Sabtu, 17 April 2010

Sajak-Sajak Sabrank Suparno

INILAH DADAKU

Inilah dadaku
Dada yang selalu ditusuk-tusuk dijajah-jajah
Dada yang jembrung oleh runcingnya seribu lugut
Dada yang susup oleh seribu telusup
Dada yang cerca oleh seribu jarum
Dada yang dera oleh seribu duri
Dada yang koyak oleh seribu peniti
Dada yang cawang oleh seribu carang
Dada yang tancap oleh seribu panah

Tembus seribu tombak
Jebol seribu runcing
Bedah seribu jangkar
Hunjam seribu linggis

Inilah dadaku
Dada yang selalu dikepruk-kepruk ditumbuk-tumbuk
Dada yang rajam tumpulnya seribu kerikil
Dada yang hantam seribu batu
Dada yang pukul seribu palu
Dada yang bandil seribu ketepil
Dada yang lempar seribu martil

Inilah dadaku
Dada yang selalu disayat-sayat
Dada yang iris oleh tajamnya seribu silet
Dada yang cabik oleh seribu belati
Dada yang sobek oleh seribu arit
Dada yang kewal oleh serbu celurit
Dada yang radang oleh seribu gaman

Seribu berang
Seribu buding
Seribu klewang
Seribu pedang
Seribu parang
Seribu condrek
Seribu keris
Inilah dadaku
Dada yang selalu dibobol-bobol
Dada yang lubang oleh seribu peluru
Dada yang ambrol oleh sesibu pistol

Incar sribu senapan
Bidik seribu bedil
Brondong seribu granat
Terjang seribu bayonet
Remuk seribu rudal
Hancur sribu thank
Lebur artileri

Inilah dadaku
Dada yang selalu dibakar-bakar
Dada yang mengangah dilahap bara
Dada yang luka tersiram nanah

Yang genang terguyur cuka
Yang puncrat semburan soda

Inilah dadaku
Dada yang tak lagi bisa dikenali bentuk dan rupanya
Dada yang tinggal serpihan dan puing-puing



Bleemm…

Dalam waktu
Ada gaduh-ada rancu
Dimana tali tak berarti benang
Semburatkan ikatan jalinan

Pada waktu
Ada buntu, ada beku
Dimana angka-angka tak berarti jumlah

Waktu hampa
Ada kisah
Dimana semua patah-patah tak berarti ma,na.

Lantas apa yang terjadi bila tiba waktu bumi kehilangan gravitasi
Lepaslah rotasi, sirnahlah revolusi.
(inilah saatnya energi, gerak seluruh centaury terhenti 3 detik saja)

Atom senyawa tak ber-adhesi. O tak mau campur dengan o,yang melahirkan O2.


H2 tak menyatu dengan O2, dengan S, dengan O4 yang kemudian bentuk H2SO4

H hanya tersusun dengan H, H2 tersusun, tersusun, tersusun, membesar, membesar, membesar tak terkirakan.

C menyatu C, dan hanya dengan C, hanya C tumpuk sampai ampat kali, maka jadilah C4, C4, C4, C four,
C four tersusun membesar, membesar, membeesaaar…

Blleeeeeemmmm……
Hancurlah bumi
Kembali pada waktu

Kamis, 01 April 2010

Bangkit dari Bencana Bersama Kebudayaan

Triyanto Triwikromo
http://www.suaramerdeka.com/

Bencana -sepanjang 2006- agaknya menjadi hantu yang menebarkan rasa takut kepada siapa pun di negeri ini. Pada 27 Mei, misalnya, gempa berkekuatan 5,9 skala Richter telah membuat berbagai tempat di Jawa Tengah dan Yogyakarta luluh lantak.

Rumah-rumah dan gedung-gedung perkantoran roboh. Penduduk kalang kabut. Sebagian meninggal. Sebagian bertahan meneruskan kehidupan dalam kesedihan.

Air mata belum mengering, pada 28 Mei, lumpur panas disertai gas beracun menyembur di dekat sumur gas milik PT Lapindo Brantas Inc di Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo. Lumpur menggenangi permukiman penduduk, sawah, ladang, kawasan industri, dan jalan tol. Diduga hal ini terjadi karena Lapindo abai memasang selubung bor (casing) yang harusnya dipasang pada kedalaman 8.500 kaki atau sekitar 2.590 meter, di bawah permukaan tanah. Casing ini berfungsi untuk mengantisipasi potensi kemenghilangan sirkulasi lumpur dan tendangan balik yang memuntahkan lumpur ke atas.

Bukan hanya itu. Pada 20 November angin ribut menghajar Desa Kauman Kecamatan Kemusu, Boyolali. Ada yang terluka, 14 rumah dan sekolah roboh, serta 327 rumah rusak ringan. Malah pada hari sama di Kecamatan Sumberlawang, Sragen, 4 rumah roboh. Sebelumnya, mulai Januari, angin ribut juga menumbangkan berbagai sendi kehidupan di Jawa Tengah.

Tentu di luar itu kerusuhan di Poso sejak 9 Januari saat bom meledak di depan pintu gerbang Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Sion Poso hingga 29 September ketika ratusan orang menyerang Markas Polsek Pamona Timur, serta 16 Oktober saat pejabat Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Pendeta Irianto Kongkoli tewas, terus saja melukai rasa keamanan dan ketenteraman warga.

Bencana Lain

Itu hanya sedikit contoh dari bencana-bencana yang bersifat fisik. Menurut pendapat Sutanto, budayawan dari Mendut, Magelang, bencana lain yang kita alami lebih dahsyat lagi.

Ada bencana moral -semisal kasus Yahya Zaini dan Maria Eva, Aa Gym, Lidya Pratiwi, atau Alda- yang belum terpecahkan penyelesaiannya. Ada bencana sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang racunnya telah menebar sebagai virus. Ada juga penghinaan terhadap perempuan dan keperempuanan yang tak kunjung henti.

''Yang tampil ke permukaan hanya sekelumit. Yang tersembunyi dan menimbulkan persoalan lebih dahsyat justru belum kita pahami daya ledaknya,'' jelas komposer yang bakal tampil sebagai pembicara dalam Asia Pasific Festival and Conference Februari mendatang itu.

Hal senada juga diungkapkan oleh Butet Kartaredjasa. Menurut pendapat komedian asal Yogyakarta itu, serangan gaya hidup konsumtif dan kapitalisme global yang melanda kehidupan masyarakat janganlah sekali-kali tidak dianggap sebagai bencana. ''Bencana semacam itu -yang kini antara lain mewujud dalam pendirian berbagai mal di Yogyakarta- akan mengubah gaya hidup masyarakat. Bahkan kian banyak televisi yang menebarkan tayangan yang mendangkalkan kemanusiaan, saya kira merupakan bencana yang sulit dihentikan juga,'' kata dia.

Karena itu, Sutanto mengingatkan, hendaknya ada cara baru memandang bencana. ''Ketiadaan kata untuk menerjemahkan tsunami, misalnya, itu membuktikan betapa kita tidak dididik untuk memahami dan mengatasi bencana secara benar,'' jelas seniman nyentrik yang bakal mempresentasikan makalah bertajuk ''The Wild Dream of Mountain Community Art'' di Selandia Baru itu.

Bencana, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan. Bencana tak pernah bisa otonom dari kebudayaan. Begitu juga sebaliknya. Butet menandaskan, ''Bencana tidak bisa menafikan kebudayaan atau kesenian. Ia justru melahirkan ekspresi komunal baru, mengubah orientasi berkebudayaan, sehingga orang tidak melulu berpaku peye atau payu. Bencana justru membuat seniman mengelaborasi musibah menjadi kebudayaan.''

Tindakan Konkret

Lalu tindakan-tindakan kebudayan apa saja yang dilakukan para budayawan ketika menghadapi bencana yang dahsyat? Ada tindakan-tindakan yang masih menggunakan jalan kesenian sebagai cara untuk mengatasi bencana. Dalang Slamet Gundono, misalnya, bersama penyair Sosiawan Leak dan penari Mugiyono mengadakan pementasan di Jakarta. Hasil pementasan itu -juga beras dan tenda- mereka sumbangkan kepada korban gempa. ''Itu hanya berjalan tiga sampai empat minggu. Setelah itu, kami kembali ke jalan seni masing-masing.''

Gundono, misalnya, kemudian membuat wayang air, yakni wayang yang mengeksplorasi segala yang berkaitan dengan air. ''Ini semacam seni yang bersandar pada pergaulan manusia dengan lingkungan. Dalam situasi bencana semacam ini -saat orang kesulitan mendapatkan air sehat- seniman harus tak lagi asyik-masyuk hanya dengan estetika,'' kata dalang yang mendukung kesuksesan film Opera Jawa karya sutradara Garin Nugroho itu.

Bukan hanya itu. Tindakan-tindakan estetis Gundana ternyata juga disertai dengan berbagai upaya konkret untuk menyelamatkan lingkungan dan wong cilik. ''Saya sedang berusaha mengajak siapa pun untuk membangun sumur resapan untuk wong cilik. Ini sebuah situasi yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Pada 2007 seniman atau budayawan harus lebih peduli pada publik. Estetika sebaiknya menghidupkan kehidupan. Jangan jauh-jauh dari derita masyarakat.''

Tindakan sama juga dilakukan oleh Butet, pemusik Djaduk, perupa Agus Suwage, atau Teater Garasi. Mereka -dengan cara masing-masing- selain memberikan bantuan kepada para korban gempa, juga kian menghidupkan kesenian dan kebudayaan sebagai cara pandang mengatasi bencana fisik maupun psikis yang tak henti-henti mendera bangsa ini. ''Hasil pentas-pentas amal yang telah saya lakukan bersama teman-teman telah digunakan untuk membangun semangat berkesenian yang lumpuh akibat segala fasilitas dihancurkan oleh gempa. Pak Dalang Timbul bisa mendapatkan gong perunggu kembali, seniman lain bisa mendapat fasilitas yang lain. Penyelamatan semacam ini juga tak kalah penting daripada penyelamatam fisik terhadap orang-orang yang dihantam bencana,'' kata Butet.

Melangkah Lagi

Kini satu demi satu bencana dapat dilalui. Kehidupan harus terus berjalan. Bekal apa yang harus dijinjing untuk menghadapi warna kehidupan 2007 yang belum bisa ditebak gelap terangnya? ''Kita agaknya harus mengadakan ruwatan budaya yang melibatkan wong cilik. Ruwatan itu sebaiknya bisa digunakan bangsa ini sebagai penghiburan, penyadaran diri, dan pengeling-eling. Ruwatan itu harus meyakinkan kita betapa kebangkitan dari keterpurukan tak bisa ditawar-tawar lagi,'' ajak novelis dari Banyumas, Ahmad Tohari.

Langkah lain ditawarkan oleh kiai-sastrawan nyentrik dari Rembang, KH Ahmad Mustofa Bisri. Kata dia, ''Kita sebaiknya melakukan tobat nasional. Semua melakukan introspeksi, mencari kesalahan-kesalahan sendiri, lalu berusaha memperbaiki dan berjanji tidak mengulangi. Kesalahan-kesalahan bersama diperbaiki bersama. Ini semua harus dilakukan dengan mendekat dan memohon kepada Sang Penguasa Tunggal.''

Selain itu, tandas Bisri, jangan lagi menggunakan politik (pada zaman Orde Lama) dan ekonomi (pada zaman Orde Baru) sebagai panglima untuk mengatasi berbagai persoalan yang mendera bangsa. ''Mengapa tidak mencoba budaya sebagai panglima?''

Ya, dengan bersandar pada ''kepemimpinan'' kebudayaan, bangsa ini akan bisa segera bebas dari keterpurukan. Hanya, Sutanto, mengingatkan, ''Jika kita tetap tak mau belajar apa-apa dari bencana, apa pun tindakan kita hanya akan menjadi kekacauan baru. Sayang, saya melihat kita memang tidak belajar apa-apa dari bencana.''

Tidak adakah jalan keluar? ''Selamatkan kebudayaan berpikir. Jangan mau dijejali hal-hal yang mendangkalkan pikiran dan menghilangkan tindakan-tindakan besar kemanusiaan. Itu solusinya,'' kata Sutanto menutup perbincangan.

Membela Kaum Miskin Tabah Bencana

Judul Buku : Kagum Pada Orang Indonesia
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Progress
Cetakan : I, Januari 2008
Tebal : 56 Halaman
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah
http://indonimut.blogspot.com/

Meski banyak orang pesemis pada bangsa Indonesia, Emha Ainun Nadjib (akrab di panggil “Cak Nun”) malah merayakan optimisme bergelimang harap. Tahun 1998, penyair Taufik Ismail menggarit puisi “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”, sedang Cak Nun pada 2008 menggubah buku “Kagum Pada Orang Indonesia”. Wujud filantropi budayawan, Cak Nun, mengipasi bara ketegaran rakyat saat centang perenang dan banjir problem tiba.

Cak Nun, --budayawan kelahiran Jombang Jatim itu--, terlihat sangat gigih meninggikan anten kepekaannya akan penderitaan masyarakat miskin tabah bencana. Ia menghayati betul tamsil yang diukir Elie Wiesel, novelis peraih Nobel Perdamaian dalam memoar Night (1958): “Pada saat Adam dan Hawa mengkhianati-Mu, Tuhan, Kau usir mereka dari Taman Firdaus. Saat dikecewakan generasi Nabi Nuh, Kau datangkan air bah. Saat kota Sodom dan Gomorah tak lagi menjadi kesayangan-Mu, Kau buat langit memuntahkan kutukan hujan api. Tapi lihatlah para korban yang nasibnya bagai beras sedang diayak dan ditampi ini. Mereka bersimpuh dihadapan-Mu. Mereka memuji kebesaran-Mu.”

Buku ini, Kagum Pada Orang Indonesia, merupakan kumpulan sembilan esai panjang Cak Nun yang sebelumnya sempat nangkring di beberapa koran. Lewat buku ini pulalah, Cak Nun, membesarkan hati rakyat Indonesia yang kini temukan rona kemurungannya. Betapa rakyat saat ini sukar memiliki zona untuk tentram, damai, serta makmur sejahtera. Rakyat kerap ketiban sial, kiriman bencana atau musibah tak henti-henti menghantam kehidupan rakyat Indonesia baru-baru ini.

Renungan Bencana

Bangsa Indonesia memanglah bangsa yang hidup dinegeri kaya akan bencana alam. Aceh, Nias, dan Pengandaran digulung Tsunami. Yogyakarta dan Klaten diterjang gempa. Sidoarjo direndam bencana korporasi-birokratik lumpur panas Lapindo tak usai-usai. Halmahera diguncang gunung meletus. Kalimantan Timur dan Sulawesi Barat disapu banjir bandang justru dimusim kemarau sedang menggila diseantero wilayah Nusantara. Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Mentawai, dan Blitung, tak lepas disatroni lindu. Hingga kawasan Tapal Kuda (pantai utara Jawa), Situbondo dan Bondowoso pun diterjang banjir bandang pekan silam.

Ditengah keporakporandaan puing-puing bangunan yang melibas, dan hamparan ketakpastian yang harus dijalani para masyarakat korban, tugas manusia antar sesama, bagaimana ia mampu menarasikan penderitaan yang ditempa oleh masyarakat korban. Memberi wujud narasi penyelesaian sehingga mengurangi kesedihan masyarakat korban. Setiap narasi mesti temukan alur akhir. Mengakhiri kesedihan rakyat korban bencana dengan ketegaran dan kebahagiaan.

Alam sendiri bukanlah makhluk hidup yang bisa memperbaiki kerusakan sel-sel dalam tubuh. Tersirat dalam al-Qur’an bahwa, kerusakan alam juga tak lepas sebab ulah tangan jahil manusia. Dengan begitu, manusia yang hidup diatas permukaan bumi yang harus mencegah agar daya rusak ekologi tak semakin parah.

Disinilah pemantik kesadaran Cak Nun, dia langsung terjun mengadvokasi masyarakat korban di lapangan. Lewat mengisi acara pengajian yang diadakan di wilayah-wilayah korban, iapun berseru kepada masyarakat agar tegar hadapi bencana. Cak Nun siap bersama rakyat melawan bila ada pihak-pihak yang mengail di air keruh berbisnis penderitaan manusia.

Wujud optimisme Cak Nun: “Kendati Indonesia terus-menerus dihantam bencana (kaya bencana), bangsa inipun memiliki berkah turah kekayaan alam melimpah ruah. Semuanya ada di bumi pertiwi ini. Tak ada bangsa di dunia yang kewajiban rasa syukurnya kepada Tuhan melebihi bangsa Indonesia.” Hal itu tentu tak lepas, sebab rahmat, kasih sayang, perhatian, dan berkah Tuhanlah yang menganugerahkan kepada bangsa Indonesia jauh melebihi bangsa-bangsa manapun di dunia. Tapi untuk saat ini, kekayaan Indonesia dihabisi oleh persekongkolan elite politik dan birokrasi bangsa untuk kepentingan pribadi.

Ironi, bangsa (Indonesia) bergelimang kekayaan, namun rakyat masih didera kemiskinan kritis. Manusia Indonesia sudah miskin, ditambah lagi tak henti-henti digilas oleh bencana dahsyat. Sungguh kompleks derita rakyat Indonesia bila hingga kini masih belum mampu melepaskan kerangkeng tragika hidup miskin yang padat bencana. Ditengarai kesigapan pemerintah dalam penanganan bencana, bila status bencana dinaikkan menjadi bencana nasional. Bukankah meski satu korban pun, perlu kita bantu selekas mungkin?

Peluang harap datang, saat kita dapat memaknai aforisma ‘Jasagen’ Nietzsche --filsuf yang membuka pintu gerbang posmodernisme itu--, “Meski hidup bisa menjadi sangat sulit, mengecewakan dan bikin gila, satu-satunya jalan adalah terus mengatakan “ya” kepada apa yang menggerakkan jiwa”. Nietzsche hendak menampik sejarah kegagalan yang membikin manusia bertekuk lutut menyerah pada nasib.

Guna mendapat empati masyarakat luas atas kondisi masyarakat miskin tabah bencana, Cak Nun lewat bukunya ini berseru mirip Rabindranat Tagore: “Bukalah mata tuan dan lihatlah. Di mana petani meluku tanah yang keras. Di mana pembuat jalan memecah batu. Disitulah Tuhan. Tuhan bersama petani dan kuli berpanas dan berhujan. Turunlah ke tanah berdebu itu, seperti Dia. Beranjaklah dari samadi dan hentikan nyala setanggi. Meski pakaian tuan usang dan kotor. Cari dan tolonglah dia dalam bekerja, dengan keringat di kening tuan”.

Buku ini berbasis menggugah ruh filantropi (filos ‘cinta’, antropos ‘kemanusiaan’), berwujud cinta kasih akan kemanusian. Membacanya, membikin nurani terketuk hendak lekas berbuat sesuatu terhadap kaum miskin tabah bencana. Tak cukup hanya meratap sedih bila mendapati kaum miskin tabah tuna daya digempur bencana.

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae