Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=331
Paul Ambroise Valéry (1871-1945) penyair Prancis lahir di Cette (Languedoc), mempelajari hukum di Montpellier. Masa mudanya asyik bersajak romantik dan simbolik, berkenalan Mallarmé juga André Gide 1890. Di tahun 1892 berpaling pandangan intelektualisme. Buahpena pertamanya di padang kesusastraan, esai-esai bersajak Introduction à La méthode de Léonardo da Vinci (1895), dan Les Soires avec Monsieur Teste (1896). Sesudahnya 17 tahun menghilang dari dunia sastra, bekerja di kementerian peperangan, lalu di kantor berita Haves, hanya catatan-catatan harian dimunculkan. Mencontoh Léonardo da Vinci rajin mempelajari falsafah ilmu pasti serta pengetahuan lain. 1913 muncul kembali dengan sajak-sajak pendek, pada 1917 barulah dengan sajak lebih panjang yang bertahun-tahun dikerjakannya, La Jeune Parque, disusul Palme (1919), Le cimetière marin (1920), serta Ébauche d’un serpent (1921) semuanya terhimpun dalam kumpulan Charmes. Sejak perang dunia pertama mengutamakan pembacaan masyarakat dan politik berbentuk esai, antaranya Sur la crise d’intelligence (1925), di tahun tersebut diangkat menjadi anggota Akademi Prancis. Lantas terbit Rhumbs (1926), Regards sur le monde actuel (1931) dan Choses tues (1932). Valéry menegaskan pentingnya golongan intelektual dalam membimbing masyarakat, sedang berkenaan teori persajakan, perlunya membentuk yang murni dengan isi padat serta serba otak. Valéry merupakan pentolan dari golongan menyanjung puisi murni, umumnya sajak-sajaknya dingin berasa sebab berasal nalar dingin. Pandangan dewasa ini terhadapnya lebih besar sebagai pengarang esai daripada seorang penyair.
LANGKAH-LANGKAH
Paul Valéry
Langkahmu, kanak-kanak sepiku,
Kudus dan pelan diinjakkan,
Menuju ranjang waspadaku,
Bisu dan kelu dimajukan.
Makhluk murni, bayangan luhur,
Lembut nian langkahmu-teguh!
Tuhan… semua berkah kutaksir,
Telanjang kaki datang padaku.
Jika, dari bibirmu meluncung,
Kau siapkan, sebagai pengaman,
Bagi penghuni serba fikiranku,
Sari hidup suatu ciuman,
Jangan gegaskan tuk tindak mesra,
Gairah jumpaan diri-takdiri:
Karena hidupku: tunggu-kau cuma.
Dan itu langkahmu: hatiku ini.
{dari buku Puisi Dunia, jilid I, susunan M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952}
***
I
Membaca Valéry menyimak langkah dia, pun mereka, atau pada dirinya semata, terbangun naluri kanak dari kepompong kudus yang lembut pelahan membuka katupan mesra, atas gubahan lagu purba sejarah silam, suatu tindak perjelas angan belia ke jenjang pengertian.
Langkah mematangkan padatan renung, menjejak keyakinan bathin, setiap krentek niat kedalaman sepi memanggil sunyi, dirindu gerak, nalar digubah dari tidur pengembaraan angan, diwujudkan warna cahaya, serta bayang-bayang memantul pemahaman.
Menuju ranjang pergulatan dramatis, oleh wangi bunga-bunga ditaburkan, keharuman memenuhi ruang, kemungkinan lebih menujah dalam, khusyuk keluh kesah sehabis memandang cakrawala, di balik jendela membuka rekaman lama, was-was dilalui, menjajaki penjegal keraguan, apakah sampai atau mandek.
Kebisuan rasa takut diberanikan berucap, ada masa menyekat hingga sulit tak bersuara, dan tatkala kegelisahan memuncak, tibalah gema, lantas dimajukan sebagai kehendak kehadiran, demikian kutafsirkan bait pertama.
II
Bayangan luhur pesona jelita bidadari telah menanam perasaan, dari tiupan panjang alunan alam, serupa hawa wingit nenek moyang melebur bersatu jiwa, melembutkan lelangkah teguh, santun berdendang menyeiramakan daging, atas gelembung udara yang dipompa darah juang, kangen tiada terkira.
Seperti pengertian sampai bulir-bulir embun kenangan ditanak malam-malam mengharukan sukma paling murni. Panjatan doa memberkahi perkiraan, selalu digayuh peroleh limpahan deras kejuntrungan, keberuntungan mula menyungguhi keadaan, menyimak situasi merapal kejadian tertanda, demi manfaat lebih dimengerti, dari sekadar kerenyutan dahi tiada kelapangkan.
Maka perluas jaring kesadaran kata-kata, agar tak madek dalam tubuh semata, olehnya ketelanjangan kaki-kaki segarkan maknawi penghayatan, di setiap denyut batuan krikil pada jalanan sunyi.
Apa yang dipunggah menemui kehadiran purna, bulan dinanti-nanti tampak cantik kemewah, kala hitam panggung taburkan bintik gemintang, atas pantulan hati berkerlipan pandang kesaksian.
III
Di bibir jurang lintasan fikir mengaduk bethin perasaan, daun-daun mungil diterpa angin ketinggian, dan awan penghayatan menebarkan penalaran, taburkan wasangka menduga hari-hari tetap sumringah, di mana kabar keabadian berdendang pada puncak kesejatian, jauh dari kecurigaan, hanya kupu-kupu bertekat bulat mendiami musim kekekalan, bersanggup mencapai kuntum-kuntum tak tersaksikan, bersama kabut merekam.
Pohon-pohon tetap sama berdiri tegak, batu-batu pun khusyuk bersila memaduka air hujan kadang terik menyengat, yang sampai diharuskan berjalan, turun kembali ke jalanan setapak menemui ramainya peradaban, lalu dikisahkan penghuni serba fikiran, atas saripati ciuman, yakni kenangan dirasai Valéry.
Di tempat lain, pohon-pohon tumbang ditarik arus kencang, masih membawa akarnya, sehingga tak jauh terhanyut kecuali banjir bandang ketaksadaran. Maka, menegakkan fikir laksana ciuman singkat diterjemah berbagai kemajuan, demi tak lepas semua digayuh rupa kayungyung kerinduan, sepadan waktu bersahabat kian jauh muntahkan gelisah, menyatukan apa saja, demi bersetia meski lain suasana, tetap sepaduan jiwa mengeja kembara.
IV
Manakala jumpaan takdir terlaksana, kerinduan bertumpuk ingin bersigegas lumatkan bibir kemerah hasrat kuasa, namun toh tidak begitu, yang pelahan semakin menggelora di kedalaman ingin muntahkan lahar halilintar, serupa hujan tiba-tiba menderas.
Bukan keterkejutan lama, tapi ketakjuban membawa jiwa disertai rintihan hangat mesra, jalanan licin kaki-kaki kehati-hatian, sebab hidupnya ditunggu, walau hilang keringat, atau lenyap bersatunya kesemangatan langkah, hanya pada kasih terpaan bathin disandarkan di pundak setia.
Di sisi tertentu, debaran penantian terus menggejalai ranum buah-buahan, siap dipetik pertemuan, jemari tangan menggenggam hayat kata-kata, demi terus dilafalkan, oleh cuma hidup menunggu datang masa kasih mendekap purna, umpama helaian rambut berjalin, keringat darah bercumpur dalam pergumukan rahayu, hidup mati batas ditentukan jiwa kunjungi alam kandungan masa paling samar, sebelum kembali pada langkah hati memutiara.
Valéry ialah kepastian puitik dari hati tertunduk setia, seperti masyarakat pedesaan mendiami keluguan, bukan kebodohan menjemukan kala lantunan kalimah mampu memadukan pasti, dengan ngeranggenya angan dari kedalaman gugusan penalaran saling mengerti, umpama kehilangan jasad pecinta hanya lenyap sementara, sebab kalbu didiami segugus keabadian kasih sayang, ketulusan sama-sama mendiami kerahasiaan, dengan selalu menempa kerinduan.
Nafasan pendek maupun panjang, hasil olahan jiwa menyungguhi ikhtisar hayat melingkupi kerelaan. Valéry mengenyam hidup bersosial membalut tangkai menuju kembang, membimbing bunga-bunga lain di padang, demi kesegaran angin berkumandang ke lembah-lembah penciuman, memurnikan nalar puitik para insan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 24 Maret 2010
MERAYAKAN KE-BODOH-AN PENYAIR-PENYAIR MUDA KONTEMPORER
Catatan untuk ‘PENYAIR (ITU) BODOH
Ahmad Kekal Hamdani
http://www.sastra-indonesia.com/
2 Paragraf Pertama Tentang Penyair dan Kebodohan
Beberapa bulan yang lalu (entah tepatnya kapan), saya mendapatkan sebuah buku antologi puisi “Penyair (itu) Bodoh” karya seorang kawan di Yogyakarta; Dea Anugrah mahasiswa Filsafat UGM, sahabat saya yang mirip Chow Yun-Fat itu. tapi tentu saja dia bukan penjudi, tapi penyair yang bodoh. Dan atas kebodohannya itu, saya nyaris jatuh cinta kepadanya. Secara pribadi (kepenyairan) dia memang bodoh setengah mati, bayangkan saja; tanpa banyak nulis di Koran dia sudah berani menerbitkan buku puisinya itu, yang sama-saja tingkat kebodohannya. yah, karena memang tidak banyak penyair yang mau menuju ‘bodoh’ seperti dirinya. Ini tentu saja karena, kebodohan, kecerobohan dan ketololan hanya dimiliki oleh mereka-mereka yang masih berjiwa muda (dalam hal ini saya sama mudanya) yang nota-bene tak gentar pada yang namanya kalah dan disingkirkan (terlepas kawan saya ini menyadarinya atau tidak). Nah yang Intelek, Masyhur, dan Terkenal itu cuma golongan tua (atau yang menuakan diri) yang hampir-hampir impoten dan kebal rangsang! dan satu lagi yang membuat saya ingin mencium kawan saya ini, dia begitu bangga dengan kebodohannya! busyet, dia memang benar-benar bukan penyair yang sudah tua. Saya mendapati ekspresi yang hidup dan real dari interaksi dengan orang-orang bodoh dan muda seperti dia, sebagaimana juga diri saya.
Saat itu kebetulan saya menjadi Moderator dalam acara bedah bukunya. Banyak kawan-kawan penulis yang hadir dan ikut memeriahkan, termasuk juga Saut Situmorang(kebetulan juga saat itu beliau pembicara) dan Katrin Bandel. Di sinilah saya mendapati orang-orang bodoh dengan berbagai macam kebodohannya, ada yang bodoh amat, ada yang setengah bodoh dan ada juga yang baru belajar menjadi ‘Bodoh’. Setelah diskusi berjalan cukup lama, percakapan semakin mengarah pada kebodohan, mereka ingat luka-luka itu sembari tertawa-tawa, ada juga yang bertanya ’saya sebenarnya bodoh gak sih?’ lugu. Tiba-tiba saya jadi berpikir dengan pintarnya ‘Apa yang sebenarnya terjadi adalah benih kebaruan, meski tak baru-baru amat. Tentang bagaimana mencoba membagun muara lain dari kesusastraan, dan kebaruan ini harus dimulai dengan begitu banyak kebodohan! penyair selalu membangun pengertian tentang dirinya sendiri dari saat ke saat, ini saatnya membangun kebaruan itu dengan jalan menuju ‘Kebodohan’ itu!. Dea, telah mulai melakukannya.
5 Paragraf Tentang Meledakkan ‘Kemewahan naif’ Kepenyairan
Ada yang tidak bisa dipungkiri dari seorang penyair (terutama yang pintar), yakni perihal kemasyhuran. Ini salah satu obat bagi kesakitan-kesakitan, tapi obat ini juga semacam racun yang diperas dari para zombie. dan cawan dari obat-obat ini begitu banyak, ada yang namanya koran (semacam kertas lebar yang berisi sampah-sampah harian), ada majalah (Biasanya memuat sampah itu satu bulan sekali), ada Buku, ada Panggung, ada Mimbar juga dengan segala mimpi kebesarannya. Oleh karena itu, dengan pikiran saya yang masih pintar, saya akan mengajukan pandangan bodoh saya tentang kepenyairan. Yang nantinya akan mengarah kepada kebodohan-kebodohan yang lain, terutama kebodohan Dea Anugrah yang setengah mati itu!
Dalam terminologi kebodohan dalam kepala saya, seharusnya ada tiga wilayah dalam memetakan kesusastraan Indonesia dan dunia pada umumnya. pertama, Dunia yang ‘politis’ (bukan politik tapi saya tekankan sekali lagi, dunia yang politis). Kedua, sastra dan sastrawan itu secara an-sich. Dan yang terakhir adalah masyarakat bersih (yakni masyarakat awam yang perlu disodori sampah-sampah yang dimuat dalam kesusastraan selama berabad-abad). Tiga wilayah ini harus didudukkan secara seimbang dan merata, mari satu persatu kita adili tiga hal ini.
Di sini, dunia yang politis bukanlah dunia politik, bila dalam bahasa Ricoeur adalah “The Political” atau “Yang Politis” bukan “Politics”. Tapi perihal letupan-letupan sosial antara kehendak ingin bertahan dan menguasai, serta kehendak ingin menerima dan terbuka. Kesusastraan berada dan terlibat di dalamnya. Seorang gila penghancur modernisme, yang lebih akrab saya panggil Kanjeng Kyai Nietzche pernah mengatakan bahwa kita dibangun oleh kehendak itu. Kehendak untuk berkuasa , tentu dengan penjabaran dan perumpamaan yang perlu dipikir tidak sebentar. Pandangan ‘dunia politis’ ini perlu dicercap dan dirasai oleh mereka yang hendak Nyastra, sebab menulis sastra sama halnya bertindak politis, yakni menggelembungkan ruang dalam diri ke ruang batin sosial.
Setelah Sastra dan Sastrawan, yakni masyarakat bersih. Yakni masyarakat awam sastra, yang sebenarnya kalau kita mau berpikir bodoh merekalah seharusnya subjek yang terlibat dalam transliterasi antara dunia real dan kesusastraan. Nah, walau tidak terang-terangan mengatakan anti koran sobat Dea Anugrah ini telah mengenyahkan jauh-jauh legitimasi kepenyairan koran itu. Bila ditelisik lebih lanjut (entah ini disadari tidak oleh Dea) ini akan menjadi gerakan kesusastraan baru yang sebenarnya ini sudah menjadi perbincangan cukup lama di komunitas saya berproses, sebuah gerakan, yakni Gerakan Anti Sastra Koran (GASAK). Apa ini berarti saya membenci koran? hahaha tidak, tapi ada sebuah usaha penghancuran berhala, penghancuran panggung, saya akan meminjam bahasa teaterawan Grotowski yakni “Kleptomania Artistik” sebuah kemegahan tanpa tiang penyangga, tanpa visi kebudayaan. Di mana media justru menjadi fokusnya, panggung menjadi sempit dan para aktor tidak menyatu dengan para penontonnya.
Runtuhnya sastra koran, akan mencairkan kebekuan-kebekuan. Dan itu tentu saja tidak hanya perlu dilakukan, tapi disikapi dengan visi yang panjang. Oleh karena itu, mari kita lakukan kebodohan-kebodohan kecil dengan menghancurkan apa yang selama ini kita pijak, yang hal ini sesungguhnya telah banyak dimulai oleh satrawan-sastrawan di lokal-an, yang jauh dari media nasional, dan membuang jauh-jauh mimpi penyair koran, yang tentu saja juga telah dan semoga terus berlanjut oleh kawan saya Dea Anugrah itu. Zaman baru kepenyairan akan segera dimulai!!!
1 Paragraf Penutup
Apalah guna kita menulis puisi bila yang membaca puisi kita hanya orang-orang yang juga menulis puisi. Dekatkan diri kepada masyarakat, bacakan syair-syair teduh dan membangun kepada mereka. Hancurkan politik busuk dengan menyuntikkan puisi ke dalam kekuatan-kekuatan politis. Tidak cukup kita hanya menulis puisi dan membaca buku, tapi bertindak ke ruang sosial lain, hancurkan kebiasaan menggantungkan diri pada komunitas sastra, mari tampil sebagai individu dan muncul ke permukaan sosial yang lebih pahit. Meminjam istilah Mbah Karl Marx, dunia tidak hanya perlu ditafsiri tapi harus dirubah. Bangun masyarakat baru, hancurkan panggung! mari menuju ‘KEBODOHAN PERTAMA’.
kata Dea:
ah benar, memang enak
sekali-kali tak pakai sempak
cobalah lepaskan sempak kalian
marilah
l
e
p
a
s
k
a
n
s
e
m
p
a
k!
Yogyakarta, 2010
Ket: Catatan ini ditulis untuk mengomentari dan menindak lanjuti “Penyair (Itu) Bodoh” karya Dea Anugrah.
Ahmad Kekal Hamdani
http://www.sastra-indonesia.com/
2 Paragraf Pertama Tentang Penyair dan Kebodohan
Beberapa bulan yang lalu (entah tepatnya kapan), saya mendapatkan sebuah buku antologi puisi “Penyair (itu) Bodoh” karya seorang kawan di Yogyakarta; Dea Anugrah mahasiswa Filsafat UGM, sahabat saya yang mirip Chow Yun-Fat itu. tapi tentu saja dia bukan penjudi, tapi penyair yang bodoh. Dan atas kebodohannya itu, saya nyaris jatuh cinta kepadanya. Secara pribadi (kepenyairan) dia memang bodoh setengah mati, bayangkan saja; tanpa banyak nulis di Koran dia sudah berani menerbitkan buku puisinya itu, yang sama-saja tingkat kebodohannya. yah, karena memang tidak banyak penyair yang mau menuju ‘bodoh’ seperti dirinya. Ini tentu saja karena, kebodohan, kecerobohan dan ketololan hanya dimiliki oleh mereka-mereka yang masih berjiwa muda (dalam hal ini saya sama mudanya) yang nota-bene tak gentar pada yang namanya kalah dan disingkirkan (terlepas kawan saya ini menyadarinya atau tidak). Nah yang Intelek, Masyhur, dan Terkenal itu cuma golongan tua (atau yang menuakan diri) yang hampir-hampir impoten dan kebal rangsang! dan satu lagi yang membuat saya ingin mencium kawan saya ini, dia begitu bangga dengan kebodohannya! busyet, dia memang benar-benar bukan penyair yang sudah tua. Saya mendapati ekspresi yang hidup dan real dari interaksi dengan orang-orang bodoh dan muda seperti dia, sebagaimana juga diri saya.
Saat itu kebetulan saya menjadi Moderator dalam acara bedah bukunya. Banyak kawan-kawan penulis yang hadir dan ikut memeriahkan, termasuk juga Saut Situmorang(kebetulan juga saat itu beliau pembicara) dan Katrin Bandel. Di sinilah saya mendapati orang-orang bodoh dengan berbagai macam kebodohannya, ada yang bodoh amat, ada yang setengah bodoh dan ada juga yang baru belajar menjadi ‘Bodoh’. Setelah diskusi berjalan cukup lama, percakapan semakin mengarah pada kebodohan, mereka ingat luka-luka itu sembari tertawa-tawa, ada juga yang bertanya ’saya sebenarnya bodoh gak sih?’ lugu. Tiba-tiba saya jadi berpikir dengan pintarnya ‘Apa yang sebenarnya terjadi adalah benih kebaruan, meski tak baru-baru amat. Tentang bagaimana mencoba membagun muara lain dari kesusastraan, dan kebaruan ini harus dimulai dengan begitu banyak kebodohan! penyair selalu membangun pengertian tentang dirinya sendiri dari saat ke saat, ini saatnya membangun kebaruan itu dengan jalan menuju ‘Kebodohan’ itu!. Dea, telah mulai melakukannya.
5 Paragraf Tentang Meledakkan ‘Kemewahan naif’ Kepenyairan
Ada yang tidak bisa dipungkiri dari seorang penyair (terutama yang pintar), yakni perihal kemasyhuran. Ini salah satu obat bagi kesakitan-kesakitan, tapi obat ini juga semacam racun yang diperas dari para zombie. dan cawan dari obat-obat ini begitu banyak, ada yang namanya koran (semacam kertas lebar yang berisi sampah-sampah harian), ada majalah (Biasanya memuat sampah itu satu bulan sekali), ada Buku, ada Panggung, ada Mimbar juga dengan segala mimpi kebesarannya. Oleh karena itu, dengan pikiran saya yang masih pintar, saya akan mengajukan pandangan bodoh saya tentang kepenyairan. Yang nantinya akan mengarah kepada kebodohan-kebodohan yang lain, terutama kebodohan Dea Anugrah yang setengah mati itu!
Dalam terminologi kebodohan dalam kepala saya, seharusnya ada tiga wilayah dalam memetakan kesusastraan Indonesia dan dunia pada umumnya. pertama, Dunia yang ‘politis’ (bukan politik tapi saya tekankan sekali lagi, dunia yang politis). Kedua, sastra dan sastrawan itu secara an-sich. Dan yang terakhir adalah masyarakat bersih (yakni masyarakat awam yang perlu disodori sampah-sampah yang dimuat dalam kesusastraan selama berabad-abad). Tiga wilayah ini harus didudukkan secara seimbang dan merata, mari satu persatu kita adili tiga hal ini.
Di sini, dunia yang politis bukanlah dunia politik, bila dalam bahasa Ricoeur adalah “The Political” atau “Yang Politis” bukan “Politics”. Tapi perihal letupan-letupan sosial antara kehendak ingin bertahan dan menguasai, serta kehendak ingin menerima dan terbuka. Kesusastraan berada dan terlibat di dalamnya. Seorang gila penghancur modernisme, yang lebih akrab saya panggil Kanjeng Kyai Nietzche pernah mengatakan bahwa kita dibangun oleh kehendak itu. Kehendak untuk berkuasa , tentu dengan penjabaran dan perumpamaan yang perlu dipikir tidak sebentar. Pandangan ‘dunia politis’ ini perlu dicercap dan dirasai oleh mereka yang hendak Nyastra, sebab menulis sastra sama halnya bertindak politis, yakni menggelembungkan ruang dalam diri ke ruang batin sosial.
Setelah Sastra dan Sastrawan, yakni masyarakat bersih. Yakni masyarakat awam sastra, yang sebenarnya kalau kita mau berpikir bodoh merekalah seharusnya subjek yang terlibat dalam transliterasi antara dunia real dan kesusastraan. Nah, walau tidak terang-terangan mengatakan anti koran sobat Dea Anugrah ini telah mengenyahkan jauh-jauh legitimasi kepenyairan koran itu. Bila ditelisik lebih lanjut (entah ini disadari tidak oleh Dea) ini akan menjadi gerakan kesusastraan baru yang sebenarnya ini sudah menjadi perbincangan cukup lama di komunitas saya berproses, sebuah gerakan, yakni Gerakan Anti Sastra Koran (GASAK). Apa ini berarti saya membenci koran? hahaha tidak, tapi ada sebuah usaha penghancuran berhala, penghancuran panggung, saya akan meminjam bahasa teaterawan Grotowski yakni “Kleptomania Artistik” sebuah kemegahan tanpa tiang penyangga, tanpa visi kebudayaan. Di mana media justru menjadi fokusnya, panggung menjadi sempit dan para aktor tidak menyatu dengan para penontonnya.
Runtuhnya sastra koran, akan mencairkan kebekuan-kebekuan. Dan itu tentu saja tidak hanya perlu dilakukan, tapi disikapi dengan visi yang panjang. Oleh karena itu, mari kita lakukan kebodohan-kebodohan kecil dengan menghancurkan apa yang selama ini kita pijak, yang hal ini sesungguhnya telah banyak dimulai oleh satrawan-sastrawan di lokal-an, yang jauh dari media nasional, dan membuang jauh-jauh mimpi penyair koran, yang tentu saja juga telah dan semoga terus berlanjut oleh kawan saya Dea Anugrah itu. Zaman baru kepenyairan akan segera dimulai!!!
1 Paragraf Penutup
Apalah guna kita menulis puisi bila yang membaca puisi kita hanya orang-orang yang juga menulis puisi. Dekatkan diri kepada masyarakat, bacakan syair-syair teduh dan membangun kepada mereka. Hancurkan politik busuk dengan menyuntikkan puisi ke dalam kekuatan-kekuatan politis. Tidak cukup kita hanya menulis puisi dan membaca buku, tapi bertindak ke ruang sosial lain, hancurkan kebiasaan menggantungkan diri pada komunitas sastra, mari tampil sebagai individu dan muncul ke permukaan sosial yang lebih pahit. Meminjam istilah Mbah Karl Marx, dunia tidak hanya perlu ditafsiri tapi harus dirubah. Bangun masyarakat baru, hancurkan panggung! mari menuju ‘KEBODOHAN PERTAMA’.
kata Dea:
ah benar, memang enak
sekali-kali tak pakai sempak
cobalah lepaskan sempak kalian
marilah
l
e
p
a
s
k
a
n
s
e
m
p
a
k!
Yogyakarta, 2010
Ket: Catatan ini ditulis untuk mengomentari dan menindak lanjuti “Penyair (Itu) Bodoh” karya Dea Anugrah.
Minggu, 21 Maret 2010
Mencari Nikmat di Jalan Sesat
Judul : Belenggu
Pengarang: Awung
Tebal : vi + 429 halaman
Penerbit : Pustaka Populer Obor Jakarta, 2010
Peresensi : Wayan Supartha
http://www.balipost.com/
Inilah sebuah kisah nyata. Neru, seorang pria daerah nun jauh di pedesaan, berkeinginan besar untuk dapat bertualang ke seluruh plosok dunia. Untuk dapat meraih impiannya itu, perjalanan hidupnya penuh dinamika, penuh warna. Ia harus mengorbankan bangku kuliahnya, dan memulai menyusun rencana perjalannnya keliling dunia. Sebagai anak yang baik, anak yang berbakti, ia mohon restu dari kedua orangtuanya yang sebelumnya ia sulit dapatkan. Sebelum benar-benar menginjakkan kakinya ke beberapa negara, Neru memulai pengembarannya dengan melakukan perjalanan keliling di Tanah Air.
Ketika Neru menginjakkan kakinya di Pulau Dewata, ia justru mengukir sejarah hidupnya dengan warna kelam. Mula-mula ia merintis sebuah usaha demi mengumpulkan tabungan untuk keliling dunia. Untuk menambah pendapatan, Neru mencari pekerjaan sampingan bahkan sebagai kurir ia geluti. Memilih profesi sebagai kurir, membuat ia berkenalan dengan orang-orang baru di Pulau Dewata. Tanpa sadar pula, ia memasuki sebuah dunia baru.
Neru mulai mengenal satu demi satu dengan orang pemakai narkoba, para bandar, hingga terjebak ke dalam lembah neraka sebagai pemakai narkoba. Rasa sakit yang sangat hebat, rasa ketagihan yang selalu menyiksa, kematian yang terjadi dihadapannya, telah membuat Neru ingin keluar dari dunia yang sesat. Ia ingin kembali meraih impiannya untuk dapat melihat dunia, namu usahanya selalu sia-sia.
Berbagai usaha telah ditempuhnya, namun ia selalu kembali ke jalan yang sesat. Seluruh harta bendanya, tabungan masa depannya, untuk meraih mimpi sirna sudah. Dalam kesendiriannya, kesengsarannya, tanpa sengaja Neru bertemu dengan beberapa orang yang pernah memakai narkoba bersamanya. Tapi, apakah Neru bisa melepaskan tali kesengsaraan itu? Apakah ia selalu terbelenggu, terperangkap selamanya dalam kehidupan yang kelam, tanpa bisa mewujudkan impiannya?
Begitulah sebagian kisah nyata yang ditulis Awung dalam bentuk sebuah karya sastra. Novel yang dikarang Awung asal pedalaman Kalimantan ini, penting dibaca terutama oleh kaum muda yang rentan kena korban penyalahgunaan narkoba. Oleh karena bekerja sebagai penyuluh lapangan yang bertugas membantu para pecandu narkoba untuk menghilangkan kebiasaannya, Awung tampak begitu sangat menguasai permasalahan yang mengisahkan seluk beluk penyalahgunaan narkoba.
Sebagaimana tertulis di bagian bawah sampul buku: "kisah nyata pecandu narkoba", buku ini tak ada salahnya jika dijadikan referensi bagi peneliti sosial khususnya yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkoba. Cara Awung memaparkan cerita cukup lumayan. Novel yang dibangun dari beberapa bab ini menggunakan bahasa yang lancar. Mari kita simak bagaimana Awung menceritakan tentang nikmatnya Neru menggunakan narkoba.
Ciri khas pemakai berat bila, barang keramat berlimpah tidak keluar-keluar dari sarang persembunyiannya. Demikanlah yang terjadi dengan Neru. Ia sangat menikmati hidupnya. Bahkan ia akan menemukan keasyikan tersendiri di planet ini. Biasanya ia pakai dengan menghirup asap alias dragy. Saat ini, dikarenakan Br berlimpah, ia beralih smoky- seperti yang terjadi di kamar kanjat tempo dulu. Serbuk ajaib itu diisinya kebatang rokok lalu dihidupkan, lantas dihisap dalam-dalam, layaknya rokok biasa.
Wuih-wuih, nikmat sekali hidup ini. Tak ada kenikmatan lain di dunia ini selain hidup bergelimang putaw. Langit dan bumi dengan segala isinya seakan milik pribadi. (halaman 268-269). Akan tetapi benarkah Neru bahagia? Ternyata kenikmatan Neru hanya sesat. Simaklah halaman 270-271. Di situ Awung menulis: "Hmm, Neru senang dengan libidonya yang terpuaskan. Ia bangga bisa melakukan apapun yang ingin ia lakukan. Singkatnya, ia puas. Akan tetapi, betapa kagetnya ia setelah mengetahui barang dagangannya hanya tinggal sedikit. Bahkan ia kalang kabut setelah menghitung-hituang duit yang tinggal tak seberapa. Huuh, Neru tak pernah menyangka barang sebanyak dua kilo itu bisa habis. Bahkan modal plus keuntungan yang diharap-harapnya pun nihil. Benar-benar nihil. Barang habis + duit ludes = bandar bangkrut. Gagal lagi cita-citanya keliling dunia. Gagal lagi menggapai mimpi".
Awung juga menceritakan, sejumlah pemakai narkoba mengidap virus HIV-AIDS. Ini merupakan bukti nyata, hukum karma berlaku untuk semua orang, tanpa pilih kasih. Mencari kenikmatan atau uang dengan cara yang sesat, ternyata menghasilkan kesengsaraan. Sehubungan dengan itu, patut direnungi kata-kata bijak ini: "banyak orang yang ingin mencari uang dengan mengorbankan kesehatannya, namun setelah uang berkumpul, ia jatuh sakit dan akhirnya semua uangnya itu dipakai membiayai pengobatan dan belum tentu sembuh".
Pengarang: Awung
Tebal : vi + 429 halaman
Penerbit : Pustaka Populer Obor Jakarta, 2010
Peresensi : Wayan Supartha
http://www.balipost.com/
Inilah sebuah kisah nyata. Neru, seorang pria daerah nun jauh di pedesaan, berkeinginan besar untuk dapat bertualang ke seluruh plosok dunia. Untuk dapat meraih impiannya itu, perjalanan hidupnya penuh dinamika, penuh warna. Ia harus mengorbankan bangku kuliahnya, dan memulai menyusun rencana perjalannnya keliling dunia. Sebagai anak yang baik, anak yang berbakti, ia mohon restu dari kedua orangtuanya yang sebelumnya ia sulit dapatkan. Sebelum benar-benar menginjakkan kakinya ke beberapa negara, Neru memulai pengembarannya dengan melakukan perjalanan keliling di Tanah Air.
Ketika Neru menginjakkan kakinya di Pulau Dewata, ia justru mengukir sejarah hidupnya dengan warna kelam. Mula-mula ia merintis sebuah usaha demi mengumpulkan tabungan untuk keliling dunia. Untuk menambah pendapatan, Neru mencari pekerjaan sampingan bahkan sebagai kurir ia geluti. Memilih profesi sebagai kurir, membuat ia berkenalan dengan orang-orang baru di Pulau Dewata. Tanpa sadar pula, ia memasuki sebuah dunia baru.
Neru mulai mengenal satu demi satu dengan orang pemakai narkoba, para bandar, hingga terjebak ke dalam lembah neraka sebagai pemakai narkoba. Rasa sakit yang sangat hebat, rasa ketagihan yang selalu menyiksa, kematian yang terjadi dihadapannya, telah membuat Neru ingin keluar dari dunia yang sesat. Ia ingin kembali meraih impiannya untuk dapat melihat dunia, namu usahanya selalu sia-sia.
Berbagai usaha telah ditempuhnya, namun ia selalu kembali ke jalan yang sesat. Seluruh harta bendanya, tabungan masa depannya, untuk meraih mimpi sirna sudah. Dalam kesendiriannya, kesengsarannya, tanpa sengaja Neru bertemu dengan beberapa orang yang pernah memakai narkoba bersamanya. Tapi, apakah Neru bisa melepaskan tali kesengsaraan itu? Apakah ia selalu terbelenggu, terperangkap selamanya dalam kehidupan yang kelam, tanpa bisa mewujudkan impiannya?
Begitulah sebagian kisah nyata yang ditulis Awung dalam bentuk sebuah karya sastra. Novel yang dikarang Awung asal pedalaman Kalimantan ini, penting dibaca terutama oleh kaum muda yang rentan kena korban penyalahgunaan narkoba. Oleh karena bekerja sebagai penyuluh lapangan yang bertugas membantu para pecandu narkoba untuk menghilangkan kebiasaannya, Awung tampak begitu sangat menguasai permasalahan yang mengisahkan seluk beluk penyalahgunaan narkoba.
Sebagaimana tertulis di bagian bawah sampul buku: "kisah nyata pecandu narkoba", buku ini tak ada salahnya jika dijadikan referensi bagi peneliti sosial khususnya yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkoba. Cara Awung memaparkan cerita cukup lumayan. Novel yang dibangun dari beberapa bab ini menggunakan bahasa yang lancar. Mari kita simak bagaimana Awung menceritakan tentang nikmatnya Neru menggunakan narkoba.
Ciri khas pemakai berat bila, barang keramat berlimpah tidak keluar-keluar dari sarang persembunyiannya. Demikanlah yang terjadi dengan Neru. Ia sangat menikmati hidupnya. Bahkan ia akan menemukan keasyikan tersendiri di planet ini. Biasanya ia pakai dengan menghirup asap alias dragy. Saat ini, dikarenakan Br berlimpah, ia beralih smoky- seperti yang terjadi di kamar kanjat tempo dulu. Serbuk ajaib itu diisinya kebatang rokok lalu dihidupkan, lantas dihisap dalam-dalam, layaknya rokok biasa.
Wuih-wuih, nikmat sekali hidup ini. Tak ada kenikmatan lain di dunia ini selain hidup bergelimang putaw. Langit dan bumi dengan segala isinya seakan milik pribadi. (halaman 268-269). Akan tetapi benarkah Neru bahagia? Ternyata kenikmatan Neru hanya sesat. Simaklah halaman 270-271. Di situ Awung menulis: "Hmm, Neru senang dengan libidonya yang terpuaskan. Ia bangga bisa melakukan apapun yang ingin ia lakukan. Singkatnya, ia puas. Akan tetapi, betapa kagetnya ia setelah mengetahui barang dagangannya hanya tinggal sedikit. Bahkan ia kalang kabut setelah menghitung-hituang duit yang tinggal tak seberapa. Huuh, Neru tak pernah menyangka barang sebanyak dua kilo itu bisa habis. Bahkan modal plus keuntungan yang diharap-harapnya pun nihil. Benar-benar nihil. Barang habis + duit ludes = bandar bangkrut. Gagal lagi cita-citanya keliling dunia. Gagal lagi menggapai mimpi".
Awung juga menceritakan, sejumlah pemakai narkoba mengidap virus HIV-AIDS. Ini merupakan bukti nyata, hukum karma berlaku untuk semua orang, tanpa pilih kasih. Mencari kenikmatan atau uang dengan cara yang sesat, ternyata menghasilkan kesengsaraan. Sehubungan dengan itu, patut direnungi kata-kata bijak ini: "banyak orang yang ingin mencari uang dengan mengorbankan kesehatannya, namun setelah uang berkumpul, ia jatuh sakit dan akhirnya semua uangnya itu dipakai membiayai pengobatan dan belum tentu sembuh".
Made Sanggra, Perginya Sastrawan Berilmu Padi
Darma Putra
http://www.balipost.co.id/
Sastrawan I Made Sanggra berpulang Rabu (20/6) lalu. Bali kehilangan salah satu sastrawan terbaiknya. Penghargaan penting yang sekarang pantas diberikan atas prestasi kreativitasnya pastilah dengan menerbitkan karya-karya yang ditinggalkan. Di masa hidupnya, sastrawan kelahiran Sukawati, Gianyar, tahun 1926 ini sering mengeluarkan biaya sendiri untuk menerbitkan karya-karyanya.
BANYAK yang pantas dikagumi dan diteladani dari sastrawan rendah hati ini. Made Sanggra adalah sastrawan serba bisa. Selain menulis sastra Bali tradisional seperti geguritan, dia juga menulis sastra Bali modern seperti puisi dan cerita pendek. Tahun 1950-an, dia malah pernah menulis sejumlah puisi dalam bahasa Indonesia.
Walaupun menekuni berbagai sastra, nama Made Sanggra lebih harum terpatri dalam dunia sastra Bali modern. Prestasi kreativitasnya mulai bersinar lewat cerita "Ketemu ring Tampaksiring" (KrT) yang ditulisnya awal 1970-an. Inilah cerpen sastra Bali modern terbaik dan belum ada yang bisa menandingi sampai kini. Siapa pun hendak mengetahui sastra Bali modern wajiblah membaca cerpen ini. "KrT" melukiskan pertemuan secara kebetulan wartawan Belanda dengan ibunya, orang Bali, di daerah Tampaksiring. Wartawan ini datang ke Bali mengikuti kunjungan kenegaraan Ratu Juliana. Struktur naratifnya indah, nilai pesannya dalam. Tampilnya tokoh Barat dalam cerpen ini menambah sifat modern sastra Bali modern.
Buku "KrT" pernah diterbitkan pengarangnya sendiri pada 1970-an, namun stensilan karena terbatasnya biaya. Tahun 2004, lagi atas usaha sendiri, kumpulan cerpen ini dicetak ulang lebih mewah dan terbit dalam tiga bahasa -- Bali, Indonesia, dan Inggris. Kini, buku itu sudah terlihat menjadi koleksi beberapa perpustakaan luar negeri seperti Amerika dan Australia. Penampilan buku tiga-bahasa ini memungkinkan sastra Bali modern untuk dinikmati oleh mereka yang tidak bisa berbahasa Bali.
Cerpen "KrT" pun sempat memikat hati seniman Prof. Dr. I Wayan Dibia. Dia mengangkat kisah cerpen ini ke dalam lakon Arja dengan judul sama dan mementaskannya di Pesta Kesenian Bali (PKB) 2005. Lakon Arja yang biasanya bersumber dari cerita Panji, kini diperkaya satu cerita lagi. Inilah sumbangan lain Made Sanggra pada jagat kesenian Bali. Adaptasi ke Arja membuat cerpennya menjadi sejajar dengan kisah klasik Bali lainnya.
Made Sanggra banyak menulis puisi. Sebagian terkumpul dalam buku puisi "Kidung Republik" (1997). Kumpulan puisi ini mendapat penghargaan hadiah sastra Rancage 1998, yang diprakarsai satrawan Ajip Rosidi. Puisi-puisi dalam kumpulan ini banyak bertema heroisme dan respons terhadap perubahan sosial di Bali. Dalam menulis puisi, Made Sanggra senantiasa menggunakan huruf kecil (nonkapital). Dari segi tata ejaan, penulisan itu tentu salah, tetapi Made Sanggra sengaja melakukan sebagai cermin rasa rendah hati alias tidak sombong. Gaya seperti ini juga diteruskan oleh putranya, sastrawan Made Suarsa yang sudah dua kali mendapat hadiah Rancage.
Puisi Made Sanggra sangat indah, enak dibaca. Isinya memberikan pembacanya sudut pandang alternatif dalam memahami proses dan dampak modernisasi. Salah satu puisinya yang memenuhi ciri ini adalah "denpasar sane mangkin" (1970-an). Lewat ungkapan "sawah dados umah, umah dados sawah" (sawah jadi rumah, rumah jadi sawah), Made Sanggra tidak saja menjelaskan transformasi sawah secara fisik menjadi rumah, tetapi juga mengungkapkan bahwa di Denpasar rumah (kost-kost-an) berfungsi seperti sawah, menjadi sumber penghasilan (kontrak). Karena apa yang ditulis hampir empat dekade itu merefleksikan realitas sekarang, tidak berlebihan untuk mengatakan puisi ini adalah karya yang visioner.
Yang patut diteladani dari Made Sanggra adalah komitmennya yang tinggi untuk mempertahankan kehidupan sastra Bali modern. Ia memfokuskan diri menulis sastra Bali modern akhir 1960-an karena prihatin melihat jumlah penulis dalam jenis sastra ini langka. "Yang menulis sastra Indonesia dan sastra tradisional Bali sudah banyak," katanya suatu kali. Menulis sastra Bali modern, baginya, adalah salah satu cara untuk menjaga kehidupan bahasa Bali yang waktu itu banyak diprakirakan akan mati.
Bersama dengan koleganya Nyoman Manda dari Gianyar, Made Sanggra sampai di usia tuanya masih gigih menerbitkan majalah sastra Canang Sari. Lewat majalah ini, dia mempublikasikan tulisannya sekaligus mendorong para pelajar untuk menulis, membaca, dan mencintai sastra Bali modern. Pengarang yang lebih muda pun menjadi termotivasi, seperti IDK Raka Kusuma dan Komang Beratha dkk. di Karangasem yang menerbitkan majalah sastra Bali Buratwangi.
Meski gigih berjuang, Made Sanggra senantiasa tampil rendah hati. Selain dalam gaya menulis sajak dengan huruf kecil, rasa rendah hati itu juga tercermin dari caranya bergaul dan mendorong penulis muda untuk terus mencipta. Tutur katanya pun santun meski ketika harus mengatakan sesuatu yang pahit dan kritis seputar kehidupan kebudayaan dan sastra Bali dalam berbagai seminar. Ia sastrawan yang senantiasa tampil dengan ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Walaupun kini dia sudah dipanggil Yang Maha Kuasa, prestasi kreativitasnya, pengabdiannya, dan sikap rendah hatinya sebagai sastrawan Bali amat pantas diteladani.
Brisbane, Australia
http://www.balipost.co.id/
Sastrawan I Made Sanggra berpulang Rabu (20/6) lalu. Bali kehilangan salah satu sastrawan terbaiknya. Penghargaan penting yang sekarang pantas diberikan atas prestasi kreativitasnya pastilah dengan menerbitkan karya-karya yang ditinggalkan. Di masa hidupnya, sastrawan kelahiran Sukawati, Gianyar, tahun 1926 ini sering mengeluarkan biaya sendiri untuk menerbitkan karya-karyanya.
BANYAK yang pantas dikagumi dan diteladani dari sastrawan rendah hati ini. Made Sanggra adalah sastrawan serba bisa. Selain menulis sastra Bali tradisional seperti geguritan, dia juga menulis sastra Bali modern seperti puisi dan cerita pendek. Tahun 1950-an, dia malah pernah menulis sejumlah puisi dalam bahasa Indonesia.
Walaupun menekuni berbagai sastra, nama Made Sanggra lebih harum terpatri dalam dunia sastra Bali modern. Prestasi kreativitasnya mulai bersinar lewat cerita "Ketemu ring Tampaksiring" (KrT) yang ditulisnya awal 1970-an. Inilah cerpen sastra Bali modern terbaik dan belum ada yang bisa menandingi sampai kini. Siapa pun hendak mengetahui sastra Bali modern wajiblah membaca cerpen ini. "KrT" melukiskan pertemuan secara kebetulan wartawan Belanda dengan ibunya, orang Bali, di daerah Tampaksiring. Wartawan ini datang ke Bali mengikuti kunjungan kenegaraan Ratu Juliana. Struktur naratifnya indah, nilai pesannya dalam. Tampilnya tokoh Barat dalam cerpen ini menambah sifat modern sastra Bali modern.
Buku "KrT" pernah diterbitkan pengarangnya sendiri pada 1970-an, namun stensilan karena terbatasnya biaya. Tahun 2004, lagi atas usaha sendiri, kumpulan cerpen ini dicetak ulang lebih mewah dan terbit dalam tiga bahasa -- Bali, Indonesia, dan Inggris. Kini, buku itu sudah terlihat menjadi koleksi beberapa perpustakaan luar negeri seperti Amerika dan Australia. Penampilan buku tiga-bahasa ini memungkinkan sastra Bali modern untuk dinikmati oleh mereka yang tidak bisa berbahasa Bali.
Cerpen "KrT" pun sempat memikat hati seniman Prof. Dr. I Wayan Dibia. Dia mengangkat kisah cerpen ini ke dalam lakon Arja dengan judul sama dan mementaskannya di Pesta Kesenian Bali (PKB) 2005. Lakon Arja yang biasanya bersumber dari cerita Panji, kini diperkaya satu cerita lagi. Inilah sumbangan lain Made Sanggra pada jagat kesenian Bali. Adaptasi ke Arja membuat cerpennya menjadi sejajar dengan kisah klasik Bali lainnya.
Made Sanggra banyak menulis puisi. Sebagian terkumpul dalam buku puisi "Kidung Republik" (1997). Kumpulan puisi ini mendapat penghargaan hadiah sastra Rancage 1998, yang diprakarsai satrawan Ajip Rosidi. Puisi-puisi dalam kumpulan ini banyak bertema heroisme dan respons terhadap perubahan sosial di Bali. Dalam menulis puisi, Made Sanggra senantiasa menggunakan huruf kecil (nonkapital). Dari segi tata ejaan, penulisan itu tentu salah, tetapi Made Sanggra sengaja melakukan sebagai cermin rasa rendah hati alias tidak sombong. Gaya seperti ini juga diteruskan oleh putranya, sastrawan Made Suarsa yang sudah dua kali mendapat hadiah Rancage.
Puisi Made Sanggra sangat indah, enak dibaca. Isinya memberikan pembacanya sudut pandang alternatif dalam memahami proses dan dampak modernisasi. Salah satu puisinya yang memenuhi ciri ini adalah "denpasar sane mangkin" (1970-an). Lewat ungkapan "sawah dados umah, umah dados sawah" (sawah jadi rumah, rumah jadi sawah), Made Sanggra tidak saja menjelaskan transformasi sawah secara fisik menjadi rumah, tetapi juga mengungkapkan bahwa di Denpasar rumah (kost-kost-an) berfungsi seperti sawah, menjadi sumber penghasilan (kontrak). Karena apa yang ditulis hampir empat dekade itu merefleksikan realitas sekarang, tidak berlebihan untuk mengatakan puisi ini adalah karya yang visioner.
Yang patut diteladani dari Made Sanggra adalah komitmennya yang tinggi untuk mempertahankan kehidupan sastra Bali modern. Ia memfokuskan diri menulis sastra Bali modern akhir 1960-an karena prihatin melihat jumlah penulis dalam jenis sastra ini langka. "Yang menulis sastra Indonesia dan sastra tradisional Bali sudah banyak," katanya suatu kali. Menulis sastra Bali modern, baginya, adalah salah satu cara untuk menjaga kehidupan bahasa Bali yang waktu itu banyak diprakirakan akan mati.
Bersama dengan koleganya Nyoman Manda dari Gianyar, Made Sanggra sampai di usia tuanya masih gigih menerbitkan majalah sastra Canang Sari. Lewat majalah ini, dia mempublikasikan tulisannya sekaligus mendorong para pelajar untuk menulis, membaca, dan mencintai sastra Bali modern. Pengarang yang lebih muda pun menjadi termotivasi, seperti IDK Raka Kusuma dan Komang Beratha dkk. di Karangasem yang menerbitkan majalah sastra Bali Buratwangi.
Meski gigih berjuang, Made Sanggra senantiasa tampil rendah hati. Selain dalam gaya menulis sajak dengan huruf kecil, rasa rendah hati itu juga tercermin dari caranya bergaul dan mendorong penulis muda untuk terus mencipta. Tutur katanya pun santun meski ketika harus mengatakan sesuatu yang pahit dan kritis seputar kehidupan kebudayaan dan sastra Bali dalam berbagai seminar. Ia sastrawan yang senantiasa tampil dengan ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Walaupun kini dia sudah dipanggil Yang Maha Kuasa, prestasi kreativitasnya, pengabdiannya, dan sikap rendah hatinya sebagai sastrawan Bali amat pantas diteladani.
Brisbane, Australia
Sabtu, 20 Maret 2010
TEROR
AS Sumbawi
http://media-sastra-indonesia.blogspot.com/
Dua puluh tahun yang lalu, aku dilahirkan oleh seorang yang kukenal sebagai ibu. Ibuku seorang perempuan. Akan tetapi, hingga saat ini, belum pernah terjadi percakapan tentang seorang perempuan di antara kami. Padahal, aku sudah bukan kanak-kanak lagi, melainkan seorang laki-laki. Barangkali karena tinggal jauh dari rumah, aku jadi jarang bertemu dan berbicara dengannya. Hanya sekali dalam sebulan, dan itupun lewat telepon.
Ketika di rumah, aku sering membantu ibu memasak. Mencuci piring, mengiris bawang, menggoreng tempe dan sebagainya, sambil mengadakan percakapan yang cukup panjang. Sekali lagi, tidak tentang seorang perempuan. Meskipun begitu, aku serasa mendapatkan kembali perhatian dan kasih sayangnya. Namun, kadang aku mengeluh. Kenapa ibu tak pernah bertanya tentang seorang perempuan? Ya, aku sudah lama menunggu pertanyaan itu, dan aku laki-laki.
Pernah beberapa kali aku mendapat telepon dari seorang teman perempuan dan kebetulan ibu yang mengangkatnya. Kemudian. “Awik, ada telepon untukmu,” katanya. Hanya itu. Aku ingin sekali ibu berkata, siapa gadis itu? Atau bahkan, kekasihmukah gadis itu? sembari tersenyum menggodaku. Namun, tidak.
Suatu hari aku mencoba menerapkan suatu strategi agar keluar pertanyaan dari bibir ibu. Aku meminta ibu bercerita tentang kisah waktu muda dulu. Kisah pertemuannya dengan ayah. Dan dikabulkan. Kemudian ia mulai bernostalgia melalui ceritanya. Kuamati wajah ibu. Suka-duka silih-menyilih menghias di sana. Kadang ia termenung sejenak. Sementara aku mendengarkannya dengan penuh perhatian dan tersenyum-senyum. Namun, tetap saja. Tak keluar juga pertanyaan tentang seorang perempuan padaku. Hingga kini, aku mengenal sosok perempuan dari sumber lain; yaitu teman-temanku dan buku bacaan.
Aku punya banyak teman perempuan. Suatu kali kukoordinir mereka. Kupinta bantuan mereka untuk melancarkan sebuah strategi baru. Pada hari H dan pukul P, aku meminta kurang lebih sepuluh perempuan, temanku, untuk meneleponku di rumah selama tiga hari berturut-turut. Tentu saja, setiap hari ada sepuluh panggilan telepon untukku. Semuanya dari perempuan. Dan ibulah yang paling banyak menerima telepon itu, karena waktu yang sengaja kupilih adalah pada saat di mana sinetron menjadi program unggulan stasiun televisi. Ia terganggu, tak bisa konsentrasi, bolak-balik memanggilku.
Sebenarnya aku tak tega berbuat hal tersebut pada ibuku. Mungkin aku akan dicap sebagai anak durhaka. Tapi, aku butuh percakapan itu. Dan kuulangi sekali lagi, aku laki-laki dewasa.
Serangan telepon itu agaknya berpengaruh pada ibu. Ia sering berlama-lama memperhatikanku. Entah, apa yang ada di benaknya. Kadang-kadang pada saat menerima telepon itu, aku sedikit nakal. Bersikap mesra untuk mencuri perhatiannya. Tapi, bisa diduga. Ia tak bertanya tentang perempuan-perempuan itu. Aku menganggap bahwa itu memang sudah menjadi gayanya.
*
Suatu ketika aku berkenalan kemudian menjalin kasih dengan seorang perempuan. Ia bernama Maria Shofia. Pada awalnya, hubunganku dengannya begitu indah. Namun, masalah pun datang juga. Maria ingin aku memperkenalkan dirinya pada orang tuaku di rumah. Sebenarnya, ini tak terlalu pelik buatku. Tapi, aku belum pernah bercakap tentang seorang perempuan dengan ibu. Dan aku tak mungkin tiba-tiba pulang dengan membawa seorang perempuan. Bagaimana nanti dengan para tetangga di desa? pikirku. Aku mencoba menenangkan Maria dengan: “Aku pasti mengajakmu pulang, sayang. Tapi, tidak sekarang.”
*
Setiap hari Maria tak bisa tidak menelepon diriku. Berkali-kali. Kadang ia lupa waktu. Dini hari. Sungguh gila. Kangen, katanya. Aku suka-suka saja dengan hal itu. Namun, aku jadi nggak enak dengan teman-teman satu kontrakan. Mereka terus-menerus terganggu dengan dering telepon. Akhirnya kukatakan padanya, boleh menelepon seratus kali, asalkan tidak pada saat orang-orang tidur. Tentu saja ia mengerti.
*
Suatu hari, aku mendapat telepon dari ibu. Aku diminta pulang lantaran ada masalah yang sangat penting. Dan sebelum pulang kusempatkan menemui Maria.
Ia ingin ikut pulang denganku. Aku meminta pengertiannya. Akhirnya ia merelakan kegagalannya dengan sedikit terpaksa. Tapi, ia meminta sesuatu untuk mengobati kekecewaannya. Sebuah ciuman. Aku terperangah.
*
Sore hari aku tiba di rumah. Langsung kucari ibu dan menanyakan masalah penting itu padanya. Katanya: “Tidak ada apa-apa. Ibu hanya kangen saja.” Kemudian ia menyuruhku mandi-makan-istirahat. Ia juga menyuruhku shalat. Namun, kukatakan: “Sudah. Kujamak-qashar dalam perjalanan.”
*
Sepanjang mandi-makan-istirahat, pikiranku terganggu. Tidak seperti biasanya, ibu meneleponku, menyuruhku pulang. Aku tak percaya bahwa ini karena alasan kangen saja. Apalagi kulihat di mata ibu tampak ada sesuatu yang tersembunyi yang menguatkan anggapanku tentang adanya suatu masalah menyangkut diriku.
Selepas maghrib, kembali aku menanyakan masalah itu pada ibu. Ibu hanya tersenyum. Aku semakin penasaran. Akan tetapi, aku tak mau mendesaknya meskipun membuat kepalaku tersiksa. Ah, barangkali saat ini mungkin bukan waktu yang pas bagi ibu. Biarlah, pikirku.
Ibu kemudian mengalihkan perhatian dengan menanyakan kabarku di sana. Bagaimana kuliahnya? Kapan KKN? Skripsi? Wisuda? Dan aku sudah putus asa mengharapkan ibu bertanya tentang seorang perempuan.
*
Sudah dua hari aku di rumah. Ibu belum juga memberitahukan masalah yang katanya penting itu. Sementara kepalaku sudah mulai lega tanpa memikirkan masalah itu.
Sedang Maria tetap meneleponku. Tiap hari, dan mengambil waktu selepas maghrib, karena ia tahu bahwa saat itu aku makan malam bersama keluarga. Ibu yang kerap menerima teleponnya.
Aku terperangah ketika ibu berkata : “Awik, ada telepon dari Maria.”
Ah, Rupanya Maria mencari perhatian, pikirku. Pada mulanya aku sedikit rikuh dengan cara Maria ini. Namun, kemudian aku malah suka. Bukankah cara Maria ini akan meneror ibu? Lalu ibu akan tersiksa dan terpaksa bertanya tentang siapa Maria itu. Tapi, itu bukan gayanya. Ibu sama sekali tak bertanya.
Setiap kali aku berbicara dengan Maria di telepon, konsentrasi makan ibu menjadi hilang. Kuperhatikan ibu hanya membolak-balik makanan dan kerap memperhatikanku.
“Jangan sekarang, Maria. Masalahnya belum selesai. Nanti saja kalau semua sudah beres, kamu main ke rumah. Oke, sayang. Udah, ya. Assalamu ‘alaikum”, itulah kata-kata terakhir yang kuucapkan sebelum meletakkan gagang telepon. Ah, untunglah, Maria selama ini cukup mengerti.
Ketika aku melanjutkan makan, ibu masih saja memperhatikanku. Aku pura-pura tak tahu. Ah, ibu. Kapan kita akan berbicara tentang seorang perempuan. Cinta, pikirku.
*
Sudah tiga hari ini, Maria terus mencecarku dengan berbagai pertanyaan dan tuntutan. Kapan masalahnya selesai? Kapan aku boleh ke rumahmu? Kapan diperkenalkan dengan orang tuamu? Kapan menikah? Aku bingung.
*
Sore itu kulihat ibu sedang duduk sendiri di serambi depan. Aku mendekat dan duduk di sampingnya. Ibu tersenyum. Kemudian aku membuka percakapan dengan bertanya tentang ayah ketika masih muda dulu. Tapi, ibu berkata bahwa itu sudah pernah diceritakan. Kami terdiam sesaat.
“Apakah ibu tak mau bertanya tentang Maria?” kataku nekat. Kuperhatikan ibu terperangah. Namun, aku tahu ibu berpura-pura.
“Dia pacarku, Bu. Besok ia akan berkunjung ke mari bersama seorang temannya. Berkenalan dengan ibu dan ayah.” Ibu masih diam. Tatapan matanya jauh ke depan. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Perlahan ia membuka suara.
“Sebenarnya….., sebenarnya ibu menyuruhmu pulang adalah untuk membicarakan masalah pertunanganmu dengan anaknya Pak Fadzil yang telah disepakati beberapa hari yang lalu.”
Aku tersentak. Ternyata, selama ini ibu memikirkan masa depan dan kebahagiaanku. (*)
http://media-sastra-indonesia.blogspot.com/
Dua puluh tahun yang lalu, aku dilahirkan oleh seorang yang kukenal sebagai ibu. Ibuku seorang perempuan. Akan tetapi, hingga saat ini, belum pernah terjadi percakapan tentang seorang perempuan di antara kami. Padahal, aku sudah bukan kanak-kanak lagi, melainkan seorang laki-laki. Barangkali karena tinggal jauh dari rumah, aku jadi jarang bertemu dan berbicara dengannya. Hanya sekali dalam sebulan, dan itupun lewat telepon.
Ketika di rumah, aku sering membantu ibu memasak. Mencuci piring, mengiris bawang, menggoreng tempe dan sebagainya, sambil mengadakan percakapan yang cukup panjang. Sekali lagi, tidak tentang seorang perempuan. Meskipun begitu, aku serasa mendapatkan kembali perhatian dan kasih sayangnya. Namun, kadang aku mengeluh. Kenapa ibu tak pernah bertanya tentang seorang perempuan? Ya, aku sudah lama menunggu pertanyaan itu, dan aku laki-laki.
Pernah beberapa kali aku mendapat telepon dari seorang teman perempuan dan kebetulan ibu yang mengangkatnya. Kemudian. “Awik, ada telepon untukmu,” katanya. Hanya itu. Aku ingin sekali ibu berkata, siapa gadis itu? Atau bahkan, kekasihmukah gadis itu? sembari tersenyum menggodaku. Namun, tidak.
Suatu hari aku mencoba menerapkan suatu strategi agar keluar pertanyaan dari bibir ibu. Aku meminta ibu bercerita tentang kisah waktu muda dulu. Kisah pertemuannya dengan ayah. Dan dikabulkan. Kemudian ia mulai bernostalgia melalui ceritanya. Kuamati wajah ibu. Suka-duka silih-menyilih menghias di sana. Kadang ia termenung sejenak. Sementara aku mendengarkannya dengan penuh perhatian dan tersenyum-senyum. Namun, tetap saja. Tak keluar juga pertanyaan tentang seorang perempuan padaku. Hingga kini, aku mengenal sosok perempuan dari sumber lain; yaitu teman-temanku dan buku bacaan.
Aku punya banyak teman perempuan. Suatu kali kukoordinir mereka. Kupinta bantuan mereka untuk melancarkan sebuah strategi baru. Pada hari H dan pukul P, aku meminta kurang lebih sepuluh perempuan, temanku, untuk meneleponku di rumah selama tiga hari berturut-turut. Tentu saja, setiap hari ada sepuluh panggilan telepon untukku. Semuanya dari perempuan. Dan ibulah yang paling banyak menerima telepon itu, karena waktu yang sengaja kupilih adalah pada saat di mana sinetron menjadi program unggulan stasiun televisi. Ia terganggu, tak bisa konsentrasi, bolak-balik memanggilku.
Sebenarnya aku tak tega berbuat hal tersebut pada ibuku. Mungkin aku akan dicap sebagai anak durhaka. Tapi, aku butuh percakapan itu. Dan kuulangi sekali lagi, aku laki-laki dewasa.
Serangan telepon itu agaknya berpengaruh pada ibu. Ia sering berlama-lama memperhatikanku. Entah, apa yang ada di benaknya. Kadang-kadang pada saat menerima telepon itu, aku sedikit nakal. Bersikap mesra untuk mencuri perhatiannya. Tapi, bisa diduga. Ia tak bertanya tentang perempuan-perempuan itu. Aku menganggap bahwa itu memang sudah menjadi gayanya.
*
Suatu ketika aku berkenalan kemudian menjalin kasih dengan seorang perempuan. Ia bernama Maria Shofia. Pada awalnya, hubunganku dengannya begitu indah. Namun, masalah pun datang juga. Maria ingin aku memperkenalkan dirinya pada orang tuaku di rumah. Sebenarnya, ini tak terlalu pelik buatku. Tapi, aku belum pernah bercakap tentang seorang perempuan dengan ibu. Dan aku tak mungkin tiba-tiba pulang dengan membawa seorang perempuan. Bagaimana nanti dengan para tetangga di desa? pikirku. Aku mencoba menenangkan Maria dengan: “Aku pasti mengajakmu pulang, sayang. Tapi, tidak sekarang.”
*
Setiap hari Maria tak bisa tidak menelepon diriku. Berkali-kali. Kadang ia lupa waktu. Dini hari. Sungguh gila. Kangen, katanya. Aku suka-suka saja dengan hal itu. Namun, aku jadi nggak enak dengan teman-teman satu kontrakan. Mereka terus-menerus terganggu dengan dering telepon. Akhirnya kukatakan padanya, boleh menelepon seratus kali, asalkan tidak pada saat orang-orang tidur. Tentu saja ia mengerti.
*
Suatu hari, aku mendapat telepon dari ibu. Aku diminta pulang lantaran ada masalah yang sangat penting. Dan sebelum pulang kusempatkan menemui Maria.
Ia ingin ikut pulang denganku. Aku meminta pengertiannya. Akhirnya ia merelakan kegagalannya dengan sedikit terpaksa. Tapi, ia meminta sesuatu untuk mengobati kekecewaannya. Sebuah ciuman. Aku terperangah.
*
Sore hari aku tiba di rumah. Langsung kucari ibu dan menanyakan masalah penting itu padanya. Katanya: “Tidak ada apa-apa. Ibu hanya kangen saja.” Kemudian ia menyuruhku mandi-makan-istirahat. Ia juga menyuruhku shalat. Namun, kukatakan: “Sudah. Kujamak-qashar dalam perjalanan.”
*
Sepanjang mandi-makan-istirahat, pikiranku terganggu. Tidak seperti biasanya, ibu meneleponku, menyuruhku pulang. Aku tak percaya bahwa ini karena alasan kangen saja. Apalagi kulihat di mata ibu tampak ada sesuatu yang tersembunyi yang menguatkan anggapanku tentang adanya suatu masalah menyangkut diriku.
Selepas maghrib, kembali aku menanyakan masalah itu pada ibu. Ibu hanya tersenyum. Aku semakin penasaran. Akan tetapi, aku tak mau mendesaknya meskipun membuat kepalaku tersiksa. Ah, barangkali saat ini mungkin bukan waktu yang pas bagi ibu. Biarlah, pikirku.
Ibu kemudian mengalihkan perhatian dengan menanyakan kabarku di sana. Bagaimana kuliahnya? Kapan KKN? Skripsi? Wisuda? Dan aku sudah putus asa mengharapkan ibu bertanya tentang seorang perempuan.
*
Sudah dua hari aku di rumah. Ibu belum juga memberitahukan masalah yang katanya penting itu. Sementara kepalaku sudah mulai lega tanpa memikirkan masalah itu.
Sedang Maria tetap meneleponku. Tiap hari, dan mengambil waktu selepas maghrib, karena ia tahu bahwa saat itu aku makan malam bersama keluarga. Ibu yang kerap menerima teleponnya.
Aku terperangah ketika ibu berkata : “Awik, ada telepon dari Maria.”
Ah, Rupanya Maria mencari perhatian, pikirku. Pada mulanya aku sedikit rikuh dengan cara Maria ini. Namun, kemudian aku malah suka. Bukankah cara Maria ini akan meneror ibu? Lalu ibu akan tersiksa dan terpaksa bertanya tentang siapa Maria itu. Tapi, itu bukan gayanya. Ibu sama sekali tak bertanya.
Setiap kali aku berbicara dengan Maria di telepon, konsentrasi makan ibu menjadi hilang. Kuperhatikan ibu hanya membolak-balik makanan dan kerap memperhatikanku.
“Jangan sekarang, Maria. Masalahnya belum selesai. Nanti saja kalau semua sudah beres, kamu main ke rumah. Oke, sayang. Udah, ya. Assalamu ‘alaikum”, itulah kata-kata terakhir yang kuucapkan sebelum meletakkan gagang telepon. Ah, untunglah, Maria selama ini cukup mengerti.
Ketika aku melanjutkan makan, ibu masih saja memperhatikanku. Aku pura-pura tak tahu. Ah, ibu. Kapan kita akan berbicara tentang seorang perempuan. Cinta, pikirku.
*
Sudah tiga hari ini, Maria terus mencecarku dengan berbagai pertanyaan dan tuntutan. Kapan masalahnya selesai? Kapan aku boleh ke rumahmu? Kapan diperkenalkan dengan orang tuamu? Kapan menikah? Aku bingung.
*
Sore itu kulihat ibu sedang duduk sendiri di serambi depan. Aku mendekat dan duduk di sampingnya. Ibu tersenyum. Kemudian aku membuka percakapan dengan bertanya tentang ayah ketika masih muda dulu. Tapi, ibu berkata bahwa itu sudah pernah diceritakan. Kami terdiam sesaat.
“Apakah ibu tak mau bertanya tentang Maria?” kataku nekat. Kuperhatikan ibu terperangah. Namun, aku tahu ibu berpura-pura.
“Dia pacarku, Bu. Besok ia akan berkunjung ke mari bersama seorang temannya. Berkenalan dengan ibu dan ayah.” Ibu masih diam. Tatapan matanya jauh ke depan. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Perlahan ia membuka suara.
“Sebenarnya….., sebenarnya ibu menyuruhmu pulang adalah untuk membicarakan masalah pertunanganmu dengan anaknya Pak Fadzil yang telah disepakati beberapa hari yang lalu.”
Aku tersentak. Ternyata, selama ini ibu memikirkan masa depan dan kebahagiaanku. (*)
Tubuh yang Berkata-kata
Rakhmat Giryadi*
http://teaterapakah.blogspot.com/
Judul Buku: Antonin Artaud Ledakan dan Bom
Judul Asli: Blows and Bombs
Penulis: Stephen Barber
Penerjemah: Max Arifin
Penerbit: Dewan Kesenian Jakarta
Tahun Terbit I, Agustus 2006
Tebal, 200 + xxiv halaman
Antonin Artaud lahir dengan nama Antoine Marie Joseph Artaud, pada 4 September 1896, di dekakat kebun binatang Marseilles, Perancis. Artaud sendiri dalam berbagai kesempatan sering mengganti dan merusak namanya. Ia pernah mengganti namanya menjadi Eno Dailor untuk beberapa naskah awal Surrealisnya. Bahkan dalam satu periode ia mengumumkan ‘My name must disappear’ (namaku harus lenyap). Bahkan ia tak bernama sama sekali awal penahanannya di azilum. Usai pembebasannya di azilum ia memakai nama samaran ‘le Momo’ (bahasa slang Marseilles yang berarti si idiot, bodoh, atau ndeso).
Kehidupan Artaud merupakan tragedy besar, kegagalan dahsat datang silih berganti, dan tekanan demi tekanan. Tetapi ia memiliki semacam kekuatan magis dan kemapuan monumental untuk bangkit aktif dan merekontruksi kembali kegelisahannya. Karya Surrealisnya pada tahun 1920-an mencoba bereksperimen tentang kesadaran lewat atau melalui karya sinematik dan puitik. Setelah projek-projek Surrealismenya berantakan pekerjaannya terlibat dalam ruang teatrikal.
Bahasa yang dipaki Artaud dalam tulisa-tulisannya bercampur aduk bagai terikan atau jeritan-jeritan yang menuju ke kecabulan yang ekstrim dan murni. Menulis bagi Artaud adalah suatu penumpahan atau pengeluaran semua substansi yang berisfat fisikal, baik yang berdampak liar maupun yang bersifat interogratif. Tulisannya merupakan luapan ekspresi yang kasar dan berterus terang dari reflek-reflek yang bersifat indrawi, menentang control social.
***
Buku Blows and Bombs karya Stephen Barber ( Faber and Faber Limited London 1994) yang diterjemahkan oleh oleh Max Arifin menjadi Ledakan dan Bom (DKJ Agustus 2006 ) ini banyak mengisahkan proses perjalanan Antonin Artaud. Buku ini membeberkan kisah Artaud mulai dari gerakannya di seni sastra Surrealisnya sampai pada konsepsi teater kejamnya (The Theatre of Cruelty).
Artaud dikenal sebagai seorang penulis yang karya-karyanya sangat provokatif dan mendatangkan banyak malapetaka. Gerakannya yang provokatif dan bahkan ekstrim itu membuatnya ditolak dalam lingkungannya sendiri terutama oleh teman-temannya sendiri para Surrealis, di Paris. Penolakannya itu bahkan justru membuahkan hasil yang sangat produktif setelah ia juga mengalami serententan perjalanan dan perawatannya di rumah sakit jiwa.
Karya-karyanya menggali isu-isu tentang kebebasan, pengurungan, dan kreatifitas, dengan menghasilkan imaji-imaji yang begitu krusial tentang penyadaran bahasa dan kehidupan. Dalam jejak-jejak karyanya, kita akan menemukan serpihan-serpihan kemauan yang keras kepala dan garang.
Ia meninggalkan Prancis –ia mengembara ke Mexico dan Irlandia- setelah mengalami kegagalan besar dalam meluncurkan mimpinya tentang Theatre of Cruelty, suatu proyek artistic yang didesain untuk menumbangkan kebudayaan dan membakarnya untuk dikembalikan pada kehidupan ini, sebagai suatu laku yang langsung menentang masyarakat.
Theatre of Cruelty, menawarkan tiga konsepsi dasar teater, tari, rupa, dan film. Theatre of Cruelty merupakan pertemuan dari setumpuk kegelisahan dan penderitaannya dengan pertunjukan teater tari Bali tahun 1931. Bagi Artaud teater Bali berisi semua unsur yang telah ia masukan pada Alfred Jarry Theatre, sebagai satu strategi perlawanan terhadap tekstual yang begitu berkuasa dan teater psikologikal Eropa. Titik pusat utamanya adalah gesture dan tekstual merupakan suatu yang berbeda di bahwahnya; teaternya memiliki disiplin dan magis.
Peristiwa kedua yang memberikan inspirasi dan memberikan kontribusi pada theatre of cruelty terjadi pada bulan September 1931, ketika Artaud menyaksikan lukisan Leyden dari abad 15 berjudul The Daughters of Lot di museum Louvre. Artaud merasakan adanya kesamaan antara lukisan itu -yang menggambarkan bencana dan seksualitas- dengan teater Bali. Artaud mempergunakan arsitektur keruangan yang menyimpang dari lukisan tersebut dan perhatiannya terhadap incest dan bencana sebagai pusat perhatiaannya dalam bentuk dan material yang ia inginkan dalam teater barunya.
Artaud memandang lukisan tersebut sebagai hasil dari arah kreatif yang diuraikan secara indah, seperti layaknya penguasaan atas suatu tontonan yang teatrikal yang digubah, disusun di atas pentas, diwujudkan di atas pentas, tanpa dialog atau teks. Artaud juga melihat lukisan itu sebagai suatu paduan, assembling dan penyampaian eksplosi-eksplosi (ledakan-ledakan) suara untuk memperjelas pengaruh visualnya (its visual impact).
Artaud juga memasukan tanggapannya terhadap film Marx Brothers yang berjudul Monkey Business dalam teks ‘Direction an Methaphysics.’ Dari film itu Artaud menambahan pemahaman tentang humor yang sebenarnya dan tentang kekuatan yang bersifat fisikal dan dissosiasi yang anarkis dalam gelak tawa. Film itu menurut Artaud memiliki pembebasan yang lengkap dan perobekan (penghancuran) terhadap realitas. Peristyiwa itu menurut Artaud memiliki potensi untuk menimbulkan ledakan yang merusak. Artaud memandang dengan kagum terhadap kekuatan gelak tawa (the power of laughter) yang bisa menimbulkan transformasi secara tiba-tiba. Ia menekankan kualitas pemberontak yang terdapat pada ledakan, keributan, dan gerakan (movement) dalam film-film Marx Brothers.
Respon Artaud terhadap film tersebut memang menambahkan suatu unsur pembertontakan yang vital terhadap kemunculan kegelisahan-kegelisahan teatrikal. Dan keberhasilan dari semua itu terletak pada apa yang disebut kegembiraan yang meluap-luap, yang visual dan nyaring (merdu secara serempak).
Theatre of Cruelty melalui perjalanan yang sangat panjang. Selama 30 tahun, teater ini dianggap mustahil untuk diwujudkan. Bahkan teatrawan Polandia Jerzy Grotowski menganggapnya, tanpa memahami konsepsi Artaud secara baik dan benar, hanya akan menurunkan derajat teaternya dan tidak punya arti apa-apa selain hanya gaya (action) belaka. Dan memang, selama itu pula Artaud (sendiri) menemui kegagalan demi kegagalan, sampai menjelang akhir hayatnya (4 Maret 1948) sebagai seniman yang keras kepala dan miskin.
Periode akhir kemunculan Artaud merupakan intensifikasi sekaligus kristalisasi terhadap karya-karya sebelumnya. Karya-karya terakhirnya memiliki kejelasan yang final, yaitu terkontrol dan liar atau brutal. Inilah projek teater kejamnya (Theatre of Cruelty) Artaud. Gema atau gaung pengaruh Artaud terhadap seni inovatif dan eksperimental berkembang ke berbagai arah dan luas. Pengaruh itu membentang dari seni visual sampai ke seni vocal dan yang bersifat teoritik.
***
Hadirnya buku Artaud ini menambah perbendaharaan buku-buku terjemahan yang membahas tentang konsepsi-konsepsi besar teater dunia yang selama ini terasa amat kurang, meski Max Arifin sendiri telah menerbitkan (menerjemahkan) karya-karya Bertolh Breach, Konstantin Stanislavsky, dan Jerzy Grotowsky. Seandainya buku Artaud ini terbit akhir tahun 1980-an, maka akan menemukan konteksnya dengan perkembangan teater kontemporer di Indonesia.
Seperti kita ketahui konsep Artaud telah menjadi pemicu dalam pertunjukan-pertunjukan teater di Indonesia menjelang akhir tahun 1980-an. Teatrawan yang biasa disebut memiliki kegelisahan sama dengan Artaud adalah Budi S Otong dengan teater SAE, kemudian juga teater Kubur, Dindon WS. Pada pertengahan tahun 1990-an teater ini ‘mewabah’ sampai Jawa Timur, Bali, dan Makasar. Tetapi meski begitu buku ini tetap menarik disimak sebagai bahan telaah teoritik maupun kesejarahan, bagi para peminat teater. ***
*) Pekerja teater tinggal di Sidoarjo.
http://teaterapakah.blogspot.com/
Judul Buku: Antonin Artaud Ledakan dan Bom
Judul Asli: Blows and Bombs
Penulis: Stephen Barber
Penerjemah: Max Arifin
Penerbit: Dewan Kesenian Jakarta
Tahun Terbit I, Agustus 2006
Tebal, 200 + xxiv halaman
Antonin Artaud lahir dengan nama Antoine Marie Joseph Artaud, pada 4 September 1896, di dekakat kebun binatang Marseilles, Perancis. Artaud sendiri dalam berbagai kesempatan sering mengganti dan merusak namanya. Ia pernah mengganti namanya menjadi Eno Dailor untuk beberapa naskah awal Surrealisnya. Bahkan dalam satu periode ia mengumumkan ‘My name must disappear’ (namaku harus lenyap). Bahkan ia tak bernama sama sekali awal penahanannya di azilum. Usai pembebasannya di azilum ia memakai nama samaran ‘le Momo’ (bahasa slang Marseilles yang berarti si idiot, bodoh, atau ndeso).
Kehidupan Artaud merupakan tragedy besar, kegagalan dahsat datang silih berganti, dan tekanan demi tekanan. Tetapi ia memiliki semacam kekuatan magis dan kemapuan monumental untuk bangkit aktif dan merekontruksi kembali kegelisahannya. Karya Surrealisnya pada tahun 1920-an mencoba bereksperimen tentang kesadaran lewat atau melalui karya sinematik dan puitik. Setelah projek-projek Surrealismenya berantakan pekerjaannya terlibat dalam ruang teatrikal.
Bahasa yang dipaki Artaud dalam tulisa-tulisannya bercampur aduk bagai terikan atau jeritan-jeritan yang menuju ke kecabulan yang ekstrim dan murni. Menulis bagi Artaud adalah suatu penumpahan atau pengeluaran semua substansi yang berisfat fisikal, baik yang berdampak liar maupun yang bersifat interogratif. Tulisannya merupakan luapan ekspresi yang kasar dan berterus terang dari reflek-reflek yang bersifat indrawi, menentang control social.
***
Buku Blows and Bombs karya Stephen Barber ( Faber and Faber Limited London 1994) yang diterjemahkan oleh oleh Max Arifin menjadi Ledakan dan Bom (DKJ Agustus 2006 ) ini banyak mengisahkan proses perjalanan Antonin Artaud. Buku ini membeberkan kisah Artaud mulai dari gerakannya di seni sastra Surrealisnya sampai pada konsepsi teater kejamnya (The Theatre of Cruelty).
Artaud dikenal sebagai seorang penulis yang karya-karyanya sangat provokatif dan mendatangkan banyak malapetaka. Gerakannya yang provokatif dan bahkan ekstrim itu membuatnya ditolak dalam lingkungannya sendiri terutama oleh teman-temannya sendiri para Surrealis, di Paris. Penolakannya itu bahkan justru membuahkan hasil yang sangat produktif setelah ia juga mengalami serententan perjalanan dan perawatannya di rumah sakit jiwa.
Karya-karyanya menggali isu-isu tentang kebebasan, pengurungan, dan kreatifitas, dengan menghasilkan imaji-imaji yang begitu krusial tentang penyadaran bahasa dan kehidupan. Dalam jejak-jejak karyanya, kita akan menemukan serpihan-serpihan kemauan yang keras kepala dan garang.
Ia meninggalkan Prancis –ia mengembara ke Mexico dan Irlandia- setelah mengalami kegagalan besar dalam meluncurkan mimpinya tentang Theatre of Cruelty, suatu proyek artistic yang didesain untuk menumbangkan kebudayaan dan membakarnya untuk dikembalikan pada kehidupan ini, sebagai suatu laku yang langsung menentang masyarakat.
Theatre of Cruelty, menawarkan tiga konsepsi dasar teater, tari, rupa, dan film. Theatre of Cruelty merupakan pertemuan dari setumpuk kegelisahan dan penderitaannya dengan pertunjukan teater tari Bali tahun 1931. Bagi Artaud teater Bali berisi semua unsur yang telah ia masukan pada Alfred Jarry Theatre, sebagai satu strategi perlawanan terhadap tekstual yang begitu berkuasa dan teater psikologikal Eropa. Titik pusat utamanya adalah gesture dan tekstual merupakan suatu yang berbeda di bahwahnya; teaternya memiliki disiplin dan magis.
Peristiwa kedua yang memberikan inspirasi dan memberikan kontribusi pada theatre of cruelty terjadi pada bulan September 1931, ketika Artaud menyaksikan lukisan Leyden dari abad 15 berjudul The Daughters of Lot di museum Louvre. Artaud merasakan adanya kesamaan antara lukisan itu -yang menggambarkan bencana dan seksualitas- dengan teater Bali. Artaud mempergunakan arsitektur keruangan yang menyimpang dari lukisan tersebut dan perhatiannya terhadap incest dan bencana sebagai pusat perhatiaannya dalam bentuk dan material yang ia inginkan dalam teater barunya.
Artaud memandang lukisan tersebut sebagai hasil dari arah kreatif yang diuraikan secara indah, seperti layaknya penguasaan atas suatu tontonan yang teatrikal yang digubah, disusun di atas pentas, diwujudkan di atas pentas, tanpa dialog atau teks. Artaud juga melihat lukisan itu sebagai suatu paduan, assembling dan penyampaian eksplosi-eksplosi (ledakan-ledakan) suara untuk memperjelas pengaruh visualnya (its visual impact).
Artaud juga memasukan tanggapannya terhadap film Marx Brothers yang berjudul Monkey Business dalam teks ‘Direction an Methaphysics.’ Dari film itu Artaud menambahan pemahaman tentang humor yang sebenarnya dan tentang kekuatan yang bersifat fisikal dan dissosiasi yang anarkis dalam gelak tawa. Film itu menurut Artaud memiliki pembebasan yang lengkap dan perobekan (penghancuran) terhadap realitas. Peristyiwa itu menurut Artaud memiliki potensi untuk menimbulkan ledakan yang merusak. Artaud memandang dengan kagum terhadap kekuatan gelak tawa (the power of laughter) yang bisa menimbulkan transformasi secara tiba-tiba. Ia menekankan kualitas pemberontak yang terdapat pada ledakan, keributan, dan gerakan (movement) dalam film-film Marx Brothers.
Respon Artaud terhadap film tersebut memang menambahkan suatu unsur pembertontakan yang vital terhadap kemunculan kegelisahan-kegelisahan teatrikal. Dan keberhasilan dari semua itu terletak pada apa yang disebut kegembiraan yang meluap-luap, yang visual dan nyaring (merdu secara serempak).
Theatre of Cruelty melalui perjalanan yang sangat panjang. Selama 30 tahun, teater ini dianggap mustahil untuk diwujudkan. Bahkan teatrawan Polandia Jerzy Grotowski menganggapnya, tanpa memahami konsepsi Artaud secara baik dan benar, hanya akan menurunkan derajat teaternya dan tidak punya arti apa-apa selain hanya gaya (action) belaka. Dan memang, selama itu pula Artaud (sendiri) menemui kegagalan demi kegagalan, sampai menjelang akhir hayatnya (4 Maret 1948) sebagai seniman yang keras kepala dan miskin.
Periode akhir kemunculan Artaud merupakan intensifikasi sekaligus kristalisasi terhadap karya-karya sebelumnya. Karya-karya terakhirnya memiliki kejelasan yang final, yaitu terkontrol dan liar atau brutal. Inilah projek teater kejamnya (Theatre of Cruelty) Artaud. Gema atau gaung pengaruh Artaud terhadap seni inovatif dan eksperimental berkembang ke berbagai arah dan luas. Pengaruh itu membentang dari seni visual sampai ke seni vocal dan yang bersifat teoritik.
***
Hadirnya buku Artaud ini menambah perbendaharaan buku-buku terjemahan yang membahas tentang konsepsi-konsepsi besar teater dunia yang selama ini terasa amat kurang, meski Max Arifin sendiri telah menerbitkan (menerjemahkan) karya-karya Bertolh Breach, Konstantin Stanislavsky, dan Jerzy Grotowsky. Seandainya buku Artaud ini terbit akhir tahun 1980-an, maka akan menemukan konteksnya dengan perkembangan teater kontemporer di Indonesia.
Seperti kita ketahui konsep Artaud telah menjadi pemicu dalam pertunjukan-pertunjukan teater di Indonesia menjelang akhir tahun 1980-an. Teatrawan yang biasa disebut memiliki kegelisahan sama dengan Artaud adalah Budi S Otong dengan teater SAE, kemudian juga teater Kubur, Dindon WS. Pada pertengahan tahun 1990-an teater ini ‘mewabah’ sampai Jawa Timur, Bali, dan Makasar. Tetapi meski begitu buku ini tetap menarik disimak sebagai bahan telaah teoritik maupun kesejarahan, bagi para peminat teater. ***
*) Pekerja teater tinggal di Sidoarjo.
LATAR DALAM PUISI
Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Pembicaraan mengenai fungsi latar dalam puisi, sejauh ini jarang sekali kita jumpai. Padahal pembicaraan mengenai masalah itu penting artinya untuk memahami makna puisi sebagai kesatuan estetik. Seperti juga latar dalam drama atau novel, latar dalam puisi berhubungan dengan penyebutan nama tempat, angka tahun, dan penggambaran suasana dan situasi sosial tertentu. Dalam hal ini, penghadiran latar oleh penyairnya tentu bukan tanpa maksud. Ada sesuatu yang sengaja hendak disampaikan, baik untuk kepentingan keindahan puitik, maupun untuk memperkuat tema yang disampaikannya. Oleh karena itu, jika ada puisi yang di dalamnya terdapat nama tempat, angka tahun dan peristiwa atau suasana tertentu, kita dapat menganalisisnya berdasarkan itu. Sebagai bahan apresiasi, berikut ini akan dikutip lengkap puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Catatan Tahun 1965”:
Di lapangan dibakari buku
Mesin tikmu dibelengu
Piringan hitam dipanggang
Buku-buku dilarang
Kita semua diperanjingankan
Gaya rabies klongsongan
Hamka diludahi Pram
Masuk penjara Sukabumi
Jassin dicaci diserapahi
Terbenam daftar hitam
Usman dimaki Lentera
Takdir disumpahi Lekra
Sudjono dicangkul BTI
Nasakom bersatu apa
Umat dibunuhi di desa
Kanigoro bagaimana lupa
Kus Bersaudara dipenjara
Mochtar masih diterungku
Osram bungkuk meringkuk
Jalan aspal kubangan
Minyak tanah dikemanakan
Rebutan beras antrian
Siapa mati kelaparan
Inflasi saban pagi
Pidato tiap hari
Maki-maki sebagai gizi
Bahasa carut diperluaskan
Beatles Gondrong dipersetankan
Pita suara dimatirasakan
Susunan syarat dianstesi
Genjer-genjer jadi nyanyian
Tari perang dipamerkan
Warna merah dikibarkan
Warna hitam di kalbukan
Pawai garang digenderangkan
Kolone kelima disusupkan
Sarung siapa dilekatkan
Matine gusti-Allah dipentaskan
(Pawai HUT PKI, 23 Mei 1965)
Judul puisi tersebut jelas mengacu pada angka tahun1965. Jadi, apa yang hendak disampaikan penyair adalah peristiwa yang terjadi pada tahun itu. Dalam hal ini penyair berhasil memotret, dan tidak sekadar mencatat, peristiwa sosial politik dan budaya pada masa itu dengan amat cermat, transparan, namun sama sekali tidak terjerumus pada bentuk propaganda. Penghadiran peristiwa dan nama tokoh yang tetap dengan mempertahankan keindahan puitik, justru memperkuat suasana yang hendap diangkat penyair.
Bentuk kata kerja pasif, seperti dibakari, dibelengu, dipanggang, dilarang misalnya, secara semantis menyiratkan bahwa dalam peristiwa itu, ada yang membakar dan dibakar; membelengu-dibelengu; memanggang-dipanggang; melarang dan melarang? Jelas! Pihak itu yang bertindak lebih aktif-agresif. Penyair, betapapun hanya memotret apa adanya, gaya sinisnya memperkuat suasana huru-hara, ganas-panas, dan kacau-balau. Betapa rusuhnya keadaan pada tahun 1965 di negeri ini. Betapa sadis-ganasnya Lentera, Lekra, BTI, dan corong PKI lainnya menggilas siapa pun yang tak sepaham.
***
Demikianlah, dalam puisi Taufiq Ismail, latar waktu (1965) berfungsi mendukung tema dan menciptakan suasana peristiwa masa itu. Oleh karena itu, tepat sekali penyair menampilkan dengan gaya yang amat sinis. Penuh semangat perlawanan, pemberontakan pada keadaan sosial-politik-budaya yang terjadi waktu itu. Hal yang sama dengan tema berbeda, juga sering dilakukan Sapardi Djoko Damono. Penghadiran latar yang berfungsi memperkuat suasana tampak pula dalam salah satu puisinya, “Air Selokan”:
“Air yang di selokan itu megalir dari rumah sakit,” katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung—ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya.
Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.
Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu: “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu—alangkah indahnya!” Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilau hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.
Perhatikan latar waktu yang digunakan penyait: hari minggu pagu/waktu itu (bait 1); dulu/waktu kau lahir (bait 2); tadi sore (bait 3); senja ini (bait 4). Latar waktu dalam puisi ini penting artinya dan berfungsi mengungkapkan perjalanan sejarah sebuah selokan. Dulu, air selokan itu bersih dan dapat digunakan untuk memandikan bayi. Setelah ada rumah sakit, ibu yang sedang mengandung malah hampir muntah lantaran bau sengit air selokan itu; kata “sengit” sangat tepat untuk menunjukkan bau yang amat sangat. Tadi sore, ada mayat dimandikan; tentu airnya mengalir ke selokan itu. Senja ini ada dua anak buang hajat. Ringkasnya, air selokan yang dulu bersih kini sudah sedemikian kotor dan bau luar biasa.
Latar waktu yang memperlihatkan proses perjalanan sejarah selokan itu, diperkuat pula dengan latar tempat (rumah sakit dan kamar mayat) dan latar material (darah dan amis baunya, mayat kamar mati, ada nyawa lagi terapung-apung, yang berkilau-kilauan hanyut, dan air yang anyir baunya). Rumah sakit dan kamar mayat menciptakan suasana yang serba tidak menyenangkan. Pada bait pertama, rumah sakit dikontraskan dengan minggu pagi dan kau berjalan-jalan bersama istrimu yang mengandung. Penghadiran suasana yang bertolak belakang itu, ditegaskan kembali dengan kalimat: ia hampir muntah bau sengit itu.
Pada bait kedua, gambaran yang disampaikan penyair bahwa dulu air selokan itu bersih dan dapat digunakan untuk memandikan bayi, didukung oleh penghadiran latar material; campur darah dan amis banunya. Jadi, yang bau bukanlah air selokan itu, melainkan darah bekas melahirkan. Airnya sendiri bersih dan tidak bau.
Bait ketiga, latar waktu tadi sore yang menyiratkan usia menjelang senja-kematian-kalimat-terasa lebih dramatis dengan adanya mayat yang dimandikan di kamar mati.
Keadaan air selokan yang makin kotor dan bau itu, lengkap sudah dengan dua anak yang buang hajat; ada nyawa lagi terapung-apung; alangkah indahnya; yang berkilau-kilauan hanyut; air yang anyir baunya yang digambarkan pada bait ketiga. Jadi, dalam hal ini, sudah terjadi pencemaran air yang sudah lewat batas ambang. Dalam hal itu, latar waktu, material, tempat, dan suasana secara fungsional menghadirkan masalah pencemaran lingkungan yang pada suatu saat bakal membawa dunia ini ke dalam kehancuran total.
***
Pemahaman latar waktu, tempat, dan material yang berfungsi untuk menciptakan suasana tertentu yang mendukung tema dan makna keseluruhan puisi, sebagaimana tampak dalam puisi Taufiq Ismail dan Sapardi Djoko Damono, menjadi penting saat menjumpai puisi-puisi simbolik. Perhatikan puisi “Malam Lebaran” karya Sitor Situmorang.
Bulan di atas kuburan
Puisi pendek ini sesungguhnya amat kaya dengan suasana yang penuh kemurungan, kesepian, kerinduan, kematian, melankolis, dan tragedi. Judul “Malam Lebaran” yang bagi umat Islam merupakan malam kemenangan seusai berperang melawan hawa nafsu (ramadhan), dikontraskan dengan kuburan (simbol kematian). Jadi, bagi Sitor, malam yang bagi umat Islam sebagai saat mencapai kemenangan, kegembiraan, dan pengagungan kepada Allah, dipandangnya sebagai malam kematian, kesepian, tragedi.
Dari sudut itu, penghadiran latar waktu (malam lebaran) dan latar tempat (kuburan), jelas tidak fungsional, malahan amat kontradiktif. Meski begitu, kita dapat memahami mengapa Sitor berpandangan demikian. Masalahnya dapat kita kembalikan pada sikap keimanan penyair. Akan sangat berbeda jika penyairnya menghayati betul naluri-naluri keislaman. Kesalahan fatal itu, makin jelas kita hubungkan malam lebaran dengan bulan. Mungkinkah bulan muncul pada malam lebaran (1 Hijriah), padahal kemunculannya terjadi pada setiap tanggal 14-15 Hijriah? Jelalah, bahwa pemahaman latar dalam puisi, sangat penting artinya sebagai usaha memahami keseluruhan makna dan tema puisi itu sendiri sebagai kesatuan estetik.
http://mahayana-mahadewa.com/
Pembicaraan mengenai fungsi latar dalam puisi, sejauh ini jarang sekali kita jumpai. Padahal pembicaraan mengenai masalah itu penting artinya untuk memahami makna puisi sebagai kesatuan estetik. Seperti juga latar dalam drama atau novel, latar dalam puisi berhubungan dengan penyebutan nama tempat, angka tahun, dan penggambaran suasana dan situasi sosial tertentu. Dalam hal ini, penghadiran latar oleh penyairnya tentu bukan tanpa maksud. Ada sesuatu yang sengaja hendak disampaikan, baik untuk kepentingan keindahan puitik, maupun untuk memperkuat tema yang disampaikannya. Oleh karena itu, jika ada puisi yang di dalamnya terdapat nama tempat, angka tahun dan peristiwa atau suasana tertentu, kita dapat menganalisisnya berdasarkan itu. Sebagai bahan apresiasi, berikut ini akan dikutip lengkap puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Catatan Tahun 1965”:
Di lapangan dibakari buku
Mesin tikmu dibelengu
Piringan hitam dipanggang
Buku-buku dilarang
Kita semua diperanjingankan
Gaya rabies klongsongan
Hamka diludahi Pram
Masuk penjara Sukabumi
Jassin dicaci diserapahi
Terbenam daftar hitam
Usman dimaki Lentera
Takdir disumpahi Lekra
Sudjono dicangkul BTI
Nasakom bersatu apa
Umat dibunuhi di desa
Kanigoro bagaimana lupa
Kus Bersaudara dipenjara
Mochtar masih diterungku
Osram bungkuk meringkuk
Jalan aspal kubangan
Minyak tanah dikemanakan
Rebutan beras antrian
Siapa mati kelaparan
Inflasi saban pagi
Pidato tiap hari
Maki-maki sebagai gizi
Bahasa carut diperluaskan
Beatles Gondrong dipersetankan
Pita suara dimatirasakan
Susunan syarat dianstesi
Genjer-genjer jadi nyanyian
Tari perang dipamerkan
Warna merah dikibarkan
Warna hitam di kalbukan
Pawai garang digenderangkan
Kolone kelima disusupkan
Sarung siapa dilekatkan
Matine gusti-Allah dipentaskan
(Pawai HUT PKI, 23 Mei 1965)
Judul puisi tersebut jelas mengacu pada angka tahun1965. Jadi, apa yang hendak disampaikan penyair adalah peristiwa yang terjadi pada tahun itu. Dalam hal ini penyair berhasil memotret, dan tidak sekadar mencatat, peristiwa sosial politik dan budaya pada masa itu dengan amat cermat, transparan, namun sama sekali tidak terjerumus pada bentuk propaganda. Penghadiran peristiwa dan nama tokoh yang tetap dengan mempertahankan keindahan puitik, justru memperkuat suasana yang hendap diangkat penyair.
Bentuk kata kerja pasif, seperti dibakari, dibelengu, dipanggang, dilarang misalnya, secara semantis menyiratkan bahwa dalam peristiwa itu, ada yang membakar dan dibakar; membelengu-dibelengu; memanggang-dipanggang; melarang dan melarang? Jelas! Pihak itu yang bertindak lebih aktif-agresif. Penyair, betapapun hanya memotret apa adanya, gaya sinisnya memperkuat suasana huru-hara, ganas-panas, dan kacau-balau. Betapa rusuhnya keadaan pada tahun 1965 di negeri ini. Betapa sadis-ganasnya Lentera, Lekra, BTI, dan corong PKI lainnya menggilas siapa pun yang tak sepaham.
***
Demikianlah, dalam puisi Taufiq Ismail, latar waktu (1965) berfungsi mendukung tema dan menciptakan suasana peristiwa masa itu. Oleh karena itu, tepat sekali penyair menampilkan dengan gaya yang amat sinis. Penuh semangat perlawanan, pemberontakan pada keadaan sosial-politik-budaya yang terjadi waktu itu. Hal yang sama dengan tema berbeda, juga sering dilakukan Sapardi Djoko Damono. Penghadiran latar yang berfungsi memperkuat suasana tampak pula dalam salah satu puisinya, “Air Selokan”:
“Air yang di selokan itu megalir dari rumah sakit,” katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung—ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya.
Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.
Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu: “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu—alangkah indahnya!” Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilau hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.
Perhatikan latar waktu yang digunakan penyait: hari minggu pagu/waktu itu (bait 1); dulu/waktu kau lahir (bait 2); tadi sore (bait 3); senja ini (bait 4). Latar waktu dalam puisi ini penting artinya dan berfungsi mengungkapkan perjalanan sejarah sebuah selokan. Dulu, air selokan itu bersih dan dapat digunakan untuk memandikan bayi. Setelah ada rumah sakit, ibu yang sedang mengandung malah hampir muntah lantaran bau sengit air selokan itu; kata “sengit” sangat tepat untuk menunjukkan bau yang amat sangat. Tadi sore, ada mayat dimandikan; tentu airnya mengalir ke selokan itu. Senja ini ada dua anak buang hajat. Ringkasnya, air selokan yang dulu bersih kini sudah sedemikian kotor dan bau luar biasa.
Latar waktu yang memperlihatkan proses perjalanan sejarah selokan itu, diperkuat pula dengan latar tempat (rumah sakit dan kamar mayat) dan latar material (darah dan amis baunya, mayat kamar mati, ada nyawa lagi terapung-apung, yang berkilau-kilauan hanyut, dan air yang anyir baunya). Rumah sakit dan kamar mayat menciptakan suasana yang serba tidak menyenangkan. Pada bait pertama, rumah sakit dikontraskan dengan minggu pagi dan kau berjalan-jalan bersama istrimu yang mengandung. Penghadiran suasana yang bertolak belakang itu, ditegaskan kembali dengan kalimat: ia hampir muntah bau sengit itu.
Pada bait kedua, gambaran yang disampaikan penyair bahwa dulu air selokan itu bersih dan dapat digunakan untuk memandikan bayi, didukung oleh penghadiran latar material; campur darah dan amis banunya. Jadi, yang bau bukanlah air selokan itu, melainkan darah bekas melahirkan. Airnya sendiri bersih dan tidak bau.
Bait ketiga, latar waktu tadi sore yang menyiratkan usia menjelang senja-kematian-kalimat-terasa lebih dramatis dengan adanya mayat yang dimandikan di kamar mati.
Keadaan air selokan yang makin kotor dan bau itu, lengkap sudah dengan dua anak yang buang hajat; ada nyawa lagi terapung-apung; alangkah indahnya; yang berkilau-kilauan hanyut; air yang anyir baunya yang digambarkan pada bait ketiga. Jadi, dalam hal ini, sudah terjadi pencemaran air yang sudah lewat batas ambang. Dalam hal itu, latar waktu, material, tempat, dan suasana secara fungsional menghadirkan masalah pencemaran lingkungan yang pada suatu saat bakal membawa dunia ini ke dalam kehancuran total.
***
Pemahaman latar waktu, tempat, dan material yang berfungsi untuk menciptakan suasana tertentu yang mendukung tema dan makna keseluruhan puisi, sebagaimana tampak dalam puisi Taufiq Ismail dan Sapardi Djoko Damono, menjadi penting saat menjumpai puisi-puisi simbolik. Perhatikan puisi “Malam Lebaran” karya Sitor Situmorang.
Bulan di atas kuburan
Puisi pendek ini sesungguhnya amat kaya dengan suasana yang penuh kemurungan, kesepian, kerinduan, kematian, melankolis, dan tragedi. Judul “Malam Lebaran” yang bagi umat Islam merupakan malam kemenangan seusai berperang melawan hawa nafsu (ramadhan), dikontraskan dengan kuburan (simbol kematian). Jadi, bagi Sitor, malam yang bagi umat Islam sebagai saat mencapai kemenangan, kegembiraan, dan pengagungan kepada Allah, dipandangnya sebagai malam kematian, kesepian, tragedi.
Dari sudut itu, penghadiran latar waktu (malam lebaran) dan latar tempat (kuburan), jelas tidak fungsional, malahan amat kontradiktif. Meski begitu, kita dapat memahami mengapa Sitor berpandangan demikian. Masalahnya dapat kita kembalikan pada sikap keimanan penyair. Akan sangat berbeda jika penyairnya menghayati betul naluri-naluri keislaman. Kesalahan fatal itu, makin jelas kita hubungkan malam lebaran dengan bulan. Mungkinkah bulan muncul pada malam lebaran (1 Hijriah), padahal kemunculannya terjadi pada setiap tanggal 14-15 Hijriah? Jelalah, bahwa pemahaman latar dalam puisi, sangat penting artinya sebagai usaha memahami keseluruhan makna dan tema puisi itu sendiri sebagai kesatuan estetik.
Jumat, 19 Maret 2010
DUNIA ANOMALI DI MATA MISTIKUS
Nurel Javissyarqi
http://www.sastra-indonesia.com/
Setelah aku kirimkan beberapa buku stensilanku kepada saudara Marhalim Zaini di Riau dan Y. Wibowo di Tanjung Karang, Bandar Lampung. Di bawah ini tanggapan Marhalim Zaini lewat sms, lantas aku buatlah surat untuknya:
Ada logika-logika aneh dan asing, ada sentakan pemberontakan yang ajaib, ada teriakan-teriakan keras dan dalam, ada hasrat untuk membangun dunia sendiri. Ada lompatan-lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling, ada jerit dari jerih kata yang diperas berulang-ulang, ada laut yang saling berbalik arah debur ombaknya (via sms, Marhalim Zaini).
Saudaraku, mungkin begitulah diriku. Ketika sentuhan angin bidadari mengibas rambutku yang ikal memanjang bagai anak-anakan untaian rambut Tagore. Atau kusut tak karuan seperti Nietzsche saat suntuk, pun sekelimis Freud dikala berkarya bercermin terlebih dulu. Jangan-jangan mahkotaku kelak hilang botak serupa tuanku Al-Ghozali.
Tidak apa, kalau membuat leloncatan fikiran perasaanku (yang saudara maksud; Ada lompatan-lompatan makna) sepagi-pagi cahaya khusyuk Suhrawardi merampungkan Hikmah Al-Isyraq. Dan logikaku, sepra-prakteknya Einstein berjalan keluar dari bangku kuliah menuju kampus dunia, segambar tuturan Alan Lightman pada novelnya Einsteins Dreams.
Atau keasingan itu (Ada logika-logika aneh dan asing), sejenis Socrates menenggak racun kenyataan hukum logis Ilahi. Namun bukan konstruksiku sekonstruktivisme Kukla kekanakan, atau karakter gairahku kebalikan dari Marcuse sang ambigu; yang seolah polisi dilain pihak berwajah hakim Bao; memang berhasil membuat penjara tetapi gagal mencipta pencerahan, sebatas pencerita dalam One Dimensional Man. Dan diriku mengatakan, insan adalah jutaan dimensi, tentu atas cakupan berbeda.
Mungkin jiwaku mengharap pesona Don Juan Berrnar Shaw atau Adimanusia Nietzsche; keberanian menarik putar roda torpedo pemikiran hingga ribuan kesan menembus batas diri. Pada lain tempat Nietzsche membabat dialektika Socrates lewat dialektikanya yang lebih kasar dan sembrono, dianggap tidak dialektik, padahal sangat di Senjakala Berhala.
Hasratku tak sepelan Machiavelli juga belum memiliki kejelian Plato pada Republik, atau The End of History and The Last man Fukuyama. Atau The Philosophy of History Hegel, dramatik Camus, lebih-lebih Muqaddimah Ibn Khaldun, namun mudah-mudahan potensi itu terangkat oleh seperangkat kesehatan bekerja keras atas ketentuan rahmat-Nya.
Tapi tidak mau keterlaluan nekat, maka diri ini membutuhkan waktu tepat mujarab demi memakbulkan karya seizin-Nya, seharap Fusus Al-Hikam Ibn Arabi, syukur mencapai kekentalan Ibn Ataillah kala merampungkan karya terbaiknya Al-Hikam.
Mungkin ini saudara harapkan bagiku; mencipta karya tidak sekadar tumpukan kertas berita, tak sembarangan kutip seolah tanpa otak, kerajinan tangan kliping, tentu pula tak hanya menyenangkan teman-teman? Maka doakan agar sampai tahap formula tersendiri, tidak tergiur nyontek Hallaj pun Rumi. Kalau gaya mungkin tak kenapa, yang fatal ruh dari yang sedang kubangun sebanding sama, kan konyol.
Ingin sungguh mengupas kebobrokan diri sehingga tampil menggemuruh di bathin kejujuran pelajar, berharap capaian murid patut disayang. Anak halal dibanggakan serupa termaktub dalam hadits; Menikalah kalian dan beranak cuculah, karena sesungguhnya kalian akan kujadikan kebanggaan di antara sekalian banyak ummat.
Atau kehilafanku terterima serupa hadits Qudsi; Barangsiapa karena sibuk berdzikir sehingga lupa meminta-minta, Aku beri ia sebelum meminta. Ialah ketokohan patut dibanggakan Muhammad, Rasul punghujung jaman. Bukan nabi palsu yang disangka orang-orang, dirinya gagah atas obyektivitas ilmu pengetahuan.
Kitab apalagi yang ajaib dan membumi kalau bukan Al-Qur’an. Pemampu menjawab soal belum terlahir. Mengandung lautan hikmah dan hamparan falsafah yang patut dipandang cermat, berguna memberi soal jawab masa depan terhormat demi masyarakat madani, bukan medeni atau menakutkan semacam FPI.
Muhammad SAW, sang revolusioner tercepat diakui sejarawan Karen Armstrong di bukunya; Muhammad, Biography the Prophet. Sanggup mewarna perjuangan Diponegoro, jenderal Sudirman. Juga Bung Tomo yang menurut K’tut Tantri se-Abraham Lincoln dalam Revolusi di Nusa Damai. Itu perembesan, belum menghujam banjir sekepribadian Umar bin Abdul Aziz. Atau sahabat empat yang berkilatan menyelamatkan kemanusiaan dari kungkungan jahiliah. Di layar putih berbeda para tuan tanah Texas atas kulit hitam dan Indian. Dan takdir Tuhan menghendaki tiada lagi muka penindas, terkelupas temukan tulang kesadaran, bahasa Erich Fromm dari Freud; insting kematian dari hasrat merusak.
Dari yang belum kusebut ialah cermin, agar selalu mengoreksi; mengemur sesuai baut kita punya. Kesadaran totalitas demi menarik permasalahan yang being dan masuk ke dunia henang-hening-henung, pada nantinya tertampil citraan diri menerang padang njinglang; terang benderang.
Kata saudara; ada sentakan pemberontakan yang ajaib. Marilah bangun keajaiban. Tidakkah dunia berjalan melewati anomali menghemaskan? Kudunya menarik diri menjadi paling ajaib, menanjak seperti tragedi bedah caesar, diawali kebanggaan Sang Caesar yang lahir tanpa melewati anunya wanita (dalam Caesar and Cleopatra, Bernart Shaw).
Aku tak bermanis-manis sedebu kering Salman Rushdie yang spekulatif menghentak-henyak. Paling-paling nyangkut di roda cikar atau gerobak yang ditarik sapi-sapi pongah. Aku tak mau masuk perangkap subyektivitas Max Weber (the Sosiologi of Religiun) yang memakai kacamata kuda, pura-pura kemayu demi sesuap pengakuan. Ingin kubangun realitas kedirian yang digagas Iqbal, kejuntrungan Isa Dawud dalam setiap menerangi penelitiannya, bukan bayangan jauh namun ngeranggehnya harapan.
Oya, aku terkejut saat menyimak Critical & Cultural Theory, Cavallary yang seperti kubayang, namun setelah kuteliti untung isih’ (masih) berjarak dan semoga yang terbayang tidak seampang suguhan John K Roth. Atau aku tak membangun apa-apa dari sana, yang kubeberkan sebagai tonggak jati diri; ini berhubung daya ketahanan suntuk, jangan-jangan aku tertidur sehabis terpuaskan. Sungguh anomali? Kalau sampai diteruskan, apalagi menguap lantas bangun deladapan kesiangan.
Basis eksistensi jelas, kesadaran ruh pemberian Tuhan, amanah terkandung demi melahirkan kemaslahatan mencahayai perjalanan ke alam akhir. Tentu atas syafaat Nabi Muhammad oleh restu Sang Maha Ego. Kita di atas tungku pembakaran was-was malaikat pencabut suka pada jarak kesakitan dunia, luka tradisional; realitas borok kondisional. Bukan dipremak tapi merombak, sebab setiap detikan waktu jungkir-balik kehendak ketentuan-Nya.
Dunia ajaib dari Sang Ajaib; mata cemerlang menatap daun pun benda-benda hidup, hayat tambah bergairah merevolusi diri menciptakan fibrasi gesek-resapan. Tidakkan seluruh jagad mikro kosmos serta kebalikannya ajaib? Realitas tercetak di lembaran biru, dalam matematika perkalian, gairah rindu demi temukan hakikat benda dan misterinya luput ditangkap para empun filsuf juga psikolog di pagi buta. Sebab mereka seperti tukang kursi, mencopoti kaki-kaki kursi, dipasang sesuka pencahayaannya. Sejenis spesies penari di atas tali tambang selukisan Nietzsche. Atau ribuan cacing menjelma seekor naga besar, kata Hitler sewaktu memotivasi anak-anak buahnya.
Mereka kondisikan gairah bersama demi temukan kreativitas pemompaan atau racun sugesti, menggerakkan organ nganggur. Seakan pelari maraton dengan satu tongkat diberikan penerusnya. Benarkah ini daya sesungguhnya? Jangan-jangan rangsangan dihasilkan dunia gaib, sangkaan menyenangkan pewarisnya dengan melucuti tenaga untuk memeras. Kalau permainan sepak bola pesta bersama, bisa-bisa pesta para pemain, wasit, pelatih dan panitia, yang lain ikut ramai. Jikalau sekadar ingin mendapati tepuk tangan, rekam saja pertandingan. Lalu putar di waktu lapar, tentu tanpa makan malam sudah kekenyangan.
Inikah mereka sebut lagu? Pemalsuan alam atau kejujuran dipalsukan. Jika berharap gembirakan diri, sulut saja petasan? Tapi mereka malu. Tidakkah ini penindasan bangsa lebih kuat pada bangsa amburadul tidak terkonsep. Yang tak memiliki jati diri, inginnya cepat menemukan kemeja pas (srek) demi tampil di depan publik. Tidakkah ini pembodohan akademis, mencipta hukum strategi komando untuk mencapai perang akhir manusia. Bungkus hanya paradok diperjualbelikan agar lekas laku, lantas tergiur wajah cantik otak encer atau mengental?
Mereka menyaksikan gejala gunung es meleleh, cepat-cepat menarik diri ke kamar menyelingkuhi kesunyian, lalu keluar bangga sejatinya melompong; menuliskan kesakitan juga kekecewaan berhati haru atau ketawa membadut. Lampaui itu, hasrat tenang atau gembira dari jiwa. Kita tanggalkan kesenangan semu, ketenangan melena demi tetap mawas. Kudu berani tanggalkan kesemerawutan tak juntrung. Kita bukan kosong, tapi kebaharuan tanpa merasakan cuaca ganas menyengat, keindahan taman samping jendela atau ketinggian gunung merayu. Kita pelajari sosok perayu tak merayu, magnit tak mencari besi, deras hujan tak mencari lahan, namun mengikuti angin bertiup segeraian kasih lembut Sang Asih.
Segala tulisan kerentek tanpa suara, gerak munajad tak harus menuju ruang peribadatan, tidak kudu menjajakan dagangan ke kota metropolis. Biarkan para wisatawan berpelesiran mencium harum bunga kita. Meski di tempat lain berkeajaiban. Dunia tak lagi dianggap ajaib oleh penggila dan penggali ilmu. Ini bukan dunia sendiri seperti saudara maksud; ada hasrat untuk membangun dunia sendiri. Namun alam belum terjamah-jemah insani seperti Tagore ngelutus temukan Borobudur. Ngelayapnya diriku bersama mas Suryanto Sastroatmodjo mendapati relief kuda sembrani di Piyungan Yogyakarta tempo dulu. Bukan mbelakraknya Marcopolo mempercayai dunia bundar. Atau pelesirannya K’tut Tantri ke Jawa melewati pesawahan hijau, pebukitan terjal serta keramahan masyarakat Bali. Yang kumaksud lain dan berbeda. Mari kita ajak bermimpi dulu untuk mengetahui keasingan hakiki, sebab masih membawa kelogisan dikala tertidur.
Ialah alam bawah sadar belum terangkat di atas bumi. Bahasa Nietzsche, keajaiban metafisis dalam arti kehendak Hellenis yang melahirkan karya seni Dionysian sekaligus Apollonian, disebutnya tragedy Attik. Semacam fokus piramida lenyap. Dan penggalian kita bukan sejenis arkeolog yang tiada keberanian melewati kebenaran firasat tinggi. Ada buku menarik panduan firasat yang ditulis Ibn Qayyim bertitel Al-Firaasat, mungkin saudaraku belum membacanya.
Saudara katakan; laut yang saling berbalik arah debur ombaknya. Aku tak ingin berhenti setelah hempasan menemui kebuntuan pasir pantai karang ketentuan. Aku tak ambil ini sebab tiadanya awan penjara, meski terlunta sekaligus lelah. Tentu tahu siapa penghiburnya? Ini kian dalam pengulitan bawang merah, kulit-kulit pembungkus dikeluarkan, jika itu pokok bawang. Namun insan ribuan dimensi? Lebih sekadar kulit pun pengulangan sisifus. Tidak lagi mengambil jarak, tapi mengangkat sikap kekinian. Hanya belum mengatakan di depannya, hawatir dianggap pembual mitos atau tali-temali penjerat metet (rapuh).
Cukup menyebut asma-Nya, kata ajaib difikirkan. Segalanya terkendali menjelma seajaib mungkin. Mungkin di sini harus berhati-hati memaknai, sebab bisa kemandekan, kudunya dilumat hingga keajaiban terus. Ini bukan tingkatan hipnotis, apalagi sihir rendah sugesti akal-akalan, tapi kesadaran totalitas mengiyakan; segalanya ajaib. Ini jangan dianggap berhutang pada saudara yang kuutarakan, sebab tiada tahu sebelum sesudah-Nya memberi takdir kita. Anggap ini percobaan kimiawi-manusiawi, pembelajaran pada diri agar ringan melangkahkan kaki, menggarah makna misteri daya rayu yang teridam.
Ingin aku berkesederhanaan Erich Fromm, seolah angkat kursi makan di ruang tamu dengan embun psikoanalisanya, memandangi karya Lorenz didukung tulisan sebelumnya, milik dramawan Robert Ardrey (African Genesis & The Territorial Imperative). Mungkin senada musik Psikofiesta gagasanku (Psikologi Filsafat Sastra & Tasawwuf), bahwa karya Goethe, Faust menjadi mendasar terkuak, berdayaguna kuat sebab usungan idiom Timur dan Barat melewati tragedi nilai nenek moyang. Ini memperbantukan kesadaran demi diakui serta layak.
Aku harap saudara tidak angkat ketukan palu mendadak, mengatakan ini mengusung keranda usang atau menakut-nakuti berkain pocongan. Atau boleh berpandangan itu namun aku percaya, analisa saudara lebih kuduga. Aku masih berkutat menyenangi pertemuan pertama, perkenalan ajaib, perjumpaan tak tersangka hingga mendapati dugaan kuat. Makna itu di sana, gairah meledak-ledak setubuh, bukannya ejakulasi dini atau watak penggerogotan jiwa yang dikembangkan panyair Lebanon.
Kita tahu perkembangan filsafat dari juntrung sampai berjingkrak, dari kesahajaan menuju pengelucutan senjata, hingga menemukan pecahan kepala; menembusi batas yang dibatasi daya insani atau menguap ateis, sebab belum kenyang tidur semalam. Maka doakan diriku tidak deladapan memandang kecantikan, walau kadang mencipta siratan spiritual, seperti keunggulan pelangi yang suatu waktu membentur remuk hujan angin di sekitarnya. Ada unen-unen; di daerah kekuasaan lengkung pelangi selalu meminta tumbal, sederu hujan bersusulan. Atau selembut Cinderawasi menyembunyikan agresi singa sefilosofis Reog Ponorogo, wilayah yang menyeret R. Ng. Ronggowarsito dalam kancah kehitaman panggung, sampai menemukan batu bercekungan air yang tersaksikan Ibnu Hajar Al-haitami, dengan frame berlainan.
Atau aku mengajak mendestruktifkan diri, agar being di kancah sapuan lar bulu sayap, sampai setajam penghilangan diri. Tapi aku kira tidak, sebab saudara memiliki racikan jamu mujarab, resep hidup surgawi bervitalitas tinggi, meski tua tongseng, bukan yang kerapkali dikatakan Bung Hatta; non sen. Kita pakai instingnya anjing Ashabul Kahfi menguntit ketaatan menjumpai dunia lain, dipersembahkan perasaan nalar berkembang di kebun desa. Aku tilik para filsuf anak turun petani atau memotret kesahajaan proletar. Teringatlah sosok Tolstoy, penjelmaan aforisma yang tumbuh berkembangnya kebenaran hakiki.
Keajaiban anomaly se-mak-bedunduk tidak mendadak nunut ngeyop kehujanan. Bukan berhentinya kereta api kelas ekonomi yang tidak di stasiun oleh menanti simpangan kereta api kelas eksekutif, dan bukan pemberhentian atas tradisi (kereta api kelas ekonomi di Jawa, ada yang berhenti tidak di stasiun, tapi juga di tempat yang dulu jadi pemberhentian, stasiun perjuangan). A (anomaly) di sini A besar atau A-Nya dan Y terakhir ialah tukikan ke bawah kemanusiaan, kepasrahan total. Penulis memaknai dalam kacamata matematika berarti min (-). Sebagaimana Isra’ Mi’raj dihasilkan min kali plus berarti min (- x + = -), yakni kian tinggi jumlah nominal, betambah naik ke Arasy, Wallahuaklam.
Kata saudara pada tulisanku; Ada lompatan-lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling. Benar aku berfikiran ganda, tapi bukan mengharap dualitas yang mencederai keputusan seenaknya. Tetapi permainan bebas dibatasi, permainan hanya teknik penajam hujam pada pokok persoalan, pembiasaan daya dinaya. Dapat digaris bawahi, aku tak membangun lewat kemisterian. Yang sedang tergarap pembuka, memberi kemungkinan masuk keluar tanpa malu, seperti anak kecil mengalah pada adiknya, tanpa tercampuri iri ingin hadiah kecupan orang tuanya.
Aku harap tulisan ini tidak mengocok otak apalagi perut, sebab keterlaluan geli tukikan miring. Atau saudara anggap badut yang ingin mengenyangkan perut tanpa makan. Mungkin semisal badut pelatih hewan ganas menjadi piaraan; nafsu meliar tidak perlu dicencang, cukup latihan tiap pagi, anjing (keliaran gaya berfikir, keyakinan memburu dari penciuman duga, terkaman menjanjikan daging) juga lincah memasuki lingkaran api, walau mengenai porsi makan tetap sama (ini pengembangan fitroh). Lebih mujur dari anjing gila (para filsuf yatim keimanan) mudah tertular penyakit kudis, sampar pula kelaparan di padang gersang.
Aku suka menggunakan anjing daripada tikus, meski berkelenjar searah manusia. Lagi-lagi dikejutkan penelitian di negeri Matahari Terbit akhir-akhir ini, yang mengatakan usia kucing lebih lama daripada manusia. Aku teringat mata kucing kemerahan magis, pemilik jaket berbulu hitam itu. Di sini terbaca, saudara tertarik atau tidak atas gaya bahasaku bertabrakan, atau fikiran beribu ganda lebih jauh jangkauannya, dengan lemparan jala sejauh sejarah kemanusiaan. Doakan umur ini bermanfaat, agar segala problematik mengintriki jiwa, menjadi asyik di mata berpenuh mistis.
Aku mengakui sketsa saudara mengenai wajah ini menyenangkan, hingga mudah melukis balik, bercorak ekspresionis yang menggebu di kalbu. Atau kata-kata saudara berupa cat bermutu hingga aku bangga melukiskan pada kanvas kali ini. Aku minta maaf jika terlihat berani menuangkan cat bergaya boroime kata. Namun aku percaya, saudara tidak keberatan memberikan cat bermutu di suatu saat nanti. Kemarinnya aku hanya memakai cat berbahan kopi susu, yang tampil kurang bagus, apalagi belum ada kanvas tapi kertas. Untung berkawan denganmu; cermin saudara berikan aku taruh di kamar dan setiap waktu kuberkaca, sebelum menemui Maha Cantik saat hendak berpetualang. Semoga Tuhan senantiasa membimbing kita, apa yang terharap tidak melenceng kehendak mencapai keseimbangan fitroh spiritualitas-Nya.
Aku fikir cukup, terimakasih penggerak darimu bagiku merasai cambukan itu, realitas saudara maksud. Semoga aku dapat mewujudkan ocean ini dalam buku tidak sekadar hitam manis, namun meges, syukur sehitam manggis. Kalau putih tak seputih tulang tapi salju, lebih putih kapas randu di jalan pulang. Makin sehat berkesegaran putih susu. Teruskan membaca saudara, mumpung kantuk belum menyerang dahsyat, atau siang melarat oleh hawa paling pengab.
Ini hanya firasat ngelayap, tanpa juntrung namun menganggap bermuatan filsafat. Ya mudah-mudahan menjadi embrio paling tepat demi berpijak di batuan nekat, terbang setelah penuh siasat. Aku teringat ramalan Voltaire yang serasa kepada waktu kini; “Ia berjanji pada mereka, akan membuatkan sebuah buku filsafat yang bagus dan akan menulis kecil-kecil supaya mereka dapat membacanya.”
Sebagai penutup surat aku tuliskan kata-kata saudara Y. Wibowo yang tidak memberikan komentar lagi selain sms ini: Di sabtu kelabu, kusamak untai mutiaramu, sayangku di temui jauh. Saudara-saudaraku di sekolah kebudayaan Lampung, terhenyak atas kehadiranmu. Tabik.
9 Januari 2005 Lamongan, Indonesia.
http://www.sastra-indonesia.com/
Setelah aku kirimkan beberapa buku stensilanku kepada saudara Marhalim Zaini di Riau dan Y. Wibowo di Tanjung Karang, Bandar Lampung. Di bawah ini tanggapan Marhalim Zaini lewat sms, lantas aku buatlah surat untuknya:
Ada logika-logika aneh dan asing, ada sentakan pemberontakan yang ajaib, ada teriakan-teriakan keras dan dalam, ada hasrat untuk membangun dunia sendiri. Ada lompatan-lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling, ada jerit dari jerih kata yang diperas berulang-ulang, ada laut yang saling berbalik arah debur ombaknya (via sms, Marhalim Zaini).
Saudaraku, mungkin begitulah diriku. Ketika sentuhan angin bidadari mengibas rambutku yang ikal memanjang bagai anak-anakan untaian rambut Tagore. Atau kusut tak karuan seperti Nietzsche saat suntuk, pun sekelimis Freud dikala berkarya bercermin terlebih dulu. Jangan-jangan mahkotaku kelak hilang botak serupa tuanku Al-Ghozali.
Tidak apa, kalau membuat leloncatan fikiran perasaanku (yang saudara maksud; Ada lompatan-lompatan makna) sepagi-pagi cahaya khusyuk Suhrawardi merampungkan Hikmah Al-Isyraq. Dan logikaku, sepra-prakteknya Einstein berjalan keluar dari bangku kuliah menuju kampus dunia, segambar tuturan Alan Lightman pada novelnya Einsteins Dreams.
Atau keasingan itu (Ada logika-logika aneh dan asing), sejenis Socrates menenggak racun kenyataan hukum logis Ilahi. Namun bukan konstruksiku sekonstruktivisme Kukla kekanakan, atau karakter gairahku kebalikan dari Marcuse sang ambigu; yang seolah polisi dilain pihak berwajah hakim Bao; memang berhasil membuat penjara tetapi gagal mencipta pencerahan, sebatas pencerita dalam One Dimensional Man. Dan diriku mengatakan, insan adalah jutaan dimensi, tentu atas cakupan berbeda.
Mungkin jiwaku mengharap pesona Don Juan Berrnar Shaw atau Adimanusia Nietzsche; keberanian menarik putar roda torpedo pemikiran hingga ribuan kesan menembus batas diri. Pada lain tempat Nietzsche membabat dialektika Socrates lewat dialektikanya yang lebih kasar dan sembrono, dianggap tidak dialektik, padahal sangat di Senjakala Berhala.
Hasratku tak sepelan Machiavelli juga belum memiliki kejelian Plato pada Republik, atau The End of History and The Last man Fukuyama. Atau The Philosophy of History Hegel, dramatik Camus, lebih-lebih Muqaddimah Ibn Khaldun, namun mudah-mudahan potensi itu terangkat oleh seperangkat kesehatan bekerja keras atas ketentuan rahmat-Nya.
Tapi tidak mau keterlaluan nekat, maka diri ini membutuhkan waktu tepat mujarab demi memakbulkan karya seizin-Nya, seharap Fusus Al-Hikam Ibn Arabi, syukur mencapai kekentalan Ibn Ataillah kala merampungkan karya terbaiknya Al-Hikam.
Mungkin ini saudara harapkan bagiku; mencipta karya tidak sekadar tumpukan kertas berita, tak sembarangan kutip seolah tanpa otak, kerajinan tangan kliping, tentu pula tak hanya menyenangkan teman-teman? Maka doakan agar sampai tahap formula tersendiri, tidak tergiur nyontek Hallaj pun Rumi. Kalau gaya mungkin tak kenapa, yang fatal ruh dari yang sedang kubangun sebanding sama, kan konyol.
Ingin sungguh mengupas kebobrokan diri sehingga tampil menggemuruh di bathin kejujuran pelajar, berharap capaian murid patut disayang. Anak halal dibanggakan serupa termaktub dalam hadits; Menikalah kalian dan beranak cuculah, karena sesungguhnya kalian akan kujadikan kebanggaan di antara sekalian banyak ummat.
Atau kehilafanku terterima serupa hadits Qudsi; Barangsiapa karena sibuk berdzikir sehingga lupa meminta-minta, Aku beri ia sebelum meminta. Ialah ketokohan patut dibanggakan Muhammad, Rasul punghujung jaman. Bukan nabi palsu yang disangka orang-orang, dirinya gagah atas obyektivitas ilmu pengetahuan.
Kitab apalagi yang ajaib dan membumi kalau bukan Al-Qur’an. Pemampu menjawab soal belum terlahir. Mengandung lautan hikmah dan hamparan falsafah yang patut dipandang cermat, berguna memberi soal jawab masa depan terhormat demi masyarakat madani, bukan medeni atau menakutkan semacam FPI.
Muhammad SAW, sang revolusioner tercepat diakui sejarawan Karen Armstrong di bukunya; Muhammad, Biography the Prophet. Sanggup mewarna perjuangan Diponegoro, jenderal Sudirman. Juga Bung Tomo yang menurut K’tut Tantri se-Abraham Lincoln dalam Revolusi di Nusa Damai. Itu perembesan, belum menghujam banjir sekepribadian Umar bin Abdul Aziz. Atau sahabat empat yang berkilatan menyelamatkan kemanusiaan dari kungkungan jahiliah. Di layar putih berbeda para tuan tanah Texas atas kulit hitam dan Indian. Dan takdir Tuhan menghendaki tiada lagi muka penindas, terkelupas temukan tulang kesadaran, bahasa Erich Fromm dari Freud; insting kematian dari hasrat merusak.
Dari yang belum kusebut ialah cermin, agar selalu mengoreksi; mengemur sesuai baut kita punya. Kesadaran totalitas demi menarik permasalahan yang being dan masuk ke dunia henang-hening-henung, pada nantinya tertampil citraan diri menerang padang njinglang; terang benderang.
Kata saudara; ada sentakan pemberontakan yang ajaib. Marilah bangun keajaiban. Tidakkah dunia berjalan melewati anomali menghemaskan? Kudunya menarik diri menjadi paling ajaib, menanjak seperti tragedi bedah caesar, diawali kebanggaan Sang Caesar yang lahir tanpa melewati anunya wanita (dalam Caesar and Cleopatra, Bernart Shaw).
Aku tak bermanis-manis sedebu kering Salman Rushdie yang spekulatif menghentak-henyak. Paling-paling nyangkut di roda cikar atau gerobak yang ditarik sapi-sapi pongah. Aku tak mau masuk perangkap subyektivitas Max Weber (the Sosiologi of Religiun) yang memakai kacamata kuda, pura-pura kemayu demi sesuap pengakuan. Ingin kubangun realitas kedirian yang digagas Iqbal, kejuntrungan Isa Dawud dalam setiap menerangi penelitiannya, bukan bayangan jauh namun ngeranggehnya harapan.
Oya, aku terkejut saat menyimak Critical & Cultural Theory, Cavallary yang seperti kubayang, namun setelah kuteliti untung isih’ (masih) berjarak dan semoga yang terbayang tidak seampang suguhan John K Roth. Atau aku tak membangun apa-apa dari sana, yang kubeberkan sebagai tonggak jati diri; ini berhubung daya ketahanan suntuk, jangan-jangan aku tertidur sehabis terpuaskan. Sungguh anomali? Kalau sampai diteruskan, apalagi menguap lantas bangun deladapan kesiangan.
Basis eksistensi jelas, kesadaran ruh pemberian Tuhan, amanah terkandung demi melahirkan kemaslahatan mencahayai perjalanan ke alam akhir. Tentu atas syafaat Nabi Muhammad oleh restu Sang Maha Ego. Kita di atas tungku pembakaran was-was malaikat pencabut suka pada jarak kesakitan dunia, luka tradisional; realitas borok kondisional. Bukan dipremak tapi merombak, sebab setiap detikan waktu jungkir-balik kehendak ketentuan-Nya.
Dunia ajaib dari Sang Ajaib; mata cemerlang menatap daun pun benda-benda hidup, hayat tambah bergairah merevolusi diri menciptakan fibrasi gesek-resapan. Tidakkan seluruh jagad mikro kosmos serta kebalikannya ajaib? Realitas tercetak di lembaran biru, dalam matematika perkalian, gairah rindu demi temukan hakikat benda dan misterinya luput ditangkap para empun filsuf juga psikolog di pagi buta. Sebab mereka seperti tukang kursi, mencopoti kaki-kaki kursi, dipasang sesuka pencahayaannya. Sejenis spesies penari di atas tali tambang selukisan Nietzsche. Atau ribuan cacing menjelma seekor naga besar, kata Hitler sewaktu memotivasi anak-anak buahnya.
Mereka kondisikan gairah bersama demi temukan kreativitas pemompaan atau racun sugesti, menggerakkan organ nganggur. Seakan pelari maraton dengan satu tongkat diberikan penerusnya. Benarkah ini daya sesungguhnya? Jangan-jangan rangsangan dihasilkan dunia gaib, sangkaan menyenangkan pewarisnya dengan melucuti tenaga untuk memeras. Kalau permainan sepak bola pesta bersama, bisa-bisa pesta para pemain, wasit, pelatih dan panitia, yang lain ikut ramai. Jikalau sekadar ingin mendapati tepuk tangan, rekam saja pertandingan. Lalu putar di waktu lapar, tentu tanpa makan malam sudah kekenyangan.
Inikah mereka sebut lagu? Pemalsuan alam atau kejujuran dipalsukan. Jika berharap gembirakan diri, sulut saja petasan? Tapi mereka malu. Tidakkah ini penindasan bangsa lebih kuat pada bangsa amburadul tidak terkonsep. Yang tak memiliki jati diri, inginnya cepat menemukan kemeja pas (srek) demi tampil di depan publik. Tidakkah ini pembodohan akademis, mencipta hukum strategi komando untuk mencapai perang akhir manusia. Bungkus hanya paradok diperjualbelikan agar lekas laku, lantas tergiur wajah cantik otak encer atau mengental?
Mereka menyaksikan gejala gunung es meleleh, cepat-cepat menarik diri ke kamar menyelingkuhi kesunyian, lalu keluar bangga sejatinya melompong; menuliskan kesakitan juga kekecewaan berhati haru atau ketawa membadut. Lampaui itu, hasrat tenang atau gembira dari jiwa. Kita tanggalkan kesenangan semu, ketenangan melena demi tetap mawas. Kudu berani tanggalkan kesemerawutan tak juntrung. Kita bukan kosong, tapi kebaharuan tanpa merasakan cuaca ganas menyengat, keindahan taman samping jendela atau ketinggian gunung merayu. Kita pelajari sosok perayu tak merayu, magnit tak mencari besi, deras hujan tak mencari lahan, namun mengikuti angin bertiup segeraian kasih lembut Sang Asih.
Segala tulisan kerentek tanpa suara, gerak munajad tak harus menuju ruang peribadatan, tidak kudu menjajakan dagangan ke kota metropolis. Biarkan para wisatawan berpelesiran mencium harum bunga kita. Meski di tempat lain berkeajaiban. Dunia tak lagi dianggap ajaib oleh penggila dan penggali ilmu. Ini bukan dunia sendiri seperti saudara maksud; ada hasrat untuk membangun dunia sendiri. Namun alam belum terjamah-jemah insani seperti Tagore ngelutus temukan Borobudur. Ngelayapnya diriku bersama mas Suryanto Sastroatmodjo mendapati relief kuda sembrani di Piyungan Yogyakarta tempo dulu. Bukan mbelakraknya Marcopolo mempercayai dunia bundar. Atau pelesirannya K’tut Tantri ke Jawa melewati pesawahan hijau, pebukitan terjal serta keramahan masyarakat Bali. Yang kumaksud lain dan berbeda. Mari kita ajak bermimpi dulu untuk mengetahui keasingan hakiki, sebab masih membawa kelogisan dikala tertidur.
Ialah alam bawah sadar belum terangkat di atas bumi. Bahasa Nietzsche, keajaiban metafisis dalam arti kehendak Hellenis yang melahirkan karya seni Dionysian sekaligus Apollonian, disebutnya tragedy Attik. Semacam fokus piramida lenyap. Dan penggalian kita bukan sejenis arkeolog yang tiada keberanian melewati kebenaran firasat tinggi. Ada buku menarik panduan firasat yang ditulis Ibn Qayyim bertitel Al-Firaasat, mungkin saudaraku belum membacanya.
Saudara katakan; laut yang saling berbalik arah debur ombaknya. Aku tak ingin berhenti setelah hempasan menemui kebuntuan pasir pantai karang ketentuan. Aku tak ambil ini sebab tiadanya awan penjara, meski terlunta sekaligus lelah. Tentu tahu siapa penghiburnya? Ini kian dalam pengulitan bawang merah, kulit-kulit pembungkus dikeluarkan, jika itu pokok bawang. Namun insan ribuan dimensi? Lebih sekadar kulit pun pengulangan sisifus. Tidak lagi mengambil jarak, tapi mengangkat sikap kekinian. Hanya belum mengatakan di depannya, hawatir dianggap pembual mitos atau tali-temali penjerat metet (rapuh).
Cukup menyebut asma-Nya, kata ajaib difikirkan. Segalanya terkendali menjelma seajaib mungkin. Mungkin di sini harus berhati-hati memaknai, sebab bisa kemandekan, kudunya dilumat hingga keajaiban terus. Ini bukan tingkatan hipnotis, apalagi sihir rendah sugesti akal-akalan, tapi kesadaran totalitas mengiyakan; segalanya ajaib. Ini jangan dianggap berhutang pada saudara yang kuutarakan, sebab tiada tahu sebelum sesudah-Nya memberi takdir kita. Anggap ini percobaan kimiawi-manusiawi, pembelajaran pada diri agar ringan melangkahkan kaki, menggarah makna misteri daya rayu yang teridam.
Ingin aku berkesederhanaan Erich Fromm, seolah angkat kursi makan di ruang tamu dengan embun psikoanalisanya, memandangi karya Lorenz didukung tulisan sebelumnya, milik dramawan Robert Ardrey (African Genesis & The Territorial Imperative). Mungkin senada musik Psikofiesta gagasanku (Psikologi Filsafat Sastra & Tasawwuf), bahwa karya Goethe, Faust menjadi mendasar terkuak, berdayaguna kuat sebab usungan idiom Timur dan Barat melewati tragedi nilai nenek moyang. Ini memperbantukan kesadaran demi diakui serta layak.
Aku harap saudara tidak angkat ketukan palu mendadak, mengatakan ini mengusung keranda usang atau menakut-nakuti berkain pocongan. Atau boleh berpandangan itu namun aku percaya, analisa saudara lebih kuduga. Aku masih berkutat menyenangi pertemuan pertama, perkenalan ajaib, perjumpaan tak tersangka hingga mendapati dugaan kuat. Makna itu di sana, gairah meledak-ledak setubuh, bukannya ejakulasi dini atau watak penggerogotan jiwa yang dikembangkan panyair Lebanon.
Kita tahu perkembangan filsafat dari juntrung sampai berjingkrak, dari kesahajaan menuju pengelucutan senjata, hingga menemukan pecahan kepala; menembusi batas yang dibatasi daya insani atau menguap ateis, sebab belum kenyang tidur semalam. Maka doakan diriku tidak deladapan memandang kecantikan, walau kadang mencipta siratan spiritual, seperti keunggulan pelangi yang suatu waktu membentur remuk hujan angin di sekitarnya. Ada unen-unen; di daerah kekuasaan lengkung pelangi selalu meminta tumbal, sederu hujan bersusulan. Atau selembut Cinderawasi menyembunyikan agresi singa sefilosofis Reog Ponorogo, wilayah yang menyeret R. Ng. Ronggowarsito dalam kancah kehitaman panggung, sampai menemukan batu bercekungan air yang tersaksikan Ibnu Hajar Al-haitami, dengan frame berlainan.
Atau aku mengajak mendestruktifkan diri, agar being di kancah sapuan lar bulu sayap, sampai setajam penghilangan diri. Tapi aku kira tidak, sebab saudara memiliki racikan jamu mujarab, resep hidup surgawi bervitalitas tinggi, meski tua tongseng, bukan yang kerapkali dikatakan Bung Hatta; non sen. Kita pakai instingnya anjing Ashabul Kahfi menguntit ketaatan menjumpai dunia lain, dipersembahkan perasaan nalar berkembang di kebun desa. Aku tilik para filsuf anak turun petani atau memotret kesahajaan proletar. Teringatlah sosok Tolstoy, penjelmaan aforisma yang tumbuh berkembangnya kebenaran hakiki.
Keajaiban anomaly se-mak-bedunduk tidak mendadak nunut ngeyop kehujanan. Bukan berhentinya kereta api kelas ekonomi yang tidak di stasiun oleh menanti simpangan kereta api kelas eksekutif, dan bukan pemberhentian atas tradisi (kereta api kelas ekonomi di Jawa, ada yang berhenti tidak di stasiun, tapi juga di tempat yang dulu jadi pemberhentian, stasiun perjuangan). A (anomaly) di sini A besar atau A-Nya dan Y terakhir ialah tukikan ke bawah kemanusiaan, kepasrahan total. Penulis memaknai dalam kacamata matematika berarti min (-). Sebagaimana Isra’ Mi’raj dihasilkan min kali plus berarti min (- x + = -), yakni kian tinggi jumlah nominal, betambah naik ke Arasy, Wallahuaklam.
Kata saudara pada tulisanku; Ada lompatan-lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling. Benar aku berfikiran ganda, tapi bukan mengharap dualitas yang mencederai keputusan seenaknya. Tetapi permainan bebas dibatasi, permainan hanya teknik penajam hujam pada pokok persoalan, pembiasaan daya dinaya. Dapat digaris bawahi, aku tak membangun lewat kemisterian. Yang sedang tergarap pembuka, memberi kemungkinan masuk keluar tanpa malu, seperti anak kecil mengalah pada adiknya, tanpa tercampuri iri ingin hadiah kecupan orang tuanya.
Aku harap tulisan ini tidak mengocok otak apalagi perut, sebab keterlaluan geli tukikan miring. Atau saudara anggap badut yang ingin mengenyangkan perut tanpa makan. Mungkin semisal badut pelatih hewan ganas menjadi piaraan; nafsu meliar tidak perlu dicencang, cukup latihan tiap pagi, anjing (keliaran gaya berfikir, keyakinan memburu dari penciuman duga, terkaman menjanjikan daging) juga lincah memasuki lingkaran api, walau mengenai porsi makan tetap sama (ini pengembangan fitroh). Lebih mujur dari anjing gila (para filsuf yatim keimanan) mudah tertular penyakit kudis, sampar pula kelaparan di padang gersang.
Aku suka menggunakan anjing daripada tikus, meski berkelenjar searah manusia. Lagi-lagi dikejutkan penelitian di negeri Matahari Terbit akhir-akhir ini, yang mengatakan usia kucing lebih lama daripada manusia. Aku teringat mata kucing kemerahan magis, pemilik jaket berbulu hitam itu. Di sini terbaca, saudara tertarik atau tidak atas gaya bahasaku bertabrakan, atau fikiran beribu ganda lebih jauh jangkauannya, dengan lemparan jala sejauh sejarah kemanusiaan. Doakan umur ini bermanfaat, agar segala problematik mengintriki jiwa, menjadi asyik di mata berpenuh mistis.
Aku mengakui sketsa saudara mengenai wajah ini menyenangkan, hingga mudah melukis balik, bercorak ekspresionis yang menggebu di kalbu. Atau kata-kata saudara berupa cat bermutu hingga aku bangga melukiskan pada kanvas kali ini. Aku minta maaf jika terlihat berani menuangkan cat bergaya boroime kata. Namun aku percaya, saudara tidak keberatan memberikan cat bermutu di suatu saat nanti. Kemarinnya aku hanya memakai cat berbahan kopi susu, yang tampil kurang bagus, apalagi belum ada kanvas tapi kertas. Untung berkawan denganmu; cermin saudara berikan aku taruh di kamar dan setiap waktu kuberkaca, sebelum menemui Maha Cantik saat hendak berpetualang. Semoga Tuhan senantiasa membimbing kita, apa yang terharap tidak melenceng kehendak mencapai keseimbangan fitroh spiritualitas-Nya.
Aku fikir cukup, terimakasih penggerak darimu bagiku merasai cambukan itu, realitas saudara maksud. Semoga aku dapat mewujudkan ocean ini dalam buku tidak sekadar hitam manis, namun meges, syukur sehitam manggis. Kalau putih tak seputih tulang tapi salju, lebih putih kapas randu di jalan pulang. Makin sehat berkesegaran putih susu. Teruskan membaca saudara, mumpung kantuk belum menyerang dahsyat, atau siang melarat oleh hawa paling pengab.
Ini hanya firasat ngelayap, tanpa juntrung namun menganggap bermuatan filsafat. Ya mudah-mudahan menjadi embrio paling tepat demi berpijak di batuan nekat, terbang setelah penuh siasat. Aku teringat ramalan Voltaire yang serasa kepada waktu kini; “Ia berjanji pada mereka, akan membuatkan sebuah buku filsafat yang bagus dan akan menulis kecil-kecil supaya mereka dapat membacanya.”
Sebagai penutup surat aku tuliskan kata-kata saudara Y. Wibowo yang tidak memberikan komentar lagi selain sms ini: Di sabtu kelabu, kusamak untai mutiaramu, sayangku di temui jauh. Saudara-saudaraku di sekolah kebudayaan Lampung, terhenyak atas kehadiranmu. Tabik.
9 Januari 2005 Lamongan, Indonesia.
Pesona Strategi Literer Agus Noor
Satmoko Budi Santoso*
http://www.jawapos.com/
CERPENIS Agus Noor kembali menerbitkan kumpulan cerpen. Tajuknya cukup menggugah: Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia. Kejutan apakah yang terjadi di dalamnya?
Agus Noor masih menunjukkan kepiawaian sebagai pencerita di dalam sejumlah cerpennya kali ini. Rupanya, sebagian merupakan perwujudan konseptualisasi ”cerpen mini” sebagaimana kredo yang pernah dilansir Agus di sebuah media massa. ”Cerpen mini”? Ya, cerpen yang menurut Agus sanggup meringkus sejumlah peristiwa dalam satu narasi pendek.
Strategi literer yang dikembangkan dalam kumpulan cerpennya kali ini juga masih cukup setia pada kisah seputar cinta dan konsistensi menggumuli berbagai persoalan sosial-kemasyarakatan. Yang menarik adalah cara ungkap terhadap berbagai hal tersebut. Agus membungkusnya dengan nuansa surealis, absurd, dan jenaka.
Lihatlah, misalnya, pada cerpen bertajuk Perihal Orang Miskin yang Bahagia (hlm 153-166), yang juga pernah dimuat di Jawa Pos. Dalam cerpen tersebut, Agus memainkan imaji bahwa orang miskin bisa saja tetap merasa bahagia dengan kemiskinannya. Bahkan, dalam sejumlah hal, dia malah bisa mengeksploitasi kemiskinan tersebut menjadi menguntungkan dalam konteks perjalanan nasib ke depan. Digambarkan oleh Agus bahwa orang miskin ternyata malah bisa berobat dengan nyaman, cukup menunjukkan kartu tanda pengenal yang merupakan penegas status sosialnya sebagai orang miskin.
Cara pandang penceritaan semacam itu tentu saja menjadi bernilai relevan, mempunyai nilai kontekstualisasi dengan kondisi masyarakat kita kini. Betapa banyak kamuflase atas nasib yang menimpa dan berusaha ditutupi dengan cara pemanfaatan penderitaan itu sendiri demi target sejumlah kemudahan dan pemakluman. Kekuatan literer semacam itu terletak pada teknik penceritaan yang memuat kedalaman kenaifan dengan bumbu kejenakaan yang sublim.
Membaca karya-karya Agus, tentu yang terutama didapat adalah soal kecerdikan pengolahan tema keseharian. Hubungan frasa per frasa, antarkalimat yang dibangun, hampir selalu ”menohok”, penuh upaya eksperimentasi gagasan. Dengan cara seperti itu, tema tertentu yang digarap, seperti tentang kematian, tampak begitu menggelitik dibaca karena sodoran sudut pandang alternatif yang diberikan teks tersebut.
Hal itu tampak pada cerpen yang bertajuk Variasi bagi Kematian yang Seksi yang terbagi menjadi dua subjudul, yakni Variasi Kematian Pertama dan Variasi Kematian Kedua. Kedua subjudul itu menceritakan perihal betapa misterius datangnya kematian, dengan kemungkinan adanya percakapan antara diri yang akan atau sudah mati dengan kontras tokoh di luar dirinya. Kisah tersebut dibangun dengan alur absurdis, meskipun tetap menyisakan kejelasan pada bagian ending (akhir cerita). Misalnya, ternyata, pada subjudul pertama, kematian itu sudah terjadi pada pukul 09.00. Lantas pada subjudul kedua, kematian itu datang sebelum sang tokoh bercerita kepada orang lain. Padahal, si tokoh tersebut ingin sekali menceritakan.
Contoh atas dua cerpen Agus di atas, saya anggap sebagai bagian cukup penting untuk menandai ”puncak-puncak” capaian estetik kehadiran kumpulan cerpen ini. Dari dua cerpen tersebut, bisa disidik bahwa Agus sangat tahu pilihan sudut pandang penceritaan yang mengundang rasa penasaran. Aspek fiksionalitas yang dibangun Agus pun merupakan fiksionalitas yang merangsang nalar menjadi selalu kritis. Hampir tidak ada kesan ketergesa-gesaan atau kedodoran dalam menggarap alur. Itulah yang membuat Agus tampak selalu mempunyai ”napas panjang” dalam mengatur ritme penceritaan.
Meminjam rumusan sastrawan Bakdi Soemanto, hal itu merujuk pada penghadiran cerpen-cerpen yang engaging. Yakni, sodoran kata-kata dalam alur penceritaan yang dibangun selalu mengundang pesona. Bahkan, jika dicermati secara jeli, bangunan kata yang dipilih Agus merupakan diksi selektif, dengan kecenderungan susunan frasa yang mengarah pada penulisan ”tertib sajak”. Seperti yang terkesan sangat kuat dan menonjol pada cerpen Perihal Orang Miskin yang Bahagia tersebut.
Apakah kemudian apa yang dicapai Agus adalah otentik? Saya kira, itu masalah lain. Itu pulalah yang sesungguhnya menarik dibedah lebih jauh. Jika itu terjadi pada saya, ternyata sebagai reseptor, saya cukup susah membebaskan teks cerpen Agus dalam kemandirian, tanpa anasir intertekstualitas atau keterpengaruhan yang kuat atas teks lain di luar bangunan teks Agus sendiri. Meski, di dalam ranah kajian sastra, adanya fenomena intertekstualitas merupakan kewajaran.
Memang, hanya satu cerpen Agus yang mempunyai indikasi kuat terinspirasi cara penyair Joko Pinurbo membangun narasi cerita dalam sajak. Yakni, cerpen Perihal Orang Miskin itu.
Pada cerpen lain, seperti Kartu Pos dari Surga, Permen, 20 Keping Puzzle Cerita dan Episode, Agus berhasil membebaskan diri dari rujukan teks Joko Pinurbo yang rupanya memang sengaja menjadi acuan. Otentisitas yang ditemani bayangan intertekstualitas itu tentu saja mengkhawatirkan. Semestinya, kemungkinan intertekstualitas yang cenderung verbal semacam itu tak lagi menjerat. Dapat dilepaskan secara baik-baik. Bagaimana? (*)
Judul Buku: Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia
Pengarang: Agus Noor
Penerbit: Bentang Jogjakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2010
Tebal Buku: 166 halaman
*) Pencinta sastra. Tinggal di Jogjakarta.
http://www.jawapos.com/
CERPENIS Agus Noor kembali menerbitkan kumpulan cerpen. Tajuknya cukup menggugah: Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia. Kejutan apakah yang terjadi di dalamnya?
Agus Noor masih menunjukkan kepiawaian sebagai pencerita di dalam sejumlah cerpennya kali ini. Rupanya, sebagian merupakan perwujudan konseptualisasi ”cerpen mini” sebagaimana kredo yang pernah dilansir Agus di sebuah media massa. ”Cerpen mini”? Ya, cerpen yang menurut Agus sanggup meringkus sejumlah peristiwa dalam satu narasi pendek.
Strategi literer yang dikembangkan dalam kumpulan cerpennya kali ini juga masih cukup setia pada kisah seputar cinta dan konsistensi menggumuli berbagai persoalan sosial-kemasyarakatan. Yang menarik adalah cara ungkap terhadap berbagai hal tersebut. Agus membungkusnya dengan nuansa surealis, absurd, dan jenaka.
Lihatlah, misalnya, pada cerpen bertajuk Perihal Orang Miskin yang Bahagia (hlm 153-166), yang juga pernah dimuat di Jawa Pos. Dalam cerpen tersebut, Agus memainkan imaji bahwa orang miskin bisa saja tetap merasa bahagia dengan kemiskinannya. Bahkan, dalam sejumlah hal, dia malah bisa mengeksploitasi kemiskinan tersebut menjadi menguntungkan dalam konteks perjalanan nasib ke depan. Digambarkan oleh Agus bahwa orang miskin ternyata malah bisa berobat dengan nyaman, cukup menunjukkan kartu tanda pengenal yang merupakan penegas status sosialnya sebagai orang miskin.
Cara pandang penceritaan semacam itu tentu saja menjadi bernilai relevan, mempunyai nilai kontekstualisasi dengan kondisi masyarakat kita kini. Betapa banyak kamuflase atas nasib yang menimpa dan berusaha ditutupi dengan cara pemanfaatan penderitaan itu sendiri demi target sejumlah kemudahan dan pemakluman. Kekuatan literer semacam itu terletak pada teknik penceritaan yang memuat kedalaman kenaifan dengan bumbu kejenakaan yang sublim.
Membaca karya-karya Agus, tentu yang terutama didapat adalah soal kecerdikan pengolahan tema keseharian. Hubungan frasa per frasa, antarkalimat yang dibangun, hampir selalu ”menohok”, penuh upaya eksperimentasi gagasan. Dengan cara seperti itu, tema tertentu yang digarap, seperti tentang kematian, tampak begitu menggelitik dibaca karena sodoran sudut pandang alternatif yang diberikan teks tersebut.
Hal itu tampak pada cerpen yang bertajuk Variasi bagi Kematian yang Seksi yang terbagi menjadi dua subjudul, yakni Variasi Kematian Pertama dan Variasi Kematian Kedua. Kedua subjudul itu menceritakan perihal betapa misterius datangnya kematian, dengan kemungkinan adanya percakapan antara diri yang akan atau sudah mati dengan kontras tokoh di luar dirinya. Kisah tersebut dibangun dengan alur absurdis, meskipun tetap menyisakan kejelasan pada bagian ending (akhir cerita). Misalnya, ternyata, pada subjudul pertama, kematian itu sudah terjadi pada pukul 09.00. Lantas pada subjudul kedua, kematian itu datang sebelum sang tokoh bercerita kepada orang lain. Padahal, si tokoh tersebut ingin sekali menceritakan.
Contoh atas dua cerpen Agus di atas, saya anggap sebagai bagian cukup penting untuk menandai ”puncak-puncak” capaian estetik kehadiran kumpulan cerpen ini. Dari dua cerpen tersebut, bisa disidik bahwa Agus sangat tahu pilihan sudut pandang penceritaan yang mengundang rasa penasaran. Aspek fiksionalitas yang dibangun Agus pun merupakan fiksionalitas yang merangsang nalar menjadi selalu kritis. Hampir tidak ada kesan ketergesa-gesaan atau kedodoran dalam menggarap alur. Itulah yang membuat Agus tampak selalu mempunyai ”napas panjang” dalam mengatur ritme penceritaan.
Meminjam rumusan sastrawan Bakdi Soemanto, hal itu merujuk pada penghadiran cerpen-cerpen yang engaging. Yakni, sodoran kata-kata dalam alur penceritaan yang dibangun selalu mengundang pesona. Bahkan, jika dicermati secara jeli, bangunan kata yang dipilih Agus merupakan diksi selektif, dengan kecenderungan susunan frasa yang mengarah pada penulisan ”tertib sajak”. Seperti yang terkesan sangat kuat dan menonjol pada cerpen Perihal Orang Miskin yang Bahagia tersebut.
Apakah kemudian apa yang dicapai Agus adalah otentik? Saya kira, itu masalah lain. Itu pulalah yang sesungguhnya menarik dibedah lebih jauh. Jika itu terjadi pada saya, ternyata sebagai reseptor, saya cukup susah membebaskan teks cerpen Agus dalam kemandirian, tanpa anasir intertekstualitas atau keterpengaruhan yang kuat atas teks lain di luar bangunan teks Agus sendiri. Meski, di dalam ranah kajian sastra, adanya fenomena intertekstualitas merupakan kewajaran.
Memang, hanya satu cerpen Agus yang mempunyai indikasi kuat terinspirasi cara penyair Joko Pinurbo membangun narasi cerita dalam sajak. Yakni, cerpen Perihal Orang Miskin itu.
Pada cerpen lain, seperti Kartu Pos dari Surga, Permen, 20 Keping Puzzle Cerita dan Episode, Agus berhasil membebaskan diri dari rujukan teks Joko Pinurbo yang rupanya memang sengaja menjadi acuan. Otentisitas yang ditemani bayangan intertekstualitas itu tentu saja mengkhawatirkan. Semestinya, kemungkinan intertekstualitas yang cenderung verbal semacam itu tak lagi menjerat. Dapat dilepaskan secara baik-baik. Bagaimana? (*)
Judul Buku: Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia
Pengarang: Agus Noor
Penerbit: Bentang Jogjakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2010
Tebal Buku: 166 halaman
*) Pencinta sastra. Tinggal di Jogjakarta.
Kebetulan-kebetulan yang Mewarnai Hidup
Judul: 136 Incredible Coincidences
Penulis: Vikas Khatri
Penerjemah: Helen Ishwara
Penerbit: PT Intisari Mediatama, Jakarta
Cetakan: Agustus 2007
Tebal: 144 halaman
Peresensi: Teguh Pamungkas
http://suaramerdeka.com/
JAMES Dean hidup antara 1931-1955, menjadi simbol kawula muda dalam keresahan mencari identitas diri. Hal ini terkait salah satu filmnya, yaitu Rebel Without a Cause (Pemberontak Tanpa Alasan). Ia meninggal dunia dalam usia relatif muda, akibat kecelakaan saat mengendarai mobil. Dan dari kecelakaan tersebut, menjadikan ia tokoh penuh legenda.
Bagaimana tidak? Mobil yang membuat James celaka, ternyata menularkan celaka pula kepada orang lain. Kecelakaan menimpa siapa saja yang ”bercengkerama” dengan mobil James. Seorang montir yang membetulkan mobilnya yang ringsek patah kedua kakinya karena tertimpa mobil yang merosot. Karena kakinya patah, sang montir tidak hadir saat bengkelnya kebakaran.
Tak hanya itu. Seorang dokter kemudian membeli mesin mobil millik James itu untuk dipasang pada mobil balapnya. Dan ia tewas dalam balap mobil tidak lama kemudian. Seorang pengemudi lain memasang batang kemudi mobil James di mobilnya, ia pun tewas pula saat dalam balapan. Lain waktu, mobilnya dipamerkan. Mobil tersebut jatuh dari panggung dan mematahkan pinggul seorang remaja penggemar James.
Pernah pula, saat sebuah truk mengangkut mobilnya untuk dikirim, menabrak bagian depan toko. Dan terakhir, pada 1959, mobil itu jatuh dari tiang baja penyangga menjadi 11 bagian. Entah mengapa, mobil James menelurkan kecelakaan-kecelakaan lain. Itulah kebetulan.
Menerobos Kebetulan
Kebetulan adalah suatu peristiwa atau momen yang terjadi secara tak terduga. Tanpa kita sadari, peristiwa itu kita alami dan mungkin kita rasakan. Bagi segelintir menganggap kebetulan merupakan suatu kejadian yang biasa. Namun bagi sebagian orang lainnya kebetulan-kebetulan menjadi guru untuk pengayaan warna diri dalam melakukan hidup.
Memang tak bisa dimungkiri, terkadang kebetulan yang terjadi pada seseorang mampu mewarnai khasanah hidupnya. Jika orang menganggap peristiwa ekstrem yang pernah dialami terjadi kembali, maka memungkinkan munculnya syndrome traumatic. Tetapi yang jelas kebetulan memberikan pelajaran tentang suatu hal melalui dua peristiwa atau bahkan lebih.
Pepatah mengatakan dunia tak selebar daun kelor. Misalnya di suatu tempat yang jauh, ternyata kita berjumpa dengan orang lain yang kita kenal (entah tetangga, teman atau siapa pun), padahal tak pernah terbayangkan sebelumnya di benak kita. Begitu pula dengan peristiwa yang terjadi. Tetapi terkadang pepatah itu ada benarnya, sebab di bagian kehidupan kita merasakan kejadian dan suatu saat kejadian itu terulang kembali.
Yang jelas, dari berbagai kebetulan mampu menyibak tabir tak terduga menjadi suatu warna-warni hidup. Seperti ramalan Arthur Law pada 1880-an tentang naskah sandiwaranya (halaman 21). Dalam naskah diceritakan, ada satu-satunya orang yang selamat dari sebuah kecelakaan kapal karam, adalah Robert Golding. Kapal tersebut bernama Caroline.
Setelah cerita itu dipentaskan kali pertama, ia membaca di sebuah surat kabar kisah kapal karam sungguhan. Kapal naas tersebut bernama Caroline dan ada seorang korban yang selamat. Ia bernama Robert Golding.
Berbeda dari deja vu. Kebetulan yang terjadi dirasakan berasal dari ”mimpi”, deja vu lebih dekat dengan alam bawah sadar kita, berkaitan dengan psikologis. Kita pun tak bisa menebak, peristiwa sebelumnya terjadi kapan atau di mana. Mengalami kesusahan dalam mengidentifikasi suatu perisitiwa atau kejadiannya.
Makna Angka
Definisi angka sama halnya bilangan. Suatu hal yang menunjukan banyaknya jumlah. Misalnya ada seseorang dilahirkan menjadi anak ke-5, konon menurut orangtuanya ia lahir pada pukul 5 lebih 5 menit pagi. Dan saat itu hari menunjukkan tanggal 5 bulan 5 tahun 1995.
Angka lima tersebut pastilah bukan suatu kesengajaan. Tapi peristiwa itu sangat memungkinkan. Walaupun terjadi secara acak, dan peristiwa itu hanya terjadi sekali. Bagaimana menanggapi angka lima dari kisah di atas. Terserah mau menafsirkan seperti apa, tergantung orang yang menginterpretasikannya.
Buku ini menceritakan kisah-kisah kebetulan yang menakjubkan. Peristiwa dan kejadian-kejadian yang dialami orang dalam buku tersebut dikemas Vikas Khatri dengan cukup menarik. Sebab ekspresi pembaca muncul dalam berbagai mimik dan respons. Ada yang manggut-manggut, senyum, aneh bahkan mengernyitkan dahi. Siapa pun pembacanya tergugah dan bertanya-tanya, apakah benar-benar kebetulan ini terjadi? Kenapa bisa terjadi kebetulan seperti ini? Loh apa iya? Bukankah tidak mungkin? Dan respons-respons lain.
Vikas Khatri terbiasa mengasah kepekaannya. Sebagai juru foto margasatwa profesional, ia pembela gigih keberadaan perlindungan alam dari polusi. Begitu juga kepekaannya pada manusia yang mungkin hal lumrah, yaitu kebetulan-kebetulan. Buku ini merupakan catatan-catatan kecil yang berisi sejarah menarik dari manusia di pelbagai belahan dunia. Dari Stalin, Adolf Hitler, Pele, Kennedy hingga Charlie Chaplin.
Selain berisi kebetulan-kebetulan yang menakjubkan, buku ini berisi gambar-gambar sebagai bukti. Dengan apik buku dikemas pula dengan bahasa yang menghibur. Melalui buku ini saya bisa lebih memperhatikan hadirnya fakta, tempat, dan waktu.
Penulis: Vikas Khatri
Penerjemah: Helen Ishwara
Penerbit: PT Intisari Mediatama, Jakarta
Cetakan: Agustus 2007
Tebal: 144 halaman
Peresensi: Teguh Pamungkas
http://suaramerdeka.com/
JAMES Dean hidup antara 1931-1955, menjadi simbol kawula muda dalam keresahan mencari identitas diri. Hal ini terkait salah satu filmnya, yaitu Rebel Without a Cause (Pemberontak Tanpa Alasan). Ia meninggal dunia dalam usia relatif muda, akibat kecelakaan saat mengendarai mobil. Dan dari kecelakaan tersebut, menjadikan ia tokoh penuh legenda.
Bagaimana tidak? Mobil yang membuat James celaka, ternyata menularkan celaka pula kepada orang lain. Kecelakaan menimpa siapa saja yang ”bercengkerama” dengan mobil James. Seorang montir yang membetulkan mobilnya yang ringsek patah kedua kakinya karena tertimpa mobil yang merosot. Karena kakinya patah, sang montir tidak hadir saat bengkelnya kebakaran.
Tak hanya itu. Seorang dokter kemudian membeli mesin mobil millik James itu untuk dipasang pada mobil balapnya. Dan ia tewas dalam balap mobil tidak lama kemudian. Seorang pengemudi lain memasang batang kemudi mobil James di mobilnya, ia pun tewas pula saat dalam balapan. Lain waktu, mobilnya dipamerkan. Mobil tersebut jatuh dari panggung dan mematahkan pinggul seorang remaja penggemar James.
Pernah pula, saat sebuah truk mengangkut mobilnya untuk dikirim, menabrak bagian depan toko. Dan terakhir, pada 1959, mobil itu jatuh dari tiang baja penyangga menjadi 11 bagian. Entah mengapa, mobil James menelurkan kecelakaan-kecelakaan lain. Itulah kebetulan.
Menerobos Kebetulan
Kebetulan adalah suatu peristiwa atau momen yang terjadi secara tak terduga. Tanpa kita sadari, peristiwa itu kita alami dan mungkin kita rasakan. Bagi segelintir menganggap kebetulan merupakan suatu kejadian yang biasa. Namun bagi sebagian orang lainnya kebetulan-kebetulan menjadi guru untuk pengayaan warna diri dalam melakukan hidup.
Memang tak bisa dimungkiri, terkadang kebetulan yang terjadi pada seseorang mampu mewarnai khasanah hidupnya. Jika orang menganggap peristiwa ekstrem yang pernah dialami terjadi kembali, maka memungkinkan munculnya syndrome traumatic. Tetapi yang jelas kebetulan memberikan pelajaran tentang suatu hal melalui dua peristiwa atau bahkan lebih.
Pepatah mengatakan dunia tak selebar daun kelor. Misalnya di suatu tempat yang jauh, ternyata kita berjumpa dengan orang lain yang kita kenal (entah tetangga, teman atau siapa pun), padahal tak pernah terbayangkan sebelumnya di benak kita. Begitu pula dengan peristiwa yang terjadi. Tetapi terkadang pepatah itu ada benarnya, sebab di bagian kehidupan kita merasakan kejadian dan suatu saat kejadian itu terulang kembali.
Yang jelas, dari berbagai kebetulan mampu menyibak tabir tak terduga menjadi suatu warna-warni hidup. Seperti ramalan Arthur Law pada 1880-an tentang naskah sandiwaranya (halaman 21). Dalam naskah diceritakan, ada satu-satunya orang yang selamat dari sebuah kecelakaan kapal karam, adalah Robert Golding. Kapal tersebut bernama Caroline.
Setelah cerita itu dipentaskan kali pertama, ia membaca di sebuah surat kabar kisah kapal karam sungguhan. Kapal naas tersebut bernama Caroline dan ada seorang korban yang selamat. Ia bernama Robert Golding.
Berbeda dari deja vu. Kebetulan yang terjadi dirasakan berasal dari ”mimpi”, deja vu lebih dekat dengan alam bawah sadar kita, berkaitan dengan psikologis. Kita pun tak bisa menebak, peristiwa sebelumnya terjadi kapan atau di mana. Mengalami kesusahan dalam mengidentifikasi suatu perisitiwa atau kejadiannya.
Makna Angka
Definisi angka sama halnya bilangan. Suatu hal yang menunjukan banyaknya jumlah. Misalnya ada seseorang dilahirkan menjadi anak ke-5, konon menurut orangtuanya ia lahir pada pukul 5 lebih 5 menit pagi. Dan saat itu hari menunjukkan tanggal 5 bulan 5 tahun 1995.
Angka lima tersebut pastilah bukan suatu kesengajaan. Tapi peristiwa itu sangat memungkinkan. Walaupun terjadi secara acak, dan peristiwa itu hanya terjadi sekali. Bagaimana menanggapi angka lima dari kisah di atas. Terserah mau menafsirkan seperti apa, tergantung orang yang menginterpretasikannya.
Buku ini menceritakan kisah-kisah kebetulan yang menakjubkan. Peristiwa dan kejadian-kejadian yang dialami orang dalam buku tersebut dikemas Vikas Khatri dengan cukup menarik. Sebab ekspresi pembaca muncul dalam berbagai mimik dan respons. Ada yang manggut-manggut, senyum, aneh bahkan mengernyitkan dahi. Siapa pun pembacanya tergugah dan bertanya-tanya, apakah benar-benar kebetulan ini terjadi? Kenapa bisa terjadi kebetulan seperti ini? Loh apa iya? Bukankah tidak mungkin? Dan respons-respons lain.
Vikas Khatri terbiasa mengasah kepekaannya. Sebagai juru foto margasatwa profesional, ia pembela gigih keberadaan perlindungan alam dari polusi. Begitu juga kepekaannya pada manusia yang mungkin hal lumrah, yaitu kebetulan-kebetulan. Buku ini merupakan catatan-catatan kecil yang berisi sejarah menarik dari manusia di pelbagai belahan dunia. Dari Stalin, Adolf Hitler, Pele, Kennedy hingga Charlie Chaplin.
Selain berisi kebetulan-kebetulan yang menakjubkan, buku ini berisi gambar-gambar sebagai bukti. Dengan apik buku dikemas pula dengan bahasa yang menghibur. Melalui buku ini saya bisa lebih memperhatikan hadirnya fakta, tempat, dan waktu.
Menggugat Mediasi Kekerasan pada Perempuan
Judul: Gender dan Inferioritas Perempuan
Penulis: Sugihastuti
Penerbit: Pustaka Pelajar
Cetakan: Pertama, September 2007
Tebal: 351 halaman
Peresensi: Muhibin AM
http://suaramerdeka.com/
Oposisi jenis kelamin yang melahirkan prasangka gender, berdampak pada pola hubungan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki menjadi superoerdinat dalam berbagai aspek kehidupan. Hubungan dengan perempuan, dengan demikian dijalankan berdasarkan pemahaman mengenai superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan. Sebagai jenis kelamin yang memosisikan diri lebih unggul, laki-laki menciptakan legitimasi yang terbentuk melalui lembaga-lembaga patriakat guna melanggengkan hegemoninya terhadap kedudukan perempuan baik di lingkungan domestik maupun publik sehingga posisi perempuan pada akhirnya tetap berada dalam ranah yang harus menerima atas superioritas laki-laki melalui media-media yang telembaga ini.
Dengan adanya lembaga-lembaga patriakat seperti itu, maka kemudian memberikan legitimasi kepada laki-laki untuk bertindak menurut kehendak sediri. Bahkan agama sebagai ajaran moral yang sedikit memberikan keleluasaan kepada laki-laki dan memiliki nuansa yang menyudutkan perempuan banyak dimanfaatkan oleh golongan maskulin ini, yang tentunya dengan mengatasnamakan agama itu sendiri. Padahal, dengan ada media berupa lembaga-lembaga patriakat dan ajaran-ajaran agama yang terus menyudutkan perempuan, tanpa disadari telah menciptakan kekerasan terhadap perempuan. Akhir dari kekerasan ini (terutama kekerasan terhadap rumah tangga) menciptakan kekerasan baru, yakni kekerasan terhadap anak secara (psikologis).
Dekonstruksi
Buku ini dengan demikian mencoba mendekontruksi berbagai mediasi yang mendukung superordinasi laki-laki terhadap perempuan. Setidaknya ia dapat menyadarkan kita terutama kaum perempuan yang selama ini hanya bersikap nrima atas tidak superioritas laki-laki, agar bangkit dari ketidakadilan yang telah diciptakan oleh laki-laki itu sendiri. Padahal, sebagai makhluk tuhan manusia diberi kebebasan (terlepas itu laki-laki atau perempaun) untuk mangatur bumi ini dengan menggunakan potensi-potensi yang dimilikinya.
Berbicara mengenai hubungan yang terjalin antara dua pihak atau lebih, hal yang patut dibahas adalah sesuatu yang menjadi perantara (media) terjalinnya hubungan tersebut. Konsep yang menjelaskan mengenai proses perantara adalah konsep mediasi. Mediasi membahas sebagai perantaraan yang dilakukan dalam berbagia bidang kehidupan teutama politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Menurut Consice Oxford Dictionary Of Curren English (Bemmelen dkk. 1992: 1-2) kata Mediasi memiliki dua pengertian. Pertama, mediasi diartikan sebagai upaya membentuk jalinan yang berfungsi memperantai, atau menjadi media yang ditujukan untuk menghasilkan sesuatu atau menyampaikan atau membawa (hadiah). Kedua, mediasi merupakan sebuah upaya untuk mengintervensi dua pihak guna mencpai rekonsiliasi (halaman 125).
Dalam proses mediasi, sebagia alat yang melegitimasi kekerasan terhadap perempuan adalah intervensi pihak-pihak ketiga dari hubungan yang sah antara suami dan istri. Kehadiran orang ketiga ini (mediasi) biasanya menciptakan suasana kehidupan rumah tangga pasangan suami dan istri dalam sebuah rumah tangga yang terganggu. Dan melalui media dalam artian kehadiran orang ketiga menciptakan kekerasan baik fisik maupun spikis terhadap istri melalui superordinasi laki-laki.
Tidak hanya sebatas sampai disitu saja, agama dan departemen agama yang selama ini dianggap sebagai media pendukung untuk malakukan poligami juga sebagai mediasi superordinasi laki-laki untuk menghadirkan keluarga tambahan (istri muda) dalam sebuah rumah tangga sehingga kekerasan terhadap perempuan akan terus tewujud di sepanjang zaman baik secara fisik dengan melakukan kekerasan dengan benda-benda yang ada disekitar, maupun secara psikologis melalui ancaman-ancaman yang memaksa pihak perempuan untuk menerima kedatangan pihak ketiga dalam sebuah rumah tangganya.
Menghambat Pertumbuhan
Selain itu ini akan melahirkan kekerasan baru yakni kekerasan terhadap anak. Seorang anak secara psikologis belum siap menghadapi tindak kekerasan yang diperlihatkan oleh orangtua sehingga dengan demikian, al ini akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak.
Kehadiran buku ini ditengah-tengan fenomena negara yang dipertontonkan oleh kekerasan terhadap perempuan ini bisa menjadi bacaan wajib bagi perempuan-perempuan maupun laki laki yang telah menjalin hubungan kekeluargaan. Bahkan buku ini diharapkan mampu menengahi persoalan-persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terus berlanjut.
Buku ini diharapkan mampu membantu perempuan dan anak menghadapi kekerasan rumah tangga yang terus berlanjut. Tak luput pula bagi para agamawan yang menjustifikasi inferioritas perempuan melalui ajaran agaman atau melalui lembaga-lembaga patriakat keagamaan, menjadikan buku ini sebagai masukan dan kritik yang pedas atas mereka. Karena bagaimanapun juga media-media yang tercipta sebagai lembaga patriakat telah merugikan perempuan yang menjadi korban pertama dan anak sebagai golongan yang tidak memiliki dosa sebagai korban kedua atas kekerasan rumah tangga.
Penulis: Sugihastuti
Penerbit: Pustaka Pelajar
Cetakan: Pertama, September 2007
Tebal: 351 halaman
Peresensi: Muhibin AM
http://suaramerdeka.com/
Oposisi jenis kelamin yang melahirkan prasangka gender, berdampak pada pola hubungan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki menjadi superoerdinat dalam berbagai aspek kehidupan. Hubungan dengan perempuan, dengan demikian dijalankan berdasarkan pemahaman mengenai superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan. Sebagai jenis kelamin yang memosisikan diri lebih unggul, laki-laki menciptakan legitimasi yang terbentuk melalui lembaga-lembaga patriakat guna melanggengkan hegemoninya terhadap kedudukan perempuan baik di lingkungan domestik maupun publik sehingga posisi perempuan pada akhirnya tetap berada dalam ranah yang harus menerima atas superioritas laki-laki melalui media-media yang telembaga ini.
Dengan adanya lembaga-lembaga patriakat seperti itu, maka kemudian memberikan legitimasi kepada laki-laki untuk bertindak menurut kehendak sediri. Bahkan agama sebagai ajaran moral yang sedikit memberikan keleluasaan kepada laki-laki dan memiliki nuansa yang menyudutkan perempuan banyak dimanfaatkan oleh golongan maskulin ini, yang tentunya dengan mengatasnamakan agama itu sendiri. Padahal, dengan ada media berupa lembaga-lembaga patriakat dan ajaran-ajaran agama yang terus menyudutkan perempuan, tanpa disadari telah menciptakan kekerasan terhadap perempuan. Akhir dari kekerasan ini (terutama kekerasan terhadap rumah tangga) menciptakan kekerasan baru, yakni kekerasan terhadap anak secara (psikologis).
Dekonstruksi
Buku ini dengan demikian mencoba mendekontruksi berbagai mediasi yang mendukung superordinasi laki-laki terhadap perempuan. Setidaknya ia dapat menyadarkan kita terutama kaum perempuan yang selama ini hanya bersikap nrima atas tidak superioritas laki-laki, agar bangkit dari ketidakadilan yang telah diciptakan oleh laki-laki itu sendiri. Padahal, sebagai makhluk tuhan manusia diberi kebebasan (terlepas itu laki-laki atau perempaun) untuk mangatur bumi ini dengan menggunakan potensi-potensi yang dimilikinya.
Berbicara mengenai hubungan yang terjalin antara dua pihak atau lebih, hal yang patut dibahas adalah sesuatu yang menjadi perantara (media) terjalinnya hubungan tersebut. Konsep yang menjelaskan mengenai proses perantara adalah konsep mediasi. Mediasi membahas sebagai perantaraan yang dilakukan dalam berbagia bidang kehidupan teutama politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Menurut Consice Oxford Dictionary Of Curren English (Bemmelen dkk. 1992: 1-2) kata Mediasi memiliki dua pengertian. Pertama, mediasi diartikan sebagai upaya membentuk jalinan yang berfungsi memperantai, atau menjadi media yang ditujukan untuk menghasilkan sesuatu atau menyampaikan atau membawa (hadiah). Kedua, mediasi merupakan sebuah upaya untuk mengintervensi dua pihak guna mencpai rekonsiliasi (halaman 125).
Dalam proses mediasi, sebagia alat yang melegitimasi kekerasan terhadap perempuan adalah intervensi pihak-pihak ketiga dari hubungan yang sah antara suami dan istri. Kehadiran orang ketiga ini (mediasi) biasanya menciptakan suasana kehidupan rumah tangga pasangan suami dan istri dalam sebuah rumah tangga yang terganggu. Dan melalui media dalam artian kehadiran orang ketiga menciptakan kekerasan baik fisik maupun spikis terhadap istri melalui superordinasi laki-laki.
Tidak hanya sebatas sampai disitu saja, agama dan departemen agama yang selama ini dianggap sebagai media pendukung untuk malakukan poligami juga sebagai mediasi superordinasi laki-laki untuk menghadirkan keluarga tambahan (istri muda) dalam sebuah rumah tangga sehingga kekerasan terhadap perempuan akan terus tewujud di sepanjang zaman baik secara fisik dengan melakukan kekerasan dengan benda-benda yang ada disekitar, maupun secara psikologis melalui ancaman-ancaman yang memaksa pihak perempuan untuk menerima kedatangan pihak ketiga dalam sebuah rumah tangganya.
Menghambat Pertumbuhan
Selain itu ini akan melahirkan kekerasan baru yakni kekerasan terhadap anak. Seorang anak secara psikologis belum siap menghadapi tindak kekerasan yang diperlihatkan oleh orangtua sehingga dengan demikian, al ini akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak.
Kehadiran buku ini ditengah-tengan fenomena negara yang dipertontonkan oleh kekerasan terhadap perempuan ini bisa menjadi bacaan wajib bagi perempuan-perempuan maupun laki laki yang telah menjalin hubungan kekeluargaan. Bahkan buku ini diharapkan mampu menengahi persoalan-persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terus berlanjut.
Buku ini diharapkan mampu membantu perempuan dan anak menghadapi kekerasan rumah tangga yang terus berlanjut. Tak luput pula bagi para agamawan yang menjustifikasi inferioritas perempuan melalui ajaran agaman atau melalui lembaga-lembaga patriakat keagamaan, menjadikan buku ini sebagai masukan dan kritik yang pedas atas mereka. Karena bagaimanapun juga media-media yang tercipta sebagai lembaga patriakat telah merugikan perempuan yang menjadi korban pertama dan anak sebagai golongan yang tidak memiliki dosa sebagai korban kedua atas kekerasan rumah tangga.
Membongkar Injil-injil Rahasia
Peresensi: Ahmad Musthofa Haroen
Judul: Menguak Injil-injil Rahasia
Penulis: Deshi Ramadhani, SJ
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: xvi+208 halaman
http://suaramerdeka.com/
AGAMA sering dipahami sebagai sesuatu yang terberi (given). Ada asumsi sederhana yang berkembang dan kemudian diyakini bahwa agama adalah sebuah paket keimanan praktis yang taken for granted alias siap saji. Akibatnya, kitab suci sebagai sumber juga disakralkan melalui pola yang kurang lebih sama. Tak semua orang punya cukup waktu, minat dan kemampuan untuk menelisik lebih dalam asal-usul kitab suci mereka.
Tak ada yang salah dengan pemahaman demikian. Hanya saja, sebagaimana kontroversi novel The Da Vinci Code tempo hari, kegemparan akan segera terjadi begitu khalayak dikejutkan dengan versi-versi lain yang tak lazim dari arus utama aliran keagamaan mereka. Orang begitu mudah terbakar jenggotnya ketika mainstream yang mereka anut coba digoyang oleh aksi-aksi yang menentang kemapanan.
Ini adalah soal pelik yang menimpa hampir seluruh agama-agama besar. Alquran dalam bentuk kitab yang dijilid dengan dua sampul (ma bayna daftayn) dan kodifikasi yang rapi sebenarnya belum terbayangkan pada zaman ketika Nabi Muhammad masih hidup. Saat itu, Alquran lebih banyak dihapalkan atau ditulis secara berserakan di kulit unta atau pelepah kurma. Baru pada masa khalifah Usman Bin Affan, para penghapal utama berkumpul dalam sebuah tim untuk membuat sebuah mushaf Alquran yang tertata rapi dan terstruktur.
Kanon kitab suci orang Yahudi (juga disebut Kitab Suci Ibrani) bahkan baru final pada penghujung abad I Masehi. Waktu itu, beberapa saat setelah Yerusalem jatuh pada 70 M, didirikan sekolah rabinik Beth ha-midrash dan rumah pengadilan Beth-Din di Jamnia (selatan Joppa). Di dua tempat itulah para pemimpin Yahudi menyelesaikan kanon kitab suci mereka. Makan waktu yang lama untuk memperdebatkan wibawa kitab-kitab Pengkhotbah, Ester, hingga Kidung Agung untuk kemudian bersepakat menyatukan pemahaman demi melahirkan kitab suci yang terkenal dengan nama Kanon Palestina itu
Tersembunyi
Dalam Kristen, teks-teks yang termaktub dalam Perjanjian Baru juga harus melewati serangkaian proses seleksi yang ketat dan panjang. Butuh waktu kira-kira empat hingga lima abad untuk mencapai pemahaman yang bisa disepakati bersama oleh otoritas-otoritas gereja. Proses seleksi yang sangat ketat ini begitu menarik untuk dikaji. Memang, sebagian orang bisa terkejut untuk menghadapi kenyataan ada keterlibatan manusia dalam penyusunan sabda Tuhan ini. Namun, dengan perspektif yang arif, kedangkalan beragama bisa dihindari dan, ujung-ujungnya, tiap kegemparan seperti kontroversi Da Vinci Code bisa ditangkal.
Pada tahun 1945, secara tidak sengaja, seorang Mesir bernama Muhammad Ali Al-Samman bersama saudara-saudaranya pergi ke Jabal Tarif. Ketika sedang menggali di daerah bernama Nag Hammadi, mereka menemukan sebuah guci tua sepanjang satu meter yang berisi tiga belas jilid dan buku dari papirus yang berbungkus kulit. Ringkas cerita, manuskrip-manuskrip kuno itu kemudian sampai ke pasar gelap Kairo. Pemerintah setempat kemudian menyita sebagaian besar manuskrip dan menyimpannya di Museum Kopt. Sebagian lagi diselundupkan ke luar negeri hingga sampai ke tangan Prof Gilles Quispel, seorang ahli dari Belanda. Sang profesor terhenyak dan segera menyadari bahwa yang ia baca adalah Injil Thomas dalam bahasa Kopt. Ia juga mendapati sebuah teks yang disebut sebagai Injil Filipus.
Kisah tersebut mewakili kisah-kisah lain yang serupa. Lantas, terbit pertanyaan di benak kita, mengapa teks-teks itu begitu penting untuk disembunyikan sedemikian rupa? Agaknya penting diingat kembali bahwa sejak pertengahan abad kedua, berbagai ajaran tandingan muncul melawan ortodoksi atau ajaran resmi yang sudah disepakati bersama di wilayah kristianitas saat itu (Philip Jenkins, 2001). Dalam konteks seperti inilah, gereja kemudian merasa perlu menyita banyak tulisan yang dinilai sesat. Banyak manuskrip yang dirampas untuk dilenyapkan. Hal ini tentu saja mendorong disembunyikannya manuskrip-manuskrip yang tidak termasuk daftar atau kanon.
Ya, persoalan utama sesungguhnya bertumpu pada logika penyusunan kanon itu sendiri. Istilah kanon yang juga bermakna daftar membagi secara bikameral dua jenis teks: kanonik dan non-kanonik. Gereja menyusun daftar teks-teks resmi dan itulah yang disebut kanonik. Maka, semua teks lain yang tersortir dari dalam daftar menjadi non-kanonik. Jadi secara fenomenologis, yang disebut kitab suci sesungguhnya adalah nama lain dari daftar teks yang disusun oleh otoritas gereja resmi.
Buku ini berusaha menyoroti jenis teks kedua: non-kanonik. Pada dasarnya, teks-teks non-kanonik bersinonim dengan terma apokrif yakni tersembunyi, disembunyikan atau rahasia. Sejumlah teks tertentu memperlihatkan kecenderungan rahasia (confidential) sebab tak dimaksudkan untuk dibaca kalangan luas.
Sebagaimana diketahui, empat injil kanonik tidak banyak memberi informasi tentang masa kecil Yesus. Informasi tersebut justru lebih banyak diinformasikan oleh teks-teks apokrif semisal Proto-Injil Yakobus, Injil Tomas, Injil Pesudo-Matius dan beberapa manuskrip terpisah dalam bahasa Latin dan Armenia. Bahkan, pada masa berkarya, tidak semua ucapan dan tindakan Yesus direkam seluruhnya dalam empat injil Kanonik. Teks teks semacam Injil Filipus, Injil Maria (Magdalena), Injil Rahasia Markus, Injil Yudas, dan manuskrip-manuskrip terpisah lain melengkapi kisah-kisah dalam periode itu. Sebagian bahan dari teks-teks apokrif tersebut sejalan dengan empat injil Kanonik. Namun, beberapa bagian memperlihatkan perbedaan yang mencolok. Selain itu, ada pula manuskrip-manuskrip lain yang membicarakan soal kematian dan kebangkitan yang tidak selalu seirama dengan empat injil kanonik seperti teks Pertanyaan-pertanyaan Bartolomeus, Injil Nikodemus, Injil Petrus, Injil Orang Ibrani, Tulisan Rahasia Yakobus, dan lain-lain.
Jika dihitung secara kasar, jumlah teks-teks apokrif jauh lebih banyak daripada yang kanonik. Tentu soal jumlah tidak menjadi ukuran legitimasi. Jantung permasalahan kanonik dan non-kanonik terletak pada perbadaan pendapat mengenai diterima atau tidaknya Gnostisisme dalam pewahyuan. Gnostisisme merupakan keyakinan bahwa ada beberapa orang terpilih yang khusus dianugerahi kemampuan tertentu untuk menerima wahyu secara pribadi.
Judul: Menguak Injil-injil Rahasia
Penulis: Deshi Ramadhani, SJ
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: xvi+208 halaman
http://suaramerdeka.com/
AGAMA sering dipahami sebagai sesuatu yang terberi (given). Ada asumsi sederhana yang berkembang dan kemudian diyakini bahwa agama adalah sebuah paket keimanan praktis yang taken for granted alias siap saji. Akibatnya, kitab suci sebagai sumber juga disakralkan melalui pola yang kurang lebih sama. Tak semua orang punya cukup waktu, minat dan kemampuan untuk menelisik lebih dalam asal-usul kitab suci mereka.
Tak ada yang salah dengan pemahaman demikian. Hanya saja, sebagaimana kontroversi novel The Da Vinci Code tempo hari, kegemparan akan segera terjadi begitu khalayak dikejutkan dengan versi-versi lain yang tak lazim dari arus utama aliran keagamaan mereka. Orang begitu mudah terbakar jenggotnya ketika mainstream yang mereka anut coba digoyang oleh aksi-aksi yang menentang kemapanan.
Ini adalah soal pelik yang menimpa hampir seluruh agama-agama besar. Alquran dalam bentuk kitab yang dijilid dengan dua sampul (ma bayna daftayn) dan kodifikasi yang rapi sebenarnya belum terbayangkan pada zaman ketika Nabi Muhammad masih hidup. Saat itu, Alquran lebih banyak dihapalkan atau ditulis secara berserakan di kulit unta atau pelepah kurma. Baru pada masa khalifah Usman Bin Affan, para penghapal utama berkumpul dalam sebuah tim untuk membuat sebuah mushaf Alquran yang tertata rapi dan terstruktur.
Kanon kitab suci orang Yahudi (juga disebut Kitab Suci Ibrani) bahkan baru final pada penghujung abad I Masehi. Waktu itu, beberapa saat setelah Yerusalem jatuh pada 70 M, didirikan sekolah rabinik Beth ha-midrash dan rumah pengadilan Beth-Din di Jamnia (selatan Joppa). Di dua tempat itulah para pemimpin Yahudi menyelesaikan kanon kitab suci mereka. Makan waktu yang lama untuk memperdebatkan wibawa kitab-kitab Pengkhotbah, Ester, hingga Kidung Agung untuk kemudian bersepakat menyatukan pemahaman demi melahirkan kitab suci yang terkenal dengan nama Kanon Palestina itu
Tersembunyi
Dalam Kristen, teks-teks yang termaktub dalam Perjanjian Baru juga harus melewati serangkaian proses seleksi yang ketat dan panjang. Butuh waktu kira-kira empat hingga lima abad untuk mencapai pemahaman yang bisa disepakati bersama oleh otoritas-otoritas gereja. Proses seleksi yang sangat ketat ini begitu menarik untuk dikaji. Memang, sebagian orang bisa terkejut untuk menghadapi kenyataan ada keterlibatan manusia dalam penyusunan sabda Tuhan ini. Namun, dengan perspektif yang arif, kedangkalan beragama bisa dihindari dan, ujung-ujungnya, tiap kegemparan seperti kontroversi Da Vinci Code bisa ditangkal.
Pada tahun 1945, secara tidak sengaja, seorang Mesir bernama Muhammad Ali Al-Samman bersama saudara-saudaranya pergi ke Jabal Tarif. Ketika sedang menggali di daerah bernama Nag Hammadi, mereka menemukan sebuah guci tua sepanjang satu meter yang berisi tiga belas jilid dan buku dari papirus yang berbungkus kulit. Ringkas cerita, manuskrip-manuskrip kuno itu kemudian sampai ke pasar gelap Kairo. Pemerintah setempat kemudian menyita sebagaian besar manuskrip dan menyimpannya di Museum Kopt. Sebagian lagi diselundupkan ke luar negeri hingga sampai ke tangan Prof Gilles Quispel, seorang ahli dari Belanda. Sang profesor terhenyak dan segera menyadari bahwa yang ia baca adalah Injil Thomas dalam bahasa Kopt. Ia juga mendapati sebuah teks yang disebut sebagai Injil Filipus.
Kisah tersebut mewakili kisah-kisah lain yang serupa. Lantas, terbit pertanyaan di benak kita, mengapa teks-teks itu begitu penting untuk disembunyikan sedemikian rupa? Agaknya penting diingat kembali bahwa sejak pertengahan abad kedua, berbagai ajaran tandingan muncul melawan ortodoksi atau ajaran resmi yang sudah disepakati bersama di wilayah kristianitas saat itu (Philip Jenkins, 2001). Dalam konteks seperti inilah, gereja kemudian merasa perlu menyita banyak tulisan yang dinilai sesat. Banyak manuskrip yang dirampas untuk dilenyapkan. Hal ini tentu saja mendorong disembunyikannya manuskrip-manuskrip yang tidak termasuk daftar atau kanon.
Ya, persoalan utama sesungguhnya bertumpu pada logika penyusunan kanon itu sendiri. Istilah kanon yang juga bermakna daftar membagi secara bikameral dua jenis teks: kanonik dan non-kanonik. Gereja menyusun daftar teks-teks resmi dan itulah yang disebut kanonik. Maka, semua teks lain yang tersortir dari dalam daftar menjadi non-kanonik. Jadi secara fenomenologis, yang disebut kitab suci sesungguhnya adalah nama lain dari daftar teks yang disusun oleh otoritas gereja resmi.
Buku ini berusaha menyoroti jenis teks kedua: non-kanonik. Pada dasarnya, teks-teks non-kanonik bersinonim dengan terma apokrif yakni tersembunyi, disembunyikan atau rahasia. Sejumlah teks tertentu memperlihatkan kecenderungan rahasia (confidential) sebab tak dimaksudkan untuk dibaca kalangan luas.
Sebagaimana diketahui, empat injil kanonik tidak banyak memberi informasi tentang masa kecil Yesus. Informasi tersebut justru lebih banyak diinformasikan oleh teks-teks apokrif semisal Proto-Injil Yakobus, Injil Tomas, Injil Pesudo-Matius dan beberapa manuskrip terpisah dalam bahasa Latin dan Armenia. Bahkan, pada masa berkarya, tidak semua ucapan dan tindakan Yesus direkam seluruhnya dalam empat injil Kanonik. Teks teks semacam Injil Filipus, Injil Maria (Magdalena), Injil Rahasia Markus, Injil Yudas, dan manuskrip-manuskrip terpisah lain melengkapi kisah-kisah dalam periode itu. Sebagian bahan dari teks-teks apokrif tersebut sejalan dengan empat injil Kanonik. Namun, beberapa bagian memperlihatkan perbedaan yang mencolok. Selain itu, ada pula manuskrip-manuskrip lain yang membicarakan soal kematian dan kebangkitan yang tidak selalu seirama dengan empat injil kanonik seperti teks Pertanyaan-pertanyaan Bartolomeus, Injil Nikodemus, Injil Petrus, Injil Orang Ibrani, Tulisan Rahasia Yakobus, dan lain-lain.
Jika dihitung secara kasar, jumlah teks-teks apokrif jauh lebih banyak daripada yang kanonik. Tentu soal jumlah tidak menjadi ukuran legitimasi. Jantung permasalahan kanonik dan non-kanonik terletak pada perbadaan pendapat mengenai diterima atau tidaknya Gnostisisme dalam pewahyuan. Gnostisisme merupakan keyakinan bahwa ada beberapa orang terpilih yang khusus dianugerahi kemampuan tertentu untuk menerima wahyu secara pribadi.
Malam Penuh Kecoa
Berto Tukan
http://www.sinarharapan.co.id/
Malam gelap; bulan dan bintang pun tak ada. Alam tak berwarna, hanya gelap. Terlebih di kandang berukuran 3×4 meter yang tak berpenerangan secuil pun itu. Satir dan Tarjo berada di sana, entah karena apa.
Tarikan-tarikan napas pendek, tersengal-sengal, merambah genderang telinga keduanya. Bebunyi napas semakin mendekat! Satir terpaku! Perlahan ia keluarkan pemantik api dari saku celananya. Pemantik dinyalakannya; beribu-ribu kecoa beringsut mendekati mereka. Perlahan-lahan, binatang-binatang kecil menjijikkan mulai mencium-cium sepatu Tarjo, lalu melata naik memenuhi celana. Penghuni tetap tempat sampah menggigit sepatu Tarjo, memamah celana. Tarjo panik!
Satir menyambar jeriken minyak tanah yang terletak tidak jauh dari kandang. Disiramnya, lalu dibakarnya! Dalam hitungan sepersekian detik, kandang jadi bara panas, kecoa-kecoa menggeliat kepayahan tergoreng bara kandang. Bau serangga terpanggang mengepung udara. Sambil mencampakkan kecoa-kecoa yang melekat di pakaian mereka ke dalam api, Satir menggandeng Tarjo menjauh.
Kecoa-kecoa dengan tubuh penuh api muncul di hadapan mereka; siap menghadang langkah mereka. Api memercik-mercik dari tubuh kecoa dan panasnya meluluhkan pandangan Satir. Tarjo melepas genggaman tangan Satir, lalu berlari ke pekat malam. Kecoa dengan api menyala di tubuhnya, mendekati Satir….
06.00 am sampai…
Seorang aktor panggung tenar ibu kota, tiba-tiba berubah menjadi anjing siang kemarin. Menurut pengakuan para tetangganya, sang aktor telah menampakkan perilaku aneh beberapa hari terakhir ini. ”Dia pernah tertangkap basah sedang menyiksa anjingku,” lapor seorang ibu muda. Banyak pula yang bersaksi sering mendengar lolongan, erangan, kaingan anjing dari rumah aktor itu. Ibu kota geger, masyarakat cemas, penguasa kota kalang kabut. Ada dugaan bahwa, kejadian itu disebabkan terlalu banyaknya populitas anjing di ibu kota.1
”Gila! Dunia semakin aneh!” batin Satir seusai membaca koran pagi. Lelaki paruh baya yang sadar akan kedudukan tingginya tersebut, meletakkan koran di meja, di samping cangkir kopi dan asbak rokok. Tarikan napasnya letih; terhimpit berita tadi.
”Petanda apakah ini? Mungkinkah kiamat sudah dekat? Ataukah ini adalah konsekuensi dari sepak-terjang manusia yang tak lagi dikendalikan kitab-kitab tua?” Teringatlah Satir akan ajaran Guru Agamanya di kampung dahulu. ”Ah, betapa indahnya. Belajar membaca Kitab, dengan intonasi mendayu-dayu, bahasa laksana mantra, lalu mendapat pujian, kadang hadiah bila bacaannya sempurna.” Permenungannya terus menampakkan jalan hidupnya dari masa itu hingga saat ini.
Yah, mau bagaimana lagi? Kalau cuma mengharapkan gaji saja walau gaji buta, tentu kelima anaknya tidak bisa bersekolah di luar negeri? Hidupnya pasti serba kekurangan. Mobilnya pun, mungkin hanya yang berpelat merah dari kantor itu. Dan istrinya, anak mantan seorang pejabat tinggi itu, pasti akan mengomel setiap hari. Sedangkan dia tentu tidak akan mengecapi gaya hidup enaknya sekarang ini.
”Tilililit, tililililit, tililit!” telepon genggam Satir berdering.
”Pagi, Pak Tarjo!…. Bisa, Pak…. Sudah pasti itu…. Jam berapa?…. Oke!! Kita bertemu di sana, sore ini…. Yang lain juga datang?…. Oke, Pak!…. Sampai jumpa.” Ada tugas, ada duit. Ada keuntungan menunggunya.
Setelah berpamitan pada istri, sebuah ritual pagi yang cukup menyiksa, Satir melangkah ke BMW dan Pak Sopir yang telah menanti. Memandang sopir setia dan terpercayanya, Satir teringat mimpi semalam. ”Aneh!? Aku dan Pak Tarjo diserang kecoa!?”
Satir ceritakan mimpinya pada si sopir. Sambil memuji sebagai petanda baik, si sopir pun mulai mengutak-atik angka untuk togel dan tokam. ”Pada jam-jam seperti itu, bosku pasti menyetir sendiri. Aku cukup bersiap-siap di rumah, menunggu kedatangan bos, lalu mengantar BMW kembali ke garasi” batin si sopir.
Dan seperempat hari itu pun berjalan seperti kemarin kembali, dengan berita aneh yang hilang dari ingatan.
12.00 am sampai…
Satir kembali duduk di dalam BMW. Pak Sopir sudah tahu, ke mana mereka harus pergi. Yah, Satir membutuhkan refresher setelah terimpit sebukit kasus perdata maupun pidana di ruang kerjanya tadi. Sementara di kejauhan, beduk menyeru-nyeru sampai beku, minta Satir belokkan BMW-nya.
Setengah jam kemudian, Satir terlihat berada di sebuah restoran kelas wahid bersama seorang perempuan muda cantik. Satir berbasa-basi tentang kesibukannya di kantor akhir-akhir ini. Ada kasus gawat yang menguntungkan dan harus cepat-cepat dicari jalan keluarnya. Tentu saja kasus itu berkaitan dengan hilangnya uang negara. Apalagi sih berita yang lebih seksi dari berita itu, sekarang ini? Dan si perempuan muda cantik dengan rambut yang masih berbau salon, mengeluhkan mobilnya yang lecet diserempet bajaj kemarin.
”Ah, perkara gampang! Kasus kecil! Orang yang jelas-jelas telah mencuri pun, bisa kuatur sampai nyata-nyata tidak mencuri, kok…” Satir berujar, sedikit bercanda.
Perempuan muda cantik mendengar dengan penuh minat, lalu minta sedikit uang ongkos jalan-jalan pada Satir. Satir cubit dagu lancipnya, lalu melajukan BMW entah ke mana. Sopir cuma mengiri, lihat Satir asyik ke langit bersama perempuan itu di jok belakang. Dan ia pun terus memperhatikan jalan di depannya sambil memikirkan angka-angka.
Siang itu mendaki hari penuh degupan-degupan, hilanglah kasus besar dan kecil.
04.00 pm sampai…
Kini wajah Satir yang familier bagi praktisi dan mahasiswa hukum itu, terlihat di lobby sebuah hotel berbintang lima. ”Sepertinya aku terlalu cepat tiba di sini,” batinnya sambil menengok arloji. Satir pandangi seluruh ruangan sejurus, lalu mulai memencet-mencet hp-nya. Sang istri yang sedang asyik berarisan, menerima SMS, ”Ma, Papa pulang malam. Ada pertemuan dengan Pak Tarjo.” Sang istri telah paham, suaminya pasti tak pernah jemu untuk menambah persediaan materi mereka. Dan yang terpenting, suaminya tak lupa untuk meremajakan kemakmuran mereka.
Petugas hotel meletakkan koran di dekat Satir. Satir mengambilnya. Dia teringat berita yang dibacanya pagi tadi. ”Pasti berita itu diturunkan juga di koran ini,” batin Satir sembari membolak-balik koran terbitan sore itu.
Nihil! Berita tentang animalization tak ia temukan. Halaman satu memuat berita tentang dugaan korupsi Tarjo dan harapan dari begitu banyak orang agar Tarjo bisa dipenjarakan. ”Ah, tak perlu dibaca. Hasilnya kan sudah aku ketahui!?” Satir terus membolak-balik dengan santai koran itu….
”Mari Berkorupsi”, terpampang lebar-lebar sebagai sebuah ajakan indah di halaman tengah. Satir menegakkan duduknya. Matanya awas melahap larik-larik berita. Kaca matanya naik turun mengikuti gerakan hidung, akibat ringisan atau senyuman.
Siang tadi di Bundaran Hotel Indonesia, seorang pria berdemonstrasi sendirian. Disaksikan semua orang yang lewat, pria itu mengajak sekalian anak bangsa untuk menggalakkan korupsi di semua bidang kehidupan. Ketika ia ditanyai oleh seorang wartawan tentang kemungkinan penahanan dirinya lantaran ajakannya yang aneh itu, pria (bernama Tengul) tersebut hanya menunjuk pada seorang polisi yang tertawa senang dan seorang pejabat peradilan terkemuka yang asyik mengabadikan aksinya, sambil melambai-lambai padanya……Ö2
”Nah, ini baru berita! Sebuah terobosan baru! Setidak-tidaknya, ada orang yang hendak membenarkan gaji siluman yang telah menjadi keharusan selama ini. Lelah kan, kalau harus main kucing-kucingan terus?” batin Satir.
”Wah, sedang membaca berita apa, Pak? Kok sampai tersenyum-senyum sendiri?”
”Oh, Pak Seto! Ini, ada berita tentang ajakan untuk menghalalkan korupsi.”
”Pasti peristiwa siang tadi di sekitar tempat ini, kan? Ha..ha.. itu kan permainan anak kecil, jangan terlalu dipikirkan…”
Satir terus membaca berita itu sambil senyum kecil-kecil. Sejawat Satir yang lain pun mulai berdatangan. Pak Tarjo tiba paling belakangan. Pria dengan karier politik yang teramat sukses inilah yang sangat berkepentingan dengan pertemuan sore ini. Dan seperti biasa, pertemuan untuk menemukan formula pencabutan tuduhan terhadap Tarjo ini pun, terlaksana dengan sangat baik dan dalam waktu yang teramat singkat. Kesepakatan antara peserta pertemuan, sudah ada dengan sendirinya. Strategi dan cara mainnya pun terlalu gampang untuk dirancang.
Satir keluar dari pintu utama hotel dan masuk ke BMW yang telah menanti. Ia memberi sopir tips hari ini, lalu menyuruhnya duluan pulang ke rumah.
Satir menyetir sendirian memasuki pintu tol. Sejam kemudian, ia tiba di rumah perempuan cantik. Si perempuan sudah hafal jadwal Satir, sehingga ia telah menanti sembari menonjolkan potensi-potensi dirinya. Satir pun melayang dalam pesona padang asmara perempuan muda cantik molek itu.
11.00 pm sampai…
Satir tergolek di samping tubuh telanjang perempuan muda molek. Dipandangnya tubuh menggiurkan itu. ”Ah, berkali-kali kujelajahi tubuh ini. Berulang-ulang ia menggeliat dalam fantasi yang membumiku.” Teringat pula tubuh istrinya yang masih indah, enak dipandangi, dan diarungi. Tapi, tubuh di sampingnya inilah yang lebih menjanjikan liarnya dan nikmatnya belantara birahi.
Satir bangkit, berkemas, dan melangkah ke luar. Perempuan molek dibiarkannya saja. Satir duduk di beranda. Dilihatnya sebuah koran terbitan kota tetangga edisi beberapa hari yang lalu. Satir membakar sebatang rokok, lalu diapitnya di antara bibir. Ia pun sedikit merenggangkan otot dengan membaca koran…
”Ngatimin terus mencari-cari lidahnya yang hilang.” Tiba di kepala berita ini, Satir serius membaca. Ngatimin, ayah lima anak dan seorang pengangguran, terus mencari-cari lidahnya yang hilang. Semula, ia memang berencana memotong lidah yang menurutnya tak ada gunanya lagi itu. Tetapi sebelum niat itu benar-benar mantap, lidahnya telah duluan dipotong orang secara paksa. Sedangkan di tempat terpisah— tersangka seorang perempuan tua yang berprofesi sebagai pembunuh buaya— mengatakan bahwa, ia memotong lidah Ngatimin karena kesal. Akhir-akhir ini, banyak orang yang memesannya untuk memotong lidah mereka. Tetapi beberapa hari kemudian, orang-orang itu selalu saja membatalkan niat mereka.3
Satir kembali duduk di belakang setir mobil mewahnya. Waktu tak pernah mengizinkannya untuk melahap semua isi koran. Kepalanya pening. Terlalu banyak berita aneh hari ini. Ada orang yang berubah menjadi anjing, ada yang terpotong lidahnya, hanya berita si Tengulah yang cukup rasional dan bisa diterima oleh akal sehatnya. Satir termenung. Ia bersyukur, sampai hari ini ia tak pernah dihinggapi hal-hal aneh.
BMW perlahan keluar dari kompleks perumahan. Sekeliling telah sunyi. Para penghuni perumahan mungkin sedang berkutat dengan mimpi. Teringat ia akan mimpinya semalam, ”Ah, cuma mimpi, bunga tidur, halusinasi. Aku orang rasional. Aku tak percaya hal-hal aneh, apalagi berbau mistik dan sebangsanya itu. Bagiku, semua kejadian pasti punya pertalian hubungan sebab akibat. Tak ada yang terberi begitu saja!”
12.00 pm sampai…
”Trak, traaak, tratraaaaaak……” Bagai gerimis batu, bunyi-bunyi itu menghujani atap BMW. Seekor kecoa tiba-tiba saja menempel di kaca mobil, diikuti kecoa berikut, berikut, berikutnya lagi…. Hingga seluruh BMW-nya penuh oleh binatang-binatang itu.
Serangga-serangga kecil berantene baja menempel di kaca. Antene bajanya menghujam kaca. Kaca mobil mulai retak, pecah sana-sini. Pintu BMW pun diremukkan mereka.
Satir terpaku! Tak percaya! Ditamparnya pipi sendiri, terasa sakit. Maskot sampah memasuki mobil! Satir keluar dari mobil! Kecoa-kecoa memanjati celananya! Ia lari! Kecoa mengejarnya! Mobil pun bersih dari mereka.
Satir terus berlari, kecoa-kecoa terus mengejar, sembari perlahan-lahan berhasil bergelantungan di celananya dan memanjat naik. Tubuh Satir kini penuh dengan para penghuni tempat sampah. Mereka menjatuhkan kaca matanya, mengaburkan pandangannya. Jalan tak bisa dilihatnya lagi. Kakinya berkali-kali tersandung.
Satir terjatuh. Antene-antene kecoa menikamnya, melubangi dadanya, mencabuti hatinya. Liur mereka memenuhi mukanya, tubuhnya penuh dengan lendir beraroma Bantar Gebang. Maka, kelopak Satir pun jatuh.
Dilihatnya perempuan muda cantiknya lari menjauh, istrinya mengejar, di belakang istrinya ada perempuan muda molek, di belakang si molek ada ibu dari anak-anaknya! Beribu perempuannya dan beribu istrinya berkejar-kejaran! Kecoa-kecoa melihat dua perempuan itu juga. Mereka tinggalkan Satir dan mengejar para perempuan; hilang ditelan duka bulan.
Dengan sisa tenaga, Satir bangkit berdiri. Darah merembes perlahan dari lubang menganga di dadanya, menggenangi aspal, lalu mengalir perlahan ke lubang kecil di tepi trotoar. Satir melihat sesobek koran. Dua detik lagi pasti basah oleh darahnya. Satir menyambarnya. Lampu jalan yang remang-remang menampakkan; jenazah rambutmu/ lindu telah kembali/ raib, memulai segenap tidur dan sihir/ tak ada akhir dan bumi hanya dingin/ bendera kabut/ mengacungkan parang abad/ abad surealis.4
Palmeriam, Maret 2004
Catatan:
1 Secuil, ”Kota Anjing”, cerpen oleh Nur Zain Hae; Koran Tempo, 2 Maret 2003.
2 Secuil, ”Mari Berkorupsi”, cerpen oleh Adji Subela; Sinar Harapan, 20 Desember 2003.
3 Secuil, ”Kembalikan Lidahku”, cerpen oleh Sugito Hadisastro; Suara Merdeka, 14 Maret 2004.
4 Sesobek puisi oleh Indra Tjahjadi, ”Laut yang Hanya Mimpi”; Suara Pembaruan, 15 Februari 2004.
http://www.sinarharapan.co.id/
Malam gelap; bulan dan bintang pun tak ada. Alam tak berwarna, hanya gelap. Terlebih di kandang berukuran 3×4 meter yang tak berpenerangan secuil pun itu. Satir dan Tarjo berada di sana, entah karena apa.
Tarikan-tarikan napas pendek, tersengal-sengal, merambah genderang telinga keduanya. Bebunyi napas semakin mendekat! Satir terpaku! Perlahan ia keluarkan pemantik api dari saku celananya. Pemantik dinyalakannya; beribu-ribu kecoa beringsut mendekati mereka. Perlahan-lahan, binatang-binatang kecil menjijikkan mulai mencium-cium sepatu Tarjo, lalu melata naik memenuhi celana. Penghuni tetap tempat sampah menggigit sepatu Tarjo, memamah celana. Tarjo panik!
Satir menyambar jeriken minyak tanah yang terletak tidak jauh dari kandang. Disiramnya, lalu dibakarnya! Dalam hitungan sepersekian detik, kandang jadi bara panas, kecoa-kecoa menggeliat kepayahan tergoreng bara kandang. Bau serangga terpanggang mengepung udara. Sambil mencampakkan kecoa-kecoa yang melekat di pakaian mereka ke dalam api, Satir menggandeng Tarjo menjauh.
Kecoa-kecoa dengan tubuh penuh api muncul di hadapan mereka; siap menghadang langkah mereka. Api memercik-mercik dari tubuh kecoa dan panasnya meluluhkan pandangan Satir. Tarjo melepas genggaman tangan Satir, lalu berlari ke pekat malam. Kecoa dengan api menyala di tubuhnya, mendekati Satir….
06.00 am sampai…
Seorang aktor panggung tenar ibu kota, tiba-tiba berubah menjadi anjing siang kemarin. Menurut pengakuan para tetangganya, sang aktor telah menampakkan perilaku aneh beberapa hari terakhir ini. ”Dia pernah tertangkap basah sedang menyiksa anjingku,” lapor seorang ibu muda. Banyak pula yang bersaksi sering mendengar lolongan, erangan, kaingan anjing dari rumah aktor itu. Ibu kota geger, masyarakat cemas, penguasa kota kalang kabut. Ada dugaan bahwa, kejadian itu disebabkan terlalu banyaknya populitas anjing di ibu kota.1
”Gila! Dunia semakin aneh!” batin Satir seusai membaca koran pagi. Lelaki paruh baya yang sadar akan kedudukan tingginya tersebut, meletakkan koran di meja, di samping cangkir kopi dan asbak rokok. Tarikan napasnya letih; terhimpit berita tadi.
”Petanda apakah ini? Mungkinkah kiamat sudah dekat? Ataukah ini adalah konsekuensi dari sepak-terjang manusia yang tak lagi dikendalikan kitab-kitab tua?” Teringatlah Satir akan ajaran Guru Agamanya di kampung dahulu. ”Ah, betapa indahnya. Belajar membaca Kitab, dengan intonasi mendayu-dayu, bahasa laksana mantra, lalu mendapat pujian, kadang hadiah bila bacaannya sempurna.” Permenungannya terus menampakkan jalan hidupnya dari masa itu hingga saat ini.
Yah, mau bagaimana lagi? Kalau cuma mengharapkan gaji saja walau gaji buta, tentu kelima anaknya tidak bisa bersekolah di luar negeri? Hidupnya pasti serba kekurangan. Mobilnya pun, mungkin hanya yang berpelat merah dari kantor itu. Dan istrinya, anak mantan seorang pejabat tinggi itu, pasti akan mengomel setiap hari. Sedangkan dia tentu tidak akan mengecapi gaya hidup enaknya sekarang ini.
”Tilililit, tililililit, tililit!” telepon genggam Satir berdering.
”Pagi, Pak Tarjo!…. Bisa, Pak…. Sudah pasti itu…. Jam berapa?…. Oke!! Kita bertemu di sana, sore ini…. Yang lain juga datang?…. Oke, Pak!…. Sampai jumpa.” Ada tugas, ada duit. Ada keuntungan menunggunya.
Setelah berpamitan pada istri, sebuah ritual pagi yang cukup menyiksa, Satir melangkah ke BMW dan Pak Sopir yang telah menanti. Memandang sopir setia dan terpercayanya, Satir teringat mimpi semalam. ”Aneh!? Aku dan Pak Tarjo diserang kecoa!?”
Satir ceritakan mimpinya pada si sopir. Sambil memuji sebagai petanda baik, si sopir pun mulai mengutak-atik angka untuk togel dan tokam. ”Pada jam-jam seperti itu, bosku pasti menyetir sendiri. Aku cukup bersiap-siap di rumah, menunggu kedatangan bos, lalu mengantar BMW kembali ke garasi” batin si sopir.
Dan seperempat hari itu pun berjalan seperti kemarin kembali, dengan berita aneh yang hilang dari ingatan.
12.00 am sampai…
Satir kembali duduk di dalam BMW. Pak Sopir sudah tahu, ke mana mereka harus pergi. Yah, Satir membutuhkan refresher setelah terimpit sebukit kasus perdata maupun pidana di ruang kerjanya tadi. Sementara di kejauhan, beduk menyeru-nyeru sampai beku, minta Satir belokkan BMW-nya.
Setengah jam kemudian, Satir terlihat berada di sebuah restoran kelas wahid bersama seorang perempuan muda cantik. Satir berbasa-basi tentang kesibukannya di kantor akhir-akhir ini. Ada kasus gawat yang menguntungkan dan harus cepat-cepat dicari jalan keluarnya. Tentu saja kasus itu berkaitan dengan hilangnya uang negara. Apalagi sih berita yang lebih seksi dari berita itu, sekarang ini? Dan si perempuan muda cantik dengan rambut yang masih berbau salon, mengeluhkan mobilnya yang lecet diserempet bajaj kemarin.
”Ah, perkara gampang! Kasus kecil! Orang yang jelas-jelas telah mencuri pun, bisa kuatur sampai nyata-nyata tidak mencuri, kok…” Satir berujar, sedikit bercanda.
Perempuan muda cantik mendengar dengan penuh minat, lalu minta sedikit uang ongkos jalan-jalan pada Satir. Satir cubit dagu lancipnya, lalu melajukan BMW entah ke mana. Sopir cuma mengiri, lihat Satir asyik ke langit bersama perempuan itu di jok belakang. Dan ia pun terus memperhatikan jalan di depannya sambil memikirkan angka-angka.
Siang itu mendaki hari penuh degupan-degupan, hilanglah kasus besar dan kecil.
04.00 pm sampai…
Kini wajah Satir yang familier bagi praktisi dan mahasiswa hukum itu, terlihat di lobby sebuah hotel berbintang lima. ”Sepertinya aku terlalu cepat tiba di sini,” batinnya sambil menengok arloji. Satir pandangi seluruh ruangan sejurus, lalu mulai memencet-mencet hp-nya. Sang istri yang sedang asyik berarisan, menerima SMS, ”Ma, Papa pulang malam. Ada pertemuan dengan Pak Tarjo.” Sang istri telah paham, suaminya pasti tak pernah jemu untuk menambah persediaan materi mereka. Dan yang terpenting, suaminya tak lupa untuk meremajakan kemakmuran mereka.
Petugas hotel meletakkan koran di dekat Satir. Satir mengambilnya. Dia teringat berita yang dibacanya pagi tadi. ”Pasti berita itu diturunkan juga di koran ini,” batin Satir sembari membolak-balik koran terbitan sore itu.
Nihil! Berita tentang animalization tak ia temukan. Halaman satu memuat berita tentang dugaan korupsi Tarjo dan harapan dari begitu banyak orang agar Tarjo bisa dipenjarakan. ”Ah, tak perlu dibaca. Hasilnya kan sudah aku ketahui!?” Satir terus membolak-balik dengan santai koran itu….
”Mari Berkorupsi”, terpampang lebar-lebar sebagai sebuah ajakan indah di halaman tengah. Satir menegakkan duduknya. Matanya awas melahap larik-larik berita. Kaca matanya naik turun mengikuti gerakan hidung, akibat ringisan atau senyuman.
Siang tadi di Bundaran Hotel Indonesia, seorang pria berdemonstrasi sendirian. Disaksikan semua orang yang lewat, pria itu mengajak sekalian anak bangsa untuk menggalakkan korupsi di semua bidang kehidupan. Ketika ia ditanyai oleh seorang wartawan tentang kemungkinan penahanan dirinya lantaran ajakannya yang aneh itu, pria (bernama Tengul) tersebut hanya menunjuk pada seorang polisi yang tertawa senang dan seorang pejabat peradilan terkemuka yang asyik mengabadikan aksinya, sambil melambai-lambai padanya……Ö2
”Nah, ini baru berita! Sebuah terobosan baru! Setidak-tidaknya, ada orang yang hendak membenarkan gaji siluman yang telah menjadi keharusan selama ini. Lelah kan, kalau harus main kucing-kucingan terus?” batin Satir.
”Wah, sedang membaca berita apa, Pak? Kok sampai tersenyum-senyum sendiri?”
”Oh, Pak Seto! Ini, ada berita tentang ajakan untuk menghalalkan korupsi.”
”Pasti peristiwa siang tadi di sekitar tempat ini, kan? Ha..ha.. itu kan permainan anak kecil, jangan terlalu dipikirkan…”
Satir terus membaca berita itu sambil senyum kecil-kecil. Sejawat Satir yang lain pun mulai berdatangan. Pak Tarjo tiba paling belakangan. Pria dengan karier politik yang teramat sukses inilah yang sangat berkepentingan dengan pertemuan sore ini. Dan seperti biasa, pertemuan untuk menemukan formula pencabutan tuduhan terhadap Tarjo ini pun, terlaksana dengan sangat baik dan dalam waktu yang teramat singkat. Kesepakatan antara peserta pertemuan, sudah ada dengan sendirinya. Strategi dan cara mainnya pun terlalu gampang untuk dirancang.
Satir keluar dari pintu utama hotel dan masuk ke BMW yang telah menanti. Ia memberi sopir tips hari ini, lalu menyuruhnya duluan pulang ke rumah.
Satir menyetir sendirian memasuki pintu tol. Sejam kemudian, ia tiba di rumah perempuan cantik. Si perempuan sudah hafal jadwal Satir, sehingga ia telah menanti sembari menonjolkan potensi-potensi dirinya. Satir pun melayang dalam pesona padang asmara perempuan muda cantik molek itu.
11.00 pm sampai…
Satir tergolek di samping tubuh telanjang perempuan muda molek. Dipandangnya tubuh menggiurkan itu. ”Ah, berkali-kali kujelajahi tubuh ini. Berulang-ulang ia menggeliat dalam fantasi yang membumiku.” Teringat pula tubuh istrinya yang masih indah, enak dipandangi, dan diarungi. Tapi, tubuh di sampingnya inilah yang lebih menjanjikan liarnya dan nikmatnya belantara birahi.
Satir bangkit, berkemas, dan melangkah ke luar. Perempuan molek dibiarkannya saja. Satir duduk di beranda. Dilihatnya sebuah koran terbitan kota tetangga edisi beberapa hari yang lalu. Satir membakar sebatang rokok, lalu diapitnya di antara bibir. Ia pun sedikit merenggangkan otot dengan membaca koran…
”Ngatimin terus mencari-cari lidahnya yang hilang.” Tiba di kepala berita ini, Satir serius membaca. Ngatimin, ayah lima anak dan seorang pengangguran, terus mencari-cari lidahnya yang hilang. Semula, ia memang berencana memotong lidah yang menurutnya tak ada gunanya lagi itu. Tetapi sebelum niat itu benar-benar mantap, lidahnya telah duluan dipotong orang secara paksa. Sedangkan di tempat terpisah— tersangka seorang perempuan tua yang berprofesi sebagai pembunuh buaya— mengatakan bahwa, ia memotong lidah Ngatimin karena kesal. Akhir-akhir ini, banyak orang yang memesannya untuk memotong lidah mereka. Tetapi beberapa hari kemudian, orang-orang itu selalu saja membatalkan niat mereka.3
Satir kembali duduk di belakang setir mobil mewahnya. Waktu tak pernah mengizinkannya untuk melahap semua isi koran. Kepalanya pening. Terlalu banyak berita aneh hari ini. Ada orang yang berubah menjadi anjing, ada yang terpotong lidahnya, hanya berita si Tengulah yang cukup rasional dan bisa diterima oleh akal sehatnya. Satir termenung. Ia bersyukur, sampai hari ini ia tak pernah dihinggapi hal-hal aneh.
BMW perlahan keluar dari kompleks perumahan. Sekeliling telah sunyi. Para penghuni perumahan mungkin sedang berkutat dengan mimpi. Teringat ia akan mimpinya semalam, ”Ah, cuma mimpi, bunga tidur, halusinasi. Aku orang rasional. Aku tak percaya hal-hal aneh, apalagi berbau mistik dan sebangsanya itu. Bagiku, semua kejadian pasti punya pertalian hubungan sebab akibat. Tak ada yang terberi begitu saja!”
12.00 pm sampai…
”Trak, traaak, tratraaaaaak……” Bagai gerimis batu, bunyi-bunyi itu menghujani atap BMW. Seekor kecoa tiba-tiba saja menempel di kaca mobil, diikuti kecoa berikut, berikut, berikutnya lagi…. Hingga seluruh BMW-nya penuh oleh binatang-binatang itu.
Serangga-serangga kecil berantene baja menempel di kaca. Antene bajanya menghujam kaca. Kaca mobil mulai retak, pecah sana-sini. Pintu BMW pun diremukkan mereka.
Satir terpaku! Tak percaya! Ditamparnya pipi sendiri, terasa sakit. Maskot sampah memasuki mobil! Satir keluar dari mobil! Kecoa-kecoa memanjati celananya! Ia lari! Kecoa mengejarnya! Mobil pun bersih dari mereka.
Satir terus berlari, kecoa-kecoa terus mengejar, sembari perlahan-lahan berhasil bergelantungan di celananya dan memanjat naik. Tubuh Satir kini penuh dengan para penghuni tempat sampah. Mereka menjatuhkan kaca matanya, mengaburkan pandangannya. Jalan tak bisa dilihatnya lagi. Kakinya berkali-kali tersandung.
Satir terjatuh. Antene-antene kecoa menikamnya, melubangi dadanya, mencabuti hatinya. Liur mereka memenuhi mukanya, tubuhnya penuh dengan lendir beraroma Bantar Gebang. Maka, kelopak Satir pun jatuh.
Dilihatnya perempuan muda cantiknya lari menjauh, istrinya mengejar, di belakang istrinya ada perempuan muda molek, di belakang si molek ada ibu dari anak-anaknya! Beribu perempuannya dan beribu istrinya berkejar-kejaran! Kecoa-kecoa melihat dua perempuan itu juga. Mereka tinggalkan Satir dan mengejar para perempuan; hilang ditelan duka bulan.
Dengan sisa tenaga, Satir bangkit berdiri. Darah merembes perlahan dari lubang menganga di dadanya, menggenangi aspal, lalu mengalir perlahan ke lubang kecil di tepi trotoar. Satir melihat sesobek koran. Dua detik lagi pasti basah oleh darahnya. Satir menyambarnya. Lampu jalan yang remang-remang menampakkan; jenazah rambutmu/ lindu telah kembali/ raib, memulai segenap tidur dan sihir/ tak ada akhir dan bumi hanya dingin/ bendera kabut/ mengacungkan parang abad/ abad surealis.4
Palmeriam, Maret 2004
Catatan:
1 Secuil, ”Kota Anjing”, cerpen oleh Nur Zain Hae; Koran Tempo, 2 Maret 2003.
2 Secuil, ”Mari Berkorupsi”, cerpen oleh Adji Subela; Sinar Harapan, 20 Desember 2003.
3 Secuil, ”Kembalikan Lidahku”, cerpen oleh Sugito Hadisastro; Suara Merdeka, 14 Maret 2004.
4 Sesobek puisi oleh Indra Tjahjadi, ”Laut yang Hanya Mimpi”; Suara Pembaruan, 15 Februari 2004.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae