagah, senyumnya sangat berwibawa seperti panglima perang, namun aku tak mewarisinya. Aku lebih mirip ibuku, kurus, tinggi berwajah lonjong.

“Lihatlah tukang sapu!”
“Aku berhasil naik kuda.”

“Pak aku lebih dari itu. kuda asli yang kunaiki, menjelajah hutan rimba di Misissippi lebih menegangkan.”

“Itu katamu. Ini kuda warisan leluhurmu, umurnya lebih panjang dari usia bapakmu ini, bahkan jauh lebih tua dari umur kakek buyutmu!”

“Apa hebatnya pak, hanya rajutan bambu saja yang di cat. Dulu aku pernah menyewa kuda hitam Mesir yang terkenal kekuatannya, aku tunggangi sehari semalam menyusuri bukit batu dan padang pasir. Hingga di stop petugas kuda di larang masuk di jalur bus way yaitu jalan menuju patung spinx”.

“Delapan belas tahun, yah waktu yang cukup lama membuatmu menjadi bangsa lain. Tapi bapakmu tak akan bergeming sepertimu. Dasar tukang sapu”.

Bapak terlihat sangat marah menetapku tajam, melihat mataku ada gelombang merambat dari pancaran matanya menerjuni otakku dan yang ada dalam hatiku. Aku tak mengerti hal aneh itu, tetapi betapapun bapak marah setalah itu tak perduli lagi dan aku akan mengulanginya lagi, pasti agar bapak tak diam saja otaknya dan aku membuat masalah, selanjutnya yang lebih menegangkan. Aku akan berusaha menjadi mahkluk trasparan saat bapak memarahiku hingga bapak tak menemukan apapun yang ada dalam tubuhku, entah itu tinja atau darah.

“Pak, aku di sana tidak menyapu jalan, atau jadi tukang kebun. Di luar negeri, semua sudah menggunakan perlatan canggih, apalagi kerjaku di dalam ruangan, jadi menyapu cukup memakai mesin penyedot debu. Ruangan yang ku sapu adalah kampus terkenal pak. Tak cukup menjadi tukang sapu saja pak, aku mendapat kesempatan ikut kuliah jurusan pengeboran minyak bumi. Apa mungkin aku mampu menaaikan haji bapak sampai beberapa kali dan semua kelas vip”.

“Jadi mentang – mentang kamu dapat ilmu dari luar, dapat duit banyak, kwalat kamu nanti. Kamu ndak ngerti uang yang kamu kirim itu semua ada di bank sana, tidak bapak gunakan serupiah pun, bapak ini masih banyak tanggapan kayak yang kamu tonton tadi. Itulah caraku melupakan rinduku padamu, menjadi penari jaranan belasan tahun yang akhirnya aku menjadi seoarang pelatih tari jaranan. Kamu lihat di depan rumah ini, di halaman stiap bulan tujuh kali di penuhi anak – anak belajar menari jaranan.

“Lalu…”
“itukah hasil belajar di luar negeri. Kamu tidak pernah di ajari sejarah negara asalmu, pantas kamu memuja negara tempatmu sekolah. Dan kamu sudah menjadi turis saat kembali ke rumah ini”.

“Pak tugas yang ku kerjakan lebih berat dari bapak, di daerah Irak aku di tugaskan mengebor sumber minyak, sedang disana terjadi perang. Nyawa, nyawa taruhannya pak”.

“Tapi kamu lupa asalmu, yang terlihat hanya uang di matamu. Bapak minta kamu tidak usah lagi kembali lagi ke luar negeri, jadi tki. Mulai besok kamu mencari bamboo di ujung sawah itu”.

Aku tak menjawab bapak yang aku kira bicara ngelantur. Aku menyulut rokok baru yang ku siapkan dari luar negeri kemarin, ada hal aneh menusuk langit – langit lidahku, mantap rasanya.

“Besok buat setelah mencari bambu, bapak aajri kamu membuat jaranan. Dan sorenya kamu harus ikut latihan anak – anak muda desa ini latihan menari di halaman depan”.

Aku tak menjawab bapak, aku melihat ke luar jendela, ladang jagung sangat gelap sekali, semua tampak siluet, alunan musik jaranan membuat kupingku terasa penuh beban. Aku keluar rumah, mengirup angin segar, melihat ladang jagung sangat luas, keluar lewat lubang jendela aroma mistik setelah terompet jaranan melengking lewat telingaku, merinding bulu kudukku. Bau wangi kemenyen baru saja mnyebar seluruh ruangan dan keluar rumah, bapak membakarnya sambil bersila, sambil menoleh kearahku, terlihat dari kaca jendela, berkata lembut, dalam diri manusia ada sifat jaran6 le7, kamu harus menaklukkannya.

Beweh- Ngogri Jombang

Keterangan:
1. Sedang menaiki kuda lumping
2. Bulan terang benderang
3. Lingkaran cahaya yang ada di sekitar bulan
4. Rokok yang di kerjakan manual
5. Duduk –duduk bersama
6. Kuda
7. Le = Nak

*) Aktif di Sanggar Sinau Lentera, dan Komunitas Teater Sanggar Seni Mentari Indonesia.

Sabtu, 08 Januari 2011

Gegelas

Fikri. MS
http://sastra-indonesia.com/

“Sebenarnya apa yang kau tunggu di sini? Kuperhatikan sejak tadi kau sama sekali tak beranjak pergi hanya berdiri, duduk melipat kaki”

Lelaki itu mendekat.
“Ayolah beritahu aku mungkin ada sesuatu yang dapat kulakukan untukmu!”

Kutinggalkan ia beberapa langkah, mengganti bajuku yang kusam bau keringat, sementara ia masih diam.

“Kau …,tak bisa bicara ya!?” Aku bertambah bingung dengan lawan bicaraku ini.

“Baik kalau begitu, mungkin tenggorokanmu kering, kuambilkan segelas air putih. Tunggu sebentar, dan ingat bicaralah padaku!, Ada apa?”

Segelas air kuletakkan di hadapannya, ia merubah sikap kaki kanannya berganti memangku yang kiri, ia rogoh tas sandangnya mengambil sesuatu. Kupikir sesuatu yang penting, sebatang pena hitam ternyata. Ia mulai melukis tangan kirinya di antara telunjuk dan ibu jari. Lingkar melingkar dari bawah ke atas tak berurut, besar, kecil, lalu sedang tampak dari pandangan samping seperti proyeksi bidang datar. Lingkaran sedang dan kecil terhubung oleh dua garis yang berseberangan lurus ke bawah sedikit lengkung setiap ujungnya, di bagian tengah ia mulai menggoreskan penanya aku tak tahu apa, dan ternyata setangkai mawar setengah mekar berdaun tunggal yang ia gambar. Lingkar paling besar diarsir kasar serupa dengan piring. Aku langsung mengerti, ia menggambar sebuah gelas.

“Ada apa …!!!”

Aku terkejut mendengar ucapannya yang serak berteriak. “Oh … bicara juga akhirnya. Minumlah sedikit saja” Kataku.

“Aku tidak haus, aku tidak lapar, aku tidak sedang menunggu, dan aku sama sekali tidak tahu apa yang kau bicarakan dari tadi!, Kita tidak saling kenal, jadi tak usah sok akrab denganku. Aku tahu kau hanya pura-pura baik kan?. Alismu runcing ke atas.”

Ia menunjukku dengan bibirnya.

“Aku tahu kau bukan orang baik atau suci seperti segelas air putih ini. Pergi sajalah, ini tempatku sejak matamu mulai memperhatikanku.” Suaranya seperti menikamku.

“Hei …, memangnya kau pikir siapa dirimu?! Bicara seenaknya saja, sembarangan. “ Aku menyentak, ia diam.

Suaraku lebih keras menggelegar dan lebih kasar dari ucapanya. Aku sendiri merasa terkejut menghadapi apa yang tengah terjadi.

Sampai pecah gelas di atas meja dan segala perabotan yang lain pun mengalami hal yang sama. Semuanya seakan-akan runtuh dari tempatnya, meja bergetar patah terjungkit, televisi meletus asapnya mengepul memenuhi ruangan. Keadaan menjadi gelap dan bau plastik terbakar.

Tubuhku basah berkeringat dingin, kuraih air minum di atas meja. Nafasku masih memburu terengah. Lampu kamar kunyalakan sambil melepaskan kaos yang lembab, aku masih belum bisa mengingat apa yang baru saja terjadi yang terlintas hanya keasingan yang menyerangku dalam, dalam sekali. Jendela kamar kubuka separuh, angin malam masuk menderu kencang, daun jendela goyah tubuhku bertambah dingin menggigil segera kurapatkan kembali. Kududuki kursi rotan di samping ranjang, meluruskan kaki, kepalaku tengadah memandang langit-langit kamar.

***

“Bang …! Bang David …! Bangun, ada yang cari Bang, tamu!, Perempuan, katanya ada perlu. Bang, Bang …!”

David masih tertidur di kursi rotan, ia tak mendengar panggilan Nikita yang mau berangkat sekolah, hari ini upacara. Suaranya masih memanggil-manggil. Ketukan pintu yang bertambah keras tak juga mampu mengusik tidur Abangnya.

Gadis kecil itu kembali menemui tamu di teras.
“Kak, nanti siang saja kembali, Bang David masih tidur. Tadi malam ndak pulang. Nanti saya sampaikan kalau ada pesan?”

“Tidak usah Dik, terimakasih. Nanti siang saya ke sini lagi. Kamu mau berangkat ke sekolah, bareng?” Ujar tamu itu.

“Ndak usah Kak, dekat sini saja, jalan kaki sebentar sudah sampai”

Perempuan itu berlalu meninggalkan anak kecil berseragam merah putih yang masih berdiri dengan senyumnya yang kecil di ambang pintu.

“ Kenapa belum berangkat? Sudah hampir jam tujuh.”

Nikita menoleh ke belakang, David baru keluar dari kamarnya dengan handuk merah sambil berjalan ke dapur. Adiknya mengikuti.

“Barusan ada tamu cari Bang David, sudah kubangunkan tapi Abang ndak bangun-bangun”

“Siapa,? Kamu ndak Tanya namanya, ada titipan?

“Ndak, aku juga lupa tanyakan namanya. Cuma bilang nanti siang ke sini lagi.”

David tak begitu penasaran siapa yang mencarinya, ia masuk ke kamar mandi, sementara adiknya memasang sepatu.

Dari kamar mandi.

“Kita …! Ibu sudah berangkat?

“Iya, sudah dari tadi. Kata Ibu bawa kipas angin yang di ruang tamu ke tukang service dekat lorong masuk kampong, kalau Abang ndak bisa memperbaikinya!. Aku berangkat ya Bang. Assalamu’alaikum.”

Suara kran yang deras dari kamar mandi merampas seruan Nikita.

David berteriak-teriak mengumpat. Kran bocor, handuk merah yang melilit di pinggangnya basah terkena semprotan air.

Lelaki itu mengumpat geram.”sabar… sabar…” Batinnya.

Di dalam bak mulai terlihat ada keanehan, beberapa gelas bermunculan berwarna-warni tak teratur bertambah banyak semakin jelas. Hampir-hampir memenuhi seluruh bak. Hentakan keras terdengar beberapa kali dari daun pintu di sebelah kanannya padahal tak ada angin yang mendorongnya.

Ia tak begitu yakin dengan keadaan yang tengah terjadi.

Jumlah gelas kian banyak melebihi air yang memenuhinya, kamar mandi banjir airnya sampai keluar dari pembatas di bawah pintu antara dapur dan kamar mandi setinggi mata kaki, kepanikan semakin menjadi-jadi ketika jumlah gelas berlimpahan hingga bagian dasar kamar mandi telah dipenuhi oleh gelas yang bermacam-macam ukuran. Lelaki itu seperti mengalami serangan yang hebat. Ia tak bisa menggerakkan kaki kuatir terinjak. Teriakkannya bias oleh kran yang mengeluarkan suara yang garang.

Bertambah lagi, terus bertambah sudah sampai ke bagian paha, David tak tahu harus berbuat apa, ia terhimpit oleh rapatnya gelas. Air dari kran tiba-tiba berubah warna menjadi merah kental seperti darah luka, tubuhnya pun merah menjijikkan. David semakin bingung. Dan …

“Aaaaaaaakh …! Tolong …tolong … … …! Ki …! Niki … …!”
Tidak ada yang menyahut suaranya. Tak terdengar apa-apa.

Pintu kamar mandi seperti terkunci terhimpit oleh gelas yang sudah hampir ke dada, hanya tangan kiri yang masih menjunjung ke atas mengeras menahan sesak.

Ia masih berusaha sekuat tenaga melawan ancaman yang aneh ini, tetapi semakin ia meronta jumlah gelas bertambah banyak dan suara kran mengerang lebih keras lagi.

Sekarang gelas dan air sudah sampai ke batang lehernya, ia tak bisa bernafas dan bergerak. Serangan gelas dan air seakan-akan ingin membunuhnya secara perlahan. sampai seluruh kamar mandi penuh sesak dan David terkunci di dalamnya, penglihatannya menjadi gelap ia meronta-ronta memecahkan beberapa gelas yang tergesek, semakin kuat ia berontak bertambah banyak jumlah gelas yang pecah, tubuhnya terluka oleh pecahan beling. Ia mengaduh terasa nyeri di bagian perut dan paha sampai akhirnya pasrah tubuhnya lemas.

Saat itu juga ia seperti berpindah ke tempat yang empuk berbaring di atas sofa putih sambil memeluk guling. Baru sekejap ia merasakan suasana yang nyaman, saat itu juga ia kembali lagi berada di tengah himpitan gelas dan cairan merah. Kali ini mulutnya merecacau tak karuan.

“akh …, aaaaaaaaaaakhkhkhkhk … ….za za za ta ta ta ta … ghemmmmm mmmmmmh mh mh mh. Ampu… … … nnnnn … las las las… gelaaaaaaaaaaaaaaaa …ssss!

Tubuhnya bergerak lepas tak terkendali sambil tangannya memutar-mutar, menyikut kesegala arah. Kedua kakinya menerajang kuat tak terkendali dan tiba-tiba menyentuh sisi dipan yang keras ia terjungkal dari kursi rotan, kepalanya membentur kaki meja sesaat ia tak sadarkan diri.

Tergeletak di lantai.

Suasana masih mencekam penuh ancaman, tubuhnya menggeletar kedinginan disergap rasa takut, keringat bercucuran membasahi sekujur tubuh. Ia haus, mencoba bangkit meraih air minum, namun seketika terhenti. Segelas air putih yang diraihnya seperti dalam bayangan buruk yang selalu mengikuti, membuatnya merinding sejadi-jadinya. Ia marah membanting gelas ke lantai melemparkan apa yang ada di sekitarnya seperti menghajar habis-habisan sesosok mahluk gelas yang menghantuinya.

Hal yang menakutkan telah menjebaknya pada kecemasan yang tak tertandingi. Gila, David seperti gila dengan keadaan ini, ia tak tahu harus berbuat apa. Ia tak sadar sedang dalam keadaan yang bagaimana antara sadar atau tidak, ia tak mampu berimajinasi mengalihkan rasa takut yang memburu. Sampai akhirnya dari luar, terdengar seseorang memanggil, awalnya ia tak tahu tetapi telinganya meraba suara yang menyerunya dari luar.

“Bang …, Bang …, Bang Vid!” Ia sadar suara adiknya yang memanggil terburu-buru seperti penting sekali.

David bangkit berjalan terhuyung sambil memeganggi kepalanya yang terasa berat, membuka pintu perlahan. Ia kembali sontak dan bingung ternyata di luar banyak sekali orang yang tidak ia kenali, semuanya berpakaian serba aneh dan masing-masing memegangi gelas beling, salah seorang menggenggam telinga gelas yang sangat besar seukuran badan manusia. Ia banting daun pintu dikuncinya rapat. Nafasnya tak teratur, keringat dingin peluh di dahinya. Dibukanya lagi pintu perlahan ia mengintip. Masih banyak orang di luar. Mereka berpesta, berkejaran, menari-menari-melonjak-lonjak, sebagian ada yang duduk berbicara dengan suara yang sangat keras, mulut mereka mengucapkan kata-kata seperti berteriak. Tiba-tiba pandangannya menangkap seorang perempuan berambut pirang yang di jepit ke belakang seperti ekor kuda, wajah itu tak asing baginya, seorang perempuan yang menggambar gelas di tangan kirinya sendiri. Wajah itu begitu menakutkan, pandangan mereka beradu, saat yang sulit bagi David.

Ia merasa persembunyiannya diketahui oleh perempuan itu. Ia cambuk wajah David dengan alisnya yang tajam, hantaman mata perempuan itu membuat David terjungkal ke dalam kamar. Cepat-cepat Ia menutup rapat pintu, tubuhnya tersandar dan akhirnya jatuh terduduk dengan kaki yang menekuk lalu lurus kedua tangannya pun jatuh ke dasar.

***

Siang hari di rumah, suasana sepi. Nikita belum pulang dari sekolah, Ibu masih di pasar, jam di dinding menunjukkan pukul setengah sebelas pagi waktu yang terlambat untuk berangkat kerja. David belum mandi, ia masih menikmati acara televisi, berulang kali mengganti program tapi tak ada tontonan yang menarik, ia segera mengambil handuk menuju kamar mandi.

Langkahnya tiba-tiba terhenti, bayangan isi kamar mandi kembali menyeruak dalam pikirannya. Ia merasa takut untuk membuka pintu, rasa takut masih menggantung di benaknya.

Hati-hati, perlahan ia mengintip ke dalam kamar mandi, matanya mengamati seisi ruangan seksama.

Bersih tampak biasa tak ada yang aneh hanya air kran yang masih menyisakan tetes-tetes kecil menggelembung lalu jatuh. Jantungnya berdebar ia masuk ragu-rau, sebelum melepas handuk, memastikan terlebih dahulu bahwa tak ada gelas di dalam kamar mandi. Katup kran dibukanya pelan-pelan, air mengucur memenuhi bak mandi. Semuanya terasa baik-baik saja, aman. David segera melepas handuk menggantungnnya di tabir pintu, ia nikmati segarnya air dengan segenap keraguan, sekujur tubuh ia basahi sambil matanya tetap berjaga-jaga di sekitar. Tak begitu lama ia telah selesai dan kembali ke kamar.

Hal yang sama ia lakukan seperti memasuki kamar mandi, debaran jantungnya was-was awas terhadaap sekitar, pintu kamar terbuka ia masuk. Keadaan dalam kamar normal-normal saja tak ada sesuatu yang aneh atau bakal mengancamnya, hanya saja memang terlihat ada gelas di atas meja yang tinggal setengah air putih tersisa. Ia tak mau menatapnya lama-lama, sisa trauma masih menguntit.

Hanya saja hari ini ia bingung apa yang mau diperbuat, jam kerja sudah habis. Seperti biasa jika tak ada kesibukan David hanya di rumah sambil menunggu Ibu dan adiknya pulang.

Ia duduk santai sembari membaca buku di ruang tamu. Terdengar suara pintu di ketuk, ia bergegas menuju ambang, membukanya dan ternyata seorang perempuan berdiri di hadapannya.

“David?”

Perempuan itu menegaskan kalau yang sedang berdiri di hadapannya adalah orang yang ia cari.

Lelaki itu heran bercampur penasaran seperti mengenali wajah tamunya.

“Ada apa Mbak?”

Sesuatu yang dibungkus kantong plastik berwarna hitam diserahkan tamu itu kepadanya. Ia tak cukup mengerti.

“Siapa, ya? Em ……, maksudnya anda siapa dan apa ini …?” David sedikit ragu menerima bungkusan itu.

“Silahkan masuk Mbak”

Tapi perempuan itu menolak “Terima kasih, saya hanya mengantarkan titipan ini saja.”

Perempuan itu berlalu sementara David masih tak mengerti. Bungkusan plastik yang ia terima dengan ragu dibuka sambil menggosokkan kedua telapak tangannya. Ia masih ragu apa gerangan isi bungkusan ini. Keringat mulai muncul satu persatu berupa butiran-butiran kecil di dahi ia usap dengan lengannya sampai ke dagu.

Mulutnya menghirup udara dalam-dalam pipinya mengembungkempis. Terang saja ia sedikit takut sebab beberapa waktu yang lalu ia baru saja mengalami hal aneh dan menakutkan. Dengan segenap keberanian, perlahan ia buka bungkusan itu.

Seluruh tubuhnya menggeletar saat tahu ternyata isi titipan dari tamu yang tak dikenalinya itu adalah sebuah gelas bening yang berukiran setangkai mawar setengah mekar berdaun tunggal.

Seketika ia kembali teringat dengan peristiwa aneh yang ia alami, wajah perempuan itu melintas lagi berulangkali.

David terhenyak, ia ingat perempuan yang mengantarkan bingkisan ini adalah orang yang membawanya dalam mimpi buruk selama ini.

Gelas.
***

Minggu, 02 Januari 2011

Pram, Marxisme-Komunisme dan Inkonsistensi

Hary B Kori’un
Riau Pos, 17 Sep 2006

JAKARTA, April 1999. Lelaki tua itu masuk ke dalam ruangan, duduk di antara pembicara yang lain dan sejenak kemudian langsung berbicara. Meski keriput terlihat di sana-sini, namun dia masih kelihatan kokoh dan berotot. Dia memang terlambat, moderator sudah lebih dulu membuka acara diskusi itu sebelum lelaki itu sampai. Kemudian sang moderator, Hilmar Farid, memberi kesempatan kepada lelaki itu untuk menyampaikan pikiran-pikirannya.

“Saya senang berada di sini, di antara anak-anak muda yang seharusnya patriotik dan membebaskan diri dari pengaruh kapitalisme-imperialisme yang lama membelenggu kita…” dan kemudian terdengar suaranya yang lantang dan kuat yang membuat seluruh yang ada menjadi diam, memperhatikan apa setiap ucapannya.

Lelaki itu Pramudya Ananta Toer, yang telah wafat pada 30 April 2006 lalu. Dialah pengarang Indonesia paling terkenal di dunia, yang karya-karyanya sudah diterjemahkan dalam 41 bahasa dan orang Indonesia yang paling dekat dengan penghargaan Nobel, meski hingga akhir hayatnya, Nobel itu tak pernah sampai kepadanya. Pram dianggap sebagai simbol perlawanan oleh banyak anak muda dan dia memang selalu membakar semangat anak-anak muda di setiap acara yang diikutinya, termasuk ketika itu saat menjadi pembicara dalam peluncuran Majalah Jaringan Kerja Budaya yang dibidani Hilmar Farid, Arswendi Nasution dan yang lainnya. Di kalangan anak-anak muda yang suka kekiri-kirian, Pram dianggap pahlawan, dan itu terlihat ketika itu. Saya yang baru datang ke Jakarta dan belum banyak kenal orang, melihat bagaimana anak-anak muda itu hormat kepada Pram. Mereka diam dan takzim mendengarkan Pram yang sedang bicara.

Terus terang, saya bukan pengagum setia Pram. Seperti Rosihan Anwar, saya tidak suka dengan bahasa Pram yang lambat. Beberapa buku Pram saya miliki, namun tak ada yang selesai saya baca. Tetralogi yang terkenal Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca dan Jejak Langkah, sudah lama saya baca ketika buku itu masih dilarang oleh penguasa Orde Baru secara sembunyi-sembunyi, namun tak tamat. Bahkan kini, ketika buku-buku itu dijual bebas, saya juga tak berniat untuk memilikinya. Namun, saya selalu membaca cerita tentang lelaki kelahiran Blora ini. Pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan termasuk penderitaan-kemiskinan sebelum dia masuk Lekra/PKI atau setelah keluar dari Buru, memunculkan empati tersendiri, bahwa Pram memang seorang laki-laki yang kuat, hebat, kokoh meski di beberapa bagian dia sebenarnya lelaki yang rapuh yang pantas dipahami dan dimakalumi sebagia manusia.

Seperti dikisahkan oleh Ajip Rosidi, Taufik Ismail, Bokor Hutasuhut dan Rosihan Anwar (Horison, Agustus 2006), Pram pada dasarnya bukan orang yang konsisten dengan pandangan dan pilihan politiknya: Marxisme-Komunis. Dia adalah korban yang terjerumus dan tak ditolong oleh teman-temannya. Pram seorang yang individualistis, dan ini sangat bertentangan dengan Marxis-Komunis yang mengutamakan sama rata sama rasa. Seperti dikisahkan Ajip, kemiskinan telah menjerumuskan Pram ke dalam ideologi kiri yang kini terbukti hancur di mana-mana itu (kecuali Cina, Cuba, Vietnam, Kamboja, Laos, Korea Utara dan beberapa negara kecil lainnya). Pram pernah mengalami masa buruk sekitar tahun 1956, yakni tak makan beberapa hari dan kemudian datang ke rumah Ajib untuk meminta nasi. Isu yang yang muncul bahwa Pram tengah didekati oleh orang-orang komunis membuat tak ada penerbit yang mau menerbitkan novelnya, surat kabar tak ada yang mau menerima cerpen-cerpennya lagi yang membuatnya mengalami krisis keuangan. Kondisi inilah yang dimanfaatkan betul oleh komunis ketika itu. Pram ditawari untuk pergi ke Cina menghadiri peringatan 20 tahun meninggalnya pengarang besar Cina, Lu Hsun, bersama penulis naskah drama Utuy Tatang Sontani. Beberapa waktu kemudian Pram ditawari menerjemahkan novel pengarang Rusia, Maksim Gorki, Ibunda. Tak lama setelah itu, bersama Utuy juga, Pram menjadi delegasi Indonesia menghadiri Konferensi Pengarang Asia di Tashkent, Uni Soviet (sekarang Turkmenistan). Hal inilah yang membuat para seniman anti-komunis menganggap bahwa Pram dan Utuy memang benar-benar sudah masuk dalam aliran kiri-komunis. Imbasnya, karya-karya Pram benar-benar ditolak di penerbitan manapun, salah satunya Majalan Star Weekly pimpinan PK Ojong yang sebelumnya banyak memuat karya Pram, langsung berhenti memuatnya.

Menurut Ajip Rosidi, sikap inilah salah satunya yang semakin menjerumuskan Pram semakin jauh ke dalam aliran kiri. Jika saat itu ketika orang kiri baru berusaha mendekatinya dan teman-temannya melakukan pendekatan untuk “mempertahankannya”, Pram tidak akan menjadi orang kiri. Individualisme Pram tidak akan sepaham dengan komunisme, dan menurut banyak orang, jika saja PKI berhasil dalam kudeta, orang seperti Pram juga bakal dihabisi karena dianggap tidak segaris dengan kebijakan partai. Seorang individualis tidak penting dalam garis partai seperti PKI.

Pram kemudian benar-benar terjerumus dalam ide komunisme ketika ia diberi keleluasaan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan menjadi editor halaman budaya “Lentara” di Harian Bintang Timur. Dengan dua pisaunya itu, Pram benar-benar berseberangan dengan mereka yang kemudian menandatangani Manifes Kebudayaan seperti HB Jassin, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, Bakdi Soemanto, Mochtar Lubis dan yang lainnya termasuk Buya Hamka. Menurut Taufik Ismail, dengan pemahaman Marxisme-Komunisme yang dipaksakan dan tak mengakar, Pram dengan bahasa kasar dan propaganda, selalu mengajak pembacanya untuk memusuhi kelompok Manifes Kebudayaan dengan kata-kata “ganyang”, “hancurkan”, “pembabatan total” dan lain sebagainya. Orang yang paling merasakan keganasan propaganda Pram adalah Mochtar Lubis yang masuk penjara selama 10 tahun di masa Orde Lama tanpa pernah diadili karena finah itu. Hamka juga demikian, harus mendekam di penjara selama 2,5 tahun dan fitnahan sebagai plagiator, yakni novelnya Tenggelamnya Kapal Van der Wijk yang dituduh plagiasi dari karya Al-Manfaluthi. Propaganda Pram dkk lewat Lekra dan halaman budaya “Lentera” di Bintang Timur, benar-benar telah jauh memisahkan Pram dari teman-temannya sendiri, bahkan dari dirinya sendiri. Sebab, pada awalnya, Pram bukanlah penganut Marxisme-Komunisme, dan ketika dia berada di ideologi itu, Pram juga tidak fasih dan terkesan memaksakan diri (atau dipaksa?) untuk kepentingan partai (PKI).

Taufik Ismail mencontohkan, bersedianya Pram menerima Hadiah Magsaysay dari Filipina tahun 1995, telah menunjukkan bahwa Pram bukanlah pribadi yang konsisten dan terlihat sangat oportunis dengan berpikir keuntungan pribadi (ini bukan cermin orang yang teguh dengan sama rata sama rasa dan anti kapitalis-imperalis). Padahal Pram tahu, hadiah itu didanai oleh sebuah lembaga dari Amerika Serikat (negeri kapitalis-imperialis) yakni Rockefeller Foundation, namun dia tetap mau menerimanya. Kalau Pram seorang yang berprinsip teguh dengan Marxis-Komunis, dia tidak akan mau menerimanya. Inilah yang membuat Mochtar Lubis kemudian mengembalikan penghargaan yang sama yang didapatnya sepuluh tahun sebelumnya. Mochtar Lubis marah, sebab yayasan dari Manila itu memberinya penghargaan karena upaya kerasnya memperjuangkan kemanusiaan dari penindasan, sementara Pram adalah seorang penindas kemanusiaan. Namun, orang secara nyata bisa melihat bagaimana sebenarnya pribadi seorang Pram dalam hal ini. Pram ternyata bukan seorang yang hebat seperti karya-karyanya. Ketika dia masuk komunis, alasan utamanya adalah karena kehidupannya terjamin (materi) dan dia menerima Magsaysay Award juga dengan alasan itu (materi).

Padahal selama ini kita selalu yakin bahwa Pram adalah seorang yang kukuh pada pendirian, garis hidup juga garis idealismenya. Pantaskah seorang Pram mendapatkan hadiah Magsaysay atau Nobel, sementara dia pengagum dan “murid” seorang Vladimir Ilich Ullyanov Lenin yang menjagal 40 juta rakyat Rusia (Uni Soviet) selama dia berkuasa (1925-1953)? Pantaskah dia untuk itu semua sementara dia tetap mengatakan bahwa Marxisme-Komunisme adalah paham yang memahami kemanusiaan, padahal telah membantai 50 juta rakyat Cina ketika Mao Tsetung berkuasa (1947-1976), 2 juta rakyat Kamboja melalui Pol Pot dengan Kmer Merah-nya (1975-1979) dan puluhan juta lainnya di puluhan negara lainnya seperti di Eropa Timur atau Amerika Latin? Tercatat, paham Marxisme-Komunisme yang terbukti gagal, telah membunuh lebih 120 juta orang di 76 negara selama 74 tahun (1917-1991) sebelum keruntuhan Tembok Berlin (Jerman Bersatu) dan reformasi yang dilakukan Michael Gorbachev di Uni Soviet yang kemudian meruntuhkan komunisme secara internasional (Uni Soviet kemudian terpecah-pecah menjadi banyak negara hingga kini). Cina, negara komunis paling besar di dunia saat ini, ternyata hanya menganut idealisme itu setengah hati. Mereka bersikeras tetap pada Marxisme-Komunisme, padahal dalam bidang ekonomi, pelan tapi pasti pasar bebas mulai terlihat di sana-sini. Barangkali tinggal Kuba, Korea Utara, Kamboja dan Kamboja yang masih kukuh dengan ketertutupannya, sementara Vietnam dan beberapa negara kecil lainnya, pelan tapi pasti, telah membuka diri meski masih dengan malu-malu.

Hingga kematiannya, Pram tidak pernah mengucapkan permintaan maaf kepada orang-orang yang pernah disakitinya. Dia merasa, dialah yang paling menderita dibandingkan penderitaan orang-orang itu, karena dibuang ke Pulau Buru oleh Orde Baru dan merasa hal itu dilakukan tanpa peradilan, serta penderitaan-penderitaan lainnya secara fisik maupun psikologis. Dia tidak mau minta maaf kepada Mochtar Lubis, HB Jassin, Buya Hamka dan sebagainya, juga tetap menutup telinganya ketika orang mempertanyakan mengapa dulu dia menyerukan penggayangan Manifes Kebudayaan, menyerukan pembakaran buku-buku lawan politik (seni)-nya, termasuk pelarangan terjemahan novel Dr Zhivago karya Boris Pasternak karena dianggapnya anti revolusi.

Di luar itu semua, Pram tetap seorang pengarang besar yang dimiliki Indonesia dan akan tetap menjadi besar sampai kapanpun. Karya-karyanya akan tetap legendaris dan tak lekang oleh waktu. Namun, Pram tetaplah manusia yang memiliki kompleksitas pikiran dan tindakan, yang kadang (bahkan sering) di luar batas nalar dan kemanusiaan. Sikap yang paling buruk yang tidak bisa diterima orang adalah dia merasa paling menderita, sementara dia lupa pernah membuat penderitaan orang lain.

Ketika Pram meninggal dan beberapa teman di Jakarta memberi kabar, saya hanya bisa berdoa semoga segala yang buruk dari dirinya dilupakan orang (meski memang susah untuk melupakannya) dan segala kebaikan dan perjuangan hidupnya tetap dikenang sebagai sebuah catatan hidup yang akan terus hidup. Paling tidak pengarang-pengarang muda generasi sekarang dan mendatang bisa belajar banyak dari karya-karyanya dengan menepikan segala hal yang negatif darinya.***

Nyanyian Untuk Nasionalis Generasi Awal

Iwan Komindo *)
http://pt-br.facebook.com/topic.php?uid=224410308710&topic=14037

Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas/Hari ini tumbuh dari masamu/Tangan kami yang neneruskan/Kerja agung jauh hidupmu/Kami tancapkan kata mulia/Hidup penuh harapan/Suluh dinyalakan dalam malammu/Kami yang meneruskan sebagai pelanjut angkatan.

Syair tersebut terukir di makam Ali Archam di Digul Atas, tempat pengasingan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia . Lokasinya terletak di tepi Sungai Digul Hilir, Tanah Papua bagian Selatan.

Sebagai tempat pengasingan, wilayah seluas 10.000 hektare itu memang terasing. Hutannya lebat berawa-rawa dan hanya bisa ditempuh lewat jalur laut. Di sana , wabah malaria merajalela memakan banyak korban. Ali Archam salah satunya.

Sejarah mencatat, Digul Atas dipersiapkan secara buru-buru oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menampung tawanan pemberontakan PKI tahun 1926. Di kemudian hari, tokoh-tokoh pergerakan seperti Sayuti Melik, Mohammad Hatta, Muchtar Lutffi, Ilyas Yacub hingga Sutan Syahrir juga merasakan pahitnya tanah Digul.

Syair di pusara Ali Archam ditulis oleh Henriette Roland Holst, seorang penyair wanita dari Belanda yang membenci sepak terjang kolonialisme. Puisinya juga terukir di Taman Makam Pahlawan Tangerang.

Di kemudian hari syair itu menjadi terkenal setelah AJ Susmana menggubahnya menjadi lagu pada 1995 sewaktu menjabat Ketua Forum Seni Budaya Retorika Filsafat Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Lagu inipun kerap dikumandangkan para demontran. Nadanya cukup membuat bulu kuduk merinding.

Kepada Berdikari Online, Mono menuturkan sedikit banyak kisah, sebelum membuat lagu itu, “Suatu hari di tahun 1995, saat berkunjung ke sekretariat Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) cabang Solo saya membaca buku Soe Hok Gie berjudul Di Simpang Kiri Jalan,” kata Mono, demikian AJ Susmana biasa disapa.

Dalam buku itu, sambung pria kelahiran Klaten, 20 November 1971 tersebut, Gie menceritakan tentang puisi karya Henriette yang diukir di pusara Ali Archam. Buku itu dilarang beredar pada masa Orba.

Karena buku tersebut sulit dicari pada waktu itu, maka Mono yang pernah menjadi sekretaris Wiji Tukul di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker) menulis syairnya pada secarik kertas. Di dalam bus, sepanjang jalan pulang dari Solo ke Jogja dia menghafalkannya dengan cara berdendang.

“Sesampai di UGM, saya ambil gitar dan menyanyikannya. Kawan-kawan pun turut serta. Lagu itu gampang diterima, karena syairnya cukup menggambarkan pergerakan mahasiswa yang pada waktu itu mulai menggeliat,” paparnya.

Malpraktek sejarah

Generasi di masa Orde Baru hingga Orde Reformasi ini tentu tak banyak tahu tentang Ali Archam, mengingat malpraktek sejarah yang dilakukan rezim Soeharto.

Berbagai literatur sejarah menjelaskan, Ali Archam adalah sosok penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia . Dia salah satu pimpinan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1926 yang menuntut Indonesia merdeka.

25 Desember 1925, bertepatan dengan hari Natal , pimpinan PKI–partai politik pertama di negeri ini menggelar pertemuan di Prambanan, Jogja. Pertemuan itu memutuskan perlunya mengadakan aksi bersama merebut kemerdekaan dari tangan Belanda.

Pemberontakan yang semula direncanakan pada 18 Juni 1926, baru meletus 12 November 1926 hingga 1927. Sejumlah daerah seperti Sawahlunto, Padang Panjang, Padang Sibusuk, Silungkang, Banten, Jakarta, Tasikmalaya, Ciamis, Majalengka, Kuningan, Indramayu, Banyumas, Solo, Boyolali, Kediri, Pekalongan bergolak.

Sayangnya, pemberontakan itu berhasil ditumpas oleh Belanda. Akibatnya 13.000 orang ditangkap, beberapa orang ditembak, 4.500 orang dijebloskan ke penjara, dan sebanyak 1.308 orang dikirim ke Digul.

Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, Ali Archam cukup fenomenal dalam pemberontakan ini. Saat ditangkap, dia tetap tutup mulut meski disiksa oleh Belanda ketika ditanya siapa saja yang terlibat. Dalam keadaan hancur pisik dan psikis dia berpidato di hadapan para Digulis;

Suatu pemberontakan yang mengalami kekalahan adalah tetap sah dan benar. Kita terima kekalahan ini karena musuh kita lebih kuat. Kita terima pembuangan ini sebagai suatu resiko perjuangan yang kalah. Tidak ada di antara kita yang salah, karena kita melawan penjajahan. Pihak yang bersalah ialah pemerintah kolonial! Sekali lagi, kita memang kalah, akan tetapi kita tidak salah! Yang salah adalah penjajah!

Ketika pimpinan pemberontakan 1926 ini menemui ajal di Digul, sebagaimana diuraikan oleh Soe Hok Gie dalam bukunya, seluruh kaum laki-laki dimandikan sebagai penghormatan terhadap keberanian dan keteguhan hati Ali Archam.

Menurut Mono, sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan, Ali Archam tipikal orang yang cinta ilmu pengetahun. Tak ayal kemudian pada masa pemerintahan Bung Karno pernah didirikan Akademi Ilmu Sosial Ali Archam yang berlokasi di Tebet, Jakarta Selatan. Bagitu hura-hara 1965, kampus itu bubar.

Bung Karno menilai pemberontakan Ali Archam cs sebagai suatu generale repetitie dari suatu radikale revolutionaionaire gymnastyk atau olahraga pemanasan untuk perjuangan revolusi yang lebih luas dalam menghadapi perjuangan pembelaan Proklamasi 17-8-1945.

Sedangkan Bung Hatta mengatakan pemberontakan-pemberontakan itu menunjukan kepada dunia luar bahwa rakyat Indonesia sungguh-sungguh ingin merdeka.

Tentang pemberontakan PKI 1926/1927, dalam buku Pengalaman Perjuangan Dalam Merintis Kemerdekaan halaman 251-252, Muluk Nasution mencatat, Negara RI telah menetapkan para pemberontak itu sebagai pahlawan perintis kemerdekaan dengan suatu undang-undang bernomor 5/PP/1964.

Sejarah adalah ibu. Boleh berbeda pendapat dengan ibu, tapi jangan sekali-kali tidak mengakui ibu. Durhaka namanya! Orde Baru telah melakukan malpraktek sejarah sehingga kita lupa dengan kaum nasionalis generasi awal yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia . Sepertinya kesalahan serupa tak perlu berulang lagi…

*) Jurnalis dan penyair, tinggal di Depok.

Mencegah Timbulnya Mitos Baru

MITOS PRIBUMI MALAS
Oleh: S.H. Alatas
Penerjemah: Akhmad Rofi’ie
Penerbit: LP3ES, Jakarta, 1988, 358 halaman
Peresensi: Selo Soemardjan
http://majalah.tempointeraktif.com/

ALATAS, bekas guru besar sosiologi di Universitas Nasional Singapura, telah menulis sejumlah buku dan artikel yang terbit di berbagai majalah. Yang terkenal adalah bukunya The Sociology of Corruption, 1968. Karena buku itu, Alatas pernah diundang oleh Emil Salim, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, untuk ikut serta dalam diskusi mengenai korupsi sebagai gejala sosial dan cara memberantasnya.

Buku Mitos Pribumi Malas diberi subjudul: Citra Orang Jawa (bukan Indonesia), Melayu (bukan Malaysia), dan Filipina dalam kapitalisme kolonial. Jangkauan waktunya meliputi abad ke-16 sampai ke-20. Pada kurun waktu itu Jawa dijajah oleh Belanda, masyarakat Melayu oleh Inggris, dan Filipina oleh Spanyol. Penjajahan Filipina oleh Amerika tidak diliput dalam buku ini.

Mitos yang disebarkan oleh kaum penjajah di seluruh Eropa dalam abad-abad itu sebenarnya tidak hanya mengenai kemalasan orang pribumi, tetapi malah lebih luas cakupannya. Orang-orang pribumi (natives, inlanders) dari ketiga daerah jajahan itu digambarkan sebagai orang lamban, dungu, terbelakang, curang, berinteligensi tidak lebih dari anak-anak umur 12-14 di Eropa.

Citra yang demikian itu dicerminkan dalam tulisan para pengarang, administrator, dan pengunjung di antara kaum penjajah secara terus-menerus, sehingga menjadi mitos di Eropa. Mitos yang merendahkan kaum pribumi itu sebenarnya merupakan refleksi sikap angkuh dan anggapan diri kaum penjajah sebagai ras yang superior di atas kaum pribumi.

Selanjutnya, mitos itu diperlukan untuk mengesahkan politik kerja paksa, jual paksa, dan tanam paksa yang mereka terapkan terhadap kaum pribumi di tanahnya masing-masing. Dalam sistem kapitalisme kolonial yang mereka lakukan, mereka menganggap malas segala sikap yang tidak cocok dengan cara kerja yang mereka inginkan, yaitu kerja paksa untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya bagi mereka.

Mereka tidak berusaha melihat kenyataan bahwa para pribumi itu dengan sendirinya bekerja keras apabila mereka berada dalam keadaan yang mereka rasakan adil dan penuh dengan kemanusiaan. Mereka tidak mampu mengerti bahwa sikap acuh tak acuh terhadap sistem paksa mereka adalah suatu cara memprotes dari pihak masyarakat pribumi.

Sayang sekali, demikian buku ini, bahwa citra negatif mengenai masyarakat pribumi itu diperkuat oleh golongan yang berkuasa pada masyarakat itu sendiri. Banyak penguasa kolonial asing maupun penguasa pribumi bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat atas dasar anggapan bahwa orang-orang pribumi itu malas dan tidak suka bekerja.

Sebenarnya, para penguasa asing dan pribumi sendirilah yang malas dan kejam. Mereka sendiri tidak suka bekerja kasar dan keras. Kalau orang pribumi bekerja santai karena menurut musim pertanian memang tidak banyak pekerjaan, mereka dikatakan malas. Tetapi kalau kaum penjajah sampai lama tidak bekerja, mereka dikatakan libur.

Pengangguran bukan kemalasan, tetapi menolak bekerja adalah malas. Sesudah masyarakat Melayu, Jawa, dan Filipina merdeka, citra yang amat merendahkan mereka itu cepat hilang dari pandangan orang-orang asing. Tetapi khususnya di Malaysia, demikian Alatas dalam buku-nya, timbul sumber baru di dalam negeri yang menimbulkan citra semacam.

Pada tahun 1971, UMNO menerbitkan brosur Revolusi Mental, yang ditulis oleh sebuah panitia di bawah pimpinan sekretaris jenderal partai, untuk disebarkan kepada para anggotanya dengan maksud agar mereka mengubah cara berpikir dan sikapnya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Menurut brosur partai UMNO itu, masyarakat Melayu kurang berani berjuang demi kebenaran, berwatak fatalistis, tidak berpikir rasional, lebih sering mengikuti perasaan, tidak berdisiplin dan tidak menepati janji atau waktu, ingin lekas kaya tanpa upaya yang memadai, dan seterusnya.

Menurut Alatas, citra yang disebarkan lewat brosur itu mencerminkan kemiskinan intelektual para penulisnya. Di sini tampak sikap politik Alatas yang tidak mendukung pimpinan UMNO (disebut-sebut juga nama Mahathir, Perdana Menteri Malaysia sekarang). Citra dalam brosur UMNO itu hanya terbatas pada masyarakat Melayu, sedangkan citra baru yang diamati oleh penulis buku itu mempunyai lingkup yang amat luas.

Citra itu timbul sesudah banyak negara jajahan menjadi negara merdeka. Terhadap mereka itu sekarang ada citra dalam masyarakat-masyarakat- yang sudah maju ekonomi dan teknologinya, bahwa masyarakat yang baru mulai berkembang hidup dalam ketergantungan pada negara-negara donor. Tanpa bantuan, masyarakat-masyarakat itu tidak mampu hidup wajar di zaman kemajuan ini.

Mitos Pribumi Malas yang digambarkan Alatas itu di zaman penjajahan memang ada di Eropa. Kita yang dijajah pada waktu itu tidak mampu mengubahnya. Apakah sekarang akan timbul mitos baru? Mitos Pribumi Tergantung dari negara donor? Sekarang kita sudah merdeka, sekarang kita sudah jauh maju dalam pendidikan, sekarang kita harus mampu mencegah timbulnya mitos baru itu. Dengan sikap kerja dan hasil karya kita sendiri.

Semoga. Kita di Indonesia harus berterima kasih kepada Alatas dengan bukunya yang dapat menggugah kembah harga diri kita sebagai masyarakat dan bangsa yang terhormat.

21 Mei 1988

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae