Sabtu, 25 Desember 2010

Membaca Perpuisian Malang Mutakhir

W. Haryanto
Sumber :http://cetak.kompas.com/

mendung yang menggantung,
gerimis yang malu malu, di atas kota ini
seperti wajah seorang gadis yang diam diam
terus meratapi nasibnya, yang terlanjur
menjadi namanya

(Sajak ”Malang” karya Ragil Supriyatno Samid)

Puisi adalah jejak sejarah, tapi bukan anak kandung sejarah. Puisi adalah tindak individual atau dalam pengertian penyair Muh Zuhri, tingkat kebenarannya bersifat subyektif meski bisa diuji secara ilmiah. Sekalipun bertendensi individual, ranah perpusian juga ditentukan pada organisasi makna di luar dirinya. Inilah harmoni puisi.

Lama setelah (alm) Hazim Amir, Eka Budianta, dan Wahyu Prasetya, saya merasa asing dengan sebutan puisi Malang. Bukan sebatas konteks karya, tapi juga mereka yang menyebut dirinya sebagai penyair Malang (dalam komunikasi di Jawa Timur) dan Malang hanya memiliki prosais Ratna Indraswari Ibrahim. Di akhir tahun 90-an, Nanang Suryadi dan Kuswinarto merintis komunikasi dengan atmosfer Jawa Timur lewat gerakan puisi internet.

Gerakan ini, dalam terawangan saya adalah antiklimaks dari dinamika perpuisian Jawa Timur, seiring klaim yang menyatakan bahwa puisi internet adalah keputusasaan para penyair yang gagal bertarung di media massa yang bercorak Jakarta dan Yogyakarta.

Indikator dari apatisme terhadap media massa terlihat jelas. Malang seperti juga Jember menolak media massa, tetapi keduanya berbeda. Apatisme Jember karena warisan penyair-penyair pendahulu, sedangkan bagi penulis-penulis senior Malang aktualisasi di media massa hukumnya wajib. Wahyu Prasetya, Tan Tjin Siong, Ratna Indraswari, dan Akaha Taufan Aminoedhin tidak asing pada kolom-kolom sastra media massa. Akan tetapi, generasi sesudah mereka jadi seperti lost generation, mereka yang hilang.

Sejak periode tahun 90-an, media massa menjadi klimaks setiap kontemplasi para penyair, hingga memicu booming penyair Surabaya di media massa. Tentu, bukan dalam standar kualitas karena media cetak tidak otomatis menjadi penentu. Terbukti pada beberapa tahun terakhir, booming penyair itu hanya euforia dan pseudo-reality. Namun, tidak banyak yang tercatat dari Malang ketika arah perpuisian kita sebatas kontemplasi redaksi di ruang tertutup.

Resistensi

Dalam bangunan kultur, Malang kerap membentuk resistensi terhadap Surabaya, seperti Solo kepada Yogyakarta. Resistensi ini juga bersifat penandaan atas karakter penciptaan. Ketika mainstream Jakarta ”bocor” dan menjadi referensi rujukan bagi mereka yang merasa butuh pengakuan di Jakarta, banjir pengemis eksistensi ini tak cukup memenuhi kolom-kolom koran, juga pada sejumlah acara yang dicitrakan sebagai ”wajah Jakarta” penuh kaum dhuafa ketimbang penyair. Sekali lagi kepenyairan Malang juga tak terbaca di sana. Sekalipun beberapa penyair Malang muncul dalam perpetaan puisi Indonesia, karya-karya Ragil Supriyatno Samid termuat dalam Temu Sastra Indonesia III Tahun 2010 (Tanjung Pinang), Yusri Fadjar termuat dalam 104 Puisi Menuju Bulan (Antologi Penyair Nusantara Banjarbaru, 2006), juga Denny Mizwar yang termuat dalam buku Tabir Hujan (Dewan Kesenian Lamongan, 2010). Catatan-catatan kecil ini menunjukkan bahwa Malang telah menjadi salah satu subkreatif di Jawa Timur, selain Sumenep dan Lamongan.

Kepenyairan Malang sebenarnya cukup menarik untuk digali karena tak adanya patron, reproduksi teks tumbuh secara terbuka dan alamiah. Berbeda dengan puisi-puisi Surabaya yang homogen (seragam), perpuisian Malang lebih variatif dan kaya irama. Penyair-penyair Malang juga lebih berani melawan arus (mainstream). Malang seakan mencoba menemukan jejaknya sendiri di luar politik Jakarta minded yang telanjur diklaim sebagai wajah perpuisian Jawa Timur. Risikonya Malang seakan tak diakui dalam peta perpuisian Jawa Timur, seperti apa yang dituliskan Ragil Supriyatno Samid dalam puisinya yang saya kutip di awal tulisan ini.

Resistensi Malang cukup menarik jika kita bertolak pada ungkapan komponis China, Tian Feng, maupun pandangan sastrawan Afrika, Ben Okri, bahwa kebudayaan memungkinkan adanya alur-alur lain yang menjadikan kebudayaan tersebut hidup. Karena tradisi yang terus direproduksi secara berulang-ulang (mainstream), justru memuncak pada degradasi.

Fakta ini pun mulai terbaca akhir-akhir ini. Kebanyakan penyair-penyair Jawa Timur terbiasa merepetisi dan mengcopy-paste karya-karya yang terbiasa laku di media massa, tanpa adanya gagasan baru, dan sekadar memanfaatkan keterampilan memakai bahasa yang indah, sementara faktor kedalaman dan filsafat bahasa semakin tidak dikuasai.

Dan resistensi penyair-penyair Malang memang jadi catatan tersendiri. Ternyata, kepenyairan Malang lebih bisa diterima oleh atmosfer sastra Indonesia, walau dalam birokrasi kesenian di Jawa Timur terkesan menganaktirikan Malang.

W Haryanto Penyair, Esais Tinggal di Ngagel Baru, Surabaya

Sabtu, 18 Desember 2010

Religiusitas yang tak verbal pada Telepon Berdering Dini Hari

:Sebuah Sajak Bambang Kempling
Zawawi Se
http://sastra-indonesia.com/

Beberapa waktu lalu masih di tahun 2009 ini saya masih teringat ketika memposting sebuah puisi-puisi-an saya ke milist apresiasi sastra. Ketika itu puisi-puisi-an tersebut mendapat respon dari Hudan Hidayat yang menyatakan bahwa puisi-puisi-an yang saya buat tersebut masih terlalu verbal.

Tapi bagaimana lagi, sebagai seorang awam puisi memang sering terjebak pada keverbalan gaya ungkap. Menyatakan A untuk sebuah maksud yang A pula. Menulis B untuk bermaksud menyatakan B pula.

Dalam sajak karya Bambang Kempling berjudul Telepon Berdering Dini Hari yang tergabung dalam Antologi Bersama Lidi Segala Kata seperti mengungkap religiusitas yang tak verbal. Jadi religiusitas itu tidak harus mengungkap kata-kata seperti shalat, zakat, puasa, dan lain-lain

Dalam konsep Islam sepertiga malam akhir atau dini hari sampai menjelang fajar adalah waktu kesunyian dari hiruk pikuk kesibukan dunia. Pada saat itulah turun Tuhan dan para malaikatnya ke langit dunia untuk mengabulkan doa para makhlukNya yang beramal pada saat-saat seperti itu.

Telepon berdering
dini hari
angkasa bening
hening

Turunnya Tuhan dan para malaikatnya bagi semesta cahaya yang dapat membuat keluasan dalam dada manusia.

semesta cahaya
buat cakrawala di jiwa

Dan Bambang Kempling seolah-olah menyindir kita dengan sebuah pertanyaan yang menggoda:

maka, adakah yang mendengar dering syahdu itu?

Adakah kita yang terbangun pada dini hari, saat angkasa bening hening, bersuci lalu, bermunajat, mengangkat telepon untuk menjawab Tuhan yang memanggil-manggil kita dengan janjiNya yang Mahapasti untuk menempatkan kita pada maqomam mahmuda?

Dan sebagaian dari kita mungkin hanya: selalu tergoda untuk mencoba menerka-nerka / dengan memberi tanda pada angka-angka / dalam lafal sesaat yang menyayat.

Dan seolah-olah Bambang Kempling mengajak kita untuk mendengar dan menjawab dering syahdu itu dengan pertanyaan yang sama yang seolah-olah menohok kita:

Adakah kau juga mendengar dering syahdu itu?
: tiba-tiba kita tersipu dalam gigil

Namun justru mungkin kita menjadi malu dibuatnya karena mungkin sebagaian dari kita disibukkan oleh angka-angka yang seolah menjamin kehidupan kita dan tak mempertanggunjawabkannya kepad Yang Mahakuasa.

Sajak Bambang Kempling
Telepon Berdering Dini Hari

telepon bordering
dini hari
angkasa bening
hening

semesta cahaya
buat cakrawala di jiwa

maka,
adakah yang mendengar dering syahdu itu?

Kita selalu tergoda untuk mencoba menerka-nerka
Dengan member tanda pada angka-angka
Dalam lafal sesaat menyayat

Adakah kau juga mendengar dering syahdu itu?
: tiba-tiba kita tersipu dalam gigil

Gresik, 9 November 2009

Linearitas Cerita dan Sublimasi Bahasa*

Cerpen-cerpen Raudal Tanjung Banua
Satmoko Budi Santoso*
http://www.facebook.com/people/Satmoko-Budi-Santoso/1648033915

WILAYAH cerita bukanlah area yang memaksudkan dirinya menjadi tak bebas nilai. Wilayah cerita tetaplah berada di dalam koridor keterikatan ruang dan waktu, pengejawantahan aktualitas, dan sederet konvensi lain yang tak begitu saja melepaskannya sebagai fiksi. Wilayah cerita tetaplah mengemban visi dan ideologi tertentu, pandangan dan pesan moral, sehingga aspek fiksionalitas harus ditawar, jika memang aspek ini selalu ingin diunggulkan karena keyakinannya yang (hanya?) bersandar pada kekuatan metafor, imaji, dan ambiguitas makna.

Konsekuensi semacam itulah yang menyungkup kaleidoskop proses kreatif Raudal Tanjung Banua dalam kumpulan cerpennya yang bertajuk Pulau Cinta di Peta Buta (Penerbit Jendela Yogyakarta, 2003) ini. Betapa ia, sebagai pencerita, amat konsisten mengemas khazanah konflik yang beragam, mulai dari yang bertendensi “tanpa beban”, sampai yang “berat”, katakanlah konflik dengan latar persoalan sosial-politik yang peka, misalnya pada cerpen Pertemuan di Jakarta dan Nyonya Helena Da Costa. Kedua cerpen yang membawa pembaca pada ingatan gejolak revolusi yang ada di Timor Leste.

Atau, barangkali saja malah sebuah kesengajaan bahwa di dalam antologi ini Raudal memang sengaja membaurkan wilayah cerita yang tak tunggal, tak seragam. Dalam konteks ini pula lazim diberlakukan pengamatan lebih lanjut bahwa Raudal memang memahami pola relasi antara pengarang dan pembaca: sebuah alternatif tawaran adonan cerita sebagai bagian transformasi produksi peristiwa sosial-politik masyarakat ke dalam bentuk fiksi. Konsekuensi positifnya, masyarakat akan merasa terlibat dalam cerita yang tersuguhkan. Tanpa wajib mengenal seseorang yang menjadi pemandu wacana pola relasi antarteks sebagai bagian varian estetisasi yang mengambil bagian dalam ranah produksi sosial yang bernama Janet Wolf, Raudal telah berkompromi dalam menggarap keberjamakan wilayah cerita agar pembaca mendapatkan cermin refleksi yang beragam.

Risikonya, tentu saja, adanya sejumput pertanyaan, seberapa jauh penggarapan linearitas cerita yang terbangun mampu menunjukkan pencapaian sublimasi bahasa: adanya kemampuan mengolah cerita sebagai bentuk pencapaian cara ungkap yang “aduhai, lihai, dan maestrois”? Apakah sublimasi bahasa dalam sebuah cerita hanya mungkin dicapai ketika cerita itu sendiri terbebaskan dari pesan moral dalam konteks sosial-politik, misalnya, dan hanya berkepentingan the playing in the game (bermain dalam permainan) dalam koridor fiksionalitas, seperti yang diidealkan salah seorang kritikus sastra Indonesia bernama Nirwan Dewanto?

Keberagaman cerita yang digelontorkan Raudal dalam halaman per halaman di dalam buku ini tak luput menyeret penafsiran pada usaha menyuguhkan aspek antropologi dan sosiologi pengetahuan yang serius, seperti terbuktikan dalam cerpen-cerpen yang berjudul Jalan ke Bukit Sudah Berubah, Lembah yang Riang dan Kemilau Mata Air, Dongeng Pulau Dewata, maupun Pulau Cinta di Peta Buta. Sebuah orientasi dan kompromi estetik yang seolah-olah jadi mutlak diemban para pencerita terkini, sebagai imbas rasionalisasi wacana cultural studies, yang dalam banyak hal sungguh menyelamatkan sekian jumlah pencerita karena masih ada wilayah garapan cerita yang berada di dalam asumsi “tak tersentuh”.

*) Pernah dimuat di Media indonesia.

MEMBACA KULIT LUAR “KITAB PARA MALAIKAT” NUREL JAVISSYARQI

M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/

Membaca karya sastra, dalam hal ini adalah karya puisi sama halnya dengan perjalanan panjang menyusuri jalan setapak yang dipenuhi cabang dan penunjuk jalan (baca: tanda). Berbagai macam (bentuk) penunjuk jalan tersebut membawa pada pengungkapan pengalaman, baik pengalaman realitas maupun pengalaman batin si kreator tanda. Aspek pengalaman seorang kreator mempengaruhi bangunan struktur tanda yang dibangun. Pengalaman menjadi dasar atas pembangunan bangunan tanda yang kelak akan diterjemahkan oleh pembaca. Pengalaman itu sendiri yang sebenarnya menjadi inti dari pembangunan struktur tanda, baik yang dalam pengertian transenden maupun yang imanen. Bangunan struktur atas tanda tersebut, mutlak sebagai pencerminan diri kreator tanda (sastrawan).

Bangunan struktur yang sudah jadi dan dilepaskan akan diterima masyarakat pembaca sebagai struktur makna yang diperlukan usaha interprestasi. Dalam aktivitas ini, pengalaman kembali memainkan peran yang penting. Dimana pengalaman pembaca dalam usaha menterjemahkan tanda untuk menjadi bangunan makna baru. Hasil interpretasi dapat dipastikan akan terlepas dari esensial makna yang dimaksudkan si kreator tanda. Antara makna penciptaan dan pembacaan struktur tanda, terdapat adanya jarak yang cukup signifikan yang dapat disebut sebagai ruangan ketiadaan (ada namun tiada, tiada namun ada).

Ruang ketiadaan ini memungkin terjadi adanya interaksi simbolik yang terjadi secara dialektis. Interaksi yang pada akhirnya membangun makna baru. Pembaca, dalam usaha memahami teks tanda (baca: sastra) secara tidak disadari mengembangkan struktur tanda yang pada diciptakan seorang kreator.

Karya sastra, secara khusus puisi, memiliki banyak ruang lingkup tanda yang apabila dilakukan usaha penterjemahan justru menimbulkan tanda baru. Tulisan ini bermaksud meresapi nilai pengalaman yang tertuang di dalam struktur tanda yang dibangun di Kitap Para Malaikat (KPM) karya Nurel Javissyarqi (NJ). KPM yang merupakan buku kumpulan puisi, konon menurut NJ, dipahat selama 1 tahun dan dikristalkan selama 8 tahun. Perjalanan panjang dalam proses penciptaan bangunan tanda KPM ini, sehingga dapat dipastikan kalau KPM disemayami jutaan pengalaman yang mengagumkan.

Menyimak judul, Kitab dan Para Malaikat, mengumumkan adanya jalinan pengalaman religius (kalau tidak boleh dikatakan mistis) hasil dari hubungan gelap antara NJ dan Para Malaikat. Kenapa hubungan gelap? Mungkin hubungan ini hampir sama dengan perselingkuhan, kalau antara seorang perempuan dan lelaki dapat melahirkan anak, hubungan gelap NJ dan Para Malaikat telah menghasilkan sebuah kitab lumayan panjang. Hubungan gelap, karena pertemuan NJ dengan Malaikat tidak diketahui orang lain di dalam pengalaman (baca juga: kesaksian) religius. Apabila wahyu Allah Ta’ala diterjemahkan dan disampaikan untuk para Nabi Allah, para Malaikat (tentu saja Malaikat-Nya Allah) ternyata memilih seorang NJ (Nurel Javissyarqi), seorang penyair dari Lamongan untuk menghimpun cahaya yang berserak.

Pengalaman, yang menurut NJ sebagai kesaksian, dirangkum ke dalam 21 judul (baca: surat) puisi. Surat yang merupakan manifestasi dari hebatnya pemikiran dan renungan yang membuahkan kitab. Ini yang membuat saya merasa was-was dan gemetaran sendiri membacai KPM. Bagaimana tidak, realitasnya yang saya hadapi kali ini bukan Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer yang menyusur sejarah kehidupan manusia Indonesia. Akantetapi, yang saya hadapi kali ini adalah Kitab Para Malaikat yang oleh Maman S. Mahayana (KPM, 2007: iv) disejajarkan dengan para pemikir besar dunia. Sebelum terlalu jauh saya menjajaki samudra pengalaman, terlebih dahulu saya menyibukkan diri dengan gemericik air dan derum ombak di pantainya. Hal ini saya lakukan semata-mata untuk mengukur panjang kaki, hingga saya memutuskan untuk menulis Membaca Kulit Luar “Kitab Para Malaikat” Nurel Javissyarqi ini. Saya berusaha untuk tetap tenang, mengingat pepatah lama, “Sedia payung sebelum hujan” karena tidak ingin bersombong diri yang justru membuat saya tenggelam di samudra.

Pengalaman yang bersinggungan dengan kesadaran ketika menangkapi fenomena realitas, baik dalam ruang transenden maupun imanen. Fenomena ini, yang entah dari dunia realitas maupun non-realitas (yang terjadi di dalam diri NJ), membangun pola pikir yang akhirnya tertuang sebagai karya. Setiap pengalaman, menurut Derrida (dalam Dreyfus dan Wrathall, 2005: 91), sebagai bagian kehidupan yang mengandung makna. Pengalaman yang bermakna termanifestasikan ke dalam karya yang selanjutnya meninggikan nilai sastra itu sendiri sebagai pengalaman dunia kehidupan.

Pun, hal ini dapat kita temukan di dalam bait (baca: ayat) KPM karya NJ. KPM membawa nuansa baru dalam khasanah jagat perpuisian di Indonesia. Ayat-ayat ringkas namun ketika dipahami memberikan bentangan cakrawala yang tanpa batas. Apabila di sana ditemukan adanya “batas’, lebih dikarenakan faktor individu setiap pembaca sebagai mufasir yang menggali makna.

Malaikat-nya NJ tersindromi kekaguman pada perempuan, yang mana makhluk satu ini memiliki rangka estetik yang dengan sangat berhasil menarik perhatian seniman. Tidak hanya seniman sastra, banyak diantara pengagum serta pemuja mengkreatorkan estetika yang diilhami perempuan. Konon, perempuan sebagai keturunan Hawa yang diciptakan dari Adam, pun yang menjadikan sang Adam diturunkan dari surga.

KPM sendiri tidak mampu melepaskan diri dari pesona perempuan. Indah dan makna yang terbangun di banyak tempat di dalam berbagai bahasa. Bahkan, perempuan menjadi satu pokok bahasan yang penting di Surat pertama yang berjudul Membuka Raga Padmi (KPM, 2007: 5-10). Kerangka ini apabila diterawang melalui khasanah sosiologis, akan membidik sang NJ si empu KPM adalah seorang pemuja perempuan.

Panjang dan lebar, waktu yang dibutuhkan untuk menggelar khasanah seperti ini, yang pada titik puncaknya membuat kita kelelahan untuk mengikuti NJ yang telah menisbatkan diri sebagai pengelana. Esensial perempuan terlihat jelas di surat Membuka Raga Padmi yang dengan membara menelusup jiwa perenungan. Dari rambut sampai pada mata batin, tidak kelewatan disusupi diam-diam. Pun, dalam Hukum-Hukum Pecinta, pembaca akan menemukan peran perempuan dalam kehidupan manusia.

Selain itu, permainan simbol dan bangunan struktur makna yang dibangun NJ dalam KPM-nya sangat jelas dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Simbolisasi dari latar belakang ini terdeteksi dengan sangat jelas, misalnya mengenai penandaan Bunga Wijayakusuma dalam penobatan raja, dalam Surat Muqadimah: Waktu Di Sayap Malaikat ayat XVIII (KPM, 2007: 2). Dari aspek estetik dan struktur tanda ini, menterjemahkan sebagaian pengalaman religius yang termaktub di dalamnya. Pembacaan naskah lama, dilakukan oleh NJ dalam mengkreasikan struktur tanda KPM. NJ sebagai peramu memasukkan nilai sufistik Kejawen.

Latar belakang budaya yang ikut mempengaruhi proses pengkreasian strauktur tanda merupakan hal yang lumrah. Pengalaman ini, baik transenden (maupun) imanen bercorak Jawa yang memungkinkan makna yang tidak universal. Aspek kultural yang melatarbelakangi kehidupan NJ justru menyempitkan makna KPM sebagai sebuah kitab yang semestinya universal, dapat dipahami oleh setiap manusia. Pendasaran ini saya ambil, hanya sebatas pada aspek aspek geografis dan kultural yang berbeda.

Estetika dan struktur tanda yang dibangun NJ dalam KPM lebih banyak memuat pengalaman (kesaksian) mistis Kejawen. Struktur estetik dan struktur tanda dalam KPM harus ditelusuri bersamaan dengan proses pembacaan terhadap historis masyarakat Jawa, dimana bangunan estetik dan struktur tanda itu dibangun dan termanifestasikan ke dalam KPM. Memahami KPM berarti telah memahami nilai estetika dan jalan religius masyarakat Jawa.

Banjarnegara – Studio SDS Fictionbooks, 12 Desember 2010

Jumat, 17 Desember 2010

Menakar Puisi “Kamboja Bergoyang Seusai Pemakaman”

— Sebuah Puisi Edi Romadhon—
Abdul Aziz Rasjid
http://sastra-indonesia.com/

Juli tahun 2009 ini, usianya terhitung limapuluh tahun lebih tiga bulan. Sedang sebagai penyair —jika ditilik dari antologi puisinya yang pertama: Antologi Lingkaran Kosong (IKIP Yogyakarta, 1981)— usia kepenyairannya terhitung duapuluh delapan tahun. Sebuah perjalanan kepenyairan yang tak dapat dikatakan pendek, sebab telah ia tempuh lebih dari separuh usia kehidupannya.

Afrizal Malna mencatat namanya dalam Leksikon Penyair (Sesuatu Indonesia, Bentang Budaya: 2000). Dalam buku setebal 580 halaman itu, walau kita tak menemui sebaris puisinya dibahas atau dijadikan sandaran bagi gagasan-gagasan Afrizal Malna, publikasi yang besar terhadap puisi-puisinya pada dekade 80-90 an setidaknya membuat ia pantas untuk dicatat dalam leksikon itu.

Berkaitan dengan publikasi puisinya tersebut; Abdul Wachid B.S. dalam kata pengantar untuk buku Tujuh Kumpulan Sajak Untuk Sebuah Kasih Sayang (bukulaela, 2004) menuliskan, “bahwa diantara beberapa penyair di Banyumas, ia adalah salah satu penyair yang puisi-puisinya diperhitungkan oleh koran-koran di Yogyakarta, Semarang ataupun Jakarta”.

Penyair itu, bernama lengkap Edi Romadhon, lahir di Ajibarang Banyumas 21 April 1959. Puisi-puisinya terkumpul dalam: Jejak Putih (IKIP Yogyakarta, 1982), Laskabu dan Kembar (1985), Suara Dari Desa (Teater Gethek Ajibarang, 1989), Melacak Jejak (Antologi Bersama, Kancah Budaya Merdeka Banyumas, 1993), Antologi Puisi Jawa Tengah (Antologi Bersama, 1994) Mimbar Penyair Abad 21 (Antologi Bersama, 1996), Jentera Terkasa (TBJT, 1998) dan Serayu (Harta Prima, 2005).

/I/

“Pernah kau katakan berapapun terasa kita punya letih/ tak bakalan terminal memberi henti seterusnya. Itu hanya istirah, dimana/ ancang-ancang karena seribu jalan lagi telah menghadang. Dan kita/ diharuskan buati sejarah jejak-jejak”.

Sepotong puisi Edi Romadhon di atas berjudul “Kamboja Bergoyang Seusai Pemakaman”, terkumpul dalam antologi puisi Serayu. Meski puisi itu bukan satu-satunya puisi yang dimuat dalam antologi itu —terdapat empat puisi lainnya, berjudul: “Sumpah Pemuda Lagi”, “Abu”, “Ronggeng”, dan “Bintang”— “Kamboja Bergoyang Seusai Pemakaman” dari unsur tema memiliki keunikan tersendiri dibanding empat puisi lainnya.

Bila empat puisi lainnya berbicara tentang orang-orang tertindas yang disebabkan ketidakadilan struktur sosial, “Kamboja Bergoyang Seusai Pemakaman” bercerita tentang kesadaran akan kefanaan manusia di mata Tuhan. Di mana kisahnya, bertitik tolak dari duka seorang lelaki atas kematian sang istri. Duka itu, begitu tebal menyelimuti kesendirian dan suasana alam yang muram menyempurnakan narasi kesedihan yang dominan.

Bukit-bukit akhir sebuah pandang bisu. Kabut yang di/ tiupkan angin bertebaran hancur membuat angkasa satu warna. Di langit/ seribu muka bergadha dalam iringan keok gagak hitam berkibaran.

Kabut yang ditiupkan angin, iringan keok gagak hitam adalah suasana yang timbul sebagai kedukaan. Suasana itu tak hanya menebalkan kesakitan namun juga membangkitkan keyakinan, bahwa kematian sang istri tidak hanya membuat aku lirik merasa bahwa ia kini hidup dalam kesendirian namun sekaligus mengantarkannya pada keterbatasan. Sebagian dari dirinya dan hidupnya dirasa telah hilang. Sehingga ia lantas merasa lemah untuk menjalani langkah hidup ke depan. Kenangan pada masa silam, semakin meruncingkan keterbatasan itu.

Tanda jarum manakah bila aku tinggal cuma punguti/ mimpi-mimpi bersamamu. Tanda tunjuk manakah hilang sepanjang kenang/ lalu bersamamu kini buntu kaki.

Kenangan yang bercampur kegelisahan itu, lalu saling menjalin dan makin menjadi-jadi. Dan aku lirik pun mulai menyangsikan kehidupan. Harapan-harapan yang hadir di dirinya dari istrinya itu, yang berjalan tak sesuai dengan kenyataan menjadi dalang dari penyangsian itu. Dan aku lirik pun lantas berkata:

Kita mesti bermarathon, itu katamu ketika justru dokter/ membisu sambil hanya gelengkan kepala tak yakin pada dirinya. Kita mesti/ berlari kencang. Itu katamu ketika justru nafasmu pendek menepi di paru-paru.

/II/

Bait-bait yang penuh duka itu, yang berbicara tentang kematian orang tercinta, lalu membuat aku lirik melihat kehidupannya dalam warna yang lain, yaitu kesendirian. Kesedihan yang memuncak, pada akhirnya menyeretnya dalam pertanyaan ataupun pemaknaan filosofis tentang tujuan kehidupan. Pemaknaan itu pun kemudian membentuk situasi peralihan, dari keterpurukan-kesedihan-kedukaan menjadi bangkit untuk mengaitkan kehidupan dengan sesuatu yang lebih besar dari hidup itu sendiri: Keilahian. Dan unikmya, peralihan semacam itu, ditemukan oleh aku lirik ketika kamboja bergoyang sesusai pemakaman.

Kamboja bergoyang usai pemakaman. Aku kembali/ dalam getar sadar kemiskinan…

Berarti, dalam puisi itu, kamboja yang bergoyang seusai pemakaman menjadi zona liminal. Sebuah situasi yang berada dalam posisi yang tidak pasti, sebab tidak berada “di sini” dan tidak pula “di sana”. Situasi peralihan itulah yang kemudian menyebabkan pula terjadinya tahap pemisahan dan kemudian penyatuan.

Tahap pemisahan itu tampak jelas dalam bait ini:

…aku kembali sambil kupunguti topeng-/ topengku yang bergantungan di jalur langit. Aku hitung itu semua./ kubakar selekasnya. Aku menangis.

Pembakaran dan tangisan itu, lalu mengantarkan aku lirik menuju pada penyerahan kedirian, yaitu penyatuan dengan Tuhan. Ritual penyatuan itu juga melibatkan penggunaan benda dari peninggalan istrinya yang telah mati.

Ritual penyatuan itu, tampak dalam bait ini:

Ijinkanlah aku mandi di pancuran fitrahku. Lewat air mataku. Lewat/ sajadah tinggalanmu. Amin

/III/

Menakar puisi “Kamboja Bergoyang Seusai Pemakaman”, hemat saya adalah menakar pencapaian penghayatan seorang penyair dalam menandakan dan memaknakan kejadian yang mengemuka di luar dirinya. Dimana, jalinan kontak komunikasi antara duka kematian, kefanaan manusia dan keesaan Tuhan dalam puisi itu —yang disuguhkan pada pembaca— diwakili lewat tanda dan makna artistiknya oleh kamboja yang bergoyang. Produksi simbol berupa kamboja itu, mungkin saja terlahir sebagai bagian integral dari buah sistem kemasyarakatan di sekitar lingkungan penyair, di mana secara realita dan idea dalam masyarakat Jawa, kamboja memang identik dengan suasana kematian, sebab banyak berkembang di areal pemakaman.

Sedang secara isi, puisi “Kamboja Bergoyang Seusai Pemakaman”, setidaknya dapat pula menggugah pertanyaan pada diri kita berkaitan dengan cara berkomunikasi dengan Tuhan, yaitu: Apakah penyatuan pada Tuhan mesti lahir dari kedukaan, sebelum kemudian hadir sebagai pembangkit getar sadar akan kefananaan? Jika yang terjadi memang tak jarang demikian; mengapa Tuhan —yang dipercaya sebagai Yang Esa— mesti mengalami hal tragis serupa itu?

Bali, pertengahan juli 2009
facebook, 20 Agustus 2009

Bahasa dan sebagainya dalam antologi Presiden Panji Laras

Nu’man ’Zeus’ Anggara
http://sastra-indonesia.com/

M.S. Nugroho, sebagai cerpenis yang telah menulis beberapa karya yang beridekan sastra Panji, romantika remaja, pergaulan suami istri telah memberikan penawaran yang di beberapa sisi menyegarkan dan di sisi yang lain memmpunyai kecenderungan identik dengan gaya penulisan beberapa pengarang Jombang. Sebagai pembaca yang kurang atau bahkan sedikit sekali mengetahui seluk-beluk cerita panji, melalui tulisan ini akan mencoba membayangkan logika cerpen pengarang kita ini dengan resiko segala kekurangan dan ketidak-akuratan.

Membayangkan sebuah gaya dominan dalam konteks geo-kesusastraan memancing kesimpulan-kesimpulan tergesa-gesa atau klaim dengan harapan penegasan tersebut menjadi potret standar yang diikuti komentator-komentator lainnya. Gaya penulis Jombang tidak bisa ditarik dengan melihat strategi diksi atau pilihan kalimat, tetapi membayangkan sesuatu yang lebih luas seperti tendensi psikologi budaya dan sejarah kepenulisan di wilayah ini. Dengan tidak memperhatikan penulis lama seperti Emha Ainun Najib hingga cerpenis seperti rekan Nugroho ini akan ada benang merah yang dapat menandai stilistika dan gaya bahasa yang kuat menjadi merk sastra Jombang. Sebuah hal yang klise jika membayangkan kota ini sebagai kota santri dimana tradisi keislaman yang berakar sejak lama membuat sebuah kondisi kesusastraan harus langsung menggunakan simbol-simbol keagamaan dengan vulgar dan definitif. Pendekatan yang alamiah dan manusiawi, yang artinya juga sama dengan spiritualitas dalam konotasi perennial, dicoba dituliskan dalam antologi ini.

Beberapa cerpen dalam antologi ini dapat dibaca dengan tidak mengharapkan sesuatu yang luar biasa, cerita berjalan dan diukir dengan bahasa dan pendekatan narasi yang tidak istimewa. Namun dalam jumlah yang lebih besar, cerita-cerita menjanjikan endapan-endapan kreatif yang punya arah menggembirakan dan mencerahkan secara kritik. Singkatnya, hanya sedikit cerpen dalam antologi ini yang akan membuat pembaca malas-malasan menikmatinya. Dengan tetap mengingat bahwa dalam karya-karya Nugroho yang istimewa juga memiliki celah kelemahan.

Tokoh Jaka Bayawak yang diambil dari dongeng Panji dicurahkan melalui karakter Dewi di masa kini yang sedang diterangi temaram lampu di bar kecil. Lalu dimulailah cerita waktu ganda. Adegan-adegan berjalan filmis seirama dengan tragedi masing-masing perempuan di waktu terpisah. Penedekatan ini sebenarnya tidak terlalu orisinil, tetapi percobaan yang tidak hati-hati dan kaya fantasi akan gagal menciptakan sensasi yang mampu mengungkapkan isi tematik dari cerita referensi. Dengan kelihaian menempatkan adegan, Entropi Jaka Bayawak sukses meramu segelas jamu beras kencur dengan tujuh gelas bir dengan rasa yang sama mendayu-dayunya di latar waktu yang berbeda. Bahasa perempuan yang nyaris tanpa revisi.

Seperti halnya juga cerpen diatas, Yuyu Kangkang Kata-Kata mengeksplorasi dongeng dengan menderu-deru. Hanya saja aspek yang dirayakan di komposisi ini adalah kata-kata. Kenapa Yuyu Kangkang? Nugroho lebih tahu alasannya. Yang dapat dilihat disini lebih pada bagaimana kata-kata yang berkhianat, penuh dendam, dan berhamburan tidak bisa diandalkan sebagai sandaran terakhir realitas. ’Semuanya berubah, menjadi abjad pertama, menjadi pertama. Menjadi satu dan Sang Satu.’ Seperti dongeng, moral ceritanya jelas dan untuk kepentingan sastra mutakhir dirancang manuver tekstual dalam formasi liris dan puitis. Tidak ketinggalan juga: tipografi.

Jago untuk Presiden. Katakanlah ini versi parodi Panji gaya Seno Gumira Ajidharma yang aroma sastra Jombang (kalau memang ada) untuk menggambarkan nasib mengharap Ratu Adil. Kekuasaan merupakan perkara memiliki ayam andalan yang akhirnya berakhir dengan tragis. Bagaimana Nade Garang yang mencari pembenaran atas petunjuk gaib pada kisah ini harus merelakan ujung nasibnya berada di dalam penjara. Yang layak dicatat, bagaimana pencerita memberikan kesan yang hidup pada perjalanan sang tokoh di tengah pencariannya dengan mencoba menghadirkan properti keseharian secara wajar dan relevan dengan bawah sadar sang tokoh.

Sayap-Sayap dari Langit, sungguh cerita remaja.
90’3GP, kurang menggigit karena arus kesadaran yang seharusnya dipertajam malah terlupakan.

Senandung Hujan Sore Hari, idem.
Aku Melihat Kaki itu Dipotong, realisme sosial seperti ini memang mengharukan tetapi dalam fiksi butuh sesuatu yang lebih. Untuk pembaca remaja mungkin masih sesuai.

Monolog Malam mengesahkan Nugroho memiliki perhatian lintas gender dengan pengamatan keseharian dia yang cair tentang lingkungannya. Gadis-gadis yang hidup di pesantren sebagai subyek utama mengalami semacam konflik peran yang biasa menguras emosi perempuan pada umumnya, kegalauan menjelang pernikahan. Pergolakan batin tokoh-tokoh didalamnya layak mendapat perhatian feminis karena, selain cerpen ini ditulis oleh lak-laki, beberapa pembenaran masokis tentang hubungan pernikahan menjadi hal utama yang harus dimiliki perempuan dan biasanya diambil dari rasionalisasi keagamaan. Untungnya Nugroho masih mengatakannya sebagai hal yang ’Sangat indah dan sungguh aneh. Sungguh aneh.’

Yang sangat instropektif sebagai laki-laki mungkin diwakili oleh Nyanyian untuk Para Babi. Bukan karena tokohnya sendiri bernama Nugroho, tetapi memperlihatkan benar kesehariannya yang tragik komedi. Sebagai sarjana seni musik, tokoh ini harus merelakan dirinya bergaul dengan para babi yang jelas-jelas menggerogoti kewarasannya. Sebagai mahluk sosial yang harus berhubungan dengan orang (/babi) banyak mengakibatkan sejenis alienasi yang merupakan konsekwensi logis dari pengingkaran diri dari waktu ke waktu. Babi-babi memang hanya bisa mendengarkan lagu babi, seperti halnya musik manusia yang sesungguhnya harus bisa didengarkan manusia. Memang cerpen ini tidak sehebat Kafka atau fiksi-fiksi tentang krisis identitas manusia akhir sejarah lainnya tetapi gayanya yang menghibur membuat cerpen ini memiliki kenikmatan tersendiri.

Merpati Amerika, Kucing Jawa, Kucing Australia sebenarnya bagus juga memproyeksikan individu silang budaya, perkembangan konfliknya yang kurang tajam dan personifikasi perembuan bule yang hanya sekedar tempelan sehingga tidak mampu memberikan sensasi kuat menyebabkan cerita ini cukup dibaca dengan alasan intermezzo. Tanpa melupakan bahwa kelucuan dan sekaligus adegan penutupnya begitu hidup.

Ada juga cerita dewasa dalam antologi ini dan sangat mirip film cult. Segmen Kadung, tentu saja. Tetapi pembaca tidak perlu merasa cabul jika membacanya, karena suspense yang bagus sudah dibangun sejak tengah cerita dan apabila dikembangkan seharusnya bisa menciptakan sex thriller yang bikin menggigil. Karakter-karakternya juga hidup. Yang disayangkan, justru pada saat seperti ini kebutuhan untuk berbahasa yang kondusif atau mungkin memasang latar panggung yang kuat tidak hadir seperti yang diharapkan.

Kamar Rahasia lagi-lagi sangat perempuan. Nilai tambahnya ada pada kekelaman gaya Prosper Merimee. Tetapi itulah masalahnya: sangat perempuan. Atau bisa jadi subyek ini memang yang diandalkan Nugroho dalam menggali inspirasi, bukan dalam pendekatan feminis tetapi feminin dalam kebahasaan dan perlakuan perwatakannya.

Secara keseluran, antologi ini bolehlah dikatakan cukup menggemaskan. Mengenai kekuatannya, seperti biasa cerpen-cerpen selalu menempatkan akhir cerita sebagai andalan dan Nugroho berhasil melakukannya dengan baik. Bahasa yang trend saat ini dalam dunia cerpen Indonesia juga tidak terlupakan, seperti halnya bahasa yang dipakai banyak penyair yang ikut-ikut menulis cerpen di koran-koran. Cerpenis yang juga guru SMP ini sepertinya telah menempatkan bahasa sebagai andalan yang tidak tanggung-tanggung, hingga melahirkan cerpen-cerpen metaforis bukan dalam sisi penceritaannya melainkan dalam gagasan-gagasan di luar fiksi seperti permainan tanda dan kosmologi teks, sesuatu yang langsung terlihat secara spasial dalam tulisan. Ini juga menjadi salah satu kegemaran beberapa pencerita masa kini sesuai dengan nafas zaman yang dipenuhi eksperimentasi. Kuncinya ada bagaimana mengukur porsi yang tepat dan tidak berlebihan dalam mengolahnya.

Ide besar tidak merupakan ambisi cerpen-cerpennya tetapi kesederhanaan dan jurnalisme sosial yang akrab dengan lingkungan dimana dia hidup, ide yang dikelola dengan ketrampilan menyusun harmoni yang utuh antara satu bagian adegan dengan adegan lainnya. Tulisan yang dibuatnya seperti memiliki durasi dan tidak dibaca dalam figur lembar-lembar halaman.

Apabila dicari ukuran mudah untuk menegaskan kualitas sebuah karya antara rentang terendah hingga tertinggi dengan kategori: lupakan saja, jelek, lumayan, bagus, luar biasa, dan menyejarah, tulisan ini akan memberikan kesimpulan antologi ini dengan penilaian: bagus. Dengan catatan, Nugroho mempunyai peluang yang besar sekali untuk membuat yang luar biasa jika mengacu pada antologi ini. Kekuatan dalam keragaman cerpennya juga cuma perlu sedikit koreksi, mungkin naturalisme bisa dipertimbangkan untuk menciptakan ruang yang konstruktif bagi tokoh-tokohnya. Judul antologi ini juga agak remeh. Dan apakah sastra Jombang selalu bertutur selembut itu?

Wassalam.

Selasa, 14 Desember 2010

Masa Depan “Manusia Indonesia”-nya Mochtar Lubis

100 Tahun Kebangkitan Nasional
St Sularto
http://cetak.kompas.com/

Seabad kebangkitan nasional ditandai gejala keterpurukan bangsa dan negara Indonesia. Indonesia tidak sendirian. Negara-negara tetangga juga demikian. Krisis pangan tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga dunia.

Kondisi krisis global yang berpengaruh besar untuk Indonesia tidak bisa dijadikan kambing hitam. Globalisasi dan neoliberalisme juga tidak. Kondisi sakit akut parah disebabkan antara lain oleh demokratisasi pascareformasi yang telanjur diartikan serba boleh dan saling berebut menang.

Ada yang memanfaatkan situasi keterpurukan untuk membesar-besarkan ketidakmampuan pemerintahan incumbent. Apa yang berkembang membenarkan petuah Niccolo Machiavelli, penasihat Dinasti Medici dari Firenze pada abad ke-16.

Dalam konteks Indonesia saat ini, nasihat Machiavelli itu memecah perhatian pemerintah. Di satu sisi mendahulukan kesejahteraan / kebaikan umum, di sisi lain mempertahankan kekuasaan.

Makna sosial kekuasaan dipertentangkan dengan makna rakus kekuasaan. Dalam kondisi demikian dibutuhkan pemimpin yang bersosok kepemimpinan kuat, dalam istilah Machiavellian yang berani menggunakan ”kekerasan”. Tantangan yang dihadapi pemerintahan pascareformasi—SBY-JK—sangatlah berat.

Faktor manusia menjadi ujung tombak mencegah keterpurukan bangsa-negara. Sumber daya manusia adalah kunci sehingga perlu dipersiapkan secara terstruktur dan terencana strategis. Repotnya pengembangan kompetensi dan karakter manusia Indonesia kurang mendapat perhatian serius, tidak hanya tecermin dalam penganggaran, tetapi juga dalam pengembangan praksis pendidikan.

Pengenalan manusia Indonesia justru dengan menonjolkan sisi-sisi negatifnya amat relevan, kontributif, dan produktif untuk membangun manusia Indonesia yang postmo (JB Mangunwijaya), yang well informed (Soedjatmoko), yang mandiri dan tahu batas kemampuan diri (Slamet Iman Santoso), yang tidak gagap teknologi (BJ Habibie).

Mengenali sisi-sisi negatif mengacu uraian ”manusia Indonesia”-nya Mochtar Lubis dan ”mental menerabas”-nya Koentjaraningrat. Disampaikan lisan tahun 1977, dibukukan dengan judul Manusia Indonesia, diterbitkan pertama tahun 2001 oleh Yayasan Obor Indonesia, uraian Mochtar Lubis bergaung lama dan luas. Menempatkan masalah dalam sekat hitam dan putih, budayawan-wartawan itu menyebut enam ciri manusia Indonesia. Meliputi hipokrit alias munafik (1), enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya (2), berjiwa feodal (3), percaya takhayul (4), artistik (5), dan berwatak lemah (6). Untuk ciri-ciri lainnya, Mochtar Lubis mendaftar ciri-ciri yang buruk.

Ketika tahun 1982 Mochtar Lubis diminta merefleksikan kembali ”manusia Indonesia”, dengan tegas ia mengatakan tidak ada perubahan. Makin parah. Andaikan permintaan itu disampaikan kembali, di saat Mochtar Lubis sudah tiada (meninggal 2 Juli 2004), niscaya ia menangis di alam baka.

Mansyur Semma lewat buku Negara dan Korupsi (Yayasan Obor Indonesia, 2008) mengutip pendapat Samuel P Huntington tentang kondisi masyarakat yang mempersubur korupsi. Korupsi cenderung meningkat dalam periode pertumbuhan dan demokratisasi yang cepat karena perubahan nilai dan sumber-sumber baru kekayaan dan kekuasaan.

Bisa diubah

Manusia Indonesia masa depan perlu dipahami bukan sebagai ”sudah begitu, mau apalagi”, tetapi bisa diubah, semacam strategi kebudayaan. Caranya, membuat perbandingan pengalaman negara lain sebagai bahan belajar. Perbandingan yang disampaikan Huntington dalam artikelnya ”Culture Count” di bunga rampai Culture Matters (New York, 2000) yang disuntingnya bersama Lawrence Harrison merangsang kita punya keyakinan. Sumber persoalan adalah nilai-nilai. Nilai-nilai itu dihidupi dan dikembangkan oleh manusia, yang adalah subyek atas perilaku dan tindakannya.

Huntington menggambarkan Ghana pada tahun 1960-an serba sama dengan Korea Selatan. Namun, 30 tahun kemudian, Korsel melampaui Ghana dalam segala hal. Mengapa? Pertanyaan ini dijawab Lawrence Harrison dalam artikel ”Promoting Progressive Culture Change” di buku yang sama. Akar masalahnya, Korsel menghidupi dan mengembangkan budaya progresif dengan 10 tipologi manusia, di antaranya berorientasi waktu, kerja keras, hemat, pendidikan, dan menghargai prestasi.

Kata kunci mengatasi keterpurukan Indonesia adalah culture matters, kata Jakob Oetama dalam pidato peluncuran Koentjaraningrat Memorial Lecture I, 15 Maret 2004. Tipologi manusia budaya statis—yang terjadi sehari-hari dengan rumusan Mochtar Lubis—perlu diubah menjadi tipologi manusia berbudaya progresif.

Pemahaman dan keprihatinan kondisi terpuruk menjadi pelecut gerakan sosial. Mengubah kondisi terpuruk dan potensial melapuk perlu diatasi bersama: pemerintah, masyarakat dengan perangkat lembaga swadaya masyarakatnya, dan dunia bisnis.

Dengan gerakan sosial, masa depan ”manusia Indonesia”-nya Mochtar Lubis bisa terlepas dari tipologi serba ”hitam dan buruk”. Kalau tidak, seumur-umur potret ”manusia Indonesia”-nya Mochtar Lubis akan lestari! Lewat gerakan sosial dibangun kepercayaan kembali, optimisme masa depan Indonesia. Tipologi ideal manusia Huntington dan Harrison semakin jauh! Ghana itu Indonesia, Korsel itu Vietnam!

Indonesia tentu tidak dicita-citakan para bapak bangsa pendiri negara ini terus melapuk. Indonesia, manusia Indonesia, jauhkan dari kondisi melapuk!

David Hill Mengamati Mochtar Lubis

Atmakusumah
http://cetak.kompas.com/8 Maret 2010

Tidak pernah terbayangkan oleh David T Hill, pengamat masalah Asia dari Australia, bahwa ia akan memerlukan waktu tiga dasawarsa untuk menyelesaikan dan menerbitkan biografi wartawan, sastrawan, dan budayawan Mochtar Lubis, yang memasuki ulang tahun ke-88 pada 7 Maret tahun ini. Buku ini, yang diterbitkan oleh penerbit Routledge di London dan New York menjelang ulang tahun ke-11 windu itu, bukanlah biografi pesanan almarhum dan tidak pula mendapat dukungannya.

Buku ini sarat dengan analisis kritis. Salah satu bagiannya malahan ditolak oleh subyek biografi sehingga penulisnya, yang sudah amat dekat dengan pendiri harian Indonesia Raya itu, merasa gelisah selama bertahun-tahun karena penolakan ini. Tidak terhindarkan lagi, David Hill lambat laun tiba pada sikap mengagumi subyek biografinya dan bahkan merasa perkembangan kehidupannya dipengaruhi oleh Mochtar Lubis. Dalam kedekatan persahabatan ini, Mochtar Lubis memberinya fotokopi naskah asli catatan hariannya ketika ditahan selama dua setengah bulan di tempat tahanan politik Nirbaya, di tepi tenggara Jakarta, pada Februari sampai April 1975.

Catatan harian itu, dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, semula hanya diterbitkan dalam terjemahan bahasa Belanda, berjudul Kampdagboek, di Nederland pada 1979, empat tahun setelah ditulis. Naskah aslinya, Nirbaya—Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru, barulah diterbitkan di Jakarta lebih dari 30 tahun kemudian, yaitu pada 2008. Inilah naskah yang diperoleh David Hill dari Mochtar Lubis. Pada tahun itu pula, penerbit buku ini, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, memprakarsai pemberian penghargaan tahunan, Mochtar Lubis Award, bagi sejumlah kategori karya jurnalistik yang terbaik.

Pelarangan buku

Catatan harian di Nirbaya, yang judul aslinya dari Mochtar Lubis adalah Nirbaya—Sebuah Buku Harian dalam Tempat Tahanan, jauh lebih pendek daripada Catatan Subversif yang pertama kali diterbitkan pada 1980. Naskah ini mencatat pengalamannya dalam penjara dan tahanan rumah hampir terus-menerus selama lebih dari sembilan tahun pada masa Orde Lama, dari 22 Desember 1956 sampai 17 Mei 1966.

Pada masa Orde Baru dan Orde Lama memang biasa terjadi kesulitan menerbitkan buku-buku kritis di dalam negeri. Sering pula terjadi pelarangan buku, yang bahkan masih dapat terjadi sampai sekarang, pada masa Orde Reformasi—karena masih berlaku ”Penetapan Presiden tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum”—yang sudah berumur hampir setengah abad.

Novel Senja di Jakarta, misalnya, barulah dapat diterbitkan di Jakarta pada 1970, tujuh tahun sesudah terjemahannya, Twilight in Jakarta, lebih dulu diterbitkan di London dan beredar di seputar dunia pada awal 1963. Tahun berikutnya novel itu diterbitkan di Amerika Serikat dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Melayu di Kuala Lumpur pada tahun 1965.

Novel itu, karya fiksi Mochtar Lubis yang pertama diterjemahkan dalam bahasa Inggris, digambarkan oleh penulis resensi Alan Nicholls dalam harian The Age (16 Maret 1963), surat kabar berpengaruh di Melbourne, Australia, sebagai ”novel penting yang pertama dari Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa Inggris. Novel ini akan membangkitkan perhatian amat besar di mana pun novel ini dibaca”.

”Bongkar pasang” biografi

Akan tetapi, perselisihan pendirian antara subyek biografi dan penulisnya telah memberi hikmah. ”Bongkar pasang” penyusunan biografi ini selama 30 tahun akhirnya dapat menghadirkan kisah perjalanan panjang kehidupan Mochtar Lubis secara lengkap, sejak ia dilahirkan di Padang pada 7 Maret 1922 sampai saat meninggal di Jakarta pada 2 Juli 2004.

Pada awalnya, gagasan untuk menelusuri kehidupan pemimpin umum dan pemimpin redaksi Indonesia Raya itu merupakan proyek penulisan disertasi ketika David Hill menjadi mahasiswa doktoral pada Pusat Asia Tenggara di Universitas Nasional Australia di Canberra sejak 1979. Ia memulai proyek ini sambil mengajar di Departemen Indonesia dan Melayu di Universitas Monash di Melbourne. Biografi yang dihasilkannya baru benar-benar selesai pada 2009 ketika mengajar pada Program Studi Asia di Universitas Murdoch di Perth.

Dua tahun lamanya, 1980 sampai 1982, ia melakukan riset di Indonesia tentang makna posisi Mochtar Lubis dalam pertarungan media pers serta pergolakan kebudayaan, sosial, dan politik di Indonesia selama setengah abad sejak tahun-tahun awal kemerdekaan. Tesis doktoralnya baru rampung enam tahun kemudian, Juli 1988, dengan judul ”Mochtar Lubis: Author, Editor, Political Actor”.

Ada perubahan pada judul biografi yang diterbitkan menjelang hari ulang tahun ”wartawan jihad” itu tahun ini: Journalism and Politics in Indonesia—A Critical Biography of Mochtar Lubis (1922-2004) as Editor and Author. Namun, esensi isinya tetap konstan dan penulisnya tak mundur dari pertentangan pendiriannya dengan subyek biografi. Perhatian penulisnya terutama dipusatkan kepada peranan Mochtar Lubis sebagai redaktur surat kabar dan wartawan selain ketenarannya sebagai pengarang dan tokoh kebudayaan. Akan tetapi, kata David Hill, ”Sadar atau tidak sadar, informasi yang dipilih tentu saja mencerminkan nilai-nilai, perspektif, dan asumsi saya sendiri.”

Wartawan jihad

Mochtar Lubis adalah budaya- wan dan wartawan. Ia adalah sas- trawan, pengarang cerita anak- anak dan satir, kolumnis, pelukis, pematung, pembuat keramik, pencinta pelestarian alam, dan aktivis lingkungan hidup—untuk hanya menyebutkan beberapa di antara kegiatannya. Ia juga peminat, pengamat, dan penulis sejarah. David Hill menyebutnya pula sebagai aktor politik.

Mochtar Lubis bagaikan prisma, menurut David Hill. Melalui prisma ini, orang dapat mengamati berbagai lingkungan kehidupan sosial yang digaulinya: intelektual, artistik, jurnalistik, dan politik. Melalui prisma ini pula, orang juga dapat melihat perjalanan sejarah nasional selama masa hidup Mochtar Lubis.

Dalam masyarakat internasional ia adalah wartawan Indonesia yang paling dikenal. Untuk waktu lama, ia merupakan pengarang yang karyanya paling banyak diterjemahkan, sebelum kemudian mengalir terjemahan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. David Hill mengatakan, orang lain mungkin dapat melebihi pencapaiannya dalam satu bidang tertentu. Namun, sulit membayangkan bahwa ada seorang tokoh Indonesia yang lain yang mampu mengungguli keterkenalannya secara internasional dalam dua bidang sekaligus—kesusastraan dan kewartawanan.

David Hill menyebutkan beberapa kekurangan Mochtar Lubis dibandingkan dengan kekuatan atau kelebihan sejumlah wartawan, pemikir, seniman, tahanan politik, dan ”pembangun institusi” sezamannya, seperti Rosihan Anwar, Jakob Oetama, Adnan Buyung Nasution, Sutan Takdir Alisjahbana, Pramoedya Ananta Toer, atau Rendra. Walaupun demikian, ia berkesimpulan: ”Sebagai wartawan jihad (crusading journalist), Mochtar Lubis menunjukkan keberanian yang gigih, semangat moral yang berapi-api, dan tekad yang teguh.”

Dalam pengamatannya, Mochtar Lubis bagi para wartawan muda merupakan lambang yang berpengaruh, yang memiliki komitmen pada pandangan tertentu tentang apa yang harus dilakukan oleh profesi kewartawanan, yang mempertahankan prinsip-prinsipnya dan akan menanggung akibat-akibatnya. Apabila tidak dapat menerbitkan apa yang menurut keyakinannya perlu dikatakan, Mochtar Lubis akan menerima pembredelan surat kabarnya daripada berkompromi.

”Jurnalismenya yang langsung dan tanpa kompromi (direct, unyielding journalism) berakhir dengan kekalahan, baik pada 1950-an maupun pada 1970-an,” kata David Hill. Surat kabar yang dipimpinnya dibredel pada kedua masa pemerintahan oleh pemerintahan Presiden Soekarno (September 1958) dan pemerintahan Presiden Soeharto (Januari 1974). Ia ditahan pada masa Orde Lama dan juga pada masa Orde Baru tanpa diadili.

Akan tetapi, amatlah besar kekuatan ilham dari upaya (yang dilakukan Mochtar Lubis) itu karena sejumlah besar orang Indonesia, baik para wartawan maupun para pembaca surat kabar, tidak menyukai dan menolak alternatif lain, yaitu jurnalisme berhati-hati dan bermakna ganda (cautious and ambiguous journalism) yang selama beberapa dasawarsa mendominasi jurnalisme Indonesia.

ATMAKUSUMAH Pengamat Pers dan Pengajar Jurnalisme di Lembaga Pers Dr Soetomo, Jakarta.

Kekuasaan, Bahasa, dan Kebudayaan Jawa

Muhammad Qodari
http://majalah.tempointeraktif.com/
Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia
Penulis : Benedict R. O’G. Anderson
Penerjemah : Revianto Budi Santosa
Penerbit : Mata Bangsa, 2000, viii + 634 halaman

BENEDICT R. O’Gorman Anderson adalah murid yang lebih besar dari gurunya. Memang tidak jelas betul apakah Soemarsaid Moertono, penulis buku Negara dan Bina-Negara di Jawa Masa Lampau, memang pernah mengajar Ben—nama panggilan Anderson—di tahun 1964, ketika Moertono menyelesaikan bukunya yang semula adalah tesis di Universitas Cornell. Yang pasti, Moertono memberi kredit kepada Ben muda, yang dalam ucapan terima kasih ia sebut “telah membaca, membaca ulang, memberi komentar, dan mengetik, dan mengetik ulang naskah tesis-nya” tersebut.

Dapat diperkirakan, selain kunjungan pertamanya ke Indonesia pada 1961-1964 yang ia rasakan “Indonesia saat itu pada dasarnya Jawa”, Ben Anderson mendapat wawasan dan ilham soal pengaruh budaya Jawa dalam politik Indonesia dari Moertono. Dan dia kemudian menulis The Idea of Power in Javanese Culture, sebuah tulisan yang disebut R. William Liddle sebagai karya paling orisinal dalam literatur politik Indonesia.

Di sini, bersama karya-karya lainnya, khususnya yang menyelami budaya Jawa dalam hubungannya dengan politik Indonesia, Ben menjadi lebih besar dari Moertono, Claire Holt, Prof. Poerbatjaraka, dan Pak Kodrat—orang-orang yang memperkenalkan kebudayaan Jawa, yang semula asing kepadanya.

Kini, bila membicarakan relasi kebudayaan Jawa dan politik Indonesia, nyaris setiap penulis dan pengamat politik Indonesia selalu menyitir namanya. Buku Ben berjudul Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia, yang diterjemahkan dari Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, yang pertama kali terbit pada tahun 1990, dapat dikatakan berisi kumpulan karya-karya tulis Ben Anderson yang paling mencerminkan, sekaligus menyebabkan ia dikenal sebagai salah satu Indonesianis terbesar sampai saat ini.

Di luar karya-karya monumental seperti The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1946 dan Imagined Communities: Reflections on the Origins and Spread of Nationalism, buku Kuasa-Kata mencirikan pendekatan khas budaya, yang membuat analisis sosial-politik Ben menjadi lain daripada yang lain.

Pendekatan budaya tersebut terlihat dari isi buku Kuasa-Kata ini. Dengan pengecualian Bab III, Negara Lama, Masyarakat Baru: Orde Baru Indonesia dalam Perbandingan Perspektif Kesejarahan, yang menurut Vedi R. Hadiz (1992) ditulis dengan pendekatan “struktural” non-Marxis ala Barrington Moore atau Theda Skocpol, hampir semua analisis Ben tentang dinamika politik di Indonesia, dari zaman kerajaan Jawa sampai Orde Baru, ditelusuri lewat bahasa dan penjelajahan artifak-artifak budaya lainnya, seperti babat, kartun, dan monumen nasional.

Secara keseluruhan, buku tebal ini terdiri dari delapan bab, ditambah satu bab pengantar panjang yang menceritakan “autobiografi intelektual” Ben semenjak ia masih menjadi mahasiswa sastra klasik di Universitas Cambridge, Inggris, sampai akhirnya menjadi seorang ahli politik tentang Indonesia.

Bagian pertama buku ini terdiri dari tiga esai tentang kekuasaan. Esei pertama, Gagasan tentang Kuasa dalam Budaya Jawa, menunjukkan “rasionalisme” atau lebih tepatnya “sistematika” kekuasaan dalam pemikiran tradisional Jawa, yang kontras dengan “rasionalisme” konsep kekuasaan masyarakat Barat.

Konsep kekuasaan Jawa, dengan demikian, harus dipahami dengan cara yang berbeda dengan kita memahami kekuasaan melalui “lensa” Barat. Argumen lain tulisan ini, yang bertentangan dengan harapan orang saat itu bahwasanya kekuasaan Soeharto akan pragmatis dan rasional, adalah bahwa Soeharto sebetulnya mempraktekkan banyak konsepsi kekuasaan Jawa yang dipraktekkan oleh orang yang digulingkannya (Tak mengherankan, dalam terjemahan pertama naskah ini pada buku yang diedit Miriam Budiardjo pada tahun 1984, semua acuan yang menunjukkan kesinambungan ini disensor agar bisa terbit.)

Bagian kedua buku ini dipublikasikan pada tahun 1966, 1978, dan 1984, difokuskan pada relasi antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dan politik. Esai pertama, Bahasa-Bahasa Politik Indonesia, juga merupakan tulisan yang tak kalah terkenalnya dengan Gagasan Kuasa. Sebab, ia menjadi tulisan pertama yang menyelidiki perkembangan bahasa Indonesia modern dari sudut klasik.

Sementara dalam Gagasan Kuasa Ben membahas persistensi kekuasaan Jawa tradisional dan pengaruhnya terhadap kehidupan politik kontemporer, dalam Bahasa Politik Ben membahas signifikansi politik dari pengaruh semacam proses “Jawanisasi” bahasa Indonesia, dalam arti yang psikologis.

Bahasa Indonesia yang revolusioner dan egaliter makin tergusur oleh proses Jawanisasi, yang membuatnya “lamban” dan hirarkis. Esai Kartun dan Monumen: Evolusi Komunikasi Politik di Bawah Orde Baru merupakan hasil pengamatan Ben terhadap direct speech dan symbolic speech. Kedua jenis speech itu memperlihatkan kelunturan semangat revolusi Indonesia, sekaligus tanda-tanda refeodalisasi dalam mentalitas masyarakat Indonesia.

Ilham tulisan ini sebetulnya dihasilkan Ben secara “tidak sengaja”. Akibat tulisannya bersama Ruth McVey, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia, pemerintah Orde Baru melarang Ben mewawancarai aktor politik Indonesia. Untuk mengisi waktu, Ben berjalan berkeliling Kota Jakarta, melihat-lihat monumen, membaca koran dan komik, dan menonton film, yang malah menjadi materi analisisnya.

Penggunaan serat, suluk, novel, biografi, dan teks lainnya ini pulalah yang dilakukan Ben pada esainya yang ketiga, Sembah-Sumpah: Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa. Lewat penelusuran teks kuno dan kontemporer, Ben menunjukkan krisis kebudayaan Jawa dan kontradiksi yang membuncah di dalamnya.

Bagian ketiga dari Kuasa-Kata terdiri dari dua esai, yang oleh Ben disebut “eksperimental”. Keduanya mencoba menerangkan dan memahami perubahan besar dari alam kesadaran kaum intelektual Jawa, dari akhir abad ke-18 sampai dasawarsa pertama abad ke-20.

Esai pertama, yang Ben anggap sebagai karyanya yang paling berhasil dalam antologi ini, merupakan semacam “pembedahan” Ben terhadap biografi yang ditulis secara tidak biasa oleh tokoh pergerakan berkebangsaan Jawa terkemuka Indonesia, Dr. Soetomo. Ben menunjukkan “keterputusan”—dan karenanya tarik-menarik—antara diri Dr. Soetomo dan para leluhurnya dan antara semangat nasionalisme Indonesia dan akar ke-Jawa-annya.

Ben sangat kagum pada Dr. Soetomo, sosok yang menurut dia tidak hanya “lovely man”, tapi juga begitu altruistis kepada rakyat, orang-orang yang menjadi pengikutnya. Dalam esai kedua, sebuah artikel yang belum penah dipublikasikan sebelumnya, Ben melongok ke Serat Centhini dan Suluk Gatholoco, dua karya yang klasik karena keduanya—meminjam definisi Mark Twain—memenuhi kriteria “something that everybody wants to have read and nobody wants to read”.

Ben memperlakukan dua buku tembang tersebut bukan sebagai karya seni ataupun sebagai bukti peristiwa sejarah, melainkan sebagai “phantasmagoria”—imajinasi liar—yakni imaji-imaji politik sebelum istilah “politik” itu sendiri memasuki kosakata bahasa Jawa, dan fantasi tentang kelas sebelum kesadaran tentang kelas dikenal oleh masyarakat Jawa.

Menurut Ben, kedua naskah ini dengan demikian dapat dipahami sebagai cara “subversi” sekelompok intelektual Jawa abad ke-19 untuk merespons keruntuhan kepemimpinan oligarkis Jawa dan penyerahan tuntas Pulau Jawa kepada penguasa kolonial.

Karena analisisnya yang kerap keluar dari—bahkan menantang—konvensi yang umum, Ben Anderson tak jarang menuai kritik ilmuwan lain. Kritik pada level teoretis, misalnya, dilontarkan oleh Koentjaraningrat (1984), yang menolak konsepsi kekuasaan Jawa sebagaimana disimpulkan oleh Ben.

Bila diringkas, Koentjaraningrat, bapak antropologi Indonesia, pertama-tama menolak penggunaan bahan cerita, upacara, dan ujaran orang Jawa untuk menyimpulkan konsepsi kekuasaan Jawa yang sesungguhnya. Dalam kalimat Koentjaraningrat, “Anderson tidak cukup mengenal orang Jawa apabila ia mengira bahwa mereka juga menganggap apa yang ada dalam cerita-cerita itu merupakan realitas.”

Koentjaraningrat secara tidak langsung juga menyanggah kesimpulan partikularitas konsep kekuasaan Jawa dengan menguraikan komponen kekuasaan serta syarat-syarat kepemimpinan dalam tiga kerangka komparatif: masyarakat kecil dan sedang, masyarakat tradisional, dan masyarakat masa kini.

Koentjaraningrat juga mengkritik penekanan Ben, yang terlalu besar pada satu komponen kekuasaan Jawa: “kesaktian”. Kritik yang lebih praktis terletak pada implikasi gagasan “konsep kekuasaan Jawa”, yang seperti diargumentasikan Ben harus dipahami berbeda dengan konsep yang dipahami masyarakat Barat.

Ben, yang sesungguhnya berwatak revolusioner dan anti-status quo, dengan gagasannya itu secara tidak diinginkan terjebak dalam “pembelaan” terhadap rezim Orde Baru, yang dianggap banyak memiliki paralelisme dengan kerajaan-kerajaan Jawa Kuno.

Partikularisme konsep kekuasaan Jawa yang diterapkan Soeharto menjadi tameng untuk menangkis kritik-kritik politik yang dilontarkan, terutama oleh pihak luar, yang dinilai oleh pemerintah Orde Baru sebagai terkontaminasi budaya Barat.

Ben Anderson, yang semenjak 1972 selama 26 tahun dilarang rezim Orde Baru berkunjung ke Indonesia, secara paradoks “membela” musuhnya itu. Kritik berikutnya ditujukan bukan pada Ben Anderson, melainkan pada penerjemahan buku ini.

Menurut saya, hasil terjemahannya termasuk lumayan, tapi masih jauh dari elastis. Bandingkan terjemahan bab The Idea of Power in Javanese Culture di buku ini dengan terjemahan Samekto dan A. Rahman Zainuddin dalam buku Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, yang diedit Miriam Budiardjo. Terjemahan Samekto dan Rahman Zainuddin lebih enak dibaca.

Pembaca berkemampuan bahasa Inggris memadai akan lebih cepat memahami maksud kalimat Ben lewat teks bahasa aslinya (bandingkan dengan kita menonton film dengan subtitling yang bagus—maksud yang juga ingin dicapai dengan proyek penerjemahan buku).

Terlepas dari kesulitan mengalihbahasakan teks-teks Ben yang prosais, terjemahan buku ini terasa alot di kerongkongan. Memang, inilah problem umum yang menjadi kerikil (besar?) di tengah naiknya gairah penerjemahan dan penerbitan buku akhir-akhir ini.

Lidi Segala Kata, Sajak Herry Lamongan

Zawawi Se
http://sastra-indonesia.com/

Mungkin adalah benar bila sebuah pendapat menyatakan bahwa ketika kita menyakiti seseorang itu ibarat menancapkan sebuah paku pada sebuah kayu. Bila berkali-kali kita menyakiti seseorang berarti hal itu seperti berkali-kali pula kita menancapkan paku-paku itu pada sebuah kayu.

Sedangkan ketika permohona maaf kita lontarkan atas kesalahan-kesalahan yang kita perbuat, mungkin hal itu ibarat kita mencabut paku-paku yang telah kita tancapkan tersebut dari sebuah kayu.

Memang benar dengan permohonan maaf seolah-olah kita telah mencabut paku-paku tersebut dari kayu, kita telah mencoba menghilangkan rasa sakit akibat perbuatan kita pada seseorang.

Namun demikian bila kita perhatikan, benarkan kita telah menghilangkan rasa sakit secara keseluruhan dengan mencabut paku-paku itu, melalui permintaan maaf tersebut.. Bila kita perhatikan lebih teliti ternyata bekas paku-paku yang telah kita tancapkan pada diri seseorang itu menyisakan lubang-lubang. Lubang-lubang luka atas perbuatan kita.

Mungkin demikian makna sajak karya Herry Lamongan yang tergabung dalam Antologi Bersama Lidi Segala Kata dengan judul yang sama yang dimuat dalam Majalah Sastra Indupati Tahun IX/2009 No. 1 yang diterbitkan oleh Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA).

Jadi problem (lindu) apakah yang paling menyedihkan diantara guncangan-guncangan yang ada yang mengisi hari-hari kita pada saat perjumpaan maupun saat perpisahan diantara jalinan hubungan antar manusia dalam koridor toleransi?

Kenapa problema-problema (lindu) itu bisa terjadi? Apakah karena diri pribadi kita yang tidak tahan atas guncangan-guncangan itu (terlalu gelap beranda dada) ataukah memang karena aksi yang kita terima memang terasa begitu menyakitkan?

Mengawali sajaknya dengan kalimat tanya seolah-olah Penyair ingin menyajikan permasalahan yang sering kita hadapi dalam perjalanan hidup yang harus berinteraksi dengan manusia-manusia lain sebagai makhluk social.

lindu apakah paling airmata
lalulalang ia di jalan jumpa
hiilrmudik ia di jalan pisah
gelincir waktu
lempeng sana dengan lempeng sini
dalam bumi pengertian

mungkin petang siap pesta amat pekat
atau terlalu gelap beranda dada
maka subuh dipijarkan
gempa diwujudkan

Penyair membuat lindu sebagai metafora bagi problema-problema yang dihadapi manusia sebagai hasil interaksi antar manusia: lempeng sana dengan lempeng sini / dalam bumi pengertian

Atas problema-problema yang datang kepada kita itu semestinya memang kita tak perlu menyesalinya sebab problema-problema hidup, kata-kata yang menyakitkan seperti yang disimbolkan dengan lidi segala kata itu dalam perjalanan hidup akan selau kita temui:

tak perlu sibuk menyesal
sebab lidi segala kata
sudah jauh
berulang-ulang
menyentuh ibukota terdalam wilayah hati

Kita akan seringkali menemui hal itu sebagai sebuah kewajaran dalam hidup yang berinteraksi dengan manusia lain dengan latar belakang kepentingan yang berbeda-beda: sebab lidi segala kata / sudah jauh / berulang-ulang / menyentuh ibukota terdalam wilayah hati.

Bilamanapun ada sesal, ada tangis atas problema-problema itu benak kita terkadang lebih bijak dalam mengambil keputusan. Sebagaimana filosofi orang-orang tua dulu yang sering menyatakan untuk “diunggahno ya diuduno” (dipikir-pikir / ditimbang-timbang / dipasrahkan) bila ada problema-problema kehidupan yang menerpa kita.

dan lelayung tangis
dari gugur atap dari puing dinding
usai gempa
hanya kabar pilu yang dikandaskan
atas benak
supaya kembali kepada makna
betapa kita tak sendiri

Problema-problema atas hasil interaksi dengan manusia lain itu adalah sebuah kewajaran atau sunatullah: supaya kembali kepada makna / betapa kita tak sendiri

Tapi entah mengapa meskipun telah mengemukakan alasan-alasan yang seharusnya membuat tak berduka atas problema-problema itu, sang penyair masih bersikukuh untuk merasa dalam kekal duka. Meskipun lindu itu telah berlalu kekal tetap membasah, kekal duka yang tak kunjung kering meski beribu kali dibasuh.

tapi lindu
sampai ia berlalu
mengapa kekal membasah

kekal duka
tak kunjung kering
meski beribu kali
tanganku pulang membasuhnya

Mengapa kekal duka tak kunjung kering? Mungkinkah karena terlalu gelap beranda pada dada? Mungkinkah karena pekat siap pada setiap pesta?

Inilah sajak selengkapnya karya Herry Lamongan, salah satu penyair senior lamongan yang giat membina para pengrajin syair pemula di Lamongan melalui Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) yang pada tanggal 6 Desember 2009 kemarin genap berusia 10 Tahun.

Sajak Herry Lamongan
Lidi Segala Kata

lindu apakah paling airmata
lalulalang ia di jalan jumpa
hiilrmudik ia di jalan pisah
gelincir waktu
lempeng sana dengan lempeng sini
dalam bumi pengertian

mungkin petang siap pesta amat pekat
atau terlalu gelap beranda dada
maka subuh dipijarkan
gempa diwujudkan

tak perlu sibuk menyesal
sebab lidi segala kata
sudah jauh
berulang-ulang
menyentuh ibukota terdalam wilayah hati.

dan lelayung tangis
dari gugur atap dari puing dinding
usai gempa
hanya kabar pilu yang dikandaskan
atas benak
supaya kembali kepada makna
betapa kita tak sendiri

tapi lindu
sampai ia berlalu
mengapa kekal membasah

kekal duka
tak kunjung kering
meski beribu kali
tanganku pulang membasuhnya

madedadi, Nov 2009

Peringatan 10 Tahun Kebangkitan Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) bertempat di Gedung Serba Guna Kecamatan Sukodadi, Lamongan berlangsung meriah.

Beberapa acara dilaksanakan mulai minggu siang sampai minggu malam pada 6 Desember 2009. Beberapa agenda diantaranya adalah pembacaan puisi, pementasan teater, dan bazaar buku murah, serta peluncuran Majalah Sastra Indupati. Majalah yang sudah pernah terbit beberapa kali sebelumnya, namun sempat terhenti penerbitannya.

Sangat disayangkan momen tersebut tidak digunakan untuk membedah karya sastra atau apresiasi sastra dan berdiskusi permasalahan-permasalahan yang menjadi kendala bagi terwujudnya kemajuan sastra dan teater di Lamongan. Padahal dalam momen tersebut telah berkumpul orang-orang yang terlibat dalam sastra setidaknya menyukai sastra.

Namun demikian saya hanya ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun Ke-10 untuk KOSTELA, dan selamat pula atas keberhasilan KOSTELA sehingga mendapat hadiah dari Dewan Kesenian Jawa Timur sebagai komunitas aktif dalam berkegiatan sastra. Semoga tetap semangat dalam memprakarsai kemajuan dan kebangkitan sastra dan teater di Lamongan.

Gresik, 9 Desember 2009
http://dunia-awie.blogspot.com/

Mochtar Lubis 80 Tahun

H. Rosihan Anwar
http://www.gatra.com/15 Maret 2002

WARTAWAN Mochtar Lubis merayakan hari ulang tahun ke-80 di auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, 9 Maret 2002. Selama acara dua jam, saya duduk di sampingnya. Secara fisik, Mochtar Lubis (ML) oke, memang agak kurus dan wajahnya menua. Kalau bicara, suaranya kurang jelas. Dia ketawa-ketawa kecil, tanda dia mengikuti dan memahami sambutan 10 pembicara, dari Jakob Oetama hingga Taufik Abdullah. Tahu-tahu, tangannya mengusut-usut punggung saya sebagai ekspresi kemesraan dan persahabatan. Kadang-kadang pandangannya sayu, memperlihatkan suatu kehampaan, sepertinya dia sendirian terkurung dalam dirinya. Sejak istrinya tercinta Halimah, 77 tahun, tutup usia pada 27 Agustus 2001, Mochtar kesepian. Teman setia yang biasa dia ajak bicara tidak ada lagi. ML jadi pelupa. Penampilan fisiknya sehat saja, tapi kondisi batinnya mulai mundur. Melihat itu, lidah saya kelu. Saya terharu, tak tahu ngomong apa, padahal biasanya saya orang yang bicara bijak.

Dalam acara, saya memberikan doa sahabat seperjalanan. Saya katakan, mencapai umur 80 tahun adalah karunia, anugerah Ilahi tanda belas kasih. Dalam sebuah hadis qudsi Allah berfirman, “Apabila hamba-Ku telah mencapai umur 80 tahun, maka dicatat semua amal kebajikannya dan dihapus semua dosa-dosanya sebagai suatu pemutihan.” Mochtar Lubis adalah wartawan, sastrawan, budayawan, dalam satu kemasan, yang tiada taranya, tersohor sebagai Pemimpin Redaksi (Pemred) Harian Indonesia Raya, tercatat sebagai “the crusading journalist”.

Tentu kita bisa bicara banyak tentang perjuangan ML di masa silam, tapi saya memilih memandang ke depan. Diilhami oleh ucapan Bung Karno, kita boleh bilang, “For a fighting journalist there’s no journey’s end”, namun menurut kodrat Ilahi dan hukum alami, perjalanan pasti akan terhenti. Siapa takut? ML dahulu tidak takut pada siapa pun, tapi kini dia takut pada Tuhan Maha Pengasih Maha Penyayang. Seorang sufi perempuan di Baghdad beberapa abad yang lalu berucap, “Ra’sul Hikmah makhafatullah.” Kearifan yang setinggi-tingginya adalah takut kepada Allah. Pada usia 80 tahun, setelah melalui kebahagiaan dan kedukaan, sampai pada keadaannya seperti sekarang, Mochtar niscaya telah memiliki kearifan. Kita berharap, dia akan menempuh sisa kehidupannya dengan aman sentosa, diberkati Allah Ta’ala. Sebagai sahabat seperjalanan yang sebaya, saya doakan bagi Mochtar dalam langkah-langkahnya selanjutnya: Zahab fi amanillah, berjalanlah dalam keamanan Allah, Go with God, Vaya Con Dios.

Mochtar Lubis lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922. Ayahnya pegawai pangreh praja atau binnenlands bestuur (BB) pemerintah kolonial Hindia Belanda yang ketika pensiun pertengahan 1930-an menjabat sebagai Demang atau Kepala Daerah Kerinci. Demang Pandapotan itu digantikan oleh ayah saya, Demang Anwar Maharadja Soetan. Setelah tamat sekolah dasar berbahasa Belanda HIS di Sungai Penuh, ML melanjutkan pelajaran di sekolah ekonomi di Kayutanam yang dipimpin S.M. Latif. Seperti sekolah INS di bawah pimpinan Mohammad Sjafei yang juga ada di Kayutanam adalah sekolah partikelir, bukan sekolah gubernemen (pemerintah), sekolah ekonomi yang sederajat dengan SMP mampu menghasilkan pelajar-pelajar yang berjiwa mandiri. Pendidikan formal ML tidak sampai pada taraf AMS atau HBS, namun hal itu tidak mencegahnya menjadi guru sekolah sebentar di Pulau Nias, sebelum pergi ke Jakarta. Pembentukan intelektual ML terutama hasil belajar sendiri. Ia rajin membaca buku. Seorang otodidak sepanjang hayatnya.

ROSIHAN ANWAR Pada zaman Jepang, ia bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran radio Sekutu di luar negeri. Berita yang didengar lalu dituliskan dalam laporan untuk disampaikan kepada Gunseikanbu, kantor pemerintah bala tentara Dai Nippon. Demi sekuriti dan agar berita radio itu tidak tersebar ke dalam masyarakat, tim monitor tinggal terpisah dalam kompleks perumahan di Jalan Timor, di belakang hotel milik Jepang di Jalan Thamrin sekarang. Dalam tim itu terdapat Dr. Janssen mantan pegawai Algemene Secretarie di Bogor yang paham bahasa Jepang, J.H. Ritman mantan Pemred Harian Bataviaasche Nieuwsblad, Thambu mantan wartawan Ceylon yang melarikan diri dari Singapura setelah kota itu jatuh ke tangan Jepang, dan Mochtar Lubis. Pada masa itulah, akhir 1944, ML menikah dengan gadis Sunda, Halimah, yang bekerja di Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja.

Baru setelah proklamasi kemerdekaan dan kantor berita Antara yang didirikan tahun 1937 oleh Adam Malik dkk muncul kembali, ML bergabung dengan Antara di mana dia, karena paham bahasa Inggris secara aktif, jadi penghubung dengan para koresponden asing yang mulai berdatangan ke Jawa untuk meliput kisah Revolusi Indonesia. Sosoknya yang tinggi 1.85 meter merupakan pemandangan familier di tengah war correspondents yang bule-bule. Menjelang penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949, ML bersama Hasjim Mahdan mendapat ide untuk memulai surat kabar baru, maka lahirlah harian Indonesia Raya dengan Mochtar Lubis sebagai pemrednya. Ketika pertengahan 1950 pecah Perang Korea, ML pergi meliput pertempuran di Korea Selatan dan ia pun terkenal sebagai koresponden perang. Pada parohan pertama dasawarsa 1950, ketika di zaman liberal, demokrasi parlementer, sangat dominan adanya “personal journalism”, maka ML adalah identik dengan Indonesia Raya, begitu pula sebaliknya. Surat kabar dikenal oleh yang memimpinnya: B.M. Diah di Merdeka, S Tasrif di Abadi, Rosihan Anwar di Pedoman.

Sebelum dikenai tahanan rumah pada 1957 yang kemudian berupa tahanan penjara selama sembilan tahun sampai 1966, ML membikin masyarakat gempar dengan beberapa cerita/berita, yang disebut “affair”.

Pertama, affair pelecehan seksual yang dialami Nyonya Yanti Sulaiman, ahli purbakala, pegawai Bagian Kebudayaan Kementerian P & K. Bosnya di bagian itu bernama Sudarsono tidak saja berusaha merayu, melainkan juga mengeluarkan kata-kata seks serba “serem”. Tidak saja Indonesia Raya, melainkan juga Pedoman yang saya pimpin berhari-hari menyiarkan cerita asyik tentang sang Don Juan Sudarsono.

Kedua, affair Hartini ketika terungkap hubungan Presiden Soekarno dengan seorang wanita di Salatiga yang mengakibatkan Nyonya Fatmawati berang dan kemudian meninggalkan istana.

MOCHTAR LUBIS Ketiga, affair Roeslan Abdulgani. Pada 13 Agustus 1956, CPM menangkap mantan Menteri Penerangan dalam kabinet Burhanuddin Harahap, Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe, karena urusan korupsi yang melibatkan Lie Hok Thay yang lebih dulu ditahan. Hok Thay mengaku memberikan uang satu setengah juta rupiah kepada Roeslan Abdulgani yang berasal dari ongkos mencetak kartu suara pemilu. Akibatnya, Roeslan yang telah menjadi Menteri Luar Negeri dalam kabinet Ali Sastroamidjojo hendak ditahan oleh CPM dua jam sebelum keberangkatannya tanggal 14 Agustus ke London untuk menghadiri konferensi internasional mengenai Terusan Suez. Presiden Mesir Nasser baru saja menasionalisasikan Suez. Berkat intervensi PM Ali dan Kepala Staf Nasution, penangkapan dibatalkan, dan Roeslan bisa berangkat ke luar negeri.

Dapat dimengerti apabila Presiden Soekarno yang tengah mewujudkan konsep politiknya –kelak menjelma sebagai demokrasi terpimpin Orde Lama– marah-marah terhadap ML dan Indonesia Raya. Kolonel A.H. Nasution menjadi sekutu terpercaya Soekarno. Di musim gugur 1956, International Press Institute menyelenggarakan pertemuan para editor Indonesia dan editor Belanda di Zurich, Swiss, untuk mendiskusikan hubungan kedua negara. Sehari sebelum keberangkatan para editor, Mochtar dan saya diinterogasi oleh CPM selama delapan jam di markasnya mengenai “sesuatu pemberitaan”. Kami diminta untuk stand by terus, namun tidak kami indahkan.

Keesokan harinya, Mochtar dan saya serta Diah, Tasrif, Wonohito, Adam Malik naik pesawat KLM dari Kemayoran. Lebih dari sebulan kami berada di luar negeri menunggu situasi aman di Tanah Air. Kemudian kami kembali dan di bandara diberitahu, kami tidak akan ditangkap oleh Jaksa Agung. Saya memang tidak diapa-apakan, tetapi Mochtar tidak lama kemudian dikenai tahanan rumah. Ia mencoba memimpin Indonesia Raya dari rumah, tapi makin hari makin sulit situasinya. Pada 1961, ML dipindahkan ke penjara Madiun dan di sana ditahan bersama mantan PM Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo, dan lain-lain. Keadaan di Tanah Air kacau. Peristiwa PRRI-Permesta menggoyahkan stabilitas. Kebebasan pers sirna. Indonesia Raya, Pedoman, Abadi dilarang terbit oleh Soekarno-Nasution.

Selain sebagai wartawan, ML juga dikenal sebagai sastrawan. Ia pandai pula melukis dan membuat patung dari keramik. Mulanya dia menulis cerpen dengan menampilkan tokoh karikatural si Djamal. Kemudian dia bergerak di bidang penulisan novel. Di antara novelnya dapat disebut: Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba. Dia memperoleh Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan.

Setelah tahun 1968 Indonesia Raya diizinkan terbit kembali, ML melancarkan “perang salibnya” terhadap korupsi di Pertamina. Bos perusahaan negara itu, Letnan Jenderal Ibnu Soetowo, disorot dengan tajam, namun sia-sia belaka. Ibnu boleh mundur sebagai Direktur Utama Pertamina, akan tetapi posisinya tetap kokoh dan harta yang dikumpulkannya tidak dijamah. ML memang menjadi “hero” di pentas jurnalistik, itulah yang amat disukainya. Apakah soalnya menyangkut pencemaran lingkungan hidup atau pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), bisa dijamin ML ada di sana sebagai pembela perjuangan untuk yang benar dan adil. “Hero-complex”-nya menjadi motor pendorong dan motivasi penting dalam tindak-tanduknya.

MOCHTAR LUBIS Ketika terjadi peristiwa Malari Januari 1974 dan para mahasiswa beraksi mendemo PM Tanaka dari Jepang, kebakaran terjadi di Pasar Senen, disulut oleh anak buah Ali Moertopo, Presiden Soeharto jadi gelagapan. Ia instruksikan membredel sejumlah surat kabar, di antaranya Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi. ML sendiri ditahan selama dua bulan. Setelah bebas lagi bergerak, seusai ambruknya Orde Lama Soekarno dan timbulnya Orde Baru Soeharto, Mochtar banyak aktif di pelbagai organisasi jurnalistik luar negeri seperti Press Foundation of Asia. Di dalam negeri, dia mendirikan majalah sastra Horison dan menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia yang berprestasi menerbitkan buku-buku bermutu, baik yang dari luar negeri maupun domestik. Usaha penerbitan itu bisa tinggal landas lantaran yayasan ini memperoleh dana dari luar, seperti Ivan Kats dari Asia Foundation. Sesungguhnya, salah satu ciri khas ML ialah PR (public relations) yang kuat, keluwesan bergaul, antusiasme terhadap sesuatu cause seperti ekologi, demokrasi, keadilan, dan hukum. Pintu yang diketoknya menjadi terbuka dan soal pendanaan tak jadi masalah.

Pada dasarnya HUT ke-80 Mochtar Lubis, seorang pembicara dari LIPI, yaitu Dr. Mochtar Pabottinggi, menamakan Mochtar “person of character”, insan nan berwatak. Di negeri kita sekarang, makin langka “person of character” itu. Bung Hatta di zaman Pendidikan Nasional Indonesia awal 1930-an suka menyerukan agar tampillah manusia-manusia yang punya karakter. Ibu Pertiwi tetap mengharapkan dan memerlukan banyak “person of character”. Maka, dalam cahaya, kita menghormati wartawan Mochtar Lubis yang sudah sepuh. Sudah saatnya dia dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra oleh Presiden RI.

H. Rosihan Anwar, Wartawan senior
[Kolom Gatra Nomor 17 Tahun ke VIII, Beredar 11 Maret 2002]

Sabtu, 11 Desember 2010

Pembubaran Diskusi Buku: “Dari yang Terbuang dan Dibungkam”

Astrid Reza
http://www.syarikat.org/

TANGGAL 3 Juli 2010, pukul 6 sore, datang orang-orang bersorban. Mereka hilir mudik di depan kafé. Jam 7 malam, Polres Bantul menurunkan 50 orang personil. Mereka duduk-duduk di tempat diskusi akan digelar. Setengah jam kemudian, peserta diskusi dicegat massa. Terdengar deru motor yang digas kencang-kencang dari depan tanah lapang seberang kafe. Empat orang, satunya berkopiah, masuk dan duduk-duduk bersama petugas dari Polsek Kasihan dan Intel Kodim.

Di tengah-tengah hingar bingar menjelang semifinal piala dunia, kekerasan atas nama agama menelusup dalam keseharian kita. Celakanya lagi tindak-tindak kekerasan ini mengalami pembiaran oleh negara dan penegak hukum. Setelah insiden pembubaran paksa oleh FPI (Front Pembela Islam) dan sejumlah organisasi massa yang terjadi pada tanggal 24 Juni 2010 di Banyuwangi sehingga memicu perdebatan nasional terkait dengan sosialisi pengobatan gratis oleh Komisi IX DPR RI.

Seminggu, selepas dari insiden tersebut, peluncuran buku sastra dan diskusi sastra “Dari yang Dibuang dan Dibungkam” karya anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di Yogyakarta, kembali mengalami pembubaran oleh pihak kepolisian dan intimidasi dari organisasi massa yang menamakan diri mereka FAKI (Front Anti Komunis).

Acara serupa sebelumnya digelar di Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta (2/7/10) dan Universitas Sanata Dharma (3/7/10 Рpagi), yang berlangsung dengan baik dan menuai respon positif. Rangkaian acara terakhir hendak dilanjutkan di El Pueblo Caf̩ pada Sabtu malam dan akhirnya dibatalkan secara paksa.

Ijin Acara

Rangkaian acara yang diselenggarakan bekerjasama dengan Penerbit Ultimus Bandung, Forum Pinilih dan Parikesit Institute itu terpaksa dibatalkan pada menit-menit terakhir. YB. Wibawa atau akrab disapa Bowo yang malam itu didaulat menjadi moderator acara mengungkapkan, “Dari pihak Polres Bantul sejak pukul sebelas siang sudah bolak-balik mengontak soal perijinan,” tuturnya.

Jam dua siang, pihak KASAD Intel Polres Bantul dan Kapolsek Bantul mengontaknya dan meminta agar acara ditunda. “Alasan yang dikemukakan dari kepolisian adalah karena rangkaian acara sudah diketahui oleh pihak-pihak lainnya dan mengundang bahaya,” kata Bowo.

Lebih jauh kepolisian menyebutkan dikarenakan oleh kehadiran para eks-tapol dan juga Ibaruri Aidit (adik DN Aidit) yang disinyalir akan datang pada acara tersebut. “Disebabkan oleh hangatnya insiden Banyuwangi, sebenarnya kami cukup siap jika acara ini mendapat kendala, organisasi yang dimaksud oleh kepolisian masih rancu, antara FPI atau FJI (Front Jihad Indonesia), namun ternyata yang datang adalah massa FAKI” lanjut Bowo menceritakan kronologis peristiwa pembubaran tersebut.

Bowo mengakui perihal kesiapan massa untuk membubarkan acara tersebut juga didapatnya dari beberapa SMS yang memberitakan adanya konsolidasi massa di markas ormas-ormas yang dimaksud. Sekitar pukul lima sore setelah membatalkan kedatangan kawan-kawan dari Ultimus, para eks tapol yang berusia lanjut dan Ibaruri Aidit, pihak El Pueblo bertekad untuk tetap menyelenggarakan acara.

Tak lama mereka kedatangan pihak KASAD Intel Bantul yang langsung duduk di tengah-tengah tempat diskusi. Sejam kemudian datang orang-orang bersorban yang hilir mudik di depan kafe.

Dicegat Massa

Menjelang jadwal acara, pukul 7 malam, berbarengan dengan kedatangan peserta diskusi dan juga pembicara, pihak kepolisian menurunkan personilnya. Sekitar 50 orang polisi dari Polres Bantul dan Polsek Kasihan diturunkan, berikut dengan kehadiran satu mobil patroli, 1 mobil tahanan dan 1 truk personil. Kehadiran Intel Kodim juga terlihat walaupun tidak mengenakan baju dinas. Massa FAKI bergerombol di depan gang menuju kafe dan sekitar 100 meter di sekitarnya. KASAD Intel pun memanggil Bowo dan mengatakan bahwa FAKI telah datang.

Setengah jam kemudian, peserta yang datang mulai dicegat di depan gang. Suara motor yang digas kencang-kencang di depan tanah lapang seberang kafe didengung-dengungkan. Empat orang anggota FAKI, salah satunya berkopiah masuk dan duduk bersama dengan personil Polsek dan Intel Kodim. Sesekali mereka menunjuk tangan mereka ke arah Bowo. Jelas sekali terlihat bahwa mereka saling mengenal. Kafe terasa sesak dengan kehadiran 40 orang peserta, 20 orang polisi di dalam dan sisanya di luar bersama massa. Gang masuk menjadi penuh. Suasana memanas.

Dalam 30 menit yang menentukan itu, keputusan untuk keberlangsungan acara sepenuhnya di tangan Bowo selaku koordinator dan juga pemilik tempat. Ia mulai berhitung.

Saling Mengenal

Akhirnya dengan berat hati, acara diskusi pada jam 8 dibatalkan. Ironisnya kemudian anggota kepolisian dan FAKI tetap disana untuk nonton bareng siaran langsung semifinal piala dunia Argentina versus Jerman. Anggota FAKI mulai bubar sekitar pukul 10 malam, sedangkan pihak kepolisian meninggalkan tempat menjelang tengah malam. Mereka benar-benar memastikan bahwa diskusi tidak terjadi sepeninggal mereka.

Bagi Bowo, pada akhirnya tidak melawan provokasi dari kepolisian dan FAKI dengan tindak kekerasan adalah paling benar. Pihak kepolisian berkedok hendak mengamankan acara namun pada kenyataanya kehadiran merekalah yang paling menganggu keberlangsungan acara. Sejak awal kedatangan mereka sudah duduk blocking di tempat dimana diskusi hendak dilaksanakan.

“Jika mereka hendak mengamankan acara seharusnya mereka membantu agar diskusi dapat dilaksanakan kondusif yaitu mengamankan orang-orang yang mengganggu dan mengancam keberlangsungan acara, ungkapnya.

Terlepas apakah pembubaran acara diskusi ini adalah inisiatif dari FAKI atau pun konspirasi bersama pihak kepolisian, yang tidak terbantahkan adalah kedua pihak saling mengenal. Pihak kepolisian pada awalnya secara halus melancarkan intimidasi dan dalih-dalih pengamanan. Lalu dari pihak FAKI yang sejak awal kedatangannya memprovokasi dan mengintimidasi agar acara tidak berlangsung,. Mereka bahkan seolah berharap adanya perlawanan dari penyelenggara.

“Keputusan untuk tidak melawan sudah cukup, karena jika kami melawan dengan tindak kekerasan, stigmatisasi terhadap Korban 1965 akan semakin berat dan saat itu kami menjadi single target. Mempertimbangkan keselamatan peserta dan isu, hal ini tidak menguntungkan” tegas Bowo.

Ia juga mengaku tidak kapok menyelenggarakan agenda dan acara-acara serupa di masa yang akan datang. Ia hanya mengungkapkan dibutuhkannya sebuah mekanisme solidaritas antar organisasi atau pembentukan aliansi untuk melawan intimidasi dan tindak kekerasan oleh organisasi massa juga pihak penegak hukum. Ia mengharapkan munculnya gerakan di tingkat nasional yang lebih solid terkait dengan kepedulian terhadap kepentingan kemanusiaan dan tidak takut untuk menghadapi organisasi massa yang mengandalkan kekerasan untuk menegaskan kepicikan cara berpikir mereka.

*) Aktivis Syarikat Indonesia

FPI dan Penodaan Citra Agama

Gugun El-Guyanie
http://suaramerdeka.com/

Aksi anarkis Front Pembela Islam (FPI) kembali menyerang Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), pada peringatan Hari Kelahiran Pancasila, Minggu (1/6) di Monas, Jakarta.

Tindakan brutal dengan mengibarkan bendera Islam itu justru melukai sejumlah tokoh Islam yang bergabung dalam AKKBB. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh FPI itu adalah untuk kesekian, setelah berulang kali merusak dan menyerang kelompok yang tidak sependapat dengan mereka. Wajar jika banyak tuntutan dari organisasi kemasyarakatan (ormas) lain yang moderat, menuntut pemerintah untuk membubarkan FPI. Beragama dengan gaya premanis ala FPI sangat menodai Pancasila yang telah disepakati sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa.

Nilai-nilai Pancasila yang secara jelas mendasarkan kepada semua ritme kehidupan berbangsa berdasarkan Ketuhanan telah ternodai. Terlebih agama Islam yang mengajarkan cinta untuk semesta (rahmatan lil ’alamin).

Kelompok-kelompok yang berbaju agama namun berlaku layaknya preman itu sebenarnya telah menentang Tuhan. Mereka sebenarnya tidak menyembah Tuhan, tetapi menyembah kesombongan kelompoknya yang seolah perkasa, paling kuat, dan paling benar. Aksi-aksi yang dilakukannya jelas berlawanan dengan nilai-nilai kemanusiaan, karena melukai dan menghujat kelompok lain dengan biadab.

Tipologi kelompok itu sangat mengancam semangat persatuan nasional. Berpolitik mereka adalah berpolitik gaya Machiavellian yang menghalalkan segala cara, yang bertentangan dengan prinsip kerakyatan yang bijak dan adil. Suara rakyat tidak dianggap sebagai suara kebenaran. Sesungguhnya kelompok mereka sangat merusak nilai keadilan bagi bangsa Indonesia.

Menodai Pancasila

Spirit kelima sila dalam Pancasila, telah dirusak semua. Secara gamblang, mereka sudah berusaha menodai Pancasila dengan tetap bersikukuh bahwa tindakannya adalah berdasarkan kepada legitimasi dari agama.

Pancasila telah menjamin kebebasan setiap kelompok untuk berkeyakinan, termasuk menjamin FPI hidup di bumi Indonesia. Namun dengan prasyarat bahwa semua kelompok harus hidup berdampingan, menjaga keyakinan masing-masing, dan toleran terhadap kebenaran kelompok lain. Artinya, kelompok yang ekstrem dan fanatis buta berarti telah mencederai komitmen untuk hidup bersama dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan demikian, harus ada tindakan yang tegas dari negara untuk menindak kelompok-kelompok preman, kendatipun sumpah serapah ingin menegakkan syariat Islam.

Tidak ada syariat Islam di dunia ini yang mengajarkan kekerasan dan menganggap kelompoknya sendiri yang paling benar. Dengan anarkisme dan brutalisme FPI, Tuhan tidak akan ternoda, tapi yang ternoda adalah makhluk Tuhan yang disyariatkan untuk hidup cinta damai di belahan bumi mana pun. Kebesaran Tuhan tidak akan terkurangi karena ulah FPI; kesucian Tuhan tidak akan ternodai; dan kemahakuasaan Tuhan juga tetap utuh. Namun, kehidupan di muka bumi Indonesia harus dijaga dari ancaman-ancaman yang membahayakan keselamatan umat beriman, termasuk aksi teror dari FPI.

Sejarah FPI

Siapa sebenarnya FPI; bagaimana lahirnya; dan apa sebenarnya tujuan mereka di balik gembar-gembor tentang syariat Islam? FPI lahir pada 17 Agustus 1998 dengan ketua umumnya Habib Muhammad Rizieq Syihab, serta berkembang subur pada masa pemerintahan Presiden Habibie. FPI dinilai dekat dengan orang-orang di sekeliling Soeharto.

Di masa Prabowo Subianto aktif di TNI, FPI diduga sebagai salah satu binaan menantu Soeharto itu. Namun, setelah Prabowo jatuh, FPI kemudian cenderung mendekati kelompok Jendral Wiranto yang tengah bermusuhan dengan kelompok Prabowo.

Keberkaitan FPI dengan Wiranto barangkali dapat dideduksi dari aksi ratusan milisi FPI yang selalu berpakaian putih-putih, ketika menyatroni kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), memprotes pemeriksaan Jendral Wiranto dan kawan-kawan oleh KPP HAM.

Milisi FPI yang datang ke kantor Komnas HAM dengan membawa pedang dan golok, bahkan menuntut lembaga hak asasi manusia itu dibubarkan karena dianggap lancang memeriksa para jendral.

Demonstrasi Tandingan

Sementara itu kedekatannya dengan ABRI terlihat dalam aksi demonstrasi tandingan yang dilakukannya melawan aksi mahasiswa yang menentang RUU Keadaan Darurat yang diajukan Mabes TNI kepada DPR pada 24 Oktober 1999. Setelah jatuhnya Wiranto, kelompok itu kehilangan induknya, dan mulai mengalihkan perhatian kepada upaya penegakan syariat Islam di Indonesia. (Syamsul Rizal Panggabean: 2007).

Ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa FPI awalnya memang murni didirikan oleh para ”habib” yang berjuang untuk syariat Islam. Namun pada perjalanannya kelompok itu ditunggangi oleh sejumlah jenderal, yang sekaligus menjadi pembina dan juga sumber dana operasionalnya.

Penyerbuan yang dilakukan di mal, diskotek, bar, dan kafe-kafe, sebenarnya dilakukan oleh laskar FPI yang berbasis preman Betawi. Laskar FPI yang diduga adalah preman-preman itu kemudian dikomando untuk menyerbu tempat-tempat hiburan pada bulan Ramadan dengan dalih penegakan syariat. Namun yang terjadi hanya tempat-tempat hiburan tertentu yang tidak memberikan uang keamanan yang diserbu.

Dalam merespons kejadian tersebut, polisi terlihat hanya datang menyaksikan aksi-aksi perusakan. Sekalipun polisi kemudian mengkritik aksi-aksi itu, tetapi tak satu pun anggota FPI yang ditangkap. Sejumlah pengamat mengungkapkan óyang juga diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakató bahwa polisi telah memanfaatkan FPI dan milisinya, Laskar Pembela Syariat Islam (LPSI) untuk memaksakan protection rackets-nya. Sebagai akibatnya, polisi memaafkan aksi tersebut atau bahkan mengarahkan serangan itu ke sasarannya.

Jika fakta-fakta tersebut benar-benar terjadi, maka masyarakat dan negara harus waspada. Kalau ada konspirasi antara preman dan aparat negara, berarti negara sudah kehilangan kontrol terhadap kehidupan warganya.

Rakyat kecil yang sudah hidup miskin, terusik ketenteramannya dan selalu diributi oleh teror-teror kekerasan, harus diutamakan. Warga negara membutuhkan jaminan ekonomi, jaminan lapangan kerja, jaminan kebebasan beragama dan kebebasan berpolitik.

Jika negara telah gagal menjamin hak-hak tersebut, wajar apabila kewajiban sebagai warga negara dan sebagai manusia terabaikan. Bahkan menurut John Rawl berbalik menjadi ketidakpatuhan kepada negara (civil disobedience).

Saatnya negara bertindak tegas terhadap para perusuh, baik itu preman maupun orang-orang dalam sendiri yang tidak puas dengan pembagian ”kue kekuasaan”. Negara ini bukan milik orang dan kelompok tertentu, tetapi milik rakyat. Siapa pun yang terlibat dalam kekacauan terhadap negara, baik yang berjubah agama maupun yang berbaju apa pun, harus diadili. Siapkah pemerintah menegakkan keadilan dan membubarkan FPI?

Suara Merdeka, 4 Juni 2008
*) Sekjen Lembaga Kajian Keagamaan dan Kebangsaan (LK3 ) PW GP Ansor DIY.

TERIMA KASIH DRAMA MONAS

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Indonesia laksana memasuki zaman anomali. Maka, ia perlu dilihat dari perspektif yang tak lazim, dari kenyelenehan. Atau dalam bahasa Michel Foucault yang mengutip gagasan Pascal: “Manusia pastilah demikian gilanya, sehingga –kalaupun ia tidak gila—tetap dianggap gila dari sudut pandang kegilaan yang lain.” Begitulah pada saat bangsa ini dihadapkan pada anomali dan berbagai kegilaan, harus ada peristiwa yang lebih gila. Setidaknya, harus ditempatkan sebagai kenyelenehan. Hanya dengan itu, stres dan depresi kita ketika menghadapi berbagai himpitan ekonomi, ketidakpercayaan pada pemerintah, dan kemuakan pada partai politik, agak terhibur dan dapat melupakannya sekejap.

Lihat saja serangkaian peristiwa gila sebagai dampak kenaikan BBM. Pemerintah lewat Bantuan Langsung Tunai (BLT) begitu bangga menyematkan predikat baru pada jutaan rakyat Indonesia sebagai “orang miskin”. Dengan predikat itu, pemerintah sekalian berhasil menciptakan lapangan kerja baru bagi rakyat miskin itu sebagai “pengemis”! Lapangan kerja lainnya bagi masyarakat dan terutama mahasiswa adalah demontrasi. Di sana bidang pekerjaan yang dapat dimasuki bisa macam-macam: Korlap (koordinator lapangan), satgas (satuan tugas), agiprop (agitasi dan propaganda), sampai ke aktor intelektual dan provokator. Di sejumlah kampus kini, berkembang pemeo baru: kuliah jangan sampai mengganggu demonstrasi!

Jika tahun 1980-an di kalangan mahasiswa ada istilah MPP (mahasiswa pulang pagi), kini maknanya berubah jadi Mahasiswa Perangi Polisi. Meski tak sepopuler singkatan KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang diplesetkan menjadi Korupsi, Kolusi, Nepotisme, muncul pula singkatan yang diplesetkan: BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan) menjadi Blokir Kawasan Kampus. Maka, pembakaran ban dan pemblokiran jalan menjadi bagian aksi mereka. Pekerjaan mahasiswa, tidak asyik-masyuk di ruang perpustakaan dan berkejaran dengan tugas kuliah, tetapi di jalanan berkejaran dengan polisi.

Kini, demonstrasi, konflik horisontal, bencana lumpur Lapindo, harga-harga apa pun yang membumbung naik –kecuali harga diri bangsa yang terus turun-terpuruk— adalah bagian kehidupan sehari-hari bangsa ini. Kita bosan, muak, marah, sengit-sedih, tetapi tokh tetap tak dapat membutatulikan mata-telinga, lantaran kita punya hati-nurani. Oleh karena itu, dalam kondisi beban yang bertumpuk-tumpuk itu, agaknya kita perlu berterima kasih pada Komando Laskar Islam (KLI) dengan pendukung utamanya Front Pembela Islam (FPI) yang telah mementaskan drama Monas (1/6/2008) dengan sangat menarik. Penyerbuan dan pemukulan terhadap kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), seperti sebuah pipa kecil yang melepaskan serankaian stress dan depresi.

Pernyataan Ketua FPI, Habib Rizieq Shihab dan Komando KLI, Munarman, memberi pencerahan bagi bangsa ini. Betapa tidak, pernyataan keras Habib Rizieq Shihab yang akan membela anggotanya sampai titik darah penghabisan, ternyata tidak terbukti ketika polisi datang ke markasnya. Begitu juga, suara lantang Munarman yang akan mempertanggungjawabkan segala tindakannya, lebih memilih kabur ketimbang menyerahkan diri. Itulah yang dalam istilah drama disebut membangun suspence, mengecoh penonton, dan melanggar konvensi. Sebagai sebuah karya seni, drama Monas telah menciptakan kebaruan, inovasi, dan greget yang serempak datang dan seketika tenggelam. Sungguh, kedua tokoh itu telah memainkan peranan yang canggih. Keduanya telah memberi contoh yang baik, betapa gampangnya berbicara, ketimbang berbuat. Makin yakin kita, lidah memang tidak bertulang!

Peranan pemain pendukung, figuran, juga dijalankan dengan sangat baik. Emosi kita yang marah, sedih, muak, dan entah apa lagi, tiba-tiba saja meledak saat menikmati drama Monas. Sebagai “karya seni”, drama itu berhasil menggugah emosi penonton. Dengan melihat itu, kita marah pada anarkisme, makin tegas ingin melawan kekerasan,dan inspiring untuk menempatkan agama dan menerjemahkan ayat-ayatnya dengan semangat cinta kepada sesama. Bukankah drama itu makin menebalkan rasa kemanusiaan kita, betapa pentingnya toleransi dan saling menghargai, meski di sana ada perbedaan ideologi, agama, dan keyakinan. Di samping itu, menyadarkan kita, betapa berbahaya agama ditafsirkan secara pipih, hitam-putih dan menggunakan kacamata kuda. Dalam konteks kehidupan berbangsa, drama itu seperti sebuah refleksi introspektif tentang semangat keindonesiaan dengan Pancasila sebagai landasannya yang makin pudar. Maka, persatuan keindonesiaan mesti segera dibangkitkan kembali melalui karya, dan bukan janji palsu, seperti yang kerap diumbar saat kampanye.

Pelajaran apa lagi yang ditawarkan drama Monas? Konon ada kisah flashback di sana, yaitu lambatnya keputusan tentang nasib Ahmadiyah. Drama Monas telah mengajari bangsa ini, betapa berbahaya sebuah pemerintahan yang tak tegas dan kerap dilanda keraguan. Bahwa dalam drama itu dan dalam sejumlah peristiwa lain yang kerap dilakukan FPI, ada kebrutalan dan anarkisme atas nama agama, makin menegaskan, betapa Tuhan kian tak berdaya. Oleh karena itu, diperlukan profesi baru di negara ini, yaitu Polisi Tuhan. Ketika pengangguran makin meruyak, pekerjaan sebagai polisi Tuhan, agaknya bisa menjadi salah satu solusinya.

Kini, drama Monas usai sudah, meskipun kita terlalu sulit melupakan jejaknya yang melukai bangsa. Sebagai penonton drama, kita (: saya) tidak begitu dibebani rasa penasaran, bagaimana nasib para pemain yang kini ditangani polisi. Mungkin mereka akan dikenai pasal-pasal, beberapa saat meringkuk dalam tahanan, dan kemudian bebas lagi. Lalu, ada drama baru dipentaskan dan kita terkecoh lagi. Kiranya benar Kata Taufiq Ismail yang dilantunkan Ahmad Albar: Dunia ini panggung sandiwara/Ceritanya mudah berubah/Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani//

(Maman S Mahayana, Pengajar FIB-UI, Depok)

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae