Rabu, 27 Mei 2009

Sitor Situmorang, Karena Sastrawan Bukan Malaikat

Sitor Situmorang. Pewawancara: Bagja Hidayat, Qaris Tajudin
http://www.ruangbaca.com/

Suaranya masih bergemuruh di usia yang menanjak 82. Gayanya juga masih khas: menggebrak, menunjuk, atau mengguncang pundak lawan bicara sambil terkekeh—terutama jika menyangkut soal politik di sekitar tahun 1965. Sitor Situmorang memang tak bisa dipisahkan dari situasi politik ketika itu yang membuat dua kubu seniman berhadapan secara tegas. Di satu sisi ada seniman-seniman realisme-sosialis yang mendukung kebijakan Presiden Soekarno dan di seberangnya berdiri para seniman muda yang kemudian disebut kelompok Manikebu (Manifes Kebudayaan). “Situasi dunia akibat perang dingin antara Amerika dan Soviet yang membuat politik seperti itu,” katanya.

Banyak yang mengkritik, atau menyayangkan, terjunnya Sitor ke politik sehingga “mengganggu” bakat kepenyairannya. Pada awal-awalnya, puisi-puisi Sitor membawa gaya sendiri dengan menengok kembali tradisi lama berupa pantun, dengan renungan personal yang sublim. Setelah Sitor aktif di Lembaga Kebudayaan Nasional sajak-sajaknya lebih banyak menyuarakan pujipujian politik, terutama setelah ia melawat ke Tiongkok. A. Teeuw dan Asrul Sani menyebut Sitor sebagai “penyair yang hebat tapi politikus picisan.”

Karena aktivitasnya itu, Sitor kemudian mendekam di penjara Salemba selama delapan tahun sejak 1966. Selepas dari bui, ia melanglang ke berbagai kota di dunia. Terakhir ia menetap di Belanda dan mendapat istri seorang diplomat di sana, sambil mengajar bahasa Indonesia di Universitas Leiden dari 1978 sampai 1988. Sitor berseloroh, kepulangannya ke Indonesia kali ini untuk mengantarkan teman-temannya ke alam baka. Sejak ia di Indonesia, para sahabatnya meninggal dunia: Ramadhan KH disusul Pramoedya Ananta Toer.

Menurut Ajip Rosidi, Sitor mungkin penyair yang paling banyak menghasilkan sajak. Dari dua jilid kumpulan sajak yang terentang antara 1948 hingga 2005, ada 605 sajak yang pernah dibuat Sitor. Belum lagi sajak yang tercecer sebagai hadiah ulang tahun seseorang atau kado di sebuah pesta. “Kalau dilihat dari umur seharusnya saya bisa menghasilkan puisi dua atau tiga kali lipat lebih banyak,” katanya.

Berikut ini perbincangan Bagja Hidayat dan Qaris Tajudin dari Tempo dengan penyair Angkatan 45 ini. Percakapan dilakukan tiga kali, dengan tidak berangkat dari satu pokok, tetapi menampung pelbagai segi. Percakapan pertama di MP Book Point ketika dua jilid kumpulan sajaknya diluncurkan dua pekan lalu, kedua di rumah salah seorang anaknya di daerah Sawangan yang sepi tempat Sitor selama ini tinggal sepekan kemudian, lalu dilengkapi dengan percakapan lewat telepon.

Apa yang anda lakukan sekarang?

Saya sedang mengumpulkan data sejarah tentang perang Batak antara 1883-1907. Keluarga besar saya ikut langsung dalam perlawanan di baratlaut Danau Toba. Belanda maju dari Sibolga tahun 1878 dan mulai ke Aceh tahun 1872. Jika Pramoedya menulis periode itu di Jawa, saya di Batak, ha-ha-ha. Ternyata kolonilaisme itu satu pola saja. Jadi, perlawanan budaya lokal itu harus ditulis.

Bagaimana mencari bahan-bahannya?

Di Belanda itu bahannya lengkap sekali. Dokumentasi penjajah itu efesien. Tiap pelor harus dipertanggungjawabkan. Laporan sampai tingkat kecamatan itu ada. Sangat lengkap jika ingin menulis soal sosial, ekonomi, pemerintahan, bencana alam. Semua ada. Seluruh Indonesia.

Akan jadi novel sejarah?

Saya belum tahu bentuknya seperti apa.

Kapan selesai?

Wah, kalau pakai target saya bisa senewen. Lihat saja nanti.

Novel sejarah sekarang sedang diminati. Apakah sastra yang baik harus mengaitkan diri dengan realitas?

Sastra yang baik itu harus bermanfaat bagi pembaca. Pembaca mendapat kesempatan menghayati keragaman manusia. Pram sudah mempraktekkannya dengan sangat baik. Ia mengolah sejarah dan hidup manusia Indonesia yang bisa bicara ke dunia luar. Dia lahir dari sejarah manusia Indonesia.

Sebagai penyair Angkatan 45, apa sesungguhnya yang digarap angkatan ini?

Angkatan 45 ingin merintis jalan sendiri. (Sitor berdiri sambil menunjuk-nunjuk) Chairil Anwar teriak-teriak, “Apa itu Takdir Alisjahbana? Polemik Pujangga Baru bukan urusan kami lagi. Kami punya jalan sendiri.” Tapi itu kelancangan remaja saja meskipun ada artinya. Kami lebih diilhami oleh semangat kemerdekaan. Semangat pemberontakan.

Chairil dianggap sebagai pelopor modernisme. Dia menggarap sajak bebas, citraan baru, kekuatan bahasa, kenapa anda malah balik ke tradisi lama di tahun 1950-an?

Chairil itu orang kota, saya pedalaman, ha-ha-ha. Kalau modern sudah pasti diterima. Modernitas di Pujangga Baru itu baru tahap ambisi. Angkatan 45 memang meninggalkan gaya sajak sebelumnya. Tapi itu hanya di antaranya saja. Dalam budaya ada perhitungan faktor penerimaan bentuk baru. Menerima pengaruh dari luar dengan daya cipta sendiri. Tidak sekadar nyontek. Penghayatan generasi 45 itu terungkap jelas dalam karya mereka, terutama sajak-sajak Chairil. Ada yang terlewat, yaitu Amir Hamzah yang meskipun berakar pada sastra klasik melayu, dia sudah masuk dunia modern. Saya menggali tradisi lama karena saya terbentuk oleh tradisi itu. Sejak SMA yang terngiang di kepala saya adalah pantunpantun. Saya menggarap itu, meskipun saya juga bikin puisi bebas.

Sajak anda banyak sekali ditujukan untuk seseorang, tidak cuma satu, tapi banyak…

Sebuah tema bisa dikembangkan berkali-kali.

Terutama sajak untuk perempuan. Apakah perempuan memang ilham anda?

Bayangkan saja bagaimana sajaknya. Perasaan ke perempuan itu beraneka ragam: kasih sayang dan syahwat-erotik. Saya sekarang lebih berminat ke mistik. Menyatu dengan asal. Kematian. Mungkin karena sudah dekat, ha-ha-ha. Memandang gunung. Alam yang mengacu kepada jagatraya. Gunung itu perlambang budaya lokal kita. (Sitor kemudian membacakan sajak 1 Syuro dan Parangtritis 1 Syuro sembari menjelaskan maksudnya).

Kabarnya anda menulis sajak karena pesanan?

Pesanan hati saya. Bukan pesanan orang, meski boleh saja. Kalau berkenan saya tulis. Yang penting pesanan hati itu selalu yang utama. Ada juga yang pesan secara main-main. Kalau mampir ke rumah teman, kemudian ada yang ulang tahun lalu meminta dibuatkan puisi, kadang-kadang saya buat. Perkara mutu, silakan nilai sendiri.

Anda juga bisa mengubah sebuah sajak yang sudah jadi sewaktu akan diterbitkan kembali sehingga orisinalitasnya sudah tak ada…

Umumnya membuat sajak itu seperti menggubah lagu. Kalau saya, pergulatan dengan tema bisa satu-dua hari. Saya menangkap tema dari pengalaman, pengamatan atau pendengaran yang mengharukan perasaan. Lalu menyembul katakata. Setelah itu sambungannya biasanya mengalir. Dalam 12 jam jadi. Besoknya ketika dibaca lagi sudah mendapat bentuk yang final. Tapi sebuah sajak yang dianggap sudah selesai masih mungkin diubah lagi setelah sekian tahun dibaca dan kurang pas. Ada juga pembaca yang lebih senang versi pertama, itu terserah saja.

Pantas anda sangat produktif…

Lima-belas tahun terakhir sudah tinggal menetes saja, dulu itu mengalir deras.

Kenapa?

Susah menerangkannya. Ini tidak berlaku umum. Ini berhubungan dengan bahasa. Soal kepekaan. Bahasa itu bentuk budaya yang hidup dalam diri kita lewat pendengaran, pengalaman, dengan manusia lain. Ada bunyi, irama. Kalau makin tambah umur, kepekaan menerima suara-suara, nada-nada, dan irama itu menurun.

Karena tinggal lama di luar negeri?

Tidak juga.

Apa sih kriteria sebuah puisi dikatakan berhasil?

Jika sudah menyentuh hati pembaca. Kepekaan membaca itu merupakan hasil pengalaman dan penghayatan setelah secara rutin main-main dengan bahasa.

Ada yang menilai kualitas sajak anda menurun setelah beranjak ke puisi bebas…

Sajak itu banyak bentuknya. Saya menerima segala bentuk. Waktu itu, saya berpikir kita punya warisan pantun kenapa itu tak dipakai. Bukan karena saya memilih sebuah gaya, tapi memang suasana puisinya menuntut seperti itu. Saya pelopor pemakaian pantun dengan isi baru. Sajak saya yang paling banyak dibincangkan adalah Lagu Gadis Itali. Itu memang saya menggunakan kekuatan pantun. (Lihat Asal Usul Gadis Itali).

Lebih menurun lagi setelah anda berpolitik…

Saya tidak bisa dipisahkan dari politik. Silakan nilai puisi saya dari puisi, bukan dari politiknya. Saya memang menulis puisi politik, ada juga yang tidak. Jika politik dinilai merusak bakat saya, itu kesimpulan mereka. Tapi banyak orang yang memaksakan penilaian dengan hanya membaca puisi politik saya. Padahal dia juga baca puisi saya yang baik, tapi tidak masuk penilaian. Ini tidak bagus. Jika sajak saya dianggap tidak berhasil, silakan. Tapi itu bukan karena aktivitas saya di politik.

Terutama sejak anda berkunjung ke Tiongkok (periode 1956-1967)?

Sekarang kita lihat, Tiongkok besar dan mengancam Amerika. Karena mereka berjuang dengan caranya sendiri. Saya melihat Tiongkok sebagai bangsa yang menjunjung nasionalisme. Sebagai nasionalis aliran Soekarno saya melihat itu. Soviet tidak saya anggap sebagai proyek nasionalis karena budayanya lain dengan kita. Ada budaya Barat di sana. Sementara Tiongkok sejarahnya mirip dengan kita. Budaya mereka diinjak oleh imperialis, seperti kita. Jika ada ekonom yang menilai ekonomi Tiongkok bakal rusak karena menganut komunisme, omong kosong itu. Orang Tiongkok menganut komunis itu hak mereka. Lihat, sekarang mereka bangkit.

Apakah karena pandangan itu, anda ikut bergabung dengan kelompok yang berhadapan dengan seniman Manifes Kebudayaan?

Begini. Konflik tahun 1965 itu sangat dipengaruhi oleh situasi dunia akibat perang dingin Amerika Serikat dan Soviet. Amerika ingin Indonesia memilih salah satunya. Bung Karno tidak mau. Lalu karena Bung Karno didukung oleh komunis Indonesia, Bung Karno dicap komunis. Itu akal-akalan mereka saja. Padahal Bung Karno ingin berjuang dalam garis nasionalis. Dia menunggalkan perlawanan bahwa yang bukan nasionalis itu imperialis. Intelektual muda waktu itu tak setuju dengan strategi Bung Karno. Mereka dimanfaatkan untuk melawan Soekarno. Manikebu itu disusupi CIA. Kami mendukung Bung Karno karena ideologinya jelas: nasionalis. Lalu mereka bilang Bung Karno itu pengekor komunis. Kami balik menyerang, kalau begitu kalian antek-antek Amerika.

Bukankah Bung Karno memang berkiblat ke Soviet?

Itu penilaian Amerika. Padahal itu tidak ada. Prasangka ini yang dibakar-bakar oleh Amerika di Indonesia. Boleh kami dituduh. Tapi kalau Bung Karno disamakan dengan komunis, itu tuduhan konyol.

Kenapa kisruh itu merembet ke dalam kesenian?

Karena sastrawan itu bukan malaikat. Manusia, yang kebetulan sastrawan, tak boleh berlagak tak ada urusan dengan politik nasional. Kalau ada yang bilang sastrawan tak boleh berpolitik, itu omong kosong. Pramoedya besar bukan karena dia Lekra, tapi karena karyanya. Kami menghadapi tantangan imperialis, kami melawan. Bagi kami imperialis itu Amerika. Sebab Cina dan Soviet itu negara besar, tapi untuk dirinya sendiri.

Manikebu menolak politik sebagai panglima, termasuk dalam kesenian…

Boleh saja. Tapi jangan berlagak politik itu tidak perlu. Itu naif namanya. Karena mereka juga sebenarnya sudah berpolitik. Tapi tidak terang-terangan seperti kami ini. Kalau mau melawan politik komunis, lawanlah dengan sikap politik juga. Bukan lantas mengaku-ngaku tidak berpolitik padahal sebenar iya.

Kenapa sampai ada bredel membredel karya seni?

Situasinya berkelahi. Mereka juga omong kosong. Ketika buku Pram dilarang, orang-orang Manikebu diam saja. Wiratmo Sukito, kapten Manikebu itu, katanya kirim surat ke Jaksa Agung supaya tak melarang buku Pram. Kenapa dia tak kumpulkan itu orang-orang Manikebu, bikin tanda tangan seperti dulu, lalu melawan pembredelan? Kenapa tak dilakukan? Itu sikap sangat memalukan dari seorang intelektual paling militan. Apakah ada yang bersuara ketika saya dan ratusan ribu orang dipenjara tanpa pengadilan? Tidak ada! Mana humanisme universal itu. Kalau mereka diam, berarti mereka setuju dengan cara-cara seperti itu. Apakah saya ini tidak dianggap human? Karena itu dalam satu tulisannya, Goenawan Mohamad merasa malu dengan uraian Wiratmo ketika merumuskan filsafat humanisme universal. Malu karena tak cukup kuat alasannya.

Kalau saya tanya, apakah Sitor Situmorang seorang komunis? Apa jawab anda?

Berarti saudara belum tahu saya. Tapi kalau pertanyaan itu untuk menguji, saya katakan saya ini tokoh PNI. Semua orang yang mendukung Soekarno bisa saja komunis. Tapi itu bahasa perang dingin.

Apakah Pramoedya juga seorang komunis?

Mana ada karya-karyanya yang menyuarakan komunisme. Tidak ada. Dia hanya ingin menyuarakan kaum tertindas. Bagaimana melawan penjajah, dan seterusnya. Dan itu sangat dipengaruhi oleh kehidupan pribadinya waktu di Blora. Dia itu baca buku-buku Marxisme saja tidak tamat, ha-ha-ha

O ya? Kalau anda sendiri?

Saya baca Marxisme lewat saringannya Bung Karno.

Kenapa anda tak menulis situasi ketika itu sekarang dari perspektif kelompok anda?

Saya tak punya kecakapan sebagai sejarawan. Menulis sejarah itu harus netral menyampaikan fakta dari dua sisi.

Sebagai korban Orde Baru, apa yang sebaiknya dilakukan kepada Soeharto?

Ada dua, yaitu pengadilan sejarah dan pengadilan hukum. Harus diungkap apa yang terjadi selama 33 tahun dia berkuasa. Harus terbuka dan didebat oleh para pendukungnya. Kesalahan Orde Baru itu membangun rezim dengan sistem kediktatoran, mengkhianati cita-cita Undang- Undang Dasar 1945. Peristiwa Tanjung Priok, siapa yang memerintakan penembakan? Lalu penembak misterius. Pasti ada yang punya pelor dan senjata. Siapa? Ini tak pernah jelas. Pengadilan harus membuka itu. Dari awal kami sudah omong, Soeharto ini bakal jadi diktator dengan fasisme-militerisme. Perlu dimaafkan? Memaafkan ya. Tapi memaafkan atas kesalahan apa? Harus dibuka dulu apa kesalahan Soeharto di depan hakim. Ada kelambanan dalam budaya kita, yaitu budaya bapakisme. Ini terjadi sekarang. Seorang bapak itu tak pernah salah. Kalaupun salah harus dimaafkan. Ini budaya bapakisme yang tidak pada tempatnya.

Kalau diminta hakim, apakah anda mau jika dipanggil sebagai saksi?

Kalau dipanggil saya siap.

Sampai kapan berada di Indonesia?

Mungkin sampai September. Setelah itu saya kembali ke Belanda.

Omong-omong, sekeluar dari Salemba anda punya impian mengguncang Paris. Apa sudah tercapai?

Sebelum masuk penjara saya sudah ke Paris. Mengguncang itu urusan tahun 1950-an. Setelah masuk penjara urusan sudah lain.

Mengikuti perkembangan sastra Indonesia mutakhir?

Sangat sedikit. Saya cuma baca buku seorang penyair dari Jogja. Tetapi kalau sastra ingin berkembang kita harus meniru apa yang sudah dilakukan Takdir yaitu menerjemahkan karya dunia. Kita harus sebanyak mungkin mencerap khasanah sastra dunia. Ini untuk mengimbangi globalisasi negatif dalam bidang lain. Sekarang, sastra sangat ditentukan oleh pasar. Orang bebas menulis apa saja.

Senin, 04 Mei 2009

PUISI SEBAGAI KATA HATI (1)

Kegelisahan Sekjen Departemen Pertanian

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian, Memed Gunawan, M.Sc., Ph.D. meluncurkan dua antologi puisinya, Ladang Berselimut Kabut (Jakarta, 2005; xi + 74 halaman) dan Setangkai Padi, Seisi Negeri (Jakarta, 2005; ix + 85 halaman). Taufiq Ismail dalam Kata Pengantarnya, berharap: “Betapa dahsyatnya kalau Sekjen-Sekjen Departemen lain juga menulis kumpulan puisi dalam bidangnya masing-masing.” Pertanyaannya kini: Apanya yang dahsyat?

Kedua antologi puisi itu seperti potret kegelisahan penulisnya sendiri. Satu kaki berada dalam kehidupan alam pedesaan, dan satu kaki lagi terpaku dalam sistem birokrasi sebagai sekjen. Ia laksana tumpahan unek-unek yang lepas begitu saja mengungkap kata hati, sikap, dan idealismenya tentang dunia pertanian. Maka, bahasanya jadi terasa begitu jujur dan bersahaja. Puisi, baginya, tidak lagi sekadar permainan kata atau ekspresi bahasa yang ditata agar menghasilkan efek kemerduan bunyi dan keindahan puitik, tetapi menghadirkan sosok pribadi yang berada dalam dua dunia: lumpur sawah dan birokrasi. Ia merepresentasikan suara tentang dunia pertanian dengan berbagai problemnya.

Sebagian besar besar puisi dalam kedua antologi itu, mengangkat tema-tema yang erat berkaitan dengan urusan pertanian. Yang lainnya berbicara tentang keluarga, nasib TKI, anak jalanan, pedagang asongan, dan rasa syukurnya kepada Sang Khalik. Cara pengungkapannya terasa khas dan unik, terkadang juga kritis dan pedas. Seperti otokritik yang coba menguak sejumlah masalah yang selama ini terjadi dalam dunia pertanian kita.
***

Dalam buku Sajak Resah Petani di atas Awan: Ladang Berselimut Kabut yang berisi 37 puisi, kita dihadapkan pada sebuah panorama yang buram, agak kelabu, dan pekat-kelam sosok petani dan kaum yang tersisih. Aku liris bertindak sebagai pengamat: memotret, mencatat, dan coba menelusuri nuraninya. Di satu sisi, ia merepresentasikan kegelisahan, di sisi lain, menjadi semacam potret kebersahajaan dan ketersisihan para petani dan wong cilik. Hadirlah di sana sebuah kontras antara mewah—melarat, reputasi dan nasib kaum yang tercampakan.

Lihatlah potret tentang “Hari-Hari Kang Sarta”. Di sana hadir keberpihakannya, tetapi juga ada jarak tipis antara subjek dan objek. Maka, kegetiran dan perjuangan panjang Kang Sarta, cukuplah digambarkan dengan Hatinya sepi/Tatapannya datar/Punggung bungkuk keriput … Atau sebagaimana yang terungkap dalam bait terakhir: Dia ada, hidup dan nyata/Dia bicara dan merasa/Dia lelah dan tua// Ada getir mendalam, ada hati yang pecah, dan kita dibawanya berpihak pada empatinya itu.

Simaklah juga paradoks yang sering luput dari perhatian kita. Panen Raya yang mestinya menjadi suka cita petani, kini telah berubah bukan lagi milik mereka. Atau dalam bahasa yang lebih eksplisit: “Petani masih barang jualan di makalah” (“Program”). Kepedulian itu ternyata tidak berhenti di sana. Di jalanan ketika berhadapan dengan “Pedagang Asongan” yang berkeringat di tengah terik/Tertatih mengintip… Sementara kita sejuk bersandar nyaman tidak peduli//. Bukankah itu merupakan pemandangan sehari-hari yang menusuk mata kita di setiap pelosok jalanan kota di negeri ini? Ekspresi kepedulian itu ternyata dibawanya pula sampai ke Den Haag. “Aku bergelimang dalam kelebihan yang tak biasa kualami” sementara mereka (wong cilik yang berbekal cangkul), “…makan sisa dan seadanya.” (“Bayangan Lewat Saat Makan Pagi di Den Haag”).

Begitulah, antologi puisi Sajak Resah Petani di atas Awan: Ladang Berselimut Kabut, seperti hendak menggugat siapa saja. Meski di sana-sini, menyembul nada optimistik, antologi ini –sadar atau tidak—membawa kita pada empati atas dunia yang selama ini menjadi bagian dari diri kita, tetapi kerap luput dari perhatian.
***

Masih dengan style yang sama, yaitu bermain dengan persajakan dalam larik dan narasi yang mengalir tanpa pretensi, antologi puisi kedua, Setangkai Padi, Seisi Negeri, sebagian besar masih mengangkat tema-tema seputar dunia pertanian. Kita merasakan ada semacam refleksi evaluatif atas berbagai problem di seputar lingkungan kerja, kehidupan wong cilik, catatan perjalanan, renungan untuk keluarga, nostalgia masa lalu, Tenaga Kerja Indonesia, sampai renungan tentang bencana Tsunami. Ada 38 puisi dalam antologi ini yang nadanya terasa agak berbeda dengan antologi pertamanya.

Kali ini, beberapa puisinya cenderung kurang menunjukkan perenungan yang lebih intens. Akibatnya, empati atas kepedihan dan derita kehidupan kaum pinggiran itu, terasa sebagai sikap reaktif. Di sana-sini menjelma pernyataan, bukan narasi yang memancarkan pesona puitik. Bagaimanapun, ketika puisi digunakan sebagai alat ekspresi, usaha menyapa dan menyentuh hati nurani, cenderung efektif jika bangunan estetika menyatu dalam keseluruhannya. Di sinilah limpahan perasaan dan luapan emosi spontan, perlu dievaluasi kembali dan dimaknai melewati proses perenungan yang mendalam.

Meski begitu, dalam sejumlah puisinya yang lain, kita seperti dibawa pada panorama perubahan zaman, potret sosial, kerinduan pada Sang Khalik, dan kepedihan atas nasib wong cilik (: petani). Di sana, ada intensitas perenungan yang mendalam yang disajikan dengan jujur dan mengalir begitu saja. Dengan begitu, sentuhan pada hati nurani terasa lebih kuat, seolah-olah kisah itu menjadi bagian dari kehidupan keseharian kita.
***

Demikianlah, kehadiran dua antologi karya Memed Gunawan, Sekjen Departemen Pertanian ini, bagaimanapun juga, penting artinya. Secara tematik, kedua antologi itu jelas telah ikut memperkaya khazanah tema perpuisian Indonesia. Ketika ia berbicara tentang petani, sawah, birokrasi pertanian, ternak, proyek, subsidi, TKI, dan kepedulian atas nasib kaum pinggiran, ia jadi terasa khas lantaran dihadirkan oleh pejabat penting pemerintah. Mengingat puisi-puisinya disajikan dengan kejujuran kata hati, yang segera muncul ke permukaan adalah sebuah citra yang sama sekali berbeda dengan pandangan masyarakat terhadap sosok seorang birokrat. Ia seperti merepresentasikan sosok pejabat yang sadar bahwa jabatan tidak lain adalah amanah. Ada kesadaran bahwa kekuasaan sekadar kepercayaan. Segalanya harus dipertanggungjawabkan kepada hati nurani, keluarga, rakyat, bangsa, dan Tuhan.

Jika Taufiq Ismail (“Dengan Puisi, Aku”) menempatkan puisi sebagai sarana bernyanyi dengan kehidupan, bercinta dengan alam, mengenang Sang Khalik, atau mengutuk zaman yang busuk, maka Memed Gunawan “sekadar” mengungkapkan kegundahan hati. Ia menangis memandang penderitaan petani, marah atas kerusakan areal pesawahan, prihatin dan gelisah pada kegagalan program pemerintah, subsidi yang salah sasaran, konsep hebat yang tak membumi, atau diskusi ilmiah dan mewah yang tak menyentuh nasib rakyat. Segala kegelisahan itu, tiba-tiba seperti memperoleh saluran pada puisi. Maka, potret kegelisahannya dapat kita cermati dalam kedua antologi itu.

*) Maman S. Mahayana, Pengajar FIB-UI.

PUISI SEBAGAI KATA HATI (2)

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Konon, salah satu fungsi sastra adalah menjadikannya semacam katarsis: pelepasan emosi ketika berbagai masalah melimpah, bertumpuk-tumpuk, membebani, dan menghimpit segala gerak pikir dan gerak rasa kita. Sastra dapat melepaskan sebagian dari segala beban itu. Di samping itu, sastra –dengan atau tanpa pretensi— sering juga dipandang sebagai ungkapan jujur dari perasaan yang terdalam. Bagi kaum romantik, sastra (: puisi) adalah limpahan perasaan yang meluap yang timbul dari renungan dalam ketenangan –atau juga dalam kegelisahan. Mereka mengusung semangat pengungkapan perasaan yang terdalam, luapan emosi yang spontan, dan ketulusan hati dalam mengangkat nilai-nilai kemanusiaan.

Bahwa di dalamnya ada campuran bahan lain yang bernama imajinasi, tidaklah serta-merta karya itu membalikkan kejujuran. Ia tetap menduduki posisinya sebagai refleksi evaluatif: mengungkapkan peristiwa dan memaknainya untuk dirinya sendiri atau untuk kepentingan masyarakatnya. Jadi, sebuah potret keseharian Kang Sarta atau Sukri, misalnya, tak berarti merupakan kisah hidup Kang Sarta atau Sukri an sich. Ia mungkin tidak mewakili keseluruhan hidupnya, tetapi sekaligus juga sangat mungkin merepresentasikan keseluruhan hidup orang-orang kecil yang bernasib sama dengan sosok Kang Sarta atau Sukri. Di situlah sastra (: puisi) yang coba mengangkat salah satu sisi kehidupan orang per orang menjadi sangat khas dan unik, dan sekaligus juga berlaku universal, karena orang-orang macam Kang Sarta atau Sukri, tersebar di mana-mana, di belahan bumi ini.

Seperti para guru sufi yang tak berpretensi menjadi penyair, Memed Gunawan niscaya juga tidak berniatan demikian. Jika para guru sufi itu mengungkapkan cintanya kepada Sang Khalik lewat simbol-simbol sufistik, Gunawan sekadar menumpahkan secebis kepedulian atau keberpihakannya dalam bentuk rangkaian galau yang seakan ditujukan kepada dirinya sendiri. Sangat mungkin ia tak berpikir tentang popularitas atau apa pun. Ia sekadar menumpahkan galaunya yang meresahkan. Itu saja. Seolah-olah selepas itu, urusannya selesai sudah sampai di sana. Justru di situlah problemnya. Ketika segala perenungannya dipublikasikan, serempak duduk perkaranya menjadi lain. Karyanya seketika menjadi bagian dari milik masyarakat. Dengan demikian, masyarakat mempunyai hak untuk memberi apresiasi dan mengungkapkan penilaian terhadapnya.

Itulah risiko publikasi. Meski demikian, di balik itu, ada juga dampak lain yang mungkin jauh lebih dahsyat dari sekadar risiko. Masyarakat memperoleh sesuatu, boleh jadi juga menemukan banyak makna, dan memperoleh gambaran tentang potret zaman.

Ketika karya itu ditulis, dibaca sendiri, dan disimpan rapi dalam lemari besi, ia abadi menjadi artefak beku tak bermakna. Sebaliknya, ketika karya itu dipublikasikan dan kemudian menjadi milik masyarakat, seketika ia siap memasuki segenap ruang publik: terombang-ambing dalam tas sekolah, dilantunkan dalam sebuah panggung, menjadi bahan perdebatan, atau berjejer terjepit di antara deretan buku di perpustakaan. Suatu saat kelak, ia akan keluar dari himpitan itu dan digauli mesra oleh pembaca yang entah siapa. Itulah kekuatan publikasi. Ia seakan-akan sekadar heboh sesaat. Padahal, di sepanjang waktu, ia abadi menjadi dokumen sosial yang mengungkapkan semangat zaman.
***

Memed Gunawan mungkin tak berpikir sampai ke sana. Ia sekadar melihat sebuah peristiwa yang menarik empatinya dan kemudian mengeluarkannya sebagai unek-unek, kegelisahan emosi, luapan kata hati, dan tumpah dalam bentuk puisi. Itulah yang rupanya dilakukannya dalam menyikapi lilitan gurita birokrasi yang menjeratnya. Ia memilih puisi sebagai saluran yang menawarkan alternatif lain. Maka, kita akan melihat serangkaian refleksi nurani yang begitu jujur, tanpa kesan pretensius. Ia sekadar mengungkapkan apa yang dilihat dan dirasakannya. Itulah yang kemudian terjadi: ada kisah tentang petani lugu, ada kecintaan yang mendalam, ada gugatan yang tak berjawab, ada pula keberpihakan yang disadarinya tak dapat menyelesaikan masalah. Sebuah panorama kehidupan petani dan kaum terhimpit yang diejawantahkan dalam sejumlah puisi. Dengan tema-tema yang unik dan terasa masih asing, kita seperti diingatkan bahwa semua itu adalah bagian dari kehidupan kita: dunia petani dan orang-orang pinggiran, dengan berbagai problemnya yang tak terpahami, harapannya yang kandas, dan kegetirannya yang tak terucapkan.

Periksa saja, dari 37 puisi yang terhimpun dalam buku Sajak Resah Petani di atas Awan: Ladang Berselimut Kabut ini, nyaris semuanya mengangkat sisi buram, agak kelabu, dan pekat-kelam sosok petani dan kaum yang tersisih. Meski begitu, harus diakui, Gunawan cenderung bertindak sebagai pengamat. Ia memotret, mencatat, dan coba menelusuri nuraninya. Jadi, di satu pihak, kumpulan puisi ini mewujud sebagai representasi kegelisahannya, refleksi jujur kata hati, dan di lain pihak, ia menjadi semacam potret tentang keluguan, kebersahajaan, dan ketersisihan mereka, atau tentang kontras antara mewah—melarat, reputasi dan martabat manusia yang tercampakan di bak sampah.

Lihatlah potret tentang “Hari-Hari Kang Sarta”. Meski kita dapat menangkap keberpihakannya, kesan sebagai pengamat rupanya tak dapat ia sembunyikan. Ada jarak tipis antara subjek dan objek. Maka, kegetiran dan perjuangan panjang Kang Sarta, cukuplah digambarkan dengan Hatinya sepi/Tatapannya datar/Punggung bungkuk keriput … Atau sebagaimana yang terungkap dalam bait terakhir: Dia ada, hidup dan nyata/Dia bicara dan merasa/Dia lelah dan tua// Ada getir mendalam, ada hati yang pecah, dan kita dibawanya berpihak pada empatinya itu.

Simaklah juga paradoks yang sering luput dari perhatian kita. Panen Raya yang mestinya menjadi suka cita petani –warga desa, kini telah berubah bukan lagi milik mereka. Panen Raya menjelma pentas aktor pejabat, dan “… orang-orang desa menonton saja.” Atau dalam bahasa yang lebih eksplisit: “Petani masih barang jualan di makalah” (“Program”). Dari mana datangnya ekspresi itu jika tidak dari empati yang mendalam? Kepedulian itu ternyata tidak berhenti di sana. Di jalanan ketika berhadapan dengan “Pedagang Asongan” yang berkeringat di tengah terik/Tertatih mengintip… Sementara kita sejuk bersandar nyaman tidak peduli//. Bukankah itu merupakan pemandangan sehari-hari yang menusuk mata kita di setiap pelosok jalanan kota di negeri ini? Pastilah kita tak mungkin berujar: “kesian deh lu.” Itu bagian dari tanggung jawab sosial. Kewajiban negara sebagaimana tertuang dalam undang-undang. Ekspresi kepedulian itu ternyata dibawanya pula sampai ke Den Haag saat ia makan pagi. “Aku bergelimang dalam kelebihan yang tak biasa kualami” sementara mereka (wong cilik yang berbekal cangkul), “…makan sisa dan seadanya.” (“Bayangan Lewat Saat Makan Pagi di Den Haag”).
***

Begitulah, Memed Gunawan dalam antologi puisi Sajak Resah Petani di atas Awan: Ladang Berselimut Kabut yang diberi Kata Pengantar Taufiq Ismail ini, seperti hendak menggugat siapa saja, termasuk dirinya sendiri. Meski di sana-sini, menyembul nada optimistik, antologi ini –sadar atau tidak—membawa kita pada dunia yang selama ini menjadi bagian dari diri kita, tetapi kerap luput dari perhatian. Atau kita memang telah sekian lama lalai memperhatikan mereka?
***

Masih dengan style yang sama, yaitu bermain dalam persajakan dalam larik, dengan narasi yang mengalir tanpa berkesan pretensius, dalam antologi puisinya yang kedua, Memed Gunawan mengusung kembali refleksi evaluatifnya atas berbagai problem di seputar lingkungan kerja, kehidupan wong cilik, catatan perjalanan, renungan untuk keluarga, nostalgia masa lalu tentang Bogor, Tenaga Kerja Indonesia, sampai renungan tentang bencana Tsunami. Ada 38 puisi dalam antologi yang keduanya ini yang nadanya terasa agak berbeda dengan antologi pertamanya.

Kali ini, Gunawan terkadang lepas kendali, dan cenderung menyajikan suara hatinya tanpa perenungan yang lebih intens. Akibatnya, empati atas kepedihan dan derita kehidupan kaum pinggiran itu, tidak lagi reflektif, melainkan reaktif. Ia lalu menjelma pernyataan, dan bukan narasi yang justru menjadi kekuatannya memancarkan pesona puitik. Bagaimanapun, ketika puisi digunakan sebagai alat ekspresi, usaha menyapa dan menyentuh hati nurani, cenderung efektif jika bangunan estetika menyatu dalam keseluruhannya. Di sinilah limpahan perasaan dan luapan emosi yang spontan, perlu dievaluasi kembali dan dimaknai selepas melewati proses perenungan.

Perhatikanlah beberapa larik awal puisi yang berjudul “Engkau Lari, Sawit pun Busuk dan Mati” berikut ini: Engkau adalah anjing di negeri asing/Engkau adalah kuda tunggang penyakitan/Engkau tak juga bayangan karena kau tak pernah ada/Engkau adalah budak ketika dunia teriak/”Hak Asasi Manusia” … Empati yang kemudian berubah menjadi kemarahan ini bercerita tentang derita Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia. Meski nada marah tampak di larik-larik awal, secara perlahan narasi yang dibangunnya lebih menyentuh ketika dihadirkan narasi tentang istri dan anak-anak yang menunggu di rumah. Puisi ini kemudian ditutup lewat sebuah harapan romantik: Pulanglah anak Pertiwi/Bunda menanti/Seluruh anak negeri/Memanggilmu kembali//

Dalam sejumlah puisinya yang lain, sebutlah beberapa di antaranya, “Bogor 1968—2005” yang menghadirkan sebuah paradoks masa lalu dan masa kini, “Jembatan Timbang Losarang” yang mencatat tradisi pungli di sana, “Makan Siang Buat Sang Anak” yang bercerita tentang harapan wong cilik pada masa depan anaknya, atau “Ragu Menggantung di Depan Pintu-Mu” yang mengungkapkan kegamangan seseorang yang rindu pada Sang Kekasih (Tuhan), kita merasakan adanya intensitas perenungan yang mendalam. Kita ikut hanyut dalam kontemplasi yang disajikannya. Dalam beberapa puisi yang disebutkan tadi, kecuali puisi “Ragu Menggantung di Depan Pintu-Mu”, potret sosial yang diangkatnya seperti mengalir begitu saja. Tak terlihat empati dan kepedihan si aku lirik menjelma kemarahan. Dengan demikian, sentuhan pada hati nurani kita pun jadi terasa lebih kuat, seolah-olah kisah itu menjadi bagian dari kehidupan keseharian kita.
***

Demikianlah, kehadiran dua antologi karya Memed Gunawan ini, bagaimanapun juga, penting artinya dalam memperkaya khazanah tema perpuisian Indonesia. Ketika ia berbicara tentang petani, sawah, birokrasi pertanian, ternak, proyek, subsidi, TKI, dan kepeduliannya terhadap kehidupan kaum pinggiran, ia jadi terasa khas lantaran ia dihadirkan oleh pejabat penting di departemennya. Mengingat puisi-puisinya disajikan dengan kejujuran kata hati, yang segera muncul ke permukaan adalah sebuah citra yang sama sekali berbeda dengan pandangan masyarakat terhadap sosok seorang pejabat pemerintah. Sebagian besar puisinya dalam kedua antologi itu seperti merepresentasikan sosok pemegang amanah yang menyadari bahwa kekuasaannya sekadar kepercayaan, amanah. Ia harus mempertanggungjawabkan segalanya kepada hati nuraninya, keluarga, rakyat, bangsa, dan Tuhan. Sebuah teladan yang mengingatkan saya pada sosok Umar bin Khatab. Terlepas dari semua itu, seperti kata Taufiq Ismail, “Betapa dahsyatnya jika Sekjen (: para pejabat dan pemimpin bangsa ini) menulis kumpulan puisi dalam bidangnya masing-masing.” Bukankah puisi (: sastra) merupakan representasi kebudayaan sebuah bangsa. Maka, barang siapa yang mencintai sastra, ia mencintai kebudayaan bangsanya.

*) Pensyarah, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta.

Benang Merah Perkembangan Sastra Ide

Lies Susilowati
http://www.suarakarya-online.com/

Ketika massa nekrofilis (pencinta kematian) sedang memenuhi jalan raya di negeri ini, diam-diam di toko buku dan perpustakaan telah tersedia buku-buku tentang Marxisme dalam bahasa Indonesia.

Di samping itu, buku-buku Tan Malaka diterbitkan juga dalam bahasa Indonesia masa kini.

Yang lebih menyenangkan, disamping Marxisme, ada juga terjemahan Indonesia buku-buku mengenai eksistensialisme. Nietzsche memasuki dunia pustaka kita dalam bentuk buku berbahasa Indonesia.

Demikian pula ‘Mite Sisifus’ dan ‘Pemberontakan’ karya Albert Camus. Kedua buku Camus berbahasa Indonesia ini menyusul novel The Stranger yang beberapa tahun yang lalu sudah diterjemahkan oleh Max Arifin (penerjemah “Pemberontakan”).

Kerja keras menerjemahkan buku-buku yang merubah dunia ini yang sesuai dengan keinginan pujangga Takdir Alisyahbana almarhum, selain terlambat, juga patut dikatakan masih dalam tarap awal.

Pekerjaan rumah kaum intelektual bangsa ini masih banyak dan berat. Bangsa yang memakai bahasa terbesar nomor empat di dunia ini, terus terang saja masih buta filsafat Barat dan sastra dunia yang berisi ide-ide filsafat. Ini kesalahan pendidikan kita, baik pendidikan menengah dan tinggi.

Akibatnya generasi muda kita yang penuh di jalan raya mudah menjadi celengan berkaki dua, otomaton yang berkerumun menjadi monster. Bila dilihat dari helikopter dan ketinggian langit humaniora tampaknya seperti amuba yang sangat berbahaya. Monster anti biofili sedang gentayangan di negeri ini. Human error yang membawa bencana kemanusiaan bercampur dengan bencana alam.

Ketika bangsa ini sedang menghadapi bencana banjir, tanah longsor, gempa, kebakaran hutan, datang lagi bencana yang dibuat oleh ide mutlak di kepala dan benak yang memerintahkan tangan untuk membakar dan membom kebudayaan material bangsa (kantor, mall, pabrik, rumah tinggal, rumah sakit, panti asuhan dll) menyiksa batin dan membunuh raga.

Ada pula buku baru yang sering disebut-sebut oleh kolumnis kita di sana sini (antara lain oleh Gus Dur, mantan Presiden RI) yaitu ‘Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme’, karya besar Max Weber.

Menurut Gus Dur etika ini ada juga dalam Islam. Jika benar demikian maka kedua agama yang berasal dari keturunan Nabi Ibrahim ini mempunyai titik sandar yang sama, bukannya potensial menjadi predator satu sama lain.

Dunia telah mengenal benang merah panjang, mulai dari alienasi Adam dan Hawa di luar Firdaus yang diajarkan agama-agama samawi, terpisahnya fenomena dan noumenanya Kant, Hegel dengan Ide Absolut (Logos, God, Tuhan) yang teralienasi menjadi manusia yang kesadarannya terbenam ke dalam kesatuan besar pemikiran ideal (terlebur ke dalam sejarah massa), pelacurnya Moses Hess yang faktor reproduksinya (seksnya) diasingkan menjadi komoditi dan diberi harga sebagai barang ekonomi, Fueurbach dengan Manusia adalah subjek dan Tuhan adalah predikat, sampai kepada Marx yang mengatakan bahwa manusia proletar itu adalah manusia yang tenaganya (faktor produksinya) tercerabut, terasing, menjadi milik kaum kapitalis.

Untuk kembali kepada dirinya (untuk menghilangkan alienasi itu), manusia proletar harus mengadakan revolusi proletar. Ini artinya menghalalkan pembunuhan.

Titik sandar eksistensialisme adalah nasib manusia individu. Kesibukan batin seorang eksistensialis berputar-putar di sekitar kesunyian, duka nestapa dan keraguan manusia.

Itulah semua kebenaran eksistensial. Semuanya ada dalam diri manusia individu dan bukan dalam massa. Beban penderitaan manusia (salib) dipikul oleh Kierkegaard dengan kemampuannya yang terbatas, menggiring jalan sengsara Kristus menuju kematian dan kebangkitan.

Berbeda dengan Kierkegaard Nietzsche mengatakan bahwa kalau Tuhan yang demikian itu (Tuhan yang menciptakan kesunyian, gempa bumi, banjir, peperangan, duka nestapa, nausea dan keraguan yang maha berat itu) harus dibunuh, diganti dengan superman. Tuhan (moralitas) harus dibuat nihil (nol, tiada). Nihilisme Nietzsche ini sangat mempengaruhi Hitler. Sementara itu, Mussolini dipengaruhi oleh Hegel.

Keduanya menenggelamkan manusia individu ke dalam lautan massa yang mengalir secara dialektis dalam sejarah bagaikan listrik tanpa peduli pada batin manusia individual yang menderita peperangan, ketakutan, kelaparan dan putus asa. Camus, menemukan dalam kesadaran kehidupan kendala eksistensial yang disebutnya absurd wall (tembok absurd).

Ini adalah nama lain dari salib pada dunianya Kierkegaard. Namun, Camus tetap memenej kendala (absurditas) itu dalam panggung kehidupan.

Di atas panggung kehidupan ini ada tiga tokoh dramatis yaitu kesadaran manusia, dunia di depan kesadaran itu dan kendala yang timbul ketika kesadaran ingin bersatu dengan dunia. Ia tidak ingin membunuh salah satu dari tiga tokoh drama kehidupan itu. Ia mengritik keras loncatan imannya Kierkegaard yang dikatakannya sebagai bunuh diri secara metafisik karena hanya mencemplungkan diri ke dalam absurditas (ke dalam kontradisi dan kemustahilan).

Camus sendiri hanya sampai kepada kesadaran. Dia sadar bahwa dia fana dan karena itu dia merdeka.

Hanya itu. Tanpa akhirat dan hanya memilih melakukan tarian moral di panggung kehidupan, dengan tidak menolak Tuhan sebagai noumenon (sparring partner fenomenon). menolak bunuh diri dan membunuh orang atas dasar tuntunan hatinurani. Ia malah mengeritik Sartre. Bilamana Sartre memegang sebuah batu, esensinya lenyap, diganti dengan eksistensi murni: suasana batin yang merasakan kefanaan, kepercumaan dan nauseating.

Semua ini adalah suatu permulaan bagi seseorang eksistensialis untuk menciptakan dirinya sendiri melalui pilihan yang bebas, sebebas musik jazz yang berkelanjutan tanpa akhir.

Yang dikritik Camus adalah pilihan Sartre untuk engage dengan revolusi berdarah. Sartre dielu-elukan di Tiongkok ketika ia mengunjungi negeri itu.

Terjemahan Indonesia karya-karya filsup dan sastrawan eksistensialis dunia belum banyak. Maksudnya eksistensialisme ke Indonesia hanya melalui karya segelintir sastra ide (esei, cerpen, novel dan puisi). Pertempuran antara Lekra dan Manikebu dulu adalah pertempuran antara Marxisme versus Eksistensialisme religius tetapi sayang setelah seorang kopral memimpin negeri ini, timbul pembiaran pada religi bergerigi politik, bertaring fanatisme dan premanisme bernyala-nyala membakar membom. Iman yang dinamis telah dihanguskan oleh terorisme individual dan golongan yang lahir dari aktivisme massal tanpa refleksi.***

Pergolakan PRRI dalam Cerpen

Damhuri Muhammad*
http://cetak.kompas.com/

”Saya hadir dalam pertemuan Dewan Banteng di Bukittinggi (1956). Malam itu telah mengubah wajah Sumatera Tengah, dan menyeretnya ke suatu medan laga mengerikan,” begitu pengakuan Soewardi Idris (1930-2004), satu-satunya jurnalis yang menyaksikan pertemuan rahasia tokoh-tokoh PRRI.

Setelah itu Soewardi bergabung dengan PRRI, tiga tahun masuk-keluar hutan hingga akhirnya ”turun gunung” setelah mendapat amnesti dari pemerintah. Soewardi bukan ”pembangkang” biasa. Ia wartawan, juga sastrawan—bukan tentara atau bekas tentara seperti pemberontak lainnya. Setelah lelah bergerilya, ia menukilkan asam- garamnya perjuangan PRRI melawan pemerintah pusat, tulisan-tulisan itu digarapnya menjadi karya sastra. Soewardi telah menulis novel Dari Puncak Bukit Talang (1964), dan dua antologi cerpen; Di Luar Dugaan (1964) dan Istri Seorang Sahabat (1964). Dua buku terakhir, baru-baru ini diterbitulangkan oleh penerbit Beranda (Yogyakarta, 2008) dengan tajuk Antologi Cerpen Pergolakan (senarai kisah pemberontakan PRRI).

Menurut kritikus HB Jassin (1985), cerita tentang pemberontakan PRRI yang meletus pada 1958 itu tidak banyak karena para pengarang menganggap pemberontakan itu kurang menarik, dianggap tabu. Karena itu, mereka takut membicarakannya. Beberapa cerpen karya A Bastari Amin memang menyinggung soal ini, juga sajak-sajak Mansur Samin, tapi hanya Soewardi Idris yang keseluruhan karyanya mengambil tema pemberontakan PRRI. Itu sebabnya, Wisran Hadi (2008) hendak menyejajarkan kepengarangan Soewardi dengan AA Navis, khususnya dalam pilihan tematik, pergolakan daerah. Lagi pula, keduanya sama-sama berasal dari Sumbar dan masa kekaryaan mereka berada pada kurun yang sama.

Sisi menarik dari Soewardi adalah ketertarikannya yang begitu intens pada moralitas para pejuang PRRI, menjelang kegagalan gerakan itu. Semacam sisi lain dari individu-individu pemberontak yang tidak tercatat di buku-buku sejarah. Ia tidak membincang sebab-musabab pemberontakan itu, tapi menukik untuk sedalam-dalamnya mengeksplorasi situasi mental para pejuang akibat perang saudara itu. Ia seperti hendak menakar berapa banyak istri yang telah menjanda lantaran suaminya tewas, berapa banyak anak-anak yang telah yatim lantaran bapaknya terbunuh, berapa banyak orangtua yang telah kehilangan anak lantaran terlibat dalam pergolakan. Karya-karya Soewardi banyak memaklumatkan ”mudarat” ketimbang ”maslahat” dari pergolakan itu. Kalah jadi arang, menang jadi abu.

Strategi literernya jauh dari pengisahan yang dramatik dan heroik sebagaimana teks-teks sastra yang menggambarkan kemelut perang. Ia pencerita yang memang sedang memikul, namun serasa tiada berbeban, karena kuatnya sense of humor dalam cerita-ceritanya. Cerpen ”Di Luar Dugaan” dapat mencontohkan keterampilan artistik yang unik dari cerpenis ini. Dikisahkan seorang pejuang PRRI yang mencegat kendaraan umum yang melintas di sekitar persembunyian mereka. Begitu bis berhenti, mereka mengepung, menurunkan semua penumpang, melucuti pakaian, merampas benda-benda berharga. Ini mereka lakukan karena penduduk setempat tidak sanggup lagi menyuplai logistik, sementara perlawanan tak boleh padam.

Dalam kekalutan itu, Hadi (tokoh rekaan) berhadapan dengan seorang wanita yang sudah dilucuti pakaiannya. Ia berusaha membela diri dengan mengatakan bahwa kakak iparnya juga sedang berada di hutan, bergabung dengan PRRI. Hadi mengurungkan niat ”menggarap” wanita itu setelah ia mengaku bahwa kakak iparnya itu bernama Hadi, asal Solok. Hadi gugup. Ia nyaris ”menggagahi” perempuan yang tak lain adalah istri adik kandungnya. Inilah yang dimaksud dengan ”kemudaratan” akibat pergolakan PRRI yang ditakar oleh Soewardi. Orang-orang yang semula teguh berpegang pada idealisme perlawanan, saat terdesak dan terkepung oleh APRI, bisa menghalalkan segala cara dan tak segan-segan memerkosa gadis-gadis kampung di wilayah yang ”konon” sedang mereka perjuangkan.

Akibat terlalu berani menyingkap mentalitas bobrok para pejuang PRRI, buku-buku Soewardi ditarik dari peredaran, master cetaknya dimusnahkan. Itu tidak datang dari pemerintah, tapi dari sejumlah mantan pejuang PRRI yang merasa dipermalukan. Tentang pemberangusan ini AA Navis menulis ”Tingkah Laku Bangsa Kita Mengganggu Penciptaan” (Kompas, 14/7/1981). Sejarahwan Taufik Abdullah juga mencatat, pada pertengahan dekade 1950- an, Soewardi pernah diadili secara in absentia oleh sejumlah sastrawan Yogyakarta karena karya-karyanya dianggap terlalu ”terbuka”. Terbuka di sini tentu saja ”jujur” atau dalam cemoohan khas Minang; ”lurus-tabung”.

Sebaliknya, cerpen ”Isteri Seorang Sahabat” (1964) memperlihatkan etos kesetiakawanan antarsesama pemberontak dalam keadaan terdesak sekalipun. Berkisah tentang Aku yang tercampak sebagai pecundang, gagal dalam perjuangannya, juga kehilangan istri. Karena tak kunjung pulang, Tini (istri tokoh Aku) menganggap suaminya sudah gugur, ia menikah dengan lelaki lain, lalu merantau ke Jawa. Sementara itu, Aku yang dengan mata kepala sendiri menyaksikan Martunus, teman seperjuangannya, ditembak mati oleh APRI, berusaha menutup-nutupi kabar kematian itu pada Nani (istri Martunus). Ia bahkan berpura-pura menyerahkan titipan uang dari Martunus untuk Nani, padahal uang itu dari kantongnya sendiri agar Nani teryakinkan bahwa suaminya benar-benar masih hidup. Namun, dari seseorang Nani beroleh kabar bahwa Martunus sudah tiada. Tapi kesedihannya berangsur-angsur hilang karena sejawat Martunus itu memberikan perhatian penuh kepada Nani, juga kepada anaknya. Nani ingin lelaki itu menggantikan posisi Martunus. Berkali-kali Nani bermohon, berkali-kali pula ia menolak ajakan menikah. Bukan karena tidak mencintai Nani, tapi karena ia tidak akan pernah mengkhianati sahabat karibnya sesama pejuang PRRI, Martunus.

Cerpen tentu bukan fakta sejarah dan mustahil menjadi buku sejarah. Bila sejarah mengacu pada kepastian epistemologis (benar-salah, terjadi-tidak terjadi), sastra berkiblat pada pencapaian kualitas estetik yang tak perlu diverifikasi keabsahannya. Meski cerpen-cerpen Soewardi memuat sejumlah fakta keras tentang ”sisi lain” pergolakan PRRI yang latar belakang dan tendensi politisnya masih diperdebatkan, itu hanya satu sudut pandang yang berbeda, yang lebih unik ketimbang perspektif sejarah yang dibebani kaidah keilmiahan, juga tendensi politis tertentu. Soewardi, lewat karya-karyanya, dengan cara yang bersahaja, memberikan warna baru pada konsep historiografi perihal sejarah PRRI agar tidak menjadi fakta yang baku dan beku, dan tidak disepakati secara tergesa.

*) Cerpenis, Bermukim di Pinggiran Jakarta

PURITISME DALAM SASTRA INDONESIA

S Yoga
http://terpelanting.wordpress.com/

Sebenarnya sudah lama hal ihwal kelamin menjadi pembicaraan dalam dunia kesenian kita, misal dalam candi-candi, candi Borobudur juga ada hal ihwal berhubungan antara lelaki dan wanita, dalam serat Centhini bahkan digambarkan bagaimana harus bermain, hari apa sesuai wetonnya dan ciri-ciri wanita dengan hal ihwal perempuan, bahkan dalam gua-gua sudah terpancak relief-relief yang bergambar kelamin, perhatikan lingga yang bersimbol penis juga. Ingat pula dalam Kamasutra, Asmorogomo, Ars Amatoria, dari buku (meski ini bukan karya sastra) Sanksekerta, Jawa dan Latin ternyata karangan-karangan itu tidak menunjukkan dan terkesan tuna susila atau pornografi, padahal menguraikan teknik hubungan seks dan seluk beluknya.

Jadi kenapa dalam masyarakat yang tambah modern ini kita jadi uring-uringan tentang hal ihwal perempuan maupun laki-laki, jangan-jangan tambah maju kita justru tambah puritan. Seolah merekalah yang berhak menentukan tata susila yang berlaku. Estetika dalam karya sastra haruslah sesuai dengan moral mereka kalau tidak maka karya tersebut bersifat tuna susila. Karya yang menguar kelamin dianggap sebagai sastra populer, kurang bermutu. Kalau ini terjadi maka terjadilah sikap puritisme dalam sastra Indonesia. Pertanyaan kita mereka itu mewakili kelas apa? Kelas menengah-atas atau kelas bawah yang melihat kemajuan zaman dengan enjoy dan rileks.

Tulisan Imam Cahyono Berharap kepada Perempuan Penulis, Sinar Harapan, 21/12/2003 setali tiga uang denga peristiwa kontra goyang Inulmania beberapa waktu lalu. Seolah kalangan menengah benar-benar ditelanjangi tata susilanya diudal-udal oleh Inul, dan marah-marah karena mereka menganggap apa yang dilakukan Inul itu tidak sopan, berdosa dan harus diberantas. Tapi apa yang terjadi, karena Inul adalah ikon pemberontakan, (bahkan dalam majalah Time, Inul disamakan dengan fenomena Joan Jet) resistensi, dari budaya masyarakat bawah, budaya massa maka Inulmania tetap lestari, khususnya di kalangan bawah, itulah perlawanan budaya yang dilakukan masyarakat bawah menghadapai budaya kelas menengah yang dinilai terlalu kaku, dogmatis dan hanya melegitimasi status quo mereka saja, sebagai pengemban peradaban. Di mana pun kita berada pasti ada sebuah kutub budaya, sejak zaman dulu hingga sekarang, yang satu mengatasnamakan budaya adiluhung yang satu mewakili budaya pinggiran, bawah dan selalu dinilai jelek oleh kalangan menengah-atas. Tapi jangan lupa, melihat Inul bergoyang kita marah-marah dan menyalahkan moralitas yang diusung Inul, padahal diam-diam suami kita asyik mengoleksi vcdnya, bergoyang di diskotek, atau langanan majalah Playboy. Inikah gambaran masyarakat kita yang tertutup tapi ketika ada kesempatan diam-diam berasyik ria. Itulah cermin masyarakat yang munafik dan mau menangnya sendiri. Nilai-nilai estetik seolah merekalah yang memegang dan kalau tidak sesuai dengan kebenaran yang mereka percayai maka semua karya seni adalah buruk dan tuna susila.

Di dalam sejarah sastra dunia kita telah mengetahui pernah terjadi penindakan pemerintah terhadap pengarang dan karya sastra yang didakwa isinya telah melanggar moral umum. Di Perancis pengarang Gustave Flaubret pernah dipanggil ke muka hakim untuk mempertanggungjawabkan penulisan romannya Madame Bovary yang dianggap tidak sopan. Demikian juga pemerintah Inggris dan Amerika telah melarang terbitnya Ulysses karangan James Joyce dan Lady Chatterley’s Lover karangan D.H. Lawrence yang menguar masalah homoseksual dan lesbian dengan alasan yang sama. Namun demikian seiring berjalannya waktu karya-karya tersebut ternyata medapatkan kedudukan yang terhormat dan menjadi karya klasik, kelas satu.

Jika kita mempermasalahkan karya sastra para pengarang muda yang berjenis kelamin perempuan, Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Dewi Dee Lestari, Herlinatiens, Fira Basuki dan masih banyak lagi, yang dianggap karyanya lebih bersifat sesaat dan pupuler karena banyak mempermaikan alat kelamin, tuna susila maka yang perlu pertanyakan siapa sih yang memiliki otoritas dan berhak menentukan kesopanan atau esetika sastra itu? Perlu diketahui bahwasanya ukuran-ukuran tuna susila dalam sastra dari waktu ke waktu senantiasa berubah menurut zamannya. Dulu ketika terbit roman Armjn Pane, Belenggu, pada tahun 1940 tidak sedikit orang merasa tersingung kesadaran susilanya oleh adegan tokoh utama dokter Sukartono yang menghadapi pasien perempuan yang tersingkap kainnya sehingga tampak bagian pahanya. Sekarang karena perkembangan zaman, era globalisasi, bertebaran roman-roman picisan, Nick Carter, tabloid lher di mana-mana, vcd porno marak, adegan ciuman di film tv, sudah biasa, akses internet sangat terbuka, adegan di dalam Belenggu itu boleh dikata sama sekali tidak menjadi perhatian pembaca karena tidak menyinggung kesadaran apa pun, kecuali membangkitkan kesan-kesan yang sentimentil.

Karya sastra yang mengandung pengalaman erotik dengan uraian yang plastis sampai kepada kejadian yang sekecil-kecilnya dapat kita jumpai juga di dalam karya sastra daerah. Barangsiapa yang mempelajari sastra Jawa tentu akan mengenal Gatoloco, karangan yang berisi ajaran mistik Islam Jawa yang sudah tergolong dalam karya-karya klasik, yakni karya-karya yang telah memperoleh kedudukan yang terpadang dan terhormat di tengah-tengah bacaan lain. Mistik di dalam karangan itu diuraikan melalui simbolik seksual. Sekalipun memiliki suasana lokal serta bentuk ekspresi yang lain, karangan itu amat dekat sifarnya dengan puisi mistik India seperti yang terkadung dalam Prem Sagar dan Gita Govinda atau dengan sajak-sajak Arab-Persi seperti yang dikarang oleh Hafiz dan Ibn Hizam yang mempersenyawakan juga persatuan antara Khalik dan makhluk dengan persatuan tubuh antara laki-laki dan perempuan.

Kalau dibaca adegan itu saja dengan tidak memperhatikan keseluruhan cerita, maka berhak kita mengecap pengarang-pengarang itu sebagai pengumbar tuna susila. Demikian juga dengan karya-karya sastra lain bila kita hanya memperhatikan peristiwa hal ihwal kelamin maka karya tersebut bisa bersifat cabul. Tapi karya sastra itu adalah keutuhan dan tak bisa dipisah-pisahkan, motif-motif tokoh-tokohnya untuk melakukan hal-hal tersebut yang perlu ditandai, kenapa tokoh tersebut melakukan hal itu, pengarang ingin melukiskan karakter-sifat macam apa, tinggal pembaca mengambil hikmahnya dari peristiwa tersebut. Misal dalam cerpen Djenar Mahesa Ayu yang berjudul, Aku Menyusu Ayah, ia sedang mendekontruksi patriaki dalam peradaban kita. Jadi tema utamanya adalah kebiasan gender antara laki-laki dan perempuan dan bukanya mengeksploitasi alat kelamin dan sekitarnya, bedakan dengan karangan-karangan roman picisan yang benar-benar mengeksploitasi alat kelamin agar kita benar-benar terangsang dan berdebar-debar, dan ceritanya hanya gerakan-gerakan bersetubuh yang itu-itu juga, kadang kita menjadi muak. Tapi dalam karya-karya pengarang perempuan yang sengaja dikutip Imam Cahyono, hal itu tidak terjadi, para pengarang hanya melukiskan bahkan itu hanya dalam percakapan, keinginan atau kehendak untuk melakukan persetubuhan tanpa detail-detail yang merangsang kita, itu merupakan peristiwa yang memang mestinya terjadi dalam cerita, tanpa hal itu cerita tidak akan terangkat apa yang diinginkan pengarang baik karakter, tema, suasana dan gaya.

Karya sastra seperti yang kita ketahui, setiap karya seni yang berhasil, adalah suatu kesatuan yang organis yang mengandung kepaduan gaya, suasana dan cerita. Kesatuan itu terdukung oleh tema yang pokok. Dari asas estetik ini kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa selama adegan yang menguraikan secara terperinci perbuatan seks merupakan unsur yang organis di dalam kesatuan karya sastra sehingga jika ditiadakan akan mengganggu dan merusak kepaduan gaya, suasana dan cerita, maka tidak berhaklah kita menunduh karya sastra itu tuna susila atau hanya bersifat populer. Sebaliknya di dalam karya yang bersifat pornografi adegan-adegan seks dapat dihilangkan tanpa mengganggu atupun merusak kepaduan gaya, suasana dan cerita. Ada baiknya tulisan ini kita tutup dengan petikan puisi La Ronde karya Sitor Sitomorong yang terkenal itu karena melukiskan persetubuhan.

Lalu, paha, pualam pahatan
mendukung lekung perut.
Berkisar di pusar, lalu surut
agak ke bawah, ke pusar segala.

Hitam pekat siap menerima
dugaan indah.
Ah, dada yang lembut menekan hati
Terimalah
kematangan mimpi lelaki !

The Stranger, Satirnya Peradilan Albert Gamus

Free Hearty
http://www.padangekspres.co.id/

Karya Albert Camus The Stranger adalah Sastra yang penuh filosofi. Proses peradilan Meursault, tokoh utamanya, bernuansa filosofis yang dalam. Hal-hal tidak asing (lumrah) yang ter-asingkan atau hal asing (tidak pantas) yang ter-biasakan adalah salah satu perspektif yang bisa diungkap dari karya ini. Kita kadang merasa asing di negara sendiri, di rumah sendiri atau bahkan dengan diri sendiri. Kita mungkin merasa asing dengan hal baru, namun menjadi tidak lagi asing ketika sudah terbiasa.

Melalui The Stranger, kita ‘diingatkan’ kepada hal-hal asing (baca: tidak patut) yang dibiasakan, atau hal yang biasa (baca: patut) namun menjadi asing yang terjadi di sekitar kita. Pembaca diantarkan pada konflik hidup dan kehidupan manusia bahkan disadarkan pada ketuhanan melalui ketidakbertuhanan tokoh Meursault dalam novel The Sranger.

Camus menangkap hal biasa yang sering terabaikan. Penjelasannya membuat pembaca bisa tergelitik, kaget, merenung dan bahkan “meringis” menyadari yang terluput dari pengamatan padahal dialami dalam keseharian. Proses peradilan tokoh Meursault membuat pembaca terkejut kecut dan menggeleng takjub menyaksikan kekuasaan dan kekuatan kata-kata yang dimainkan penguasa dalam menentukan nasib manusia.

Camus dengan satir memotret peradilan terhadap Meursault. Fakta, bukti dan alibi begitu penting dalam persidangan padahal ini bisa direkayasa. Maka kepiawaian, kecerdikan bahkan kelicikan penuntut atau pembela menjadi penting. Penggambaran kepiawaian penuntut dalam memberikan alibi dan bukti, menjadi satir lewat tangan Camus. Tuntutan terhadap Mersault terkesan menggelikan. Padahal persoalan yang diangkat penuntut adalah hal biasa yang tidak bersangkut paut dengan kesalahannya. Toh kesimpulan penuntut telah menggiring Meursault kepada hukuman mati.

Meursault ditokohkan apa adanya dalam menjalani kehidupan tanpa harus mengerti tentang hidup. Baginya hidup memang tidak untuk dimengerti, tetapi mengerti agar bisa hidup, meskipun dia akhirnya juga direnggut maut. Meursault mengamati dengan ketidakmengertian tetapi ia paham. Mengerti dan paham dari perspektif Meursault adalah dua hal yang berbeda. Pengertian menggiring ke arah pemberontakan, sedangkan pemahaman membuat dia menerima yang terjadi tanpa perlu berontak.

Meursault paham bahwa manusia akhirnya terbiasa pada apa saja. Ia memahami ibunya saat menolak ketika pindah ke rumah jompo lalu terbiasa setelah beberapa lama berada di sana. Salamono, tetangganya selalu berkelahi penuh kemarahan dengan anjing kurapnya, lalu menangis sedih ketika anjingnya hilang, namun terbiasa pula setelah kehilangan itu. Meursault pun terbiasa dikunjungi kekasihnya sebelum di penjara dan terbiasa pula ketika tidak lagi dikunjungi saat di penjara. Meursault memahami dan menghadapi semua dengan biasa lalu membiasakan diri.

Cahaya matahari yang panas telah menempatkan Meursault dalam posisi yang salah. Cahaya matahari membuat dia bosan, kepanasan dan kehausan, sehingga menerima saja tawaran susu untuknya saat ibunya meninggal tanpa melihat wajah ibunya tersebut, lalu ia tertidur. Matahari yang menyengat ini pula telah membuat tertembaknya seorang Arab secara tidak sengaja oleh Meursault. Matahari ini juga membuat ia gerah dan lelah di ruang sidang sehingga jawaban konyol bahwa “itu karena matahari” sebagai alasan semuanya terjadi tidak bisa diterima, meski itu benar-benar penyebabnya.

Lalu saja hal seperti: lupa usia ibunya, pergi berenang, menerima tawaran rokok, pergi menonton dan berkencan dijadikan alibi dan bukti yang menunjukkan ketidak bermoralan Mersault. Maka Mersault layak dijatuhi hukuman mati!. Hal-hal biasa yang dilakukan manusia bila tertekan, lelah dan butuh refreshing, menjadi janggal menurut aturan simbolis yang telah mewacana.

Meursault dituntut harus menunjukkan sikap dan perilaku seperti aturan dan tatanan yang telah dikonstruksi. Manusia membuat aturan simbolis, kemudian mereka diatur oleh aturan simbolis tersebut. Aturan ini dalam sistem dikonstruksi menjadi hukum pengadilan formal. Perilaku Meursault secara tatanan yang berlaku dimaknai sebagai sikap yang tidak menunjukkan keprihatinan dan kesedihan atas kematian ibunya dan dianggap bermasalah secara kejiwaan yang memperkuat alibi bahwa ia bersalah.

Albert Camus dengan satir menggambarkan bahwa dalam proses hukum keputusan bersalah atau tidak bukan pada unsur kejahatan itu sendiri, tetapi pada kepiawaian penuntut atau pembela dalam memainkan peran. Dalam peran inilah vested interest sering muncul. The Stranger karya Albert Camus yang sarat falsafah hidup atau falsafah mati, menyadarkan kita akan adanya perasaan menjadi asing dalam kehidupan yang bahkan sangat kita kenal.

Hal yang tidak kita sadari ada di sekeliling kita meski tidak asing, sekali waktu menjerat kita pada posisi seperti dialami Meursault. Kehidupan manusia bisa dan sering berakhir karena nasib sial saja. Berada pada tempat yang salah pada waktu yang salah, bisa saja dialami oleh orang-orang baik yang kemudian mengalami nasib buruk karena kesialan proses di peradilan. Atau nasib bagus bisa juga dialami orang-orang jahat dan bejat yang mendapat kesempatan baik berkepanjangan dan tidak bisa tersentuh peradilan. Inilah rahasia Tuhan yang menguasai peradilan tertinggi.

Kenapa The Stranger sangat populer? Karena Camus mengungkap hal sangat universal dan terjadi di mana saja. Camus mengingatkan kita bahwa ruang pengadilan bisa menjadi ruang yang justru menafikan keadilan itu sendiri. Ini juga terjadi di Indonesia tercinta!

Sastra & Lokalitas, ‘So What Gitu Loh’…!

Ari Pahala Hutabarat*
http://www.lampungpost.com/

DI Lampung perbincangan mengenai lokalitas sering menjebak kita untuk membawa kembali tradisi dari masa lalu ke masa sekarang. Kita takut sekali dianggap sebagai anak tiri atau anak haram dari tradisi.

Pertanyaannya, apakah kita mempunyai ayah dan ibu kandung tradisi ini? Apakah pernah ada orisinalitas itu, sesuatu yang murni, dari tradisi Lampung? Jawabnya, tidak ada.

Ini bukan hanya berlaku bagi tradisi Lampung. Ini juga berlaku bagi seluruh tradisi di muka bumi ini. Tidak ada yang dapat mengaku tradisinya asli, orisinal. Cultural studies secara ilmiah mampu membuktikan hal tersebut–klaim orisinalitas merupakan sebentuk imajinasi buatan kaum modernis.

Secara genealogi tradisi Lampung merupakan anak dari tradisi Islam dan Hindu. Kita dapat menyatakan tradisi Islam sama dengan Arab, Hindu sama dengan India. Jadi, mana tradisi Lampung yang orisinal gitu loh…!

Jangankan tradisi, agama saja tidak ada yang orisinal. Setiap agama selalu menyerap unsur dari agama sebelumnya. Jadi, dapat saya katakan keinginan kita teguh terhadap tradisi adalah mimpi di siang bolong.
***

Seluruh seniman besar di dunia adalah orang yang mampu berpikir secara global dan bertindak secara lokal. Sebut saja Derek Walcott, Isaac Bashevis Singer, Naguib Mahfouz, Yasunari Kawabata, Yukio Mishima, Gao Xing Jian, Rabindranath Tagore, Octavio Paz, Gabriel Garcia Marquez, Salman Rusdhie, V.S. Naipaul, dan Toni Morrison.

Dramawan Ong Keng Sen, Peter Brook, Grotowsky, Barba, Tatsumi Hijikata, Sardono W. Kusumo, Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Yudi Ahmad Tajudin, contoh-contoh yang lain. Mereka mempunyai satu kesamaan, memberikan tafsir baru terhadap tradisi yang ada di muka bumi ini melalui sudut pandang universal atau global.

Yasunari Kawabata sosok manusia Jepang yang paham tradisinya, hidup sungguh-sungguh dalam tradisi itu. Tetapi, di lain sisi ia mempertanyakan tradisinya. Dengan tekun Kawabata menyadap daya ucap dan cara ucap tradisi bushido Jepang.

Dengan cerdik pula ia kawinkan daya ucap dan cara ucap itu dengan global–dalam hal ini cerpen dan novel modern. Dia dan banyak sastrawan lainnya tidak berkukuh dengan tradisi-tradisi yang beku. Karena mereka tahu kekukuhan yang konyol itu akan membawa kesumukan laiknya anak-anak ABG yang baru merambah dunia seni.

Di lain pihak, Peter Brook dan Ong Keng Seng dengan sangat cerdik mengangkat langsung tradisi yang hidup di berbagai negara. Ong Keng Seng dalam setiap produksi teaternya secara eksplisit membiarkan tradisi tersebut bermain di panggung. Tetapi, tradisi-tradisi tersebut tidak memainkan diri sendiri.

Mereka asyik bersenda-gurau dengan bentuk-bentuk tradisi lain, lalu bersama-sama membicarakan hal-hal yang universal. Ada tema universal yang dibicarakan di panggung itu karena kalau tidak, mereka sama saja mengangkat museum-museum ke panggung.

Kenyataan seperti di ataslah yang membedakan karya seni dengan benda-benda yang dipajang di museum. Di museum, tradisi masa lalu dibiarkan atau diawetkan apa adanya. Romantisme menjadi kekal. Waktu berhenti karena ruangnya pun berhenti. Sedangkan dalam karya seni, tradisi bisa saja menjadi spirit sudut pandang tertentu dengan mempertimbangkan kenyataan sekarang.

Atau, bisa juga tradisi digunakan bentuknya sebagai oposan terhadap bentuk-bentuk yang hidup dalam kenyataan sekarang. Dalam karya seni, kata “tradisi” menjadi kata kerja bukan kata benda.

Tradisi tidak perlu dilestarikan, karena memang dia belum mati. Tradisi tidak perlu diangkat karena dia memang selalu berdiri sejajar dalam kenyataan hidup.

Tetapi, kita dapat melakukan hal-hal seperti itu hanya jika kita mampu membaca peta secara universal. Tanpa wawasan universal, kita pasti akan mengatakan tradisi kitalah yang paling unggul atau tradisi kitalah yang paling orisinal. Tanpa wawasan universal kita akan terjebak romantisme, yang sama saja dengan menyepelekan tradisi tersebut.

Berarti di satu pihak kita harus berdiam dalam tradisi, tetapi di lain pihak harus bisa mengambil jarak secara dingin terhadap tradisi. Untuk Indonesia dan Lampung, sastrawan yang berpikir global dan bertindak secara lokal adalah kewajiban karena kita akan rugi kalau kita berkukuh kepada hal-hal yang global itu padahal kita sudah tahu pemetaannya.

Sesudah tinggal di New York selama sekian bulan Sardono W. Kusumo kembali ke Solo dan menggarap “Sagmita Pancasona” yang sangat lokal. Sesudah kuliah sekian bulan di New York barulah Rendra sadar realisme ala Stanilavsky bukanlah segalanya. Setelah melanglang buana ke Eropa dan Jepang barulah Putu Wijaya mendayagunakan tradisi Bali-nya. Sesudah lelah bertahun-tahun memainkan karya Shakespeare secara standar barulah Peter Brook menengok kembali tradisi bentuk-bentuk teater lokal yang ada di Asia.

Apa kesamaan yang ada pada diri mereka? Semuanya mempunyai wawasan seni yang kosmopolit, tetapi juga mampu mendayaucapkan tradisi asal untuk berdiri sejajar dengan kemapanan konvensi Eropa dan Amerika. Bahkan, mereka menciptakan mainstream baru yang turut memperkaya khazanah kebudayaan dunia. Bentuk baru yang sudah lolos berkelit dari klasifikasi lokal-global, tradisi-modern.

Peter Brook, Jerzy Grotowski, Rendra, dan sebagainya adalah contoh orang-orang yang seperti Nabi Muhammad saw. telah memproses mikraj untuk kemudian kembali mendayagunakan lokalitas masing-masing. Dengan cara seperti itu kita tidak menjadi sumuk dan mengatakan karya kita penuh muatan-muatan lokal.

Pertarungan karya selanjutnya adalah pertarungan strategi, sehingga kita mampu berargumentasi secara luas dan ilmiah dengan mengedepankan tradisi di pentas-pentas global dengan cara ucap yang universal.

Sebagaimana yang dilakukan sastrawan Amerika Latin yang cerdik menggunakan bahasa Inggris dan Spanyol–notabene merupakan bahasa asli Eropa–untuk menyampaikan visi dan misi tradisi Amerika Latin mereka. Modernisme yang tadinya sangat jumawa berperan sebagai tuan, ditarik dari tahtanya, dan hanya dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan spirit pemberontakan mereka.

Bahasa Inggris dan Spanyol menjadi senjata makan tuan bagi Eropa. Karya-karya mereka ditulis dalam bahasa Spanyol dan Inggris terjual jutaan eksemplar, tetapi isi karya-karya mereka secara eksplisit menggugat tradisi ke-Eropa-an.

Tak salah jika pernah seorang sastrawan Inggris berkata novel-novel terbaik yang berbahasa Inggris sekarang ini bukan diciptakan orang-orang Eropa tetapi ciptaan orang India, Amerika Latin, dan Cina peranakan, yang notabene merupakan anak tiri dari tradisi Eropa.

Eropa kecolongan. Bahasa yang tadinya merupakan alat imperialisme dan kolonialisme yang begitu penting sekarang ini berbalik menyerang mereka. Pengertian novel dan puisi modern disisipi, dipengaruhi, kemudian dijungkirbalikkan sastrawan-sastrawan Amerika Latin tersebut.

Via realisme mereka menciptakan realisme magis. Dan via realisme magis itulah sastrawan-sastrawan amerika latin menguasai dunia. Surealisme direbut dan diberdayakan mereka. Andre Breton dan Sigmund Freud menjadi seperti macan ompong jika dibandingkan kenyataan sehari-hari yang sangat surealistik di Amerika Latin.

Di Indonesia Danarto pun melakukan hal yang sama. Tanpa pernah berkoar ia mengangkat tradisi, ia langsung mendayagunakan tradisi dalam karya-karyanya yang universal dan kosmopolit itu. Dengan sangat piawai Danarto menggunakan tradisi Jawa yang tidak orisinal, langsung menukik pada inti tradisi yang ada di seluruh dunia, yang dengan sangat brilian diwakili tradisi Islam, yaitu wahdat al wujud atau manunggaling kawula gusti. Sebuah konsep yang universal yang ada pada setiap agama dan peradaban di dunia.

Sosok Danarto seharusnya kita tiru karena tidak berkoar dan tidak ge-er mengatakan tradisi harus diangkat dan lain sebagainya. Danarto secara praktis bermain menembus batas-batas semu ruang profan-profetik, ruang modern-tradisi, ruang ukhrawi-duniawi. Dengan sangat lincah Danarto “membadankan” visi-visi universalnya dalam tokoh-tokoh yang sangat Jawa dan Indonesia.

Batas-batas geografis menjadi panggung yang nisbi bagi tokoh-tokoh Danarto. Hamlet yang hidup di masa lalu dengan asyik saja masuk dan bermain di tanah Jawa. Ruang penciptaan adalah ruang yang netral. Kita seharusnya seperti anak-anak yang bermain, yang mudah saja beralih peran dari agama yang satu ke agama yang lain, dari ruang yang satu ke ruang yang lain tanpa rasa bersalah. Seorang sastrawan adalah seperti anak kecil dengan tubuh yang dewasa atau seperti para nabi dan waliullah yang dengan lincah bergerak menembus batas ruang dan waktu.
***

Saya sependapat dengan Oyos Saroso H.N. yang mengatakan seharusnya seorang sastrawan memberikan tafsir baru terus-menerus terhadap nilai atau bentuk dari lokalitas. Seorang sastrawan mestinya menjadikan nilai-nilai tersebut inheren, intrinsik dalam pikiran dan tubuhnya.

Dengan begitu, kata lokal, tradisi, etnisitas, dan lain sebagainya tak sekadar tempelan artistik dalam karya seni. Nilai lokal yang inheren itu akan ia olah dengan wawasan universal, buah pergaulannya terhadap dunia.

Ada persilangan, persetubuhan yang menarik di sini. Bertemunya dua arus besar yang membangun peradaban lokal/global. Hasilnya? Tentu akan sangat menarik.

*) Spiritualis di Komunitas Berkat Yakin (KoBER) Lampung.

Ketika Barat Menginspirasi Timur

Hujuala Rika Ayu*
http://www.jawapos.com/

SEBAGAI seorang anak perempuan yang terlahir dengan latar belakang bangsawan, Kwei-lan merasa telah mempelajari semua hal yang harus dilakukan seorang istri untuk memenangkan hati suaminya. Tidak hanya masak dan berdandan saja, tapi ia juga telah memenuhi standar kecantikan di mana seorang gadis semenjak kecil harus mengikat kakinya sehingga kaki-kakinya menjadi pendek dan mungil. Namun, kaki-kaki mungil, pintar memasak dan berdandan tidak cukup untuk memenangkan hati suaminya yang telah mengarungi empat lautan itu.

Begitulah kurang lebih isi novel yang diusung Pearl Sydenstricker Buck, penulis Amerika yang mendapatkan hadiah Nobel Sastra 1938. Penulis yang biasa menyingkat namanya menjadi Pearl S. Buck ini tinggal di Tiongkok sejak kecil. Hal inilah yang membuat karya-karyanya -seperti Madame Wu, Surat dari Peking, dan Maharani- sarat akan budaya dan nilai-nilai Tiongkok. Karya-karya Pearl S. Buck secara khusus memotret kehidupan perempuan Tiongkok dan perjuangan mereka pada saat itu dalam masyarakat Tiongkok yang sangat patriarkis.

Novel ini merupakan novel debutan Pearl S. Buck yang berseting 1930-an. Secara bentuk, novel ini terasa begitu familiar dengan pembaca. Pembaca seolah benar-benar dibawa terbang menyusuri setiap kalimat demi kalimat. Hal itu karena penggunaan the first person point of view ”aku” dalam novel ini. Kata ”aku” yang merujuk pada karakter utama Kwei-lan dan kau yang merujuk pada Saudari bertebaran di setiap halaman novel ini. Selain itu, gaya penceritaan epistolary atau bentuk surat membuat novel ini menjadi tidak biasa. Novel yang dibuka dengan kalimat, inilah yang bisa kukatakan kepadamu, Saudariku (hlm. 9) –ditujukan kepada seseorang yang dipanggil Saudariku oleh karakter utama Kwei-lan– langsung membuat perhatian pembaca tersedot.

Hal lain yang tidak kalah menarik dari unsur bentuk adalah isi novel yang begitu enchanted. Kisah suami istri yang menikah kemudian punya anak sudah jamak terjadi dalam kehidupan. Namun kisah Kwei-lan dan suaminya membuat kita terpengarah akan kompleksnya konflik yang dihadapi pasangan ini. Kwei-lan adalah representasi wanita Tiongkok konvensional yang harus mengalami cultural chaos dengan suaminya yang juga asli Tiongkok tapi ber-mind-set Barat. Tidak mudah baginya untuk menghadapi dan beradaptasi dengan suami yang secara fisik adalah orang Tiongkok dengan ”pikiran orang seberang lautan”. Bagi Kwei-lan, lelaki yang dikenalnya sejak ia berumur empat tahun itu tak ubahnya makhluk alien dari planet lain yang tak ia kenali. Lihatlah bagaimana respons Kwei-lan tentang suaminya itu pada pertemuan pertama mereka. Namun, begitu ia masuk mengenakan pakaian asing yang aneh itu, aku tak mampu mengucapkan kata-kata itu. Mungkinkah aku telah menikah dengan orang asing? Ia jarang berkata-kata dan pandangan matanya kepadaku hanyalah sekilas, meskipun aku mengenakan pakaian satin merah muda persik dan jepit bertatahkan mutiara di rambutku (hlm. 11).

Novel ini sedikit memberi kejutan kepada pembaca. Suami Kwei-lan yang awalnya digambarkan sebagai sosok yang dingin dan acuh tak acuh, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang begitu konsen akan kebebasan istrinya dari belenggu tradisi dan mistis Tiongkok yang kolot. Di sini, suami adalah sang ”feminis” pendobrak kungkungan. Berbekal otak Barat dan ilmu kedokteran, sang suami sedikit demi sedikit membantu Kwei-lan untuk bebas dari masyarakatnya yang patriarkis.

Perubahan pertama yang dilakukan suami adalah membebaskan Kwei-lan dari kewajiban ”melayani” keluarga pihak lelaki terutama ibu suaminya dengan membawa Kwei-lan tinggal terpisah dari mereka. Menurut adat, setelah menikah Kwei-lan adalah milik suami dan keluarga sang suami. Hal ini membuat Kwei-lan terkejut karena ia menganggap bahwa apa yang dilakukan suaminya melanggar adat istiadat. Dalam novel ini, Kwei-lan mengatakan, suamiku berani mengatakan bahwa ibunya yang terhormat itu punya sifat diktator, dan ia tidak mau kalau istrinya dijadikan pelayan di rumah itu (hlm. 39).

Selain itu, sang suami juga meminta Kwei-lan untuk melepaskan kaki-kakinya dari ikatan menahun yang ia lakukan demi sebuah standar kecantikan kolot yang menyiksa. Awalnya, Kwei-lan yang telah lama dicuci otaknya oleh tradisi, melakukan pemberontakan. Ia merasa limbung karena bahkan kakiku yang terbungkus sepatu dengan sulaman indah pun tidak mampu menyenangkan dia, bagaimana mungkin aku bisa memenangkan cintanya? (hlm. 53). Namun, setelah pulang dari rumah ibu kandungnya, Kwei-lan memutuskan untuk menuruti kemauan suaminya dan ia merasa lebih sehat dan lincah.

Tidak tanggung-tanggung, di zaman di mana masyarakat menganggap bahwa anak lelaki adalah pembawa keberuntungan, sang suami alih-alih mendukung Kwei-lan untuk melahirkan anak lelaki, ia malah membebaskan Kwei-lan untuk memiliki anak perempuan. Yang lebih melegakan Kwei-lan lagi, sang suami yang modern dan berpendidikan Barat itu tidak tertarik untuk berpoligami atau mengambil selir seperti yang dilakukan para pria Tiongkok pada zaman itu (termasuk juga ayah Kwei-lan) terutama jika sang istri tidak mampu melahirkan bayi lelaki.

Banyak cultural chaos yang terjadi dalam rumah tangga pasangan ini yang berbuah manis pada akhirnya. Perubahan Kwei-lan yang akhirnya perlahan-lahan menerima pemikiran Barat yang diusung suaminya patut untuk disimak. Sebagai seorang wanita bangsawan Tiongkok yang dibesarkan dalam lingkungan yang kolot, alih-alih untuk mengubah diri, memiliki pemikiran yang sedikit modern tentang sesuatu akan dianggap sebagai tidak bermartabat. Oleh karena itu, peran sang suami yang sedikit memaksa Kwei-lan untuk mengubah cara berpikir adalah hal yang patut dirayakan. Perubahan itu membawa ia kepada apa yang disebut sebagai pencerahan feminis.

Apa yang terjadi pada Kwei-lan yang Tiongkok itu hampir mirip dengan apa yang terjadi dengan Kartini di Jawa. Kartini yang hidup sebagai bangsawan dan dibesarkan dengan tata cara bangsawan Jawa kuno dan kolot juga mendapat suntikan pemikiran ala Barat dari sahabat-sahabatnya, yaitu Tuan dan Nyonya Abendanon, Nyonya Ovink-Soer, Nona Estella H. Zeehandelaar dan Nellie van Kol. Pemikiran ala Barat yang diterima Kartini melalui surat-suratnya para sahabat membuat pemikirannya tentang wanita Indonesia semakin matang. Baginya, surat-surat kepada sahabatnya adalah saluran di mana ia dapat mencurahkan segala isi hatinya. Sama halnya dengan Kwei-lan, suami baginya adalah tempat ia dapat bertanya dan berpendapat dengan bebas tanpa perlu menundukkan kepala malu-malu, seperti yang diamanatkan ibunya: di hadapan lelaki, seorang perempuan harus tetap berdiam diri bagaikan bunga dan mengundurkan diri secepat mungkin tanpa bertanya-tanya (hlm. 10).

Kwei-lan dan Kartini adalah dua wanita Timur yang sama-sama mengalami cultural chaos. Pemikiran Barat yang disuapkan suaminya pada Kwei-lan membuatnya bertanya tentang arti keperempuanan yang diusung adat istiadat kolot Tiongkok. Sama halnya dengan Kartini yang Jawa, Barat membantu ia membebaskan diri dari kungkungan kolot. Melalui Barat, Timur akan terlihat begitu jelas. Dengan begitu mata hati akan dengan mudah terbuka untuk melihat yang sebenarnya. (*)


*) Staf Pengajar Sastra Inggris Unesa
Judul Buku : East Wind, West Wind
Penulis : Pearl S. Buck
Alih Bahasa : Lanny Murtihardjana
Penerbit : Gramedia Pustaka Tama
Cetakan : I, Februari 2009
Tebal : 238 halaman

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae