Senin, 24 Mei 2010

Papua dan Resistensi Sastra Pinggiran

Judul: Tanah Tabu
Penulis: Anindita S Thayf
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 2009 Tebal: 240 Halaman
Peresensi: Bandung Mawardi*
http://suaramerdeka.com/

NOVEL Tanah Tabu menyapa pembaca dengan naras-narasi kritis tentang perempuan, kapitalisme, patriarki, dan kekuasaan. Novel jadi juru bicara untuk membuka memori kolektif dan memaparkan pelbagai kebobrokan dan marginalisasi terhadap Papua. Biografi Indonesia masih sekadar menjadikan Papua sebagai catatan kaki. Kondisi membuat orang-orang Papua mengalami pengabaian secara sistematis dan ideologis. Papua justru jadi argumentasi politik dan ekonomi untuk menumbuhkan klaim tentang harga diri Indonesia di hadapan negara-negara lain.

Pengarang sengaja menghadirkan tokoh-tokoh kunci (Mabel, Mace, Leksi) untuk memerkarakan Papua dalam perspektif perlawanan dan kepasrahan dengan keterpaksaan. Mereka hadir dalam konstruksi peradaban tanpa akses dan hak karena negara dan pemilik modal telah melakukan dominasi. Papua jadi tubuh luka oleh perkosaan (eksploitasi) ekonomi, politik, identitas, dan kultural. Novel ini hadir untuk memberi narasi kritis dalam memerkarakan Papua.

Novel ini memenangi Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2008. Dewan juri (Kris Budiman, Linda Christanty, dan Seno Gumira Ajidarma) memilih novel ini dengan sekian argumentasi untuk mengesahkannya sebagai representasi nasib masa depan novel Indonesia. Tanah Tabu cenderung jadi novel dengan suara-suara kritis memakai acuan lokalitas dalam wacana pinggiran kesusastraan Indonesia modern.

Pemakaian latar Papua menunjukkan kesanggupan pengarang untuk diposisikan sebagai pengarang pinggiran. Pilihan latar dan tumpukan masalah tentang Papua selama ini kerap digarap oleh kalangan aktivis politik atau LSM. Kesusastraan Indonesia justru lengah untuk memberi perhatian dan ruang mengenai lakon-lakon kultural dari ranah pinggiran. Pengarang sadar bahwa pilihan menulis novel Tanah Tabu menjadi resistensi terhadap dominasi novel Indonesia dengan latar kultural Jawa dan Sumatra.

Anindita dalam obrolan sastra di Taman Budaya Jawa Tengah (18 Juli 2009) dengan tema Masa Depan Novel Indonesia mengakui: ‘’Saya menyebut Tanah Tabu sebagai sastra pinggiran. Tanah Tabu berkisah tentang manusia-manusia pinggiran dan sengaja dipinggirkan. Kisah tentang prang-orang biasa yang berusaha mengalirkan hidupnya secara wajar. Mereka bekerja, menangis, berkeringat, tertawa, putus asa, dan berusaha apa adanya.’’

Pengakuan ini jadi ideologi estetika dan dieksplisitkan melalui karakterisasi tokoh-tokoh perempuan sebagai korban tapi penantang.

Lakon Perempuan

Tanah Tabu mengisahkan lakon hidup tiga perempuan dalam fase (generasi) berbeda. Mabel jadi tukang kisah tentang proses peradaban di Papua melalui ketengangan kultural dari sisa-sisa kolonial, lokalitas, dan penetrasi kultur pendatang dari Jawa atau daerah-daerah lain. Mabel melakukan afirmasi terhadap model pendidikan dari keluarga asing secara konstruktif. Pengetahuan dan praktik hidup dalam proses peradaban atas nama modernitas itu justru menjadi acuan kritis untuk menolak pelbagai norma-norma hidup di Papua dalam cengkraman patriarki.

Mabel terus melakukan resistensi dari model-model dominasi atas perempuan melalui mesin parta politik, ekonomi kapitalistik, militerisme, dan hegemoni kultural. Perlawanan Mabel kerap menemui ‘’kekalahan’’ tapi memberi spirit bahwa kebermaknaan hidup perempuan tidak ditentukan secara absolut oleh desain kaum lelaki. Spirit emansipatif itu diwariskan pada Mace dan Leksi dengan perbedaan kadar dan bentuk ekspresi. Mace justru mengalami pelemahan karena mengalami represi dari perkosaan sampai jadi korban tindak kekerasan tanpa janji keselamatan. Leksi menjadi pewaris naif tapi sanggup merumuskan diri sebagai perempuan penantang meski masih bocah.

Mabel, Mace, dan Leksi terus menghadapi godaan dari pola kehidupan patriarki, kegenitan politik, intervensi eksploitatif dari negara, dan ekspansi ekonomi pertambangan asing. Papua dan tiga perempuan itu seperti menjadi tubuh terbuka untuk mengeruk uang dan kuasa. Perlawanan dan kepasrahan adalah risiko untuk tetap memiliki haraga diri sebagai perempuan. Rentetan tragedi terjadi tapi tiga perempuan Papua itu belum ingin mati atau berhenti tanpa arti. Resistensi ekonomi, politik, dan kultural membuat mereka jadi santapan dari kekerasan, militerisme, hinaan, diskriminasi, dan marginalisasi.

Resistensi

Ekspresi resistensi terasakan dalam ambisi untuk melakukan demonstrasi karena orang-orang Papua selalu jadi pihak merugi tanpa kompensasi seimbang. Mabel terlibat aktif dalam proses penyadaran terhadap orang-orang Papua. Pelbagai pertimbangan mengenai target dan risiko diajukan untuk realisasi demonstrasi. Seorang tokoh mengekspresikan resistensi dengan tendensi membongkar stereotipe terhadap kaum pribumi Papua di mata para pendatang: ‘’Mereka seharusnya takut sama kita karena mereka hanya pendatang. Orang asing. Mereka mencari uang dan hidup di tanah kita. Jadi kaya dan hidup senang karena mengambil emas kita. Sedangkan kita … tidak dapat apa-apa kecuali kotoran mereka dan janji-janji palsu. Cuihh!’’. Ekspresi ini menjadi bentuk kemarahan atas praktik kapitalisme di Papua tanpa ada janji dan jalan penyelamatan.

Resistensi patriarki menjadi tema penting dalam novel Tanah Tabu dalam bayang-bayang kuasa kapitalisme dan negara. Mabel tidak takut melawan meski taruhan nyawa. Ekspresi resistensi jadi penting untuk membuktikan bahwa orang-orang Papua tidak lemah dan merubah stereotipe orang-orang Papua tak beradab, bengis, atau liar. Mabel adalah juru bicara penyadaran karena memiliki perangkat pengetahuan kritis tanpa harus melakukan gerakan-gerakan kultural secara gegabah dan konyol.

Lakon perempuan dan resistensi terhadap pelbagai mesin dominasi atau hegemoni dirumuskan oleh pengarang dalam ungkapan reflektif: ‘’Di ujung sasr ada perlawanan. Di batas nafsu ada kehancuran. Dan air mata hanyalah untuk yang lemah.’’ Pengarang telah memberikan novel Tanah Tabu ini untuk pembaca dengan pesan penyadaran dan tanggapan kritis. Pembaca memiliki hak untuk membaca dan menilai dalam pelbagai tendensi dan pamrih untuk memerkarakan Papua.

*) Peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai.

Memorabilia untuk Pramoedya Ananta Toer

Fahrudin Nasrulloh*)
http://www.jawapos.com/

Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan.
Duniaku bumi manusia dengan segala persoalannya (Rumah Kaca: hlm. 38)

Pada sore 6 Februari 2009 yang bergerimis ritmis, sampailah saya di Jl Sumbawa 40, Jetis, Blora. Di sepanjang perjalanan dari Jombang, saya terus terusik, apa yang membuat Pramoedya Ananta Toer tak pernah lekang dikenang dan tiada surut ditelusuri banyak orang, terutama kaum pramis dan kawula pergerakan? Novel-novel Pram, seperti Derap Sepur, berlelayapan di benak saya. Saat tiba, panggung telah ramai dengan sejumlah pergelaran festival musik. Saya melangkah ke depan pagar rumah Pram yang berplakat: Sumbawa 40, perpustakaan Pataba. Di dalamnya memang terdapat dua rumah yang bersambung dengan perpustakaan peninggalan Pram itu. Dengan deklit biru sederhana, di sampingnya dibentangkan spanduk bertulisan: Selamat Datang Kawan-kawan di Acara: 1000 Wajah Pram dalam kata & Sketsa. Peringatan seribu hari meninggalnya Pram itu digelar 1-7 Februari 2009.

Para perupa Jogja Joko Pekik dkk (Hari Budiono, Samuel Indratma, Bambang Heras, dan Suatmaji), juga ikut meramaikan acara itu dengan melukis bareng ihwal sosok Pram. Para pengunjung dan pengagum Pram juga dipersilakan menuangkan apresiasinya di kanvas. Di tengah-tengah kerumunan penonton itu, Ilham J. Baday dan Salabi dari Komunitas Arek Museum Surabaya, menampilkan performance art dengan judul ”Abandoned”. Pada puncak acara diluncurkan buku Bersama Mas Pram karya Koesalah dan Seosilo Toer terbitan KPG Jakarta. Lalu dilanjutkan diskusi bertema ”Kisah dan Pemikiran Sastrawan Tierra Humana” dengan pembicara: Koesalah Soebagyo Toer, Ajib Rosyidi, Jusuf Suwadji, dan Sindhunata. Dan, acara dipungkasi dengan pergelaran wayang kulit berjudul Begawan Ciptoning dengan dalang Tristuti Rahmadi.

Bagaimanakah kita sekarang menatap sosok Pram dengan segala kerumuk problematiknya? Mengenang Pram adalah mengenang pahit-getir dan merahnya semangat perjuangan yang tersemat dalam batin dan karya-karyanya. Hidup, bagi Pram, memanglah hanya selangkah dari kematian. Terasa demikian dekat di tenggorokan ketika 14 tahun di penjara Pulau Buru. Pernah suatu hari ia berwasiat: ”Kalau aku mati, jangan bikin apa-apa, jangan didoain, langsung saja bawa ke krematorium. Bakar di sana. Abunya bawa pulang. Mau dibuang juga terserah. Tapi kalau bisa, wadahi, dan taruh di perpustakaanku…”

Ini merupakan cuplikan dari Martin Alieda dalam buku bunga rampai berjudul Pramoedya Ananta Toer: 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa (Jakarta: Lentera Dipantara, 2009). Buku tersebut memuat karya 68 penulis. Mulai esai, puisi, dan catatan kenangan.

Mengenang Pram adalah mengenang sosok yang kontroversial dalam panggung kesusastraan Indonesia. Yang terpanas adalah ketegangan antara aktivis Lekra (termasuk Pram) dengan eksponen Manikebu. Juga perselisihan, secara pribadi antara dia dengan HB Jassin. Antara guru dengan murid. Kita bisa teringat saat-saat awal Pram mengajukan beberapa karyanya ke Jassin namun ia mengacuhkannya. Paham humanisme universal Jassin terasa kian padat dan tidak membumi di mata dan realitas Pram yang humanis sosialis. Dalam surat-menyurat yang penuh genting antar keduanya, Pram pernah menulis begini kepada Jassin (28 Desember 1963), ”Begitulah, ajaranmu tidak cocok dengan perbuatanmu. Aku masih ingat pada suatu tahun waktu kau terbalik dari sebuah becak. Ingat kau apa kataku? Kau menderita bukan karena terbaliknya becak itu, tetapi kerubuhan dagingmu sendiri.”

Sementara, persepsi buruk (mungkin iri) atas karya dari pengarang Idrus, terekam lekat sebagaimana dalam film dokumenter Pram yang diproduksi Yayasan Lontar. Di film itu Pram bercerita bahwa suatu hari ia berkunjung ke Balai Pustaka, sebelum ia menjadi anggota redaksi di sana. Waktu itu Idrus ada di situ, tapi ia belum kenal Pram. Setelah berjabat tangan, Idrus tampak terheran campur sinis dan berucap, ”O, ini Pram? Kau tidak menulis Pram, kau berak!” Meski begitu, hingga akhir hayatnya, Pram tetap menganggap Idrus sebagai guru besar dan pengarang yang punya stylist yang baik.

Selain dari sekitar 40-an lebih novelnya, Pram juga menulis catatan harian. Riwayat diri menjadi hal berharga untuk terus mengasah daya tahan menulis, ingatan, juga perkara-perkara remeh. Dalam satu kesempatan ia berkata, ”Kau sendiri tahu, bahwa sudah sejak kecil aku mengisi diary, dan pada tahun 1947 disita oleh NICA, dari tangan seorang bekas sersan bawahanku, Sugiarto, di pos penjagaan NICA di Bekasi, dan diary itu juga yang membikin dia meringkuk di penjara Glodok selama beberapa bulan.”

Peristiwa pahit itu tidak mematahkan gelora batin dan api hidupnya. Catatan hariannya pada 9 Februari 1982 menilaskan,”Sejak di SD kubiasakan membikin catatan. Jilid demi jilid buku catatan harian itu binasa karena kejadian-kejadian besar –force majeur. Tak tahu aku besok atau lusa juga binasa atau tidak. Sore ini Bung Jassin menganjurkan bikin catatan. Kucoba kembali.

Baginya, daya revolusi yang ia yakini benar, bahkan untuk hal yang teremeh sekalipun, adalah suatu keniscayaan untuk diperjuangkan sampai mati. Ini membutuhkan tekad baja dan telah teruji di mana di sepanjang hidupnya ia banyak diteror musuh-musuhnya dan dinistakan oleh negara di masa Orla maupun Orba. ”Keberanian itu bukan anugerah, tapi hasil latihan hidup sehari-hari. Keberanian itu sama seperti otot manusia. Kalau tidak dilatih, dia akan jadi lemah. Dalam hidup ini, kita menghadapi banyak tantangan. Jangan lari, hadapi semuanya. Itu cara melatih keberanian,” begitulah prinsip Pram.

Menilai Pram tidak mesti digebyah-uyah sebagai jimat bertuah atau situs purba beserta karya-karyanya. Tapi yang pasti, ia adalah ”api inspirasi” bagi siapa pun, terutama kaum muda. Seperti bagi Najib Hermani dan Muhidin M. Dahlan yang mendedikasikan peluh mereka sekian tahun pada penerbit Lentera Dipantara; Eko Arifianto dan Ex Mahardana Wijaya di Blora dan Randublatung bersama Komunitas Pasang Surut, Mataba, SuperSamin, Front Blora Selatan, Anak Seribu Pulau, Rapala, Tugu United, Arsumpala, Lidah Tani, Komunitas Rukun Tani, Roedal Revolt, Kolektif Reaksi, Yayasan Mahameru, LPAW, dan Paguyuban Penghayat Kepercayaan; juga komunitas dan grup musik punk Marjinal yang dimotori Mikael Isrofil dari Jakarta.

Mengenang pram, kini dan mendatang, adalah mengenang si pengendara badai yang melayari cakrawala pikiran dan lelangkah generasi mendatang dengan berpijak pada kejujuran, keberanian, dan kecintaan akan ”bumi manusia” ini. Setelah dimakamkan di Karet Bivak, Pram bukan lagi sebagai cerita, namun sebentang nyanyi ”darah juang” dalam labirin kisah yang bergerak dari waktu ke waktu, seperti lirik syair ”Riders on The Storm”-nya Jim Morison ini: Riders on the storm/ Into this house we’re born/ Into this world we’re thrown/ Like a dog without a bone/ An actor out alone/ Riders on the storm…(*)

Menjaga Tranformasi Keilmuan

Judul Buku : Aku Menulis Maka Aku Ada
Penulis : KH. Zainal Arifin Thoha
Penerbit : Kutub, Yogyakarta
Edisi : Maret 2009
Tebal : xviii + 182 Halaman
Peresensi : Sungatno*
http://cawanaksara.blogspot.com/

Hingga kini, rakyat Indonesia masih mendapat klaim dari berbagai penyelenggara penelitian sebagai bangsa yang minat bacanya rendah. Tak pelak, dari berbagai pihak yang -konon terlanjur- cinta baca, selalu menghimbau dan mengajak bangsa ini untuk berlatih dan membudayakan aktivitas membaca.

Sayangnya, himbauan itu menjadi sia-sia ketika bangsa yang masih malas-malasan untuk membaca ini berkilah. Kilah itu pun tampak logis ketika mereka berdalih bahwa anggaran untuk beli buku lebih baik dialihkan untuk kepentingan yang lebih mendesak kegunaannya. Terlebih ketika harga buku menjadi mahal akibat harga kertas yang melambung. Sementara, perpustakaan yang ada di tengah masyarakat tidak mampu menarik minat baca mereka. Mulai dari koleksi buku yang minim, tidak sesuai dengan perkembangan keilmuan dan informasi, ruangan sempit, panas, banyak aturan dan sejumlah kendala lain yang menghilangkan selera baca.

Namun, menurut KH. Zainal Arifin Thoha –penulis buku ini, tidak seharusnya bangsa ini apatis dengan fasilitas dan sarana bacaan yang realitanya memang masih demikian. Bangsa ini perlu selalu dan selalu membaca. Selain itu, pihak pemerintah hendaknya segera memperhatikan kebutuhan bangsa ini terkait dengan bahan bacaan dan fasilitas lainnya. Bukankah dalam sejarah kemajuan suatu bangsa di dunia ini tidak luput dari kegiatan dan ketekuan membaca?

Selain itu kyai yang menekuni dunia jurnalistik ini mengajak pembaca untuk merenungi aktivitas membaca itu sendiri. Jika kita selalu membaca dan membaca tanpa merenungkan hari esok, aktivitas itu akan menjadi sia-sia pula. Informasi dan keilmuan dalam suatu bacaan akan berhenti pada si pembaca saja. Maksimal isi dari suatu bacaan akan dikonsumsi sendiri dan orang lain yang kebetulan diberi tahu tentang isi tersebut. Akibatnya, konsekuensi logis pun akan menimpa generasi berikutnya. Mereka akan kehilangan kesempatan untuk mengetahui dan menikmati bacaan itu ketika si pembaca dan atau pendengar isi bacaan telah meninggal dunia. Terlebih ketika literatur itu telah musnah atau hilang di telan usia.

Sehingga, selain membaca, bangsa ini hendaknya turut menjaga transformasi ilmu pengetahuan dan informasi yang diperoleh mereka. Tentunya, dengan mendokumentasikan keilmuan dan informasi itu dalam suatu media; baik dalam buku, media massa maupun lainnya. Sayangnya, hal itu masih belum tampak menggairahkan pula. Seiring dengan rendahnya minat baca, bangsa ini masih malas dan kurang peduli terhadap generasi yang akan datang. Maka, bangsa ini perlu segera membudayakan membaca, lantas mengolah informasi dan keilmuan yang didapatkannya guna didokumentasikan untuk dikonsumsi orang lain dan generasi berikutnya.

Budaya Menulis

Meski budaya membaca di negara ini masih dikatakan rendah, tidak semestinya bagi mereka yang telah suka membaca menjadi egois. Egosisme itu perlu diganti dengan kepedulian untuk menyalurkan pengetahuannya kepada orang lain. Adapun salah satu cara untuk mewujudkan kepedulian itu adalah membudayakan menulis. Dengan menulis dan menyebarluaskan pengetahuannya itu orang lain akan mendapat manfaat dan transformasi pengetahuan tidak akan berhenti pada salah satu orang saja. Walhasil, dengan informasi dan ilmu pengetahuan itu, bangsa ini akan lebih maju daripada bangsa terdahulu atau bangsa yang tidak membudayakan membaca dan menulis.

Untuk melengkapi gagasan itu, kyai yang akrab dipanggil Gus Zainal ini menuliskan panduan dan berbagai contoh tulisan-tulisan pribadinya dan orang lain. Mulai dari jenis tulisan opini, resensi, esei, puisi, cerita pendek (cerpen), dan kolom. Dari semua jenis tulisan itu dibahas secara mendetail, santai, dan menggunakan bahasa yang sekiranya cocok untuk membahas jenis-jenis tulisan tersebut. Semisal, ketika membahas opini (gagasan), gaya bahasa yang digunakannya belum tentu sama dengan gaya bahasa ketika membahas esai, puisi, cerpen maupun karya sastra lainnya.

Meski bahasa yang digunakannya menyesuaikan setiap pembahasan yang ada, secara keseluruan gaya bahasa yang digunakannya tidak terlalu berat. Uniknya, susunan gaya bahasa yang digunakan beraroma sastra, lentur, tidak kering, dan tidak monoton pada pilihan kata-kata tertentu. Sehingga, selain mengajak pembaca untuk tetap menjaga gairah membaca dan menulis, buku ini mengenalkan kekayaan khazanah kata-kata bahasa Indonesia yang kemunculannya masih belum banyak diketahui. Selain itu, di akhir buku ini juga disertakan sejumlah email media massa cetak maupun elektronik. Sayangnya, penulis hanya menyertakan email media massa tanpa menginformasikan email penerbit buku yang juga berkaitan dengan budaya membaca dan menulis. Begitu juga, yang ada hanya email saja tanpa alamat media massa dan nomor telephon yang bisa dihubungi.

Terlepas dari itu semua, gagasan untuk menjaga transformasi keilmuan perlu direaliasikan bangsa ini. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupan informasi dan ilmu pengetahuan serta peduli dengan generasi berikutnya. Selamat berkarya.***

*) Ketua Lembah Kajian Peradaban Bangsa (LKPB) Yogyakarta.

Senin, 03 Mei 2010

PIJAR KATA NUREL DI TENGAH ALUN ZAMAN

KRT. Suryanto Sastroatmodjo
http://www.sastra-indonesia.com/

“Cinta sangat menentukan kelanjutan proses penyebab atau proses kehidupan subyek. Sebab ketika berada di titik koordinat, kita jelas mendapati karakter diri sebenarnya atau dengan titik seimbang, cermin diri sanggup merasakan getaran kesungguhan dari sang maha Penyebab Cahaya Ilahi: Apakah kita gemetar atau semakin asyik oleh kesejukan Cahaya. Sebelum sampai ke suatu akhir bernama akibat (mati, timbangan pahala)” dikutip dari buku Kajian Budaya Semi (buku pertama Trilogi Kesadaran), bagian Kajian Sebab atas Subyek, Nurel Javissyarqi. Di situ penulis muda, merupakan intan pemikiran dan mutiara-penggagas keadilan ruh dari Lamongan, bicara tentang pemaknaan hayati.

Mungkin sepadan anggukan halus-lembut dari para pemerhati dari rana manapun di Indonesia saat ini, tatkala kita meriadukakan “Seminya Budaya” yang linuhung, setelah bertahun-tahun menjadi korban dari tikai-cidera, silang-selisih dan goda-goda membawa bangsa kita terkantuk di batu-sandung, kerikil tajam melukai tangan dan kaki dalam hal-hal menuju pada kesantunan situasi, kemuliaan akhlak, banyak pihak (pemikir, penggagas, penyumbang dan penyeimbang mantap masyarakat) dapat dikaji lewat bangsal-bangsal pustaka yang damai-arkadis.

Korolariz dari cita lembut ini, Nurel kita hadirkan dalam hasana sastra yang memiliki pijar penyalaan elok, laras zamannya. Manakala ia menyapa generasi muda di belantara Nusantara, lantaran ingin merefleksikan pijar-kata pula. Barangkali semacam renungan diri yang khusyuk, ditulis secara tepat oleh Nurel Javissyarqi: PEWAYANGAN: Mitos apakah melingkupi tubuh ini /hingga menari-nari di alam sunyi. /Mitos apakah menutupi kalbu ini /sehingga terdiam dalam ramai /dan membalut luka bakar ini? /Segalanya menuju kering serupa /tinggalkan bekas sulit terkelupas; /olehnya berjalan di belakang layar. 1999, dari bukunya; Sayap-Sayap Sembrani.

Nurel menegur para pemimpin bangsa yang sering berseteru ini, agar dapat saling mengendalikan diri, saling berkhidmat, tegar-tabah munajad agar memperolah kecerahan yang indah. Ia berseru agar apabila bangsa ini ingin jaya, kita tanggalkan mitos-mitos duniawi yang menggerogoti jiwa-raga bangsa dan gantilah dengan tafakkur, meditasi membawa kita pada kedamaian esok hari, agar apapun menyebabkan luka bakar (akibat nafsu angkara tiada kesudahan) merusak jasad, merusak kalbu; niscaya terobati.

“Langkah memberi ruang positif, sebagaimana orang sedang berjalan atau beraktivitas memberi ruang positip, di mana pemaknaan gerak ialah energi yang terlaksanakan” (dikutip dari Kajian Budaya Semi, bagian Merekonstruksi – x - = + dalam Korupsi), mendorongnya untuk mengajak bangsanya agar menciptakan kedamaian fikir, hati, nalar agar “positive thingking” menjadi acuan getar hayati, dengan harapan agar energi lebih terjaga sempurna lagi sentausa.

Dalam beberapa getar yang terbeber, Nurel berpendapat; Zaman Trawaca padang Njinglang, zaman pencerahan semesta bakal menyusuri lorong-lorong hati manusia dan tiba pada keyakinan; bahwasannya kemuliaan insan terlahir dari sikap mandiri ini. Dalam hal ini maka pola pikir umat manusia pada jaman kegelisahan justru harus diawali dari diri pribadi kita sendiri. Mengapa tidak? Karena dalam suatu sikap terkepal, membebas, terkristalisir pada era yang ada, selaras spirit jaman (Zeit-geest) yang ada, kita merasa eksis dan dari situ percayalah waktu segala kejadian di masyarakat ini dapat mengikut pola pikir paling tegas.

Barangkali, Nurel mempunyai anugerah sikap yang terbaca jelas lewat buku-bukunya, misalnya “Takdir terlalu Dini” (awal bukunya membedah tentang kemuliaan ruh dimuka bumi lestari ini), di mana Nurel mengharap Tri-dimensi penghampiran qualified ditumpah darah Nusantara kita cinta ini:

(1) Konsep “well-informed dan well educated among nations” [marilah kita tegakkan informasi sejelas-jelasnya tentang agama, budaya, adab-susila (terutama secara Islami) untuk suatu tata nilai yang hidup].

(2) Konsep tentang “inspirating and inspired” [telah teralami dan telah terilhami seluruh umat di jagadnya dengan ajaran-ajaran Islam yang kita hormati dan cintai, terutama al-Qur’an agar kehidupan insan dapat terbawa pada keluhuran, keagungan, kefitrian].

Oleh karena di sini, kita menyinggung soal “lisensi puitika” kebebasan makna, kemerdekaan mimbar, kearifan lokal sang sastrawan, maka sang waktu dapat juga merupakan kancah rohaniah juga membutuhkan discursus pula. Kalau kita mengikuti wawasan Bung Karno dalam “Di bawah Bendera Revolusi” (1960), maka dalam kapasitas pejuang, kita dapat mengharapkan adanya tiga macam gagasan terpadu yang mesti dihayati secara sempurna, yakni; nationalisme-geest (gagasan dan angan-angan nasionalis), nationale-will (kemauan dan tekad nasional) dan nationale daad (perbuatan nasional) yang kita jabarkan dalam bahasa pergaulan kita dewasa ini; angkah lan langkah sing tuwuh saka anggit (tekad timbul dari langkah untuk suatu dinamika) dan dhemen sing tumemea (rasa sayang pada gagasan-gagasan besar yang bisa diresapi maknanya), niscaya bakal mewujudkan realisasi kesejatian makna, terkabulnya aspirasi dan cita-cita luhur.

Maka Nurel Javissyarqi atau (dulu) sebagai pimpinan Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia, Yogyakarta, 5 tahun lewat dalam nama Nurla Gautama (nama pemberian cerpenis Joni Ariadinata) bisa mewariskan martabat bathin lewat buku-bukunya yang “menggigit” di seantero pemikiran unik; akhirul kata terwujudlah semoga ide-ide tentang Nasionalisme Islamis yang kita harapkan dewasa ini; “Ayo bergeraklah, mereka dari ainul yakin menuju hakkul yakin, sempurna. Ayo, kibarkan panji-panji kemerdekaan kalbu mandiri bersemangat baja. Ayo, kita menangkan cita luhur peradaban Islam sepanjang Zaman.

Obsesi dan ketertarikan fa’al juang ialah hak bagi setiap orang yang kepingin merebut ranah ini, misalkan Iqbal, Gibran, Nietzsche dan lain-lain. Namun kreativitas sastra niscaya dapat menyapa orang dan terbawa pada dimensi yang ingin pula diejawantahkan melalui kidung-kidungnya sebagai prosa lirik dan puisi yang khas dimiliki Nurel, sebagaimana dalam Kajian Budaya Semi, yang kita haturkan ini. (Dapatkan gagasan-gagasan Nasionalisme berangkat dari lokal menuju Nasional, menggapai Internasional), niscaya menjadi tumpuan-harapan sebagai kaum usia muda dahaga saat ini, akan pijar kata Islami yang dinamikanya dapat diterbangkan oleh sayap-sayap hati terlembut.

Barangkali, banyak gayung bersambut, kata berjawab, sayap-sayap bathin dan ketakwaan menjamah ranah kerontang ini. Andai-kata kita berjalan melintasi padang-padang dan di sana terdapat sendang, telaga bening, berbahagialah kita, bahwa seteguk tirta akan dapat memberi obat dahaga tersebut, setelah kita menembangkan laguan sunyi sang kelana yang makin lama dilamun rindu, perih, duka. Niscaya, seorang kawula muda seperti Nurel ini merupakan salah satu contoh, dimana Sabda Alam menemukan ujung, dimana salam menjawab misteri hidup, lantaran tiap tapak jelajah bisa diamati pemerhati.

Apakah kita telah menangkap, apapun telah diwedarkan pada ucap-bedah atas telempap sejarah, namun kita masih membutuhkan kata-kata yang lebih nyaring berkumandang lagi, entah ditengah ratri jelaga, entah dipagi-resik, dimana andika sekalian merupakan rekan-rekan seikhawan dalam kelana ini. Demikian…wassalam.

Nagan Lor 21, Yogyakarta. Senin, 23 Mei 2005.
Makalah bedah buku KBS di UIN Yogyakarta 26 Mei 2005, bekerjasama dengan teater ESKA.

Neruda dan Penantianku Ketika Hujan Berlabuh

Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/

Lalu kusentuh hati yang gugur, ketika hujan:
di sana aku tahu itu matamu yang menembusku,
ke pedalaman dukaku yang maha luas,
dan hanya sebuah bisikan bebayang nampak.

Sampailah aku pada soneta LXX dari buku CIUMAN HUJAN: seratus soneta cinta Karya Pablo Nerudah yang disulih oleh Tia Setiadi (penebit Madah, 2009) terhenti aku seketika membaca satu bait itu. pada kenangan seketika menyelinap menyapa.

Dia yang lama pergi meninggalkan aku dalam kesepian dan tak pernah kembali, walau hanya sekedar kasih kabar pun tidak. Tetapi ketika hujan turun, bayangannya ada di antara jatuhnya air hujan. Entah kenapa pula setiap kali hujan datang, rasa sepiku juga datang. Pernah suatu waktu, saking rindu padanya, aku membiarkan tubuhku basah oleh hujan yang berjam-jam lamanya. Hingga tubuhku jadi menggigil, kaku, tak dapat merasa. Itulah paling baik keadaan yang aku rasakan dari pada hanya memandang hujan.

Mungkin saja bawah sadarku selalu menyatuh dengan kepergiannya, ketika saat itu hujan turun dengan lebat dan aku tak bisa menahan, atau mungkin Tuhan memberi isyarat lain atas cintaku padanya. Sebelumnya aku juga punya kenangan, antara buku, hujan, payung.

Aku membuka ulang buku Neruda. Sebab merasa ada soneta yang persis dengan keadaanku. Tepatnya ada pada soneta LXIV. Baiknya aku baca ulang:

Matilde di manakah engkau? Menurun di sana kulihat
di bawah dasiku dan sedikit di atas hati
kesakitan tertentu yang tiba-tiba datang di antara iga,
kau pergi begitu lekas.

Aku butuh cahaya dari energimu
aku mencari berkeliling, patah harap.
Aku mencermati kehampaan tanpamu bagai sebuah rumah,
yang tak berisi apapun kecuali jendela-jendela merana.

Lepas dari kesenyapan yang terjal atap itu mendengar
pada guguran hujan purba yang tak berdaun,
pada bulu-bulu, pada apapun yang ditawan malam:

Maka aku menunggu seperti sebuah rumah yang sepi
hingga kau akan memandangku kembali dan mungkin dalam diriku.
Sebelum itu jendela-jendelaku bermuram durja.

Kepergiannya yang begitu cepat, secepat layu kembang mawar yang aku berikan padanya. Padahal waktu itu aku membutuhkan seorang yang dapat memberi tempat tubuhku bersandar, berbagi renungan atas buku-buku seusai terbaca, berbagi resah tentang kota yang hilang sejarahnya karena penguasa semena-mena. Seperti juga Neruda resah tentang rakyat Kuba “Hai Kuba! Rakyatmu bergantung akan kesabaran akan cahaya bintang di sana” (Nyanyian Revolusi, Jalasutra 2001). Kerena juga Kuba yang penuh dengan penderitaan waktu itu, persis dengan Kota kita, kemiskinan masih dimana-mana, kebodohan masih banyak dipelihara dan segalanya berjalan dengan kesenangan. Aku suka sekali membaca Neruda waktu dia masih sering bersamaku. Dan aku menutup dengan epik-epik Neruda “Sekarang ku buka mata dan teringat: pahit dan ajaibnya sejarah Kuba berkilau dan suram, elektrik dan gelap, dengan eforia dan menjadi penderitaan-penderitaan”.(Nyanyian Revolus, Jalasutra 2001).

Ah, betapa hambarnya hatiku kini.Dia tak pernah kembali, padahal lama penantian kian menepi pada keputusasaan yang dalam. Mungkinkah dia sedang berteduh di bawah payung lain (mungkin saja), dia dulu sering malu untuk berbicara apa adanya. Hanya sekali pernah bercerita tentang: penantian. Itupun seperti kayu yang patah dalam kisahnya yang tak sempurna.

Kini hanya ada Neruda serta Sonetanya dan hujan setiap hari membasahi di ujung jari-jari kakiku. Hingga langkah hanya dapat memanah penderitaan diri, serupa penderitaan rakyat Kotaku, berkali-kali menanti kesejahtraan, tak juga datang, serupa aku yang menantinya.

Sastrawan, Buku, dan Imajinasi

Misbahus Surur
http://www.jawapos.com/

Dalam dunia kepenulisan, totalitas pengarang adalah sebuah keinginan untuk tidak memenjarakan imajinasi. Lidah para sastrawan menjadi jembatan penghubung dunia imajinal ke dunia kenyataan. Keberhasilan memainkan imajinasi menjadi harga mati yang harus dipertaruhkan seorang pengarang. Tidak banyak yang bisa mengeksplorasi cerita menjadi mahakarya yang tak tertandingi. Dari yang sedikit itu, kita diperkenalkan dengan Karl May dengan seri Winnetow-nya, J.K. Rowling dengan serial sihir Harry Potter yang benar-benar menyihir. Dari dalam negeri muncul Agus Sunyoto dengan serial sufisme kontroversial, Syech Siti Jenar (Suluk 1-7), Pramoedya Ananta Toer dengan roman Tetralogi Buru-nya, dan segudang pengarang lain.

Tetapi, yang lebih penting dari itu semua bukanlah karya yang dihasilkan, melainkan lika-liku dan proses panjang yang ditempuh pengarang atas hasil kepengarangannya. Proses yang dilalui pengarang sudah seharusnya menjadi perhatian utama kita. Karena ketika pembaca melihat proses pengarang, maka ia akan belajar lebih banyak dari sana. Kita juga akan tahu bahwa menulis bukanlah sebuah permainan sulap, bim salabim yang sekonyong-konyong ada menurut yang kita kehendaki. Mereka (pengarang) mengalami proses dan tahapan-tahapan yang akhirnya akan sampai pada suatu tahap akhir dari seluruh penyerahan totalitas hidupnya. Karya mereka tidaklah muncul dari arena magis atau semudah kita membalik tangan. Mereka harus melalui proses panjang yang berliku dan terjal. Perlu kesabaran, keuletan dan ketelatenan yang tinggi. Ibarat ulat yang bermula dari kepompong yang pada tahap akhirnya ia akan ber-metamorfosis menjadi kupu-kupu. Tidak berhenti di situ, seorang pengarang punya tanggung jawab besar atas apa yang ia tulis.

Menurut kabar, hingga buku ketujuh ini, oplah penjualan buku Harry Potter mencapai 400 juta eksemplar dan diterjemahkan dalam 64 bahasa. Kiprah petualangan Harry Potter selama satu dasawarsa ini memang telah menyihir ruang baca anak-anak dan siapa saja. Kisahnya terus bersambung hingga sang pengarang memutuskan untuk menghentikan petualangan Harry pada seri ketujuh. Alasannya, pada awal cerita memang setting terakhir telah ditetapkan. Rowling juga ingin seperti pengarang-pengarang lain yang sering membunuh para tokoh rekaannya dengan tujuan agar tidak ada yang menulis kisah pertualangannya yang baru.

Namun, di balik kisah kesuksesan sebuah buku, termasuk Harry Potter, ada saja ulah yang diperlihatkan mereka yang sinis terhadap sebuah karya monumental. Dalam bukunya Aku Ingin Bunuh Harry Potter (Dar! Mizan, November 2007), Hernowo mengungkap perdebatan hebat kalangan ortodoks yang tidak menyukai cerita Harry Potter. Kaum ortodoks Kristen menuduh Rowling mengarahkan anak-anak untuk mempercayai sihir. Dengan asumsi sihir dalam Harry Potter diduga bisa memengaruhi jiwa dan mental anak ke dalam perilaku yang tak masuk akal. Tetapi, Rowling menampik tuduhan itu. Ia menyangkal, justru novelnya itu dapat menumbuhkan kembali minat baca anak-anak, umumnya masyarakat luas. Bukan sebaliknya.

Saya juga teringat dengan fenomena The Satanic Verses-nya Salman Rushdie. Novelis Pakistan keturunan India ini terpaksa harus mengasingkan diri, hidup berpindah-pindah dan rela bersembunyi demi keselamatan hidupnya selama beberapa tahun karena kontroversi novel yang ia tulis. Terutama di negaranya yang mayoritas muslim. Novel yang membuatnya meraih Whitebread Prize 1988 itu harus dibayar dengan harga mahal. Rushdie harus rela dicap kafir oleh mayoritas muslim ketika itu. Karena ia begitu berani bermain-main lewat imajinasinya dengan memasukkan sosok Nabi dalam novel yang ia tulis. Dalam novel tersebut ia dituduh telah menghina dan melecehkan Nabi. Gara-gara novel itu sampai-sampai darahnya halal alias nyawanya terancam. Pemimpin spiritual Iran, Khomeini, menghargai kepalanya dengan uang yang menggiurkan bagi siapa saja yang berhasil membunuh Rusdhie.

Begitu pula apa yang dialami sederet penulis Mesir, seperti Naguib Mahfouz, Nawal El-Sadawi, dan Nasr Hamid Abu Zaid. Mereka dikecam di dalam negeri karena begitu bebas dan berani bermain dengan imajinasi. Menulis dan menyibak sesuatu yang dianggap tabu oleh masyarakat, sehingga mengalami penentangan keras di mana-mana. Bahkan Nasr Hamid diusir dari negeri tempat ia lahir dan dibesarkan. Tidak berhenti di situ, ia dipaksa cerai dengan istri yang dicintainya.

Tak jauh dengan pengalaman di luar negeri, di dalam negeri hal serupa juga dialami sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Pram dan novelnya dituduh sebagai penyebar paham komunisme. Buku Pram mendapatkan kecaman dan juga pembrendelan di mana-mana. Ia dan genre sastranya, realisme-sosial, selalu diidentikkan dengan komunis. Dengan tuduhan inilah Pram harus menghabiskan separo hidupnya di dalam pengabnya penjara. Tiga tahun dalam penjara kolonial, satu tahun pada masa Orde Lama dan 14 tahun dipenjarakan tanpa melalui proses pengadilan oleh rezim Orde Baru.

Tetapi, walau begitu, karya sastra terus ditulis dan dipublikasikan sampai suatu saat nanti ajal menjemput mereka. Karya mereka akan tetap eksis dan hidup di hati para pembaca. Bagi mereka, kemerdekaan berpikir adalah hak asasi yang tak bisa dirampas dan dikekang, bahkan oleh penguasa sekalipun. Oleh karena itu, lebih dari sekadar menulis, saya yakin sesungguhnya yang mereka lakukan jauh dari hal main-main. Tulisan mereka hadir karena gerak jiwa dan keteguhan sikap dalam merespons ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi di sekeliling mereka. Misi mulia ini seharusnya selalu ada, hidup di hati dan senantiasa memperteguh jiwa para penulis. Saya jadi teringat kata-kata sang Hujjatul Islam, Al-Gazali: “Jika engkau bukanlah anak raja juga bukan anak ulama’ besar, maka jadilah penulis.” (*)

*) Penggiat dunia buku, tinggal di Malang.

Sabtu, 01 Mei 2010

Saya Telah Difitnah

AS Sumbawi
http://www.sastra-indonesia.com/

Sungguh. Beruntunglah anda yang bisa baca-tulis. Juga punya kesempatan membaca sebuah tulisan dan mengetahui bahwa Saya telah dijahati. Saya benar-benar telah difitnah.

Memang, ini bukan pertama kalinya. Bahkan sampai sekarang ini, sejak berabad-abad yang lalu, entah sudah berapa jutaan, milyaran, triliunan kali Saya selalu dimunculkan seperti itu. Saya dijadikan tokoh dengan berbagai macam profesi, jenis kelamin, klasifikasi umur, watak, kejadian, dan sebagainya.

Beberapa orang penulis meletakkan Saya sebagai tokoh dari berbagai tulisan; baik novel, cerpen, novelet, dan entah apalagi macamnya; mulai dari cerita cinta yang romantis, detektif, misteri, horor, silat, perjuangan kaum tertindas, petualangan, pencarian, dan sebagainya.

Di antara penulis yang pernah ada dan yang masih ada di dunia, penulis yang berperawakan kurus, berambut pendek yang ikal, berkulit kusam karena jarang mandi, berbola mata menonjol dengan sinar mata yang suram akibat kurang tidur dan jalan-jalan, namun yang menjadi khas fisiknya adalah tiga buah tahi lalat di pipi sebelah kiri yang membentuk segitiga kecil sama sisi inilah yang selalu mengganggu keberadaan Saya dengan menjadikan Saya sebagai tokoh yang mengidap penyakit psikologis. Psikopatik. Narcissis, neurotik, oedipus complex, pengidap depresi dan lain-lain merupakan sesuatu yang tak asing bagi tokoh Saya.

Malam itu, seperti beberapa kesempatan sebelumnya, penulis itu kembali mengagetkan setelah dua hari Saya merasa nyaman.
“Yah!” katanya bangkit dari rebahan sembari menyungkurkan sebuah buku sekenanya ke punggung kasur.
“Hei, bangun.”
“Ah, tuan penulis mengganggu saja.” Ia tersenyum.
“Bangunlah. Aku punya sesuatu untukmu,” katanya menyalakan komputer.
“Fitnah?! Pasti yang itu-itu saja.”
“Jangan komentar dulu. Yang ini lain dari yang lainnya,” katanya meyakinkan.
“Sudah. Jangan cemberut!” tambahnya seraya meng-click program Microsoft Word.
“Awas, kalau mengganggu! Akan kubunuh!” ancamnya dengan berlagak kepada Saya. Lantas ia menarikan jari-jari tangannya pada hamparan tombol keyboard komputer.*

Cerpen yang ditulisnya itu menceritakan seorang anak laki-laki dua puluhan tahun yang melakukan mutilasi terhadap tubuh ayahnya. Dalam pandangannya, si ayah merupakan ayah dan suami yang bejat bagi anak dan ibunya. Si ayah tak menghiraukan kehidupan keluarga. Kerap melakukan penganiayaan terhadap istri dan anak laki-lakinya. Merampas uang hasil kerja istrinya untuk mabuk dan berjudi dan berkencan dengan pelacur. Bahkan juga kerap membawa pelacur tidur di rumah. Hanya tampak satu perilaku baik dalam diri si ayah, bahwa ia menyayangi anak perempuannya yang masih kecil. Ia kerap membawa oleh-oleh untuk anak perempuannya itu ketika pulang.

Merasakan tingkah laku ayahnya, dalam pikiran anak laki-laki itu bersarang keinginan untuk membunuhnya. Setelah beberapa lamanya waktu, rencana itu selalu gagal dilaksanakan akibat segala sesuatunya tidak mendukung. Di samping itu, ia khawatir jangan-jangan ibunya akan berkurang kasih sayang kepadanya setelah tahu bahwa ia membunuh si ayah.

Pagi itu rumah tampak sepi. Hanya ada si anak laki-laki dan si ayah. Sementara ibunya pergi ke pasar dan adik perempuannya pergi sekolah di taman kanak-kanak. Melihat ayahnya yang sedang tidur setelah semalam membawa pulang seorang pelacur dan diteruskan dengan mabuk, ia merasa segala sesuatu mendukung dirinya untuk melancarkan rencana yang sudah menjadi obsesi terbesar dalam hidupnya. Ia kemudian mengambil pisau besar dan menghujam dada ayahnya. Melihat ayahnya meronta, ia menambah intensitas tikaman pisau hingga maut melenggang pergi membawa nyawa ayahnya.

Ia menyeret tubuh ayahnya ke lantai. Kemudian mulai melunaskan apa yang selama ini sering dibayangkannya. Menginjak-injak wajah ayahnya. Menendang kepalanya seperti dalam sepak bola. Membanting kedua tangan dan menghantamkan kedua kakinya ke tembok yang kerap memukul dan menendang ibu dan dirinya. Mengodol-odol perutnya yang membuatnya tak peduli pada kehidupan keluarga. Memotong kemaluannya yang sering digunakan dengan pelacur. Menyakiti ibunya.

Setelah isi dadanya telah dimuntahkan, plong, ia kemudian berusaha menghilangkan jejak-jejak perbuatannya. Ketika kembali setelah menguburkan potongan-potongan tubuh ayahnya yang dibungkusnya dengan karung, ia terkejut saat melihat ibunya telah duduk di kursi dalam kamar. Kepala si ibu bertumpu pada lengannya yang menyilang di atas sandaran kursi. Dan jari-jari tangannya memegang sobekan kaos dalam si ayah. Sementara darah mengotori separuh bagian kamar.

Si Ibu berkata: “Apa yang terjadi? Kau membunuhnya?” Ia tetap diam dan berjalan mendekat.
“Jadi benar kau membunuhnya?! Hei?!” si ibu menamparnya. Ia hanya diam sembari memandang mata ibunya yang bertambah merah. Si ibu kemudian pergi.

Ia sedang menggulung seprei yang berlumuran darah ketika ibunya kembali dengan setimba air dan kain pel. Kemudian membersihkan lantai.
“Cepat. Sebelum adikmu tahu,” kata si ibu.
Segera ia membawa seprei ke belakang, kemudian kembali dengan setimba air bersih.
“Di mana jenazahnya?”
“Telah kusingkirkan.”
“Di mana?”
“Tempat yang aman. Ibu tak usah khawatir.”*

Sudah tiga hari si ayah tak terlihat. Si anak senang bahwa ayahnya mati di tangannya. Ia tak rela ayahnya mati dengan terhormat, karena si ayah tak layak untuk itu. Maka, ia sendiri yang harus membunuhnya. Menurutnya; bahwa mati oleh tangan darahdaging sendiri adalah jalan kematian paling hina. Ia yakin, dengan begitu, semua orang akan beranggapan bahwa ayahnya bejat. Ia senang dengan hal itu, karena ayahnya benar-benar bejat. Bajingan. Dan ia merasa telah membebaskan keluarganya dari duri dalam daging. Membebaskan ibu.

Sebelum peristiwa itu, si anak pernah menduga bahwa ibunya akan shock jika mengetahui bahwa dirinya telah membunuh ayahnya. Tak apa-apa. Memang perlu waktu, pikirnya. Kemudian si anak membayangkan ibunya menyambut gembira ketika ia menemuinya dengan kabar bahwa ia telah membunuh bajingan itu. Ibunya akan mengucapkan mengucapkan ribuan terima kasih dan ribuan pujian. Seperti seorang putri yang diselamatkan oleh seorang ksatria berkuda putih yang gagah berani. Namun, yang terjadi kemudian adalah ibunya banyak diam dan tak menghiraukan dirinya.

Dalam keadaan seperti itu, si anak kerap memperhatikan ibunya ketika sedang melakukan pekerjaan. Pandangan mata ibunya menerawang jauh dan kosong. Si anak yakin bahwa ibunya memikirkan hal-hal yang tak jauh-jauh dari peristiwa itu.

Suatu kali ia memperhatikan ibunya yang melamun ketika sedang mengiris bawang merah. Tanpa sadar ia mengiris jarinya sendiri.

“Ibu!” ingatnya. Si ibu tersentak melihat jarinya berlumuran darah. Matanya merah.
Si anak buru-buru memegang tangan ibunya untuk menghisap lumuran darah di jarinya. Si ibu mengibaskan tangannya lantas pergi. Memang butuh waktu untuk membuat ibu kembali dan lebih menyayangiku, pikirnya.

Sementara si adik perempuan sering menanyakan perihal ayah kepada ibunya. Namun, ibunya selalu mengatakan bahwa si ayah pergi karena urusan penting. Sebenarnya, si anak laki-laki tidak setuju dengan jawaban ibunya yang berbohong kepada adik perempuannya itu. Ia berharap ibunya akan berterus-terang bahwa bajingan itu telah mampus dengan sepantasnya.

Beberapa hari kemudian, si anak ditangkap polisi atas laporan ibunya. Jenazah si ayah pun telah diketemukan dan tengah diperiksa tim forensik. Dalam keadaan seperti itu, dalam proses persidangan kasusnya, si anak yakin bahwa palu hakim ada di pihaknya. Namun jika sebaliknya, ia menganggap palu hakim telah semena-mena kepadanya. Karena ia merasa berbuat kebaikan dengan membunuh bajingan itu. Si anak jadi membenci ibunya karena maju menjadi saksi dalam persidangan. Menurutnya, seharusnya ibunya menjadi lebih sayang kepadanya. Karena ia telah menyelamatkan ibunya. Si anak juga membenci para wartawan yang seenak-udel menuduhnya sebagai pembunuh berdarah dingin.

Hari itu palu hakim memutuskan si anak bersalah. Sehabis persidangan si ibu mengunjungi dirinya di penjara. Tidak seperti biasanya, saat itu ia bersedia menerima ibunya. Lantaran melihat kesedihan ibunya yang teramat dalam. Ia sangat menyayangi ibunya.

Sebelum pulang ibunya berkata: “Aku tak mau kau menjadi buronan dan hidup sengsara dalam pelarian, Nak. Makanya aku melapor ke polisi. Aku berharap setelah keluar dari sini, kau bisa menjadi orang baik. Benar-benar sembuh. Aku menyayangimu, Nak.”
Si anak kecewa dan marah. Ia mengumpati mereka semua.

“Ah, bajingan. Mereka semua menganggapku sakit seperti anggapan dokter jiwa dan psikiater yang tidak valid itu. Psikopat.”
“Ya, ya, baiklah. Tapi, aku berharap cepat-cepat keluar dari sini. Aku ingin mengajarkan kebenaran kepada mereka semua,” katanya tersenyum dengan harapan. {}*

“Yah. Selesai,” katanya kemudian memencet tombol Control dan S.
“Bagaimana?” tambahnya.
“Tuan penulis, Saya bosan. Katanya, ceritanya lain dari yang lain.”
“Lho, memang lain.”
“Tapi, tetap saja dengan penyakit psikologis-psikopatik.”
“Ya, memang. Tapi, bagus khan. Apalagi penutupnya itu,” ia menatap ke layar computer dan membaca dua baris terakhir: “Aku berharap cepat-cepat keluar dari sini. Aku ingin mengajarkan kebenaran kepada mereka semua.”

“Bisa kaubayangkan bagaimana seorang psikopat berkata seperti itu,” tambahnya tersenyum. “Pembaca akan shock.”
“Tapi, tuan penulis. Saya bosan menjadi tokoh psikopat. Bagaimana kalau sekali-kali Saya dijadikan sebagai seorang pria yang tampan, berkelakuan sopan, kaya…”
“Hem, kaya?! Kok enak?!”
“Ya, miskin juga nggak apa-apa, deh. Tapi yang rajin bekerja…”
“Profesinya apa?”
“Ehm, penulis saja. Seperti tuan.” Ia tersenyum.
“Kemudian Saya jatuh cinta dan menikah dengan seorang…”

“Pelacur?!”
“Bukan. Gadis yang sangat cantik. Dan kaya.”
“Hem, lelaki mana yang tak suka?!”
“Iya. Gambarannya seperti ini, jika seluruh perempuan cantik di dunia ini dikumpulkan, maka kecantikan perempuan tersebut adalah hasil dari persekutuan seluruh perempuan cantik tadi. Sederhana, toh.”

“Wah. Aku jadi ingin tahu. Penasaran bagaimana cantiknya dia.”
“Pokoknya, tuan tulis saja seperti itu.” Ia mengiyakan kepala dengan tersenyum.
“Dan bagaimana dengan ceritanya, Saya percayakan kepada tuan. Tapi, harus yang romantis, heroic, dan happy ending.”
“Aku tidak mau,” katanya seraya melompat. “Itu akan membuat pembaca suka melamun. Mengkhayal.”

“Tapi, Saya ingin seperti itu. Dan Saya yakin, banyak pembaca yang akan suka.”
“Pokoknya, a-k-u t-i-d-a-k m-a-u.” Ia diam sejenak. “Kau tahu karya sastra yang oleh para kritikus dibedakan sastra serius, mainstreem dan sastra pop, kitch?” Saya hanya diam dan cemberut.
“Tidak usah kusebutkan bagaimana para kritikus membedakan ciri-ciri keduanya. Tapi, menurutku,… hei, dengarkan.”
“Iya. Saya tidak tuli.”

“Sudah. Cemberutnya berhenti…” ia mengambil rokok dan menyulutnya. Lihatlah, gayanya seperti penulis besar. Padahal, mutu karyanya masih kalah dengan karya-karya dari penulis yang jauh lebih muda darinya. Lihat, bagaimana dia menghisap rokok dan mengeluarkan asapnya. Huh, menyebalkan.

“Kau tahu?! Bagiku, karya yang membikin melamun dan mengkhayal itu yang dikategorikan kitch. Sementara yang membikin merenung dan berpikir itu yang dikategorikan mainstream.”

“Terserah tuan. Masalahnya, Saya bosan menjadi pengidap penyakit psikologis-psikopatik.”
“Huh, dikasihtahu kok.” Ia mengisap rokoknya. “Sana. Aku mau membaca cerpen tadi. Barangkali ada yang perlu direvisi,” katanya kemudian menyalakan printer.
“Ehm, enaknya judul apa, ya?!”
“Saya Bosan Sama Tuan, judul yang bagus.”
“Diam. Awas, kubunuh kau?!” ancamnya.*

Seminggu sudah penulis itu tidak menyapa Saya. Maklumlah, ia akhir-akhir ini kerap bepergian dengan vespa tuanya. Akan tetapi, seminggu tak menyapa Saya masih cukup sebentar dibandingkan beberapa waktu yang telah berlalu. Ia pernah tak menyapa Saya selama tiga bulanan. Meskipun, ia sudah beberapa kali mencoba dan bertemu Saya. Saya tenang dengan keadaan Saya.

Sementara rumah kecil di sebuah perumahan yang dibelinya dengan kredit itu kerap kosong. Ia belum beristri dan tinggal sendiri, meskipun menurut rencana dua bulan lagi ia akan menikah dengan teman kuliahnya dulu. Ia pun jarang berkunjung ke rumah orangtuanya di luar kota. Hanya lebaran saja.
Tiba-tiba pagi itu dia pulang dan mengagetkan Saya.

“Hei, bangun! Aku punya sesuatu,” katanya menghidupkan komputer.
“Apa tuan?!
“Lho, dasar pikun.”
“Benarkah?!”
Kemudian ia membeberkan idenya. Ceritanya tentang lelaki tampan dari Timur Tengah yang menjalin cinta dengan seorang gadis yang cantik dan kaya. Berprofesi sebagai novelis muda yang cukup ternama. Ia seorang yang megalomania, yang melakukan bunuh diri hanya karena kecewa dengan karyanya. Ia menganggap karya-karyanya yang terakhir mengalami penurunan kualitas. Tidak sedahsyat karya-karyanya yang sebelumnya. Sementara kekasihnya, gadis cantik dan kaya itu masuk rumah sakit jiwa karena kenyataan itu.

Penulis itu tampak berpikir dan belum mulai menulis.
“Tuan penulis.”
“Hem, mengganggu saja. Apa?”
“Saya bosan. Saya ingin dijadikan seperti apa adanya.”
“Gila apa?!” katanya dengan melompat. “Itu sama saja bunuh diri.” Saya merinding.
“Kau tahu. Kalau aku menjadikan dirimu apa adanya, lantas apa yang akan terjadi. Kau itu murni. Tidak ada apa-apanya jika tidak dijadikan sebagai yang lain. Makanya, harus difitnah agar menjadi ada,” katanya dengan mimik serius.
“Terserah tuan, deh. Saya pasrah. Memang sudah nasib Saya menjadi korban fitnah.”*

Memang, ini bukan pertama kalinya. Bahkan sampai sekarang ini, sejak berabad-abad yang lalu, entah sudah berapa jutaan, milyaran, triliunan kali Saya dijadikan korban. Difitnah oleh para penulis yang pernah ada dan yang masih ada di dunia. Akhirnya, Saya tahu. Dan langkah terbaik bagi Saya selanjutnya adalah masa bodoh.

Saya masa bodoh dengan apa yang akan ditulis oleh penulis dengan tiga buah tahi lalat di pipi sebelah kiri yang membentuk segitiga kecil sama sisi itu. Terserah. Akan tetapi, sungguh Saya masih beruntung. Karena anda bisa baca-tulis. Dengan begitu, anda tentu saja bisa menjadi saksi bahwa Saya telah difitnah. Karena ngomong-ngomong, dua kakek dan dua nenek dari penulis yang tengah kita hadapi ini, buta dalam bahasa Indonesia. Ia hanya bisa membaca huruf arab dan pegon saja.

Dan kertas-kertas yang menampung huruf-huruf dalam cerpen yang akan ditulis oleh penulis ini, akan membantu Saya. Begitu juga dengan buku-buku dan media massa. Menjadi bukti pada pengadilan nanti.
“Bagaimana tuan penulis?”
“Diam! Sudah bosan hidup, ya. Minta dibunuh?! (*)

HANTU JIWA IMAN BUDHI SANTOSA

Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/

Iman Budi Santosa lahir di Magetan, 28 Maret 1948. pendidikan formalnya: S. Pb. M. A. 4 th Yogyakarta (1968) dan Akademi Farming (1983). Ia pernah bekerja pada perkebunan teh di Kendal (1971-1975) dam Disbun Prop. Dati I Jateng (1975-1987). Pada tahun 1969 bersama Umbu Landu Paringgi Cs mendirikan Persada Studi Klub (PSK) komunitas penyair muda di Malioboro.

Para Peletak Dasar Teater Modern

Rakhmat Giryadi
http://teaterapakah.blogspot.com/

Pada suatu ketika kelas borjuasi tidak lagi ingin menonton lakon raja-raja, bangsawan-bangsawan; mereka ingin melihat diri mereka sendiri. Maka tidak sia-sia, George Lillo (1731) menulis lakon tentang magang, pelacur, dan saudagar dalam karyanya Saudagar London. Jelas dalam lakon ini tokoh-tokoh kerajaan tidak hadir seperti yang terjadi dalam teater Elizabethan, yang hanya menampilkan wajah kerajaan.

Kebangkitan kelas borjuasi merupakan salah satu sebab munculnya realisme. Realisme bangkit seiring dengan tumbuh dan berkembang kelas, burjuis di Eropa. Realisme dianggap tonggak kebangkitan teater modern seiring dengan bangkitnya Renaesan, dunia perdaganganpun di Eropa mulai maju. Perlahan-lahan pengaruh dan kekuasan berpindah dari golongan aristokrat pemilik tanah dan pedagang.

Kebangkitan kelas burjuasi merupakan salah satu sebab yang mendukung munculnya realisme. Ada juga kekuatan lain yaitu perkembangan Ilmu pengetahuan. Teori evolusi Darwin, Positivisme Auguste Comnte, serta teori-teori psikologi Freud dan masalah-masalah sosial yang menentang pendekatan secara ilmiah, menimbulkan suatu cara pandang yang khas pada kehidupan.

Dinyatakan oleh Kernodle bahwa realisme menyajikan gagasan untuk menampilkan suatu bagian dari kehidupan. Di atas panggung akan terbayang sepotong kehidupan, sehingga jagad panggung merupakan penyajian kembali kehidupan indrawi. Secara teknis pementasan di atas panggung diusahakan menggambarkan kehidupan sering mungkin. Pentas dan perlengkapan panggung menggambarkan ruang duduk suatu keluarga, atau ruang kantor dan ruang lain yang paling umum dilihat oleh penonton.

Selain properties, setting dan kostum yang secara pasti berkorespondensi dengan realita, realisme konvensional juga menolak gaya akting yang berlebihan. Pencetus utama untuk gaya berperan realis adalah Konstantin Sergeyevich Stanislavsky (1865-1938). Stanislavsky menekankan arti penting gaya berperan yang wajar, tidak dibuat-buat dan menolak gaya bicara deklamatoris. Dasar dari pemeranan ini mengungkapkan tingkah laku manusia sesuai dengan penernuan-penernuan di bidang psikologi.

Pendekatan pemeranan Stanislavsky dengan metode psikologi sangat sesuai untuk menganalisa tokoh-tokoh yang diciptakan dalam lakon realisme. Tokoh-tokoh dalam drama ini hadir sebagai individu-individu yang ada dalam keseharian dengan karakter penuh kontradiksi.

Teater realisme sifatnya sastrawi (literrer). Bahasa sangat menonjol sehingga terkesan verbal. Hal ini dapat dimengerti karena hanya dengan bahasalah cocok untuk mengungkapkan yang bersifat intelektual dan analitik. Seperti halnya kegiatan masyarakat Eropa. Kecenderungan intelektualitas ini diwakili tokoh realisme dari Inggris, Shaw dimana ia menulis dialog sebagai disksi dan debat.

Gambaran obyektif tentang dunia, kecenderungan menempatkan kedudukan individu pada tempat yang sangat dominan serta kecenderungan memandang hakikat drama sebagai konflik telah menggerakkan suatu proses konvensionalisasi terhadap para penata panggung (stage, propertys dansebagainya), gaya berperan dan cara menulis naskah, proses konvensionalisasi ini mencapai kemapanannya pada pertengahan akhir abad XIX, melalui tokoh-tokoh seperti Ibsen, Chekov dan Stanislavsky (Ferguson, 1956).

Awal abad XX terjadi perkembangan baru dalam kehidupan teater di Eropa. Tokoh seperti Brecht, Antonin Artaud menolak aliran realisme. Aliran realisme tidak sepenuhnya diterima dalam abad XX Pemberontakan terhadap realisme timbul, antara lain oleh Symbolisme, Ekspresionisme dan Teater Epik. Konsepsi seni aliran di atas menentang realisme konvensional secara mendesar. Kaum symbolis beranggapan bahwa intuisi meruapakan dasar yang tepat untuk memahami realitas.

Teater epik, meski dipertimbangkan sebagai gaya yang memberontak realisme, namun bentuk dramanya jika dicermati justru memperluas konsep realisme. Pemrakarsa teater epik ialah Bertolt Brecht (1898-1956). la mulai aktif dalam teater ketika Jerman tengah berada dalam puncak jaman ekspresionisme.

Pandangan Brecht pada fenomena sosial tidak bisa dipisah-kan dari sikap ideologinya sebagai penganut Marxisme. Brecht adalah seorang pengecam kapitalisme. Seperti telah dipaparkan di atas, realisme konvensional di antaranya tumbuh dan berkembang berkat pertumbuhan dan perkembangan masyarakat burjuasi. Sementara Brecht sebagai seorang Marxis beranggapan bahwa kelas pekerja membutuhkan gaya teater yang lain, yaitu yang menyampaikan pesan-pesan yang politis.

Tokoh ekspresionime, Antonin Artaud menekankan drama pada tubuh. Dalam persepsi Artaud, tubuh merupakan instrumen yang liar namun memiliki sifat yang fleksibel yang tetap berada dalam prises untuk ditempa. Tubuh manusia tersebut memendam derita perampokan-perampokan jahat yang dilakukan oleh masyarakat, keluarga, dan agama yang membiarkannya dalam keselitan dan sia-sia yang melancarkannya menunuju titik suatu terminal tanpa koherensi dan tanpa kemampuan untuk berekspresi.

Hidup dan karya Artaud mempertanyakan peran tubuh yang terpecah-pecah tetapi dapat berubah bentuk, dalam kesenian, kesusastraan dan pertunjukan. Artaud menyebut proyeknya ini sebagai Theatre of Cruelty (Teater Kejam).

Keguncangan teater modern terjadi tahun 1957, ketika Samuel Beckett mementaskan drama Waiting For Godot. Drama ini dianggap membingungkan dan sulit dicerna bahkan oleh penbonton drama yang canggih sekalipun. Namun pendapat itu kemudian dimentahkan Martin Esslin, bahwa drama yang sebelumnya dianggap nonsense itu ternyata mempunyai makna dan dapat dimengerti.

Oleh Esslin, karya-karya drama Samuel Beckett, Eugene Ionesco, Arthur Adamov dan harold Pinter dikatagorikan sebagai drama absurd (the Theatre of The Absurd). Masing-masing dramawan menurut Esslin, merupakan individu yang menganggap dirinya orang luar yang sendiriran, terisolasi dalam dunia pribadinya sehingga mereka mencoba menampilkan realitas subjektif dunia pribadinya.

Visi darmawan absurd sejalan dengan visi kelompok penulis modernisme. Aliran modernisme timbul sebagai rekasi atas alairan realisema (1830-1880) yang dianggap terlarlu sarat dengan kritik sosial dan persan moralnya. Drma Absurd pada umumnya menohok penontonya dengan hal-hal yang membingunghkan. Drama absurd pun penung dengan serangkaian kejadian tidak masuk akal yang melawan konvensi panggung uang sudah di tetapkan. Oleh sebab itu Esslin kemudan menyebutnya drama absurd sebagai drama yang anti-play.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama drama absurd yang lahir di Perancis berkembang ke seluruh penjuru dunia, antarlain Finlandia, Jepang, Norwegia, Argentina, dan juga Indonesia. Tokoh drama ini seperti Beckett, Ionesco, Edward Albee.

Kesaksian dari Medan Perang

Angela
http://www.ruangbaca.com/

Dalam perjalanan sastra Amerika, Perang Saudara menjadi salah satu seting dan inspirasi cerita yang tidak habis digali. Banyak karya besar lahir dari peristiwa yang terjadi pada 1816-1865 itu. Tidak kurang satu juta warga, dari total 35 juta warga Amerika saat itu, tewas dan luka-luka dalam peperangan antarnegara bagian itu.

Ambrose Bierce (1842-1914) adalah seorang warga wilayah Selatan yang ikut bertempur. Berusia 24 tahun, Bierce tiba di San Francisco dengan menumpang kapal kecil dari Sacramento. Berasal dari Indiana, Bierce muda adalah laki-laki dengan tinggi enam kaki, rambut ikal pirang, mata biru, dan kumis tebal. Di San Fransisco, karena penampilan fisiknya itu, ia beroleh jabatan sebagai petugas jaga malam. Di saat-saat senggang itulah ia mulai menulis cerita.

Ketika Perang Saudara usai, Bierce mengumpulkan seluruh kisah perang yang ia alami dan menuangkan dalam bentuk cerita pendek. An Occurance at Owl Creek Bridge adalah kisah yang paling terkenal dan menjadi pembicaraan orang. Cerita pendek ini berkisah tentang tentara sipil bernama Peyton Farquhar, pria baik-baik dari keluarga terpandang di Alabama. Perang Saudara ikut menyeretnya ke dalam pertempuran. Secara tidak sengaja, ia menerima tamu dari pihak musuh yang menjebaknya hingga ia terperangkap di sarang tentara utara. Kecerobohan yang harus ia bayar dengan nyawa.

An Occurance kemudian dibukukan bersama sejumlah cerita pendek berseting perang lainnya. Sebagian besar dari kisah-kisah itu kuat unsur horor dan misterinya. Salah satu kelebihan Bierce adalah ia mampu memikat pembaca dengan humor kelam dan akhir yang misterius. Ketakutan, halusinasi, konflik batin, kemarahan, dan keterasingan tergambar dalam diri setiap karakter utama. Agar ia bisa memperoleh mood horor dalam menulis, Bierce meletakkan tengkorak manusia di sampingnya. “Tengkorak kawan saya yang tewas di pertempuran,” katanya.

Konflik batin juga menguasai alur kisah dalam cerita pendek lainnya, A Horseman in The Sky. Dalam cerita pendek ini, Bierce mengisahkan bagaimana seorang serdadu bayaran tentara Union terperangkap dalam konflik batin karena ia menembak ayahnya sendiri yang merupakan penduduk selatan.

Tidak saja menulis cerita pendek, perang telah membuat Bierce menjadi penulis kolom yang andal. Segera saja namanya terkenal karena tulisannya yang bernada satire dan gemar mengolok-olok para pejabat. Tidak heran karena tulisannya itu, Bierce dijuluki “Wickedest Man in San Fransisco” atau “Bitter Bierce”. Antara 1886 hingga 1908, Bierce menulis kolom untuk koran San Francisco Examiner. Lucunya, ia justru mengecam petinggi koran yang mempekerjakannya di sana.

Di usia 71 tahun, ia meninggalkan San Francisco yang memberinya nama besar, untuk bergabung dengan para pemberontak Pancho Villa di Meksiko. Dalam masa pelariannya itu, Bierce sempat beberapa kali mengirim surat yang berkisah tentang pengalamannya. Sejak surat-surat itu datang, tidak ada lagi kabar tentang Bierce. Ada yang menyebut ia tewas di tangan sepasukan regu tembak, namun ada pula yang menyebut ia meninggalkan karena penyakit asma yang sudah dideritanya sepanjang hidup. Serupa kisah yang ia tulis, misteri pula yang membungkus akhir hidup Bierce.

Bung Tomo Pahlawan Rakyat

Teguh LR
http://www.suarapembaruan.com/

Ny Hajah Sulistina Sutomo, ketika menerima potongan tumpeng dari Kepala Stasiun RRI Programa I Surabaya, Drs HM Natsir Isfa MM di gedung RRI Surabaya, Senin (10/11), dalam rangka syukuran gelar Pahlawan Nasional.

Pertempuran heroik antara Arek Suroboyo melawan tentara Inggris dan Sekutu, mencapai puncaknya pada 10 November 1945. Perang lokal tidak seimbang, untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno (Bung Karno), 17 Agustus 1945.

Tentara Inggris menggunakan pesawat tempur lengkap. Mereka membombardir dari udara, laut, dan darat. Masih dilengkapi juga dengan senjata laras panjang semi- otomatis, bom, dan granat. Sementara Arek Suroboyo, menggunakan peralatan perang seadanya, berupa bambu runcing, ketapel dan batu.

Dengan hanya bondho nekat (modal tekat), tidak ingin kaum penjajah menjajah kembali bangsa dan negara kita. Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan harga mati, yang harus tetap di- kawal, serta dipertahankan.

Semboyan Merdeka atau Mati, menggelorakan semangat juang mempertahakan kedaulatan negara. Ribuan warga yang meninggal, men-jadi simbol keberanian yang tiada taranya.

Karena itu, Pemerintahan Bung Karno, menetapkan pertempuran 10 November 1945 di Surabaya sebagai Hari Pahlawan. Surat penetapan bernomor 9/Um/1946 tanggal 31 Oktober 1945 ditandatangani Bung Karno dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin, mulai berlaku.

Ironisnya, meskipun pertempuran 10 November 1945 ditetapkan sebagai Hari Pahlawan, tetapi sampai 63 tahun usia kemerdekaan bangsa kita, Surabaya belum mempunyai Pahlawan Nasional. Baru pada Hari Pahlawan 2008, kota yang warganya gagah berani melawan penjajah ini, resmi memilikinya.

Dari sekian banyak tokoh pejuang, terdapat nama Bung Tomo (Sutomo). Perannya dinilai besar dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan. Di depan mikrofon Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia di Mawarstreat, pidato Bung Tomo, beberapa kali membakar semangat perjuangan Arek Suroboyo melawan tentara Inggris dan Sekutu.

Nama Bung Tomo, populer dan begitu melekat di hati warga kota. Karena itu, wajar jika pemerintah menetapkan Bung Tomo sebagai Pahlawan Nasional. Meskipun pemberian anugerah dinilai terlambat, tetapi paling tidak ada pengakuan resmi dari pemerintah.

Berikut petikan wawancara SP dengan, Ny Hajah Sulistina Sutomo, istri Bung Tomo, seusai mengikuti acara syukuran gelar Pahlawan Nasional di gedung Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya, bertepatan dengan Hari Pahlawan lalu.

Bagaimana komentar ibu Sulistina tentang pemberian gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah kepada Bung Tomo?

Saya menyampaikan terima kasih kepada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Tomo.

Rasa terima kasih juga saya sampaikan kepada warga kota, lembaga swadaya masyarakat, dan RRI Surabaya, yang memprakarsai upaya perolehan gelar Pahlawan Nasional untuk Bung Tomo, akhirnya datang juga. Yang saya dengar, sudah dua kali elemen masyarakat mengajukan gelar Pahlawan Nasional kepada pemerintah, tetapi selalu gagal. Baru tahun ini gelar tersebut terwujud. Bung Tomo lahir di Surabaya, 3 Oktober 1920, meninggal di Padang Arafah, saat menunaikan ibadah haji, 7 Oktober 1981.

Apakah keluarga Bung Tomo pernah mengusulkan gelar Pahlawan Nasional kepada pemerintah?

Bung Tomo selalu menekankan kepada saya dan anak-anak agar tidak minta gelar sebagai Pahlawan Nasional. Biar pemerintah berinisiatif, layak-tidaknya seseorang bisa mendapat anugerah dari pemerintah. Selama ini, keluarga besar Bung Tomo juga tidak pernah mempermasalahkan gelar tersebut. Bagi sebagian orang, gelar Pahlawan Nasional bisa menjadi sesuatu yang berprestise, tetapi tidak bagi Bung Tomo. Dia menginginkan dirinya menjadi pahlawan rakyat, biar rakyat yang menilai kepahlawanannya.

Rakyat sudah mengakui Bung Tomo sebagai pahlawan, tetapi pemerintah begitu lama memberikan anugerah. Bagaimana menurut Ibu Sulistina?

Sekali lagi, kami tidak mempermasalahkan diberi atau tidak diberi Gelar Pahlawan Nasional. Yang saya dengar, tidak mudah seseorang bisa mendapatkannya. Usulannya dilakukan secara berjenjang.

Dari sekelompok masyarakat diusulkan pada pemerintah kabupaten (pemkab) atau pemerintah kota (pemkot), diteruskan kepada pemerintah provinsi (pemprov). Persyaratan lainnya, tokoh yang diusulkan harus pernah diseminarkan.

Setelah itu, diusulkan pada Departemen Sosial (Depsos) di Jakarta. Derpartemen ini meneruskan pada tim pemberi anugerah jasa-jasa nasional untuk dikaji. Jika dianggap layak, maka sese- orang tadi bisa menerima anugerah. Karena prosedurnya rumit, pemkab/pemkot memegang peranan penting mengusulkan warga untuk menerima anugerah.

Apa yang membanggakan Ibu Sulistina, terhadap sosok Bung Tomo?

Saya mengaguminya. Bung Tomo orang cerdas, pandai berpidato, dan bertanggung jawab. Pada puncak pertempuran melawan tentara Inggris dan Sekutu, 10 November 1945, saya belum menikah dengannya. Saya menikah pada 19 Juni 1947. Kecerdasan dan jiwa kepemimpinannya sudah nampak sejak muda. Siapa pun saat itu bangga bisa ber-temu dengannya. Saya pun, bangga, bahkan beruntung bisa hidup berdampingan dengan Bung Tomo. Saya tercatat sebagai relawan Palang Merah Indonesia (PMI. Pertama kali bertemu Bung Tomo di markas Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya.

Sebagai pejuang mempertahankan kemerdekaan, benarkah Bung Tomo “kutu buku”?

Tiada hari tanpa membaca buku. Itulah Bung Tomo. Kepandaian yang dimiliki secara otodidak, karena kebiasaannya membaca buku. Buku apa saja dibaca, terutama soal-soal politik, Ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang dikerjakan sekarang. Belajar dan terus belajar prinsip hidupnya. Bung Karno, Presiden Pertama Republik Indonesia, beberapa kali memberi buku kepada Bung Tomo. Di samping “kutu buku”, Bung Tomo banyak menulis buku-buku tentang perjuangan dan politik. Berkat karyanya tadi, ia mendapat Satya Lencana Kemerdekaan dan Bintang Kemerdekaan.

Sikap yang diajarkan kepada putra putrinya?

Keras, tetapi bersolusi. Pendidikan kepada anak-anak menjadi prioritas utama. Keempat anak saya alhamdulillah sudah memiliki gelar kesarjanaan. Kepada anak-anak sering dikemukakan, angan selalu mementingkan diri sendiri, tetapi bebuatlah kebajikan yang bermanfaat bagi lingkungan masyarakat, bangsa dan negara. Ajaran tersebut selalu diingat anak-anak saya.

Perjuangan Bung Tomo, penuh pengabdian. bagaimana menurut Ibu Sulistina?

Pengabdian dan tanpa pamrih, menjadi pilihan utama ketika Bung Tomo, bersama tokoh dan warga kota lainnya berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa kita. Kiprahnya dalam perpolitikan nasional bukan sebagai bentuk dan ambisnya meraih kekuasaan, tetapi untuk mengabdikan diri bagi kepentingan bangsa dan negara.

Surabaya telah ditetapkan oleh Pemerintahan Bung Karno sebagai Kota Pahlawan. Bagaimana menurut Ibu Sulistina?

Penetapan Surabaya sebagai Kota Pahlawan, wajar diberikan untuk kota ini. Perjuangan Arek Suroboyo, dalam usahanya mempertahankan kemerdekaan, banyak memakan korban jiwa. Gedung-gedung penting peninggalan Belanda banyak yang hancur berantakan dibombardir tentara Inggris dan Sekutu.

Bagaimana dengan Surabaya sekarang?

Saya melihatnya sudah banyak kemajuan. Gedung bertingkat dan pusat-pusat per-belanjaan terus tumbuh di mana-mana. Tetapi, sedih, ketika ada bangunan bersejarah berubah menjadi pertokoan. Seperti gedung di Jalan Biliton 27, merupakan markas BPRI.

Sekarang berubah menjadi rumah toko (ruko). Yang harus dipikirkan Pemkot Surabaya, bagaimana kesan masyarakat agar penetapan sebagai Kota Pahlawan, di-imbangi dengan menjadikan gedung-gedung bersejarah sebagai cagar budaya. Tumbuhkan kreativitas, agar kesan Surabaya sebagai Kota Pahlawan berjalan beriringan dengan perkembangan zaman.

Kekompakan dan kebersamaan warga Kota Surabaya, apakah masih terjaga?

Saya berharap masih tetap terjaga. Tetapi, perkembangan zaman berjalan dinamis. Jika dulu pada masa penjajahan dan awal perjuangan mempertahankan kemerdekaan, tidak banyak partai politik. Tetapi sekarang, jumlah partai politik terus bertambah, sehingga banyak kepentingan untuk menjaga kekompakan dan kebersamaan warga.

Bung Tomo sebagai tokoh pejuang, tetapi tidak bersedia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, mengapa?

Keinginan Bung Tomo sejak masih muda turun berjuang. Ia ingin selalu dekat dengan rakyat. Begitu sederhanya pikirannya, bahkan sampai meninggal pun Bung Tomo, tidak bersedia dimakamkan di taman makam nasional (TM), tetapi, minta dimakamkan di pemakaman umum agar tetap bisa dekat dengan rakyat.

Multatuli, “Pahlawan” Rakyat Lebak

Henry H Loupias*
http://cetak.kompas.com/

Eduard Douwes Dekker alias Multatuli adalah seorang ambtenaar kontroversial bagi pemerintah kolonial Belanda. Alih-alih menjalankan kebijakan pemerintahnya selaku asisten residen Lebak, ia malah membongkar kebobrokannya. Ia terutama menyoroti praktik pemerasan, penindasan, dan korupsi yang dilakukan sang Bupati Raden Tumenggung Adipati Kartanatanegara beserta kroni-kroninya. Peristiwa ini ia kisahkan dalam buku Max Havelaar.

Tahun ini genap 150 tahun peringatan penerbitan karya sastra Max Havelaar sejak diterbitkan untuk pertama kali pada 1860. Karya Multatuli (Aku sudah banyak menderita) tersebut berkisah tentang penderitaan rakyat di karesidenan Lebak. Sebuah roman yang menampar wajah pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu. Maklumlah, isinya membongkar borok-borok praktik kolonial Belanda, dampak negatif tanam paksa (cultuurstelsel).

Ironisnya, tema sentral buku tersebut justru praktik pemerasan, penindasan, dan korupsi yang dilakukan bangsa kita sendiri, sang bupati beserta bawahannya. Ia bukannya mengayomi dan membela kepentingan rakyat, melainkan bertindak sebaliknya. Lengkaplah sudah penderitaan rakyat Lebak: dijajah Belanda dan ditindas bangsanya sendiri.

Ketidakadilan tersebut menyebabkan asisten residen Lebak pada waktu itu, Eduard Douwes Dekker, sedih sekaligus marah. Surat imbauannya kepada atasannya langsung, residen CP Brest van Kempen ataupun Gubernur Jenderal AJ Duymaer van Twist, agar menindak pelaku praktik kotor di atas, tidak digubris.

Hanya keputusasaanlah yang ia dapatkan. Inilah yang mendorongnya mengundurkan diri. Permohonan tersebut diterima langsung. Untuk kesekian kalinya, Eduard Douwes Dekker kembali mesti menjadi penganggur. Sebelumnya ia pun berhenti bekerja karena berselisih paham dengan atasannya, Gubernur Maluku. Kini berkembang sebuah asumsi bahwa kejadian di atas adalah pemakzulan terhadap dirinya (aanklacht).

Jalan satu-satunya dan terakhir sebagai ungkapan protes yang dapat Eduard Douwes Dekker lakukan hanyalah dengan menulis. Buku tersebut ditulisnya di sebuah losmen kecil di Belgia pada 1859 saat ia berada dalam kondisi tertekan dan miskin.

Sang “pemberontak”

Inilah yang menarik: dalam tatanan sosial dan politik masyarakat Belanda, meskipun Eduard Douwes Dekker memiliki pandangan politik yang berseberangan dengan pihak pemerintah, bahkan pernah mempermalukannya, obyektivitas tetap dipegang teguh. Eduard Douwes Dekker adalah seorang pejuang hak-hak asasi manusia yang memiliki pandangan jauh ke depan.

Torso “pemberontak” berdiri di salah satu sudut kota Amsterdam. Tidak hanya itu, terdapat pula museum dan komunitas pemerhati buah pikirannya. Bahkan, Max Havelaar menjadi bacaan wajib di sekolah- sekolah Belanda. Tampaknya mereka ingin belajar dari fakta sejarah.

Artikel De regent van Lebak 150 jaar later dalam NRC weekblad (majalah mingguan) edisi Januari lalu mengupas tentang peranan Eduard Douwes Dekker sebagai asisten residen (1856) serta perbuatan aib dan kejam sang bupati dan kroni-kroninya terhadap rakyat Lebak.

Sebagai perbandingan, juga diliput situasi dan kondisi daerah Lebak saat ini, termasuk sosok bupati sekarang, Mulyadi Jayabaya. Ia dinilai berhasil membangun Lebak, mengangkat kabupaten tersebut sejajar dengan kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Banten. Sebelumnya, Kabupaten Lebak termasuk daerah “miskin”.

Menurut Agus Wisas, anggota DPRD Provinsi Banten asal Lebak, pembangunan infrastruktur di daerah Lebak sudah merata, yaitu jalan raya beraspal hingga pelosok daerah. Tujuannya agar komoditas perkebunan dan pertanian petani, yang pada zaman kolonial diperas penguasa, dapat didistribusikan langsung dan cepat. Dengan demikian, hal itu dapat menghidupkan perekonomian rakyat dan meningkatkan pendapatannya. Memang, kenyataannya kini pendapatan asli daerah Lebak meningkat tajam.

Pahlawan Lebak

Multatuli adalah seorang pahlawan bagi rakyat Lebak. Kepedulian dan pengorbanannya tidak ternilai. Untuk menghormati jasa-jasanya, namanya diabadikan pada jalan utama dan aula pemerintah kabupaten yang baru dan megah. Berkas ruang kerja Eduard Douwes Dekker pun, yang terletak di samping kanan kantor bupati, usai direnovasi bulan lalu. Terdapat pula beberapa tempat usaha penduduk yang mencantumkan nama tersebut. Namanya begitu harum di kalangan masyarakat Lebak.

Salah satu acara peringatan Multatuli di Belanda adalah kegiatan simposium “De toekomst van Multatuli” (Masa Depan Multatuli) yang berlangsung pada 15 Mei 2010 di Amsterdam. Konteksnya adalah menganalisis kekuatan teks dan filosofi yang mendasari buku Max Havelaar, sebagai bahan kajian dan pemikiran bagi generasi sekarang dan mendatang di Belanda.

Tema simposium di atas cukup menarik dan relevan bagi kita. Tidak perlu disangkal ataupun ditutupi bahwa praktik “pemerasan” dan “penindasan” terhadap rakyat kecil oleh penguasa masih berlangsung. Tidak ada salahnya kita belajar kembali memahami penderitaan rakyat jelata kepada Multatuli.

*) Staf Pengajar Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan Bandung.

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae