Kamis, 24 Juni 2010

DUSTA

Saut Situmorang
http://sautsitumorang.wordpress.com/

Sinisme historis dalam melihat kondisi “sastra Indonesia” kontemporer sudah memenuhi kepala saya selama bertahun-tahun waktu saya membaca artikel berjudul aforistis “Karya Bagus, Argumentasi Lemah” oleh Chavchay Syaifullah di Media Indonesia, Minggu 8 Oktober 2006, tentang “kegagapan forum” orang-orang Teater Utan Kayu di arena sastra “internasional” berbahasa Inggris seperti Ubud Writers and Readers Festival. Waktu itu saya berada dalam kereta api pagi yang membawa saya pulang ke Jogja setelah diundang Dewan Kesenian Jakarta baca-puisi pada acara Tadarus Puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM). Saya ngakak penuh tekstasi setelah selesai membaca artikel “subversif” tersebut. Akhirnya ada juga wartawan budaya yang benar-benar percaya dan menjalankan “kebebasan pers” yang selama ini cuma jadi retorika omong kosong wartawan omong kosong di Republik Animal Farm ini, sorak saya dalam hati. Saya jadi teringat pada apa yang pernah dikatakan wartawan-cum-novelis kelas wahid dari Inggris, George Orwell: “During times of universal deceit, telling the truth becomes a revolutionary act”! Siapa bilang revolusi itu sudah tak ada lagi!!!

Begitu saya sampai di negeri gempa Jogja saya mendengar kabar burung bahwa Media Indonesia mendapat serangan SMS dari kelompok “sastrawan” yang namanya disebut-sebut dalam artikel-reportase Chavchay tersebut, yaitu komunitas Teater Utan Kayu (TUK) dan salah satu SMS tsb bahkan menyatakan dengan arogan dan sangat patronising bahwa ruang budaya Media Indonesia dipimpin oleh 2 orang super-bego dan bahwa kedua orang “super-bego” ini menyebarkan kebodohan di koran nasional bertiras besar! Betapa arogannya! Betapa reaksionernya! So much for freedom of the press!

Tapi saya setuju dengan pendapat Chavchay Syaifullah dalam artikelnya itu. Justru apa yang dia tuliskan itulah merupakan kondisi memprihatinkan dari apa yang dulu disebut sebagai “sastra Indonesia” itu, yang membuat saya jadi teridap sinisme sejarah itu. Politik “sastra” yang dilakukan TUK terlalu kasat mata, terlalu vulgar, untuk tidak mungkin terlihat oleh orang-orang di luarnya, seperti saya misalnya. Dan saya sendiri pernah bersinggungan langsung dengan salah satu dari aktivitas mereka ini sampai berefek skandal di kota Solo beberapa waktu lalu.

Saya sengaja datang sendiri naik motor bebek Legenda saya dari Jogja untuk melihat apa yang TUK klaim sebagai sebuah “Temu Sastra Internasional” yang akan mereka adakan selama 2 malam di Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo, setelah selesai di Denpasar. Saya ingin membuktikan sendiri benar-tidaknya “internasionalisme” event yang menurut saya cuma semacam program menebus dosa sejarah kolonialisme Belanda yang ironisnya justru dilakukan oleh salah satu negeri bekas jajahannya sendiri itu. Di Solo saya mendapat informasi bahwa ternyata tidak ada satupun sastrawan Solo yang ikut sebagai peserta dalam peristiwa sastra antar-bangsa yang justru diadakan di Taman Budaya kota itu sendiri, kecuali sebagai pembawa acara! Padahal di 2 kota lain di mana acara yang sama juga diarisankan, Denpasar dan Jakarta, para sastrawan lokalnya terlibat aktif termasuk membacakan karya masing-masing. Saya dan beberapa kawan seniman asal Solo lalu merespons arogansi TUK yang seolah-olah menganggap tak ada sastrawan Solo yang pantas ikut acara mereka yang hebat itu dengan membuat surat pernyataan dengan tanda tangan para seniman dan non-seniman dari berbagai latar belakang profesi dan asal-kota dalam bahasa Indonesia dan Inggris, yang kemudian kami bagi-bagikan pada malam kedua, termasuk kepada peserta dari luar Indonesia. Respons dari TUK yang kami terima sudah gampang diduga, mirip dengan respons yang diterima Chavchay Syaifullah. Kami dituduh macam-macam. Saya sendiri, misalnya, dalam sebuah artikel-reportase yang ditulis dalam majalah berita Tempo beberapa waktu setelah Skandal Solo itu berlalu dikatakan secara eufemisme pasemonan sebagai cemburu atau iri hati karena tidak diundang! Disuruh untuk mengelus dada sendiri! Padahal penulisnya (terkutuklah dia itu!!!) tidak pernah mewawancarai saya, bahkan hadir pun tidak di Solo! Menurut “kabar angin”, semua informasi yang dipakainya untuk menuliskan pseudo-reportasenya itu didapatnya dari seseorang bernama “Goenawan Mohamad”! Pada malam kedua acara “Temu Sastra Internasional” yang kami ganggu dengan sengaja itu, saya dan kawan-kawan perancang surat pernyataan tersebut sebenarnya menunggu diajak konfrontasi argumentasi oleh panitia. Kami menunggu sambil ngebir di warung kopi tepat di depan pintu masuk gedung TBS itu karena konon seseorang bernama Goenawan Mohamad sangat tersinggung dengan surat kami itu dan mengklaim kami anti-diskusi. Sampai kami pindah tempat minum ke sebuah cafĂ© tengah kota, tak ada ajakan yang kami tunggu-tunggu itu datang. Malah, kata seorang kawan yang sengaja ikut malam itu dengan panitia acara, mereka minum-minum wine setelah acara usai di rumah salah seorang seniman tari lokal! So much for a democratic literary discussion.

Apa yang diamati Chavchay sebagai “kegagapan forum” orang-orang TUK di arena sastra “internasional” berbahasa Inggris seperti Ubud Writers and Readers Festival itu cuma membuktikan kadar “internasionalisme” dan “kosmopolitanisme” komunitas yang selalu berpretensi paling radikal selera artistiknya ini. Ketidakmampuan mereka berbahasa Inggris juga dibuktikan oleh jeleknya terjemahan Hasif Amini atas cerpen-cerpen Jorge Luis Borges yang ironisnya malah dipuji-puji oleh kawannya seperti Nirwan Dewanto! Juga coba baca kembali apa-apa yang pernah ditulis oleh Nirwan Dewanto dalam media yang ada relasinya dengan TUK tentang sastra Indonesia kontemporer. Klaim-klaim yang dibuat Nirwan Dewanto tentang puisi Indonesia saja, misalnya, sangat mengada-ada, tidak dapat dipertanggungjawabkannya dalam konteks “kritik sastra” makanya bisa disebut “fitnah” , dan sangat arogan sehingga kalau dibandingkan dengan apa yang dituliskan Chavchay tentang realitas gagap forum internasional TUK justru sangat pantas untuk disebut “super-bego”. Dan media cetak yang memuat tulisan-tulisan super-bego dan fitnah itu sangat pantas juga untuk disebut sebagai “menyebarkan kebodohan di (media) nasional bertiras besar”! Sementara untuk memuji-muji karya sesama anggota TUK seperti yang dilakukannya atas Ayu Utami, Nirwan Dewanto tidak merasa ada persoalan sama sekali untuk menyatakan (dengan maksud melambungkan reputasi komunitasnya, tentu saja) bahwa Ayu Utami tidak terlahir dari sejarah sastra Indonesia, misalnya, walau tetap saja dia impoten untuk mengelaborasi apa yang dimaksudkannya dengan klaim pseudo-kritik sastranya itu.

Narsisisme TUK ini akan lebih jelas lagi terlihat dari kutipan di bawah ini yang saya ambil dari sebuah artikel berjudul “The Search for a Silver Lining in Indonesia” di edisi bahasa Inggris majalah Jerman Der Spiegel 23 Desember 2005. Dalam artikel yang juga menyebut-nyebut nama Ayu Utami itu, perhatikanlah kata-kata yang saya italic di bawah:

The Utan Kayu cultural center in Jakarta provides a perfect example of progress, Indonesian style. It was here that the foundation of modern Indonesia was laid not too long ago. In the summer of 1994, when then dictator Suharto ordered three news magazines shut down, journalists and writers bought a group of run-down buildings at Utan Kayu 68 H and opened a publishing house — in direct defiance of the dictator’s edict. A left-leaning political movement soon developed and, in 1998, Utan Kayu became the starting point for the mass demonstrations that led to Suharto’s ouster.

Benarkah TUK merupakan tempat di mana “fondasi dari Indonesia modern” diletakkan? Benarkah TUK merupakan sebuah “gerakan politik kiri” dan yang menjadi “awal-mula” dari gerakan reformasi yang menjatuhkan diktator Suharto? Apa ini bukan sebuah klaim keterlaluan besar atas sejarah Indonesia kontemporer!

Kalau kita mengatakan bahwa ini terjadi karena kesuperbegoan wartawan Der Spiegel yang buta akan sejarah jatuhnya Suharto, lantas dari mana dia mendapatkan informasinya tersebut? Bukankah sebego-begonya seorang wartawan dari sebuah media internasional sekaliber Der Spiegel, dia tetap akan mendasarkan reportasenya itu pada wawancara dengan pihak yang terkait, nara sumber (seseorang bernama “Ayu Utami” dalam kasus ini), dan tidak berdasarkan khayalan semata-mata?

Persoalan “kebenaran jurnalistis” ini sangat relevan terutama dengan apa yang terjadi atas satu lagi laporan Chavchay Syaifullah di koran Media Indonesia. Laporan pandangan mata langsung Chavchay atas acara Utan Kayu International Literary Biennale 2007 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 23 Agustus 2007, berjudul “Geger Menangis, Pesta Bir Berlanjut” (Media Indonesia, Minggu 26 Agustus 2007) ternyata benar-benar menimbulkan geger. Chavchay dituduh membuat “berita yang mengandung fitnah berat” terhadap Utan Kayu International Literary Biennale 2007 tsb dan “sedikitnya empat kebohongan” menurut orang-orang TUK (baca “Bantahan Panitia Penyelenggara Utan Kayu International Literary Biennale 2007, Komunitas Utan Kayu, Jakarta” yang berjudul “Empat Dusta” di Media Indonesia, Minggu 2/9/2007). Dalam bantahan “Empat Dusta” tsb, Sitok Srengenge sebagai “Direktur Utan Kayu International Literary Biennale” bahkan menyatakan bahwa “Chavchay Saefullah seolah-olah melakukan reportase acara pembukaan Utan Kayu International Literary Biennale 2007” tsb [italic saya]. Laporan pandangan mata Chavchay itu dianggap “fitnah berat”, “berita bohong”, “seolah-olah. . .reportase” cuma karena Chavchay tidak melakukan apa yang menurut orang TUK sebagai hukum utama jurnalisme, yaitu asas “cover both sides”! Walau Chavchay bisa menunjukkan bukti rekaman atas apa yang dinyatakan penyair Geger Prahara (bahwa dia “diusir satpam” acara Utan Kayu International Literary Biennale 2007), misalnya, tapi bukti rekaman tsb tetap tidak dianggap valid sebagai bukti jurnalistik oleh orang TUK! (Dalam sebuah SMS kepada saya Saut Situmorang, Geger juga menyatakan: “Kbr baik! Apa kbr jg? Kasus dgn Satpam 100% fakta! Yg fiktif adalah soal menangis. Salam Geger”.)

Disamping Kasus Geger ini, satu isu lain yang dianggap sebagai “fitnah” itu adalah soal “pesta bir” yang dituliskan Chavchay, sementara perihal “kerjasama yang biasa aja” (dalam bahasa Zen Hae, Ketua Komite Sastra, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), di SMS-nya kepada saya) yang dilakukan DKJ dalam mendukung acara yang bukan program resminya itu dengan sengaja diabaikan sama sekali. (Ada sebuah ironi di sini. DKJ mengeluarkan uangnya sampai puluhan juta untuk “kerjasama yang biasa aja” ini, tapi mengaku tidak punya uang waktu sebelumnya sastrawan Jakarta bernama Sihar Simatupang datang minta bantuan tiket sekali-jalan ke Medan yang mengundangnya sebagai pembicara dalam event sastra “internasional” Puisi Dunia di Medan!)

Pembelaan Sitok Srengenge menarik soal “pesta bir” tsb. Dia bilang bahwa “Penyediaan bir adalah suatu kelaziman dalam jamuan internasional. Hal itu juga bukan pertama kalinya terjadi di Taman Ismail Marzuki.” Saya adalah seorang yang sangat mencintai bir, terutama bir pilsener yang dingin. Saya yakin tak ada makhluk hidup di TUK yang mampu minum bir dingin sebanyak saya, hehehe… Saya juga tahu bahwa image peminum bir memang tidak positif di negeri ini, beda dengan di Barat di mana minum bir tidak ada bedanya dengan minum kopi, sebuah properti sosialisasi. Inilah romantisme para pencinta bir di negeri ini. Jadi kalau dalam sebuah peristiwa sastra besar, yang “internasional” lagi, di negeri ini dan yang dihadiri banyak orang-orang negeri ini, disediakan bir untuk diminum bebas, kan wajar kalau ada yang risih! Sastra kan sudah dianggap budaya adiluhung di negeri ini, sementara bir merupakan kebalikannya. Masak budayawan Indonesia tidak paham dengan realitas masyarakatnya sendiri ini! Soal mabuk karena ngebir, itu kan juga relatif. Apa memang banyak orang Jakarta yang benar-benar sanggup minum sebanyak penyair Saut Situmorang dan tidak teler! “Mabuk” kan beragam definisinya. Minum empat botol besar bir dingin bagi saya itu belum “mabuk”, tapi minum satu gelas bir mungkin saja akan membuat orang Indonesia lain “mabuk”. Jadi ini kan soal bahasa, masak penyair besar Indonesia tidak paham dengan bahasa nasionalnya sendiri! Juga, kalau memang benar “Penyediaan bir adalah suatu kelaziman dalam jamuan internasional”, kenapa waktu “jamuan internasional” yang diadakan TUK di TBS Solo beberapa tahun lalu itu tidak disediakan bir? Saya dan kawan saya terpaksa harus menyediakan sendiri bir kami di malam-malam Solo yang panas itu. Apa karena Temu Sastra di Solo itu memang kurang atau malah tidak “internasional”!

Kalau Chavchay dibilang membuat “fitnah” dan “dusta” dalam reportase jurnalistiknya yang jujur dan berani itu sampai dia harus dipindahtugaskan pimpinannya karena desakan otoriter seorang mogul media massa yang juga merupakan orang pertama TUK – yang cuma mengingatkan saya pada tokoh utama film Citizen Kane karya Orson Welles – sebagai resiko seorang wartawan kecil tapi berani di negeri yang tak menghormati kebebasan berpendapat ini, bagaimana dengan reportase wartawan Der Spiegel di atas? Apakah dia sudah melakukan asas “cover both sides”, mencek-ulang kepada pihak lain, hasil wawancaranya dengan seseorang bernama “Ayu Utami” tentang peran TUK dalam gerakan pro-demokrasi yang menjatuhkan Suharto itu? “Both sides” mana yang sudah di-cover-nya? Saya yakin orang TUK pasti sudah membaca majalah Jerman yang berisi dongeng tentang mereka itu (saya saja sudah!) dan karena tidak ada protes dari mereka atas isi dongeng itu maka bisa diartikan bahwa, paling tidak, mereka sangat puas dengannya! Juga bagaimana dengan pseudo-reportase majalah Tempo tentang Skandal Solo seperti yang saya singgung di atas! (Skandal Chavchay itu sendiri, menurut kabar terakhir, belum “dianggap selesai” oleh TUK. Alasannya: “Catatan Redaksi” yang ditulis Edy A Effendi untuk menemani bantahan “Empat Dusta” Sitok Srengenge di edisi yang sama telah membuat “persoalan jadi terbuka lagi”!)

Sebagai penutup, baiklah saya paparkan beberapa “dusta” saya ini sebagai suplemen “dusta” Chavchay Syaifullah:

• novel Saman Ayu Utami memanipulasi komentar Pramoedya Ananta Toer dalam blurb di sampul belakang novel tsb dengan cara mengutip secara tidak benar apa yang dinyatakan Pramoedya Ananta Toer.

• Ayu Utami menang Prince Claus Award dari Negeri Belanda sebelum terjemahan Belanda novelnya itu selesai. Pertanyaan sederhananya: Bagaimana para juri Prince Claus Award bisa menilai/mengetahui kehebatan Ayu Utami?

• tulisan-tulisan akhir tahun Nirwan Dewanto tentang sastra Indonesia di majalah Tempo adalah fitnah dan penghinaan besar terhadap sastra(wan) Indonesia kontemporer.

• posisi Hasif Amini sebagai redaktur “Sajak-sajak” Kompas Minggu cuma menguntungkan kawan-kawannya belaka, terutama Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto, dan Sitok Srengenge yang sajak-sajaknya selalu muncul satu halaman penuh sementara para penyair lain dimuat beramai-ramai.

• gosip beredar tentang pernyataan Sitok Srengenge bahwa “Sastrawan Indonesia” hanyalah “mereka yang diundang ke acara sastra TUK” saja.

• makanya menjadi “Sastrawan Indonesia”lah orang-orang semacam Laksmi Pamuntjak dan Avi Basuki.

Menafsir Mimpi Generasi Terkini

Judul : Orde Mimpi
Penulis : R Giryadi
Penerbit : Dewan Kesenian Jawa Timur-Bayumedia
Tebal : 236 halaman
Cetakan : Cetakan I, November 2009
Peresensi : Risang Anom Pujayanto
http://www.surabayapost.co.id/

Apakah yang tersisa dalam akhir pementasan drama?

Aristoteles pernah meniscayakan efek yang ditinggalkan pementasan teater laiknya adanya reaksi kimiawi diri—katharsis, penyucian diri—bagi seluruh ekologi di sekeliling pementasan sandiwara. Piranti lain mengatakan adanya stimuli tinggi neurosis yang sanggup merusak jaringan otak apabila gagasan, apresiasi dan kritik, pasca memaknai lakon yang dipentaskan, tidak tersalurkan atau dikomunikasikan dengan baik dalam arena diskusi lisan maupun dalam bentuk tulisan. Sementara dalam jagad intertekstualitas, akhir pementasan teater dimaknai sebagai bukan akhir sebuah proses, melainkan justru merupakan babak awal pementasan teater baru.

Secara garis besar ketiga fitur yang tertera di atas telah merepresentasikan turunan gambar ideal dalam akhir suatu pementasan teater. Namun itu bukan berarti output pementasan lakon hanya terangkum dalam ruang tiga paparan sederhana itu saja, karena masih banyak spesifikasi pencapaian-pencapaian parsial dan personal yang bisa pembaca tafsirkan sendiri ketika menyaksikan langsung pementasan drama. Seperti diketahui bahwa banyak sekali akrobatik pemahaman atau keajaiban-keajaiban yang tak terduga dihasilkan dari sebuah intensitas.

Khusus persoalan intertekstualitas, dramawan Rakhmat Giryadi dalam kumpulan naskah dramanya; Orde Mimpi mengamini adanya interteks dengan membeberkan naskah ’Retorika Lelaki Senja’. Di mana dalam kata pengantar ’Retorika Lelaki Senja’ yang bertitle ’Korupsi yang Berurat dan Berakar’, R Giryadi mengakui secara terang-terangan telah mengadopsi partikel-partikel yang ada dalam naskah karya (alm) Arifin C Noer. Dalam kerangka ini, upaya pengadaptasian bisa dimanfaatkan sebagai strategi mereproduksi pertunjukkan teater dalam format baru.

Opini yang ada di naskah ini disitir dari beberapa naskah karya Arifin C Noer (alm) mantan pimpinan Teater Kecil Jakarta. Naskah itu seperti Tengul, Sumur Tanpa Dasar, dan Kapai-Kapai. (hal 33)

Dalam logika kalkulasi matematis, kemudahan daya serap dari teks-teks lain; seperti novel, cerpen, dan puisi, selazimnya berimplikasi pada jumlah naskah dan kuantitas pementasan. Bahkan jika jumlah tersebut diakumulasikan dengan pementasan drama yang benar-benar berasal dari teks drama murni seperti karya Putu Wijaya, WS Rendra, Danarto, Arifin C Noer, Remy Silado, Akhudiat, N Riantiarno dan sebagainya, maka tidak dipungkiri aktor yang tersebar di seluruh komunitas teater se-Indonesia sekali pun bakal kesulitan memerankan total seluruh karya yang (diandai-andaikan) ada itu.

Kita bisa mengadaptasi puisi, cerpen, dan novelet yang dimuat di media massa, koran, tabloid, dan majalah. Kalau hal itu bisa kita lakukan, berarti setiap minggu kita bisa mendapatkan naskah teater, karena setiap minggu terbit cerpen dan puisi di koran-koran, bukan? (hal 191)

Uniknya dewasa ini yang terjadi justru sebaliknya. Artinya, naskah drama yang digadang-gadang memiliki progres potensi percepatan perkembangan yang pesat justru jatuh kembang-kempis, menjelma sawah tak tergarap yang diabaikan oleh tuannya, hingga mendekati sinyal-sinyal kelangkaan. Sehingga ketika kondisi mendesak membutuhkan pementasan lakon sandiwara, yang sering terjadi biasanya justru pengulangan-pengulangan lakon lawas yang didaur ulang. Dan dalam situasional seperti itu biasanya pembelaan diri yang paling rasional yang sekaligus aman dijadikan senjata pamungkas yakni mengeksploitasi dalih-dalih dan argumentasi, serta berpura-pura mengobservasi tentang relevansi keberadaan teks lama dengan zaman sekarang. Kesannya memang mengada-ada, tapi ajaibnya semua bisa dibuat percaya. Logis sekali. Tapi bisa disebut sindikalisasi kebohongan yang benar-benar telah terkonsep sangat rapi.

Problem keringnya naskah drama memang tidak bisa dibebankan pada satu elemen, misalnya pada bahu kreator seni peran saja. Pasalnya, banyak faktor yang membuat penulisan naskah drama kurang populer. Kendati masalahnya begitu kompleks, peran sentral tetap berada di pundak dramawan. Karena itu diperlukan kesadaran mandiri dari kalangan dramawan itu sendiri. Dan R Giryadi yang melihat minimnya perhatian kalangan dramawan akan naskah drama mencoba memberi secercah pencerahan dengan menghadirkan satu buku yang berisi tujuh naskah drama yang terangkum dalam satu judul besar: Orde Mimpi.

Tujuh naskah tersebut disusun ke dalam tiga subbab: Monolog (3 naskah), Dialog (3 naskah) dan Epilog (1 naskah). Ketujuh naskah tersebut yakni, ’Biografi Kursi Tua’ (2001), ’Monolog Peperangan’ (2000), ’Retorika Lelaki Senja’ (2005), ’Orde Mimpi’ (1994), ’Orang-Orang Bawah Tanah’ (1994), ’Terompet Senjakala’(2003), dan ’Hikayat Perlawanan Sakiyem: Nyai Ontosoroh’(2007).

Masing-masing naskah drama dalam Orde Mimpi disertai kata pengantar dari penulis (R Giryadi). Kata pengantar yang menyeritakan tentang tema, sinopsis dan ilustrasi setting tersebut dimaksudkan sebagai sarana mempermudah pemahaman pembacaan. Tidak hanya itu, terdapat pula kesederhanaan retorika dan adanya seruan-seruan kecil di sana. Dari kesederhanaan retorika dan adanya seruan-seruan kecil dalam kata pengantar itulah disinyalir bahwa Orde Mimpi ini memiliki pretensi tersendiri.

Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa tendensi seorang seniman jangan serta-merta disetarakan pada image buruk kepentingan kaum politisi. Sebab, tidak ada sedikit pun upaya kepentingan diri sendiri di sini. Dan apa yang dikerjakan R Giryadi dalam Orde Mimpi adalah wujud keprihatinan terhadap sepinya apresiasi teater saja. Oleh karena itu, melalui kumpulan naskah drama Orde Mimpi, R Giryadi hendak membuat jembatan penghubung dengan generasi penerus. Terlebih saat ini, dalam kancah teater nusantara, sangat booming ungkapan umum bahwa sedang terjadi keterputusan generasi. Keinginan dan daya kritis untuk mengangkat wacana generasi seperti ini dipaparkan secara apik dalam monolog ’Biografi kursi Tua’ atau dialog ’Orde Mimpi’. Atau, secara vulgar pesan penuh pretensi itu dapat diamati pada lima panel di cover belakang, dari ”Kata siapa… bermain teater itu sulit” hingga ”Sekarang… Mulailah…!!!”

Bagi generasi muda yang mulai tekun bergiat di dunia teater, Orde Mimpi adalah kawah candradimuka. Di mana generasi muda yang berminat akan diceburkan di kawah candradimuka dan R Giryadi melemparkan segala jenis teknik teater beserta segala kemungkinan yang bisa dieksplor. Sehingga ketika selesai menyeburkan diri atau membaca Orde Mimpi, kemampuan yang mumpuni diharapkan selalu menyertai, bisa melebur dan menyatu dalam melahirkan regenerasi yang sesuai harapan. Tidak instan. Bukan pula hasil rekayasa genetika.

Kembali ke pernyataan awal: apakah yang tersisa dalam akhir pementasan drama? Ketiga komponen yang disebut sebelumnya; katarsis, diskusi dan pementasan selanjutnya, sejatinya berada dalam tataran yang rentan terlupakan. Bukan bermaksud meremehkan brankas penyimpanan otak, namun ditinjau dari segi mental manusia, manusia memang membutuhkan pemantik untuk mengingatkan kembali atau mengembalikan memori suatu peristiwa yang pernah terjadi. Pemantik itu bisa berupa peristiwa maupun benda yang pernah merangkumnya.

Harus diakui manusia tetap makhluk lemah yang membutuhkan sarana dalam menjalani hidup. Termasuk dalam perkembangannya tidak hanya persoalan primer hidup saja, tetapi manusia juga menciptakan sesuatu untuk keperluan-keperluan instrumental lain seperti membantu pengoptimalan kinerja penyimpanan otak. Karena itu dalam konteks pementasan drama, pementasan yang rawan terlupa, maka pendokumentasian naskah-naskah yang telah dipentaskan seharusnya wajib disimpan sebagai upaya pengabadian seluruh atmosfer yang sebelumnya bersifat sementara.

Singkatnya, bagi generasi yang kebetulan tidak dipilih oleh takdir untuk menikmati pementasan sandiwara secara langsung, dengan adanya pembekuan pementasan drama dengan format formal, salah satunya dalam bentuk tulisan, maka setidaknya pembaca bisa memaknai secara imajinatif apa yang terjadi kala itu. Atau bisa dijadikan rujukan pementasan ulang karya-karya yang masih dianggap relevan dengan zaman. Demi mengembalikan efek-efek katarsis, perdebatan intelektual, dan dampak positif lainnya. Karena itu, pantaslah apabila Orde Mimpi disemati predikat sebagai kawah candradimuka yang senantiasa merindukan kehadiran serta menghasilkan para penggiat drama secara berkelanjutan.

Sebuah Kota, Sajak, dan Pembangunan*

Y. Wibowo
http://kebunlada.blogspot.com/

ISBEDY stiawan Z.S. menuliskan artikel fantastis sekaligus miris dalam momentum Hari Ulang Tahun ke-322 Kota Bandar Lampung, 17 Juni 2004, berjudul “Kota tanpa Ruang Kontemplatif” (Lampung Post, 19 Juni 2004). Menurut penulis, dalam merefleksikan “kenangan yang berjalan”, Bang Isbedy melihat Kota Bandar Lampung adalah sebuah sajak yang terdedah karena alam dan didedahkan sistem dan kebijakan. Namun, dari sisi wajah arsitektur yang dinamik dan problematik belum terungkap.

Memang hal ini bisa saja terjadi dan dialami setiap insan atau warga yang tinggal dalam satu komunitas/masyarakat di mana pun ia berhuni. Terlebih ungkapan-ungkapan perasaan akan kenangan dalam kurun waktu dan tempat tertentu, yang sekaligus dapat mengingatkan dan menghapus jejak ingatan kita.

Dapat diamati bagaimana dinamika kota dipengaruhi perkembangan masyarakatnya. Demikian pula sebaliknya. Artinya, perkembangan masyarakat terungkap dalam perkembangan kota. Dinamika ini terjadi secara alamiah karena masyarakat selalu memiliki kecenderungan mengekspresikan kehidupan melalui perkembangannya. Dalam skala mikro, misalnya, keluarga sebagai rumah tangga selalu ingin memperbaiki dan mengembangkan rumah sesuai dengan kemampuannya, terutama jika memiliki rumah sendiri. Dalam realitasnya, hal ini sedikit berbeda seandainya rumah yang ditempati keluarga itu bukan milik sendiri.

Masalah itu muncul karena perasaan akan identitas tempatnya telah berkurang. Aspek itu juga perlu diperhatikan dalam skala makro; jika rasa memiliki di suatu kawasan tidak dipunyai masyarakat setempat, maka perasaan akan identitas terhadap suatu tempat menjadi sedikit. Sehingga, dorongan untuk mengembangkan kawasan yang baik sesuai dengan perkembangan masyarakat pun menjadi tidak cukup besar.

Perubahan wajah Kota Bandar Lampung cenderung meningkat dalam beberapa dekade. Ini sesuai dengan perkembangan zaman yang menuntut selalu adanya penyesuaian bagi setiap sektor yang akan menunjang perkembangan tersebut. Berbagai kemajuan diraih, baik dalam sektor formal maupun informal. Begitu pula fasilitas umum, terus dibenahi dengan menambah fasilitas.

Berdasarkan catatan sejarah, Kota Bandar Lampung dapat diilustrasikan secara keseluruhan tidak bersifat statis karena memiliki hubungan erat dengan kehidupan pelakunya yang dilaksanakan dalam dimensi waktu. Dari dimensi waktu, dinamika perkembangan kota ini pada prinsipnya baik dan alamiah karena perkembangan itu merupakan ekspresi perkembangan masyarakat.

Menyatunya Kota Tanjungkarang dan Telukbetung adalah konsekwensi logis dari tiga cara dasar di dalam kota. Markus Zahnd (Perancangan Kota Secara Terpadu. Kanisius-Soegriyapranata University Press, 1999) menyebutkan ada tiga istilah teknis, yaitu, pertama, perkembangan horizontal atau perkembangan yang mengarah ke luar. Artinya, daerah bertambah, sedangkan ketinggian dan kuantitas lahan terbangun (coverage) tetap sama. Perkembangan dengan cara ini sering terjadi di pinggir kota, di mana lahan masih murah dan dekat jalan raya yang mengarah ke kota (di mana banyak keramaian).

Kedua, perkembangan vertikal atau perkembangan yang mengarah ke atas. Dalam hal ini, daerah pembangunan dan kuantitas lahan terbangun tetap sama, sedangkan ketinggian bangunan bertambah. Cara ini sering terjadi di pusat kota, di mana harga lahan mahal dan di pusat-pusat perdagangan.

Ketiga, perkembangan interstisial atau perkembangan yang dilangsungkan ke dalam. Dalam hal ini, daerah dan ketinggian bangunan rata-rata tetap sama, sedangkan kuantitas lahan terbangun (coverage) bertambah. Perkembangan dengan cara ini sering terjadi di pusat kota, di mana antara pusat dan daerah pinggiran yang kawasannya dibatasi dan hanya dapat dipadatkan.

Memang perkembangan sebagaimana dijelaskan di atas tidak hanya terjadi satu per satu, melainkan bersamaan. Dewasa ini dengan dinamika yang sangat cepat, implikasi kualitas perkembangannya sering kurang baik. Sebab, Kota Bandar Lampung membutuhkan manusia yang bertindak.

Keterlibatan itu (harus) terjadi dalam dua skala atau prespektif: “dari atas” dan “bawah”. Skala “dari atas” memperhatikan aktivitas ekonomis-politis (sistem keuangan, sistem kekuasaan/kebijakan, dsb.) yang bersifat agak abstrak. Sedangkan skala “dari bawah” berfokus secara konkret pada perilaku manusia (kegiatan, perbuatan, dsb.). Jadi, tak heran jika Winston Churchill mengatakan, “Manusia akan membentuk kota, kemudian kota akan membentuk manusia”.

Perlu diingat bahwa kota merupakan hasil suatu karya seni sosial. Oleh sebab itu, menilik kenyataan Kota Bandar Lampung dengan adanya perbedaan kultur, agama, etnis, geografis, iklim, teknologi, ideologi, dan lain-lain, seharusnya wajah perkotaan tidak perlu persamaan, tentunya dengan adanya land mark kota. Namun, dalam perkembangannya–yang hampir tidak dapat dihindari kota-kota di Indonesia–adalah terjadinya penyeragaman pembangunan. Jelas sekali gejala penyeragaman wajah kota dengan bentuk-bentuk jiplakan, duplikasi, triplikasi, bahkan multiplikasi harus diantisipasi sedini mungkin, agar tidak terjadi keseragaman wajah kota yang pada akhirnya menimbulkan kemonotononan fasade kota.

Keseragaman wajah kota mengakibatkan tidak adanya identitas kota yang menjadi ciri khas dan kemudian akan disusul dengan menghilangnya kultur-kultur asli karena pergeseran nilai-nilai dengan apa yang disebut modernisme. Dampak yang paling serius adalah terjadinya kejenuhan dalam sikap masyarakat kota yang akhirnya akan berdampak ke masalah urbanisasi (seperti PKL yang menghiasi wajah kota) yang saat ini masih menjadi polemik untuk menentukan jalan keluarnya. Sedangkan penyeragaman di sisi lain, warga kota lazimnya bahasa kekuasaan yang diterapkan bagitu saja pada masyarakat yang kendati mayoritas, sekadar menjadi masyarakat pinggiran (objek).

Para arsitek dan perencana kota tidak boleh menyerah pada nasib dan membela diri. “Kita sekadar merancang dan merencana, tetapi keputusan akhir ditentukan penentu kebijakan, penguasa, dan pengusaha,” demikian pernah dinyatakan Prof. Eko Budihardjo. Kita juga tidak boleh terjebak pada isme-isme yang melanda dan berasal dari negara adidaya, dalam menentukan arah perencanaan dan pengembangan kota.
***

Kota harus membuat betah dam mensejahterakan penduduknya, nyaman dihuni dan enak untuk dilihat. Ibarat sajak yang menyentuh dawai-dawai emosi dengan segala ungkapan-ungkapan cerminan suara hati yang dimanifestasikan dalam bentuk desain. Dapat dibayangkan, Kota Bandar Lampung yang kaya dengan sumber ilham kesenian tradisional yang apabila dapat diwujudkan dengan memadukan unsur seni dan sajak ke dalam proses perancangan dan perencanaan arsitektur.

Karena sebuah kota adalah panggung kenangan, cerminan sejarah dari masyarakatnya secara visual. Antara city dan citizen terdapat keterkaitan yang sangat dekat, saling menjalin, saling memengaruhi. Keunikan perilaku warga kota, kekhasan adapt istiadat, beragam lokasi geografis dan iklimnya dan variasi seni rupa yang diciptakan, semuanya berkontribusi terhadap penampilan dan citra kota.

Tak kenal maka tak sayang. Pepatah tersebut ternyata berlaku dalam rasa memiliki. Sebesar apa anda mengenal anatomi kota tempat anda tinggal. Makin dalam menyelami seluk beluk kota, akan memperdalam perasaan cinta dan memiliki atas kota serta Anda akan merasa bagiannya dari kehidupan seluruh masyarakatnya, dan bukan sekadar tempat tinggal dan me-nguber kebutuhan ekonomi. Lontaran Bang Isbedy tentang kebutuhan “ruang kontemplatif” muncul dalam gagasan membangun “jiwa warga kota” yang ingin terlibat dan melihat pertunjukan berbagai rumpun kesenian nampaknya perlu direspons positif. Sebab kota tanpa tanpa “jiwa” apalah artinya?!
***

Perubahan paradigma pembangunan dapat kita telusuri dari pemberlakuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, yang merupakan konsep dasar otonomi daerah. Saat ini paradigma pembangunan berubah–walaupun kebiasaan lama kadang kala masih dijalankan–dari sistem yang represif sentralistik dan bersifat top down menuju pembangunan yang menekankan partisipasi aktif masyarakat menentukan kebijakan pembangunan.

Untuk menentukan arah pembangunan Kota Bandar Lampung, hal ini erat berkait dengan visi pembangunan kota. Sedangkan untuk mencapai tujuannya, diperlukan ketersediaan software maupun hardware yang relatif memadai untuk dikembangkan. Tidaklah perlu perdebatan konsep otonomi daerah karena di sana jelas termaktub bagaimana pembangunan mesti melibatkan partisipasi warga kota. Lalu mengapa masih ada ungkapan; mana cita-cita kita semua dulu yang komit dan ikrarkan bersama untuk menjadikan kota ini sebuah “kota dalam taman”, mana rasa memiliki dan rasa cinta kita terhadap kota ini yang selama ini kita dengung-dengungkan? (Nurdin Muhayat, mantan Wali Kota Bandar Lampung periode 1986–1995, Lampung Post, 17 Juni 2004).

Pemikiran di atas mendorong kita mengkaji ulang relevansi berbagai teori pembangunan (ekonomi modern) dan pembangunan yang cenderung praktis-pragmatis bagi kelangsungan hidup manusia yang nyaman, damai dan tenteram. Berbagai teori ekonomi dan pembangunan yang selama ini kita kenal, lebih mendorong manusia hidup serakah dengan menguras habis sumber daya. Tujuan strategisnya hanya satu, yaitu agar manusia dalam tempo singkat bisa menikmati segala fasilitas hidup. Hal ini sering mendorong seseorang tidak lagi peduli pada situasi selanjutnya.

Sehingga, peran serta masyarakat secara aktif dalam menentukan penataan kawasan kota juga merupakan partisipasi dan wadah bersosialisasi, sebagai kontribusi atas tanggung jawab jejak sejarah dan kelestarian Kota Bandar Lampung yang menyimpan potensi besar pada sektor wisata budaya dan berbagai sektor lainnya. Pada akhirnya, Bandar Lampung dapat menjadi kawasan yang partisipatif serta dapat diakses bagi semua, selamat, dan tetaplah menggeliat kotaku!

*) Penyair, tinggal di Lampung/ Lampung Post,22 Juni 2004.

Tiga Pekan Melawat ke Belanda, Mengunjungi Penulis Jawa Tempo Dulu, dari Blog ke Buku

Yuli Akhmada
http://www.surya.co.id/

Nama Priambodo Prayitno tentu tak asing bagi kalangan blogger Indonesia, terutama yang biasa pakai Multiply.Com. Ia punya banyak koleksi kartu pos bergambar foto-foto Jawa tempo dulu. Saya mendatangi apartemennya di Delft, di sela-sela kegiatan saya mengikuti kursus online journalism di Radio Netherland Training Center (RNTC) Hilversum yang disponsori STUNNED.

Mas Pri, nama panggilan Priambodo Prayitno, punya blog beralamat di www.djawatempodoeloe.multiply.com. Pada foto profilnya terpasang lelaki Jawa cenderung legam, juga berikat kepala dengan pose lugu.

Di sana terpacak ratusan foto Jawa tempo dulu dari kartu pos. Mas Pri mengelompokkan berdasarkan lokasi, misalnya Batavia, Soerabaia dan Malang. Khusus untuk album Djawa Timoer, ia punya 39 kartu pos. Mulai dari gambar gedung-gedung tua nan cantik, sampai suasana jalan tempo dulu.

Ia juga membuat klasifikasi berdasarkan, misalnya, foto-foto kaum bangsawan dan pembantunya, foto-foto suasana pedesaan dan lain-lain. Lantaran koleksinya unik dan sangat langka, ia punya banyak penggemar. Sampai naskah ini ditulis, dia punya 731 kontak. Komentar dari penggemarnya juga banyak sekali. Jadilah Mas Pri semacam selebriti dunia maya.

Agak ribet juga mengatur waktu untuk bertemu Mas Pri. Saya mesti kursus dari pukul 09.30 sampai 17.00 dan kadang mengerjakan PR, sementara dia mesti bekerja di siang hari.
Maka, kami terpaksa ketemu pada malam hari. Sepulang kursus, saya bergegas sendirian ke stasiun Hilversum setelah mengecek rute dan jadwal kereta api tercepat ke Delft via Leiden melalui situs resmi www.ns.nl. Perjalanan sekitar 1,5 jam.

Di kereta, kebetulan saya bertemu Sirtjo Koolhof, Kepala Seksi Bahasa Indonesia Radio Nederland Wereldomroep. Pada 20 November malam itu, Stasiun Delft sudah sepi. Angin sedang berhembus kencang dibanding hari-hari biasa. Dingin sekali. Saya keluar stasiun, dan merokok. SMS dari Mas Pri saya terima hampir bersamaan dengan saya mengirim SMS ke dia untuk memberitahukan kedatangan saya.

“Sugeng rawuh,” kata Mas Pri sambil menjabat tangan saya. Lelaki itu tinggi besar, tanpa rambut sama sekali, dan tentu saja ramah. Ternyata ia orang Belanda tulen. Nama aslinya Olivier Johannes. Tapi ternyata ia lebih suka dipanggil dengan Oli.

Selama jalan kaki 10 menit ke apartemennya, Mas Pri memberitahu bekas kantor VOC dan bekas Markas Angkatan Laut di Delft yang kini jadi museum. Hari sedang gelap, tak terlalu menarik buat foto-foto. Segera saja kami ke apartemennya. Ada banyak sekali cinderamata dari Indonesia. Ini biasa saja. Banyak orang Belanda yang juga demikian.

Tapi Oli punya keistimewaan dalam hal koleksi kartu pos bergambar Jawa tempo dulu. Ia menyimpannya dalam album, lantas dimasukkan lemari khusus. Sedangkan kartu pos dari negara-negara lain ditaruh di tempat dari besi layaknya penjual.

Jika Oli sejarahwan, saya tak terlalu tertarik bertemu karena memang banyak ahli sejarah Indonesia dari Belanda. Oli seperti orang kebanyakan di Belanda. Ia pegawai toko buku, bersepeda 40 menit dari rumah ke toko pulang pergi. Tapi, Oli menyisihkan begitu banyak uang dari kocek pribadi untuk kecintaannya pada Indonesia.

Ini lain sama sekali dengan sejarahwan yang lazimnya memang mendapat dana lumayan banyak dari pemerintah untuk riset. “Ya, sama halnya kenapa ada orang suka bola,” jawab Oli ketika saya tanya tentang hal apa yang membuatnya gandrung pada Jawa tempo dulu.

Oli bukan kolektor kartu pos biasa. Ia bisa bercerita panjang lebar untuk sepotong kartu pos saja. Sebagian memang sudah dia tuliskan di blognya, sebagian lain dimuat di kolom majalah bisnis terbitan Jakarta.

“Saya juga akan terbitkan buku,” katanya. Oli menunjukkan satu dari dua draft bukunya yang ia cetak sendiri dengan kualitas bagus. Niat menerbitkan buku itu didorong teman-temannya di dunia maya dari Indonesia.

Penerbit dari Jogjakarta sedang menyiapkan bukunya. Temanya seputar potret dan cerita para pekerja Jawa tempo dulu. Mulai dari bakul soto, tukang cukur, bakul jamu dan lainnya.
Penerbit itu mau menerbitkannya dalam bahasa Indonesia dan Inggris sekaligus. Katanya, penerbit-penerbit besar Jakarta maunya hanya bahasa Indonesia. Sayang, buku itu belum akan beredar dalam hitungan pekan. Mungkin beberapa bulan lagi. Tapi rasanya tak akan rugi membeli jika kelak sudah beredar.

Oh ya, pada draft buku itu, dia menuliskan nama samarannya tapi di edisi resmi nanti, ia ingin nama aslinya yang dipakai. Ketekunannya mungkin tak akan mendatangkan banyak uang karena penggemar foto-foto tempo dulu tak sebanyak foto-foto selebriti. Tapi Oli mengerjakannya terutama karena hobi. Oli juga mampu mengisahkan secara memikat foto-foto dalam kartu pos koleksinya.

Ia fasih berbahasa Indonesia, bisa menempatkan antara bahasa tutur dengan bahasa tulis. Maklum, Oli tak terhitung lagi mengunjungi Indonesia. Jalan-jalan utama di Surabaya dia hafal luar kepala, juga di Bandung, Semarang dan kota-kota tua lainnya baik yang besar maupun kecil. Tapi kemana-mana ia selalu sendirian. “Saya masih jomblo,” katanya, tertawa kecil.

Jika di Surabaya, ia lebih suka menginap di sebuah home stay dekat Plasa Tunjungan. Begitu juga ketika di Malang. “Kalau di hotel, saya tidak bisa merasakan suasana Indonesia,” katanya.
Soal Malang, dia punya koleksi 52 kartu pos. Ia pun tahu restoran tua terkenal di sana ternyata sudah beralih kepemilikan melalui proses hukum yang berbelit. “Sebetulnya, pemilik aslinya keberatan nama restorannya tetap seperti sekarang,” katanya.

Sebetulnya pula, Oli bukan sekadar kolektor kartu pos tapi juga buku-buku bermutu terkait Indonesia pra kemerdekaan.

Yang paling saya cemburui adalah tiga jilid buku oleh Rob Nieuwenhuys, memuat foto-foto kehidupan sehari-hari di Nusantara periode 1870-1920. Nieuwenhuys blasteran Belanda-Jawa, menulis pula buku Mirror of Indies berisi ikhtisar “sastra bule” semasa Hindia Belanda. “Saya beli dari pasar loak,” kata Oli. Buku ini di Belanda pun sudah langka, apalagi di Indonesia.

PERTUKARAN PENDAPAT ANTARA GOENAWAN MOHAMAD DAN PRAM

http://www.facebook.com/note.php?note_id=67181919697
NB: betapa superfisialnya retorika Neo Pujangga Baruisme Goenawan Mohamad dibanding bahasa otobiografis Pramoedya Ananta Toer! Kita bisa gampang menilai siapa yang cuma berbasa basi dalam pertukaran pendapat di bawah!!!
-saut situmorang
==============

Surat Terbuka buat Pramoedya Ananta Toer
TEMPO, Edisi 000409-005/Hal. 96 Rubrik Kolom

Goenawan Mohamad

SEANDAINYA ada Mandela di sini…. Bung Pram, saya sering mengatakan itu, dan mungkin mulai membuat orang jemu. Tapi Mandela, di Afrika Selatan, menyelamatkan manusia dari abad ke-20.

Tiap zaman punya gilanya sendiri. Abad ke-20 adalah zaman rencana besar dengan pembinasaan besar. Hitler membunuh jutaan Yahudi karena Jerman harus jadi awal Eropa yang bersih dari ras yang tak dikehendaki. Stalin dan Mao dan Pol Pot membinasakan sekian juta “kontrarevolusioner” karena sosialisme harus berdiri. Kemudian Orde Baru: rezim ini membersihkan sekian juta penduduk karena “demokrasi pancasila” tak memungkinkan adanya orang komunis (dan/atau “ekstrem” lainnya) di sudut mana pun.

Rencana besar, cita-cita mutlak, dan mengalirkan darah. Manusia menjadi penakluk. Ia menaklukkan yang berbeda, yang lain, agar dirinya jadi subyek.

Mandela bertahun-tahun di penjara, orang hitam Afrika Selatan bertahun-tahun ditindas, tapi kemudian ketika ia menang, ia membuktikan bahwa abad ke-20 tak sepenuhnya benar: manusia ternyata bisa untuk tak jadi penakluk. Ia menawarkan “rekonsiliasi” dengan bekas musuh. Ia tak membalikkan posisi dari si obyek jadi sang subyek.

Tiap korban yang mengerti rasa sakit yang sangat tak akan mengulangi sakit itu bahkan kepada musuhnya yang terganas. Ia akan menghabisi batas antara subyek dan obyek. Makna “rekonsiliasi” di Afrika Selatan punya analogi dengan impian Marx: karena proletariat tertindas, kelas ini berjuang agar setelah kapitalisme ambruk, segala kelas sosial pun hilang. Proletariat tak akan mengakhiri sejarah dengan berkuasa, melainkan menghapuskan kekuasaan, pangkal lahirnya korban-korban. Sejarah adalah sejarah penebusan kemerdekaan.

Utopia itu tak terlaksana, tapi tiap utopia mengandung sesuatu yang berharga. Begitu ia menang, Mandela membongkar kembali tindak sewenang-wenang para petugas rezim apartheid yang menindasnya (dan juga tindak sewenang-wenang pejuang kemerdekaan pendukung Mandela sendiri). Proses itu mirip “pengakuan dosa” di depan publik. Kemudian: pertalian kembali. Mandela menunjukkan bahwa pembebasan yang sebenarnya adalah pembebasan bagi semua pihak.

Bung Pram, saya ragu apakah Bung akan setuju dengan asas itu. Bung menolak ide “rekonsiliasi”, seperti Bung nyatakan dalam wawancara dengan Forum Keadilan, 26 Maret 2000, pekan lalu. Bung menolak permintaan maaf dari Gus Dur. “Gampang amat!” kata Bung. Saya kira, di sini Bung keliru.

Ada beberapa kenalan yang, seperti Bung, juga pernah disekap di Pulau Buru, di antaranya dalam keadaan yang lebih buruk. Mereka sedih oleh pernyataan Bung. Saya juga sedih karena Bung telah bersuara parau ketidakadilan. Justru ketika berbicara untuk keadilan.

Bung terutama tak adil terhadap Gus Dur. Bagi seseorang dalam posisi Gus Dur (Presiden Republik Indonesia, pemimpin NU, tokoh Islam, yang tumbuh dalam masa Orde Baru), meminta maaf kepada para korban kesewenang-wenangan 1965 berarti membongkar tiga belenggu yang gelap dan berat di pikiran banyak orang Indonesia.

Belenggu pertama adalah kebiasaan seorang pemimpin umat untuk memperlakukan umatnya sebagai kubu yang suci. Dengan meminta maaf, Gus Dur memberi isyarat bahwa klaim kesucian itu tak bisa dipertahankan, dan tak usah. Tiap klaim kesucian bisa jadi awal pembersihan dan kesewenang-wenangan. Dengan meminta maaf, diakui bahwa dalam peristiwa pada tahun 1965 sejumlah besar orang NU, juga orang Islam lain-juga orang Hindu di Bali dan orang Kristen di Jawa Tengah-telah terlibat dalam sebuah kekejaman. Mengakui ini dan meminta maaf sungguh bukan perkara gampang. Bung Pram toh tahu tak setiap orang sanggup melakukan hal itu. Mungkin juga Bung sendiri tidak akan.

Dengan meminta maaf, Gus Dur juga membongkar belenggu takhayul selama hampir seperempat abad: bahwa tiap orang PKI, juga tiap anak, istri, suaminya, layak dibunuh atau disingkirkan. Gus Dur mencampakkan sebuah sikap yang tak mau bertanya lagi: adilkah yang terjadi sejak 1965 itu? Seandainya pun pimpinan PKI bersalah besar pada tahun 1965, toh tetap amat lalim hukuman yang dikenakan kepada tiap orang, juga sanak keluarganya, yang terpaut biarpun tak langsung dengan partai itu. Kita ingat kekejaman purba: sebuah kota dikalahkan dan setiap warganya dibantai atau diperbudak….

Gus Dur agaknya tak menginginkan kezaliman itu. Ia, sebagai presiden, membiarkan dirinya dipotret duduk mesra dekat Iba, putri D.N. Aidit, yang hampir seumur hidupnya jadi pelarian yang tanpa paspor di Eropa. Dalam adegan itu ada gugatan: bersalahkah Iba hanya karena ia anak Ketua PKI? Jawaban Gus Dur: tidak. Tak banyak tokoh politik yang berbuat demikian, Bung Pram. Tak gampang untuk seperti itu.

Gus Dur juga telah membongkar belenggu “teori” tua ini: bahwa PKI selamanya berbahaya. Ia bukan saja minta maaf kepada para korban pembasmian massal 1965. Ia juga hendak menghapuskan larangan resmi bagi orang Indonesia untuk mempelajari Marxisme-Leninisme. Ia seperti menegaskan bahwa komunisme adalah masa lampau yang menjauh, gagal-juga di Rusia dan Cina. *****ikkan terus “bahaya komunis” adalah menyembunyikan kenyataan bahwa PKI jauh lebih mudah patah dalam perlawanannya dibandingkan dengan gerakan Darul Islam.

Siapa yang menghentikan masa lalu akan dihentikan oleh masa lalu. Gus Dur tidak. Ia sering salah, tapi ada hal-hal pelik yang ia tempuh karena ia ingin masa lalu tak jadi sebuah liang perangkap. Ia memang bukan Mandela yang pernah dirantai. Tapi seorang korban yang memaafkan sama nilainya dengan seorang bukan-korban yang meminta maaf. Maaf bukanlah penghapusan dosa. Maaf justru penegasan adanya dosa. Dan dari tiap penegasan dosa, hidup pun berangkat lagi, dengan luka, dengan trauma, tapi juga harapan. Dendam mengandung unsur rasa keadilan, tapi ada yang membedakan dendam dari keadilan. Dalam tiap dendam menunggu giliran seorang korban yang baru.

Begitu sulitkah Bung menerima prinsip itu? Karena masa lalu seakan-akan menutup pintu ke masa depan? Sekali lagi: siapa yang menghentikan masa lalu akan dihentikan oleh masa lalu.

Tapi mungkin juga Bung hanya bisa melihat korban sebagai perpanjangan diri sendiri. Seakan di luar sana tak mungkin ada. Dalam wawancara, Bung menyatakan setuju bila orang-orang yang tak sepaham dengan Revolusi disingkirkan (ini di masa “Demokrasi Terpimpin” 1959-1965, ketika sejumlah surat kabar diberangus, sejumlah buku & film & musik dilarang, sejumlah orang dipenjarakan). Bung mengakui ini semua melanggar hak asasi. Dan Bung punya argumen: waktu itu “Perang Dingin” dan Indonesia dalam bahaya. Tapi kekuasaan apa yang berhak menentukan ada “bahaya” atau tidak? Dan jika adanya “bahaya” bisa menjadi dalih penindasan, Soeharto pun menjadi benar. Ia juga dulu mengumumkan Indonesia terancam bahaya (”komunis”) di “Perang Dingin”, maka rezimnya pun membunuh, membuang, dan mencopot entah berapa ribu orang dari jabatan. Dan pengadilan dibungkam.

Bung memang menambahkan: ingat, pelanggaran hak asasi waktu Bung Karno tak seburuk dengan yang terjadi di masa Orde Baru. Mochtar Lubis, korban “Demokrasi Terpimpin”, tak dikurung di Pulau Buru, tapi di Jawa. Memang ada perbedaan. Tapi adakah peringkat penderitaan? Bagaimana membandingkannya? Di mana ukurannya bila di masa yang sama, apalagi di masa yang berbeda, ada yang ditembak mati, ada yang disiksa, ada yang di sel, ada yang di pulau?

Dalam sejarah kesewenang-wenangan, semua korban akhirnya diciptakan setara, biarpun berbeda. Suatu hari dalam kehidupan Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru setara terkutuknya dengan suatu hari dalam kehidupan Ivan Denisovich dalam sebuah gulag Stalin. Tak bisa ada hierarki dalam korban, sebagaimana mustahil ada hierarki kesengsaraan.

Saya kira ini penting dikemukakan. Di zaman ketika sang korban dengan mudah dianggap suci, seorang yang merasa lebih “tinggi” derajat ke-korban-annya akan mudah merasa berhak jadi maha-hakim terakhir. Tapi seperti setiap klaim kesucian, di sini pun bisa datang kesewenang-wenangan. Mandela tahu itu. Gus Dur mungkin juga tahu itu. Keduanya merendahkan hati. Saya pernah mengharapkan Bung akan bersikap sama. Saya pernah mengharapkan ini, Bung Pram: bukan sekadar keadilan dan hukum yang adil yang harus dibangun, tapi di arus bawahnya, kebencian pun lepas, dan kemudian hilang, tenggelam. Saya tak tahu masih bisakah saya berharap.
============

SAYA BUKAN NELSON MANDELA
(tanggapan buat Goenawan Mohamad)

Pramoedya Ananta Toer

Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan. Dia berharap saya menerima permintaan maaf yang diungkapkan presiden Abdurrahman Wahid, seperti Mandela memaafkan rezim kulit putih yang telah menindas bangsanya, bahkan memenjarakannya. Saya sangat menghormati Mandela. Tapi saya bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia.

Di Afrika Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia tidak sesederhana itu: kulit cokat menindas kulit coklat.

Lebih dari itu, saya menganggap permintaan maaf Gus Dur dan idenya tentang rekonsiliasi cuma basa basi. Dan gampang amat meminta maaf setelah semuanya yang terjadi itu. Saya tidak memerlukan basa basi.

Gus Dur pertama-tama harus menjelaskan dia berbicara atas nama siapa. Mengapa harus dia yang mengatakannya? Kalau dia mewakili suatu kelompok, NU misalnya, kenapa dia berbicara sebagai presiden? Dan jika dia bicara sebagai presiden, kenapa lembaga-lembaga negara dilewatinya begitu saja? Sekalipun dalam kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur tidak bisa meminta maaf. Negara ini mempunya lembaga-lembaga perwakilan, dan biarkan lembaga negara seperti DPR dan MPR mengatakannya. Bukan Gus Dur yang harus mengatakan itu.

Yang saya inginkan adalah tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa basi. Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia.

Buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang. Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan penganiayaan.

Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya tapol justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi selalu direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau membuatkan KTP. Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar. Basa basi baik saja, tapi hanya basa basi. Selanjutnya mau apa?

Maukah negara mengganti kerugian orang-orang seperti saya? Negara mungkin harus berutang lagi untuk menebus mengganti semua yang saya miliki.

Minta maaf saja tidak cukup. Dirikan dan tegakkan hukum. Semuanya mesti lewat hukum. Jadikan itu keputusan DPR dan MPR. Tidak bisa begitu saja basa basi minta maaf.

Tidak pernah ada pengadilan terhadap saya sebelum dijebloskan ke Buru. Semua menganggap saya sebagai barang mainan. Betapa sakitnya ketika pada 1965 saya dikeroyok habis-habisan, sementara pemerintah yang berkewajiban melindungi justru menangkap saya.

Ketika dibebaskan 14 tahun lalu, saya menerima surat keterangan bahwa saya tidak terlibat G30S-PKI. Namun, setelah itu tidak ada tindakan apa-apa. Dalam buku saya “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” yang terbit pada 1990 juga terdapat daftar 40 tapol yang dibunuh Angkatan Darat. Tapi tidak pernah pula ada tindakan.

Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur. Dia, seperti juga Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim. Saya tidak percaya dengan semua elite politik Indonesia. Tak terkecuali para intelektualnya; mereka selama ini memilih diam dan menerima fasisme. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas penderitaan yang saya alami. Mereka ikut bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan Orba.

Goenawan mungkin mengira saya pendendam dan mengalami sakit hati yang mendalam. Tidak, saya justru sangat kasihan dengan penguasa yang sangat rendah budayanya, termasuk merampas semua yang dimiliki bangsanya sendiri.

Saya sudah memberikan semuanya kepada Indonesia. Umur, kesehatan, masa muda sampai setua ini. Sekarang saya tidak bisa menulis-baca lagi. Dalam hitungan hari, minggu, atau bulan mungkin saya akan mati, karena penyempitan pembuluh darah jantung. Basa basi tak lagi bisa menghibur saya.

Puisi dan Anak-anak Sejarah Zainal Arifin Thoha

Pengantar Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PuJa (PUstaka puJAngga) 2010
Fahrudin Nasrulloh*
http://www.sastra-indonesia.com/

Suatu hari, sekisar pertengahan tahun 2007, saya berjumpa dengan Gus Zainal Arifin Thoha di Pesantren Tebuireng, Jombang. Hari itu diadakan pertemuan alumni. Beberapa teman dan kiai yang saya kenal juga tampak hadir. Salah satunya adalah penyair dari Jeruk Macan, Mojokerto, Kiai Khamim Khohari. Pondok semakin ramai. Dari pintu gerbang terlihat orang-orang hilir-mudik. Kebetulan saja saya menyambangi perpustakaan Wahid Hasyim. Mas Tamrin, penjaga perpus, memberitahu saya bahwa di ruangan tingkat atas barat makam pondok dilangsungkan semacam diskusi di mana salah pembicaranya adalah Gus Zainal. Saya pun menghikmati diskusi itu.

Usai diskusi, kami ngobrol-ngobrol bersama beberapa sejawat. Ia bercerita banyak hal. Tentang perkembangan dunia menulis dan penerbitan di Jogja. Tentang anak-anak asuhnya di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari yang ia dirikan dan kegiatan apa saja yang bergeliat di sana. Tak luput ia menunjukkan karya terbitannya: Aku Menulis, Maka Aku Ada. Buku ini menarik, setidaknya mampu menggebuk gairah penulis pemula. ”Ikatlah ilmu dengan menuliskannya,” saya teringat maqolah ini dari Sayidina Ali. Dan itulah kiranya yang dihisap penuh-seluruh oleh Gus Zainal. Lalu kami turun. Saya berjalan keluar menuju gerbang pondok. Tampak dua pemuda krempeng berwajah kusut menggelar jualan buku dengan beralaskan koran. Aroma ketiak gembel Jogja terasa. Lima kardus bertumpuk di sisi kanan-kiri mereka. Puluhan buku-buku itu rata-rata terbitan penerbit Jogja. Ada belasan judul dari penerbitan Gus Zainal. Sosok ini terbilang unik: kiai muda, punya pesantren, sastrawan, bos penerbit, dan tak jarang menjadi rujukan spiritual sejumlah penulis yang merasa rapuh hidupnya.

Sejak beberapa bulan sebelumnya, saya telah mendengar Pondok Mahasiswa Hasyim Asy’ari asuhan Gus Zainal itu. Sempat sekian kali saya mengunjungi kontrakannya bersama Aziz Sukarno. Lalu bertandang ke Mas Joni, dan darinya saya mendengar banyak hal tentang kiprah Gus Zainal dan pesantrennya. Ada Amrin, Alfian, Bernando, yang saat itu sempat saya kenal dan menjumpai tulisan-tulisannya di beberapa media. Mereka tampak getol berkarya dan mendiskusikan ihwal sastra dan pergaulan antar penulis. Semua punya mimpi. Harapan. Gemuruh untuk menggali potendi diri sebaik mungkin. Sangat jarang ada kiai yang juga penyair seperti Gus Zainal menyerahkan sebagian hajat hidupnya demi anak-anak muda yang rata-rata tujuan mereka mondok di sini adalah untuk belajar menulis, selebihnya ada yang berkuliah, bekerja serabutan, ngawulo, dan macam-macam itu kayaknya sebagai ritual kecil semata. Misalnya Alfian, saya mengenalnya hanya beberapa bulan, ketika ia sering dolan dan ngobrol-ngobrol di kontrakan kami, di penerbit Sadasiva (almarhum), di jalan Permadi, Tamsis. Terkadang ia jalan dari Krapyak malam-malam ke Tamsis. Lama-lama saya kasihan juga, saya bilang padanya bawalah pit onthel saya jika mau. Ia gembira mendengarnya. Dan beberapa bulan kemudian saat terjadi gempa Jogja 2006, saya tak lagi tahu kabarnya, juga dengan kawan-kawan lain di Komunitas Kutub hingga detik-detik terakhir kala Gus Zainal berpulang.

Ada hutang rasanya, yang tak bisa dibayar dan tak tergantikan, bagi mereka murid-muridnya, atau siapa pun yang mengenalnya, akan kebaikan Gus Zainal. Meski saya tidak punya ikatan apa-apa. Tapi saya merasakan itu. Berkarya, tak malas membaca, telaten ngaji dari yang dhahir sampai yang bathin, menyerap ajaran tasawuf dari beberapa guru yang didatangkan, mengongkosi kebutuhan sehari-hari dari menulis, dan Gus Zainal hanya menyediakan pondokan tanpa pungutan, bahkan rumah yang ditempati bersama keluarganya pun masih mengontrak saat itu: dan bagi saya, hal demikian merupakan ”amal kebudayaan” yang akan mendapatkan balasan tersendiri dari Allah dan kelak murid-muridnya diharapkan mampu menjadi penulis-penulis yang berbakat. Barangkali bagi Gus Zainal, ”Pesantren tanpa menghasilkan penulis: ibarat sarang ilmu tanpa laku, sejarah tanpa jejak, atau rumah kosong yang hendak roboh.”

Saya hanya berusaha menilasi jejak ingatan saya itu, dan betapa lamat-lamatnya rekaman itu, saya menyambut antusias rampai puisi Mazhab Kutub yang memuat 14 penyair jebolan dari anak-anak sejarah Gus Zainal ini. Mereka adalah: Matroni El-Moezany, Ahmad Muchlish Amrin, Jufri Zaituna, Mahwi Air Tawar, Ahmad Maltuf Syamsury, Alfian Harfi, Muhammad Ali Faqih, Imam S Arizal, Selendang Sulaiman, Ala Roa, Muhammad Alif Mahmudi, AF Denar Deniar, Bernando J.Sudjibto, dan Salman Rusydie Anwar. Terkait judul antologi, saya agak terusik tanya, kenapa kumpulan ini dinamai kumpulam puisi Mazhab Kutub? Barangkali ”kandang menulis” milik Gus Zainal ini diniatkan sebagai kawah yang munclak-munclak bagi penulis-penulis muda yang gagal, seperti sitiran pada puisi ”Percakapan” karya Salman. Mungkin juga tidak. Tapi bukankah juga pemberontakan yang bertubi-tubi gagal atas diri kepenyairan dan ke-nggletekan sehari-hari merupakan proses panjang yang tak bertuan. Apa itu ”kegagahan dalam kemiskinan” seperti yang diomongkan Rendra? Sekedar untuk membela para penyair yang kebanyakan hidupnya menggelandang? Mungkin tidak ada muluk-muluk yang tersembunyi di dalamnya, pun cita-cita di sana. Cita-cita hanya milik orang-orang malas dan penurut, dan pembangkangan atas apa pun dalam proses kreatif serta ketumpulan-ketumpulan di dalamnya adalah suatu keniscayaan. Keniscayaan sebagai kegelisahan berkarya yang jika itu mati, matilah jati dirinya. Ini negeri, yang juga disesaki penyair-penyair bak di panggung ludruk raksasa, penuh dagelan, sok serius, kebanci-bancian, besar kepala, hipokrit, naif, dan penuh adegan perang main-mainan. Tapi di benak masing-masing juga terselip segala ketawa juga gosip dan gerundelan yang menguar dengan sendirinya atas nama puisi yang cuma tak lebih dongeng keabadian atau pelarian atau pencarian yang adalah omong kosong tapi tak kapok terus dimaknai.

Teman-teman Kutub boleh bikin anekdot sendiri dari merek yang bisa menjengkelkan maupun mengerdilkan. Boleh yang serius boleh yang asal-asalan. Tapi puisi mungkin hanyalah dongeng, dan mereka ini telah membuka pintu ”dunia dongeng” itu dengan tolabul ilmi di ”sekolah rakyat”-nya Gus Zainal. Sekolah rakyat dari pletikan kemanusiaan Gus Zainal yang bagi Emha sekolah rakyat yang demikian itu fungsinya, “ikut berproses, diproses dan memproses kehidupan: tak perlu dilebihkan atau dimatikan. Ia mungkin bersahaja, tapi tetap sesuatu. Ia misteri, bukan karena ‘kekaburan’nya, tapi justru karena ia bukan sekadar kata, ia suatu gerak kehidupan.” (“Sastra Dewa, Sastra Macan, Sastra Tank”, dalam majalah Tempo, 28 Agustus 1982).

Saya kadang berpikir, membikin puisi itu mudah, dengan bekal gairah yang direjang di air yang dididihkan, dengan katakanlah enteng-entengan membaca 50 kumpulan puisi penyair kesohor, dan bla-bla-bla, atau lantaran ditusuk cinta yang tak ketahuan juntrungnya: jadilah puisi, untuk selanjutnya si puisi akan menentukan nasibnya sendiri. Memang lebih kompleks membuat cerpen, esai, atau novel, yang membutuhkan pola berpikir terstruktur, sistemik dalam arti kedisiplinan tertentu yang dilatih secara intensif, perlu strategi teks, pembacaan ”dekat” dan pembacaan ”jauh”, intertekstualitas, dan tuntutan gagasan-gagasan baru agar si karya tidak terjebak pada kopi-paste, pengulangan-pengulangan, dan plagiat. Semua penulis bertarung dan dituntut jeli dalam memilah dan membikin analisis macam itu.

Penyair menghidupi puisi demi puisi itu sendiri. Dan penyair tak perlu menganggap penting apakah dirinya dihidupi atau tersungkur sebab puisi. Di sanalah penyair senantiasa diguyah tanya apalah yang berharga dari menulis puisi dan menulis puisi. Seperti tanpa sadar, segala yang disetiai di dalamnya menjelma ikhtiar meringkus diri untuk tujuan yang semua penyair harapkan demi menggodok proses kreatif itu hingga ke puncak. Bertahan, untuk seorang diri, untuk memilih jalan puisinya sendiri di balik sejarah panjang kesusastraan Indonesia. Seperti lukisan puisi berikut:

jalan-jalan setapak
menjadi jejak dan peta untuk keberangkatan seterusnya
aku kerap tersesat di sini, di pundak puisiku sendiri
(puisi “Malam Ketakutanku”, Bernando J.Sudjibto)

Penggalan puisi Bernando ini menyiratkan jalan panjang itu yang seolah diombang-ambingkan petualangan dalam meyakini puisi sebagai pilihan hidup. Barangkali di negeri inilah yang paling banyak melahirkan penulis puisi. Timbunan angka yang luar biasa kiranya dan itu menjadi pertanyaan besar bagi kita. Apakah mereka begitu menganggap penting memperjuangkan puisi di masa yang tidak berkepastian ini? Sungguh sebuah pilihan yang tak diminati banyak orang. Dan kini semua penyair, jika ingin dianggap dan dikenal, mau tak mau harus bertarung di media massa. Atau menerbitkan karyanya sendiri dengan berkorban menjual sapi atau apalah caranya. Demokratisasi sastra, misalnya wacana sastra koran, telah menjadi bagian sejarah kesusastraan kita yang tidak bisa lagi ditampik keberadaannya. Arus mengalir di sana. Anda bagaimana? Anda siapa dan berada di mana?

Maka, sejenak, lupakan yang tidak jelas, dan sekarang patutlah kita menyambut baik terbitnya kumpulan puisi Mazhab Kutub ini. Gaya puisi yang termuat di dalamnya memiliki daya ungkap masing-masing. Rata-rata bernuansa liris, sebagian deskriptif, dan ada pula yang kontemplatif dan romantis. Ada yang mengolah lokalitas, namun masih dalam upaya pencarian untuk menemukan kekuatan karakter kelokalitasannya. Bagi saya, individualitas dalam berkarya juga penting. Agar terhindar dari keseragaman tematik maupun pilihan estetik. Dan sebagai upaya rekam-jejak, beberapa puisi di kumpulan ini menyiratkan lanskap orang-orang Kutub, sebagai contoh pada beberapa penggalan puisi Muhammad Ali Faqih:

Perantau Di Jalur Bantul-Sleman
– untuk anak-anak kutub

mereka datang dari seberang yang jauh
dengan seribu bayang-bayang tentang kota tua

mereka datang dari masa silam
berbekal peluh dan impian

jalan ini senantiasa menjadi saksi
betapa hidup terasa asing

hari-hari mengalir begitu saja
bantul-sleman telah jadi halaman
atau catatan perjalanan
yang semoga tak hanya kekal dalam ingatan

Judul kumpulan puisi Mazhab Kutub ini tampak “keren” dan “wah” seperti ingin menggeber mencuatkan diri dalam percaturan perpuisian tanah air masa depan. Menyorong mazhab sendiri, gerombolan sendiri. Seakan-akan menyimpan semboyan dari pepatah suku Indian: “Berharaplah musuhmu bertambah kuat!” Lalu dengan siapa mereka mau berlawan bertanding mengacungkan parang dan senapan? Ah, lelucon apalagi ini. Mungkin saya salah-kaprah menyorotnya. Siapa nyana lelucon bisa menusuk mendobrak apa saja, bahwa kaum muda penyair masa kini sudah saatnnya membikin sejarah sendiri dan tidak terlimbur mengelap-elap kebesaran karya-karya masa lalu namun tetap menyelami renik-intinya. Mereka ini bisa saja memiliki “daya-dinaya” (istilah Nurel Javissyarqi) untuk melakukan sebuah “gerakan militan yang progresif” sebagaimana kaum muda-mudi Lekra dan kebaruan dalam berkarya.

Semoga sangkaan konyol saya ini hanyalah cas-cis-cus, bukan impen-impen Gus Zainal.
Salam.
Tabik!

—–
*Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang.

Ki Ageng Suryo Mentaram Mengolah Keadiluhungan Budaya Jawa

Muh Muhlisin
http://cetak.kompas.com/

Kebudayaan berubah ketika seorang pangeran meninggalkan istana dan gelar, mengembara dan berbaur dengan rakyat jelata sebagai rakyat biasa. Kalaupun kisah Sidarta Gautama, cerita Raden Mas Said atau Sunan Kalijaga terlalu jauh jarak waktunya untuk diingat, kita memiliki teladan yang lebih dekat dengan waktu kita hari ini. Ia adalah Raden Mas Kudiarmaji yang berganti nama menjadi Ki Ageng Suryo Mentaram, putra ke-55 Sultan Hamengku Buwono VII.

Dikatakan kebudayaan berubah dengan laku beliau karena saat meninggalkan istana dan melepaskan gelar lalu melakukan kaweruh kepribadian di dalam kejelataan. Sebenarnya orientasi kebudayaan Jawa juga bergeser total dari keraton sebagai pusat ke rakyat, juga jelata sebagai pewahyu kebudayaan. Dalam hal ini, pertimbangan stabilitas sosial, budaya, dan politik menjadi pilihan yang dominan. Adanya dua lingkup budaya, yakni tradisi santri (rakyat jelata) dengan keraton (kerajaan) sebagai perwakilan dari kaum elite (priayi) dijembatani dan mempertemukan keduanya untuk mewujudkan rasa percaya dan saling pengertian dan dapat mengeliminasi konflik-konflik yang mungkin dapat terjadi.

Ironisnya, cerita ini jarang sampai di telinga kita. Brosur-brosur wisata dan konservasi budaya Jawa yang ditulis belakangan masing mengira bahwa keraton adalah pusat budaya Jawa yang paling menentukan dalam keseluruhan laku budaya bangsa Jawa. Ini justru berbeda dari ajaran laku Ki Ageng Suryo Mentaram yang lebih menekankan pentingnya kedudukan pribadi sebagai bagian dari rantai kosmologi Tuhan “raja kawula” dengan “raja” sebagai “sentral”.

Dalam hal ini, pribadi Ki Ageng Suryo Mentaram telah mengubah posisi “raja kawula” ketempat setara dihadapan pribadi.

Franz Magnis Suseno dalam bukunya Etika Jawa menyebutkan adanya dua prinsip utama yang menjadi etika Jawa, yaitu rukun dan prinsip hormat yang hierarkis. Prinsip hormat mengatakan, setiap orang yang dalam cara berbicara membawakan diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain. Prinsip hormat berdasarkan pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkis. Keteraturan hierarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankan dan untuk membawa diri sesuai dengannya.

Budaya Jawa yang memandang raja adalah wakil Tuhan di bumi sebagaimana terdapat dalam Suluk Amongraga Raja memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan orang banyak (masyarakat). Keadaan raja laksana Tuhan itu sendiri. Raja pinandhita (raja dewa) ini merupakan tempat yang bersih bagi persatuan Tuhan dengan manusia karena segala kotoran yang melekat di tubuh telah sirna.”

Ini merupakan pandangan Jawa yang mengarah ke priayiisme, yakni nilai politik menjiwai seluruh aktivitas dalam bidang budaya dan moral. Kesemuanya ditunjukkan untuk mempertahankan kedudukan kelas yang bekuasa atau untuk mengeramatkan kedudukan raja dan pejabat kenegaraan sebagai priayi. Cara pandang yang salah ini kemudian menjadi titik tolak pemikiran Ki Ageng Suryo Mentaram. Dalam ajarannya, sahaja atau sahaya bukanlah suatu definisi kelas atau derajat sosial. Sahaya tidak harus berarti menghamba kepada grup atau kepada kekuasaan kelompok atau kekuasaan genetik seperti kepada raja dengan meniadakan pribadi.

Budaya “njawani”

Meminjam pendapat Boedhihartono dari Jurusan Antropologi Universitas Indonesia, Ki Ageng Suryo Mentaram membebaskan dirinya dari kedudukan dan ikatan keluarga penguasa. Ia berbaur dan mengajak rakyat untuk berfikir kritis dan realistis. Ia mengedepankan nalar untuk menilai apa yang baik dan apa yang buruk serta menghindari ajaran yang bersifat doktrin. Hal ini tentu tidak lepas dari suasana politik dan sosial-budaya yang melingkupinya.

Dalam struktur politik dan sosial budaya yang amat feodal hierarkis, masyarakatnya menengok ke atas. Artinya, raja dan cara kehidupan priayi pencerminan dan idola mereka. Bagi wong cilik berusaha menduduki jabatan rendah seperti lurah desa amat bergantung pada belas kasihan sang raja dan golongan priayi. Loyalitas dan kesetiaan kepada raja menjadi ukuran utama.

Dalam ruang lingkup kondisi seperti itu, bagi Ki Ageng Suryo Mentaram, berpikir rasional dan realistis adalah penting. Karena dalam pandangannya, manusia seharusnya bisa bahagia tanpa bergantung pada keadaan dan waktu. Seseorang tidak harus memiliki kekayaan atau kekuasaan untuk bisa hidup bahagia.

Inilah yang disebut oleh Ki Ageng sebagai nerakanya dunia, yang terbagi kedalam empat perkara, yaitu banyak orang geton (menyesal), semelang (was-was), meri (iri), dan pembegan (sombong). Ketika punya rasa getun dan semelang, manusia tidak akan hidup tenang karena pikirannya dibayangi dengan penyesalan dan ketakutan pada sesuatu yang belum pasti. Mereka yang berhasil mengalahkan kedua rasa ini niscaya akan merasa tatag (percaya diri). Sifat meri dan pambegan akan membuat orang hidup tidak tenang. Jika mampu mengalahkan sifat itu, manusia akan mencapai ketentraman jiwa.

MUH MUHLISIN Direktur Pada Center for Religion and Cultur Studies (CRCS) Yogyakarta.

Bahasa Daerah, Karya Sastra, Amnesia

Ahmad Syubbanuddin Alwy
http://cetak.kompas.com/

Setiap bahasa-sebutlah bahasa Sunda, Jawa, Batak, Belanda, dan lain-lain-adalah produk pengalaman sejarah yang terpisah. Ia merupakan produk organisasi-organisasi masyarakat, sastra, spesialisasi budaya, dan pandangan-pandangan metafisik. (Prof Benedict Anderson)

Susastra atau kesusastraan merupakan bagian penting dari implementasi salah satu unsur eksploratif bahasa, dalam konteks bahasa mana pun. Tak terelakkan juga, kelak susastra menjadi instrumen pergumulan proses kreatif dari mana bahasa itu tumbuh sekaligus dikembangkan. Kehadiran karya-karya sastra di situ kemudian menandai berbagai aktivitas penciptaan gagasan ataupun pencapaian artistik para pengguna bahasa. Dalam perspektif ini, teks karya sastra menegaskan eksistensi bahasa yang mempertemukan interaksi teks dari sosial, politik, budaya, tradisi, hingga religiositas serta representasi sejumlah tafsir terhadap perubahan zaman.

Karya sastra berbahasa daerah tidak saja berfungsi serta berposisi sebagai wilayah dialektis yang mengukuhkan energi tekstual dengan realitas teks-teks di luar dirinya. Namun, kehadiran genre karya sastra ini juga merupakan transformasi dari konstruksi pemikiran yang meletakkan bahasa “berkuasa” mengantarkan ide-ide lebih bermakna. Bagaimana bahasa masih menyisakan percik kekuatan nalar serta memori latar sosial yang dibawanya dan karena itu tidak hanya berdiri menjadi konfigurasi estetika kata-kata?

Bahasa daerah

Fenomena bahasa daerah, terlebih karya sastranya, kini berhadapan dengan realitas publik yang serba terbatas. Bahasa Cirebon, juga rumpun dialek-idioleknya, misalnya, dihidupkan dengan mengikuti jejak “selera massa” yang dibentuk secara pragmatis dalam genjrang- genjreng kemasan musik. Peran sosialnya sebagai teks bercampur begitu rupa dengan bahasa Indonesia, melengkapi harmoni syair-syair dan lagu dangdut pesisiran itu, terkadang dengan simplifikasi seolah tidak diketahui padanan katanya.

Bahasa dan karya sastra Cirebon tidak lagi berfungsi secara literal sebagai gugusan teks yang independen, tetapi juga berdesakan dan berhamburan keluar dari koridor teks-teks bacaan, beralih ke khazanah nonliteral, merayakan booming industri hiburan semata.

Di tengah ingar-bingar kapitalisasi budaya massa sekarang ini, perlahan-lahan bahasa Cirebon, seperti bahasa daerah lain yang kehilangan otoritas publiknya, menjadi teks yang terkesan sangat eksklusif. Bagaimana bahasa dan karya sastra yang semula mampu mendistribusikan makna dan wacana sosialnya tampak dinegasikan? Bahasa daerah, sekali lagi bahasa Cirebon, dengan artikulasi unsur-unsur lokalitas, semestinya dapat membentuk gagasan lebih luas. Namun, kenyataannya, bahasa itu justru telah mengalami pergeseran berbagai orientasi secara acak. Masyarakat Cirebon yang caruban (campuran), berada di antara pusaran arus geokultural Sunda dan Jawa, dan terbuka terhadap penetrasi kebudayaan dari arah mana pun.

Pertanyaan yang perlu dikemukakan di sini, adakah karya sastra yang ditulis dalam format bahasa daerah, dalam konteks ini bahasa Cirebon, mampu merefleksikan berbagai pemikiran yang mendeskripsikan kekuatan unsur-unsur tekstualitas suatu momentum sosial publik para pembacanya? Adakah bahasa Cirebon dalam konteks itu berhasil menjembatani tradisi kelisanan memasuki gerbang keberaksaraan di mana kesadaran berbahasa daerah ditumbuhkan dan dengan begitu kelak berkembang dalam ekspresi ruang akademis? Ruang menyempit

Puluhan bahasa daerah kita memang menghadapi situasi sosial, politik, dan budaya yang sama, yaitu terseret dalam entakan globalisasi budaya instan. Bahasa-bahasa daerah itu mengalami reduksi dan perlahan-lahan ditinggalkan penuturnya dalam lingkup pergaulan ataupun mekanisme sosial bahasa tersebut berasal. Agaknya, melalui ketaksadaran semantik-linguistik, bahasa itu digantikan dengan bahasa yang didesakkan secara visual dalam mobilisasi sistem teknologi kapitalisme yang datang kemudian. Bahasa daerah itu, terlebih karya sastranya, dinisbikan. Para penutur bahasa daerah sendiri merasakan ruang komunikasi yang semakin menyempit.

Mula-mula para penutur bahasa daerah dihinggapi sikap rendah diri. Penggunaan bahasa daerah dalam momentum tertentu tidak lagi menandai sistem sosial yang padu dan berkesinambungan. Akan tetapi, hal itu menghadapkan sikap perlawanan yang oleh beberapa lapisan masyarakat dikesankan kampungan, menjauhkan diri dari sistem pergaulan masyarakat kota yang secara simbolik beradaptasi dengan penggunaan bahasa dalam pencanggihan produk kapitalisme. Bahasa bukan lagi alat komunikasi an sich, melainkan cara pandang yang mendikotomisasi spirit berbahasa memasuki lorong gelap interpretasi. Ironisnya, secara masif hal itu seakan dilegitimasi.

Dengan kata lain, bahasa daerah seperti kehilangan dimensinya sebagai mata rantai dalam siklus kebudayaan yang menyusun kekuatan akar, latar, dan nalarnya sendiri. Kita agaknya telanjur mengabaikan betapa bahasa daerah demikian strategis dalam konteks kehidupan global sekarang ini. Justru karena bahasa daerah telah menandai bagaimana semakin terpinggirkannya kebudayaan lokal, ia masih memberikan spirit untuk menyelam ke dasar sumur sejarah yang menjadi kesadaran serta keteguhan kita menghikmati eksplorasi sosialnya ke depan.

Ia bukan sekadar akumulasi dari endapan peristiwa yang kehilangan memori dan momentum sejarah yang melahirkannya. Ia juga bukan sebentuk amnesia. Ia bukan pula sekumpulan luka yang menyurutkan kita, masyarakat dari berbagai penjuru negeri ini, takluk serta bertekuk lutut menghadapi gagap budaya (culture shock) di hamparan kehidupan yang sangat terbuka.

Titik orientasi Lomba Maca Puisi Basa Cerbon 3 di Gedung Kesenian Nyi Mas Rarasantang, Cirebon, 24-25 Februari 2010, yang diselenggarakan Yayasan Dewan Kesenian Cirebon dan Lingkar Studi Sastra bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat serta Pemerintah Kabupaten/Kota Cirebon menyodorkan ruang alternatif yang membuka bahasa daerah untuk diapresiasi.

Dalam konteks luas, hal itu telah meyakinkan kami, para penyelenggara, kembali menghidupkan solidaritas sosial, kearifan lokal, dan keberagaman kultural yang mengantarkan bangsa ini dapat berdiri dan berdampingan dengan bahasa-bahasa lain di belahan dunia. Bahasa yang menggoreskan limpahan cahaya, mencerahkan publiknya, dan menyusun transformasi kebudayaan yang kian kompleks.

AHMAD SYUBBANUDDIN ALWY Penyair, Tinggal di Cirebon.

MUNCULNYA “PEMBUNUH DI ISTANA NEGARA”

Judul: PEMBUNUH DI ISTANA NEGARA
Tahun: Maret 2010
Penulis: M.D. Atmaja
Tebal: 355 halaman
Ukuran: 11 x 17 cm
Penerbit: SDS Fiction, Yogyakarta
ISBN: 978-602-96664-0-3 Katalog Dalam Terbitan
Harga: Rp. 33.000,00 (berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia).
http://dhianhmda.wordpress.com/

Pembunuh di Istana Negara adalah sebuah novel karya Dhian Hari M.D. Atmaja yang digarap dengan ciri khas dan identitas tersendiri. Selama ini, cerita-cerita cinta hadir sebagai permasalahan personal yang sedikit banyak (dapat dikatakan) bergejolak pada lingkup terbatas dan cenderung melepaskan diri dari dunia realitasnya. Dalam alur cerita Pembunuh di Istana Negara, perasaan cinta seorang lelaki pada perempuan, mampu membawa si pencinta untuk berdiri di antara dua pilihan yang saling berlawanan.

Novel ini secara ringkas menggambarkan perjalanan cinta seorang Paspampres (Kapten Agung Sutomo) untuk menjalani perenungan atas sistem pemerintahan negara. Kapten Agung Sutomo sebagai seorang Paspampres juga mengagumi seorang penulis yang dalam perjalanan kehidupannya, si penulis yang dikagumi ini terasing dari masyarakatnya karena sebuah jalan pikiran yang bersemayam di dalam kepala. Pikiran si penulis itu jauh berada di awang-uwung.

Suatu ketika, Agung menyelinap keluar Istana Negara untuk menemui kekasihnya yang bernama Rina. Betapa sakit perasaan sang Paspampres ketika menemukan sang kekasih sedang bercumbu dengan tangisan dan luka yang kejam menghantam dunia seorang perempuan cantik yang dia cintai dengan tulus. Dari keadaan itu, Agung mengetahui bagaimana luka Rina sampai mengucurkan darah penderitaan yang tidak mampu dia bendung. Terbelenggu di dalam masalah yang sangat rumit dan melibatkan berbagai pihak.

Dengan berselimutkan derai air mata yang dikucurkan Rina, Kapten Agung Sutomo diajak untuk menyaksikan pergulatan penderitaan para petani yang sedang dilanda peperangan. Kapten Agung Sutomo yang setiap harinya bersama dengan Presiden di dalam gemerlap Istana Negara dan kemewahan negara, kali ini dipaksa untuk menyaksikan penderitaan karena perang petani yang tidak mungkin lagi dimenangkan oleh para petani. Kapten Agung Sutomo dengan sambil terus dibajiri oleh air mata kekasihnya menyaksikan bagaimana para petani diusir dengan paksa oleh pada penguasa kaya. Para petani diusir dari tanah yang selama ini mereka jadikan sandaran kehidupan yang panjang dan melelahkan.

Bersamaan dengan rasa sakit yang mengucurkan darah di dalam dada, seorang relasi Kapten Agung Sutomo yang berkerja sebagai seorang wartawan nasional memberikan kabar bahwa dia telah membuatkan janji untuk bertemu dengan sang Wiku (penulis yang dikagumi Agung). Kapten Agung pun berinisiatif untuk mengajak Rina berlibur ke kota sang Wiku, Yogyakarta. Kapten Agung berharap, liburannya ke Yogyakarta mampu menjauhkan Rina dari kesedihan yang berkepanjangan. Akantetapi, setelah Kapten Agung sampai di Yogyakarta dan bertemu dengan sang Wiku, dia kembali teringat dengan penderitaan para petani yang sebentar lagi, tanah mereka akan terenggut begitu saja. Dia pun mencoba untuk mencari jalan keluar dengan meminta pendapat dari sang Wiku yang dia kagumi.

Saat itu, mimpi-mimpi besar yang pernah ditulis sang Wiku kembali terlintas di kepala Kapten Agung Sutomo. Mimpi besar tentang perubahan, tentang negara yang mengedepankan hati nurani dan kemanusiaan dalam menjalankan sistem pemerintahan. Bahwa rakyat adalah segalanya. Kapten Agung pun kemudian berniat melakukan perubahan itu.

Terjadi prahara yang besar karena rasa cinta yang dalam yang dimiliki oleh seorang Paspampres untuk meletuskan pistolnya, dan akhirnya media pun menulis: PEMBUNUH DI ISTANA NEGARA

Pertanyaan yang melintas saat ini, adalah bahwa siapa sebenarnya yang menjadi PEMBUNUH di ISTANA NEGARA? Silahkan temukan kemudian tafsirkan sendiri dengan membaca keseluruhan cerita dari novel PEMBUNUH DI ISTANA NEGARA karya Dhian Hari M.D. Atmaja yang diterbitkan di Yogyakarta oleh SDS Fiction.

NB: Pembelian dapat dilakukan dengan mengirimkan pemesanan melalui alamat e-mail: dhianhmda@yahoo.com , sds.fictionbooks@gmail.com atau melakukan pemesanan via SMS ke nomor HP 085643218682 (Dhian)

Kamis, 03 Juni 2010

Absurditas dari Mojokerto [Max Arifin]

Sunudyantoro, Seno Joko Suyono
http://majalah.tempointeraktif.com/

Sepasang merpati tua demikian mereka menyebut dirinya tinggal di Perumahan Griya Japan Raya, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto. Mereka pekerja seni: Max Arifin, 70 tahun, dan istrinya, Siti Hadidjah, 70 tahun. Pasangan ini tinggal di rumah tipe 36. Di halaman depan yang tak terlalu luas, terdapat sebuah gazebo. Di sanalah anak-anak muda Mojokerto, bahkan Malang dan Surabaya, yang bergelut di bidang seni sering mampir dan berdiskusi soal teater.

Max, pensiunan pegawai negeri sipil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Barat di Mataram, Lombok, dikenal memiliki minat luas terhadap teater. Dewan Kesenian Jakarta akhir Agustus lalu menerbitkan buku terjemahan Max tentang biografi dan pemikiran “absurd” Antonin Artaud, seorang peletak dasar konsepsi teater kontemporer. Buku karya Stephen Barber, Blows and Bombs, tersebut diterjemahkan menjadi Artaud: Ledakan dan Bom. Bukan hanya Artaud. Sebelumnya, Max telah menerjemahkan karya penting Peter Brook, sutradara opera kontemporer berjudul Shifting Point. Juga “kitab suci” para teaterwan eksperimental, Toward Poor Theater karya Jerzy Grotowski.

Di sebuah ruang 4 x 7 meter yang juga merupakan ruang makan, Max sehari-hari mengetik. Di situ ia dikurung dua rak buku-buku filsafat dan sastra. Sekilas Tempo melihat judul-judul koleksinya: Political Theatre karya David Goodman, The Ship of Fool karya Christiana Perr Rossi, An Echo of Heaven karya Kenzaburo Oe, The Blind Owl karya Sadeq Hedayat, buku-buku Nurcholish Madjid dan seri lengkap Catatan Pinggir Goenawan Mohammad. “Hampir semua buku ada, kecuali buku-buku teknik,” katanya.

Tahun 1990an, dunia terjemahan sastra bangkit di Yogya. Max termasuk seorang “pelopor”nya. Penerbit Bentang banyak mempublikasikan terjemahan-terjemahannya. Diantaranya Seratus Tahun Kesunyian (One Hundred Years of Solitude) oleh Gabriel Garcia Marquez. Karya ini pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Jawa Pos tahun 1997. Selanjutnya, Pemberontak (The Rebel) karya Albert Camus.

Mulanya ia banyak menerjemahkan novel untuk cerita bersambung di koran. Tahun 1976 Max menerjemahkan karya James van Marshal berjudul Walkabout (Pengembaraan) dan dimuat sebagai cerita bersambung di Kompas. Tahun 1983, ia menerjemahkan The Beauty and Sadness karya Yasunari Kawabata yang dikasih judul Kecantikan dan Kesedihan dan juga dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kompas.

Semua ini berawal tahun 1976. Saat itu ia mengalihbahasakan The Sound of Waves karya Yukio Mishima menjadi Nyanyian Laut dan dipublikasikan oleh penerbit Matahari, Yogyakarta. Tahun 1980 ia menerbitkan karya Albert Camus berjudul The Stranger, yang ia alihbahasakan menjadi Orang Aneh. Buku ini diterbitkan oleh Nusa Indah Flores. Tahun 1978, Max menerjemahkan Thousand Cranes karya Yasunari Kawabata, yang diterbitkan Nusa Indah Flores berjudul Seribu Burung Bangau.

Agaknya, Yogya dan Sumbawa merupakan sumber inspirasi. Terlahir bernama Mochamad Arifin, ia menghabiskan masa SD hingga SMP di Sumbawa Besar. Saat SMA, ia hijrah ke Yogyakarta bersekolah di SMA Piri, Baciro. Max sempat mengenyam pendidikan di Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Tidak sampai tamat, ia kembali ke Mataram.

Di sana, ia melanjutkan ke Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Mataram. Lulus, ia bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Barat dan menangani seksi drama dan sastra. Di Mataram, ia membina kelompok-kelompok drama SMA dan kampus. Ia pernah menjadi redaktur budaya harian Suara Nusa (sekarang Lombok Post) dan menjadi koresponden majalah Tempo untuk Lombok tahun 1975-1979.

Tak hanya menerjemahkan, Max juga menulis buku. Bukunya Teater: Sebuah Pengantar diterbitkan oleh Nusa Indah Flores 1990. Ia menulis naskah drama Putri Mandalika, yang pernah dipentaskan secara kolosal di Pantai Seger, Lombok Selatan, 1988. Ia menulis naskah Matinya Demung Sandubaya, yang dibawa kontingen Nusa Tenggara Barat pada Festival Teater di Solo dan kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di harian Suara Nusa. Tahun 1990, naskah drama remajanya berjudul Badai Sepanjang Malam diterbitkan oleh Gramedia Jakarta.

Di hari tuanya, Max tetap “gila” buku. Tapi semangatnya tetap semangat seorang pendidik. Ia baru saja menghibahkan 250 judul buku ke Dewan Kesenian Mojokerto. “Biar semakin banyak orang yang bisa menikmati buku,” katanya. Telah 26 buku ia terjemahkan. Kini ia menanti terjemahannya atas buku lama teaterwan Rusia, Konstantin Stanislavsky: My Life in Art (Hidupku dalam Seni) yang akan diterbitkan Pustaka Kayutangan Malang.

Mengapa Stanilavsky masih penting baginya? Sebab, menurut Max, di dalam buku itu ada segudang pelajaran untuk para pekerja seni kita. Stanilavsky -mengharapkan aktornya menjadi seorang humanis. Stanilavsky menolak aktor yang melacurkan hidupnya hanya untuk dikeploki penonton. “Aktor harus memiliki disiplin ketat. Aktor harus selalu menguji dirinya, memiliki standar etika yang tinggi, dan mengejar selera, baik di atas pentas maupun di luar pentas,” kata Max menirukan Stanilavsky.

Zaman Keemasan Teater di Surabaya Sudah Berakhir

Rakhmat Giryadi
http://teaterapakah.blogspot.com/

Kalau boleh ekstrim, pada dasawarsa 90-an, Surabaya mengalami jaman keemasan teaternya. Pada zaman itu, semangat para pekerja teater begitu tinggi. Pada tahun-tahun itu terasa sekali denyut kehidupan teater. Bahkan ada puluhan teater yang aktif, menghidupkan iklim perteateran Surabaya.

Boleh diingat, pada waktu itu, ada teater Jaguar, Dua Lima, Pavita, Rajawali, Nol, Ragil, Sanggar Soeroboyo, Teater Api Indonesia, Bengkel Muda Surabaya, di tambah dengan aktivitas teater di beberapa kampus-kampus yang aktif berpentas.

Pada masa itu, kegitan teater di Surabaya begitu marak, apalagi ditambah dengan adanya festival-festival yang representatif. Demikian juga banyak kritikus yang menyumbangkan pikirannya hingga menjadikan iklim teater Surabaya tidak hanya sekedar ramai di panggung-panggung tetapi juga di media massa. Akhudiat, Max Arifin, H. Bambang Ginting, Autar Abddilah, Zeinuri, L. Makali, adalah orang-orang yang sering menulis berbagai hal tentang teater.

Hampir semua kelompok teater dan kritikus mendesakkan gagasan-gagasannya. Mereka memiliki spirit yang begitu kuat, seakan kehidupan teater di Surabaya memiliki masa depan yang cerah.

Sayang, realitas itu tiba-tiba menjadi berbalik. Pada akhir dasawarsa 90-an, iklim teater di Surabaya yang tadinya gegap gempita tiba-tiba bagai lampu kekurangan minyak. Para pekerja yang tadinya menyorongkan berbagai hal wacana teater, tiba-tiba tak berdaya, melihat ‘teater’ dengan darah berceceran di jalan. ‘Teater’ berarak-arakan di jalan, sambil meneriakan yel-yel, menyumpah serapahi, menjarah, membakar, membunuh, menyeret-nyeret tubuh tanpa kepala, dan menjadikan kepala sebagai bendera kemenangan. Teater Surabaya seperti kehabisan darah segarnya.

Barangkali kalau digambarkan, mereka yang memiliki spirit teater realis, terbengong-bengong melihat realitas di depan matanya yang mengharu-biru. Sementara itu, mereka yang memiliki spirit teater absurd, juga tak kalah bengongnya ketika melihat manusia tanpa kepala diseret-seret keliling kota. Memang, pada akhir dasawarsa itu, Surabaya tergagap-gagap menerima ‘arus deras’ pertikaian budaya (baca : politik, ekonomi, agama, dan ras), yang oleh Yasraf Amir Piliang (2003), digambarkan sebagai masyarakat yang mengalami hipersemiotika. Sebuah dunia, yang di dalamnya kebenaran tumpang tindih dengan kedustaan, keaslian silang-menyilang dengan kepalsuan, realitas bercampur aduk dengan ilusi, kejahatan melebur di dalam kemuliaan, sehingga di antara keduanya seakan-akan tidak ada lagi ruang pembatas.

Akhirnya apa yang terjadi? Sedikit demi sedikit, mereka yang tidak bisa melihat kenyataan, mengundurkan diri dari dunia teater. Intensitas pertunjukan menjadi berkurang. Bahkan, lebih ironis lagi, Surabaya lebih banyak dikunjungi oleh ‘tamu’ dari luar Surabaya dan Jawa Timur, dan tanpa bisa menyuguhi apapun, selalin rasa iri.

Dan rujukan untuk menyebut teater Surabaya, menjadi kesulitan. Karena tak ada kelompok yang benar-benar fenomenal, macam teater teater Kubur (Dindon WS) di Jakarta, teater Payung Hitam (Rahman Sabur) Bandung, Gandrik (Heru Kesawamurti dan Butet Kertarejasa) dan Garasi (Yudi Ahmad Tajudin), Jogjakarta, Gapit (Bambang Widoyo SP), Gidak-Gidik (Hanindawan), Ruang (Joko Bibit) Solo.

Mereka yang berada di balik nama-nama teater itu, telah menjadi ‘juru bicara’ bagi kelompoknya masing-masing, untuk menciptakan sejarah dan menciptakan ideologi, bagi perkembangan teater modern Indonesia. Sementara itu, Surabaya malah seperti kehilangan sejarah. Surabaya seperti tidak punya apa-apa dan siapa-siapa.
Gagah tapi Miskin

Meminjam istilah WS.Rendra, kegagahan dalam kemiskinan, tampaknya itulah yang sedang dihadapi teater Surabaya. Secara ringkas, wajah teater Surabaya, memiliki kendala yang sering diartikulasikan baik lewat tulisan, diskusi, dan pembicaraan sambil lalu adalah masalah miskin gedung yang representatif, stok aktor yang sedikit, sutradara yang langka, penata artistik yang langka, regenerasi yang terputus, masyarakat penonton yang semu.

Sebagaimana telah diramaikan di media massa beberpa waktu lalu, bahwa Surabaya butuh gedung yang representatif untuk pertunjukan teater. Sementara ini, teater Surabaya tidak memiliki gedung yang jadi rujukan untuk pentas. Kalau di Jakarta ada Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Teater Untan Kayu, paling tidak Surabaya harus memiliki satu atau dua gedung yang memiliki arti representatif tersebut. Memang Surabaya ‘tidak memiliki’ gedung yang representatif.

Belum lagi persoalan aktor yang konon tidak mudah ‘diciptakan’. Di Surabaya, meskipun antara tahun 70-90-an secara periodik dalam Lomba Drama Lima Kota (LDLK), telah memilih aktor dan aktris terbaik, juga tak memunculkan aktor yang kuat bertahan berteater. Kemanakah mereka yang pernah mendapat penghargaan aktor dan aktris terbaik LDLK?

Sutradara dalam arti yang sebenarnya, tampaknya Surabaya sangat miskin. Bahkan kalau boleh ekstrim, Surabaya tidak memiliki sutradara, pasca generasi Akhudiat –hanya sekedar menyebut nama. Sejak digulirkanya LDLK-pun juga tidak memunculkan sutradara yang mewakili zamannya. Di Surabaya, sutradara hanya berlaku sebagai pemimpin arstistik dan pelatih. Merekalah yang memberikan intruksi keseluruhan artistik dan bentuk-bentuk latihan yang akan dipentaskan. Sutradara yang memiliki kemampuan literer, boleh jadi Surabaya tidak memiliki.

Bahkan Surabaya dalam kasus perkembangan teaternya seperti a-historis. Dari generasi ke generasi seperti tidak memiliki benang merah. Apakah itu satu usaha kreatif, memberontak dari para suhunya, untuk tidak hanya sekadar perpanjangan tangan dari, Akhudiat, Bambang Sujiono, Wally Sardil, Hare Rumemper, Elyzabet Luther, Bambang Ginting, Meimura, dll? Belum ada yang bisa menyelesaikan persoalan ini, bahwa generasi penerus teater di Surabaya sedang mengalami ketergagapan membaca sejarahnya?

Ketergagapan itu diikuti dengan semakin banyaknya penonton yang meninggalkan teater. Mereka lebih memilih gedung teater 21 dari pada berpanas-panas ria di Gallery DKS yang pertunjukkannya belum tentu memberikan mereka ‘katarsis’ (baca:kepuasan). Barangkali sedikitnya penonton, memang tidak bisa dijadikan tolok ukur sebuah tontonan teater. Tetapi kecenderungan teater semakin ditinggalkan penonton menjadi signifikan dengan kegairahan pekerja teaternya. Bagaimana tidak trenyuh bila telah berproses berbulan-bulan hanya ditonton oleh puluhan orang yang nota bone juga teman-temannya sendiri, yang sudah tahu prosesnya terlebih dahulu? Apakah ini bukan orgasme yang ironis. Sebuah kenikmatan yang menjemput kematian.

Surabaya butuh Teater
Namun demikian, Surabaya masih diuntungkan, ada Teater Api Indonesia (Luhur Kayungga dkk), Ragil (Meimura), Tobong (Dody Yan Masfa), dan beberapa teater kampus yang tidak ada lelah-lelahnya, mencoba menghidupkan teater di Surabaya. Kelompok itulah –disamping kelompok teater kampus, seperti Teater Kusuma (Untag), Teater Institut (Unesa), yang menurut ingatan saya secara periodik –tahunan- bisa mementaskan satu naskah drama, baik karya sendiri maupun naskah babon dari penulis lain.

Paling tidak, kedua arus itulah yang menjadi lampu kuning (baca : tanda-tanda) bahwa teater di Surabaya ‘masih ada’ namun masih membutuhkan eksistensi yang cukup kuat, agar teater tidak sekedar menjadi tontonan tetapi benar-benar menjadi sebuah wacana yang bisa menghadirkan dialetika antar masyarakat pendukungnya (penonton, kritikus, media massa). Bila semua ini terjadi, kehendak untuk berteater memiliki peluang yang melegakan. Teater menjadi memiliki masa depan yang diciptakan atas dasar pemikiran yang terus hidup. (*)

”Black Jack” dan ”Pesta Monolog 2006” DKJ

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Ikon-ikon di panggung yang dipilih Benny Yohanes di dalam panggung Teater Kecil, Senin (14/8) malam adalah sebuah kloset. Puluhan gantungan baju dikait dengan tali dan dua pot bunga. Benny Yohanes memakai celana pendek mirip turis atau orang gila, apalagi dua panci dipasang di tangannya.

Pementasannya bertajuk “Black Jack”. Seperti ikon benda di atas panggung, percakapan surealis dengan metafora dan analogi tidak struktural ini membuat penonton berkerut kening. Antara intel yang sedang menghubungi anak buahnya, si Sobron, untuk menggerakkan para demonstran. Antara anjing herder dan dirinya sebagai anak yang dibesarkan oleh ibu Fatmawanti. Antara kamar mandi dan kloset. Antara hewan dan manusia yang menjadi hewan. Pola perlambangan dalam naskah dan dialog pada pementasan ini memang tidak linier.

Analogi yang muncul ke permukaan akhirnya adalah gonjang-ganjing, lintasan ikon-ikon sejarah yang ditabrakkan begitu saja dalam naskah yang ditulis oleh sutradara sekaligus aktornya.

Eksperimen Benny Yohanes (kerap disapa Benjon) membuat kalimat puitik – yang mengingatkan pada puisi-puisi Afrizal Malna – kini lepas dari kejernihan pemikiran dan dialog Benjon sebagai seorang dosen. Dengan pengungkapan yang stilistik, Benjon telah menjadi aktor “frustrasi” terhadap keadaan negerinya: Viva Fatmawati, pasukan bambu runcing menyita wine, lapo tuak cikal gerakan koperasi, Presiden sekarang mengunyah pidatonya sendiri, Sobron kontak Hercules, sinetron yang gagal.

Kacau, satu kata yang tepat untuk merepresentasi pemanggungan Benjon yang mengantarkan penonton pada ikon-ikon dari gerbang nasionalisme masa lalu dan kehidupan masa kini. Antara sejarah teks proklamasi – nama suami Fatmawati yang pengetik naskah proklamasi, Bung Hatta – beradu dengan realitas intel, segala ikon masa kini. Pujian, sanjungan, penghormatan, kenistaaan, kejatuhan.

Seperti sebuah ledakan yang terjadi dari dunia masa kini. Sebuah kenyataan. Antara teks naskah proklamasi, nama harum Bung Karno dan Bung Hatta, ditabrakkan dengan segala kondisi mengerikan dan anarkis politik, sosial dan budaya yang sedang terjadi sekarang.

Ceracau orang gila, ceracau metafora, ceracau puitik. Efek kekacauan diperkuat lagi dengan bunyi-bunyi para demonstran, suara orang memaki, mengiangkan kembali dialog para preman di pasar dan terminal, hingga suara yang terus bergaung di parlemen dan di istana, dari RUU APP, sensualitas sampai korupsi.

Tujuh Pementasan

Pating-pecotot tokoh di dalam monolog Benjon dengan ikon-ikon posmodernisme, chaotic ini, cukup menimbulkan kepuasan batin dari penonton. Standing applaus segera digaungkan oleh penonton pembukaan “Pesta Monolog 2006” yang digelar selama seminggu di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki.

Seusai pementasan, para penonton yang keluar dari gedung teater itu pun berkumpul di beranda Teater Kecil. Acara peluncuran buku kecil-kecilan diadakan. Bukunya bertajuk “Ledakan dan Bom”, sebuah pemikiran dari Antonin Artaud dan Mengenal Teater Tradisional karya A Kasim Achmad.

“Ledakan dan Bom”, ditulis oleh Stephen Barber (diterjemahkan oleh Max Arifin) ini, membahas konsep, pandangan, dan biografi seniman kelahiran Marseilles 1896 dan meninggal di Paris dalam usia lima puluh dua tahun – setelah lama menderita kelaparan dan menjadi “kelinci percobaan” dari lima puluh kali pengobatan lewat kejutan listrik. “Buku ini akan menambah referensi kita di dunia kesenian khususnya teater,” ujar Kerensa Dewantoro dari Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta.

Setelah Benjon, pementasan selanjutnya adalah monolog Apito Lahire asal Tegal berjudul “Cai” dan monolog Anggie Sri Wilujeng dengan naskah bertajuk “Dewi Kunti” yang keduanya ditulis oleh aktornya sendiri (15/8). Sedangkan hari ini, Asih Hangga Yomi dari Aceh akan mementaskan naskah bertajuk “Patri” yang ditulis Anonim dan Suprapto Budi Santoso dari Makassar mementaskan naskah bertajuk “Ziarah” karya Iwan Simatupang (16/8).

Della Nasution dari Padang Panjang akan mementaskan naskah “Gro Wong” karya Benny Yohanes dan Aib Saiful Huda dari Jakarta mementaskan naskah berjudul “Taiblet” karya Ugenk T Mutijo (17/8). Ni Wayan Indrawati dari Denpasar mementaskan naskah “Wanita Batu” karya Abu Bakar dan Edi Siswanto asal Medan mementaskan “Anjing Masih Menggonggong” karya Yondik Tanto (18/8).

Sedangkan materi berupa workshop akan diisi oleh Kerensa Dewantoro. Dilanjutkan dengan diskusi bersama Ari Nurtanio dan Eka D Sitorus dengan moderator E Sumadiningrat (19/8). Malamnya, usai pementasan Andi Bersama dari Jakarta dengan naskah bertajuk “Gumam Gerutu” karya Ags Arya Dipayana, Kerensa yang asal Bandung itu siap tampil lagi pada pementasan “Kamar Merah” – yang juga karyanya sendiri.

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae