Jumat, 03 April 2009

Suara Lain dari Seberang

Bagja Hidayat
http://www.ruangbaca.com/

Sekumpulan tulisan yang menyerang sanjung-puji para kritikus terhadap para penulis perempuan Indonesia mutakhir. Argumentasinya mantap.

Dalam lima tahun terakhir ladang sastra kita ramai oleh gunjingan telah terjadi krisis kritik sastra. Mutu kritik dituding tak bisa mengimbangi membanjirnya karya sastra sebagai objek kritik dengan tumbuhnya media massa dan penerbitan. Pendeknya, kritik sastra kita, sebagai sebuah ranah sastra tersendiri, sudah mati.

Ada yang menuding krisis itu berpangkal karena adanya “politik sastra”. “Politik” itu berupa kuatnya jaringan personal antara komunitas- komunitas sastra terkemuka (yang di dalamnya ada kritikus terkemuka juga) dengan para penulis. Penulis yang bisa masuk ke dalam jaringan- jaringan kritikus arus utama itu akan mendapat tempat dalam ranah sastra kita.

Aktivis sastra siber, Saut Situmorang, gencar menyuarakan tudingan dan asumsi ini. Bukan tanpa kebetulan jika istrinya, Katrin Bandel, penulis buku ini, juga punya asumsi yang sama. “Buku ini lahir dari rasa kecewa terhadap permainan politik sastra semacam itu,” tulis Katrin. Penulis asal Jerman ini menuding para kritikus dalam jaringan itu telah tidak adil dalam menilai sebuah karya.

Katrin menunjukkan pilih kasih para kritikus itu. Karya yang mendapat tempat dan sanjungpuji itu secara kualitas, dalam penilaian Katrin, ternyata biasa- biasa saja. Sementara itu, banyak karya lain yang punya kualitas lebih terlewat dari gunjingan para kritikus di media massa hanya karena dia tak punya kontak ke jaringan kritikus arus utama itu.

Dan sepanjang delapan tahun ini, sastra kita (terutama novel dan cerita pendek) ramai oleh tema seputar seks yang ditulis perempuan. Para kritikus arus utama menilai hadirnya perempuan mengangkat dan membongkar seks dari kotak tabu selama ini sebagai bentuk pemberontakan perempuan terhadap budaya patriarki—sebuah budaya yang makin kentara dalam gunjingan yang riuh itu bahwa perempuan memang baru dihargai karena dia perempuan.

Sebab, belum pernah terdengar ada penulis lakilaki dipuji karena dia terlahir sebagai laki-laki. Inilah fokus yang mengambil sebagian besar sorotan Katrin terhadap karya sastra kita dewasa ini. Dia, misalnya, menyoroti dua novel Ayu Utami, Saman dan Larung, yang dianggap “novel terbaik sependek sejarah sastra Indonesia modern”.

Lalu kemunculan tiba-tiba Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, dan penulis perempuan lainnya yang menggarap tema tak jauhjauh dari selangkangan secara telanjang. Para penulis yang dipuji- puji telah mengenalkan teknik bercerita yang baru ini, di mata Katrin, tak lebih hanya merumitkan narasi belaka.

Ia menyiapkan argumentasi, merujuk teori, membongkar kelemahan sorotan atas karyakarya mereka, lalu ia sendiri menunjukkan fakta lain yang mendukung ulasannya. Ada terasa argumentasi yang mantap, memang, sehingga segala bangunan kritik puja-puji itu goyah bahkan ambruk.

Yang tampak segera dari tulisan-tulisannya ini adalah usaha menyampaikan argumentasi sendiri dengan meminimalkan kutipan pemikir-pemikir sebelumnya yang seringkali dipakai bermegah diri oleh para kritikus lokal generasi terbaru. Penilaian Katrin semacam ini sah dan wajar saja.

Sebuah karya sastra serupa raksasa tak akan habis sungguhpun dicincang dari pelbagai sudut. Karya yang berhasil malah akan terus merangsang daya kritis para pembaca. Tetralogi Bumi Manusia yang ditulis Pramoedya Ananta Toer sudah banyak diulas dari pelbagai segi: politik, nasionalisme, teori komunisme, kejiwaan, sejarah, cerita yang biasa saja, dan seterusnya.

Alih-alih habis, tetralogi makin mengukuhkan kepengarangan Pramoedya. Ini juga menunjukkan bahwa baik-buruk mutu sebuah karya ditentukan oleh lompatan waktu, bukan oleh kritikus yang memuji atau mencacinya. Seorang kritikus adalah seorang pembaca yang bertanya. Ia mengungkai segala aspek yang tak terlihat oleh penikmat sastra biasa.

Ia menyampaikan perspektif dengan, kalau perlu, mencari pijakan teorinya. Menurut Budi Darma, kritik yang baik adalah kritik yang memberi wawasan. Kritik yang baik adalah kritik yang bisa membangkitkan siklus mencipta: karya sastra bisa melahirkan kritik, dan kritik bisa merangsang sebuah karya baru. Dalam perkembangan sastra Indonesia yang belum menunjukkan keunikannya ini, rangsangan semacam itu sangat perlu.

Budi Darma sendiri sudah mempraktekannya ketika menulis novel Olenka (dan mungkin cerita-cerita Orang-orang Bloomington). Secara jujur ia mengaku terinspirasi oleh satu kritik sastra yang ditulis pengarang Inggris, EM Forster. Kita tidak tahu bagaimana Budi Darma mendapat ilham menulis cerita sepulang dari Amerika.

Cerita-cerita mutakhirnya lebih tertib dan terarah, tak ada lanturan dan tokoh-tokoh yang kesurupan lagi. Karena berangkat dari “rasa kecewa” itu, tulisan-tulisan Katrin yang menyerang kritik sebelumnya terasa garang dan berapi- api, lalu melupakan sorotan terhadap nilai sebuah karya sebagai suatu kesatuan.

Sebaliknya,tulisan lepas yang membahas novel atau fenomena jauh lebih subtil dan memberikan perspektif baru. Karena itu, tulisan yang paling menarik dari buku ini adalah ulasannya soal dukun dan obat dalam sastra Indonesia, tema-tema pascakolonial, dan sastra siber. Soal dukun dan obat agaknya ringkasan dari disertasi Katrin di jurusan sastra Indonesia Universitas Hamburg, Jerman.

Menarik karena sorotan semacam ini jarang disentuh oleh kritikus lokal. Lagipula, perdebatan kritik sudah terjadi sejak zaman kuda bertukar tanduk dengan rusa. Persoalan rendahnya mutu kritik dan kewibawaan kritik selalu berulang dari generasi ke generasi. Perulangan debat semacam ini, bukankah menunjukkan bahwa memang ada fenomena dan tren tertentu dalam sastra Indonesia?

Barangkali karena buku ini bukan sekumpulan tulisan dengan kepaduan tema. Katrin telah meniru tabiat “intelektual publik” Indonesia yang membuat buku dengan mengumpulkan serpihan-serpihan ide lewat tulisan yang terserak dalam pelbagai berkala. Karena itu setiap ulasan tentang sebuah tema dalam buku ini terasa tak bebas ruang geraknya karena terbatas oleh jumlah halaman dan karakter di media massa tempat asalnya.

Seandainya Katrin mau menambah jelas tiap argumentasi, menyelipkan teori yang lebih ajeg untuk mendukungnya, atau memperluas tema sorotan sebelum dibukukan, ke-11 tulisannya ini bisa jauh lebih berbobot. Kemungkinan lain, sebuah tulisan dalam buku ini ditulis untuk sebuah tema pada suatu waktu tertentu dengan mempertimbangkan aktualitas.

Meski begitu, buku ini tetap menarik sebagai sebuah bahan otokritik terhadap arus utama kritik sastra mutakhir kita, semacam suara lain dalam menimbang sebuah karya. Sebuah otokritik dari seberang, yang mengingatkan, memberi tempat pada karya yang luput dari pengamatan para kritikus arus utama itu.

KA(E)PUJANGGAANNYA PAHLAWAN DIPONEGORO

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=478

Sebelum jauh merambah pada karya Beliau. Terus terang saya terusik dengan ejaan Diponegoro menjadi Dipanegara. Kenapa Bojonegoro tidak dirubah menjelma Bajanegara? Dst. Bagi saya tetap menggunakan logat aslinya (:jawa) yakni Diponegoro, disamping mengukuhkan literatur yang terakhir ada. Berangkat dari asal dialek, daya pamornya dapat disadap lebih mantab, saat mengejawantahkan suatu kalimah, apalagi kerja bersastra.

Di tanah Jawa, sebutan Pangeran yang kesohorannya melebihi raja-raja kecil ialah Pangeran Diponegoro. Padahal jauh di benaknya tiada membanggakan titel itu, ia lebih nyaman sebagai rakyat biasa, lebih berasa mengunyah asin garam kehidupan jelata. Tak ada pantulan lain, selain kesadaran berontak-lah hal tersebut terbit, menyunggi matahari bencah Dwipa kala itu.

Saat membaca roman sejarah karangan J.H. Tarumetor TS. yang bertitel “Aku Pangeran Dipanegara” penerbit Gunung Agung Djakarta 1966. Saya merasakan betapa sengit pergolakan kemerdekaan, yang berkumandang terang mewujudkan idealitas kebebasan, dari kungkungan rezim penjajahan, yang sewenang-wenang mengadu-domba darah biru, darah merah bumiputra. Adalah berdasar niat suci, perlawanan terus dikibarkan, bergerilya menculik musuh dengan panah api, sekali waktu berhadap muka meriam dengan tombak, keris dan bambu runcing.

Tiap-tiap laluan parit, tebing curam, kaki bukit, semak belukar, hutan rimba, batu licin derasnya air sungai, padang amis darah rumput, merupakan referensi dalam meningkatkan mutu pemberontakan dikemudian hari. Maka ingatan senantiasa harus terawat, terbasuh kucuran kesadaran, semisal kelembutan air bersanggup menelusup ke serat-serat batu, mendenting melobangi bebatuan pada goa perenungan. Niscaya tubuh kebangsaan berteriak lantang, manakala kaki-kaki rumput terinjak sepatu besi, kuda-kuda birahi yang kesurupan serupa kompeni. Jika berkaca pada cermin masa kini, nasib tanah pertiwi terserang virus-virus korupsi.

Ontowiryo (bahasa Indonesia usil menulisnya dengan Antawirya, nama kecil Pangeran Diponegoro), ia terlahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta, dan wafat pada tanggal 8 Januari 1855 di benteng Rotterdam kota Makasar. Sebagaimana catatan Muhammad Yamin dalam bukunya yang berjudul, Sedjarah Peperangan “Dipanegara” Pahlawan Kemerdekaan Indonesia, penerbit Jajasan Pembangunan Djakarta 1952, tjtakan ketiga. Jika menengok literatur YB. Sudarmanto, terbitan Grasindo 1996 yang berjudul “Jejak-Jejak Pahlawan dari Sultan Agung hingga Syekh Yusuf,” membubuhi puisi Chairil Anwar yang berlabel “Diponegoro”: Di depan sekali tuan menanti/ Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali/ Pedang di kanan, keris di kiri/ Berselempang semangat yang tak bisa mati/

Di bawah ini saya tunjuntukkan Pangeran Diponegoro sebagai Pujangga Indonesia, sebelum santri Tegalsari R. Ng. Ronggowarsito. Bermaksud menguri-uri ruhaniah pertiwi atas tumbal para pemudanya, guna jejiwa mengikuti kegigihannya. Menempa mental agar tak berkarat dimakan usia, tidak busuk dalam buih kecewa. Andai kedangkalan gurit sekadar kenangan, masih bersimpan semangat pengguratnya. Apalagi tetembangan yang dihasilkan dari jiwa-jiwa paripurna kepahlawanan; tidak tunduk harta benda, pangkat jabatan maupun gadis-gadis berambut pirang.

Demikian simaklah…

Sun amedar surasaneng ati
atembang pamijos
pan kinarjo anglipur brangtane
aneng kita Menado duk kardi
tan ana kaeksi.

Mapan katah kang keraseng galih
ing tingkah kadudon
pan mengkana ing tijas pangestine
kaja paran polahingsun iki
jen tan ana ugi
apura Ijang Agung.

Lara wirang pan wus sun lakoni
nging panuhuningong
ingkang kari dan kang dingin kabeh
kaluarga ngestokken jekti
mring Agama Nabi
oleh pitulung.

Ketika membaca bahasa asalnya, tubuh penyaksi gemetaran; bulu-bulu berdiri seolah jejarum di jemari tangan perawan, menyuntik seluruh jasad yang memendam masa silam. Sejarah dihasilkan kerja kesungguan, tak ada basa-basi tersimpan, seluruhnya meruang-waktu kejadian lampau. Perjuangan suci mengukuhkan lelangkah menjadi panutan dikemudian hari. Bahasa bukan sekadar penyampai, di dalamnya ada dinaya, sukma yang terekam membetot jatah dipertarungkan ruang-waktu pembaca. Maka usah sekali-kali menganggap remeh sikap pembacaan, agar tak terhempas gelombang kelupaan sebelum sampai tujuan.

Di bawa ini salinan maknawi karya beliau:

Hamba curahkan perasaan kalbu yang fitri
mengarang syair menghibur duka-nestapa
menyusun karangan di kota Manado
ketika tak kelihatan pandangan mata
selain daripada Tuhan Yang Maha Esa.

Banyaklah yang terasa dalam hati
berbuat kelakuan yang salah arah
sampai timbul jantung berfikiran:
apakah jadinya hamba hina ini,
sekiranya tingkah perbuatan itu
tidak diturunkan ampun,
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Pedih-pilu, hina bencana dirasa
tetapi memohonkan sungguh,
supaya kehilafan dahulu dan kemudian
diturunkan pengampunan dari Tuhan,
kepada keluarga dan sanak saudara
yang dengan ikhlas sepenuh sungguh
menuruti ajaran Nabi pembawa sabda.

Demikian Tembang Midjil yang disusun Pangeran Diponegoro di kota Manado, sebagai Muqaddimah “Babad Diponegoro,” yang dirampungkannya di kota Makasar. Babad tersebut berisikan sejarah leluhur, tareh runtuhnya kerajaan Majapahit hingga detik-detik akhir Beliau. Perjuangan tangan-tangan baja, kaki-kaki gajah, amis darah segar, keringat berdebu, harta-nyawa melayang-layang selama lima tahun terus-menerus melawan penjajahan, dari tanggal 20 Juli 1825 sampai 28 Maret 1830. Dan seperempat abad Beliau meringkuk di benteng tawanan, mendekam terisolasi di tanah asing pembungan. Dimana kurun waktu menyimpan peristiwa, tempo suatu kenangan menjelma harmoni tetembangan, kejayaan hati bergetar dalam perjuangan.

Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro, diberi gelar rakyaknya dengan sebutan; “Sultan Abdulhamid Herutjokro Amirul Mukminin Syaidina Panatagama Khalifatulloh Tanah Djawa.” Bersama Sentot Prawirodirdjo serta Kiai Modjo, membakar medan peperangangan di lingkup tanah tengah dwipa; Selarong, Dekso, Pleret, Lengkong, kaki Gunung Merapi, Bantul, Kedjiwan, Gawok, Bagelen, Banyumas, Pekalongan, Ledok, Semarang, Rembang, Bojonegoro, Madiun, Pengasih, Banyumeneg, Kedu, dan seluruh ruh bumi Nusantara berbangkit atas hembusan badai pemberontakannya.

Adalah tak diragukan lagi, tubuh-tubuh yang terpendam tanah pertiwi sebagai daulat kesatuan, bagi hakikat paku bumi, gunung-gunung tertancap, agar tak buyar makna ke-Indonesia-an. Dimana tiap-tiap pergolakan terangkat, embun pagi kabarkan peristiwa makna puitik, lahir dari pergumulan ruh abthin matahari. Dan sisanya tersimpan dalam resapan daun-daun sejarah. Niscaya pancaran hati, atas pantulan tekad memperjuangkan tanah sepenuh jiwa, tulus setia menghadap Ridho-Nya.

*) Pengelana asal Lamongan, Jatim, 19 Maret 2009, kamis legi Rabiul Awal 1430 H.

Ambisi mendirikan dinasti baru

KISAH TIGA NEGARA Oleh: Lo Guanzhong
Diterjemahkan oleh: A.S. Udin
Penerbit: Pustaka Utama Grafiti, 1987
Peresensi: A. Dahana
http://majalah.tempointeraktif.com/

SETELAH terbitnya seri novel Batas Air (Shuihuzhuan), yang sekarang sudah selesai sampai empat jilid, perkenalan kita dengan kesusastraan klasik Cina bertambah lagi dengan turunnya buku Kisah Tiga Negara. Buku tersebut merupakan terjemahan langsung dari bahasa Cina, yang aslinya berjudul San Guo Yanyi, ditulis oleh Luo (bukan Lo) Guanzhong, seorang sastrawan yang hidup pada masa Ahala Yuan (1260- 1341).

Berlainan dengan Batas Air, yang tokoh-tokohnya fiktif, Kisah Tiga Negara merupakan sebuah roman sejarah. Para pelakunya pernah hidup dan berperan, dan kejadiannya sendiri dilatarbelakangi suatu priode khusus dalam sejarah kuno Cina yang dikenal dengan nama Zaman Tiga Negara, San Guo Shidai. Cerita dalam buku berlangsung pada tahun Masehi 168 sampai 265.

Zaman itu ditandai dengan keadaan kacau di Cina — sesuatu yang lazim dalam sejarah Cina — ketika Ahala Han (221 SM–265 M) sedang menghadapi saat-saat keruntuhannya. Sebenarnya, jauh sebelum itu, perebutan pengaruh di antara raja-raja muda, ketidakpuasan di kalangan rakyat, dan kelemahan dalam keraton Han sendiri telah menyebabkan masa Ahala Han dibagi dua, yakni Han Barat (206 SM - 24 M) dan Han Timur (25 - 220 M).

Kisah Tiga Negara bercerita tentang masa menjelang robohnya Ahala Han Timur dan itu dimulai dengan meletusnya serentetan pemberontakan petani — lagi, salah satu ciri khusus dalam sejarah dinasti-dinasti di Cina. Salah satu yang terhebat dari gerakan petani itu dikenal dalam sejarah Cina, dengan nama Pemberontakan Serban Kuning (Huangjin Qiyi). Upaya dari beberapa jago perang feodal untuk memadamkan pemberontakan tersebut telah melahirkan tiga tokoh yang menjadi para pemegang peranan utama dalam novel tersebut.

Yang pertama adalah Zao Cao, yang menjadi pendiri Kerajaan Wei (220-265) dengan lokasi sekitar lembah Sungai Kuning (Huanghe) dengan ibu kota Luoyang. Sebenarnya, pada mulanya Zao Cao punya motlf untuk menyelamatkan Kaisar Han dari genggaman seorang kebiri (kasim atau thaykam) yang bernama Dong Zhuo. Tapi lama-lama keinginan untuk menyelamatkan dinasti itu menjurus ke perebutan kekuasaan, bahkan ia berambisi untuk menguasai seluruh Cina dan mendirikan dinasti baru.

Tokoh kedua adalah Liu Bei, pendiri kerajaan Shu (221-263). Ia bermaksud memulihkan kebesaran Ahala Han, dan dibantu oleh dua saudara angkatnya Guan Yu dan Zhang Fei. Mereka amat terkenal karena “bersumpah di kebun persik” untuk mati bersama walau bukan dilahirkan bersama. Liu Bei juga punya seorang “spri” yang kemudian diangkat sebagai perdana menterinya.

Pembantu utama yang terkenal dengan nama Kong Ming ini pandai dalam urusan strategi perang, di samping ahli dalam astrologi. Malah tokoh Guan Yu kemudian dipuja sebagai dewa perang, dan di kalangan etnik Cina di sini dikenal dengan nama Kuan Kong.

Sosok yang ketiga adalah Sun Quan, yang berhasil mendirikan kerajaan Wu (222-280) yang sekarang terletak di dataran rendah Sungai Yangzi dengan ibu kota Wu Chang, dan kemudian dipindahkan ke Nanjing. Sun juga hanya ingin menyelamatkan negara dari perpecahan, tapi pada akhirnya ia pun berambisi untuk melepaskan diri dari kekaisaran Han.

Sebagian besar novel itu dengan demikian menceritakan liku-liku persaingan di antara ketiga tokoh tersebut. Kisah Tiga Negara sangat terkenal, dan malah sudah menjadi bagian dari kesusastraan klasik dunia. Buku itu telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, dan versi Inggrisnya terbit pada 1925, dengan judul Romance of the Three Kingdoms, dialihbahasakan oleh C.H. Brewitt Taylor.

Novel ini sangat populer di kalangan generasi tua, terutama politikus dan ahli strategi militer Cina. Ada yang mengatakan, Sanquo Yanyi merupakan penerapan teori politik, perang, dan strategi yang diketengahkan oleh Sunzi pada zaman Cina Kuno. Buku yang dikenal dengan nama Zhanfa (Strategi Perang) itu sampai sekarang masih dibaca, bahkan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Membaca versi bahasa Indonesia buku itu bagaikan mendengarkan tukang cerita. Luo Guanzhong memang menulisnya dalam gaya itu. Mungkin penerjemahnya hanyut ke dalam gaya tersebut, sehingga kadang-kadang kita menemukan beberapa kalimat yang rasanya tidak atau belum selesai.

Secara umum, buku Kisah Tiga Negara adalah karya kesusastraan Cina klasik yang lebih dikenal ketimbang Batas Air. Konon, taktik-taktik perang yang dilukiskan di dalamnya telah menjadi inspirasi bagi Mao Zedong dalam menulis karya-karya militer dan dalam perjuangan bersenjatanya untuk mendirikan pemerintah komunis di Daratan Cina.

Di samping itu, dalam novel tersebut kita bisa menemukan orang-orang gagah perkasa dengan budi pekerti luhur, selain kelakuan tokoh-tokoh licik dengan watak keji dan tipu muslihatnya. Generasi tua Cina sering mengambil contoh tingkah laku para pemegang peranan utama dalam novel itu sebagai bahan pelajaran moral.

Dibandingkan dengan Batas Air, Kisah Tiga Negara penuh dengan mitos, bahkan mendekati klenik. Itu terutama muncul pada bagian-bagian yang berhubungan dengan kaisar Cina sebagai Putra Langit (Tianzi). Tak mengherankan, karena novel itu ditulis pada masa ahala-ahala, maka kelihatan penuh dengan semangat feodal. Selamat membaca.

Kritik dalam Karya Sastra, Ketakutan Penguasa, dan Ketakutan Kepada Penguasa

Sunaryono Basuki Ks
http://www2.kompas.com/

KARYA seni meniru alam, begitu kira-kira kata Aristoteles. Inilah prinsip mimesis, meniru alam. Alam beserta isinya yang dihamparkan Allah adalah milik Allah semata (Surat Yunus, Ayat 55 dan 66), dan memang sangat layak menjadi sumber segala keindahan, dan menjadi satu-satunya sumber yang ditiru dalam seni. Alam yang dimaksud oleh Aristoteles tentu saja tidak terbatas pada pemandangan alam, tetapi termasuk juga manusia penghuni alam ini, perilakunya, pandangan hidupnya, wataknya, sikapnya. Ahli lain menyebutnya sebagai kehidupan.

Di dalam proses kreatif seni, seniman tergerak hatinya secara emosional dan intelektual oleh kehidupan, lantas daripadanya, didukung oleh imajinasi, membentuk suatu konsep yang diwujudkan ke dalam sosok tertentu yang menuntut suatu struktur tertentu. Struktur ini tunduk kepada sejumlah aturan berkesenian tertentu.

Karya sastra sebagai salah satu bentuk kesenian tidak bisa lepas dari proses kreatif ini. Orang Inggris menyebutkan, karya sastra sebagai refleksi masyarakatnya. Di dalam merefleksikan masyarakat itu, seorang sastrawan menerapkan suatu filter halus berdasarkan nuraninya. Dengan filter itu dia menyaring berbagai hal dalam masyarakat dan akan memberikan penilaiannya terhadap berbagai hal di dalam masyarakat yang dianggapnya melenceng dari standar kepatutan. Bisa juga sastrawan melihat keganjilan-keganjilan yang terjadi di dalam masyarakat dan menuliskannya di dalam karya sastranya. Coba kita dengar apa yang ditulis oleh penyair Taufiq Ismail yang pendidikan formalnya adalah kedokteran hewan. Dia melukiskan keadaan di Indonesia pada dua masa penting dalam peta perpolitikan negeri ini:

Takut ‘66, Takut ‘98

Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekat takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada
mahasiswa.

Di sini Taufiq yang haji tidak sekadar menunjuk ke arah kejenakaan ini, tetapi ingin pula menunjukkan, bahwa, bilamana manusia takut kepada manusia, hasilnya adalah sebuah lingkaran setan ketakutan, sebab sesungguhnya manusia hanya layak takut kepada Allah.

Di dalam melancarkan kritiknya, sastrawan bisa memilih cara yang dianggapnya tepat. Salah satu yang dipilih oleh penyair Taufiq Ismail ialah memakai sebuah bentuk puisi lama Indonesia yang sudah dikenal, yakni gurindam. Bukan Gurindam Duabelas yang dia tulis, tetapi Gurindam Satu, Gurindam Satu Setengah, Gurindam Dua, dan beberapa gurindam lain. Coba kita simak apa yang dia tulis dalam Gurindam-Gurindamnya:

Gurindam Satu

Secoret parafku memancarkan komisi seratus juta
Bertahun-tahun begitu sampai mataku buta

Gurindam Satu Setengah

Harimau mati meninggalkan belang
Pedagang mati meninggalkan hutang
Rakyat mati tinggal belulang

Gurindam Dua

Ada 100 orang teramat kaya betapa borosnya di negeri ini
Najisnya berlian berlumuran mengalir tiap hari
Ada 100 juta orang miskin luarbiasa di negeri saya
Minum mimpi, makan angan-angan, sudah sangat lama

Kritik dalam karya sastra tidak hanya ditujukan kepada karakter manusia secara umum, tetapi sering pula ditujukan kepada sejumlah penguasa yang merupakan sosok yang dianggap menyimpang dari standar kepatutan. Tokoh penguasa ini bisa merupakan tokoh yang korup, yang serakah, yang gila kekuasaan, tidak adil, sewenang-wenang, melaksanakan kronisme, penyelewengan seksual, dan sebagainya. Banyak orang tidak suka menerima kritik, bahkan tidak suka diingatkan, apalagi kalau dia menduduki posisi sebagai penguasa. Padahal, di dalam agama saya, menjadi kewajiban seorang mukmin untuk mengingatkan sesama mukmin untuk berjalan di jalan yang sudah ditunjukkan oleh Allah. Bentuk mengingatkan itu yang sering dianggap kritik dan tidak selalu menyenangkan hati pihak yang diingatkan.

Para penguasa, ketika menerima kritik, bukannya melancarkan kontra kritik atau berusaha mawas diri, namun justru mengambil tindakan yang dapat mematikan karir sastrawan yang melancarkan kritik. Untuk menghindari keadaan yang tidak menyenangkan ini, banyak sastrawan memilih sejumlah cara melancarkan kritik yang tidak akan dirasakan oleh pihak yang dikritik sebagai sebuah kritik yang diarahkan pada wataknya.

Pertama, sastrawan dapat memindahkan setting ceritanya, baik waktu maupun tempatnya. Sebuah karya sastra biasanya mengambil tempat dan waktu tertentu di dalam cerita. Sebuah kisah dapat mengambil tempat, misalnya di Timor Timur, pada masa kini, atau di Aceh, juga masa kini. Kekejaman yang terjadi di Timtim Pra-Kemerdekaan tidaklah menyenangkan bagi penguasa bilamana diceritakan sebagaimana adanya. Praktik-praktik kejam yang sudah terekam dalam kamera video dan disiarkan secara luas melalui saluran TV di luar negeri, tidak dapat begitu saja disampaikan kepada publik Indonesia. Kritik langsung, walaupun sudah dihaluskan di dalam sebuah laporan jurnalistik yang dilakukan oleh Majalah Jakarta-Jakarta membuat berang penguasa dan menyebabkan penulisnya “diistirahatkan” dari pekerjaannya. Seno Gumira Adjidarma, wartawan yang juga sastrawan yang melaporkan kejadian tersebut memilih sastra untuk melancarkan kritiknya. Dia memindahkan setting cerita ke sebuah negara di luar Indonesia, walaupun pembaca yang jeli tetap dapat melihat bahwa kisah-kisah yang ditulisnya sebenarnya terjadi di Indonesia. Sikapnya memilih sastra jelas di dalam bukunya berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997).

Kedua, sastrawan juga bisa memindahkan setting ceritanya ke masa lampau dengan setting tempat yang tetap, yakni Indonesia yang masih berbentuk kerajaan-kerajaan Nusantara. Pramoedya Ananta Toer melancarkan kritiknya terhadap makin berkuasanya angkatan darat dalam novel Arus Balik (1995), YB Mangunwijaya menulis Trilogi Genduk Duku, juga Roro Mendut serta Ikan-ikan Hiu, Ido, Homo yang semuanya bersetting Indonesia masa pra-kemerdekaan untuk melancarkan kritik-kritiknya.

Ketiga, sastrawan dapat memakai bentuk sastra atau seni yang sudah dikenal, misalnya Gurindam seperti yang sudah dicontohkan di atas. Wayang merupakan satu kerangka berkesenian yang sering dipinjam untuk melancarkan kritik. Emha Ainun Nadjib menulis novel Arus Bawah (1994) yang seluruh tokohnya diambil dari dunia pewayangan. Dengan memakai tokoh wayang dan kisah di dunia pewayangan, maka tersamarlah kritik yang dilancarkannya. Dalam kerangka yang sama Putu Wijaya menulis novel Perang (1990) yang mengedepankan tokoh-tokoh wayang yang merupakan representasi tokoh-tokoh Indonesia masa itu. Dalam bentuk yang sangat jenaka. N Riantiarno dengan Teater Komanya mementaskan Semar Gugat (1995) yang mengkritik pemerintahan Soeharto dengan tajam tapi kocak. Baru-baru ini, N Riantiarno masih mengkritik penguasa dengan mementaskan Republik Bagong yang akan disusul pula dengan Presiden Bagong.

Keempat, sastrawan memilih bentuk fabel, suatu bentuk kisah sastra dengan binatang sebagai tokoh-tokohnya. Sebagaimana dengan wayang, para binatang ini merupakan representasi watak manusia. Kita mengenal fabel dalam khasanah sastra berbagai budaya.

Kelima, sastrawan memakai fabel namun mencampurkannya dengan tokoh manusia, sebagaimana dalam dongeng-dongeng Sang Kancil. George Orwell mempraktikkannya dalam novel pendeknya berjudul Animal Farm yang melancarkan kritik tajam terhadap sistem pemerintahan komunis.

Keenam, sastrawan melancarkan kritik dalam kerangka cerita konvensional.

Cerita pendek atau novel dengan struktur konvensional dipakai pula untuk ajang melancarkan kritik. Mainstream novel ini mengikuti struktur plot yang sudah disepakati secara umum. Demikian banyak contoh karya sastra yang peduli masyarakatnya dengan memuat kritik-kritik sehat, baik dalam karya sastra di Indonesia maupun di luar negeri. Salah satu contoh dari Indonesia adalah novel Ladang Perminus karangan Ramadhan KH. Dalam novel ini kita pertama kali kenal dengan istilah “mark up” proyek seperti yang populer sekarang. Kisah yang mengedepankan korupsi di Pertamina cukup tajam bahkan sejak judulnya, yakni “Perusahaan Minyak Nusantara” yang kalau disingkat menjadi sangat ironis yakni Perminus. Suatu fenomena aneh bin ajaib, sebuah sumber dana yang melimpah namun menanggung rugi luar biasa besarnya.

Kritik dalam karya sastra ternyata tidak memberikan ketenteraman pada penguasa. Para penguasa biasanya melakukan sensor terhadap karya sastra, yang kemudian diikuti oleh pelarangan, bahkan penangkapan dan pemenjaraan pengarang. Apa yang diramalkan oleh George Orwell dalam novelnya berjudul 1948 (terbit tahun 1949) secara nyata terjadi di Rusia. Novel tersebut menurut Gilbert Phelps (1970) berhubungan dengan demam Perang Dingin. Diceritakan, penguasa mengawasi gerak-gerik semua warganya dengan memakai kamera yang dipasang dimana-mana. Pada kenyataannya, pemerintahan otoriter semacam ini memasang orang-orangnya untuk saling memata-matai. Hal ini pun pernah terjadi di Indonesia.

Ketakutan penguasa Rusia akan akibat dari karya sastrawannya yang dikhawatirkan dapat meracuni pikiran warganya, dan dengan demikian mungkin dapat menyulut pemberontakan, menyebabkan diambilnya tindakan keras berupa pelarangan karya, bahkan penangkapan sastrawannya dan mengirimnya ke Siberia. Indonesia pernah mengalami hal yang sama dengan sejumlah sastrawannya antara lain Pramoedya Ananta Toer, yang dianggap sebagai novelis Indonesia terbaik sampai saat ini. Gao Xingjian, penerima hadiah Nobel Sastra tahun 2000 harus meninggalkan negerinya dan bermukim di Prancis untuk membebaskan dirinya dari ketakutan penguasa Cina terhadap semangat kemanusiaannya.

Bukan hanya penguasa yang merasa takut pada karya sastra, tetapi juga para penerbit dan redaktur mengalami hal serupa, yakni takut pada penguasa. Sensor bukan hanya dilakukan oleh penguasa, tetapi sudah dilakukan lebih dahulu oleh para penerbit, dan para redaktur sastra. Pengarang Mayon Sutrisno di tahun 80an kehilangan pekerjaannya sebagai redaktur Majalah Sarinah karena “kesalahannya” menulis novelet berjudul Nyai Wonokromo yang dianggap mirip novel Bumi Manusia karya Pramoedya. Pada tahun 1997 cerpen saya berjudul Jenderal Perez tidak jadi dimuat di sebuah majalah sastra terkemuka karena isinya mengkritik penguasa. Cerpen yang sama disiarkan oleh Harian Bali Post pada tahun 2001.

Kritik dalam karya sastra sebenarnya merupakan kepedulian sastrawan akan keadaan masyarakatnya. Mereka menggambarkan keadaan sebenarnya dalam masyarakat dengan memberi fokus pada bagian-bagian tertentu dari kehidupan masyarakat yang dilihatnya tidak sesuai dengan nuraninya. Dengan pemberian fokus tersebut, diharapkan para pembacanya dapat mempertimbangkan untuk ikut memperbaiki keadaan tersebut untuk menuju kondisi kemasyarakatan yang lebih baik. Namun, bagaimanapun baiknya kritik dilancarkan, tidak selalu yang dikritik mau mendengarkan. Wajarlah kalau Prof Dr Sapardi Djoko Damono, yang juga penyair pernah mengatakan bahwa kritik dalam sastra Indonesia tidak punya gigi, bak kumbang kehilangan sengat.

* ) Novelis dan Guru Besar IKIP Negeri Singaraja.

Peta, Sejarah Sastra dan Roman Pergaoelan

Sudarmoko*
http://www.padangekspres.co.id/

Beberapa hari yang lalu, saya menerima sebuah surat elektronik dari Pak Umar Junus. Beliau menanyakan sesuatu yang tidak saya duga, meski saya telah memikirkannya sebelumnya, namun tidak sampai pada alasan yang ditanyakan. Kenapa saya memilih untuk menggunakan sebuah peta dalam buku saya, Roman Pergaoelan (Insist Press, Juli 2008), yang diambil dari sumber Belanda, dengan keterangan dalam bahasa Inggris dan Belanda.

Pak Umar menjelaskan sedikit latar belakang pertanyaan itu. Sekitar tahun 1985, beliau ke Padang dan mencari peta Sumatra Barat, namun tidak ada informasi yang menghantarkannya untuk mendapatkan peta itu. Pertanyaan itu bagi saya sangat penting, meski saya tidak serta merta ingin membuat peta atau mencarinya. Peta dalam pandangan saya, adalah sebuah sumber informasi yang menerangkan dimana posisi saya, atau posisi sebuah tempat di antara tempat yang lain. Mungkin bukan hanya peta lokasi, namun juga peta sejarah, politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Jika ada yang tidak termaktub dalam sebuah peta, biasanya kita, orang atau benda atau tempat, kemudian bertanya, apakah saya atau tempat itu tidak masuk hitungan? Kemudian siapa yang memetakan? Adakah alasan politis atau yang lain? Dan banyak pertanyaan lainnya yang berhubungan dengan peta.

Jawaban saya atas pertanyaan Pak Umar Junus itu mungkin tidak menggembirakan. Soal peta Sumatra Barat memang menjadi perhatian saya, tidak hanya untuk buku saya itu, namun juga persoalan yang saya hadapi ketika di Padang juga, susah sekali mencari peta, dan jika ada di toko buku, harganya sangat mahal. Sementara untuk mendapatkan peta yang diperbaharui secara ajeg juga sedikit susah. Dan saya juga menyukai sebuah bidang ilmu sosial yang lain, urban symbolism, yang di dalamnya juga membicarakan banyak hal mengenai kota, fenomena kota, semiotika landmark dan tata ruang, mental map, dan sisi-sisi kehidupan kota lainnya.

Di Belanda, dan beberapa kota yang lain, peta sangat mudah didapatkan, seperti di halte (bahkan ada beberapa tempat di sejumlah negara yang menyediakan layanan peta ini dalam bentuk online di halte-halte), tempat wisata, dan sebagian besar gratis, bahkan di internet setiap ada alamat seperti universitas atau informasi konferensi selalu disediakan peta dan rute perjalanan. Saya juga mengoleksi beberapa peta beberapa kota yang saya kunjungi. Untuk peta di buku saya, saya mendapatkannya di lampiran buku Westenenk, dan saya sangat menyukai itu, sebuah peta yang dicetak oleh biro perjalanan di Batavia. Saya lalu membandingkannya dengan peta di buku Rusli Amran (Pemberontakan Pajak) dan yang lainnya, namun akhirnya saya memutuskan untuk memakai peta dalam buku Westenenk itu.

Selain karena bagus, relatif lengkap nama-nama daerahnya, juga karena buku itu secara khusus berbicara tentang Bukittinggi dan Sumatra Barat. Selain itu juga memberikan konteks dalam buku saya dan buku Westenenk, dalam periode pembicaraan yang relatif berdekatan. Selain itu, sebenarnya saya ingin memberikan tambahan informasi, atau sekadar memberitahu bahwa Bukittinggi menjadi tempat yang mengesankan bagi banyak orang, terutama Belanda pada waktu itu, dan perjalanan yang dicatat oleh Westenenk setidaknya membuktikan hal itu.

Saya tidak tahu apakah keinginan saya ini dapat diterima atau tidak, namun pada akhirnya beberapa pertimbangan ini yang kemudian membuat saya memutuskan untuk mengambil peta itu dari sumber Belanda. Saya pikir Belanda selain rajin membuat catatan juga rajin dan cermat membuat peta, mungkin untuk kepentingan penjajahan atau juga untuk ilmu pengetahuan. Sementara kita (maksud saya kondisi yang terjadi di Sumbar dan daerah lain) mengabaikan hal ini. Karena itu mungkin juga potensi kita tak berkembang, berjalan tak tentu arah, mengulang-ulang hal yang sama.

Pertanyaan Pak Umar Junus ini membuat saya berpikir, bahwa banyak orang yang ternyata mengalami hal yang sama dalam memandang sebuah fenomena. Peta ternyata menghantarkan orang untuk kembali, atau mencari sesuatu yang belum ditemukan. Dan dalam konteks sejarah intelektual dan sejarah sastra, ternyata banyak hal yang belum saya eksplorasi dalam buku Roman Pergaoelan itu. Demikian juga dengan keterbatasan penafsiran yang saya miliki, kaitan antara satu persoalan atau tempat dengan persoalan atau tempat yang lain.

Sejarah intelektual di Sumatra Barat tidak bisa dilepaskan dari dukungan penerbitan buku-buku yang menjadi sarana utama dalam penyediaan bahan bacaan. Setelah pendidikan diperkenalkan, baik itu pendidikan berbasis agama maupun yang berbasis sistem barat, para lulusan itu kemudian tetap membutuhkan bacaan. Bacaan yang ada dan diterima dari daerah lain belum memuaskan dahaga ilmu dan informasi. Demikian juga dengan karya-karya para intelektual dan sastrawan belum sepenuhnya bisa diakomodir oleh penerbit-penerbit di luar Sumatra. Karena itulah, penerbitan di Sumatra Barat dan daerah lain seperti Medan, mendapatkan sambutan yang luar biasa.

Salah satu informasi yang belum saya olah, karena keterbatasan waktu dan tenggat dari penerbit, adalah sebuah biografi yang tidak banyak dibicarakan dalam sastra atau sejarah Indonesia. Judulnya “Pengalaman Seorang Perintis Kemerdekaan Generasi Terakhir Menempuh Tujuh Penjara”. Pengarangnya Maisir Thaib, atau biasa juga dikenal sebagai Martha. Salah seorang guru, aktivis pendidikan, dan aktivis politik pada masa sebelum kemerdekaan. Salah satu romannya berjudul Kamang Affair saya analisis dengan sederhana dalam buku saya, Roman Pergaoelan.

Biografi ini berisi banyak informasi yang berguna dan penting. Tentang pengalamannya sekolah di Normal Islam dan Islamic College, berkarir di dunia pendidikan di Kalimantan, aktivitasnya di PERMI, dan juga dalam proses kreatifnya mengarang yang kemudian karena kasus salah satu romannya, Leider Mr. Semangat, membawa Martha digelandang dari Kalimantan ke Bukittinggi untuk diadili di Landrood, dan kemudian divonis setahun enam bulan di Sukamiskin, Bandung. Cerita mengenai sekolah Normal Islam dan Islamic College di Padang ini cukup banyak dibahas oleh Martha. Dan informasi ini tampaknya dapat digunakan untuk menelusuri kembali sejarah pendidikan di Padang, dan dunia mahasiswa pada masa penjajahan. Banyak juga cerita lucu yang ditulis oleh Martha dalam buku ini.

Dari buku ini saya juga mendapatkan gambaran bagaimana kehidupan para mahasiswa pada masa penjajahan, kehidupan di penjara, tabiat para penjajah, baik Belanda maupun Jepang, dan masih banyak lagi. Ada satu bagian cerita di penjara Muaro Padang, yang menarik bagi saya, bahwa para tahanan harus berbaris dengan telanjang bulat, untuk bekerja dan makan, dan bagaimana ilustrasi ini memberikan sebuah gambaran kehidupan penjara pada masa itu yang sangat berat.

Perjumpaan Martha dengan banyak tokoh di penjara, sebagian besar adalah tahanan politik, seperti Dr. Haka (Ayah Buya Hamka) di penjara Bukittinggi, Nur Alamsyah, Samaun Bakri, dan tokoh-tokoh seperti Ilyas Yacub, dan sebagainya, terasa hadir dengan ilustrasi yang sederhana namun hidup. Martha dan nama-nama lain ini sebenarnya membuka peluang untuk kajian sejarah sosial dan pergerakan di Sumatra Barat. Tentu saja para ahli sejarah sedikit banyak telah merangkum nama dan peristiwa ini.

Namun masih dibutuhkan lagi kerja keras dalam memetakan dan menjelaskan bagaimana sejarah Sumatra Barat dalam seluruh sisinya. Pelurusan sejarah dan pencalonan pahlawan semakin marak. Namun masalahnya tidak begitu banyak informasi dari buku atau penelitian yang diupayakan untuk membuka informasi sejelas mungkin. Misalnya saja novel Bidadari Padri yang baru saja diterbitkan oleh Pustaka Republika belum banyak dibicarakan.

Di Sukamiskin Martha juga bertemu dengan Hasbullah Parinduri, atau Matu Mona, salah seorang penggiat sastra di Medan, yang menulis seri Rol Patjar Merah, sebuah kisah terkenal tentang Tan Malaka. Matu Mona dipenjara karena menerbitkan artikel Hadariah M dari Kalimantan berjudul “Suasana Kalimantan”. Dan ancaman untuk para penulis dan wartawan seperti Martha dan Matu Mona adalah artikel karet 153 bis, yang menjerat tulisan-tulisan yang dinilai provokatif dan subversif.

Kasus Matu Mona ini saya kira tidak kalah hebat dengan kasus Jassin yang juga mau melindungi pengarang Ki Panjikusmin. Dan ini juga menunjukkan dedikasi para penulis dan wartawan pada masa itu. Mungkin suatu saat akan ada yang mau meneliti dan membandingkan kasus Matu Mona dan Jassin ini dalam sejarah sastra kita.

Saya tidak tahu pasti apakah buku biografi ini banyak beredar atau tidak, tapi jarang saya baca dalam referensi sejarah atau sastra kita. Dicetak tahun 1982 oleh penerbit Syamsa di Padang, buku ini mungkin dapat menghangatkan pikiran dan imajinasi kita terhadap kehidupan aktivis dan pengarang pada suatu masa. Tulisan ini saya maksudkan untuk membuka ruang kemungkinan lain yang belum sempat saya olah dalam buku Roman Pergaoelan. Tersebab keterbatasan dalam banyak hal sehingga buku tersebut belum sepenuhnya memberikan gambaran yang lengkap tentang sejarah sastra di Sumatra Barat.

Karena saya merasa ketika buku tersebut selesai, banyak hal yang belum masuk di dalamnya, dan membuat saya terus berpikir tentang banyak hal tersebut. Demikian juga dengan referensi yang baru belakangan saya peroleh, seperti buku Martha tersebut, yang memberikan informasi tambahan yang sangat penting. Namun tentu saja ini akan menjadi sebuah pengalaman penting dalam menulis dan melakukan penelitian tentang sejarah sastra di masa datang.

Sejarah sastra, baik di Indonesia secara umum dan Sumatra Barat secara khusus, memang dalam kenyataannya masih belum terpetakan dan tercatat dengan baik. Semoga saja tulisan ini dan buku Roman Pergaoelan tersebut dapat membuka dan menambah referensi dalam sejarah sastra kita, walau hanya sekelumit.

*) Peneliti sastra Indonesia, pengajar di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Unand, sedang menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Yongin, Korea.

Kanakar, Sebuah Pemberontakan Perempuan

Judul Buku: Kanakar
Penulis: Ucu Agustin
Penerbit: Mahatari, Yogyakarta
Tahun Terbit: Cetakan I, April 2005
Tebal: viii + 175 halaman
Peresensi: M. Haninul Fuad
http://www.ruangbaca.com/

Kanakar adalah bisik lirih seumpama bujuk pagi yang menyelusup lembut di hitam malam untuk pelan-pelan menguasai dan mengambil alih tahta dengan bantuan sinar fajar. Kanakar adalah saat bening embun di pagi bulan Januari yang berseri kehilangan pamor dan menjadi malu saat melihat cara kerja benih yang tumbuh begitu ajaib… Kanakar adalah saat semua kejadian yang pertama kali dilihat Dmitri dua tahun silam akan tampak kembali sebagai mimpi nyata yang menjelma. Hutan bersinar, bintang kerdipnya lembut, malam seperti diperkosa malaikat (halaman 39).

Dalam kehidupan yang sudah teramat profan seperti saat ini, aspek-aspek religiusitas, dunia antah berantah, menjadi begitu bergairah dibicarakan orang. Memang, kebanyakan orang akan lari pada daerah transendental mana kala dunia yang profan itu tidak lagi bisa menjawab kegelisahan yang berkecamuk dalam dada manusia modern.

Pun dengan dunia sastra. Sastra kelamin, sastra yang berlendir, sastra yang pernah menarik begitu banyak sastrawan kita untuk berkubang dalam lendir, berangsur ditinggalkan orang. Berbanding terbalik dengan fenomena tersebut, sastra transendental, sastra yang membicarakan dunia entah, mulai mendapat perhatian. Cetak ulang buku-buku sastra angkatan 70-an juga mulai bergairah. Novel-novel filsafat pun tumbuh seperti cendawan di musim hujan.

Kanakar, tampaknya tidak membicarakan masalah transendental. Tapi, ungkapan ungkapan Ucu Agustin, gaya bahasanya yang begitu magis dan berkabut juga tidak tepat kiranya jika kita sejajarkan dengan buku-buku yang “berlendir”.

Kanakar adalah suara perempuan yang menjerit-jerit di bawah gencetan sistem yang tidak berpihak padanya. Dari 17 cerpen yang terkumpul dalam buku ini (Kanakar) hampir semua membicarakan ketertindasan kaum perempuan. Membaca cerpen-cerpen Ucu, kita jadi teringat pada sosok Nawal El Shadawi, penulis wanita dari timur tengah yang gigih memperjuangkan hak-hak kaumnya. Barangkali benar, Ucu Agustinlah Nawal El Shadawi yang kita miliki.

Dalam “Perempuan yang Menangis” Ucu mengangkat masalah pernikahan yang tidak didasari suka sama suka. Ucu mengajak kita menengok budaya pesantren yang sering menempatkan kaum wanita dalam garis tepi. Aisyah, tokoh wanita yang tertindas itu menceritakan sendiri kisahnya dalam gaya cerita berbingkai yang begitu apik. Beginilah kisah Aisyah:

Diman, suami saya, dulunya adalah tunangan kakak saya. Tapi pertunangan itu batal dan akhirnya orang tua menjodohkan Diman dengan saya. Kami menikah ketika saya berumur 12 tahun, sementara Diman 23 Tahun. Perkawinan itu disebut sirri, artinya rahasia. Kawin sah menurut agama Islam tetapi belum boleh digauli. Ketika itu Diman masih mondok di pesantren, sementara saya masih duduk di kelas V SD. Buah dada saya baru tumbuh, sakit kalau dipijit. Saya belum haid.
Dalam paragraf lain diceritakan,

Keputusan orangtua untuk mengawinkan saya, karena mereka ingin punya menantu dari keluarga kiyai. Keluarga kami adalah keluarga pedagang, secara ekonomi keluarga kami memang lebih mampu. Orangtua saya dapat dikatakan terpandang, sedangkan orang tua Diman juga terpandang, tapi dari sisi lain.

Praktik kawin muda yang dilakukan oleh orangtua Aisyah bukanlah karena alasan ekonomi. Ini lebih menyangkut masalah kebudayaan kita. Rupanya Ucu berhasil memotret budaya tersebut dan menyajikannya hangat-hangat lewat genre sastra. Mmembaca sampai habis cerita “Perempuan yang Menangis” kita akan dikejutkan oleh sebuah catatan kaki yang menegaskan bahwa sebagian besar narasi dalam cerita ini adalah kisah nyata, diambil dari gambaran kasus “kawin belia” yang diceritakan oleh seorang perempuan yang mengalaminya.

“Dokumen Jibril” adalah kegaiban lain cerita Ucu. Seting dan latarnya memang tidak ada yang istimewa. Sama dengan cerita-cerita lain yang begitu akrab dengan kehidupan kita. Lain dengan gaya pengungkapan sang Maestro cerpen Indonesia, Danarto. Danarto lebih total dalam menciptakan suasana magis dalam cerita-ceritanya. Ia juga berhasil menceritakan sesuatu yang tidak mungkin diceritakan. Lain Ucu lain Danarto. Tampaknya inilah yang menjadi kekuatan tersendiri bagi Ucu dalam membangun dunianya. Dengan begitu Ucu tidak bisa dikatakan menyusuri Jejak sang Maestro.

Momen berkecamuknya kehidupan politik kita pada bulan mei 1998 lalu ternyata tidak disia-siakan begitu saja oleh Ucu. Ia menandai tanggal bersejarah tersebut dengan “Seorang Nenek dengan Sebuah Catatan yang Janggal”. Imajinasi kita akan dibawa pada Mei bersejarah tujuh tahun silam, dimana seorang nenek kehilangan cucunya yang aktivis pada sebuah tragedi yang memilukan.

Selain kekuatan tema, kumpulan cerpen ini juga menyimpan keindahan bahasa yang mendayu-dayu, membongkar emosi yang sedang membeku. Seperti pada cerita “Kanakar” yang sebagian teksnya saya kutip di awal tulisan ini. Betapa “Kanakar” mengusik sense of language kita. Kata “Kanakar” sendiri adalah rekaan pengarang yang tidak akan kita jumpai pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBI), bahkan pada kamus Oxford yang berbahasa asing sekalipun. Tetapi, setelah membaca paragraf pertama, kita jadi tahu bahwa “Kanakar” adalah sebuah saat yang begitu menakjubkan dalam deskripsi Ucu.

*) Mahasiswa UM, finalis Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) Nasional tahun 2004.

Latar Indonesia dalam Karya Sastra Tionghoa

I Nyoman Suaka
http://www.balipost.com/

Karya-karya kesusastraan peranakan Tionghoa di era tahun 1920-an, kini bangkit kembali dan banyak beredar di pasaran. Bahkan tidak canggung-canggung, buku sastra itu terbit berseri (jilid satu sampai delapan) yang bertajuk ”Sastra Melalui Peranakan Tionghoa”. Buku itu membicarkan tentang karya sastra kaum penulis Tionghoa tempo dulu. Anehnya, ketika karya sastra itu terbit pertama kali, pernah dijuluki sebagai bacaan picisan, murahan dan bermutu rendah. Akibat julukan itu, maka hasil kesusastraan peranakan Tionggoa tergolong bacaan liar. Mengapa demikian?

KESUSASTRAAN peranakan ini di Indonesia lebih populer diistilahkan sebagai sastra Melayu Peranakan Tionghoa. Di golongkannya ke dalam sastra Melayu karena bahasa yang digunakan sebagai media ekspresi oleh pengarangnya adalah bahasa Melayu, bukan bahasa Cina. Pengarang-pengarang asal negeri Tirai Bambu itu sudah lama merantau di Indonesia. Mereka tidak memiliki ikatan yang kuat dengan kebudayaan leluhurnya, khususnya di bidang bahasa.

Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung. Ungkapan itulah yang pas untuk pengarang keturunan Cina ini. Bahasa yang digunakan dalam menuangkan ide dan gagasan terpolong bahasa Melayu Rendah. Maka dari itu, kesusastraan peranakan yang berkembang ketika itu disebut dengan kesusastraan Melayu Rendah Peranakan Tionghoa. Seperti diketahui, sebelum ikrar Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, bahasa Melayu dibagi menjadi bahasa Melayu Rendah dan bahasa Melayu Tinggi.

Bahasa Melayu Rendah adalah bahasa pasaran yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Nilai rasa bahasa itu agak kasar kedengaran. Berbeda dengan bahasa Melayu Tinggi yang merupakan bahasa Melayu halus dan kedudukannya cukup terhormat. Sayangnya, dilihat dari penutur bahasa itu, jauh lebih banyak dan luas penuturnya adalah bahasa Melayu Rendah. Ternyata kondisi ini sangat menguntungkan perkembangan sastra peranakan Tionghoa karena jumlah pembacanya jauh lebih besar dan merakyat.

Tema Cerita

Tema-tema cerita yang diangkat dalam syair, roman dan cerita pendek diambil dari permasalahan hidup orang kebanyakan. Setting cerita hanya terjadi di Sumatera, dan Jawa, baik di kalangan warga Tionghoa, Pribumi maupun Belanda. Topik penceritaan seperti perkawinan, pertentangan adat, kehidupan lelaki dalam memelihara gundik, dan sosial politik. Dari permasalahan-permasalahan itu, yang paling banyak digarap adalah percintaan dan pergundikan, seperti ”Nyai Sumirah” oleh Thio Tjin Boen (1917), ”Nyai Aisah” oleh Tan Boen Kim (1915) dan ”Nyai Marsinah” (1922).

Pengarang banyak menggunakan ”Nyai” dalam judul karyanya tiada lain untuk menarik perhatian pembaca sebab kata itu bertendensi wanita simpanan atau gundik. Tokoh seperti itu bermakna negatif karena dapat diajak kencan oleh laki-laki.

Tema pornografi ketika itu merupakan permasalahan yang amat subur di tengah masyarakat yang berhasil diamati oleh pengarang. Bahkan roman ”Bunga Berjiwa” oleh Tan Boen Kim mengungkapkan bobroknya moral manusia. Diceritakan Lie Keng Ien yang dengan kekayaannya selalu memburu wanita cantik, baik wanita yang sudah bersuami maupun belum. Ketika mengawini Merari, ia tega membunuh Prawiro (suami Menari). Sebaliknya Merari yang hanya ingin bersenang-senang, akhirnya bersedia meninggalkan suaminya (Prawiro), padahal suaminya sangat setia. Hanya karena harta Merari bersedia menjadi gundik. Tokoh Lie Keng Ien adalah seorang juragan yang tinggal di Kota Surabaya. Ia memiliki empat istri simpanan. Rata-rata gundiknya itu adalah wanita yang gila kekayaan, sedangkan sang juragan tidak sanggup berbuat adil. Keempat istrinya itu saling membenci dan tidak rukun, demikian pengarang Tan Boen Kim merekam realitas sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Latar atau daerah cerita masyarakat Indonesia menarik perhatian para pengarang peranakan Tionghoa. Hal ini menunjukkan bahwa golongan masyarakat Tionghoa mempunyai hubungan yang baik dengan daerah tempat tinggal mereka. Selain itu pengarang peranakan ini menyadari bahwa pembacanya bukan hanya masyarakat Tionghoa tetapi juga masyarakat pribumi. Menyadari kondisi ini, muncullah tema-tema perkawinan antarsuku bangsa seperti lelaki Tionghoa dengan wanita Indonesia dalam roman ”Bunga Roos dari Tjikembang” oleh Kwee Tak Hoay (1927), ”Bunga Roos Merah” oleh Chang Ming Tse (1939), ”Ular yang Cantik” oleh Soe Lie Piet (1929), ”Itu Bidadari dari Rawa Pening” oleh Tan Hoeng Boen (1929) dan lainnya. Dari karya-karya tersebut ternyata perkawinan campuran itu banyak mendapat tantangan, baik dari orang tua Tionghoa maupun di pihak orang tua pribumi. Perkawinan itu lebih banyak sengsaranya daripada nikmatnya.

Tentang politik dan sejarah Indonesia, juga tak luput dari pengamatan para pengarang keturunan Cina ini, seperti roman ”Darah dan Air Mata di Boven Digul” oleh Oen Bo Tik (1931), ”Merah” oleh Liem King Hoo (1937) dan ”Drama di Boven Digul” oleh Oen Bo Tik (1931). Ketiga roman tersebut berisi kisah tahanan kaum komunis Indonesia di Bovem Digul setelah pemberontakan mereka gagal. Sastrawan Tionghoa juga tertarik dengan kejadian-kejadian sejarah sehingga menjelma menjadi karya sastra yang berjudul ”Drama dari Merapi” oleh Kwee Tek Hoay (1931), ”Kembang Wijaya Kusuma” oleh Liem King Khoo (1930) serta ditulisnya kehidupan primitif masyarakat suku Badui dan Tengger.

Nota Rinkes

Karya sastra garapan pengarang Tionghoa seperti yang dipaparkan tersebut ternyata mendapat sorotan tajam dari pemerintah kolonial Belanda yang menjajah Indonesia ketika itu. Ceritanya dinilai tidak bermoral, bermutu rendah dan murahan. Kritiknya pedas yang menilai kesusastraan peranakan Tionghoa itu berselera murahan dan tergolong bacaan liar datangnya dari Direktur Volkslectuur, D.A. Rinkes. Lembaga yang dipimpinnya itu adalah semacam kantor komisi bacaan rakyat yang bertanggungjawab untuk mengawasi terbitnya buku-buku bacaan. Selanjutnya Volkslectuur yang didirikan pada tanggal 14 September 1908 ini berganti nama menjadi Balai Pustaka tahun 1917.

Tumbuhkembangnya sastra Melayu Peranakan Tionghoa ini sangat didukung oleh bermunculan penerbit-penerbit swasta yang siap mencetak dan memasarkan karya-karya para pengarang saat itu. Bisnis buku sastra ketika itu aman menggiurkan karena banyak mendatangkan keuntungan. Terbukti banyak penerbit swasta yang berdiri seperti Goan Hong (Jakarta), Economy (Bandung), Paragon (Malang), Swastika (Surakarta), Drukkerij (Semarang) dan Boekhandel Indishe (Medan).

Tentang kiprah penerbit swasta ini, D.A. Rinkes sempat pusing dan kembali mengecam bahwa penerbit itu adalah ”Saudagar kitab yang kurang suci hatinya” dan bersikap agitator. Untuk menerbitkan buku-buku, Kantor Bacaan Rakyat ini mengajukan tiga syarat pokok yaitu tidak mengandung unsur antipemerintah kolonial Belanda, tidak menyinggung perasaan dan etika golongan masyarakat tertentu dan tidak menyinggung perasaan agama tertentu. Tiga persyaratan tersebut dalam sejarah kesusastraan Indonesia dikenal dengan ”Nota Rinkes” — mengambil nama direktur Volkslectuur. Hasil-hasil kesusastraan peranakan Tinghoa digolongkan ke dalam bacaan liar dan bermutu rendah seperti di awal

tulisan ini, karena banyak mengungkapkan tema-tema pelacuran seperti pergundikan yang mengarah kepada ponografi. Hal ini dinilai mengganggu perasaan dan etika masyarakat, seperti persyaratan kedua Nota Rinkes. Selain itu, bahasa yang dieksploitasi pengarang keturunan Cina ini termasuk bahasa Melayu Rendah, yang sangat bertentangan dengan persyaratan naskah Volkslectuur yang harus menggunakan bahasa Melayu Tinggi.

Menjamurnya buku-buku sastra Melayu Tionghoa dan pengarang pribumi juga menjadi ancaman bagi pemerintah kolonial Belanda dalam melanggengkan kekuasaannya di Indonesia. berdasasrkan penelitian Claudion Salmon (1985), karya-karya pengarang Tionghoa jauh lebih banyak dibandingkan hasil karya pengarang pribumi maupun Belanda ketika itu. Salmon mencatat bahwa dari tahun 1870 sampai 1970 telah terbit 3005 karya sastra pengarang peranakan Tionghoa terdiri atas 73 sandiwara, 183 syair, 233 terjemahan sastra Barat, 759 terjemahan sastra cina dan 1398 karya roman dan cerpen asli. Angka-angka ini sangat mengkhawatirkan pemerintah Belanda, karena dapat menyusupi paham yang bertentangan dengan kebijakan penjajahan kolonial.

Kini zaman telah bergeser ke arah reformasi dengan arus informasi yang terbuka lebar. Sudah saatnya sastra Melayu peranakan Tionghoa mendapat tempat yang layak untuk dikaji dan dipelajari. Bisa jadi, julukan sebagai sastra murahan dan liar itu sebagai dampak kebijakan politis kolonial untuk mengekang kreativitas pengarang. Terlalu berlebihan menyebut predikat sebagai sastra liar karena tidak sedikit juga karya-karya pengarang keturunan cina ini yang bermutu untuk direnungkan. Selamat Tahun Baru Imlek 2555, Gong Xin Fa Chai!

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae