Minggu, 22 Agustus 2010

Matahari Pulang, Cakrawala dan Perempuan

M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/

Sekelebat mata, sang Perempuan berlari di atas pasir yang basah. kakinya lincah. Seperti anak kecil yang bermain di taman kembang kesayangannya. Perempuan itu sesekali melemparkan pandangan pada Lelaki yang hanya duduk di atas gunungan pasir. Perempuan itu, menatap manja sambil sesekali menghindari ombak yang mendebur dan sambil meletupkankan tawa riang.

“Ah,” desah sang Lelaki, “anak kecil.” Ucapnya pelan pada diri sendiri sambil menggelengkan kepala saat Perempuan yang ada di depannya bermain ombak.

Si Perempuan terus saja tidak perduli. Walau pandangan sang Lelaki menyiratkan prasangka itu. Memang selama ini, dia selalu merasa kalau masih menjadi seorang gadis kecil yang akan terus bermanja pada dunianya. Dan Lelaki yang kini memandanginya adalah Lelaki rapuh yang tengah berusaha meruntuhkan benteng setan dengan jarinya.

Mimpi sang Lelaki terkadang menimbulkan keraguan di dalam hatinya. Semangat yang berkobar di relung-relung malam seperti kabut yang pudar begitu saja ketika matahari pagi memancar hangat. Sang Perempuan mengamati Lelaki yang duduk di gunungan pasir. Lalu, ia berjalan mendekat dengan senyuman manis yang telah menawan hati Lelaki pemberontak yang menempuhi jalan sebagai Pendosa. Ia melangkah pelan, menangkap pancaran mata yang memancar jauh ke selatan.

“Ayo, Mas!” ajak si Perempuan.

Sang Lelaki menggelengkan kepala. Dia lalu mengarahkan pandangan ke barat dimana matahari merangkak pelan di balik tabir awan yang menggantung.

“Aku sudah bosan menjadi anak kecil!” ucapnya pelan dengan pandangan yang tetap terpaku pada langit barat. “Mataharinya bagus!” ucapnya lagi sambil mengacungkan telunjuknya, ingin menyentuh matahari dengan ujung jarinya yang bergetar.

“Sunsetnya tidak bagus, Mas.” Ungkap si Perempuan yang kini memandang ke barat menyaksikan perjalanan matahari yang pulang.

“Tertutupi mendung. Tapi juga tidak kehilangan keindahannya. Matahari menyemburat dalam sinar jingga yang menggenang.” Sang Lelaki tersenyum yang dibarengi dengan mengalihkan pandangan pada sang Perempuan, si Perempuan Pendoa, “Tetap ranum saat imaji dan pikir mengecapi dalam renungan. Memeluk hati kita dengan pemahaman yang tersirat dari sana.”

“Ah, Mas, kamu selalu saja seperti ini. Aku bukan penyair yang mampu membuahi kata untuk makna. Aku hanya perempuan. Lugu. Seorang gadis kecil yang menikmati dunia dengan apa adanya.” Ucap si Perempuan dalam senyuman manis yang dibarengi dengan meraih tangan kekasihnya.

“Alam raya ini selalu mengajak kita untuk mengerti. Atas asal-usul yang membawa kita untuk berpijak di atas pasir ini. Juga, untuk akhir dari perjalanan singkat yang di sepanjang perjalanan selalu ada dua tikungan.”

“Mas,” si Perempuan menarik kekasihnya yang perlahan-lahan berdiri namun melangkah kecil dan berat, “aku ingin mengajakmu bermain-main!”

“Aku sudah bosan menjadi anak kecil, Sayang!” sang Lelaki yang Pendosa berdiri terpaku, ia ingin menembus Cakrawala di ufuk selatan, “Aku mengajakmu ke sini bukan sekedar melayangkan pandang. Tapi mereguk cinta, memahami, tapi terlalu takut untuk memulai.”

Sang Perempuan berhenti untuk menarik kekasihnya. Dia melangkah ke depan dan langsung duduk di samping kanan. “Apa lagi, Mas?”

“Cakrawala!”

“Bukankah kita pernah membicarakan ini?”

“Iya, tapi tidak akan pernah habis untuk aku bicarakan padamu!”

“Aku mendengarkan, Mas!”

“Di selatan jauh ada cakrawala yang aku cari, di samping kananku ada cakralawala yang belum mampu aku pahami. Sedangkan, di ufuk barat sana, matahari perlahan-lahan merangkak untuk bersembunyi dari kita selama beberapa jam. Tubuhku ini, Sayang, semakin merapuh digerogoti babak kehidupan yang terlewati.”

“Kita harus bersyukur, Mas, atas apa yang telah kita dapatkan. Tuhan memberikan kita kesempatan untuk berpijak di sini, melewati segala yang ada. Ketakutan-ketakutan yang teramat kompleks.”

Lelaki yang berdosa itu pun tersenyum. Dia memandangi kekasihnya dari samping. “Aku mencintaimu, tapi aku tidak tahu kenapa aku begitu mencintaimu. Kata sang bijak, cinta itu sebagai rasa yang di dalamnya tanpa tuntutan dan permohonan. Hanya tentang ketulusan rasa dari keihlasan niat.”

“Lalu bagaimana, Mas? Cintamu padaku seperti itu?”

“Cintaku sebagai cinta yang mencari dan memahami. Bagaimana aku bisa mencintai kalau aku tidak sanggup memahami? Tapi rasa di dalam dada ini begitu hebat sampai aku membuatku benar-benar mendapatkan cahaya di dalam kegelapan. Sampai, membawaku pada pemahaman yang justru mendekatkanku pada pemahaman cakrawala. Misteri dunia yang paling luas. Hakekat manusia. Keberadaan yang terus kita pijaki sampai sekarang.”

Sang Lelaki, dialah sang Lelaki Pendosa, meraih tangan Perempuan Pendoa yang lembut. “Aku ingin menjauhkanmu dari syahwatku. Mengecapi dalam rasa yang lebih dalam. Entah sayang, aku mencapai ma’rifat cintaku padamu di titik ini.”

Perempuan Pendoa tersenyum, “Kamu akan menjadi Pendoa juga kan, Mas?” sahutnya dalam kebahagiaan yang tak terkirakan.

“Biarlah aku dijalanku, Sayang. Akan aku hitung-hitung sendiri sebelum dihitung masal oleh dia yang memiliki hak. Dan aku akan tetap berdri di jalanku untuk mencari.”

“Ah, Mas, terserah saja. Aku ikut!”

“Menjadi pendosa?” sahut sang Lelaki dengan cepat.

“Ah, Mas, katamu, dunia harus seimbang. Kalau kamu Pendosa, aku yang menjadi Pendoa. Atau kita mau bertukar tempat, Mas? Biar sejenak kutanggungkan bebanmu di pundakku!”

Lelaki Pendosa tersenyum lebar. Dia menggelengkan kepala sambil membelai kepala kekasihnya yang terselubung jilbab coklat. Lalu, dia mencium kening Perempuannya. Sang Perempuan hanya memejamkan mata sambil tersenyum ketika bibir kering seorang Lelaki Pendosa menyentuh keningnya yang lembut.

Bantul – Studio Semangat Desa Sejahtera, 01 Agustus 2010

Novel yang Mengungkap Kebohongan

Judul : The White Tiger
Penulis : Aravind Adiga
Penerjemah : Rosemary Kesauly
Penerbit : Sheila, 2010
Tebal : 352 hlm.
Peresensi : Hesma Eryani
http://www.lampungpost.com/

THE White Tiger bercerita tentang sinisme Aravind Adiga, penulis novel ini, dalam melihat India. Negara asal para dewa itu tak lebih dari sepotong kegelapan di muka bumi ini. Di dalam kegelapan apa saja dapat menimpa orang-orang miskin, bahkan, kemiskinan membuat nasib mereka tak lebih bagus dari nasib seekor kerbau. Nasib yang tanpa disadari dapat mengubah seorang yang baik, lugu, polos, menjadi pembunuh berdarah dingin.

Kemiskinan seperti menjadi kutukan bagi warga India. Begitu terlahir miskin, seumur hidup orang akan berada dalam kerangkeng kemiskinan itu. Sekuat apa pun upaya mengubah nasib akan sia-sia. Adalah Balram, tokoh dalam novel ini, menceritakan kisah hidupnya kepada Perdana Menteri China, Wen Jiabao, yang akan datang ke India. Dalam sebuah surat panjang lebar, Balram bercerita tentang desa kelahirannya: miskin, pendidikan buruk, korupsi yang mewajar, dusta religi tentang kesakralan Sungai Gangga, dan politisi busuk. Semua disampaikan dengan kemarahan dipendam, dengan sinisme yang berusaha diluapkan, juga dengan ketidakberdayaan menghadapi realitas kehidupan.

Hingga mengenyam pendidikan dasar, Balram tak pernah diberi nama oleh orang tuanya. Kemiskinan membuat ayahnya menghabiskan waktu setiap hari mencari nafkah sebagai penarik rickshaw (becak). Ibunya meninggal diserang penyakit akut, sementara sanak famili, karena kemiskinan, sibuk merancang niat melakukan kelicikan demi kelicikan. Tak seorang pun punya sedikit waktu memikirkan sepotong nama buatnya.

Sebab itu, ia dipanggil Mannu (panggilan anak laki-laki di India). Gurunya memberinya nama Balram, nama seorang Dewa dalam tradisi religi India. Nama Balram sangat melekat padanya. Karena berasal dari kasta rendah (Halwai), kasta pembuat gula-gula, maka Halwai menjadi nama belakangnya. Seorang pengawas sekolah yang melakukan inspeksi mendadak ke sekolahnya, memuji kecerdasan Balram dan menyanjungnya sebagai manusia ajaib yang hanya muncul sekali dalam satu generasi. Alasan itu pula yang dipakai pengawas sekolah itu untuk menyebut Balram sebagai Harimau Putih (White Tiger).

Dalam tradisi religi India, harimau putih makhluk langka yang muncul sekali dalam satu generasi. Setiap datang, ia membawa perubahan besar. Mannu atau Balram akhirnya memang identik harimau putih. Nama itu membawa perubahan besar dalam hidupnya, bahkan semangat yang membungkus nama itu melekat dalam dirinya.

India, kata Balram, belum pernah merdeka. “Hanya orang tolol yang menganggap kami sudah merdeka,” kata dia. Ketidakmerdekaan itu dibeberkan begitu sinis dan sarkas dalam bab pertama novel yang ditulis dengan teknik bernarasi. India gelap karena kemiskinan akibat para elite salah mengelola negara, korupsi merajalela, ketimpangdaan sosial sangat tajam, politik tanpa etika, hukum yang tak jelas, dan penindasan yang diwajarkan atas nama stratifikasi sosial.

Tuan tanah merupakan mimpi buruk semua warga. Kekuasaannya yang besar terhadap fasilitas umum dan sosial membuat mereka penguasa paling otoriter dibanding negara. Tuan tanah menyebabkan kemiskinan keluarga Balram tidak kunjung hilang. Vikram Halwai, ayah Balram, diserang TBC akut dan meninggal di rumah sakit lantaran tak ada dokter yang mau menanganinya. Balram harus bekerja menghidupi dirinya, menjadi pelayan di warung teh, kemudian diusir dan tidak diterima bekerja di mana pun karena berasal dari kasta rendah. Suatu hari ia belajar membawa mobil, lalu bekerja sebagai sopir Mr. Ashok, tuan tanah yang baru tiba dari Amerika dan menetap di Kota Banglahore.

Hidupnya berubah. Dia tinggal bersama, menemani ke mana saja, dan harus menerima ketika Mr. Ashok memperlakukan seperti anjing buduk tak berharga. Mr. Ashok memiliki kasta tinggi dan pergaulannya sangat luas. Akhirnya Balram paham banyak hal tentang Mr. Ashok, politik, religi, kemunafikan, keangkuhan, kesombongan, dan pemberontakan.

Perlahan-lahan sisi buruk kehidupan tuan tanah India melekat dalam dirinya. Suatu ketika ia menggorok Mr. Ashok agar dapat menikmati hidup tanpa kehadiran seorang tuan. Keinginan merdeka, bebas menentukan hidup membuat Balram membunuh Mr. Ashok.

Sangat wajar jika novel perdana Aravind Adiga ini memperoleh The Man Book Prize 2008, membuat penulis yang juga wartawan ini sejajar dengan sastrawan ternama asal India, Saman Rusdhi, yang sebelumnya sudah menerima hadiah serupa. Novel ini dijual di Toko Buku Fajar Agung, Bandar Lampung.

PERNIKAHAN SEMU

Lina Kelana
http://lina-kelana.blogspot.com/

Ini adalah kesekian kali dari pernikahan pernikahanku sebelumnya. Aku susun, kudirikan dan kurobohkan kemudian. Ketidakpercayaan yang disodorkan Priyadi adalah kegamangan yang bukan tanpa alasan jika aku menginginkan dia segera meminangku. Aku sangat menyukainya, namun di sisi lain aku tak menginginkan dia terkapar kecewa seperti suami suamiku sebelumnya.

Bukan sebuah keniscayaan jika orang kemudian meragukan kegigihanku mencari suami yang benar benar nyata dan sejati. Demikian juga tentang bagaimana aku dengan mudahnya mendapatkan seseorang dan menyakiti wanita lain. Jika disebut sebagai suatu keahlian, aku rasa itu tak benar, sebab tak ada kebanggaan sedikitpun untuk melakukan kesalahan yang sama beberapa kali.

“Mas Pri, apakah mas Pri tidak pernah menginginkan kita hidup dalam satu rumah tangga bersama anak anak kita?” tanyaku pada mas Pri suatu ketika sesaat setelah dia mengatakan keraguannya untuk melanjutkan hubungan terlarang kami.

Mas Pri adalah seorang duda keren warga kampung sebelah. Dia ditinggal mati oleh istrinya empat tahun yang lalu karena kanker payudara. Mas Pri sebuah usaha kue yang terkenal sampai luar daerah. Selain usaha dan keramahannya, mas Pri adalah seorang yang tampan dan cakap dalam bekerja. Tak heran jika banyak wanita yang menyukainya, tak ketinggalan pula para gadis belia. Sedang aku, aku adalah seorang istri dari seorang pedagang sayur di pasar. Dalam keseharian suamiku seorang ojek biasa, siang hari dia gunakan untuk mencari penumpang, sedang malam harinya digunakan untuk tengkulak sayur mayur di pasar.

Aku dan mas Pri bersepakat untuk mencoba saling mengenal sejak tiga bulan yang lalu. Ketika aku terjebak hujan di suatu sore dan suamiku tak jua datang menjemputku. Aku tahu hubungan ini tak menjamin sepenuhnya untuk kami bersama, namun aku meyakini hal tersebut lambat laun akan benar benar terjadi. Dan itu pasti akan terjadi.

Seperti pernikahan sebelumnya. Aku mencintai suamiku dengan sangat, pun aku mencintai kekasih kekasihku yang kujadikan calon suamiku berikutnya dengan sangat cinta.

“Piye to nduk, kowe iki cah wadon (bagaimana to nak, kamu ini seorang wanita) Harus bisa jaga martabat..”, kata ibuku mengingatkan.

Ketidaksetujuan ibuku atas apa yang kulakukan memang sangat berdasar, mengingat wong wadon(seorang wanita) harus bisa menghargai diri untuk bisa diajeni(dihargai) oleh oranglain dan masyarakat. Tetapi apakah salah jika sampai keempat suamiku tak bisa menyamankan gelisahku dan membuatku tenang sehingga aku terus mencari dan mencari?

Edy, suamiku yang pertama. Dia seorang yang lugu dan polos. Keluguannya ini mungkin karena ciri orang ndeso(desa), ataukah memang usia kami belum mencapai usia 23tahun waktu itu. Suamiku berumur 20tahun dan aku berusia 17tahun saat kami menikah. Kami menikah karena perjodohan keluarga. Setelah menikah, aku diboyong ke rumah mas Edy. Kehidupan keluargaku dengan mas Edy di topang sepenuhnya oleh orangtua mas Edy. Mas Edy seorang anak tunggal, sehingga selalu dimanja oleh orangtuanya. Dan aku tak menyukai itu. sebagai menantu dari seorang Kasun(Ketua Dusun), aku sangat dikenal oleh warga sekitar. Dari sinilah pemberontakanku dimulai. Secara ekonomi, aku adalah menantu yang sangat beruntung, sebagai seorang yang telah bersuami, aku tak pernah memasak dan menyiapkan makanan untuk suamiku, pun memikirkan segala keperluan dapur dan menu keseharian suamiku, sebab semua dilakukan oleh ibu mertuaku. Pekerjaanku hanya mencuci, dan sesekali membantu menyapu rumah dan pekarangan. Aku hanya duduk, berkumpul dengan keluarga, dan tentu saja menunaikan tugasku sebagi istri. Kehidupan sempurna dambaan setiap wanita bukan? Namun aku merasa hidup hanya“kelurusan” yang rutin, statis, dan membosankan.

Mas Edy seorang yang baik, santun dan patuh kepada orangtuanya. Dia suami yang perkasa. Benar benar suami yang diinginkan banyak wanita. Kesempurnaan yang harusnya kunikmati dengan segala kebahagiaan dan kecukupan yang ada.

Hari berganti aku lewati seperti air mengalir, sempurna yang utuh. Tanpa konflik dan pertengkaran. Hal yang membahagiakan seharusnya, tetapi kejenuhan mulai menggodaku. Aku terpikat dengan teman mas Edy, sosok kekar dan sedikit kasar. Akan bahagia jika aku menjadi istrinya, begitu pikirku. Aku mencari berbagai cara untuk menghancurkan pernikahanku. Namun lagi lagi suamiku dapat mendamaikan suasana. Suamiku layaknya sungai yang dingin, seberapapun kobaran api yang didekatkan kepadanya, segera padam dalam waktu yang tidak lama. Suamiku orang yang tak punya emosi. Aku jenuh. Aku masih berjuang mencari sebab agar aku dicerai. Hingga suatu saat aku kepergok berbuat serong. Aku berhasil membuat suamiku marah dan mengeluarkan kata talak kepadaku. Keluarga menyesalkan kejadian ini dan menginginkan kami kembali rujuk, namun aku menolak, alasanku aku trauma. Tetapi sungguh itu bukan alasan yang sebenarnya. Aku tak bisa hidup tanpa geliat. Tidak, aku tidak bisa.

“Nduk, mbokya dipikir ulang, susah lho mendapat suami jika statusmu sudah janda”, jelas ibuku.

Benarkan seorang wanita akan sulit mendapatkan pasangan jika telah berstatus janda?. Bukankah zaman sekarang semakin marak pernikahan beda usia dan status? Mengapa ini menjadi halangan untuk mencari seseorang yang tepat dalam hidupku?. Pertanyaan datang silih berganti dalam benakku. Sedikit keraguan tersimpan di sana. Benarkah yang dikatakan ibuku?, Bukankah Tuhan tak membatasi kasihsayangNya kepada hambaNya?

Lima bulan berlalu dari percerianku dengan mas Edy, aku bertemu dengan mas Junet. Dua bulan berpacaran, kami memutuskan untuk menikah. Kami membeli sebuah kontrakan di tempat suamiku bekerja sebagai buruh pabrik. Mas Junet sosok yang tegas dan berwibawa, namun tidak sebagai seorang suami. Dia selalu membutuhkan bantuan setiap kali hendak menuanikan tugasnya itu. Ingin saja aku mencari kepuasan di luar, tetapi kemudian kubatalkan. Aku tak ingin mati nahas akibat aids yang semakin menjadi biduan bagi masyarakat.

“Mas, bisakah mas mencari jalan keluar atas masalah kita ini?”, keluhku suatu ketika suamiku mengeluh tak sanggup lagi menghangatkan gigil malamku.

Usulan halus yang kuberikan selalu ditolak keras oleh mas Junet. Pertengkaran kemudian tak terhindarkan. Hingga terlontar kalimat “mas, ceraikan aku”, dan bersambut ”baik dik, aku menceraikanmu” oleh mas Junet dengan bercampur emosi. Tali pernikahan kamipun berakhir.

Aku kembali menjadi janda. Demikian seterusnya selama empat kali. Keempat suamiku memiliki keunikan yang berbeda, masing masing dari mereka selalu memberi kesan yang menyenangkan, tetapi entah mengapa aku selalu tak berani menghadapi kesulitan yang kutemukan bersama mereka?.Mengapa perceraian selalu menjadi jalan utama bagi ketidakpuasanku pada suami suamiku?. Apakah ini akibat pernikahan dini yang kulakukan sebelumnya hingga aku tak pernah belajar menerima ketidakcocokan yang ada dalam hidupku, ah entahlah aku tak tahu. Aku tahu tak akan pernah ada sosok sempurna yang kutemu, karena memang fitrah manusia adalah kekurangsempurnaan, tetapi mengapa aku masih belum sanggup menerima kekurangan oranglain dan selalu kecewa jika harapanku tidak terpenuhi oleh suamiku.

Mas Abdi kuharap sebagai suami terakhir yang kumiliki tanpa harus bercerai lagi. Aku memilihnya karena aku mengenalnya. Orangtuaku tak bisa lagi memilihkan lelaki sebagai pendampingku. Sebab agama memang melarang orangtua “memaksa” anak gadisnya menikah dengan lelaki pilihannya jika telah berstatus janda. Maka keduaorangtuaku pun merestuiku memilih mas Abdi sebagai teman hidupku.

Setahun menikah, aku belum juga dikaruniai seorang momongan. Demikian juga dari pernikahanku sebelumnya, aku tak pernah hamil. Mungkin Tuhan sengaja tak memberiku sebab mereka akan terlantar dan tersakiti karena sikapku yang selalu bercerai. Aku yakin Tuhan akan memberiku anak pada waktu yang tepat dan tak disangka sangka.

Mas Abdi seorang pria dan suami yang baik. Tapi dia bukan seorang umat agama yang baik. Mas Abdi tak pernah mau diajak untuk beribadah.

“Kalau sudah takdir ya sudah dik. Jika kita ditakdirkan masuk surga ya masuk surga saja, jika ditakdirkan masuk neraka ya masuk neraka saja. kenapa harus jungkir balik sholat, toh nasib kita ya begini begini saja”, tukas mas Abdi ketus.

Mas Abdi, pria yang kupikir baik sebaik namanya, Abdi, hamba yang patuh Tuhannya. Namun ternyata perkiraanku salah, nama yang baik tak menjamin pribadi yang baik pula. Aku berjuang keras menaklukkan hati suamiku agar mau “tunduk” kepada Tuhannya, bahkan tak malu aku mendatangkan ustadz untuk membantunya, namun lagi lagi mas Abdi menentang keras usahaku. Tak segan Pak Ustadzpun dibentak kasar oleh mas Abdi.

Tak sanggup menata laku hidup yang semakin berantakan bersama mas Abdi, aku kemudian menemu sosok lembut. Mas Pri, kakak kelasku sewaktu di SMA Pertiwi kami, Sidomulyo. Mas Pri yang memendan rasa kepadaku sejak SMA itu ternyata masih mau menerimaku yang sudah tiga kali menjanda. Dia mau menikahiku jika aku telah bercerai dengan alasan yang tepat dan tanpa rekayasa.

“Lis, aku tak kan merebutmu dari suamimu. Pikirkan baik baik lebih banyak mana manfaat antara kau bercerai dengan suamimu dan menikah denganku atau bertahan dan menjadikanku idaman hatimu”, tanya mas Pri.

Aku tertegun, hatiku tersentuh, menyadari semua yang pernah aku lakukan selama ini. Apakah aku begitu ceroboh dalam bertindak hingga tak terpikirkan olehku bagaimana akibat yang timbul untukku dan oranglain?. Aku salah, lebih suka membiarkan egoku merongrong akalku. Tetapi bagaimana dengan naluri ketidakpuasanku ini. Jika aku memilih mas Pri sebagai suamiku, tidakkah aku melakukan perceraian kembali dengannya?. Salahkan aku jika selalu mengharapkan sosok yang bisa membuatku nyaman tanpa sedikitpun gelisah menyapaku?. Inikah wujud kebenaran dari pernyataan yang mengatakan bahwa jodoh tidaknya seseorang dengan kita tergantung bagaimana/seberapa kita meyakini dan mengamini atas apa yang kita pilih, bahwa kita memiliki pengaruh yang besar dalam pemilihan dan penentuan jodoh kita sendiri?. Ataukah memang kita tidak memiliki kewenangan atas hidup kita sendiri?. Seolah kehilangan lidah, Aku diam. Aku semakin dibelit pertanyaan yang tak bisa kujawab. Mas Pri, benarkan mas Pri adalah jodohku, ataukah aku harus berjuang meluruskan langkah mas Edy yang telah jauh menikung dari kebenaran?. Kusembunyikan gelisahku, berharap malam ini kutemu sebuah kepastian yang entah bagaimana kudapat. Bercerai kembali, atau mempertahankn biduk rumah tangga yang rapuh ini.

“Mas Pri, aku akan mempertahankan rumahtanggaku. jika usahaku tak jua menemu titik terang, maka aku yakin mas Pri_lah jodohku”, pasrahku pada Tuhan. Kurebahkan tubuhku, kuselimuti dengan selembar asa yang entah, akan aku istirahatkan penatku bersama malam, berharap esok fajar akan semakin cemerlang menatap sudut mataku. “mas Pri, biar waktu yang memutuskan dimana kita bersama, di dunia, atau di akhirat nanti”, lirihku pelan.

Babat, 02 Juni 2010

Legenda yang Selalu Hidup

Judul Buku : Stanza dan Blues
Penulis : W.S. Rendra
Penyunting : Edi Haryono
Penerbit : Bentang Pustaka Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Mei 2010
Tebal Buku : vii + 125 Halaman
Peresensi : Satmoko Budi Santoso*
http://www.lampungpost.com/

BULAN Agustus adalah bulan penyair W.S. Rendra. Demikian seloroh yang bisa saja dimunculkan. Setahun yang silam, di bulan Agustus pula, penyair Rendra menjemput kematian. Kiranya penerbitan buku antologi puisi Stanza dan Blues ini pun menemukan momentumnya sekarang, yang juga sama di bulan Agustus.

Ikhtiar memunculkan antologi puisi ini memang lebih pada merekonstruksi ingatan sebagian proses kreatif Rendra. Ternyata, sepanjang karier kepenyairannya ada dua hal yang cukup menyolok, yang menjadi semacam penanda penting bagi tonggak kepenyairannya. Yang pertama adalah buku kumpulan puisi Malam Stanza yang terbit pada 1961, sedangkan yang kedua buku kumpulan puisi Blues untuk Bonnie yang terbit pada 1971.

Kenapa dua buku tersebut dianggap penting? Karena pada dua buku itulah terlihat kontras perjalanan proses kreatif kepenyairan Rendra. Pada buku yang pertama, Malam Stanza, lebih pekat dengan tema cinta yang universal, sedangkan pada buku kedua, yakni Blues untuk Bonnie sudah lebih menyuruk masuk tema sosial. Maka, adanya penerbitan buku ini dimaksudkan untuk membaca dua kutub kontras yang amat berseberangan tersebut, sekaligus membaca jejak-jejak penyelaman pemilihan komitmen terhadap pengembangan estetika berpuisi yang diimani Rendra.

Oleh sebab itu, adanya buku ini jelas memberikan pengayaan informasi yang menarik, yang mungkin belum dimiliki oleh para penyair yang hidup pada era sekarang. Betapa Rendra di dalam proses kreatif kepenyairannya pun terjadi lompatan keberpihakan estetika berpuisi. Meskipun hal semacam ini merupakan kewajaran di dalam proses kreatif tapi toh harus tetap ditandai sebagai bagian catatan perjalanan yang bernilai urgen.

Kita tahu, banyak puisi Rendra yang cukup monumental dan bahkan diajarkan di sekolah maupun perguruan tinggi sebagai bagian kurikulum. Bahkan ditelaah menjadi bahan kajian skripsi, tesis, atau disertasi. Buku ini pun mengingatkan kembali pada puisi-puisi Rendra yang monumental, yang masuk di dalam kurikulum pengajaran sekolah dan perguruan tinggi. Misalnya, Nyanyian Suto untuk Fatima, Nyanyian Fatima untuk Suto, Blues untuk Bonnie, Rick dari Corona, Kesaksian Tahun 1967, Nyanyian Angsa, dan Khotbah.

Melalui puisi-puisi itu pula, setidaknya, publik menjadi mengenal tradisi estetika balada. Ciri khas yang melekat erat pada Rendra ini memang begitu berhasil secara kukuh karena secara personal penyairnya sendiri mampu membawakan secara baik jika berada di atas panggung. Bandingkan dengan banyak penyair lain, misalnya, yang mempunyai karakter puisi tertentu, tapi ketika ia membawakan sendiri puisinya di atas panggung, karakter di dalam puisinya justru menghilang. Tentu, hal itu diakibatkan karena kegagalan si penyair dalam mengomunikasikan puisinya sendiri di atas panggung.

Memang, ada persoalan sosiologis yang membedakan antara era kini dan sekarang. Dulu jumlah penyair yang visioner (baca: berani melawan kebijakan negara dan sejenisnya) boleh dikata hanya sedikit. Tentu, kemunculan Rendra pun bagai tak ada saingan. Itulah yang membuatnya “tak bisa dikalahkan”. Tak pelak, sebagaimana telah dicatat penyair Binhad Nurohmat di dalam pengantar buku ini, kemunculan Rendra pada masanya dulu memang mengundang takjub, terutama dari para pengamat sastra yang kemudian memberikan pernyataan. Kritikus sastra dari Australia Harry Aveling, misalnya, menyatakan bahwa puisi-puisi Rendra yang merupakan “periode sosial” sebenarnya jumlahnya sedikit. “Tetapi puisi-puisi itu sungguh mengherankan, banyak variasinya dan ada yang luar biasa baiknya,” demikian pernyataan Harry Aveling. Atau, dalam versi lain, penyair Binhad Nurrohmat sendiri merumuskan bahwa puisi Rendra menjelma aksi dan peristiwa yang penting. Kepenyairannya tak hanya berbekal fakta personal yang subjektif, tapi juga fakta sosial yang objektif. Rendra telah memasuki ruang-ruang sosial yang nyata yang sebelumnya tabu bagi citra romantisme kepenyairan.

Bagi saya sendiri, puisi-puisi Rendra yang memang berkomitmen kuat pada persoalan sosial tetap saja tak dapat menghindar dari verbalitas. Terutama pada periode Blues untuk Bonnie. Atau, barangkali, pada masa itu, memang tak perlu mengekspresikan dengan cara yang lebih metaforis? Entah mengapa, setidaknya bagi saya, Rendra justru berhasil dengan puisi-puisinya pada era Malam Stanza. Puisi-puisi yang pendek, ringkas, metaforis, cenderung berpantun, yang justru merangkum kompleksitas maksud. Atau memang, kita harus percaya pada verbalitas untuk sebuah keutuhan maksud dan di situlah esensi nilai pemberontakan di dalam puisi dalam konstelasi respons masalah sosial telah terwujud?

Terlepas dari segala kemungkinan kontroversi persepsi dan pendapat, karya Rendra tetaplah harus diakui sebagai spirit jiwa zaman pada kurun waktu tertentu sehingga menjadikannya legenda yang selalu hidup. Ini yang sulit dihindari dari keberadaan puisi-puisinya yang sekaligus membuatnya bernilai abadi. Baiklah, untuk menutup tulisan ini, saya kutipkan sebagian puisi Rendra guna mengingatkan totalitas perjalanan kepenyairannya. Berikut ini adalah puisi Rendra yang berjudul Batu Hitam. Batu hitam di kali berdiri tanpa mimpi/ arus merintih oleh anak tak berhati/ Betapa tegar tanpa rindu dan damba./ Betapa sukar hancur anak tak berbunda./ Angin Agustus tiba dan bulan senyum padanya/ tapi anak tak berhati tak berjantung pula./ Angkuh dan dingin si batu hitam./ Beku dan lumutan dendamnya terpendam.//

*) Penikmat sastra, tinggal di Yogyakarta.

Ramadhan, Menikmati (Lagi) Puisi Ajamuddin Tifani, Sang Sufi dari Alam…

Raudal Tanjung Banua*
http://www.balipost.co.id/

RAMADHAN, saya pikir tidak harus berkutat sebatas kitab suci, tapi sesekali perlulah membongkar kembali koleksi buku-buku dan menikmati muatannya sebagai pesan ilahiah juga. Alhamdulillah, setelah memilih dan memilah beberapa buku, saya dapatkan buku puisi Ajamuddin Tifani, ”Tanah Perjanjian” (Hasta Mitra-YBS 78, 2005) yang tebalnya hampir 300 halaman. Wah, ini klop, pikir saya, mencari-cari sembarang bacaan akhirnya dapat puisi sufi!

Ketika membuat catatan ini, tentu saja saya sadar sudah cukup sering karya-karya Ajamuddin Tifani dibahas, khususnya oleh sastrawan/ kritikus di Kalimantan Selatan, dan lebih khusus lagi dalam konteks nilai sufistiknya. Tapi tak apa, pikir saya, setidaknya saya menuliskannya selagi bulan Ramadhan, di mana pembacaan ulang atas puisi-puisi sufi Tifani terasa khas, kalau bukan aktual. Walaupun secara muatan, risikonya saya hanya sekadar mengulang. Maafkan.

Sembari membolak-balik buku hard-cover itu, saya terus bergumam: akhirnya, terbit juga buku puisi salah seorang penyair kuat dari Kalimantan, Ajamuddin Tifani (1951-2002) ini, setelah bertahun-tahun — bahkan sampai akhir hayatnya — hanya berupa manuskrip. Saya beruntung mendapatkannya satu; ketika berkunjung ke Banjarmasin beberapa tahun lalu, kolega almarhum, Y.S. Agus Suseno, Micky Hidayat dan Maman S. Tawie memberi saya kopian manuskrip itu, dengan harapan saya bisa membantu mencari penerbit di Yogya. Apa lacur, di negeri ini buku puisi belum menggugah nurani penerbit yang berbasis industri, seraya merujuk selera publik yang katanya tak doyan puisi. Untunglah, pertengahan 2006 saya dikontak Suseno: manuskrip itu akan terbit di Jakarta, berkat santunan kawan lama dikontak Suseno: manuskrip itu akan terbit di Jakarta, berkat santunan kawan lama almarhum, Tariganu. Maka, ”Tanah Perjanjian” terbitlah.

Menikmati puisi Ajamuddin Tifani dalam buku ini, kesan pertama yang muncul adalah kekuatannya menggunakan citraan alam; dan kedua, upayanya membangun dunia transenden. Seperti sudah saya sebutkan, Tifani memang cukup lazim dikenal dalam ranah penyair sufi, terutama ketika kecenderungan aliran ”terekat puitik” ini menguat sekitar tahun 1980-an.

Menurut Abdul Hadi W.M. dalam kata pengantar, Tifani sangat produktif bersama penyair segenerasinya seperti Heru Emka, Nyoman Wirata, Juardi Bisri, dan Raka Kusuma. Waktu itu, harian Berita Buana yang diasuh Abdul Hadi memang ‘corong’-nya sastra sufi, menyusul lahirnya gagasan atau konsepsi seputar sastra sufi yang antara lain juga melibatkan Kuntowijoyo, Y.B. Mangunwijaya, Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi sendiri. Tentu kegairahan suatu zaman ikut mempengaruhi capaian estetik seseorang, sebagaimana tercermin dalam sajak Tifani.

Apa yang menarik dari sajak ’sufi’ Tifani (kalau disepakati demikian), memanglah kemampuannya menggunakan citraan alam sebagai simbol atau jalan profetik seperti disinggung tadi, baik secara personal maupun kolektif (lingkungan sosial tempatnya tinggal). Yang personal, biasanya berupa bisik lirik permohonan (tapi bukan cuplikan doa); pengakuan, harapan dan pencarian (tapi jauh dari bentuk pengakuan dosa dan rintih putus asa) antara si aku lirik dengan Yang Maha Pemilik Alam. Yang kolektif terasakan dari gugatan terhadap simpul yang membuhul hajat hidup orang banyak, seperti institusi kehutanan, pengusaha kayu, penguasa, sampai rezim Orba dan arogansi Serbia di Sarajevo, tapi tidak jatuh sebagai sajak pamflet atau kutukan. Lewat citraan alam yang segar, semua itu berhasil ia tarik pada tataran reflektif.

Dengan demikian, dunia transenden Tifani adalah buah ”persetubuhan” yang intens dengan alam, yang menyumbang tak hanya kosa kata natural seperti ricau unggas, daun basah, hutan-rimba, sungai, laut, tanah huma dan semacamnya, tapi menyatu dalam ungkapan dan bait segar, sekaligus kaya makna seperti dikutip secara acak dari beberapa sajak berikut: ”kudengarkan senandung batu, dalam rinai yang menampung jejak malam, melantun ke penjuru lembah, menghijaukan lagi lumutnya; jika ia daun, berilah gugur, berilah, agar tanah dapat menghimpunkan humusnya, restu dari luka-riangnya; sudah kutimang tandas-tikammu sedarah, sedarah sudah kubuai timpas-suburmu sepasir, sepasir sudah kuludahkan khuldimu setangis; maut menggesek tiap ranting, dengarlah suaranya berjalin dengan tiap suara, terima kasih, pagi yang bersuka.”

Kalau ada asumsi yang menyebut penyair sufi cenderung mengasingkan diri, lalu muncul dengan idiom yang sarat nama Tuhan, tak peduli streotipe atau verbal, itu tidak terjadi pada sosok Tifani. Di tangannya, sufisme justru sangat dekat dengan lingkungan alam dan sosial; sementara yang vertikal buah dari pergulatan horizontal, atau bisa juga sebaliknya. Tak heran, dalam sajak kontemplatif dengan subjek aku lirik misalnya, situasi sosial di tingkatan kolektif saja muncul tak terbendung, semisal dalam sajak ”Risalah Embun” (hal. 182): ”inilah hamba yang ingin mengabarkan suara-suara cinta/ pada kepompong dan daun gugur, pada belukar impian/ dan putik bunga, pada padang luas dan angin pagi, pada auman badai dan jeritan burung-burung putus asa.” Sebaliknya, dalam lirik-kolektif, suara aku-lirik tetap menyelip yang memberi aksentuasi puitis dan kritis pada suara bersama, simak misalnya sajak ”Risalah Darah” (hal. 163): ”yang dikicaukan burung-burung pagi hari itu/ terbitkan sudah matahari pencerahan, yang olehnya/ tragika kemanusiaan kita terselamatkan/ Tapi bagaimana merumuskan sorakan berjuta-juta anak/ yang bermain rembulan dengan perut lapar?”

Situsi penciptaan semacam ini mungkin cocok dengan konsepsi ”relegiusitas sastra” Y.B. Mangunwijaya. Lewat relegiusitas inilah Tifani menyuarakan keadaan masyarakatnya (termasuk dirinya yang gelisah); mulai dari rusaknya hutan Kalimantan (Mantuil, Murungpudak, Meratus), situasi kota kenangan (Banjarmasin, Kandangan), pertobatan dan refleksi dalam perayaan (Idul Fitri, Idul Adha, HUT kemerdekaan), sampai kepada bencana tsunami di Flores dan perang di Bosnia-Palestina. Berkat citraan alam, puisi-puisi Tifani terdedah dengan jernih, akrab dan dekat. Meski di lain waktu ia mencoba membangun imaji sureal tentang maut, hijrah, miraj dan dunia unik lainnya dalam khazanah sufi, tapi itu tetap hangat tersaji lantaran kepiawaiannya membangun ‘jembatan’ puitik, semisal lewat mantra, alam yang keramat, dan muatan lokal.

Sosok Ajamuddin Tifani

Memahami sosok Ajamuddin dan wawasan puitiknya, tentu dapat dilakukan lebih lanjut lewat 161 sajak alam buku ini. Setidaknya, dengan asumsi ini Abdul Hadi W.M. tak perlu menyebut bahwa salah satu kelemahan Tifani adalah ‘ia jarang menulis esei dan kritik”. Seorang penyair, justru harus berbicara dengan puisinya; setidaknya, bukanlah suatu kelemahan jika ia tak menuliskan wawasannya dalam bentuk esei. Persoalannya mungkin akan lebih buruk bila seorang pengarang memaksakan diri menjelajah segala bentuk ekspresi seni, yang ternyata hanya mengantarnya jadi sekadar seorang ‘budayawan’.

Apalagi dalam konteks Tifani, julukan seniman serba bisa sesungguhnya layak disandangnya, sebab ia juga melukis (sebagian dicetak di buku ini), pembaca sajak yang baik dan sebenarnya juga menulis esei (satu di antaranya tentang tassauf melengkapi Tanah Perjanjian) serta menulis cerpen (salah satunya ada dalam antologi Cerita Pendek Indonesia Jilid IV editor Satyagraha Hoerip); tapi puisilah skala prioritas Tifani. Ketimbang persoalan ini, kelemahan Tifani yang seharusnya ditelisik lebih jauh adalah kekurangcermatannya mengutip kalimat dan nama ayat Al-Quran, sebagaimana pernah diteliti seorang penyair Kalsel, Jamat T. Suryanata, yang juga diakui Abdul Hadi. Meski kalau dicermati, kadang Tifani sengaja mengubah kutipan, namun esensinya sama.

Kelemahan Lain

Kelemahan lain yang cukup mengganggu pada buku ini adalah kurang selektifnya pilihan sajak. Seharusnya puisi Ajamuddin Tifan dieditori ulang, tidak saja untuk menghindari persoalan teknis seperti salah cetak, penatan EYD atau ungkapan yang kurang tepat (perhatikan misalnya ”dianyam raungan ayam jantan”), termasuk membenahi nama surah dan kutipan ayatnya seperti disinggung di atas. Ini juga merujuk kenyataan bahwa tidak semua sajak Ajamuddin dapat dianggap kuat (sesuatu yang wajar dalam proses kreatif semua orang). Sajak-sajak periode awalnya yang relatif pendek dan sederhana, menurut saya hanya yang lebih kuat, ketimbang sajak periode akhir yang relatif panjang-panjang dan ‘telanjang’ (kurang mengeksplorasi citraan alam sebagai kekuatannya yang sejati).

Ketiga dokumentator — Y.S. Agus Suseno, Micky Hidayat, dan Maman S. Tawie — mestinya diberi kesempatan (atau menyempatkan diri) sekaligus sebagai editor. Lewat cara ini, puisi yang terpilih betul-betul yang kuat, dan buku ini pun akan sangat representatif. Sungguh pun demikian, dengan keadaan sekarang, buku ini jadi bernilai dokumentatif. Di samping semua puisi yang pernah ditulis Ajamuddin hadir full (mungkin masih banyak yang tercecer), juga disertakan esei dan surat tulisan tangan Ajamuddin, biodata lengkapnya yang ditulis Maman S. Tawie serta daftar kliping yang pernah memuat sajaknya. Pertanyaannya, sebuah buku, apakah hanya lebih bernilai dokumentatif, apalagi lantaran penyair/ penulisnya sudah tiada? Saya kira tidak juga. Sebuah buku yang baik (dalam arti selektif) dengan sendirinya akan bernilai dokumentatif, dan itu lebih esensial.

Tapi yang paling mengganggu dari semua itu adalah kehadiran penyantun yang kurang proporsional, baik peran, nama dan biografinya, maupun pengertian penyantun itu sendiri. Di cover depan misalnya, nama si penyantun, yang bernama Tariganu — yang mengaku kawan baik Ajamudin — tampil mencolok bersama nama penyair dan Abdul Hadi W.M. sebagai pengantar — dua nama terakhir masih wajar. Tapi nama penyantun, adakah ia memiliki urgensi seperti itu, apalagi dengan font sebesar ‘gajah’? Celakanya, di cover belakang bukan biodata Ajamuddin, tapi biodata Tariganu, sang penyantun!

Ada yang hilang dari ”Tanah Perjanjian” sebagai sebuah ‘proses panjang’. Editor yang berpayah-payah malah lenyap, di kolofon pun tak tercantum, tapi penyantun — sebagai point yang kurang jelas posisinya dalam sebuah buku — justru mencuri fokus. Tidakkah penyantun cukup santun dengan merasa terwakili Yayasan Bengkel Seni ‘78 yang bekerja sama dengan Hasta Mitra? Ah, puisi, engkau benar-benar diuji; tak dilirik penerbit industri, kurang pula ketulusan dari sedikit orang yang peduli — meski penyairmu sudah mati! Marhaban ya Ramadhan, selamat datang ya ketulusan!

*) Penyair, Koordinator Komintas Rumahlebah Yogyakarta tinggal di Sewon, Bantul.

Sabtu, 21 Agustus 2010

Menguak Tabir Politik Sastra

Agus Himawan
http://kompas-cetak/

TS Eliot dalam Tradition and Individual Talent (The Sacret Wood, London: Methuen& Co, 1960) berseru, “Kritik yang jujur dan apresiatif diarahkan bukan kepada penyair, tetapi pada sajaknya. Jika kita memerhatikan omongan kacau para kritikus di koran serta desir ulangan populer yang menyusulnya, kita akan mendengar banyak nama penyair. Sedangkan jika kita mencari kenikmatan karya, kita akan jarang mendapatkannya.”

Jika kita lebih cermat memerhatikan perkembangan sastra lima tahun terakhir ini, bisa jadi seruan Eliot tersebut sampai kinilah yang terasa dalam sastra kita. Perkembangan kritik sastra jadi tak sebanding dengan banyaknya buku sastra yang diterbitkan.

Selain itu, tulisan esai kritik yang ada di media massa, pun makalah diskusi, sebagian besar kebanyakan hanya “mencatut” pelbagai ide besar ke dalam teks sastra sehingga bukannya jouissance kenikmatan tekstual yang muncul dari sebuah karya yang dibahas, melainkan sorotan “puja-puji” dalam bingkai “intelektual” yang dapat dikomoditaskan pihak tertentu (baca: penerbit) sebagai “penglaris”.

Akibatnya, kita sulit mencari kritik independen terlepas dari intervensi penerbit sebagai bagian dari jaringan sebuah media massa yang besar. Pun ketokohan pengarang selain banyak nama pengarang dan karya yang baik cenderung terluputkan karena perhatian umumnya kritikus dan media massa terpukau pada sosok biografi pengarang, bukan pada analisis karya yang dapat menunjukkan kenikmatan tekstual.

F Rahardi dalam Kompas, 23 April 2000, mengharapkan setelah meninggalnya “Paus Sastra” HB Jassin kondisi sastra dapat lebih sehat dengan tiada lagi figur tunggal yang dimitoskan sehingga membuat sastrawan tumbuh sendiri secara alami untuk mendapatkan pengakuan.

Sialnya harapannya tak begitu banyak dimanfaatkan pemawas sastra kita sehingga kritik sastra terkini selain tak bernyali, juga mudah dimanfaatkan sebagai “senandung pujian” (baca: “blurb” yang dicantumkan di sampul belakang buku atau esai untuk “kata pengantar”) dalam industri penerbitan buku. Tudingan lebih gawat krisis kritik sastra terjadi karena “politik sastra”, satu hal yang umumnya enggan diakui pemawas sastra kita.

Buku ini ditulis oleh Katrin Bandel, penulis kelahiran Wuppertal, Jerman, yang meraih gelar doktor dalam sastra Indonesia pada 2004 di Universitas Hamburg. Kehadiran buku ini tentunya menarik walau dapat pula menimbulkan sedikit rasa kecewa lantaran otokritik sastra yang bersih malah dihasilkan peneliti bukan dari Indonesia.

Pertanyaan mengusik, sebegitu gawatkah krisis kritik sastra kita yang independen sehingga setelah membaca buku ini telah memberi bukti beberapa pemawas sastra kita terjerembab arus sensasi media massa bak selebriti intelektual dengan melontarkan pujian berlebihan kepada beberapa penulis perempuan, tanpa disadari telah menghancurkan potensi yang menjanjikan?

Hal demikian dapat terbaca dalam Nayla: Potret Perempuan Pengarang sebagai Selebriti (hal 143) yang dengan kemunculan tiba-tiba karya Djenar Maesa Ayu sebagai “sastrawati” ternyata tak sebanding dengan pujiannya. Jika kita menghubungkannya dengan kemunculan pengarang perempuan lain, maka di mata Katrin selain pujian pada Djenar berlebihan, karya lain yang menggarap tema seks secara lebih bebas ternyata baru sampai pada pemaparan ide yang belum tuntas. Dalam tulisannya Katrin menyiapkan argumentasi meyakinkan dengan merujuk teori, membongkar kelemahan sehingga pujian yang terbetik di media massa atau dalam buku Djenar sendiri menjadi rontok.

Geliat sastra mutakhir dengan munculnya sastra internet yang pada awal kehadirannya dicibir sebagai tren sesaat seperti pernah disebutkan Hamsad Rangkuti di majalah Gatra, 18 November 2000, juga disinggung Katrin dalam “Karya Sastra sebagai Taman Bermain”. Di sini ia menyinggung antara diri pengarang dan alter-ego Dewi “Dee” Lestari dalam Supernova (2001) sehingga batas antara fiksi dan kenyataan menjadi bias. Uniknya hal tersebut bukan muncul dari bukunya sendiri, melainkan dari situs internet penerbit Supernova, yaitu truedee.com.

Esai menarik lainnya adalah Religiusitas dalam Novel Tiga Pengarang Perempuan Indonesia (hal 67) yang sedikit memberi bukti nyata masih ada potensi penulis perempuan mampu menulis tema lain bukan hanya sekadar seks yang terlalu digembar-gemborkan di media massa sebagai “pembaru”. Kondisi ini cukup berbahaya karena menimbulkan kesan seolah penulis perempuan, terutama setelah ramainya publikasi Djenar, hanya mampu menulis soal seks saja, padahal hal tersebut dibentuk industri kapital penerbitan buku sebagai tren.

Sastra klasik Indonesia juga tak luput dari amatan Katrin. Dalam Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh (hal 31) ia cukup tajam mengurai sejarah terjadinya “politik sastra” di masa jayanya penerbit Balai Pustaka sebagai institusi kolonial ternyata punya andil menggerus “Cerita Nyai” bahasa Melayu rendah akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 sebagai bacaan murahan tak layak dikategorikan dalam sastra.

Meskipun buku ini cukup berhasil sebagai otokritik sastra dari sudut pandang pengamat sastra berkebangsaan bukan Indonesia seperti yang dilakukan oleh A Teeuw, John H McGlynn, dan Harry Aveling, buku ini juga menyimpan kelemahan. Sebutlah tulisan Sastra Koran di Indonesia (hal 45) Katrin tak banyak memberi penjelasan bagaimana kondisi media sastra di Jerman sebagai perbandingan. Dalam tulisan tersebut Katrin hanya memberi contoh posisi artikel sastra Jerman yang dinamakan “Feulliton” lebih netral dibandingkan dengan rubrik sastra koran Indonesia karena kehadirannya hanya berupa reportase acara sastra dan resensi buku, bukan sebagai “ajang” melahirkan sastrawan (juga penulis kritiknya) yang masih dalam kondisi “diletan” dengan memamerkan istilah asing hanya untuk memperindah tulisannya.

Kelemahan berikut adalah ulasan novel Disgrace karya pemenang Booker Prize 1999 dan Nobel Sastra 2003, JM Coetzee (hal 119) yang aslinya adalah resensi buku yang pernah dimuat di Kompas, 23 Oktober 2005.

Dalam tulisan tersebut nyaris Katrin hanya menceritakan Disgrace tanpa menghubungkannya secara kontekstual dengan perkembangan sastra Indonesia. Akibatnya pembaca jadi bertanya-tanya apa korelasinya dengan sastra kita, sedangkan maksud penulisan buku ini adalah menghadirkan kritik sastra kita secara netral tanpa intervensi pihak mana pun. Sebutlah A Teeuw dalam Khazanah Sastra Indonesia (Balai Pustaka, 1982) yang juga menyebut karya asing, begitu pula Harry Aveling dalam Rahasia Membutuhkan Kata (IndonesiaTera, 2003) yang jelas terlihat korelasinya dengan karya sastra Indonesia.

Kelemahan lain, buku ini belum karya utuh seperti buku A Teeuw dan Harry Aveling lantaran hanya mengumpulkan tulisan Katrin yang pernah dimuat di berbagai media massa sehingga data dan argumennya terasa kurang lengkap (Sastra Koran di Indonesia juga ulasan karya JM Coetzee). Rata-rata buku kritik yang berasal dari kumpulan tulisan menyimpan kelemahan sejenis, misalnya Sastra dan Massa-nya Jakob Soemardjo (ITB, 1995) atau Solilokui-nya Budi Drama (Gramedia, 1983) yang sebenarnya dapat lebih komprehensif jika ditulis ulang, bukan sekadar mengumpulkan kembali tulisannya.

*) Pengamat Sastra Tinggal di Jakarta.

Aku, Iqbal dan Konsepsi-Konsepsi Soal Tuhan?

Pergulatan Panjang Menuju Tuhan
Salman Rusydie Anwar*
http://airbeningkehidupan.blogspot.com/

Bagi sebagian masyarakat yang sudah merasa bahwa pemahaman merekaselama ini tentang konsep “Tuhan” sudah mapan, barangkali judul tulisan di atas terkesan sangat dan terlalu janggal. Bagaimana mungkin mereposisi (memposisikan kembali) keberadaan Tuhan jika selama ini sudah jelas bahwa Tuhan adalah Dzat yang harus diyakini keberadaannya serta sekaligus harus disembah oleh mereka yang meyakininya.

Dalam konteks pergumulan teologis, persepsi (pandangan) manusia mengenai Tuhan telah melahirkan berbagai ketegangan intelektual –dan bahkan tidak jarang menimbulkan berbagai goncangan serta benturan-benturan sosial. Sejarah mencatat bahwa perdebatan panjang mengenai eksistensi Tuhan telah memicu munculnya firqah-firqah di kalangan umat manusia, terutama umat Islam, seperti hal munculnya faham-faham Qadariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, Syi’i, Sunni dan sebagainya.

Munculnya aliran-aliran kalam tersebut pada dasarnya dipicu oleh satu faktor yang sangat urgen dan sekaligus sensitif; yaitu tentang masalah Tuhan. Dengan kata lain eksistensi Tuhan telah menjadi objek pemikiran, pengkajian dan penelitian yang dari sana kemudian bermunculan rumusan keilmuan mengenai ketuhanan, seperti ilmu tauhid, ilmu kalam, ilmu teologi, ilmu teosofi dan semacamnya.

Pertanyaannya kemudian adalah: dalam konteks kehidupan kita saat ini, pada wilayah apa saja Tuhan itu boleh dipikirkan, dikaji dan diteliti?

Pertanyaan di atas, bagi sebagian orang, mungkin akan membawa pada munculnya berbagai spekulasi teologis atau ketersinggungan keyakinan. Sebab selama ini sudah pakem dipegang adanya sebuah ajaran yang menyatakan bahwa memikirkan Tuhan adalah sesuatu yang terlarang meski di samping itu masih juga terdapat sebuah apologi sufistik yang menyatakan bahwa ‘araftu Robby bi Robby (Tuhan dapat diketahui melalui kesediaan Tuhan memperkenalkan diri-Nya sendiri).

Namun bagaimanapun spekulasi itu, jika keberadaannya masih bersifat pasif, maka selamanya tidak akan memberi tambahan wawasan apa pun selain hanya kepercayaan dan keimanan statis yang ujung-ujungnya akan tetap berpuncak pada kuatnya klaim kebenaran (truth claim) di antara umat. Meski demikian, pertanyaan yang masih tersisa untuk kita jawab sekarang ini adalah; masih perlukah memikirkan Tuhan jika keberadaannya tetap selalu menjadi misteri? Jika harus dipikirkan, bagian mana dari keberadaan Tuhan yang harus dipikirkan: Dzatnya, Sifatnya, Sikapnya, atau apa?

A. Chaliq Muchtar di dalam jurnal Esensia Vol.3, No.2, Juli 2002 pernah menulis sebuah artikel cukup memikat, “Membumikan Tuhan?.” Istilah “membumikan” ini sebenarnya merupakan istilah yang diadaptasi Muchtar dari dua karya tokoh ulama sebelumnya, yaitu Quraish Shihab (Membumikan Al-Qur’an) dan Ahmad Syafi’i Ma’arif (Membumikan Islam). Menurut pendapat penulis, istilah “Membumikan Tuhan” barangkali mengandung sebuah isyarat, bahwa Tuhan harus dipahami sebagai sesuatu yang membumi untuk dapat dimengerti.

Hal ini cukup rasional mengingat selama ini persepsi, konsepsi dan keyakinan sebagian umat beragama terhadap eksistensi Tuhan masih terlalu menempatkan Tuhan sebagai sesuatu yang jauh melangit. Bahkan, perdebatan panjang seputar masalah ketuhanan kerap menyebabkan terjadinya peperangan yang begitu tragis meskipun akhir dari semua perdebatan itu tetap tidak kunjung menemukan kesimpulan yang benar-benar pasti mengenai siapa dan bagaimana Tuhan itu yang sebenarnya. Lain kata, Tuhan akan tetap dipahami sesuai dengan keyakinan masing-masing umat yang menyembahnya.

Salah satu upaya mengakhiri perdebatan dan pertengkaran panjang umat manusia dalam memahami konsep Tuhan barangkali bisa dilakukan dengan “menempatkan” Tuhan sebagai sesuatu yang membumi. Tuhan tidak harus melulu dibayangkan sebagai sesuatu yang jauh melangit. Untuk kepentingan manusia, Tuhan harus diyakini terlibat secara aktif di muka bumi ini dan hal itu hanya dapat terwujud dengan kemampuan manusia dalam memahami keberadaan dan kehadiran-Nya dalam setiap kegiatan dan aktifitas sejarah manusia di atas bumi ini.

Sepanjang sejarah, upaya manusia dalam memahami keberadaan dan kehadiran Tuhan telah melahirkan banyak pemikiran-pemikiran berharga yang perlu kita pelajari. Dalam tulisan ini, penulis hendak menghadirkan pemikiran seorang tokoh filsafat dan sastrawan besar muslim kelahiran India, yaitu Sir Muhammad Iqbal.

Muhammad Iqbal (1873-1938) adalah seorang penyair dan filosof muslim yang berasal dari India. Ia dilahirkan di Sialkot, Punjab, pada tanggal 22 Februari 1873. Pendidikan dasar dan menengah didapatkannya di daerah kelahirannya itu. Pada tahun 1895 ia pindah ke Lahore untuk belajar di perguruan tinggi dan pada tahun 1905 ia melanjutkan studinya ke Eropa dan memperoleh gelar doktor dalam filsafat dari Universitas Munich. Gelar doktor lainnya terutama di bidang kesusasteraan didapatnya dari Universitas Punjab pada tahun 1935. Pada tahun 1927 ia pernah dipilih menjadi anggota Majelis Legislatif Punjab dan pada tahun 1930 ia juga pernah dipilih sebagai Presiden sidang tahunan dari Liga Muslimin. Karena pada periode ini, ia mendukung gagasan tentang sebuah negara Islam di wilayah Timur Laut India, maka oleh para pendukung negara Pakistan, ia dianggap sebagai pemimpin mereka.

Secara keseluruhan, konsepsi Iqbal tentang Tuhan terbagi ke dalam tiga pemahaman. Pertama, oleh Iqbal Tuhan diyakini sebagai suatu “Keindahan Abadi yang ada tanpa tergantung pada –dan mendahului- segala sesuatu selain diri-Nya, dan karena itu Tuhan menampakkan diri dalam semuanya.” Selain itu, Iqbal juga menyatakan bahwa Tuhan adalah penyebab gerak segala sesuatu. Sementara seluruh kemaujudan (eksistensi) selain Tuhan, semuanya adalah fana.

Konsep kedua Iqbal mengenai Tuhan lebih bersifat filosofis. Hal ini disebabkan karena dalam membuat konsep tersebut Iqbal mempergunakan filsafatnya tentang pribadi (philosophy of the self) sebagai salah satu metode pemahamannya. Iqbal berpendapat bahwa Tuhan adalah “Pribadi Mutlak, Ego Tertinggi dan suatu Kemauan Abadi yang Esa.”

Dengan pemahaman ini, Iqbal mengatakan bahwa Tuhan tidak menyatakan atau melibatkan dirinya di dalam dunia yang terinderai atau dunia yang dapat dirasa, dilihat dan disentuh. Sebab, dunia yang dapat dirasa, dilihat dan disentuh ini sebenarnya merupakan hasil ciptaan dari pribadi terbatas manusia atau merupakan bentukan dari hasrat-hasrat manusia meskipun hal ini tidak berarti bahwa dunia merupakan ciptaan dari manusia.

Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa Tuhan merupakan Pribadi Mutlak dan Ego Tertinggi yang keberadaan-Nya melampaui keberadaan manusia sebagai makhluk yang juga termasuk ‘pribadi’ (namun terbatas/tidak mutlak). Oleh karena itu, berdasarkan konsep ini, usaha manusia untuk mencari dan mendekatkan diri kepada Tuhan hanya dapat dilakukan melalui pribadi manusia itu sendiri dengan cara menyerap (memasukkan, menghayati, menghadirkan) Tuhan ke dalam diri pribadi kita, bukan sebaliknya dengan membiarkan pribadi kita terserap ke dalam Tuhan hingga tiada (fana).

Konsep Iqbal ini sangat berbeda dengan konsep ketuhanan (terutama mengenai masalah fana) yang diberikan oleh tokoh-tokoh lain, seperti Al-Hallaj, Rumi, Sa’di dan beberapa ulama sufistik lainnya. Jika para sufistik ini membuat konsep bahwa untuk menemukan Tuhan, maka seseorang harus meleburkan diri ke dalam Tuhan hingga menjadi tiada atau fana, maka Iqbal berkata sebaliknya bahwa Tuhan sebagai Pribadi Mutlaklah yang harus kita masukkan atau kita leburkan ke dalam pribadi kita.

Konsep ketuhanan Iqbal yang ketiga adalah berupa “penggambaran” Iqbal bahwa Tuhan merupakan suatu Ego Maha Kreatif yang terarah secara rasional. Mengenai kreativitas Tuhan, Iqbal berpendapat bahwa kegiatan penciptaan alam oleh Tuhan tidaklah seperti kegiatan mencipta dalam sebuah pabrik dimana hasil penciptaan itu berdiri secara independen dan terlepas dari penciptanya.

Adapun kegiatan penciptaan alam oleh Tuhan itu adalah secara terus menerus, tidak pernah berhenti, karena keberadaan alam yang sebenarnya adalah suatu struktur peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan dan ganti berganti yang kesemuanya tergantung dari kegiatan penciptaan Tuhan.

Untuk menegaskan pendapatnya ini, Iqbal menggunakan analogi paham Asy’ari mengenai keberadaan atom. Paham teologi Asy’ari menyatakan bahwa kelanjutan sebuah atom ditentukan oleh terjadinya aksiden-aksiden yang terjadi secara terus menerus di dalam atom itu sendiri. Dalam hal ini Iqbal membenarkan beberapa hal di dalam paham teologi Asy’ari mengenai masalah penciptaan atom ini. Akan tetapi ia mengubah konsep atomisme Asy’ari menjadi suatu paham pluralisme rohaniah. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, termasuk atom, sebenarnya adalah suatu ego, dan segala macam ego yang ada di dunia ini adalah merupakan pewedaran atau perwujudan diri dari Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Pencipta.

Demikianlah beberapa konsep mengenai ketuhanan, salah satunya menurut Iqbal. Tentu konsep ini bukan satu-satunya konsep yang paling benar karena memang tidak ada satupun konsep di dunia ini yang benar-benar mampu menjelaskan tentang Tuhan dengan pasti. Namun pemikiran-pemikiran yang berkembang tentang-Nya tetap menjadi dinamika ilmu pengetahuan yang selalu menarik untuk diminati dan dinikmati. Wallahu A’lam bi al-Showab!

Cilacap, 30 Desember 2009

Wangi Bunga Di Atas Makam

Sabrank Suparno
http://www.sastra-indonesia.com/

Mendamba, adalah puncak do’a bathin nan serius, yang dilakukan orang tua pada anaknya, guru pada muridnya, dosen terhadap mahasiswanya, kiai pada santrinya, agar kelak anak didik dan anak asuhnya menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Tak heran jika kemudian para orang tua rela mengucurkan jutaan rupiah demi pendidikan anaknya, dengan harapan agar kelak di kemudian hari tidak bernasib seperti bapaknya. Namun tentu saja lebih baik dari segi apapun; moral, intelektual, spiritual sebagai harkat martabat hidupnya.

Sejajar ungkapan jawa; ‘anak polah, bopo kepradah’ anak berulah, orang tua menanggung akibatnya. Baik-buruk perilaku anak, sangat berpengaruh terhadap kredibilitas orang tuanya. Dalam ungkapan lain, anak diharapkan ‘mikul duwur, mendem jeru’ terhadap orang tua. Mikul duwur: menghargai jasa-jasanya, mempraktekkan pitutur orang tua. Mendem jeru: tidak mengungkit-ungkit kesilapan orang tuanya.

Gus Zainal Arifin Thoha, semasa hidupnya dapat dijadikan acuhan cetak tebal bagi debut kepenyairannya di belantara sastra Indoesia. Kiai muda yang akrab dipanggil Gus Zainal itu, tidak sekedar ekstase atas keberhasilannya sebagai penyair, bahkan pondok pesantrennya di dermakan bagi para mahasiswa di Yogyakarta, lebih-lebih yang ingin mendalami dunia tulis-menulis dan kepenyairan, padahal taraf kehidupan rumah tangga Gus Zainal sendiri masih serba kekurangan.

Di pesantren Hasyim Asy’ari Yogyakarta inilah, sembari memimpin pondoknya, Gus Zainal menelorkan buku-bukunya: Aku Menulis Maka Aku Ada, Jagatnya Gus Dur, Runtuhnya Singgasana Kiai NU, dll. Bagai ayam bertelor di lumbung padi, para mahasiswa dapat mondok dengan bebas iuran, juga dibimbing mendalami dunia kepenulisan.

Disadari atau tidak, semasa hidupnya Gus Zainal, seolah mengukir guratan nisan di atas makamnya kelak. Betapa tidak, anak-anak yang bergiat di “Sastra Kutub,” yang note bene mencecap sum-sum kepenyairan Gus Zainal, serempak berhamburan mengepakkan berbagai bendera kepenyiaran.

Buku Antologi Puisi Mazhab Kutub ini dihuni 14 sastrawan muda jebolan sarang bergerumunnya Sastra Kutub. Barisan nama: Selendang Sulaiman, Mahwi Air Tawar, Ahmad Muchlis Amrin, Ala Roa, Jufri Zaituna, Mohammad Ali Mahmudi, AF Denar Deniar, Bernando J. Sujibto, Salman Rusydi Anwar, Matroni El-Moezany, Ahmad Maltuf Syamsury, Muhammad Ali Faqih, Imam S Arizal dan Alfian Harfi, menyuguhkan puisi-puisi yang menggelinjang di era sekarang.

Secara keseluruhan puisi-puisi mereka, menorehkan jenis ornamental mozaik baru dari transisi konversi dogmatis struktur kepenyairan lampau. Pematahan tradisi ritmatik, adalah simbol baju khas penyair anak jaman yang lahir pada dekaden 80’an. Kecenderungan ‘bebas’ namun dalam kadar tekstur kepuisian, tidak lantas dituding sebagai pembelotan arah, lebih dari itu merupakan ramuan padu semerbak harum aneka warna bunga yang mungkin didambakan Gus Zainal semasa hidupnya, dan kini harum mewangi bunga itu di tebarkan para santrinya dalam Mazhab Kutub.

Larik-larik puisi Mazab Kutub sengaja disuguhkan dengan tehnik observasi terbaru sebagai pilihan sikap mewakili anak zaman. Seperti merubahnya Mother Thereza dari jargon: aku bukan orang yang ‘anti kekerasan’, melainkan lebih lentur digubah menjadi: aku ingin menjadi bagian dari ‘pro perdamaian’. Bedanya pada jargon pertama, kata ‘kekerasan’ masih disertakan dalam meng-anti-kannya, tetapi pada jargon kedua kata ‘kekerasan’ sudah tidak ditemukan lagi, meski dua jargon itu berkapasitas nilai setara.

Kehati-hatian tercermin di setiap gelitik puisi pada antologi ini. Kebebasan berekspresi yang dilepaskan dari kerangkeng orde baru, tidak lantas dilakukan 14 penyair tersebut dengan berlarat-larat atas nama mengisi kebebasan, namun lebih ke elevasi nilai dalam kebebasan itu sendiri.

Kekuatan unsur filsafat, dapat kita jumpai dalam puisi-puisi Matroni El-Moezany; engkau boleh sombong//asal masih ada sebiji sadar di jiwamu// (Adalah Engkau,) penyair adalah separuh semesta//dan separuhnya adalah kata-kata (Risalah Batu-Batu), penyair adalah orang pertama yang memberi bantuan//memberi tanpa laba//memberi tanpa unsur apa-apa. Puisi “Malam Kian Panjang,” karya Imam S Arizal: aku membaca malam//ditubuhmu kian panjang//serupa sungai-sungai musim hujan.

Refleksi repertoal sebagai ciri pengabdian sekaligus kesetiaan penyair tatkala melebur dengan alam, juga dihadirkan dalam Antologi Puisi Mazhab Kutub ini. Hiruk pikuk polesai kehidupan di seputaran Malioboro misalnya, disuguhkan Muhammad Alif Mahmudi bertitel: “Sepanjang Malioboro”, sebagai potret nyata antara “ada” dan harapan. Hal yang sama dilakukan Imam S Arizal dalam “Narasi Laut Kenjeran,” sedangkan Ahmad Maltuf Syamsury melarikkan deretan “Warung Tunggu”.

Disamping warna ekstase diri penyair kala menyelami kedalaman samudera jiwanya, ada juga beberapa puisi profaitik dan pemberontakan sosial. Yang menarik di buku ini, pemberontakan yang dilakukan, ibarat ujung pedang bermata dua. Satu sisi ketimpangan sosial harus disingkap, di sisi lain, penyingkapannya tidak diperlukan jatuhnya sudut pandang yang curam. Bagi para penyair ini merumuskan, bahwa metode kritik curam dan tajam terbukti gagal mengatasi ketimpangan sejarah. Selanjutnya, landai-landai saja.

JUDUL BUKU: Antologi Puisi Mazhab Kutub
PENULIS: Sastrawan Kutub
PENERBIT: PUstaka puJAngga
CETAKAN: 1 Juni 2010
TEBAL: 108 halaman
Peresensi: Sabrank Suparno*

*) Penggiat literasi di Lincak Sastra Jombang. Beralamat di RT/TW:08/02, Desa Plosokerep, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang.

Apakah kita masih terus diam saja?

M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/

Setelah 65 tahun bangsa yang kita sebut dengan bangganya sebagai negara Kesatuan Republik Indonesia ini telah merdeka. Tanggal 17 Agustus selalu kita peringati dalam degup jantung keharuan atas kemenangan perjuangan rakyat di seluruh pelosok tanah dalam mewujudkan Indonesia merdeka. Proklamasi kemerdekaan di hari ke 17 pada bulan Agustus di tahun 1945 merupakan buah dari kerja keras, semangat perjuangan, pengorbanan, darah dan berbagai macam usaha rakyat. Rasa cinta tanah air, kesamaan nasib, dan dorongan kuat untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajahan membawa pada kedaulatan bangsa. Di sekolah-sekolah, kita telah diajari bahwa kita para generasi muda patut bangga atas kemerdekaan bangsa karena beberapa faktor, salah satu faktor yang paling penting adalah bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia bukan atas pemberian dari bangsa lain. Kebanggan itu menjadikan warna merah dan putih sebagai bendera menjadi lebih berarti.

Di dalam sebuah film perjuangan kemerdekaan Amerika, The Patriot, di sana sempat dimunculkan keraguan akan perjuangan kemerdekaan. Sang Benjamin mengungkapkan dan dikutip bebas, bahwa “Apa kita akan melawan dan menghancurkan tirani yang letaknya jauh dengan tirani yang berada di dekat kita?” Pernyataan ini mengatakan pada publik, bahwa di dalam sebuah negara yang telah merdeka akan melahirkan tirani baru, penjajah baru yang lebih sulit untuk di lawan. Hal ini disebabkan karena apabila dahulu, perjuangan kemerdekaan adalah melawan bangsa asing akantetapi perjuangan mengisi kemerdekaan akan melawan bangsa kita sendiri.

Penindasan dan penjajahan yang dilakukan oleh bangsa sendiri, oleh pemerintah sendiri biasanya lahir dalam bentuk kebijakan yang tidak memasyarakat. Kebijakan yang tidak memihak rakyat kecil. Di sini terjadi penindasan dan kesewenang-wenangan pemerintah Republik yang telah sah dan berdaulat sebagai bangsa. Hari kemerdekaan seharusnya tidak hanya sebagai peringatan akan kesakralan detik-detik lahirnya sebuah negara. Peringatan ini, seharusnya mengajak setiap rakyat untuk mengenang perjuangan para kesatria tanah air dalam merebut kedalautan negara. Sebenarnya, apa yang dahulu di lawan dengan tumpah darah itu? Apakah kemerdekaan di atas kaki sendiri? Atau perjuangan melawan kesewenangan manusia (baca: penguasa) atas manusia yang lainnya. Apabila setelah bangsa ini memproklamasikan diri sebagai bangsa, maka setiap warga negara memiliki kewajiban untuk “menghapuskan segala penjajahan di atas dunia”.

Di tahun-tahun Indonesia muda, kita seringkali menemukan adanya banyak perlawanan sebagai usaha menghapuskan penjajahan seperti yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945. Anggota masyarakat berperan aktif sesuai dengan bidang masing-masing. Ketika sebuah ketimpangan sosial terjadi, kejahatan birokrasi merajalela, biasanya ada kelompok yang berada di tengah dan mengkritisi pemerintah. Hal ini, seperti yang dilakukan berbagai pihak, salah satunya dari golongan sastrawan. Dalam kesempatan kali ini saya mencoba untuk mengetengahkan sajak Pidato Seorang Demonstran karya Mansur Samin, yaitu:

PIDATO SEORANG DEMONSTRAN

Mereka telah tembak teman kita
Ketika mendobrak sekretariat negara
Sekarang jelas bagi saudara
Sampai mana kebenaran hukum di Indonesia.

Ketika kesukaran tambah menjadi
Para menteri sibuk ke luar negeri
Tapi korupsi makin meraja
Sebab percaya keadaan berubah
Rakyat diam saja.

Ketika produksi negara kosong
Para pemimpin asyik ngomong
Tapi harga-harga terus menanjak
Sebab percaya diatasi dengan mupakat
Rakyat masih diam saja.

Di masa gestok rakyat dibunuh
Para menteri saling menuduh
Kaum penjilat mulai berjangkit
Maka fitnah makin berjangkit
Toh rakyat masih terus diam saja.

Mereka diupah oleh jerih orang tua kita
Tapi tak tahu caara terima kasih, bahkan memfitnah:
Kita dituduh mendongkel wibawa kepala negara
Apakah kita masih terus diam saja?

Sajak yang ditulis oleh Mansur Samin di atas memberikan motivasi bagi para generasi muda di dalam melakukan gerakan penyelamatan negara. Banyak kekisruhan yang terjadi, namun pemerintah mengatakan kalau semua akan baik-baik saja, biarkan hukum yang bertindak sebagaimana mestinya. Akantetapi, bagaimana hukum di negara kita ketika menghadapi kasus BLBI maupun kasus Century yang merugikan negara lebih dari 6 trilyun. Akhir-akhir ini, kita disibukkan dengan berbagai macam kasus korupsi yang tidak pernah tuntas. Banyak pejabat korup yang melupakan kesengsaraan rakyat.

Entah dengan data-data yang di dapat atas perhitungan yang bagaimana, pemerintah seringkali mengatakan kalau rakyat berada di dalam kesejahteraan dengan BLT yang diberikan sebulan sekali. Program BLT memberikan bantuan pada rakyat untuk mengatasi kesulitan hidup yang seringkali datang dan tidak mampu diselesaikan dengan BLT tersebut. Kasus yang sangat tragis terjadi, ada seorang ibu yang membakar diri bersama dengan dua orang anaknya karena terlilit hutang 20 ribu rupiah. Hal ini seharusnya menjadi pukulan dan koreksi bagi pemerintah setempat dan pusat bahwa di negara Indonesia yang makmur masih terdapat rakyat yang sengsara karena faktor ekonomi. Melihat kasus-kasus seperti ini, apakah layak apabila para pemimpin di dalam kemewahan mereka mengatakan kalau program pengentasan kemiskinan telah mengalami sukses besar?

Korupsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia juga menjadi bagian dari permasalahan yang serius. Korupsi adalah kejahatan besar yang merugikan negara dan rakyat. Uang yang seharusnya dapat digunakan sebagai media lain dalam mengentaskan kemiskinan dan memberikan kehidupan rakyat yang layak, justru dinikmati oleh golongan tertentu yang dengan tidak bertanggung jawab. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam dua tahap pemerintahannya menggaungkan akan keseriusan pemberantasan korupsi. Korupsi dianggap sebagai musuh negara yang perlu mendapatkan prioritas. Hal ini digunakan oleh SBY sebagai kredo dalam menarik simpati rakyat. Selama pemerintahan SBY di tahap pertama, banyak para koruptor yang masuk penjara. Rakyat pun membusungkan dada, merasakan kebanggaan pada sang SBY yang telah berhasil membersihkan pemerintahan dari para Tikus Kantor. Walau pun belum tuntas, kinerja pemerintahan SBY di tahap pertama memang patut diacungi jempol.

Kita juga bisa melihat dari sisi lain, bahwa bagaimana para koruptor bisa jera dengan kejahatannya kalau hukuman yang dia peroleh tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan? Politisi dari Golkar, Bambang Soesatyo mengungkapkan mengenai adanya remisi bagi para koruptor adalah sebagai sikap yang tidak serius atas kredo Presiden di dalam menangai masalah korupsi. Menurutnya, seperti yang dilansir DetikNews tanggal 20 Agustus 2010, secara tidak langsung diungkapkan adanya ketidak-seriusan atau hanya sebagai formalitas belaka usaha pemberantasan korupsi selama ini. Sebagai kosmetik, begitu Bambang S mengungkapkannya.

Berbagai macam kasus yang dapat kita temukan di dalam kehidupan sehar-hari, dapat dilihat sebagai proses pembodohan pada rakyat. Pemerintah seperti sedang bersandiwara atas sesuatu hal yang sebenarnya tidak mereka lakukan. Berbagai macam ketimpangan dari BLBI ke Century, dari berbagai penggusuran secara paksa ke masalah lumpur Lapindo yang masih menyisakan masalah. Kita secara bersama-sama melihat ini semua, lantas, kembali ke sajak Pidato Seorang Demonstran: Apa kita masih terus diam saja?

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 21 Agustus 2010

Rabu, 18 Agustus 2010

Nuditas-Seksualitas, Sastra dan Islam

Lukman Asya
http://www.infoanda.com/Republika

laksana ego yang terkikis kematangan ombak
Kau telanjangi kebetinaanku selapis demi selapis
dan seutuh purnama itulah akhirnya
Kau jinakkan birahiku yang asma
mari, singkap lagi tarian purba nirwana itu
seperti ketika Kau lilit aku dalam cumbu paling nyata
ini aku merak betinaMu, datang lagi
dihantar gending jawa juga wewangian sukma
menyebutMu di perbatasan tirai malam.

Bait-bait puisi yang ditulis oleh Rukmi Wisnu Wardhani (Republika, 16 Juli 2006) telah ‘menginfiltrasi’ saya untuk menulis ihwal nuditas-seksualitas dalam sastra dan bagaimana pandangan Islam tentangnya.

Bertebarannya novel, cerpen dan puisi yang memaksimalkan daya jelajah terhadap nuditas-seksualitas menarik untuk dicermati dari perspektif moralitas Islam. Karya-karya semacam itu, khususnya puisi, secara cermat dapat kita telusuri secara historis sejak masa pra-Islam sampai kemudian Islam datang menawarkan estetika baru lewat ‘puitika Qurani’-nya.

Kalangan intelektual Muslim, seperti Israrul Haque, telah menyoroti secara lebih luas ihwal seni dalam Islam dan bagaimana Alquran secara rasional menawarkan suatu pandangan terhadap nuditas-seksualitas itu dengan merevolusi makna seks pada tataran paradigmatis dan dogmatis.

Islam berupaya memenej jagat makna yang telah dikacaukan oleh semangat jahiliyah dimana kebebasan dielu-elukan tanpa mengindahkan nilai-nilai ruhaniah. Islam menawarkan estetika baru mengenai nuditas-seksualitas. Artinya, Islam tidak mengingkari ihwal nuditas-seksualitas itu tapi menempatkannya dalam porsi yang sepenting-pentingnya bagi moralitas manusia.

Nuditas-seksualitas, yang pada masa pra-Islam hanya seputar tubuh manusia, oleh Islam dibawa ke tingkat yang spiritual. Islam menempatkan seksualitas sebagai sumber kehidupan dan kreativitas sebagaimana diungkapkan Israrul Haque dalam bukunya, Towards Islamic Renaissance Ferzosenoedisi Indonesianya berjudul Menuju Renaissance Islam (Pustaka Pelajar, 2003).

Inti ajaran Islam adalah akhlak, sebuah ajaran tentang tata nilai dan sosial yang memungkinkan kita mengetahui dengan gamblang bagaimana awal dan ujung sebuah benang kusut demoralisasi peradaban. Islam adalah kabar gembira yang disampaikan melalui ’syair-syair’ yang paling ’sastrawi’ yakni ayat-ayat Alquran, yang menjadi penerang bagi qalbu yang gulita.

Islam, dengan Aqurannya, secara metaforik memberikan bimbingan ruhani terhadap soal-soal nuditas-seksualitas manusia:
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu dengan cara yang kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemuiNya (QS 11:233).

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS 30:23).

Islam datang dengan konsep dan prinsifnya menyoroti estetika seksualitas yang ditempatkan pada level spiritual, tidak pada kemasan fisik. Seksualitas ditempatkan sebagai stimulus terbinanya ketentraman, kedamaian dan kasih sayang. Maka ada sebuah aturan main yang tegas bagi manusia yang diberi akal, hati dan birahi agar tidak keluar dari zona moralitas keislaman. Tujuan dari seksualitas itu, sebagaimana tersirat pada dua ayat di atas, memungkinkan semua orang berada dalam lingkup kedamaian dan ketaatan.

Seksualitas pra-Islam begitu carut-marut, bahkan tubuh dan nuditasnya telah dipuja sebagai bentuk yang paling terpuji untuk ‘wisata birahi’ yang menjerumuskan kemanusiaan ke dalam perilaku binatangisme –a pola pikir dan akal sehat manusia dikemudikan oleh kehendak ’seks bebas’ semata sebagai bentuk kesenangan tanpa hukum dan aturan main yang mencerahkan.

Ada penyair pra-Islam, seperti Imru’ul Qays, yang karya-karyanya diakui keorisinalitasan dan kejeniusannya tetapi ternyata dikutuk oleh Nabi sebagai pemimpin penyair di dalam api neraka, karena kecabulan dan nuditas dalam karya-karyanya yang sangat pornografis.

Kita pun dapat membaca setelah Islam dilahirkan, bagaimana nuditas-seksualitas itu diproduksi, di jagat sastra dan seni rupa, tak lebih sebagai bentuk pengabdian untuk memperturutkan hawa nafsu dan kesenangan. Dalam seni rupa, misalnya, Picasso dengan Three Dancer-nya, Henry Matisse dengan Carmila-nya. Dalam sastra ada novelis DH Lawrence dengan Rainbow-nya, dan Sadat Hasan Minto dengan Thanda Ghost-nya yang konon sangat cabul dan melukai moralitas kontemporer.

Jauh sebelum masa Islam, Plato dengan filsafatnya pernah mengatakan bahwa segala sesuatu yang menimbulkan nafsu atau sensualitas yang penuh birahi sekalipun didasarkan atas nilai-nilai estetis tidak dikualifikasikan sebagai sebuah karya seni. Dia menegaskan bahwa sebuah karya seni harus mempertimbangkan kebaikan tertinggi dan menjadikan manusia sebagai seorang warga negara cita dalam negara citanya.

Tolstoy, sastrawan termashur yang datang pasca-Islam, juga mengatakan bahwa seni seharusnya memperkembangkan manusia dengan emosi moral dan agama yang mendalam, bebas dari kesembronoan duniawi dan pemborosan jasmaniah. Karya seni yang sejati bergerak bersama-sama dengan emosi yang diwujudkan oleh seniman dalam karyanya dalam bentuk suatu kepercayaan pada agama universal untuk terciptanya persaudaraan manusia.

Ada juga penyair terkenal dari Asia Timur, Suchchal Sarmas, yang puisi-puisinya diilhami oleh roman antara pemuda dan pemudi yang begitu indah tanpa menggambarkan bentuk fisik dimana keindahan dan kemanisan cinta bukanlah keindahan dagingnya atau kemanisan penampilannya. Ia adalah keindahan dan kemanisan yang berasal dari kesetiaan yang tulus, dari penderitaan-penderitaan yang ikhlas dan dari pengorban yang luar biasa. Cantiknya Des Demona dalam Othello karya Shakspeare juga bukan kecantikan dan kejelitaan daging manusia. Tapi adalah hadiah yang luar biasa berkat penderitaan dan kepolosannya.

Di kalangan sahabat Nabi ada penyair yang layak dipuji, seperti Zuhair, Hasan ibn Tsabit, Kaab ibn Malik dan Labid, berkat karya-karyanya yang menyentuh sisi-sisi kemanusiaan tanpa harus berkubang dalam pesona nuditas-seksualitas. Labid bahkan pensiun jadi penyair manakala keindahan Alquran sungguh menyapa hati dan hidupnya. Siti Aisyah juga gemar membuat syair-syair, yang mengandungi nilai seni yang sangat tinggi dan benar-benar adi luhung.

Sedangkan puisi karya Rukmi di atas tampaknya mengandungi ruh ’seksualitas’ dan motif ‘nuditas’ sebagai bentuk kesalehan spiritual, hubungan makhluk yang hamba dengan khalik yang mahamencipta yang juga serba mahatahu — meski semula mungkin puisi Rukmi itu diproduksi dari pengalaman (penghayatan) seks antar manusia lawan jenis.

Majas identitas yang dioperasionalisasikan Rukmi di atas memang terasa vulgar. Tapi itulah yang barangkali menjadi salah satu kekuatan pengucapan estetik dan kelihaian penyair dalam mengolah tema meski puisi jadinya terasa semacam permainan kata-kata: belum sampai sebatas Rabiah.

Tapi, saya kira dengan begitu Rukmi tengah berusaha melakukan pemaknaan terhadap sesuatu yang semula bersifat fisikal kemudian dibawanya ke alam cinta ilahiah: kesalehan spiritual! Nuditas-seksualitas pada akhirnya memang akan membawa kita pada dua hal, yakni hidup menjadi hina atau hidup tambah mulia!

*) Penyair dan guru sastra

Rabu, 04 Agustus 2010

BAYI-BAYI BESAR SASTRA INDONESIA

Nurel Javissyarqi
http://www.sastra-indonesia.com/

Bermula dari sms kawan Fahrudin: “Rel, Geladak Sastra #3 diskusi dg tema GAIRAH MENULIS MENEMBUS KORAN. Kamu jd pembicara ya? Nanti sama Bandung Mawardi dr Solo.” Lalu aku telpon: “Den, tema itu kan tidak cocok denganku?” Dijawablah: “Makanya dibenturkan.” Lantas aku timpali: “Ok kalau begitu.” Tak berselang lama sms lagi: “Gaweo tulisan Rel, temane Gairah Menulis Menembus Koran.” Dan dari status facebook ini, aku coba menuangkan.

Ada beberapa kawan. Kalau merasa senior pasti kalimahku bernada ini, “ada beberapa anak muda” yang datang ke rumah, pada intinya menanyakan cara menembus koran. Aku jawab: “Kau salah kawan, kau sampai ke alamat keliru, aku sendiri sering gagal menembus media.” Biasanya kuberi solusi hijrah ke Jogja. Masuk komunitas Kutub atau Pesantren Hasyim Asy’ari, yang dulu pengasuhnya almarhum Gus Zainal Arifin Thoha. Sebab terbukti di sana, telah banyak menghasilkan karya, serta tersebar pada koran-koran atas jerih ikhtiarnya.

Di waktu tempat peristiwa berbeda, kala bedah buku pun pembicara dalam sebuah diskusi, ada peserta bertanya senada. Aku katakan sekenanya, tentu kuberitahu posisiku sebelumnya. Tidakkah yang duduk di depan undangan, kadang menyerupai insan setengah dewa, apalagi wajahnya bersimpan kharisma. Maka segenap tindak-tanduk ocehannya disimak pula direnungkan. Lanjut berkata: “Ya pelototin saja satu-persatu, tentu tersembul warna kecenderungan.” Kalau redakturnya sedang kasmaran, pasti suka karya berbau sayang.

Untuk pembuka kukira cukup, mari menukik ke dalam. Perkembangan sastra di Indonesia hingga kini dapat dikata, tidak lepas media massa pun yang menghidupi gairah di koran, majalah, jurnal &ll, yang tersebar di daerah dan ibukota. Dari rubrik esai sastra, resensi buku sastra, puisi atau sajak, cerpen, cerbung kepanjangan novel &st. Dari sanalah saling menyapa beradu pendapat, sampai suatu masa dikukuhkan dalam kumpulan atau buku. Lalu menjadi dokumentasi penting, demi perpindahan tongkat estafet ke masa-masa kejayaan selanjutnya.

Di masa kini, ada beberapa penulis yang langsung membentuk pembicaraan hangat. Awalnya tidak melewati koran terlebih dulu namun buku, istilahku ialah masa-masa kecolongan. Aku teringat, sejarah pelukis Van Gogh dalam hidupnya tiada yang mengenal pula menghargai karyanya. Tidak lebih orang-orang sejaman menganggap dirinya seniman gagal. Tapi angin perubahan, siapa sanggup meramalnya tepat. Lukisan-lukisannya menjelma karya termahal, beserta karya-karya besar dunia lain yang capaian nilainya agung pula. Dan para penulis besar tempo dulu juga banyak bernasib sama, yakni alam sekitar dirinya belum mampu memahami kilau jangkauan cahayanya.

Kedatangan para insan kreatif yang tidak menembusi koran, tapi juga menyuarakan jamannya yang berhembusan di pinggiran. Masih saja dipandang sebelah mata, oleh yang sudah lama berakar di media. Jikalau mengurai ini, tentu butuh waktu serius meneliti kandungan karya-karyanya. Tidakkah kita tengok, sejarah sastra Indonesia yang terbangun berawal media massa -koran, ada banyak kelemahan. Ada beberapa sastrawan yang harum namanya di koran-koran selaksa kembang berabadi. Mewujud perbincangan deras menyerupai kekisah sastrawan dunia di masanya. Tetapi mental bersastranya tanggung, tenggelam sudah tidak berkarya, namun masih kerap disebut-sebut orang seangkatan serta dibawahnya.

Ada puluhan penyair ternama menjelma penanda di masanya. Karya-karyanya terhimpun antologi puisi, cerpen, leksikon pula bebentuk dokumentasi terkemuka lain. Namun karena pensiun tidak berkarya, tinggallah bayang-bayang nama, bagiku ini seperti bayi-bayi besar. Dari sini seakan buyar istilah sastrawan di Tanah Air? Sebutan itu seyogyanya untuk yang terbukti setia atau telah mewarnai hasana kesusastraan di negerinya.

Atas telisik pernah kulakukan lewat nguping pun bertanya langsung dengan yang dulu namanya menjadi sorotan, tapi kini mandek. Pula ada masih ingin menulis, tetapi sudah merasa tiada kemampuan lebih. Malah ada yang menganggap hidup dengan menulis itu sia-sia. Yang terakhir bertolak sungguh sedari keadaannya dulu merasa sastrawan ampuh?

Kebanyakan yang berhenti berkarya, selepas menemukan lahan empuk pendapatan hingga terbelit kesibukan. Sampai ruang-waktu perenungan hayati demi berkarya, sudah tidak ditemukan lagi dalam lekuk-leliku hari-harinya. Ada sepertinya ragu-ragu kembali menulis, entah menyiapkan karya terbaik, dengan tidak memunculkan buku atau di koran. Pun pula perkembangan tulisannya tidak setangguh gairah awal. Orang macam ini kebanyakan puas keadaan, merasa berhasil menjadi sastrawan dahsyat, lalu ada sikap merendahkan pendatang baru. Dengan membincangkan kisahnya dulu, sambil bercerita hikayat penulis dunia, seolah-olah telah tersemat dalam lelaku hidupnya.

Yang paling menggelitik bercampur aneh, menganggap kegiataan menulis itu sia-sia, setelah peroleh pekerjaan mapan. Sambil melirik sebelah mata kepada kawannya yang terus bergelut di bencah tanah hitam tinta. Dari tiga wajah di atas, dapat ditangkap dua muka pada kaca benggala. Merasa puas, kedua merasakan hadirnya kegagalan di tengah laluan. Yang pertama masih bergerak di dunia penulisan, tapi energinya melemah tidak segencar awal atau karyanya tak setangguh kemunculannya tapi terus mensyiarkan diri. Sambil melihat pendatang baru bermimik culas, laksana penulis-penulis anyar itu badut-badut di hadapannya. Yang merasa gagal tiadanya keinginan menulis lagi, kita anggap saja ruh kepenulisannya telah lenyap, maka tidak perlu diperbincangkan di sini.

Aku kira yang patut ditempa pertama kali sebelum menjadi penulis, ialah niatan menggelombang, menggerus batuan karang waktu berulang-ulang. Maka kawan-kawan bertanya padaku: “Bagaimana menjadi penulis?” Aku kerap berkata: “Kalau ingin harus sampai mati, jika tidak, jangan. Sebab itu ngerusuhi ruangan pun membuat hidupmu sia-sia.” (jawaban dari kata sia-sia di atas). Atau aku melukiskan: “Di Indonesia penyairnya sudah banyak, mungkin kelewat seribuan lebih, jikalau menelisiki ke seluruh kepulauan di Nusantara. Antara yang sudah jadi, akan jadi, jadi-jadian pun iseng menggurit kata-kata. Bayangkan setiap kota besar ada berapa, hingga pelosok seterusnya. Semua ingin menyerupai sosok penulis kondang, seperti para sastarawan dunia dalam buku-buku yang dibacanya.”

Kalau tetap ngotot, aku bilang: “Ya siap-siap saja suntuk setiap hari, membaca menulis mendekati gila atau mati berkali-kali. Sebab tanpa itu, karyamu kelak tidak memiliki keistimewaan alias kebanyakan, pengekor urutan kesekian.” Sambil aku katakan: “Jangan mencontoh diriku, lihat mereka yang sudah mapan, sebab diriku bisa saja berhenti dan kau malu menyaksikan ulahku.” Kala seperti itu, dendam rinduku semakin menggebu, ingin punya kepribadian sebagaimana sastrawan matang, bukan karbitan.

Jikalau melihat bentukan karya di media massa, kebanyakan seragam mengikuti kecenderungan redakturnya. Atau senafas gaya kepenulisan pendirinya, para redaksi awal yang sastrawan, dan dianggap menjadi penanggung jawab, seolah telah menciptakan madzab kesusastraan tersendiri. Sehingga sulit karya-karya masuk, yang tak sesuai corak dianutnya. Mungkin dari sini, istilah kompromi dengan media itu muncul. Bagi jiwaku yang belia, jalan hidup ialah keyakinan. Di sana tiada bahasa kompromi, namun sikap saling menghargai di atas hasana sungguh ingin dicapai pula ditanggung beratnya, meski berbeda.

Paling fatal andai redaksinya kurang faham sastra pun lingkup sejarah susastra serta perkembangan dalam gairah jamannya. Dan setiap hari disibukkan naskah yang masuk, seakan kerja pegawai negeri ambil gampangnya. Maka bibit-bibit berbakat kurang muncul, pula seakan menganggap tulisan para senior semuanya layak dimuat. Di sebalik itu timbul rasa ingin dihargai lebih, sebagai penelor orang hebat, egonya bersayap, laksana malaikat penyelamat atau dewa-dewa penumpas kejahatan. Di samping ada redaktur yang berhasrat mengangkat faham dipegangnya, dengan menganggap jenis-jenis karyanya, karya-karya anak didiknya, sudah pantas diperhitungkan di kemudian hari.

Bagiku yang pemula ini, redaktur abadi adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia pembolak-balik warna jaman seadil-adilnya. Menghargai yang gigih dalam lingkup perjuangan ikhlas menempuh nasibnya. Tiada bentuk rekayasa di dalamnya, hanya kesungguhan insan menggerus saling menghargai sesama makhluk di bawah kaki kuasa-Nya. Maka terpetiklah, kegagalan melahirkan bayi-bayi besar itu, sebab terlanjur diangkat terlampau tinggi para pencetaknya. Yang belum sesuai karya, serta jerih usaha yang barusan sejumput di dalam kehidupannya. Itu langkah kedholiman alias menempatkan sesuatu tidak pada letak semestinya. Menyundul ke langit-langit kepuasan, bayangannya meraksasa, seagung kemuliaan, seperti sastarawan dunia yang diandaikan.

Birokratisasi Sastra Jawa Timur

AF. Tuasikal
http://cetak.kompas.com/

Aku bertanya. Tetapi pertanyaanku. Membentur jidat penyair–penyair salon. Yang bersajak tentang anggur dan rembulan.
Sementara ketidakadilan terjadi disampingnya. Dan delapan juta kanak–kanak tanpa pendidikan. Termangu–mangu di kaki dewi kesenian
Inilah sajakku. Pamplet masa darurat. Apakah artinya kesenian. Bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir. Bila terpisah dari masalah kehidupan
(WS. Rendra. Sajak Sebatang Lison)

Penggalan dari bait-bait puisi almarhum penyair WS. Rendra di atas yang ditulis pada era tahun 70-an ini, sampai sekarang pun masih sangat kontekstual dan tepat untuk mengkritisi kondisi birokrasi sastra dan para penyair-penyair kita saat ini. Seorang penyair adalah orang yang harus bersentuhan dengan kenyataan (dinamika kebudayaan). Ketika dinamika kebudayaan kita lagi di tindas oleh berbagai macam kasus korupsi yang tidak ada habis-habisnya, penyair adalah orang pertama yang harus berani menyuarakan kebenaran lewat naluri jiwanya yang di ekspresikan lewat baris-baris puisinya. Celakanya lagi, Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT). Biro sastranya tidak mempunyai konsep pengelolaan sastra yang jelas. Mengapa saya katakan demikian, karena di DKJT hanya mencatat dan memunculkan nama-nama penyair seperti; A. Muttaqin, Indra Tjahyadi, Mashuri, yang notabene komunitas orang-orang Teater Utan Kayu sebagai penyair “hari ini” Jawa Timur (istilah TUK), itu bila di takar menurut ukuran mereka. Padahal secara karya (puisi) mereka bertiga seragam (asyik sendiri terhadap kata-kata, terpukau oleh pesona kata, eksplorasi bahasa secara maksimal. menunjukkan keindahan dan bergelap-gelap ria). Bila dibaca tidak memiliki tingkat kreatifitas yang saling bersaing. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa perkembangan sastra (puisi) di Jawa Timur tidaklah berkembang, yang berkembang hanya munculnya penyair-penyair yang termuat di media massa.

Di Jawa Timur ada banyak penyair-penyair yang lebih memiliki potensi dan proses kreatif yang tidak kalah bila dibandingkan dengan para penyair itu. Ada nama-nama seperti; Jeni Indri dari Jember, Iqbal barras dan Fattah Yasin dari Banyuwangi, Ragil Supriyanto dan Wawan Eko Yulianto dari Malang, Rego S. Ilalang dari Nganjuk, Muhklis Ir dari Bangkalan, Dadang Ari Murtono dari Mojokerto, Mahendra dan Alfaizi dari Sumenep, dan banyak lagi yang lain.

Mereka semua ini tidak tercatat dalam basis data DKJT. Ini terbukti dengan tidak masuknya mereka dalam antologi Pesta Penyair yang di terbitkan DKJT baru-baru ini. Lebih parahnya lagi muncul nama-nama penyair yang tidak jelas proses kepenyairannya masuk dalam antologi itu. Seperti; Joko Susilo, Wildansyah Bastomi, dll. Hingga tidak menutup kemungkinan bahwa antologi-antologi puisi yang di terbitkan DKJT bukanlah antologi puisi penyair Jawa Timur, melainkan antologi puisi komunitas. Dan ini adalah korupsi sejarah sastra di Jawa Timur.

Ketiga penyair DKJT yang saya sebutkan di atas tadi, adalah penyair yang tidak memiliki kepekaan nurani dan mental yang kuat. Mereka tidak sadar di dalam suasana tertindas di bawah pemerintahan yang zalim, masyarakat ingin dengan senang hati dan penuh rasa bersyukur: “kata-kata kebenaran, kata-kata keadilan”. Mereka malah menulis tentang bunga-bunga, cinta terlarang, patah hati dan puisi-puisi salon bila meminjam istilah almarhum WS. Rendra.

Sebenarnya mereka harus bersyukur terlahir di masyarakat ketika rezim SBY, rezim terbuka dimana kita bisa bicara banyak hal tanpa adanya sensor, bila di bandingkan ketika rezim Soeharto rezim represif. Tapi meski begitu rezim ini menciptakan mental kreativitas bahasa yang luar biasa hingga melintasi sensor pemerintah. Sekarang yang jadi pertanyaannya adalah dimanakah nurani mereka ketika negeri ini ditindas oleh korupsi atau jangan-jangan mereka para penyair DKJT itu Pro-Korupsi.

Dari sini saya jadi teringat akan penyair Sa’di, penyair Persia pada abad ke-13, yang lantang dalam menyuarakan kebenaran dalam kata-katanya (sajak), hingga mampu membuat Hulaku Khan, sang penakluk dari Mongol, konon tidak mampu membendung air mata mendengar kalimat yang dituturkan oleh Sa’di. Begini bunyinya: ”Hanya perbuatan-perbuatan baiklah yang bisa menolong anda. Maka, terserah kepada anda mau mengumpulkan perbuatan baik atau perbuatan buruk”. Nasihat ini mungkin klise untuk masa sekarang. Tapi dari mulut Sa’di, ia menjadi untaian sajak yang indah. Lalu menangislah sang raja. Sekarang pertanyaanya, mungkinkah para pemimpin-pemimpin dan birokrasi-birokrasi kesenian negeri ini, nuraninya bisa tersentuh oleh sajak? Mungkin saja, bila para penyair kita mempunyai kepekaan rasa dan tidak hanya bertamasya ria dengan kata-kata.

*) Penyair tinggal di mojokerto

Jatim Tidak Butuh Perspektif Jakarta

(Tanggapan untuk Arif B. Prasetya)
W. Haryanto*
http://www.jawapos.co.id/

PANDANGAN Arif B. Prasetya tentang sastra Jawa Timur (Jawa Pos, 25 Juli 2010) bukanlah ‘’sesuatu yang baru”, tetapi hanyalah runutan catatan politis yang diperkenankan oleh Dewan Kesenian Jakarta terhadap sejarah Jawa Timur. Agus R. Sardjono secara eksplisit menyebut, kelisanan (orality) dalam kehidupan sastra modern Indonesia harus segera beralih menuju keberaksaraan (literacy) (pengantar buku Cakrawala Sastra Indonesia, 2004). Acuan Arif B. Prasetya pun tak jauh-jauh dari itu.

Tampak jelas, bahwa ”persemaian Jawa Timur”, yang dicatatkan, katakanlah pada buku Pesta Penyair (DKJT, 2010), hanya kepentingan pusat untuk mengontrol wilayah-wilayah jajahannya. Politik itu semakin jelas dengan tidak tercantumnya nama Kuspriyanto Namma dan Bagus Putu Parto dalam buku Pesta Penyair. Sebab, dua penyair itu adalah gerbong utama Revitalisasi Sastra Pedalaman, sebuah gerakan sastra yang menolak perspektif Jakarta pada era 80-an dan sedikit menganggu ”tidur nyenyak” Jakarta. Faktanya, dua penyair tersebut tetap berproses dan menulis karya-karyanya, antara lain, terlihat dalam antologi Malsasa (2009). Lebih celaka lagi, muncul penyair-penyair yang ”tak punya sejarah” yang dipaksa masuk ke buku terbitan DKJT itu.

Jakarta memang punya kepentingan strategis -dengan menghapus ”kelisanan” sastra dalam sejarah sastra Indonesia- utamanya berkaitan dengan politik identitas. Jakarta masa kini, dengan memanfaatkan pelembagaan puitiknya (DKJ dan media massa terbitan Jakarta), berupaya mencengkeram militansi kedaerahan. Seperti ungkapan Sutardji Calzoum Bachri, ”yang dibutuhkan Riau adalah merdeka dari estetika Jakarta” (dalam acara Cakrawala Sastra Indonesia, 2004). Implikasi standardisasi estetika khas Jakarta justru mempermiskin persemaian sastra dan cenderung menciptakan budaya plagiat dan penyeragaman karya. Karena itu, puisi-puisi Jawa Timur ”hampir tak biasa” menyokong berbiaknya dinamika kebudayaan Indonesia -karena kebanyakan penyair cenderung ”menjiplak” Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, maupun Sitok Srengenge. Toh, kalaupun ada militansi dan fragmentasi estetika, penulis-penulis militan itu pun tidak diakui oleh pelembagaan kesenian formal di Jawa Timur. Inilah kenyataannya.

Toh, sebuah teori sastra tidak bisa dipakai untuk menilai ratusan kreativitas. Tak urung, Lucien Goldmann menyebut, ”Teori saya (strukturalisme genetik) hanya bisa dipakai untuk membahas karya Andre Marlaux, Pascal, Jean Recine, atau karya-karya lain yang punya struktur yang sama dengan tiga karya tersebut.” Karena itu, dibutuhkan begitu banyak cara pandang untuk membaca Jawa Timur -dan bukan lewat ”asumsi”, tetapi penjelmaan riset, analisis, dan tumbuhnya berbagai persepsi untuk mewadahi berbagai gejala kesastraan.

Militansi dan ketidakpuasan komunitas sastra terhadap sumbu-sumbu kekuasaan Jakarta ”memicu” tumbuhnya konsep independen tentang kualitas karya. Dengan begitu, definisi kualitas berujung pada indikator komunikasi antara teks dan audiens secara langsung. Seiring timbulnya sikap skeptis terhadap ”replika” kesadaran Jakarta. Berbagai alternatif muncul, baik lewat pembacaan puisi maupun penerbitan. Kita bisa mencatat, antara lain, Mimpi Jakarta (R. Giryadi, 2006), Suara-Suara Sumbang (Rego S. Ilalang, 2006), Reuni (Ali Ibnu Anwar, 2006), Kesaksian Sebuah Perjalanan (Brewok A.S., 2004), Pisau Melukis Gelas (Igbal Barras, 2009), juga antologi Malsasa yang terbit 2005, 2007, dan 2009 (daftar itu sebenarnya masih cukup panjang).

Grand design Jakarta perihal estetika dan keberaksaraan hanya menyentuh lapisan terluar Jawa Timur, yakni penulis-penulis yang ”berpikir ala Jakarta”, utamanya penyair-penyair Surabaya. Pergeseran estetika terjadi pada beberapa sektor. Pertama, mobilitas sastra online (internet) yang telah memengaruhi persepsi terhadap sejarah sastra (sastra koran). Dengan demikian, reproduksi sastra dan pembentukan karakter terjadi lewat pembiakan yang ”hampir tanpa kontrol”. Pengertian kualitas -yang awalnya menjadi status quo dan hak-hak istimewa kaum akademisi, redaktur, aparat-aparat kritis-lambat laun runtuh dan tak punya hak bersuara lagi. Dialektika terjadi semarak, hampir tak berjarak lagi antara penulis dan audiens, konstruksi pikiran pun dibongkar sebebas-bebasnya.

Kedua, menguatnya aspek ”kelisanan” yang menggali sumber-sumber inspirasi dan pengetahuan dari apa yang kita kenal ”kehidupan sehari-hari”. Komunikasi sederhana antarindividu, makna-makna yang terkesan verbal dan struktur puitik yang simpel dan ”tidak bertele-tele”. Seperti tampak pada kutipan karya Kuspriyanto Namma berikut ini.

Mula-mula hanya menebang sebatang pohon

Tak ada teguran

malah mendapat tambahan kawan

maka ramai-ramai mengubah hutan jadi ladang

ditanami palawija yang menguntungkan

Mula-mula hanya banjir besar kecil-kecilan

dianggap cobaan ringan

ketika rumah-rumah hanya terlihat wuwungan

baru tersadar bahwa hutan telah hilang

butuh dua puluh lima tahun untuk menanam

(Sajak Catatan Tahun 2007, antologi Malsasa 2009, hal. 50)

Struktur puisi di atas hampir tak memakai konstruksi simbol yang berbelit. Pesan yang disampaikan cukup sederhana, tetapi cukup menggugah emosi -dan ditandai ”psikologi otomatis”, yakni upaya penyair yang memindahkan objek dengan tanpa membebani pikiran-pikiran abstrak. Kuspriyanto Namma membangun konstruksi puitiknya dari bentukan tanda-tanda yang lazim dan mengubah peristiwa referensial menjadi ”bunyi pikiran” yang khas. Teknik itu mengingatkan kita pada beberapa sajak Rainer Maria Rilke dalam kumpulan The Cornet.

Tampak sekali perbedaan antara persepsi Jakarta dan kebanyakan penyair-penyair Jawa Timur. Jakarta masih belum selesai mempersoalkan ”bahasa” dan bagaimana meletakkannya -sebagai sesuatu yang abstrak, eksklusif, dan terus-menerus dieksplorasi (hampir tanpa ujung). Sebaliknya, sebagian penulis di Jawa Timur sudah selesai mempersoalkannya (setidaknya sesudah euforia reformasi) dan justru menggali inspirasi yang lebih konkret dan rasional. Karena itu, cukuplah naif jika asumsi Jakarta ditempatkan untuk membaca Jawa Timur. Terlebih, karena komponen struktur dan alam budaya yang melatari kreativitas tak mungkin dibakukan. Juga, butuh banyak persepsi untuk mendalami ”bawah sadar” penulis-penulis Jawa Timur. (*)

*) Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Kabupaten Blitar dan ketua Forum Alumni Unair Independent (FauNA)

Jawa Timur Negeri Puisi

Arif Bagus Prasetyo*
http://www.jawapos.com/

Perkembangan sastra Indonesia di Jawa Timur masih didominasi puisi. Jawa Timur masih merupakan provinsi penghasil puisi ketimbang provinsi penghasil prosa. Jika mencari siapa penulis prosa yang menonjol di Jawa Timur hari ini, terlebih yang karyanya menasional, kita tak mungkin berpaling dari sejumlah nama senior seperti Budi Darma, Ratna Indraswari Ibrahim, atau Beni Setia yang juga dikenal sebagai penyair.

Tentu saja tak berarti tidak ada pengarang muda di Jawa Timur yang menekuni penulisan prosa. Buku kumpulan cerpen Pleidooi (2009), misalnya, memuat karya 14 cerpenis muda dari Malang. Kita pun tahu bahwa novel karya penyair-prosais muda Mashuri, Hubbu, memenangi sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta beberapa tahun lalu. Belakangan, penyair terkemuka Mardi Luhung juga muncul sebagai penulis cerpen yang berhasil mencuri perhatian publik sastra nasional. Tapi harus diakui, setelah kemunculan fenomenal Sony Karsono pada paro kedua 1990-an, sedikit sekali prosais muda Jawa Timur yang karyanya diperhitungkan di tingkat nasional. Stefanny Irawan, Fahrudin Nashrulloh, dan Lan Fang termasuk di antara segelintir penulis prosa terkini di Jawa Timur yang namanya bergaung di luar pagar provinsi.

Sebaliknya, dunia kepenulisan puisi di Jawa Timur seolah mengalami musim semi abadi. Generasi penyair baru terus lahir melapisi generasi sebelumnya, dan di setiap lapisan generasi penyair itu selalu ada sejumlah nama yang menyeruak ke permukaan medan sosial sastra di luar lingkup Jawa Timur. Buku Pesta Penyair (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009) memberikan peta mutakhir tentang supremasi puisi di Jawa Timur. Antologi itu memuat puisi karya 55 penyair yang masih hidup di Jawa Timur, mulai D. Zawawi Imron (kelahiran 1945) sampai Eny Rose (kelahiran 1992). Terlihat jelas bahwa supremasi puisi di Jawa Timur dikawal oleh barisan penyair yang mencuat pada abad ke-20 (Akhudiat, Mardi Luhung, Tjahjono Widarmanto, Tjahjono Widijanto, Anas Yusuf, Aming Aminoedin, dll), mereka yang muncul pada sekitar pergantian milenium (S. Yoga, Indra Tjahyadi, Timur Budi Raja, W. Haryanto, Mashuri, Deny Tri Aryanti, F. Azis Manna, dll), serta sederet pendatang baru (A. Muttaqin, Umar Fauzi, A. Junianto, Dody Kristanto, Alek Subairi, dll).

Mengapa di Jawa Timur puisi jauh lebih subur daripada prosa? Dua faktor penyebab dapat diajukan. Faktor pertama bersifat objektif. Sejak lama, perkembangan sastra di Jawa Timur tidak saja ditopang oleh ruang kebudayaan di media-massa, tetapi terutama digerakkan oleh berbagai forum dan komunitas sastra yang tersebar di seantero wilayah Jawa Timur. Di antaranya berkat ”militansi” para penyair Jawa Timur dari dulu sampai sekarang, forum baca puisi di provinsi ini selalu lebih giat dan lebih semarak daripada forum baca prosa. Banyak kota di Jawa Timur yang punya komunitas sastra aktif: Surabaya, Mojokerto, Jombang, Banyuwangi, Jember, Malang, Batu, Gresik, Lamongan, Ngawi, Blitar, Bangkalan, Sumenep, dsb. Puisi boleh dibilang sudah mentradisi sebagai ”mata uang” utama yang dipertukarkan di antara anggota komunitas maupun antarkomunitas melalui mimbar-mimbar pembacaan puisi. Medan sosial sastra Indonesia di Jawa Timur selama ini cenderung lebih kondusif bagi pertumbuhan puisi ketimbang prosa.

Faktor kedua berhubungan dengan realitas ma­syarakat Jawa Timur sebagai, mencomot istilah Ben Anderson, ”komunitas anggitan” (imagined community). Ketika berbicara tentang Jawa Timur, orang sering lupa bahwa ”Jawa Timur” itu sesungguhnya tidak benar-benar ada atau minimal belum sepenuhnya ada. Sebuah unit administratif bernama Provinsi Jawa Timur memang ada, tapi kita sebetulnya bisa berdebat mengenai keberadaan Jawa Timur sebagai unit sosiokultural yang nyata.

Di Jawa Timur bahasa Indonesia adalah lingua franca, sarana komunikasi bagi sekumpulan penduduk yang berbeda-beda bahasa, tapi dibayangkan sebagai satu kesatuan ”masyarakat Jawa Timur”. Seseorang yang tumbuh-besar di Surabaya, sehari-hari berbahasa Jawa kasar Suroboyoan dan hanya memakai bahasa Indonesia dalam acara resmi, harus menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan orang Madura dalam kesempatan formal maupun informal. Dia juga harus berbicara dalam bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan kerabat di Ngawi karena bahasa Jawa egaliter Suroboyoan yang dikuasainya akan terdengar kurang ajar di telinga warga Jawa Timur bagian barat. Bahasa Indonesia menebus diskomunikasi dan miskomunikasi di tengah kemajemukan bahasa-bahasa lokal di Jawa Timur. Dengan kata lain, ”bahasa Jawa Timur” sesungguhnya adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesialah yang memungkinkan imajinasi tentang sebuah Jawa Timur, suatu mozaik beragam subkultur dan bahasa setempat.

Masalahnya, bahasa Indonesia mengandung endapan kenasionalan yang terlalu pekat untuk menyegel keregionalan Jawa Timur. ”Bahasa Jawa Timur” adalah bahasa Indonesia, tetapi bahasa Indonesia adalah milik bangsa Indonesia. Kepemilikan itu diabsahkan secara historis oleh memori kolektif tentang sebuah Indonesia yang didefinisikan oleh Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 1945.

Adapun Jawa Timur boleh dibilang tak punya memori kolektif yang cukup solid untuk mendefinisikan diri, untuk dijadikan pijakan mengucapkan diri secara otentik. Ingatan tentang kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur, misalnya Singasari dan Majapahit, sudah terlalu rangup dan sayup dimangsa waktu, bagaikan puing-puing candi yang berserakan di Trowulan. Karya pujangga keraton Jawa Timur sulit diakses oleh generasi kini. Sementara itu, tak ada bahasa pra-Indonesia yang cukup inklusif untuk membingkai memori kolektif tentang sebuah Jawa Timur. Bingkai memori kolektif tentang sebuah Jawa Timur hanya disediakan oleh bahasa Indonesia, tapi bingkai ini selalu terbetot ke luar, ke arah ”bangsa Indonesia”. Jawa Timur tak punya bahasa, kecuali bahasa Indonesia: bahasa yang menyuarakan dan sekaligus membungkam ”Jawa Timur”, membentuk dan sekaligus menyangkal ”masyarakat Jawa Timur”.

Sangat mungkin, posisi ambigu bahasa Indonesia di Jawa Timur adalah faktor ”bawah-sadar” yang mengakibatkan provinsi ini menjadi lahan subur puisi, ragam sastra yang merayakan ambiguitas makna. Menjelajahi medan ambiguitas makna berarti menyusun korespondensi baru antara hal-ihwal, dan itu berarti menciptakan bahasa. Makna ”Jawa Timur” hanya eksis dalam hubungan komunikasi melalui bahasa Indonesia, tetapi eksistensi Jawa Timur baru betul-betul bermakna apabila ia mampu mengucapkan diri secara otentik, menjadikan bahasa Indonesia sebagai milik sendiri. (*)

*) Kritikus sastra, tinggal di Denpasar

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae