Tentang Tiga Antologi Cerpen Creative Writing Institute
Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Siapakah gerangan penggerak di balik layar Creative Writing Institute (CWI), sebuah lembaga baru yang konon bergiat di bidang pelatihan penulisan kreatif. Barangkali CWI ini semacam sanggar yang membina kaum muda agar menekuni bidang penulisan kreatif. Pertanyaannya: apakah mungkin penulisan kreatif dapat dilatihkan macam kegiatan olahraga? Bukankah –sebagaimana anggapan sebagian besar masyarakat— menjadi penulis –sastrawan—memerlukan talenta dan bakat yang luar biasa? Jawabannya ada pada tiga buku antologi cerpen yang diterbitkan CWI, yaitu (1) Lantaiku Penuh Darah yang menghimpun tujuh cerpen karya Poniran Kalasnikov, Pangeran Gunadi, Sarno Sensiby, dan Muslim Adi Pamungkas, (2) Membaca Perempuanku yang memuat enam cerpen karya Maya Wulan, dan (3) Keluarga Gila yang memuat tujuh cerpen karya Hudan Hidayat.
Dari nama-nama itu, hanya Hudan Hidayat yang sudah kita kenal sebagai cerpenis. Dengan begitu, niscaya Hudanlah tokoh penggeraknya. Tetapi sangat mungkin pula Ahmadun Yosi Herfanda –penyair dan salah seorang redaktur harian Republika—ikut bermain mengingat ia bertindak sebagai penyunting naskah. Kata Pengantar Irwan Kelana –Redaktur Senior Harian Umum Republika— dalam Lantaiku Penuh Darah menjelaskan duduk perkaranya. “Hudan Hidayat telah mengantarkan Poniran Kalasnikov, Pangeran Gunadi, Muslim Adi Pamungkas, Sarno Sensiby, Maya Wulan… ke pintu gerbang dunia kepengarangan, khususnya cerpen: (hlm. xii). Kecuali Maya Wulan, keempat nama itu adalah para pegawai honorer Diknas –office boy dan satpam—yang “disulap” menjadi cerpenis. Lalu, cukup pentingkah cerpen-cerpen mereka dibukukan dan diberi kata pengantar oleh seorang Irwan Kelana, redaktur senior Republika? Mari kita cermati!
***
Antologi Lantaiku Penuh Darah memuat tujuh cerpen karya Poniran Kalasnikov (dua cerpen), Pangeran Gunadi (dua cerpen), Sarno Sensiby (dua cerpen), dan satu cerpen Muslim Adi Pamungkas. Sebagai cerpenis pemula, keempatnya memperlihatkan keberanian yang sungguh. Barangkali, karena mereka berguru pada seorang Hudan Hidayat, maka gaya bertuturnya relatif mempunyai kecenderungan yang sama; mengangkat tema-tema yang mengandalkan keliaran imajinasi. Dari sanalah kita akan melihat, betapa gaya bertutur mereka begitu menjanjikan.
Bolehlah keempat cerpenis itu memperoleh sentuhan yang sama. Tetapi, tentu saja masing-masing memperlihatkan kekhasannya sendiri. Poniran Kalasnikov dalam cerpen “Lantaiku Penuh Darah” dan “Nenek Anjing” yang mengangkat latar di dunia entah-berantah dalam tataran surealisme cenderung memanfaatkan rangkaian penuturan yang berderap cepat. Kata-kata yang dirangkainya seperti berlompatan membangun sebuah dunia yang aneh. Jadilan realitas fiksional dalam cerpen itu seperti sengaja diselimuti oleh imajinasi liar yang berada di luar batas logika.
Pangeran Gunadi dalam cerpen “Ibu Pacarku” dan “Kucongkel Mata Ayah” juga berada dalam tataran antara realisme dan surealisme. Meskipun demikian, Gunadi seperti lebih menekankan pada detail deskriptif. Dengan cara itu, ia terkesan menggiring pembaca ke dunia realis. Belakangan, cara itu ternyata digunakan sebagai siasat untuk mengecoh.
Hal yang juga dilakukan Sarno Sensiby (“Sampan Kayu” dan “Titian Kayu di Tengah Rawa”). Gaya realis yang dirangkaikannya secara perlahan. Dan itu kemudian dimanfaatkan justru untuk mengulur-ulur tegangan (suspence). Dengan begitu, cerita yang dibangunnya seperti dibawa ke serangkaian teror yang menjerumuskan tokohnya ke dalam peristiwa tragis: masuk lumpur sungai (“Sampan Kayu”) dan dilahap buaya (“Titian…”). Sementara itu, Muslim Adi Pamungkas (“Kuburan”), mengawalinya dengan ledakan kuburan. Dari sanalah, tokoh aku digiring ke dunia mistik dengan cara mengaduk-aduk dunia mimpi, hayal, dan mistik dalam satu kesatuan peristiwa.
Secara keseluruhan, gaya bercerita keempat cerpenis itu masih senapas. Demikian juga tema-tema yang diangkatnya seperti sengaja mencampuradukkan realitas dengan mimpi dan hayalan yang justru malah mendatangkan serangkaian teror. Cara bertutur seperti itu tentu saja bukanlah hal yang baru. Demikian juga caranya menghadirkan rangkaian teror. Justru dalam hal itulah, keberanian keempat cerpenis itu mengangkat tema-tema inkonvensional, nyeleneh, dan tak lazim, menjadikan cerpen-cerpen mereka seperti hendak memotret fenomena dunia gaib yang kini banyak ditayangkan berbagai stasiun tv. Jika mereka lebih berhati-hati dan melakukan pendalaman yang intens, niscaya karya-karya mereka akan berhasil mengangkat peristiwa-peristiwa yang lebih mengerikan.
***
Antologi Membaca Perempuanku karya Maya Wulan memperlihatkan potensi seorang cerpenis pemula yang sungguh dahsyat. Cara memanfaatkan pencerita yang secara enteng ganti-berganti antara tokoh aku sebagai subjek dan tokoh aku sebagai objek, atau sebaliknya, tidak hanya menampilkan model penceritaan yang aneh, tetapi juga secara licik, menyelimuti pesan yang hendak disampaikan pengarangnya. Ideologisasi jender yang diperankan tokoh aku dalam berhadapan dengan tokoh ayah (“Membaca Perempuanku”) menjadi sesuatu yang wajar ketika duduk perkaranya ditampilkan dalam bentuk menolog-monolog reflektif. Kebencian tokoh aku kepada ayah tiri yang telah memperkosanya, diselimuti oleh protes tokoh aku kepada dirinya sendiri. Demikian juga perpindahan pencerita tokoh aku –subjek—pacar si perempuan— dan pencerita tokoh aku –objek—tokoh aku yang diperkosa ayah tirinya—seperti terus-menerus berhadapan dengan problem psikologis dunia perempuan yang tersisih dan tak berdaya. Sebuah cerpen yang menurut hemat saya berhasil mengangkat pelecehan jender secara ironis dan paradoksal.
Cerpen-cerpen lainnya dalam antologi itu (“Pisau”, “Matinya Seorang penulis Muda”, “Catatan Hati Seorang WIL”, “Tidur” dan “Permainan Tempat Tidur”) mengangkat realitas hayalan, mimpi, dan ilusi menjadi semacam peristiwa-peristiwa yang seolah-olah menerjang setiap tokohnya begitu saja. Imajinasi yang diselusupkan dalam setiap peristiwa, memang tidak liar. Tetapi, ketika ia menjelma menjadi tokoh cerita, ia bisa menjadi begitu liar. Bahkan begitu beringas dalam rentetan berbagai adegan yang aneh dan mendebarkan.
Mencermati tema-temanya, sadar atau tidak sadar, Maya Wulan terkesan seperti tidak dapat melepaskan diri dari bayang-bayang Hudan Hidayat –Sang Guru dan sekaligus inspirator. Di sana ada semacam perselingkuhan kreatif (psikis dan fisik?) yang lalu melahirkan sejumlah karya. Dalam beberapa hal, model keterpengaruhan seperti itu sangat mungkin dapat melahirkan style dan kecenderungan yang relatif paralel. Di situlah ancaman bahaya bagi Maya Wulan seperti menunggu waktu. Jika ia terus menikmati keterjebakan dan keterpukauannya pada bayang-bayang itu, ia akan mati muda seperti tokoh dalam cerpennya “Matinya Seorang penulis Muda” itu. Sebaliknya, jika ia mampu melepaskan diri dan bahkan berhasil membunuh bayang-bayang itu, niscaya ia akan tampil menjadi sosok cerpenis yang kokoh dan berpribadi.
Dalam deretan cerpenis perempuan, Maya Wulan sungguh patut mendapat tempat tersendiri. Gaya berceritanya penuh imaji, dan kadangkala sangat simbolik.Dalam hal ini, Wulan tampil dengan sangat meyakinkan mengusung problem perempuan dalam berhadapan dengan dirinya sendiri atau dengan kaum lelaki yang terus-menerus mengalahkannya. Sebuah cara yang licik dalam memprotes superioritas kaum lelaki.
***
Antologi Keluarga Gila karya Hudan Hidayat memang benar-benar menampilkan dunia gila. Berbagai peristiwa tentang kematian, seksualitas, dan naluri-naluri purba mendominasi keseluruhan cerpen-cerpen yang terhimpun dalam antologi ini. Apa yang dikatakan Karl Jaspers mengenai penolakan terhadap kematian yang disebutnya sebagai “situasi marjinal” seperti sengaja diledek dan diaduk-aduk menjadi alat permainan setiap tokoh yang dihadirnya. Penolakan terhadap kematian yang bagi masyarakat modern sebagai sesuatu yang penting –meskipun tak terelakkan—justru dicemooh melalui tokoh yang memburu kematian, bersetubuh dengan kematian, dan mencampakkan nyawa seperti barang tak berharga.
Berbeda dengan antologi sebelumnya, Orang Sakit (2000), kini Hudan Hidayat mengusung sebuah tema sejenis; naluri kepurbaan. Dalam konteks itu, tidak dapat lain, ia seperti sengaja menempatkan kematian sama berharganya atau sama tak berharganya dengan seksualitas. Di sinilah, Hudan Hidayat secara tersembunyi mengangkat problem manusia modern –yang mendewakan kehidupan di atas segalanya— sebagai manusia yang tidak dapat melepaskan diri dari naluri-naluri purba. Ketakutan manusia modern atas kematian dijurkirbalikkan dengan tampilnya tokoh-tokoh yang justru mengejar kematian.
Demikianlah, kehadiran antologi Keluarga Gila, harus diakui, tidak hanya telah berhasil menyemarakkan tema cerpen Indonesia kontemporer, tetapi juga telah berhasil menunjukkan sebuah style, bagaimana memotret dunia modern secara paradoksal. Di samping itu, sebuah estetika psikologis yang menjadi salah satu kekuatan antologi cerpen ini, telah ditanamkan Hudan Hidayat secara meyakinkan. Persoalannya tinggal, bagaimana pembaca menyikapinya dalam perspektif yang sama.
***
Bagi saya, ketiga antologi cerpen yang dibicarakan tadi, patutlah mendapat apresiasi yang proporsional. Ada potensi yang luar biasa di sana. Maka, jika para cerpenis itu menghasilkan karya-karya berikutnya, bolehlah kita menganggap: sebuah mainstream, sebuah kecenderungan estetik, telah dibangun Hudan Hidayat beserta murid-muridnya secara meyakinkan.. Jika ternyata mereka sudah cukup puas dengan antologinya masing-masing, itu artinya, sinyal kematian bakal menggilas mereka. Sebaliknya, jika mereka berkehendak menampilkan sejumlah monumen, maka kita tunggu saja karya berikutnya.
*) Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 28 Maret 2009
Jurnalistik Sastra, Jurnalisme Hati Nurani
Hastho Suprapto
http://www.balipost.co.id/
Pandangan I Nyoman Suaka tentang jurnalistik sastra (Bali Post, 22/2) cenderung menyimpulkan bahwa pers bisa berperan menurunkan ketegangan situasi jika menerapkan konsep berita bergaya sastra. Begitu dekat Suaka membawa jurnalistik yang dipertentangkannya kepada kondisi tertentu padahal variabelnya belum pasti saling menunjang. Tergantung dari sebab akibatnya, kapan jurnalistik itu berperan sebagai stabilisator. Agaknya, kesimpulan Suaka ini merupakan hipotesa yang salah.
DALAM teknologi komunikasi modern kini, berita-berita saling berpacu merebut kesempatan pertama dengan bahasanya yang singkat, padat, berisi dan memukau. Berita iklan pun kini jadi saingan pers karena bahasa iklan yang lebih menukik, menusuk-nusuk.
Kini ada jurnalistik baru yang disebut "jurnalisme hati nurani" yang dicetuskan dalam buku karya Bill Kovach, ketua Committee of Concerned Journalist -- lembaga kewartawanan yang peduli kepada publik di Amerika Serikat. Ada sembilan elemen jurnalisme menurut Kovach yakni (1) kebenaran, (2) loyalitas, (3) disiplin verifikasi, (4) independensi, (5) pemantau kekuasaan, (6) forum publik, (7) menarik dan relevan, (8) komperenhensif dan proposional, dan (9) wartawan harus mengikuti hati nurani. Jurnalisme inikah yang disebut jurnalistik sastra karena ada sentuhannya kepada hati nurani? Karya Bill Kovach ini nampaknya juga sejalan dengan 10 pedoman penulisan berita yang dianjurkan oleh PWI pusat. Baik 9 elemen Bill Kovach ataupun 10 pedoman PWI tujuannya adalah tertatanya berita untuk menciptakan kondisi yang aman bagi publik atas berita-berita yang beredar. Bukan mengubah kondisi yang ada.
Nampaknya Suaka terlambat menulis dan keburu waktu membuat kesimpulan. Gek Ary Suharsani lantas muncul dan mengoreksi Suaka (Bali Post, 29/2). Sampai tulisan kedua turun, Suaka (Bali Post, 7/3) hanya merevisi bagian tulisannya yang perlu diperjelas. Tak ada yang baru. Sebaiknya Suaka berdiri di tempat yang aman dan membiarkan jurnalistik itu berjalan apa adanya sejajar dengan hak jurnalistik sastra yang jadi dambaan Suaka.
Sesungguhnya jurnalistik sastra itu muncul karena adanya akibat. Akibat kerusuhan, misalnya. Ada korban-korban. Ada provokator. Yang pertama mengungkap tabir kerusuhan itu antara lain memang jurnalistik. Yang menangkap provokatornya polisi. Yang meneruskan ceritanya adalah jurnalistik sastra yang mampu mengetuk hati para dermawan untuk menyumbangkan jutaan uangnya bagi para korban kerusuhan.
Suaka dan Suharsani ternyata hanya mendiskusikan dalil-dalil 5W + 1H, bukan kepada persoalan pokok dari tulisan Suaka. Suharsani yang punya pengalaman mengikuti work shop jurnalistik sastra -- meski pandangannya luas -- juga tak bergeser dari persoalan sebenarnya. Substansi persoalan adalah, apakah jurnalistik sastra itu bisa mengubah keadaan, situasi dan kondisi yang berkembang? Karena persoalan itu berkait dengan sastra sebagai topik pemberitaan, persoalannya menjadi lain yang membuat pembaca ingin tahu apa sebenarnya yang disebut berita itu, apa sastra, apa sastra-berita, apa jurnalistik sastra, dan seterusnya.
Sekali Terjadi
Dari buku "Scholastic Journalism" (The IOWA State University Press) disebutkan, berita memiliki momentum yang sekali terjadi. Akurasinya terikat waktu saat berita itu meletus. Lewat satu menit saja, jika ada berita sama beredar, momentumnya sudah hilang. Yang tersisa hanyalah action, tindakan-tindakan, rumor, dan sebagainya. Jurnalistik hanya menyodorkan 5 W + 1H yang perlu ditelusuri pihak lain. Jika ada situasi berkembang akibat berita, itu sudah di luar jangkauan jurnalistik.
Prof. A Reiching (ahli bahasa) menyatakan berita sebagai instrumen bahasa adalah perbuatan instrumental yang koperatif yang mengajak manusia untuk berbagai rasa. Berita menempatkan manusia pada kedudukan yang sama dan tanggung jawab yang sama pula. Jika ada berita seseorang hanya diam, tak berintegrasi, peran dan tanggung jawabnya rendah. Jadi berita memang mendorong seseorang mengambil peran dan tanggung jawab.
Lalu, apakah sastra? Dari buku Kamus Besar Bahasa Indonesia, penjelasan mengenai sastra malahan tidak menarik. Statis dan beku. Saya teringat ketika masih SMA di Surabaya puluhan tahun lampau. Bahasa Indonesia diajar oleh guru Iwan Simatupang, sastrawan eksistensialis yang masa itu dikenal sebagai pemberontak bahasa sastra yang beku. Pak Iwan mengatakan sastra lahir dari hati nurani manusia yang mengalami gejolak batin yang hebat. Ketidakmampuannya menghadapi kekerasan dan kezaliman, manusia melawannya dengan logika, kebenaran dan hati nurani. Dalam kegalauan yang campur aduk itu, sastra tidak menyuruh lawannya untuk menyerah tapi menghimpun kekuatan manusia menghadapi dunianya sendiri dan dunia di luar dirinya.
Albert Camus ("The Major Works of A.Camus") menyatakan sastra adalah ketegangan absurditas yang terus bergolak sampai manusia mencapai kesadaran puncak dengan pikiran terkontrol, penahanan diri terhadap tekanan-tekanan apapun, baik politis, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Absurditas adalah kegilaan untuk mencapai kreativitas yang tinggi. Berkarya terus sampai manusia itu menemukan nilai-nilai yang terbaik dalam dirinya yakni hati nurani. Dengan meramu pendapat-pendapat tersebut disimpulkan bahwa jurnalistik sastra adalah jurnalistik yang sangat menghargai kedudukan manusia, menghargai waktu, berbagai rasa dengan orang lain, mendorong peran dan tanggung jawab yang sama. Mendorong manusia untuk mencapai kesadaran yang tinggi, yakni hati nurani.
Beban Berat
Begitu berat beban yang harus diemban jika jurnalistik sastra itu diproyeksikan kepada kenyataan yang sebenarnya terjadi di Indonesia yang segalanya serba semu, paradoksal. Seorang yang penampilannya semula meyakinkan untuk dianggap sebagai pemimpin bangsa ternyata kenyataannya tidak begitu. Supremasi hukum selalu disuruh-suruh tegakkan tapi kejahatan korupsi dibolehkan jalan. Ada kredo hukum yang sangat terkenal berbunyi "lebih baik membebaskan orang bersalah daripada menghukum orang yang benar". Kedengarannya seperti kredo yang dilematis, lebih baik mengambil langkah ini daripada yang itu. Jurnalistik hampir tak punya sisa menyoroti kenyataan itu, tapi jika yang disoroti tetap tebal muka, jurnalistik mau apa?
Sesungguhnya jurnalistik sastra itu muncul ketika ada musuh besar yang harus dihadapi yakni musuh ras diskriminasi dan perbudakan di Amerika, Afrika. Lalu merembet ke Eropa, Timur Tengah, India, dll. Pengarang-pengarang besar dunia sampai perlu turun jadi wartawan perang (!) mencegah meluasnya bencana moral tersebut. Ada nama-nama besar seperti Albert Camus, Loei Fisser, sampai Arthur Koestler. Tetapi keganasan dunia toh tetap terjadi. Kenyataan itukah yang barangkali jadi ganjalan Suaka yang mengeluhkan jurnalistik kita kurang mengambil peran mewadahi menghadapi gejolak situasi yang terus berkembang? Barangkali bukan hanya Suaka yang patut mengeluh, semua pembaca koran yang nuraninya bergetar tak pernah berhenti batinnya tersiksa.
Penggerak jurnalistik sastra di Indonesia terbilang hitungan jari. Hanya ada nama-nama Gunawan Muhamad, M Sobari, Bur Rasuanto, hingga Arswendo. Itupun sebagian sudah bergeser ke dunia film, suatu media yang dianggapnya lebih banyak bisa menggali hati nurani manusia? Jika ada 1% saja dari seluruh pembaca koran memahami pentingnya jurnalistik sastra, sudah untung. Selebihnya adalah para pembaca yang bingung tak pernah mengerti apa sebenarnya yang terjadi di Indonesia ini.
http://www.balipost.co.id/
Pandangan I Nyoman Suaka tentang jurnalistik sastra (Bali Post, 22/2) cenderung menyimpulkan bahwa pers bisa berperan menurunkan ketegangan situasi jika menerapkan konsep berita bergaya sastra. Begitu dekat Suaka membawa jurnalistik yang dipertentangkannya kepada kondisi tertentu padahal variabelnya belum pasti saling menunjang. Tergantung dari sebab akibatnya, kapan jurnalistik itu berperan sebagai stabilisator. Agaknya, kesimpulan Suaka ini merupakan hipotesa yang salah.
DALAM teknologi komunikasi modern kini, berita-berita saling berpacu merebut kesempatan pertama dengan bahasanya yang singkat, padat, berisi dan memukau. Berita iklan pun kini jadi saingan pers karena bahasa iklan yang lebih menukik, menusuk-nusuk.
Kini ada jurnalistik baru yang disebut "jurnalisme hati nurani" yang dicetuskan dalam buku karya Bill Kovach, ketua Committee of Concerned Journalist -- lembaga kewartawanan yang peduli kepada publik di Amerika Serikat. Ada sembilan elemen jurnalisme menurut Kovach yakni (1) kebenaran, (2) loyalitas, (3) disiplin verifikasi, (4) independensi, (5) pemantau kekuasaan, (6) forum publik, (7) menarik dan relevan, (8) komperenhensif dan proposional, dan (9) wartawan harus mengikuti hati nurani. Jurnalisme inikah yang disebut jurnalistik sastra karena ada sentuhannya kepada hati nurani? Karya Bill Kovach ini nampaknya juga sejalan dengan 10 pedoman penulisan berita yang dianjurkan oleh PWI pusat. Baik 9 elemen Bill Kovach ataupun 10 pedoman PWI tujuannya adalah tertatanya berita untuk menciptakan kondisi yang aman bagi publik atas berita-berita yang beredar. Bukan mengubah kondisi yang ada.
Nampaknya Suaka terlambat menulis dan keburu waktu membuat kesimpulan. Gek Ary Suharsani lantas muncul dan mengoreksi Suaka (Bali Post, 29/2). Sampai tulisan kedua turun, Suaka (Bali Post, 7/3) hanya merevisi bagian tulisannya yang perlu diperjelas. Tak ada yang baru. Sebaiknya Suaka berdiri di tempat yang aman dan membiarkan jurnalistik itu berjalan apa adanya sejajar dengan hak jurnalistik sastra yang jadi dambaan Suaka.
Sesungguhnya jurnalistik sastra itu muncul karena adanya akibat. Akibat kerusuhan, misalnya. Ada korban-korban. Ada provokator. Yang pertama mengungkap tabir kerusuhan itu antara lain memang jurnalistik. Yang menangkap provokatornya polisi. Yang meneruskan ceritanya adalah jurnalistik sastra yang mampu mengetuk hati para dermawan untuk menyumbangkan jutaan uangnya bagi para korban kerusuhan.
Suaka dan Suharsani ternyata hanya mendiskusikan dalil-dalil 5W + 1H, bukan kepada persoalan pokok dari tulisan Suaka. Suharsani yang punya pengalaman mengikuti work shop jurnalistik sastra -- meski pandangannya luas -- juga tak bergeser dari persoalan sebenarnya. Substansi persoalan adalah, apakah jurnalistik sastra itu bisa mengubah keadaan, situasi dan kondisi yang berkembang? Karena persoalan itu berkait dengan sastra sebagai topik pemberitaan, persoalannya menjadi lain yang membuat pembaca ingin tahu apa sebenarnya yang disebut berita itu, apa sastra, apa sastra-berita, apa jurnalistik sastra, dan seterusnya.
Sekali Terjadi
Dari buku "Scholastic Journalism" (The IOWA State University Press) disebutkan, berita memiliki momentum yang sekali terjadi. Akurasinya terikat waktu saat berita itu meletus. Lewat satu menit saja, jika ada berita sama beredar, momentumnya sudah hilang. Yang tersisa hanyalah action, tindakan-tindakan, rumor, dan sebagainya. Jurnalistik hanya menyodorkan 5 W + 1H yang perlu ditelusuri pihak lain. Jika ada situasi berkembang akibat berita, itu sudah di luar jangkauan jurnalistik.
Prof. A Reiching (ahli bahasa) menyatakan berita sebagai instrumen bahasa adalah perbuatan instrumental yang koperatif yang mengajak manusia untuk berbagai rasa. Berita menempatkan manusia pada kedudukan yang sama dan tanggung jawab yang sama pula. Jika ada berita seseorang hanya diam, tak berintegrasi, peran dan tanggung jawabnya rendah. Jadi berita memang mendorong seseorang mengambil peran dan tanggung jawab.
Lalu, apakah sastra? Dari buku Kamus Besar Bahasa Indonesia, penjelasan mengenai sastra malahan tidak menarik. Statis dan beku. Saya teringat ketika masih SMA di Surabaya puluhan tahun lampau. Bahasa Indonesia diajar oleh guru Iwan Simatupang, sastrawan eksistensialis yang masa itu dikenal sebagai pemberontak bahasa sastra yang beku. Pak Iwan mengatakan sastra lahir dari hati nurani manusia yang mengalami gejolak batin yang hebat. Ketidakmampuannya menghadapi kekerasan dan kezaliman, manusia melawannya dengan logika, kebenaran dan hati nurani. Dalam kegalauan yang campur aduk itu, sastra tidak menyuruh lawannya untuk menyerah tapi menghimpun kekuatan manusia menghadapi dunianya sendiri dan dunia di luar dirinya.
Albert Camus ("The Major Works of A.Camus") menyatakan sastra adalah ketegangan absurditas yang terus bergolak sampai manusia mencapai kesadaran puncak dengan pikiran terkontrol, penahanan diri terhadap tekanan-tekanan apapun, baik politis, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Absurditas adalah kegilaan untuk mencapai kreativitas yang tinggi. Berkarya terus sampai manusia itu menemukan nilai-nilai yang terbaik dalam dirinya yakni hati nurani. Dengan meramu pendapat-pendapat tersebut disimpulkan bahwa jurnalistik sastra adalah jurnalistik yang sangat menghargai kedudukan manusia, menghargai waktu, berbagai rasa dengan orang lain, mendorong peran dan tanggung jawab yang sama. Mendorong manusia untuk mencapai kesadaran yang tinggi, yakni hati nurani.
Beban Berat
Begitu berat beban yang harus diemban jika jurnalistik sastra itu diproyeksikan kepada kenyataan yang sebenarnya terjadi di Indonesia yang segalanya serba semu, paradoksal. Seorang yang penampilannya semula meyakinkan untuk dianggap sebagai pemimpin bangsa ternyata kenyataannya tidak begitu. Supremasi hukum selalu disuruh-suruh tegakkan tapi kejahatan korupsi dibolehkan jalan. Ada kredo hukum yang sangat terkenal berbunyi "lebih baik membebaskan orang bersalah daripada menghukum orang yang benar". Kedengarannya seperti kredo yang dilematis, lebih baik mengambil langkah ini daripada yang itu. Jurnalistik hampir tak punya sisa menyoroti kenyataan itu, tapi jika yang disoroti tetap tebal muka, jurnalistik mau apa?
Sesungguhnya jurnalistik sastra itu muncul ketika ada musuh besar yang harus dihadapi yakni musuh ras diskriminasi dan perbudakan di Amerika, Afrika. Lalu merembet ke Eropa, Timur Tengah, India, dll. Pengarang-pengarang besar dunia sampai perlu turun jadi wartawan perang (!) mencegah meluasnya bencana moral tersebut. Ada nama-nama besar seperti Albert Camus, Loei Fisser, sampai Arthur Koestler. Tetapi keganasan dunia toh tetap terjadi. Kenyataan itukah yang barangkali jadi ganjalan Suaka yang mengeluhkan jurnalistik kita kurang mengambil peran mewadahi menghadapi gejolak situasi yang terus berkembang? Barangkali bukan hanya Suaka yang patut mengeluh, semua pembaca koran yang nuraninya bergetar tak pernah berhenti batinnya tersiksa.
Penggerak jurnalistik sastra di Indonesia terbilang hitungan jari. Hanya ada nama-nama Gunawan Muhamad, M Sobari, Bur Rasuanto, hingga Arswendo. Itupun sebagian sudah bergeser ke dunia film, suatu media yang dianggapnya lebih banyak bisa menggali hati nurani manusia? Jika ada 1% saja dari seluruh pembaca koran memahami pentingnya jurnalistik sastra, sudah untung. Selebihnya adalah para pembaca yang bingung tak pernah mengerti apa sebenarnya yang terjadi di Indonesia ini.
Jumat, 27 Maret 2009
PASAR SEBAGAI RUMAH KEPENYAIRAN
Damhuri Muhammad*
http://www.padangekspres.co.id
Sepintas lalu mungkin sukar memetakan hubungan antara puisi dan pasar. Sebab, pasar yang dimaksud di sini tidak dalam artian tempat puisi bisa diperjualbelikan—seperti toko buku, peristiwa-peristiwa pameran, bazar-bazar dan sejenisnya—melainkan pasar yang sesungguhnya, tempat para pedagang meneriakkan nama dan harga barang dagangan masing-masing, berikut dengan segala bujuk-rayu dan taktik-taktik jitu, agar lekas dihampiri pembeli. Setipis apapun kemungkinan hubungan itu, tapi sejarah kesusasteraan Arab telah mengungkapkan fakta perihal hubungan yang berkelit-kelindan antara puisi dan pasar. Dan, tak hanya berhenti sampai di situ, para pengkaji sastra Arab klasik bahkan nyaris berketegasan bahwa tanpa pasar, apresiasi puisi di kurun “jahiliyah” itu tiada bakal menyala-nyala sebagaimana adanya.
Peristiwa itu berlangsung pada abad ke-5 M, persisnya ketika pasar ‘Ukaz menjadi ajang perlombaan baca sajak hasil karya para penyair masa itu. Pelbagai genre sajak berhamburan dalam keriuhan pasar itu, mulai dari ghazzal (rayuan untuk perempuan), madh (pujian-pujian untuk petinggi suku yang memenangkan perang antar kabilah) hingga sajak-sajak rasya’ (ratapan untuk pahlawan yang gugur di medan tempur). Di pasar itu pula kompetisi terjadi, dan sajak-sajak yang terpilih sebagai pemenang akan beroleh imbalan yang tak tanggung-tanggung; ditulis dengan tinta emas, dibingkai, lalu dipajang di dinding Ka’bah. Penghargaan bergengsi yang diidam-idamkan oleh semua penyair. Himpunan sajak-sajak terseleksi itulah yang dalam catatan sejarah kelak dikenal dengan muhazzabat (yang ditulis dengan tinta emas) dan muallaqat (yang digantung di dinding Ka’bah).
Thomas Patrick Hughes, dalam Dictionary of Islam (1895) mencatat tujuh nama penyair Arab terkemuka yang lahir dari tradisi muhazzabat dan muallaqat ini, antara lain: Zuhair, Trafah, Imrul Qays, Amru ibn Kulsum, al-Haris, Antarah dan Labid. Di antara ketujuh penyair itu, yang paling berpengaruh dalam khazanah sastra Arab adalah Imrul Qays (wafat tahun 550 M), sebagaimana diakui oleh al-Ashma’i dalam bukunya al-Fuhul asy-Syuara’ (1971). Menurutnya, Imrul Qays adalah pionir bagi para penyair “jahiliyah” lainnya. Ibnu Qutaibah dalam asy-Syi’ir wa asy-Syu’ara (1969) mencatat, di masa selanjutnya, bahkan tokoh penting, Umar bin Khattab pernah memuji kepiawaian penyair ini. Khalifah kedua setelah Abu Bakar Siddieq itu bilang, Imrul Qays adalah pencipta mata air puisi bagi para penyair di zamannya.
Ketersohoran Imrul Qays sukar dilepaskan sajak-sajak ghazzal-nya yang dianggap tabu dan vulgar oleh kaum Quraish masa itu. Aku menyukai orang hamil dan menyusui/bukan anak gadis yang perawan dan ranum/tiada kupedulikan perut dan anak yang merengek di pangkuannya/tatkala tubuhnya terperangkap di tubuhku, begitu salah satu versi terjemahan puisi “lendir” Imrul Qays. Ibnu Qutaibah juga meriwayatkan, akibat imaji ketubuhan yang diusungnya dalam sajak, Imrul Qays terusir dari rumah hingga akhir hayatnya. Penyair itu menjadi “bohemian” tulen, hidup menggelandang di jalanan, terlunta-terlunta di pasar ‘Ukaz dalam kemiskinan yang sedemikian parah. Kalaupun ia masih bisa berbesar hati, itu karena sajak-sajaknya terus-menerus menuai ketakjuban dan decak-kagum dari para penggila syair-syair ghazzal.
Kisah tentang pengusiran Imrul Qays lantaran sajak-sajaknya yang bersemangat ketubuhan itu cukup mencengangkan. Betapa tidak? Bukankah sejarah telah menegaskan bahwa masa “jahiliyah” itu adalah sebuah kurun ketika tatanan masyarakat Arab masih belum terpagari oleh norma-norma dan etika? Tapi nyatanya ada sebagian di antara kaum Quraisy yang mengutuk dan mencela sajak-sajak bergelimang lendir karya Imrul Qays— meskipun sebagian yang lain memberikan apresiasi yang berlebihan hingga dengan sangat terbuka dan leluasa dideklamasikan di pasar ‘Ukaz. Atau barangkali gejala ini tak lebih dari akal-akalan dan muslihat “orang-orang pasar” dalam membangun dan mendongkrak popularitas para penyair muallaqat? Namun, terlepas dari semua kontroversi di balik sajak-sajak ghazzal yang serba berterus-terang dan bertelanjang itu, Imrul Qays memang hendak memperlihatkan sebuah gairah pencarian terhadap kesadaran puitik yang sama sekali baru, setidaknya bila diukur dan ditakar dengan langgam estetika sastrawi sastra “jahiliyah”. Penyair itu membangun semacam metafora baru yang tanpa disadarinya ternyata telah melampaui konvensi-konvensi bahasa yang masih merujuk pada masa lalu seperti tergambar dalam puisinya; aku naiki kuda dalam peperangan/bagaikan belalang/lembut gemulai/jambulnya tergerai menutupi wajahnya. Kata “kuda” yang biasanya digunakan sebagai simbol kegagah-beranian di medan pertempuran antar kabilah, dialihfungsikan oleh Imrul Qays menjadi sebuah pengamsalan ganjil yang ternyata dianggap janggal dan bermasalah di masa itu; simbol kejantanan laki-laki yang tergeletak menjadi pecundang di atas ranjang. Akibatnya, “kuda” itu bagai “belalang” yang gemulai, atau lemah syahwat, lebih tepatnya. Selain itu, menurut Al-Marzabani dalam Al-Muwassiyah (1965), sajak-sajak Imrul Qays juga melanggar kelaziman struktur puisi Arab yang setiap baitnya tidak boleh saling bertentangan, setiap kata saling mengokohkan, hingga membentuk kesatuan makna yang utuh dan tak tergoyahkan—dalam terminologi sastra Arab disebut Qafiyah.
Namun, semua keganjilan dan ketaklaziman dalam sajak-sajaknya itulah yang membuat nama Imrul Qays semakin berkibar dan mentereng dalam sejarah puisi Arab. Hingga kini ia dikenang sebagai penyair Arab legendaris. Al-Ashama’i (1971) mensinyalir, nama besar Imrul Qays justru ditandai oleh gairah pemberontakan terhadap tradisi kepenyairan di masanya, dan pencapaian kasadaran puitik yang menyimpang jauh dari konvensi-konvensi sastra zaman itu. Namun, yang juga mengherankan, di masanya, Imrul Qays tetap saja menjadi penyair yang terusir, dicerca dan dimaki lantaran ia tiada kunjung berhenti menggubah sajak-sajak ghazzal yang meresahkan itu. Nama besarnya berbanding terbalik dengan riwayat dan peruntungannya, yang sudah tidak mungkin diterima di rumahnya sendiri, yang terlunta-terlunta dan dikebat kemelaratan, yang hidupnya menggelandang. Kalaupun masih ada tempat ia berpulang, itu hanya ke pasar ‘Ukaz. Di pasar itu rumah kepenyairan Imrul Qays, dan bila tiba saatnya, juga bakal menjadi kuburannya…
*) Cerpenis, Bermukim di pinggiran Jakarta.
http://www.padangekspres.co.id
Sepintas lalu mungkin sukar memetakan hubungan antara puisi dan pasar. Sebab, pasar yang dimaksud di sini tidak dalam artian tempat puisi bisa diperjualbelikan—seperti toko buku, peristiwa-peristiwa pameran, bazar-bazar dan sejenisnya—melainkan pasar yang sesungguhnya, tempat para pedagang meneriakkan nama dan harga barang dagangan masing-masing, berikut dengan segala bujuk-rayu dan taktik-taktik jitu, agar lekas dihampiri pembeli. Setipis apapun kemungkinan hubungan itu, tapi sejarah kesusasteraan Arab telah mengungkapkan fakta perihal hubungan yang berkelit-kelindan antara puisi dan pasar. Dan, tak hanya berhenti sampai di situ, para pengkaji sastra Arab klasik bahkan nyaris berketegasan bahwa tanpa pasar, apresiasi puisi di kurun “jahiliyah” itu tiada bakal menyala-nyala sebagaimana adanya.
Peristiwa itu berlangsung pada abad ke-5 M, persisnya ketika pasar ‘Ukaz menjadi ajang perlombaan baca sajak hasil karya para penyair masa itu. Pelbagai genre sajak berhamburan dalam keriuhan pasar itu, mulai dari ghazzal (rayuan untuk perempuan), madh (pujian-pujian untuk petinggi suku yang memenangkan perang antar kabilah) hingga sajak-sajak rasya’ (ratapan untuk pahlawan yang gugur di medan tempur). Di pasar itu pula kompetisi terjadi, dan sajak-sajak yang terpilih sebagai pemenang akan beroleh imbalan yang tak tanggung-tanggung; ditulis dengan tinta emas, dibingkai, lalu dipajang di dinding Ka’bah. Penghargaan bergengsi yang diidam-idamkan oleh semua penyair. Himpunan sajak-sajak terseleksi itulah yang dalam catatan sejarah kelak dikenal dengan muhazzabat (yang ditulis dengan tinta emas) dan muallaqat (yang digantung di dinding Ka’bah).
Thomas Patrick Hughes, dalam Dictionary of Islam (1895) mencatat tujuh nama penyair Arab terkemuka yang lahir dari tradisi muhazzabat dan muallaqat ini, antara lain: Zuhair, Trafah, Imrul Qays, Amru ibn Kulsum, al-Haris, Antarah dan Labid. Di antara ketujuh penyair itu, yang paling berpengaruh dalam khazanah sastra Arab adalah Imrul Qays (wafat tahun 550 M), sebagaimana diakui oleh al-Ashma’i dalam bukunya al-Fuhul asy-Syuara’ (1971). Menurutnya, Imrul Qays adalah pionir bagi para penyair “jahiliyah” lainnya. Ibnu Qutaibah dalam asy-Syi’ir wa asy-Syu’ara (1969) mencatat, di masa selanjutnya, bahkan tokoh penting, Umar bin Khattab pernah memuji kepiawaian penyair ini. Khalifah kedua setelah Abu Bakar Siddieq itu bilang, Imrul Qays adalah pencipta mata air puisi bagi para penyair di zamannya.
Ketersohoran Imrul Qays sukar dilepaskan sajak-sajak ghazzal-nya yang dianggap tabu dan vulgar oleh kaum Quraish masa itu. Aku menyukai orang hamil dan menyusui/bukan anak gadis yang perawan dan ranum/tiada kupedulikan perut dan anak yang merengek di pangkuannya/tatkala tubuhnya terperangkap di tubuhku, begitu salah satu versi terjemahan puisi “lendir” Imrul Qays. Ibnu Qutaibah juga meriwayatkan, akibat imaji ketubuhan yang diusungnya dalam sajak, Imrul Qays terusir dari rumah hingga akhir hayatnya. Penyair itu menjadi “bohemian” tulen, hidup menggelandang di jalanan, terlunta-terlunta di pasar ‘Ukaz dalam kemiskinan yang sedemikian parah. Kalaupun ia masih bisa berbesar hati, itu karena sajak-sajaknya terus-menerus menuai ketakjuban dan decak-kagum dari para penggila syair-syair ghazzal.
Kisah tentang pengusiran Imrul Qays lantaran sajak-sajaknya yang bersemangat ketubuhan itu cukup mencengangkan. Betapa tidak? Bukankah sejarah telah menegaskan bahwa masa “jahiliyah” itu adalah sebuah kurun ketika tatanan masyarakat Arab masih belum terpagari oleh norma-norma dan etika? Tapi nyatanya ada sebagian di antara kaum Quraisy yang mengutuk dan mencela sajak-sajak bergelimang lendir karya Imrul Qays— meskipun sebagian yang lain memberikan apresiasi yang berlebihan hingga dengan sangat terbuka dan leluasa dideklamasikan di pasar ‘Ukaz. Atau barangkali gejala ini tak lebih dari akal-akalan dan muslihat “orang-orang pasar” dalam membangun dan mendongkrak popularitas para penyair muallaqat? Namun, terlepas dari semua kontroversi di balik sajak-sajak ghazzal yang serba berterus-terang dan bertelanjang itu, Imrul Qays memang hendak memperlihatkan sebuah gairah pencarian terhadap kesadaran puitik yang sama sekali baru, setidaknya bila diukur dan ditakar dengan langgam estetika sastrawi sastra “jahiliyah”. Penyair itu membangun semacam metafora baru yang tanpa disadarinya ternyata telah melampaui konvensi-konvensi bahasa yang masih merujuk pada masa lalu seperti tergambar dalam puisinya; aku naiki kuda dalam peperangan/bagaikan belalang/lembut gemulai/jambulnya tergerai menutupi wajahnya. Kata “kuda” yang biasanya digunakan sebagai simbol kegagah-beranian di medan pertempuran antar kabilah, dialihfungsikan oleh Imrul Qays menjadi sebuah pengamsalan ganjil yang ternyata dianggap janggal dan bermasalah di masa itu; simbol kejantanan laki-laki yang tergeletak menjadi pecundang di atas ranjang. Akibatnya, “kuda” itu bagai “belalang” yang gemulai, atau lemah syahwat, lebih tepatnya. Selain itu, menurut Al-Marzabani dalam Al-Muwassiyah (1965), sajak-sajak Imrul Qays juga melanggar kelaziman struktur puisi Arab yang setiap baitnya tidak boleh saling bertentangan, setiap kata saling mengokohkan, hingga membentuk kesatuan makna yang utuh dan tak tergoyahkan—dalam terminologi sastra Arab disebut Qafiyah.
Namun, semua keganjilan dan ketaklaziman dalam sajak-sajaknya itulah yang membuat nama Imrul Qays semakin berkibar dan mentereng dalam sejarah puisi Arab. Hingga kini ia dikenang sebagai penyair Arab legendaris. Al-Ashama’i (1971) mensinyalir, nama besar Imrul Qays justru ditandai oleh gairah pemberontakan terhadap tradisi kepenyairan di masanya, dan pencapaian kasadaran puitik yang menyimpang jauh dari konvensi-konvensi sastra zaman itu. Namun, yang juga mengherankan, di masanya, Imrul Qays tetap saja menjadi penyair yang terusir, dicerca dan dimaki lantaran ia tiada kunjung berhenti menggubah sajak-sajak ghazzal yang meresahkan itu. Nama besarnya berbanding terbalik dengan riwayat dan peruntungannya, yang sudah tidak mungkin diterima di rumahnya sendiri, yang terlunta-terlunta dan dikebat kemelaratan, yang hidupnya menggelandang. Kalaupun masih ada tempat ia berpulang, itu hanya ke pasar ‘Ukaz. Di pasar itu rumah kepenyairan Imrul Qays, dan bila tiba saatnya, juga bakal menjadi kuburannya…
*) Cerpenis, Bermukim di pinggiran Jakarta.
Sabtu, 21 Maret 2009
Sajak-Sajak Indrian koto
http://www.korantempo.com/
KEPOMPONG
bagaimana jadinya
jika hanya sekedar kepompong
padahal ulat tidaklah buruk
selalu dibayangkannya sepasang sayap
tumbuh dari punggungnya. warna-warna terang
menggantung di setiap lembaran bajunya yang baru
ia kenang tubuhnya melompat dari daun ke daun
dari pucuk ke pucuk, dari bunga ke bunga
dari madu ke madu, menukik-berayun di udara,
bersiasat dengan cuaca
padahal ulat tidaklah buruk
bertahun-tahun ia memilih pertapaan yang sengit
masa lalu berhamburan dari tubuhnya
serupa kelopak-kelopak putih yang membungkus dirinya
sendiri, betapa hitam duhai kepompong
tapi ia tak ulat, tak kekupu
dan waktu, cuaca buruk
pertukaran kalender dan perhitungan musim
tak begitu dipahaminya
pohon-pohon ditumbangkan
taman-taman kecil telah lama dibongkar
dunia barangkali merasa dia tak pernah dilahirkan
kalau pun ia kekupu
betapa asing hidup baginya, kini
ia tak kunjung jadi kekupu tak pula kembali menjadi ulat
tak ada yang lebih buruk dari penantian yang sia-sia
dan keinginan yang berubah sesal
sebenarnya tak ada yang indah di sini
ulat atau kekupu; sekedar kepompong yang pucat kaku
melainkan keinginan yang harus terus dijaga
padahal kepompong tidaklah buruk
KAMPUNG LANSANO
udara basi. ombak begitu sepi dan semakin jauh
aku berayun di batang rambutan yang dulu kutahu benar
cara merawatnya, kini tempatku bergantung
hingga tak lagi kukenal rupa nasibnya.
tak ada siapa-siapa di sini. hujan
sepanjang sore telah menghapus banyak hal dariku.
oktober ini, lebaran melewati pintu kami
orang-orang menyisakan hari besok agar ia masuk.
dan ia menyapaku seperti belasan tahun lalu. aku
terkenang pistol air, bedil betung, anjing kecil dan majalah
lusuh--tempat aku mengenal banyak nama.
duduklah di sini, ma, di antara rumah-rumah yang berebut
tumbuh dan bekas gempa. aku berayun dengan
debar. seberdebar aku menjumpai kawan lama
dan menjabat tangan mereka, lagi.
sebentar saja. aku nyaris tak mengenal banyak kawan
anak-anak melompat besar, pandai merawat
luka yang diwariskan, mereka yang bertahan di batas
kampung, naik ke hulu, ke pangkal hutan
mengupas kepala gunung dan menggantinya dengan
gambir, cengkeh, jati dan karet.
mereka dan tanaman itu berebut tempat
dengan semak dan beludru. selebihnya adalah keringat
dan kepedihan, adalah kabut adalah bis yang menelan
dan melempar apa pun ke tengah jalan.
aku berayun, terus berayun, membuai nasib
sendiri. jalan cekung yang kian tenggelam,
mengecil di antara deru kendaraan dan sisa kecelakaan.
di sini, peristiwaku tinggal sedikit saja.
tak sempat jadi apa pun,
aku terus berayun
berayun dan berayun biar terlihat
laut lepas. biar terlihat pulau jauh.
KEPOMPONG
bagaimana jadinya
jika hanya sekedar kepompong
padahal ulat tidaklah buruk
selalu dibayangkannya sepasang sayap
tumbuh dari punggungnya. warna-warna terang
menggantung di setiap lembaran bajunya yang baru
ia kenang tubuhnya melompat dari daun ke daun
dari pucuk ke pucuk, dari bunga ke bunga
dari madu ke madu, menukik-berayun di udara,
bersiasat dengan cuaca
padahal ulat tidaklah buruk
bertahun-tahun ia memilih pertapaan yang sengit
masa lalu berhamburan dari tubuhnya
serupa kelopak-kelopak putih yang membungkus dirinya
sendiri, betapa hitam duhai kepompong
tapi ia tak ulat, tak kekupu
dan waktu, cuaca buruk
pertukaran kalender dan perhitungan musim
tak begitu dipahaminya
pohon-pohon ditumbangkan
taman-taman kecil telah lama dibongkar
dunia barangkali merasa dia tak pernah dilahirkan
kalau pun ia kekupu
betapa asing hidup baginya, kini
ia tak kunjung jadi kekupu tak pula kembali menjadi ulat
tak ada yang lebih buruk dari penantian yang sia-sia
dan keinginan yang berubah sesal
sebenarnya tak ada yang indah di sini
ulat atau kekupu; sekedar kepompong yang pucat kaku
melainkan keinginan yang harus terus dijaga
padahal kepompong tidaklah buruk
KAMPUNG LANSANO
udara basi. ombak begitu sepi dan semakin jauh
aku berayun di batang rambutan yang dulu kutahu benar
cara merawatnya, kini tempatku bergantung
hingga tak lagi kukenal rupa nasibnya.
tak ada siapa-siapa di sini. hujan
sepanjang sore telah menghapus banyak hal dariku.
oktober ini, lebaran melewati pintu kami
orang-orang menyisakan hari besok agar ia masuk.
dan ia menyapaku seperti belasan tahun lalu. aku
terkenang pistol air, bedil betung, anjing kecil dan majalah
lusuh--tempat aku mengenal banyak nama.
duduklah di sini, ma, di antara rumah-rumah yang berebut
tumbuh dan bekas gempa. aku berayun dengan
debar. seberdebar aku menjumpai kawan lama
dan menjabat tangan mereka, lagi.
sebentar saja. aku nyaris tak mengenal banyak kawan
anak-anak melompat besar, pandai merawat
luka yang diwariskan, mereka yang bertahan di batas
kampung, naik ke hulu, ke pangkal hutan
mengupas kepala gunung dan menggantinya dengan
gambir, cengkeh, jati dan karet.
mereka dan tanaman itu berebut tempat
dengan semak dan beludru. selebihnya adalah keringat
dan kepedihan, adalah kabut adalah bis yang menelan
dan melempar apa pun ke tengah jalan.
aku berayun, terus berayun, membuai nasib
sendiri. jalan cekung yang kian tenggelam,
mengecil di antara deru kendaraan dan sisa kecelakaan.
di sini, peristiwaku tinggal sedikit saja.
tak sempat jadi apa pun,
aku terus berayun
berayun dan berayun biar terlihat
laut lepas. biar terlihat pulau jauh.
Kamis, 19 Maret 2009
Pramoedya Ananta Toer: Hasil Kerja Bangsa Ini…Korupsi
Pramoedya Ananta Toer, Triyanto triwikromo /Wawancara
http://www.suaramerdeka.com/
SIAPA bilang sastrawan Pramoedya Ananta Toer pikun? Jika pikun, pria kelahiran Blora, 6 Februari 1925 ini, pasti tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan masa lalu. Jika pikun, pengarang tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca ini tentu tidak mengingat sepatah pun kisah pelarangan karya-karyanya dan penyiksaan-penyiksaan yang dilakukan oleh tentara. Lalu, apa pendapat novelis yang berkali-kali dicalonkan sebagai penerima nobel kesusastraan ini? Berikut petikan perbincangan dengan dia di rumah asrinya, Jalan Warung Ulan, Bojong, Jawa Barat, belum lama ini.
Setelah mencapai usia 81 tahun, apa makna hidup dan kehidupan ini bagi Anda?
Sulit untuk dikatakan. Dari sejak sangat masih muda saya sudah mendapat panggilan menanggung kehidupan tujuh adik. Dari umur belasan, keluarga kami -ibu, ayah, adik, kemenakan, dan ipar - mati diserang oleh TBC. Karena itu pada usia yang sangat muda, saya sudah memiliki beban hidup yang sangat berat dan banyak. Kebetulan, karena sejak kecil, setara SD (Sekolah Dasar), saya sudah menulis, pada akhirnya ya saya menulis terus. Untung juga majalah-majalah mau menerbitkan karya-karya saya.
Pada waktu itu setiap tulisan dapat 30 perak. Itu bisa untuk hidup satu sampai dua minggu. Saya masih ingat, majalah yang paling membayar mahal tulisan-tulisan saya adalah Star Weekly. Dengan honor dari majalah itu, saya bisa hidup satu bulan. Itu yang saya kira meringankan beban hidup saya dan keluarga. Yang saya tanggung bukan hanya segala sesuatu yang menyangkut makan, melainkan juga biaya sekolah dan kesehatan. Tapi, akhirnya semua berjalan baik. Ya, begitulah di Jawa. Yang tertua harus menanggung semua keluarganya.
Apa simpulan Anda tentang kehidupan Anda?
Sebentar…Bukan itu saja yang membebani saya. Pemerintah juga memusuhi saya. Pada 1965, rumah dan segala macam milik kami dirampas. Sampai sekarang tidak dikembalikan. Namun semua itu saya anggap sebagai tantangan sport. Tidak ada dendam pada saya. Balasannya, saya menjawab dengan karya saja. Karya saya banyak sekali jika dibandingkan dengan pengarang lain. Dan, yang jelas, telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa, kecuali Afrika. Seluruh dunia sudah menerjemahkan karya saya. Jadi, saya memang tidak punya persoalan apa-apa dengan kehidupan. Apa yang ingin saya kerjakan, telah saya kerjakan. Apa yang ingin saya miliki, telah saya miliki. Tidak ada persoalan lagi. Orang boleh memusuhi saya, silakan. Itu hak mereka. Mau membenci saya, silakan. Itu hak publik untuk membenci dan mencinta. Namun, saya tidak memiliki perasaan dendam terhadap siapa pun.
Tidak ada persoalan lagi? Tidak menulis lagi? Namun kan hidup tak hanya menulis. Apalagi yang ingin Anda kerjakan setelah menapak usia 81 tahun?
Tidak ada. Saya tidak memikirkan apa-apa lagi yang akan saya kerjakan besok pagi atau lusa. Saya mau menjalani hari tua saya sampai mati. Sampai habis. Begitu saja. Tidak ada beban apa-apa dalam hidup saya.
Anda merasa perjuangan Anda sebagai manusia dan pengarang telah selesai?
Perjuangan (kita) tidak akan pernah selesai-selesai. Terus saja. Jika saya tersinggung karena ada pelanggaran terhadap kemanusiaan, saya masih berteriak-teriak. Saya tidak punya organisasi. Saya tidak punya media massa. Biasanya, saya hanya berteriak-teriak jika teman-teman dan media massa datang ke sini.
Persoalan apa yang terakhir Anda kritik?
Persoalan Timor-Timur. Pembunuhan-pembunuhan di sana. Begitulah sikap Indonesia terhadap….Tidak-tidak jangan dikutip. Nanti publik marah kalau saya bicarakan hal itu. Saya sendiri mengalami hal-hal yang menyiksa. Apa yang belum atau tidak dilakukan pemerintah kepada saya. Saya ditahan 14 tahun tanpa tahu masalahnya apa. Semua kemudian dirampas. Semua. Perpustakaan dibakar. Buku dilarang beredar. Empat belas tahun bukan waktu sebentar.
Anda berkesan tidak mau apa-apa lagi. Anda bahkan pernah menyatakan, ”Hidup saya ini hanya tinggal menunggu maut menjemput.”. Lalu, sambil menunggu maut, Anda berbuat apa saja?
Dengan cara melepaskan semua beban pikiran. Saya ingin jadi manusia bebas dengan caranya sendiri.
Maksud Anda?
Maksudnya, saya tidak ingin mengikuti kehendak orang lain. Hanya melaksanakan segala sesuatu yang sesuai dengan kehendak sendiri. Saya merasa sudah banyak berbuat. Mungkin orang lain tak menganggap saya telah berbuat atau melakukan sesuatu. Silakan saja.
Apakah Anda merasa orang lain takut kepada Anda?
Saya tidak ingin ditakuti orang.
Jika Anda ingin bebas dari orang lain, jangan-jangan itu berarti Anda takut kepada orang lain?
Maksud saya, kebanyakan tamu menuntut saya menulis, padahal saya sudah tidak bisa menulis. Ini berat. Keinginan banyak orang sungguh memberatkan saya.
O, keinginan orang lainlah yang memberatkan hidup Anda?
Ya, karena saya merasa kurang mampu bisa memenuhi. Saya sudah tidak bisa menulis. Memilih kata-kata saja sulit.
Ah, kata-kata Anda masih terpilih kok…Itu berarti Anda tidak pikun.
(Pram Tertawa) Lo, saya sudah hampir sepuluh tahun tidak menulis sastra dan membalas surat orang lain. Mata mulai kabur. Pendengaran tidak beres. Ya, saya masih ingat…bagaimana saat telinga saya dipopor oleh tentara. O, ya, apakah tadi kalian mendengar saya ngorok saat tidur. Tidur itu merupakan obat bagi ‘’sakit tua”. Kadang-kadang saat malam tiba saya tidak bisa tidur.
Lalu apa yang Anda kerjakan saat tidak bisa tidur?
Membuat kliping dan menyusun alfabetis untuk ensiklopedi geografi yang tengah saya kerjakan. Saya kerjakan semua itu dengan sekuat mata.
Nah, itu berarti Anda belum pikun. Mengapa selalu bilang sudah pikun. Jadi, mari kita mengingat masa lalu. Masa lalu yang mungkin pahit. Saya dengan Anda pernah mau bunuh diri. Benarkah?
Ya. Pernah. Waktu itu itu tahun 1947. Saya masih sangat muda.
Apa alasan Anda waktu itu?
Saya itu punya banyak beban. Ada tujuh adik yang tak punya orang tua. Ada barang-barang yang dirampas pemerintah. Saya sudah tidak mengerti apa gunanya hidup. Tetapi nyatanya, beginilah keadaan hidup ini hingga sekarang.
Siapa yang menyadarkan Anda sehingga tidak jadi bunuh diri?
Keadaan. Keadaan kan punya tuntutan sendiri. Punya penggiringan sendiri.
Keadaan semacam apa yang membuat Anda tak jadi bunuh diri?
Ya, walaupun dengan susah payah, pers mulai mau menerbitkan cerita-cerita dan tulisan saya. Satu artikel bisa untuk hidup sebulan. Bukan itu saja. Pada masanya saya juga mulai mendapatkan kiriman luar negeri dari karya-karya yang telah diterjemahkan.
Karena itu Anda lantas memilih hidup?
Ya. Akhirnya saya memilih hidup. Ha ha ha. Sekali terjemahan saya dapat 5.000 dolar. Untuk masa itu, uang sejumlah itu sangat banyak.
Ya, dan karena terjemahan-terjemahan itu, kata orang, Anda menjadi pengarang besar. Bukan oleh karya-karya Anda dalam bahasa asli. Apa komentar Anda terhadap pendapat semacam itu?
Ya, silakan berpendapat semacam itu. Yang jelas, yang bisa dipakai untuk makan, terjemahan dari Amerika. Akhirnya saya bisa hidup sebagai pengarang. Sebelumnya, saya hidup dalam kesulitan. Apalagi banyak juga yang mengkritik karya-karya saya sebagai sastra rendah. Sekarang sebaliknya, orang-orang menganggap karya saya sebagai sastra tinggi.
Kembali ke masalah hidup mati Anda di penjara. Ada seorang tahanan yang melarang Anda menulis. Apakah Anda masih ingat peristiwa itu?
Saya tidak ingat.
Anda selalu ingin menggunakan sejarah sebagai bahan. Benarkah?
Betul. Saya kira masalah utama orang Indonesia adalah persoalan yang berkait dengan sejarah. Kita lemah setiap berurusan dengan sejarah. Dokumentasi saja belum ada, bagaimana bicara tentang historis. Apa saja tentang Indonesia, praktis yang menulis orang luar. Tradisi berdokumentasi belum berkembang di Indonesia.
Karena itu, Anda mendokumentasikan segala hal dalam karya sastra?
Ya. Dan terutama lewat kliping. Sebab karya sastra itu memang lebih dibaca ketimbang history-nya sendiri.
Namun dalam karya sastra Anda, sejarah tampil beda dari sejarah resmi. Mengapa?
Dalam sejarah resmi, kita terlampau banyak mendapatkan kekurangan. Lahirnya Budi Utomo kok dianggap Kebangkitan Nasional? Jelas keliru. Budi Utomo itu menghendaki nasionalisme Jawa.
Menurut Anda kebangkitan nasional itu ditandai oleh apa?
Ya, Partai Hindia-Belanda atau Indische Partij yang tokoh-tokohnya kemudian dibuang ke Belanda. Walau mereka berbahasa Belanda, tetapi mereka adalah nasionalis-nasionalis utama.
Anda juga meledek tokoh-tokoh sejarah resmi. Ada yang keliru dalam sejarah kita?
Ya. Misalnya tokoh semacam Tirto Adisoerjo itu perlu diperhatikan. Dia itu pembuka dunia modern Indonesia. Seperti Minke, kita harus belajar pada sesuatu yang dikuasai oleh penguasa. Ah, ternyata…sekarang hasilnya begini. Kita terlalu banyak mengonsumsi ketimbang berproduksi. Hasil kerja bangsa ini korupsi.
Anda kecewa?
Ya. Mengapa tidak ada pendidikan berproduksi. Pada zaman penjajahan kita justru berproduksi. Apa pun kita buat.
Anda malu?
Saya tidak tahu.
Anda tidak ingin membangun Museum Pramoedya di Blora?
Saya tidak keberatan membangun Museum Pram. Namun siapa yang akan mengurus membawa barang-barang saya dari Jakarta ke Blora? Siapa yang akan mengatur? Ah, terserah apa permintaan publik saja.
http://www.suaramerdeka.com/
SIAPA bilang sastrawan Pramoedya Ananta Toer pikun? Jika pikun, pria kelahiran Blora, 6 Februari 1925 ini, pasti tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan masa lalu. Jika pikun, pengarang tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca ini tentu tidak mengingat sepatah pun kisah pelarangan karya-karyanya dan penyiksaan-penyiksaan yang dilakukan oleh tentara. Lalu, apa pendapat novelis yang berkali-kali dicalonkan sebagai penerima nobel kesusastraan ini? Berikut petikan perbincangan dengan dia di rumah asrinya, Jalan Warung Ulan, Bojong, Jawa Barat, belum lama ini.
Setelah mencapai usia 81 tahun, apa makna hidup dan kehidupan ini bagi Anda?
Sulit untuk dikatakan. Dari sejak sangat masih muda saya sudah mendapat panggilan menanggung kehidupan tujuh adik. Dari umur belasan, keluarga kami -ibu, ayah, adik, kemenakan, dan ipar - mati diserang oleh TBC. Karena itu pada usia yang sangat muda, saya sudah memiliki beban hidup yang sangat berat dan banyak. Kebetulan, karena sejak kecil, setara SD (Sekolah Dasar), saya sudah menulis, pada akhirnya ya saya menulis terus. Untung juga majalah-majalah mau menerbitkan karya-karya saya.
Pada waktu itu setiap tulisan dapat 30 perak. Itu bisa untuk hidup satu sampai dua minggu. Saya masih ingat, majalah yang paling membayar mahal tulisan-tulisan saya adalah Star Weekly. Dengan honor dari majalah itu, saya bisa hidup satu bulan. Itu yang saya kira meringankan beban hidup saya dan keluarga. Yang saya tanggung bukan hanya segala sesuatu yang menyangkut makan, melainkan juga biaya sekolah dan kesehatan. Tapi, akhirnya semua berjalan baik. Ya, begitulah di Jawa. Yang tertua harus menanggung semua keluarganya.
Apa simpulan Anda tentang kehidupan Anda?
Sebentar…Bukan itu saja yang membebani saya. Pemerintah juga memusuhi saya. Pada 1965, rumah dan segala macam milik kami dirampas. Sampai sekarang tidak dikembalikan. Namun semua itu saya anggap sebagai tantangan sport. Tidak ada dendam pada saya. Balasannya, saya menjawab dengan karya saja. Karya saya banyak sekali jika dibandingkan dengan pengarang lain. Dan, yang jelas, telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa, kecuali Afrika. Seluruh dunia sudah menerjemahkan karya saya. Jadi, saya memang tidak punya persoalan apa-apa dengan kehidupan. Apa yang ingin saya kerjakan, telah saya kerjakan. Apa yang ingin saya miliki, telah saya miliki. Tidak ada persoalan lagi. Orang boleh memusuhi saya, silakan. Itu hak mereka. Mau membenci saya, silakan. Itu hak publik untuk membenci dan mencinta. Namun, saya tidak memiliki perasaan dendam terhadap siapa pun.
Tidak ada persoalan lagi? Tidak menulis lagi? Namun kan hidup tak hanya menulis. Apalagi yang ingin Anda kerjakan setelah menapak usia 81 tahun?
Tidak ada. Saya tidak memikirkan apa-apa lagi yang akan saya kerjakan besok pagi atau lusa. Saya mau menjalani hari tua saya sampai mati. Sampai habis. Begitu saja. Tidak ada beban apa-apa dalam hidup saya.
Anda merasa perjuangan Anda sebagai manusia dan pengarang telah selesai?
Perjuangan (kita) tidak akan pernah selesai-selesai. Terus saja. Jika saya tersinggung karena ada pelanggaran terhadap kemanusiaan, saya masih berteriak-teriak. Saya tidak punya organisasi. Saya tidak punya media massa. Biasanya, saya hanya berteriak-teriak jika teman-teman dan media massa datang ke sini.
Persoalan apa yang terakhir Anda kritik?
Persoalan Timor-Timur. Pembunuhan-pembunuhan di sana. Begitulah sikap Indonesia terhadap….Tidak-tidak jangan dikutip. Nanti publik marah kalau saya bicarakan hal itu. Saya sendiri mengalami hal-hal yang menyiksa. Apa yang belum atau tidak dilakukan pemerintah kepada saya. Saya ditahan 14 tahun tanpa tahu masalahnya apa. Semua kemudian dirampas. Semua. Perpustakaan dibakar. Buku dilarang beredar. Empat belas tahun bukan waktu sebentar.
Anda berkesan tidak mau apa-apa lagi. Anda bahkan pernah menyatakan, ”Hidup saya ini hanya tinggal menunggu maut menjemput.”. Lalu, sambil menunggu maut, Anda berbuat apa saja?
Dengan cara melepaskan semua beban pikiran. Saya ingin jadi manusia bebas dengan caranya sendiri.
Maksud Anda?
Maksudnya, saya tidak ingin mengikuti kehendak orang lain. Hanya melaksanakan segala sesuatu yang sesuai dengan kehendak sendiri. Saya merasa sudah banyak berbuat. Mungkin orang lain tak menganggap saya telah berbuat atau melakukan sesuatu. Silakan saja.
Apakah Anda merasa orang lain takut kepada Anda?
Saya tidak ingin ditakuti orang.
Jika Anda ingin bebas dari orang lain, jangan-jangan itu berarti Anda takut kepada orang lain?
Maksud saya, kebanyakan tamu menuntut saya menulis, padahal saya sudah tidak bisa menulis. Ini berat. Keinginan banyak orang sungguh memberatkan saya.
O, keinginan orang lainlah yang memberatkan hidup Anda?
Ya, karena saya merasa kurang mampu bisa memenuhi. Saya sudah tidak bisa menulis. Memilih kata-kata saja sulit.
Ah, kata-kata Anda masih terpilih kok…Itu berarti Anda tidak pikun.
(Pram Tertawa) Lo, saya sudah hampir sepuluh tahun tidak menulis sastra dan membalas surat orang lain. Mata mulai kabur. Pendengaran tidak beres. Ya, saya masih ingat…bagaimana saat telinga saya dipopor oleh tentara. O, ya, apakah tadi kalian mendengar saya ngorok saat tidur. Tidur itu merupakan obat bagi ‘’sakit tua”. Kadang-kadang saat malam tiba saya tidak bisa tidur.
Lalu apa yang Anda kerjakan saat tidak bisa tidur?
Membuat kliping dan menyusun alfabetis untuk ensiklopedi geografi yang tengah saya kerjakan. Saya kerjakan semua itu dengan sekuat mata.
Nah, itu berarti Anda belum pikun. Mengapa selalu bilang sudah pikun. Jadi, mari kita mengingat masa lalu. Masa lalu yang mungkin pahit. Saya dengan Anda pernah mau bunuh diri. Benarkah?
Ya. Pernah. Waktu itu itu tahun 1947. Saya masih sangat muda.
Apa alasan Anda waktu itu?
Saya itu punya banyak beban. Ada tujuh adik yang tak punya orang tua. Ada barang-barang yang dirampas pemerintah. Saya sudah tidak mengerti apa gunanya hidup. Tetapi nyatanya, beginilah keadaan hidup ini hingga sekarang.
Siapa yang menyadarkan Anda sehingga tidak jadi bunuh diri?
Keadaan. Keadaan kan punya tuntutan sendiri. Punya penggiringan sendiri.
Keadaan semacam apa yang membuat Anda tak jadi bunuh diri?
Ya, walaupun dengan susah payah, pers mulai mau menerbitkan cerita-cerita dan tulisan saya. Satu artikel bisa untuk hidup sebulan. Bukan itu saja. Pada masanya saya juga mulai mendapatkan kiriman luar negeri dari karya-karya yang telah diterjemahkan.
Karena itu Anda lantas memilih hidup?
Ya. Akhirnya saya memilih hidup. Ha ha ha. Sekali terjemahan saya dapat 5.000 dolar. Untuk masa itu, uang sejumlah itu sangat banyak.
Ya, dan karena terjemahan-terjemahan itu, kata orang, Anda menjadi pengarang besar. Bukan oleh karya-karya Anda dalam bahasa asli. Apa komentar Anda terhadap pendapat semacam itu?
Ya, silakan berpendapat semacam itu. Yang jelas, yang bisa dipakai untuk makan, terjemahan dari Amerika. Akhirnya saya bisa hidup sebagai pengarang. Sebelumnya, saya hidup dalam kesulitan. Apalagi banyak juga yang mengkritik karya-karya saya sebagai sastra rendah. Sekarang sebaliknya, orang-orang menganggap karya saya sebagai sastra tinggi.
Kembali ke masalah hidup mati Anda di penjara. Ada seorang tahanan yang melarang Anda menulis. Apakah Anda masih ingat peristiwa itu?
Saya tidak ingat.
Anda selalu ingin menggunakan sejarah sebagai bahan. Benarkah?
Betul. Saya kira masalah utama orang Indonesia adalah persoalan yang berkait dengan sejarah. Kita lemah setiap berurusan dengan sejarah. Dokumentasi saja belum ada, bagaimana bicara tentang historis. Apa saja tentang Indonesia, praktis yang menulis orang luar. Tradisi berdokumentasi belum berkembang di Indonesia.
Karena itu, Anda mendokumentasikan segala hal dalam karya sastra?
Ya. Dan terutama lewat kliping. Sebab karya sastra itu memang lebih dibaca ketimbang history-nya sendiri.
Namun dalam karya sastra Anda, sejarah tampil beda dari sejarah resmi. Mengapa?
Dalam sejarah resmi, kita terlampau banyak mendapatkan kekurangan. Lahirnya Budi Utomo kok dianggap Kebangkitan Nasional? Jelas keliru. Budi Utomo itu menghendaki nasionalisme Jawa.
Menurut Anda kebangkitan nasional itu ditandai oleh apa?
Ya, Partai Hindia-Belanda atau Indische Partij yang tokoh-tokohnya kemudian dibuang ke Belanda. Walau mereka berbahasa Belanda, tetapi mereka adalah nasionalis-nasionalis utama.
Anda juga meledek tokoh-tokoh sejarah resmi. Ada yang keliru dalam sejarah kita?
Ya. Misalnya tokoh semacam Tirto Adisoerjo itu perlu diperhatikan. Dia itu pembuka dunia modern Indonesia. Seperti Minke, kita harus belajar pada sesuatu yang dikuasai oleh penguasa. Ah, ternyata…sekarang hasilnya begini. Kita terlalu banyak mengonsumsi ketimbang berproduksi. Hasil kerja bangsa ini korupsi.
Anda kecewa?
Ya. Mengapa tidak ada pendidikan berproduksi. Pada zaman penjajahan kita justru berproduksi. Apa pun kita buat.
Anda malu?
Saya tidak tahu.
Anda tidak ingin membangun Museum Pramoedya di Blora?
Saya tidak keberatan membangun Museum Pram. Namun siapa yang akan mengurus membawa barang-barang saya dari Jakarta ke Blora? Siapa yang akan mengatur? Ah, terserah apa permintaan publik saja.
Dicari, Penulis Sejarah Gaya Novel
Agnes Rita Sulistyawaty
http://www2.kompas.com/
Di zaman Orde Baru, kita seakan tidak diberi kesempatan untuk melihat sejarah dari sisi lain. Tanggal 30 September setiap tahun, misalnya, film Janur Kuning selalu diputar, untuk menggiring masyarakat memahami peristiwa yang terjadi tahun 1965 secara tunggal.
Tidak hanya film itu, buku sejarah yang dipakai di kelas-kelas pun menceritakan hal yang seragam tentang pemberontakan G30S/PKI. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang tidak secara langsung menuliskan kejadian 30 September 1965 itu lewat bukunya salah satunya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu harus menanggung akibatnya, dengan dikeluarkannya larangan penerbitan dan pengedaran buku- bukunya, oleh pemerintah Orde Baru.
Zaman berputar, dan kebebasan menulis semakin terbuka dengan tumbangnya Orde Baru. Kini, buku-buku tentang sejarah mendapatkan hak untuk “hidup”. Di antara rak-rak di toko buku, puluhan judul buku sejarah sudah terpampang disana, meskipun untuk angka penjualan buku sejarah ini masih belum selaris buku fiksi atau psikologi populer atau buku yang berisi tentang tips-tips praktis.
Pimpinan Toko Buku Diskon Toga Mas, Arif Abdulrakhim, Rabu (8/3), mengakui adanya peningkatan gairah buku bertema sejarah. Tahun 2000- an, buku bertema sejarah masih di bawah lima persen dari seluruh buku yang dijual di tokonya.
Jumlah ini semakin meningkat sejak pertengahan 2004, hingga saat ini tercatat sekitar 8-9 persen judul buku bertema sejarah yang masuk ke toko buku itu. Peningkatan ini jelas merupakan sebuah catatan sejarah tersendiri, yang meskipun masih jauh dibandingkan buku-buku populer yang jumlahnya mencapai 40 persen dari seluruh buku.
Untuk mendongkrak minat masyarakat membaca sejarah dalam ragam versi, Toko Buku Diskon Toga Mas bersama tiga penerbit yakni Penerbit Ombak, LKiS, dan Navila menggelar pameran buku sejarah bertema “Mengoengkap Sisi Gelap Sedjarah”, 10-23 Maret 2006 di Toko Buku Diskon Toga Mas.
Dari pameran ini, ketiga penerbit akan memajang sekitar 70 judul buku bertema sejarah, yang ditulis oleh penulis dalam dan luar negeri. Sejarah yang akan disajikan dalam pameran ini tidak terbatas pada sejarah Indonesia saja, tetapi juga sejarah secara umum, termasuk biografi.
Pameran ini, menurut Direktur Penerbit LKiS, Akhmad Fikri AF, merupakan upaya untuk membuka ruang pembelajaran sejarah. Ragam buku tentang sejarah akan membantu para pembaca untuk memahami sejarah tidak hanya dari satu sudut saja. “Sejarah itu punya banyak sisi,” ujarnya.
Berbagai sudut pandang yang disampaikan oleh masing-masing penulis tentang sebuah sejarah diharapkan akan memperkaya para pembacanya. Sedangkan penilaian tentang sejarah itu sepenuhnya berada di tangan pembaca.
Di tengah maraknya buku fiksi, teenlit, atau buku-buku populer, buku sejarah ini diharapkan menjadi penyeimbang bagi pembaca. Di sinilah muncul tantangan dari para penulis buku sejarah untuk bisa menghadirkan fakta sejarah dengan bahasa yang “mudah” dipahami pembaca. Maklumlah, sebagian pembaca saat ini terbiasa dengan bacaan “ringan” yang berkonotasi sebagai bacaan yang menghibur. Ketiga penerbit mengakui, penulisan buku sejarah saat ini tidak sepenuhnya memakai model penulisan buku sejarah masa lalu, yang kurang memerhatikan aspek “bercerita”.
“Sejumlah penulis memakai format seperti novel ketika menuliskan sejarah,” ucap Sholeh UG, editor Penerbit Navila. Mendung di Atas Kufah karya Jurji Zaidan dan Cahaya Rasul karya Thoha Husein adalah dua contoh penulisan sejarah terbitan Navila dengan model novel. Begitu pula dengan Sulthonah Ratu Kalinyamat karya Murtadla Hadi (LKiS), dan Derak-derak karya Zoya Herawati (Ombak).
Di tengah maraknya buku sejarah, para penerbit mengakui masih kesulitan mendapatkan penulis buku dari dalam negeri. Sejumlah buku “babon” sejarah ditulis oleh penulis dari luar negeri. Sebut saja Ben Anderson dan Denys Lombard yang kerap menulis sejarah Indonesia.
M Nursam, Direktur Penerbit Ombak, mengaku kerap “hunting” penulis yang mempunyai tulisan tentang sejarah. Penulis buku sejarah umumnya berasal dari komunitas yang menggeluti bidang sejarah, para mahasiswa dan pengajar sejarah, atau peneliti sejarah.
http://www2.kompas.com/
Di zaman Orde Baru, kita seakan tidak diberi kesempatan untuk melihat sejarah dari sisi lain. Tanggal 30 September setiap tahun, misalnya, film Janur Kuning selalu diputar, untuk menggiring masyarakat memahami peristiwa yang terjadi tahun 1965 secara tunggal.
Tidak hanya film itu, buku sejarah yang dipakai di kelas-kelas pun menceritakan hal yang seragam tentang pemberontakan G30S/PKI. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang tidak secara langsung menuliskan kejadian 30 September 1965 itu lewat bukunya salah satunya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu harus menanggung akibatnya, dengan dikeluarkannya larangan penerbitan dan pengedaran buku- bukunya, oleh pemerintah Orde Baru.
Zaman berputar, dan kebebasan menulis semakin terbuka dengan tumbangnya Orde Baru. Kini, buku-buku tentang sejarah mendapatkan hak untuk “hidup”. Di antara rak-rak di toko buku, puluhan judul buku sejarah sudah terpampang disana, meskipun untuk angka penjualan buku sejarah ini masih belum selaris buku fiksi atau psikologi populer atau buku yang berisi tentang tips-tips praktis.
Pimpinan Toko Buku Diskon Toga Mas, Arif Abdulrakhim, Rabu (8/3), mengakui adanya peningkatan gairah buku bertema sejarah. Tahun 2000- an, buku bertema sejarah masih di bawah lima persen dari seluruh buku yang dijual di tokonya.
Jumlah ini semakin meningkat sejak pertengahan 2004, hingga saat ini tercatat sekitar 8-9 persen judul buku bertema sejarah yang masuk ke toko buku itu. Peningkatan ini jelas merupakan sebuah catatan sejarah tersendiri, yang meskipun masih jauh dibandingkan buku-buku populer yang jumlahnya mencapai 40 persen dari seluruh buku.
Untuk mendongkrak minat masyarakat membaca sejarah dalam ragam versi, Toko Buku Diskon Toga Mas bersama tiga penerbit yakni Penerbit Ombak, LKiS, dan Navila menggelar pameran buku sejarah bertema “Mengoengkap Sisi Gelap Sedjarah”, 10-23 Maret 2006 di Toko Buku Diskon Toga Mas.
Dari pameran ini, ketiga penerbit akan memajang sekitar 70 judul buku bertema sejarah, yang ditulis oleh penulis dalam dan luar negeri. Sejarah yang akan disajikan dalam pameran ini tidak terbatas pada sejarah Indonesia saja, tetapi juga sejarah secara umum, termasuk biografi.
Pameran ini, menurut Direktur Penerbit LKiS, Akhmad Fikri AF, merupakan upaya untuk membuka ruang pembelajaran sejarah. Ragam buku tentang sejarah akan membantu para pembaca untuk memahami sejarah tidak hanya dari satu sudut saja. “Sejarah itu punya banyak sisi,” ujarnya.
Berbagai sudut pandang yang disampaikan oleh masing-masing penulis tentang sebuah sejarah diharapkan akan memperkaya para pembacanya. Sedangkan penilaian tentang sejarah itu sepenuhnya berada di tangan pembaca.
Di tengah maraknya buku fiksi, teenlit, atau buku-buku populer, buku sejarah ini diharapkan menjadi penyeimbang bagi pembaca. Di sinilah muncul tantangan dari para penulis buku sejarah untuk bisa menghadirkan fakta sejarah dengan bahasa yang “mudah” dipahami pembaca. Maklumlah, sebagian pembaca saat ini terbiasa dengan bacaan “ringan” yang berkonotasi sebagai bacaan yang menghibur. Ketiga penerbit mengakui, penulisan buku sejarah saat ini tidak sepenuhnya memakai model penulisan buku sejarah masa lalu, yang kurang memerhatikan aspek “bercerita”.
“Sejumlah penulis memakai format seperti novel ketika menuliskan sejarah,” ucap Sholeh UG, editor Penerbit Navila. Mendung di Atas Kufah karya Jurji Zaidan dan Cahaya Rasul karya Thoha Husein adalah dua contoh penulisan sejarah terbitan Navila dengan model novel. Begitu pula dengan Sulthonah Ratu Kalinyamat karya Murtadla Hadi (LKiS), dan Derak-derak karya Zoya Herawati (Ombak).
Di tengah maraknya buku sejarah, para penerbit mengakui masih kesulitan mendapatkan penulis buku dari dalam negeri. Sejumlah buku “babon” sejarah ditulis oleh penulis dari luar negeri. Sebut saja Ben Anderson dan Denys Lombard yang kerap menulis sejarah Indonesia.
M Nursam, Direktur Penerbit Ombak, mengaku kerap “hunting” penulis yang mempunyai tulisan tentang sejarah. Penulis buku sejarah umumnya berasal dari komunitas yang menggeluti bidang sejarah, para mahasiswa dan pengajar sejarah, atau peneliti sejarah.
Bila Nirwan Seorang Penyair
Ribut Wijoto
http://www.sinarharapan.co.id/
Meski sama-sama wilayah kreatif, mungkin inilah takdirnya, penciptaan kritik sastra dan penciptaan puisi memiliki signifikansi keterbedaan. Keduanya menuntut ketekunan ataupun disiplin proses kreatif tersendiri.
Sejarah sastra Indonesia mencatatkan, banyak sastrawan yang sukses menulis kritik sastra. Kita memiliki Subagio Sastrowardoyo, Budi Darma, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Linus Suryadi AG. Kesemuanya adalah sastrawan mapan yang telah menulis kritik-kritik cemerlang. Fakta lain yang tak bisa dipungkiri, banyak kritikus kita yang ternyata gagal mencipta puisi cemerlang.
Tahun 1930-an, tidak ada yang meragukan kapasitas kritik Sutan Takdir Alisjahbana. Pemaparannya dalam seri Kesusastraan Baru yang disiarkan majalah Pujangga Baru seolah menampar tradisi puisi Melayu Lama. Sebaliknya, puisi Takdir tampak tenggelam ditelan gagasan-gagasan puisinya. Lihatlah kumpulan puisi Tebaran Mega. Puisi-puisi yang nyaris layu sebelum berkembang. Lebih parah lagi, puisi-puisi dalam kumpulan Lagu Pemacu Ombak. Itu seperti orang kaya berteriak-teriak minta jatah BLT (bantuan langsung tunai). Antara penampilan dan ucapan tidak nyambung. Gagasan Takdir tentang orisinalitas dan personalitas puitik justru lebih bisa dikonkretkan oleh Chairil Anwar.
Lantas siapa yang meragukan kemampuan Dami Ndandu Toda dalam menulis kritik-kritik sastra. Buku Hamba-hamba Kebudayaan merupakan bukti tak terbantah. Belum sah seorang penulis esai sastra di Indonesia jika belum membaca buku tersebut. Sebuah buku yang berhasil memberi paradigma logis atas perilaku aneh Sutardji Calzoum Bachri dalam berpuisi. Absurditas novel Iwan Simatupang pun bisa dijelaskan oleh Dami N Toda. Tapi sayang, puisi-puisi Dami tidak secemerlang kritik sastranya. Lihatlah kumpulan puisinya, Buru Abadi (2005). Di situ, puisi seperti mengemban kekangan konsep yang teramat ketat. Terlalu dibebani estetika. Bahkan, di situ, improvisasi seakan direncanakan.
Nasib buruk kritikus yang menulis puisi juga dialami oleh Rachmad Djoko Pradopo. Amat mengherankan, seorang tokoh pengkajian puisi sekaliber dia ternyata menghasilkan kumpulan puisi Aubade (1999). Puisi-puisi yang lebih pantas diciptakan oleh mahasiswa sastra semester pertama.
Konon, HB Jassin pun menulis puisi. Hanya saja, sampai akhir hayatnya, dia belum hendak menyiarkan hasil ciptaannya. Apakah dia menyimpan rapat puisi untuk menjaga reputasi kepausannya? Kita tidak tahu pasti.
Kini, masyarakat sastra Indonesia dicengangkan oleh kehadiran buku puisi Jantung Lebah Ratu dari Nirwan Dewanto. Hampir semua orang tahu, Nirwan adalah seorang lulusan geologi yang meyakini mampu mengedit puisi para penyair Tanah Air. Diedit agar memiliki daya jelajah tinggi, agar lebih tertib, puitis, metaforis. Dan selebihnya, puisi menjadi lebih seragam.
Apakah puisi-puisi Nirwan akan senasib dengan para pendahulunya? Seperti deretan para kritikus sastra yang gagal mencipta puisi gemilang. Jawabannya perlu ditunda dulu. Lebih baik mengutip sebagian puisi berjudul “Semangka” dari Nirwan Dewanto: Seperti kantung hijau berisi darah, berhenti percaya kepada tanah. Seperti bawal betina tak bersarung, menggelincir ke ujung tanjung. Seperti periuk penuh kuah ari, penat sudah oleh bara api. Seperti kandungan delapan bulan, siap tersedak ke batang jantan.
Puisi Nirwan tersebut sebenarnya berkisah tentang barang sederhana, semangka. Namun di tangan Nirwan, sesuatu yang sederhana itu menjadi rumit. Menjadi susah. Mengapa? Karena memang Nirwan tidak membahasakan dengan cara sederhana. Nirwan seakan mempersulit keadaan. Apakah Nirwan beranggapan bahwa “puisi yang istimewa” adalah “puisi yang rumit”. Bisa jadi, sebab, semangka dalam puisi Nirwan lebih tampak sebagai konsep tentang semangka daripada semangka itu sendiri. Sulit dibayangkan, semangka Nirwan adalah semangka petani yang tergeletak di tengah sawah. Atau setidaknya, semangka yang biasa didapati di supermarket.
Padahal, sejarah tradisi puisi Indonesia mencatatkan, kegemilangan puisi diperoleh berkat kesederhanaan dalam berpuitik. Bahasa Chairil Anwar sederhana, bahasa Subagio Sastrowardoyo sederhana. Pun bahasa dalam puisi Amir Hamzah, Rendra, Sapardi, Goenawan Mohamad, Oka Rusmini, apalagi Joko Pinurbo.
Kesederhanaan puisi Sapardi adalah kesederhanaan yang mendalam. Membaca puisi Sapardi seakan dihadapkan pada lapis-lapis makna (baca: tingkatan semiotik). Misalnya pada puisi “Kebun Binatang”. Lapis pertama adalah pembacaan biasa, bersifat informatif. Tanpa berusaha mencari maknanya, pembaca sudah bisa menikmati peristiwa ilustratif. Tentang pasangan muda yang datang ke kebun binatang dan bertemu dengan ular besar. Lapis kedua adalah pembacaan untuk mencari makna mendalam. Pembaca menafsirkan hubungan simbol (juga metaforis) antara ular dan wanita. Ternyata ada mitologi yang menghubungkan keduanya. Pembacaan ketiga adalah pembacaan komparatif. Bagaimana pola estetik puisi Sapardi dibandingkan dengan puisi para penyair lain yang sezaman. Bagaimana kontribusi puisi Sapardi dalam tradisi puisi di Indonesia.
Pola pembacaan yang sama bisa diterapkan dalam puisi Subagio Sastrowardoyo. Tapi pada puisi Nirwan, pembaca sudah tertahan pada lapis pertama. Itu terjadi karena puisi Nirwan terlalu rumit.
Konsep. Yah, puisi-puisi Nirwan terlalu “gagah dalam konsep”, namun kurang “rendah hati” dalam dunia keseharian. Puisi Nirwan terburu-buru ingin menjangkau semiotik lapis kedua, tapi lupa membangun semiotik lapis pertama. Problem tersebut seakan mengulang kegagapan semiotik dari puisi produksi Sutan Takdir Alisjahbana, Dami Ndandu Toda, dan Rachmad Djoko Pradopo. Puisi-puisi yang tidak menghadirkan kejernihan lanskap (panorama) dan kesederhanaan imaji (citraan).
Padahal, tidak hanya pada puisi “Semangka”, pada beberapa puisi yang lain, Nirwan juga bersandar pada benda-benda atau fenomena yang ada di keseharian. Lihat saja judul-judulnya: Kunang-Kunang, Cumi-Cumi, Gerabah, Gong, Apel, Harimau, Ular, Akuarium, Ubur-Ubur, Lonceng Gereja, Putri Malu, Tukang Kebun, Burung Merak, Kopi, Garam, Bubu, Bayonet, Selendang Sutra, Lembu Jantan, Burung Hantu, dan Keledai. Semua yang bersifat sehari-hari tersebut menjadi rumit di tangan Nirwan. Pasalnya, Nirwan lebih bergerak di wilayah lambang (simbol) daripada wilayah citraan (metafor).
Kasus yang sama sebenarnya terjadi pada puisi Mardi Luhung dan Afrizal Malna. Namun, meski terkesan rumit, puisi dua penyair tersebut amat komunikatif. Pola sintaktiknya lancar. Membaca puisi Afrizal dan Mardi seakan diajak ngobrol oleh penyairnya. Walau lingkungan teks yang dibangun berat, aspek lisannya amat kuat. Semisal puisi “Tarian Cintaku di Balik Ombak” dari Mardi: Kutarikan tarian cintaku di balik ombang. Igalkan gelang-gelang, kaki, paha, bokong, pusar, susu setuntas-tuntasnya. Kutarikan tarian cintaku di balik ombak. Merayumu, mencumbumu, dan kita pun bersutubuh sehabis-habisnya, setandas-tandasnya.
Puisi Goenawan Mohamad (GM) sebenarnya juga rumit dan penuh persilangan intelektualitas. Namun seperti halnya puisi Acep Zamzam Noor, GM membalutnya dengan permainan citraan yang matang. Meski susah dicerna, puisinya enak dinikmati. Di situ ada maksimalisasi citra bunyi, gerak, warna, permainan ruang, dan kecanggihan rima. Tujuannya sederhana, ya itulah, agar puisi enak dinikmati.
Nirwan sebetulnya telah cukup akomodatif dengan menggunakan beragam pola sastra lama. Terutama pantun dan gurindam. Tapi, pemakaian sastra lama tersebut tetap tidak menolong untuk menjernihkan puisi. Mengapa? Karena, logika puisi Nirwan tak selaras dengan logika puisi lama.
Semua puisi lama berpijak pada tradisi lisan. Aku lirik terlibat aktif dalam seluruh teks. Tubuh teks juga memiliki lagu. Ketika dibacakan, puisi lama mirip dengan nyanyian. Sementara itu, puisi Nirwan berpijak pada tradisi tulis. Aku lirik seperti mengambil jarak dari teks. Walau telah ada rima di tiap akhir baris, efeknya tidak menciptakan lagu. Justru memunculkan kejanggalan. Tidak lugas. Seperti seorang lelaki yang memakai daster. Tidak pada tempatnya.
Lain halnya dengan pemakaian pola pantun pada puisi “Lagu Gadis Itali” dari Sitor Situmorang. Sitor berhasil memadukan pola pantun dengan kesederhanaan ilustratif. Meski latar tempatnya di Italia, puisi tersebut serasa akrab bagi pembaca Indonesia.
Beragam perbandingan ini sebenarnya bermuara pada satu hal klise, mencari esensi puisi. Tidak bisa tidak, puisi adalah pergumulan antara kesederhanaan dan kompleksitas. Pertautan kejujuran dengan manipulasi makna. Puisi menghadirkan keluguan manusia sekaligus memamerkan kecerdasannya. Oktavio Paz (penyair yang diidolakan Nirwan) ketika menuliskan puisi “Kisah Dua Taman”, tidak menggunakan bahasa ilmiah atau bahasa yang susah dimengerti. Dia memaparkan argumentasi dan narasi dengan cara amat sederhana. Penuh citraan yang mudah dicerna pancaindra manusia. Hasilnya memang amat manusiawi. Di balik kesederhanaan itu, Paz mengabarkan kebaruan pemikiran: konvergensi. Pemikiran yang bersandar dari kitaran tradisi Amerika Latin dan tradisi India.
Nirwan tampaknya tidak menyadari klise (yang lebih tepat adalah klasik) ini. Dia berlari jauh pada pemikiran-pemikiran. Melupakan kesederhanaan bahwa penyair mengerutkan dahi dan menguras keringat dingin agar mampu mencipta bahasa sederhana. Bersahaja. Bandingkan dengan Amir Hamzah. Peziarah tradisi Melayu ini mengkaji banyak kitab demi mencari pola pembahasaan yang mudah dicerna. Tidak memerlukan banyak referensi.
Kerumitan puisi Nirwan diperparah dengan berjubelnya kosakata arkais. Kata-kata yang telah dilupakan masyarakat pemakainya. Lihat kutipan puisi “Ubur-Ubur” ini: Ia mata-mata, hanya terpindai di antara nisan batukarang dan gaun ganggang. Ia surai singa di belanga Cina, terpilin oleh pecahan cermin. Pemakaian kosakata arkais ini membuat teks puisi terpisah dengan konteks keseharian.
Begitulah, menulis puisi tidak gampang. Tidak setiap orang yang menguasai teori puisi (baca: kritikus sastra) mampu menulis puisi secara lugas, sebab, puisi membutuhkan kerendah-hatian. Seperti perempuan, tidak setiap gejolak diksi bisa dikontrol. Tidak bisa seenaknya memaksakan konsep puitik pada tubuh ringkih puisi. Jika pemaksaan tetap dijalankan, puisi berubah jadi konseptual, layaknya matematika. Puisi kehilangan kesehariannya, kebersahajaannya, dan kehilangan kemanusiaannya.
Surabaya, 2008
http://www.sinarharapan.co.id/
Meski sama-sama wilayah kreatif, mungkin inilah takdirnya, penciptaan kritik sastra dan penciptaan puisi memiliki signifikansi keterbedaan. Keduanya menuntut ketekunan ataupun disiplin proses kreatif tersendiri.
Sejarah sastra Indonesia mencatatkan, banyak sastrawan yang sukses menulis kritik sastra. Kita memiliki Subagio Sastrowardoyo, Budi Darma, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Linus Suryadi AG. Kesemuanya adalah sastrawan mapan yang telah menulis kritik-kritik cemerlang. Fakta lain yang tak bisa dipungkiri, banyak kritikus kita yang ternyata gagal mencipta puisi cemerlang.
Tahun 1930-an, tidak ada yang meragukan kapasitas kritik Sutan Takdir Alisjahbana. Pemaparannya dalam seri Kesusastraan Baru yang disiarkan majalah Pujangga Baru seolah menampar tradisi puisi Melayu Lama. Sebaliknya, puisi Takdir tampak tenggelam ditelan gagasan-gagasan puisinya. Lihatlah kumpulan puisi Tebaran Mega. Puisi-puisi yang nyaris layu sebelum berkembang. Lebih parah lagi, puisi-puisi dalam kumpulan Lagu Pemacu Ombak. Itu seperti orang kaya berteriak-teriak minta jatah BLT (bantuan langsung tunai). Antara penampilan dan ucapan tidak nyambung. Gagasan Takdir tentang orisinalitas dan personalitas puitik justru lebih bisa dikonkretkan oleh Chairil Anwar.
Lantas siapa yang meragukan kemampuan Dami Ndandu Toda dalam menulis kritik-kritik sastra. Buku Hamba-hamba Kebudayaan merupakan bukti tak terbantah. Belum sah seorang penulis esai sastra di Indonesia jika belum membaca buku tersebut. Sebuah buku yang berhasil memberi paradigma logis atas perilaku aneh Sutardji Calzoum Bachri dalam berpuisi. Absurditas novel Iwan Simatupang pun bisa dijelaskan oleh Dami N Toda. Tapi sayang, puisi-puisi Dami tidak secemerlang kritik sastranya. Lihatlah kumpulan puisinya, Buru Abadi (2005). Di situ, puisi seperti mengemban kekangan konsep yang teramat ketat. Terlalu dibebani estetika. Bahkan, di situ, improvisasi seakan direncanakan.
Nasib buruk kritikus yang menulis puisi juga dialami oleh Rachmad Djoko Pradopo. Amat mengherankan, seorang tokoh pengkajian puisi sekaliber dia ternyata menghasilkan kumpulan puisi Aubade (1999). Puisi-puisi yang lebih pantas diciptakan oleh mahasiswa sastra semester pertama.
Konon, HB Jassin pun menulis puisi. Hanya saja, sampai akhir hayatnya, dia belum hendak menyiarkan hasil ciptaannya. Apakah dia menyimpan rapat puisi untuk menjaga reputasi kepausannya? Kita tidak tahu pasti.
Kini, masyarakat sastra Indonesia dicengangkan oleh kehadiran buku puisi Jantung Lebah Ratu dari Nirwan Dewanto. Hampir semua orang tahu, Nirwan adalah seorang lulusan geologi yang meyakini mampu mengedit puisi para penyair Tanah Air. Diedit agar memiliki daya jelajah tinggi, agar lebih tertib, puitis, metaforis. Dan selebihnya, puisi menjadi lebih seragam.
Apakah puisi-puisi Nirwan akan senasib dengan para pendahulunya? Seperti deretan para kritikus sastra yang gagal mencipta puisi gemilang. Jawabannya perlu ditunda dulu. Lebih baik mengutip sebagian puisi berjudul “Semangka” dari Nirwan Dewanto: Seperti kantung hijau berisi darah, berhenti percaya kepada tanah. Seperti bawal betina tak bersarung, menggelincir ke ujung tanjung. Seperti periuk penuh kuah ari, penat sudah oleh bara api. Seperti kandungan delapan bulan, siap tersedak ke batang jantan.
Puisi Nirwan tersebut sebenarnya berkisah tentang barang sederhana, semangka. Namun di tangan Nirwan, sesuatu yang sederhana itu menjadi rumit. Menjadi susah. Mengapa? Karena memang Nirwan tidak membahasakan dengan cara sederhana. Nirwan seakan mempersulit keadaan. Apakah Nirwan beranggapan bahwa “puisi yang istimewa” adalah “puisi yang rumit”. Bisa jadi, sebab, semangka dalam puisi Nirwan lebih tampak sebagai konsep tentang semangka daripada semangka itu sendiri. Sulit dibayangkan, semangka Nirwan adalah semangka petani yang tergeletak di tengah sawah. Atau setidaknya, semangka yang biasa didapati di supermarket.
Padahal, sejarah tradisi puisi Indonesia mencatatkan, kegemilangan puisi diperoleh berkat kesederhanaan dalam berpuitik. Bahasa Chairil Anwar sederhana, bahasa Subagio Sastrowardoyo sederhana. Pun bahasa dalam puisi Amir Hamzah, Rendra, Sapardi, Goenawan Mohamad, Oka Rusmini, apalagi Joko Pinurbo.
Kesederhanaan puisi Sapardi adalah kesederhanaan yang mendalam. Membaca puisi Sapardi seakan dihadapkan pada lapis-lapis makna (baca: tingkatan semiotik). Misalnya pada puisi “Kebun Binatang”. Lapis pertama adalah pembacaan biasa, bersifat informatif. Tanpa berusaha mencari maknanya, pembaca sudah bisa menikmati peristiwa ilustratif. Tentang pasangan muda yang datang ke kebun binatang dan bertemu dengan ular besar. Lapis kedua adalah pembacaan untuk mencari makna mendalam. Pembaca menafsirkan hubungan simbol (juga metaforis) antara ular dan wanita. Ternyata ada mitologi yang menghubungkan keduanya. Pembacaan ketiga adalah pembacaan komparatif. Bagaimana pola estetik puisi Sapardi dibandingkan dengan puisi para penyair lain yang sezaman. Bagaimana kontribusi puisi Sapardi dalam tradisi puisi di Indonesia.
Pola pembacaan yang sama bisa diterapkan dalam puisi Subagio Sastrowardoyo. Tapi pada puisi Nirwan, pembaca sudah tertahan pada lapis pertama. Itu terjadi karena puisi Nirwan terlalu rumit.
Konsep. Yah, puisi-puisi Nirwan terlalu “gagah dalam konsep”, namun kurang “rendah hati” dalam dunia keseharian. Puisi Nirwan terburu-buru ingin menjangkau semiotik lapis kedua, tapi lupa membangun semiotik lapis pertama. Problem tersebut seakan mengulang kegagapan semiotik dari puisi produksi Sutan Takdir Alisjahbana, Dami Ndandu Toda, dan Rachmad Djoko Pradopo. Puisi-puisi yang tidak menghadirkan kejernihan lanskap (panorama) dan kesederhanaan imaji (citraan).
Padahal, tidak hanya pada puisi “Semangka”, pada beberapa puisi yang lain, Nirwan juga bersandar pada benda-benda atau fenomena yang ada di keseharian. Lihat saja judul-judulnya: Kunang-Kunang, Cumi-Cumi, Gerabah, Gong, Apel, Harimau, Ular, Akuarium, Ubur-Ubur, Lonceng Gereja, Putri Malu, Tukang Kebun, Burung Merak, Kopi, Garam, Bubu, Bayonet, Selendang Sutra, Lembu Jantan, Burung Hantu, dan Keledai. Semua yang bersifat sehari-hari tersebut menjadi rumit di tangan Nirwan. Pasalnya, Nirwan lebih bergerak di wilayah lambang (simbol) daripada wilayah citraan (metafor).
Kasus yang sama sebenarnya terjadi pada puisi Mardi Luhung dan Afrizal Malna. Namun, meski terkesan rumit, puisi dua penyair tersebut amat komunikatif. Pola sintaktiknya lancar. Membaca puisi Afrizal dan Mardi seakan diajak ngobrol oleh penyairnya. Walau lingkungan teks yang dibangun berat, aspek lisannya amat kuat. Semisal puisi “Tarian Cintaku di Balik Ombak” dari Mardi: Kutarikan tarian cintaku di balik ombang. Igalkan gelang-gelang, kaki, paha, bokong, pusar, susu setuntas-tuntasnya. Kutarikan tarian cintaku di balik ombak. Merayumu, mencumbumu, dan kita pun bersutubuh sehabis-habisnya, setandas-tandasnya.
Puisi Goenawan Mohamad (GM) sebenarnya juga rumit dan penuh persilangan intelektualitas. Namun seperti halnya puisi Acep Zamzam Noor, GM membalutnya dengan permainan citraan yang matang. Meski susah dicerna, puisinya enak dinikmati. Di situ ada maksimalisasi citra bunyi, gerak, warna, permainan ruang, dan kecanggihan rima. Tujuannya sederhana, ya itulah, agar puisi enak dinikmati.
Nirwan sebetulnya telah cukup akomodatif dengan menggunakan beragam pola sastra lama. Terutama pantun dan gurindam. Tapi, pemakaian sastra lama tersebut tetap tidak menolong untuk menjernihkan puisi. Mengapa? Karena, logika puisi Nirwan tak selaras dengan logika puisi lama.
Semua puisi lama berpijak pada tradisi lisan. Aku lirik terlibat aktif dalam seluruh teks. Tubuh teks juga memiliki lagu. Ketika dibacakan, puisi lama mirip dengan nyanyian. Sementara itu, puisi Nirwan berpijak pada tradisi tulis. Aku lirik seperti mengambil jarak dari teks. Walau telah ada rima di tiap akhir baris, efeknya tidak menciptakan lagu. Justru memunculkan kejanggalan. Tidak lugas. Seperti seorang lelaki yang memakai daster. Tidak pada tempatnya.
Lain halnya dengan pemakaian pola pantun pada puisi “Lagu Gadis Itali” dari Sitor Situmorang. Sitor berhasil memadukan pola pantun dengan kesederhanaan ilustratif. Meski latar tempatnya di Italia, puisi tersebut serasa akrab bagi pembaca Indonesia.
Beragam perbandingan ini sebenarnya bermuara pada satu hal klise, mencari esensi puisi. Tidak bisa tidak, puisi adalah pergumulan antara kesederhanaan dan kompleksitas. Pertautan kejujuran dengan manipulasi makna. Puisi menghadirkan keluguan manusia sekaligus memamerkan kecerdasannya. Oktavio Paz (penyair yang diidolakan Nirwan) ketika menuliskan puisi “Kisah Dua Taman”, tidak menggunakan bahasa ilmiah atau bahasa yang susah dimengerti. Dia memaparkan argumentasi dan narasi dengan cara amat sederhana. Penuh citraan yang mudah dicerna pancaindra manusia. Hasilnya memang amat manusiawi. Di balik kesederhanaan itu, Paz mengabarkan kebaruan pemikiran: konvergensi. Pemikiran yang bersandar dari kitaran tradisi Amerika Latin dan tradisi India.
Nirwan tampaknya tidak menyadari klise (yang lebih tepat adalah klasik) ini. Dia berlari jauh pada pemikiran-pemikiran. Melupakan kesederhanaan bahwa penyair mengerutkan dahi dan menguras keringat dingin agar mampu mencipta bahasa sederhana. Bersahaja. Bandingkan dengan Amir Hamzah. Peziarah tradisi Melayu ini mengkaji banyak kitab demi mencari pola pembahasaan yang mudah dicerna. Tidak memerlukan banyak referensi.
Kerumitan puisi Nirwan diperparah dengan berjubelnya kosakata arkais. Kata-kata yang telah dilupakan masyarakat pemakainya. Lihat kutipan puisi “Ubur-Ubur” ini: Ia mata-mata, hanya terpindai di antara nisan batukarang dan gaun ganggang. Ia surai singa di belanga Cina, terpilin oleh pecahan cermin. Pemakaian kosakata arkais ini membuat teks puisi terpisah dengan konteks keseharian.
Begitulah, menulis puisi tidak gampang. Tidak setiap orang yang menguasai teori puisi (baca: kritikus sastra) mampu menulis puisi secara lugas, sebab, puisi membutuhkan kerendah-hatian. Seperti perempuan, tidak setiap gejolak diksi bisa dikontrol. Tidak bisa seenaknya memaksakan konsep puitik pada tubuh ringkih puisi. Jika pemaksaan tetap dijalankan, puisi berubah jadi konseptual, layaknya matematika. Puisi kehilangan kesehariannya, kebersahajaannya, dan kehilangan kemanusiaannya.
Surabaya, 2008
Jumat, 13 Maret 2009
Sutardji, Bakrie Award, dan Lapindo
Ahda Imran
http://www.pikiran-rakyat.com/
SEBAGAI penyair, Sutardji Calzoem Bachri telah melakukan eksplorasi kata dalam puisi sehingga kata bergerak mencari kemungkinan arah dan tujuannya, saling membentur demi membentuk keseluruhan yang tak teramalkan. Sutardji menemukan kembali mantra, memulihkan kembali tenaga bahasa yang terlanjur dimelaratkan oleh komunikasi massa. Demikian salah satu alasan mengapa Freedom Institute memilih Sutardji sebagai penerima anugerah Bakrie Award 2008 Bidang Kesusastraan, seperti termaktub dalam website mereka www. freedom-instute.org.
Bakrie Award adalah sebuah anugerah tahunan yang dipilih oleh Freedom Institute, yang diberikan pada mereka yang dianggap telah menunjukkan dedikasinya dalam berbagai bidang, terutama kedokteran, sains, penelitian, sosial, dan kesusastraan. Bahkan, anugerah ini mengandaikan dirinya sebagai "Hadian Nobel" Indonesia. Tradisi pemberian anugerah ini telah dimulai sejak 2003. Dalam bidang kesusastraan, Sutardji Calzoem Bachri adalah sastrawan keenam yang menerima anugerah Bakrie Award, setelah sebelumnya Sapardi Djoko Damono (2003), Goenawan Mohamad (2004), Budi Darma (2005), W.S. Rendra (2006), dan Putu Wijaya (2007).
Pandangan kritis terhadap Bakrie Award mulai muncul sejak 2006. Meski menerima anugerah tersebut, W.S. Renda dalam pidato penerimaannya dengan keras mengkritik penanganan dan pertanggungjawaban atas nasib ribuan rakyat di Sidoarjo. Pada tahun 2007, ketika kasus Lapindo makin mencuat ke permukaan, Bakrie Award pun kian mendapat sorotan. Apalagi setelah Frans Magnis Suseno yang terpilih sebagai penerima anugerah di Bidang Sosial menolak menerima anugerah tersebut. Lain halnya dengan Putu Wijaya yang menerimanya di tengah berbagai kritik.
Meski kasus Lapindo tidak lagi mencuat tajam seperti sebelumnya, sangat sulit memisahkan Bakrie Award 2008 yang diterima Sutardji Calzoem Bachri dengan kasus Lapindo. Tak sedikit publik sastra berharap bahwa Sutardji akan mengikuti jejak Frans Magnis Suseno ketimbang meniru Putu Wijaya. Namun, ternyata sang "presiden" penyair Indonesia itu lebih memilih meniru Putu Wijaya, menerima anugerah itu dan uang Rp 150 juta!
**
TENTU saja ini menimbulkan berbagai tanggapan yang berbeda. Menurut kritikus Adi Wicaksono, berbicara kesusastraan Indonesia sangatlah tidak mungkin meniadakan atau melewatkan nama Sutardji.
Tentang sikap Sutardji yang menerima Bakrie Award 2008 yang dihubungkan dengan kasus Lapindo, Adi menilai bahwa anugerah tersebut haruslah dilihat sebagai penghargaan atas karya dan dedikasi, bukan penghargaan yang sifatnya politis. "Moralitas menerima atau menolak saya kira dalam konteks sekarang tidak lagi bisa dipakai seperti tahun lalu sebab sekarang kasus Lapindo bukan lagi jadi kasus utama, banyak kasus-kasus yang lain. Tidak seperti tahun yang lalu ketika kasus Lapindo benar-benar jadi pusat perhatian. Konteksnya berbeda kalau, misalnya, Tardji menerimanya tahun lalu ketika kasus Lapindo jadi sorotan khalayak dan media. Saya tidak kecewa bahwa Tardji menerima anugerah itu, sebagai penghargaan sastra dia memang layak menerimanya, " ujarnya.
Senada dengan Adi Wicaksono, Agus R. Sarjono juga menyebut bahwa Sutardji pantas mendapatkan penghargaan sastra. Hanya saja lembaga pemberinya belumlah pantas memberinya karena ada yang lebih pantas diberi dan diurus, yakni korban lumpur Lapindo. Ia bisa memahami ketika Sutardji menerima anugerah tersebut, baik dalam konteks realitas finansial maupun bersebab pada langkanya penghargaan bagi sastrawan di negeri ini. Publik sastra Indonesia mungkin ada yang berharap bahwa Sutardji akan menolak penghargaan tersebut.
"Namun, mereka juga tidak akan tega seandainya Tardji menolaknya. Saya tidak berharap Tardji menolak sebab secara finasial, orang-orang yang sebetulnya layak menolak pun ternyata tidak menolak," tutur Agus.
Dari Tasikmalaya, penyair Acep Zamzam Noor menyebut sangatlah wajar Sutardji merima anugerah itu, lepas dari soal lembaga yang memberinya. Pilihan Sutardji yang menerima anugerah tersebut tidaklah akan mengurangi sikap kritisnya terhadap kasus Lapindo. "Kasus lumpur Lapindo adalah persoalan, tetapi memberi penghargaan pada sastrawan adalah soal yang lain. Apalagi pemberian anugerah ini telah ada sebelum terjadinya kasus lumpur Lapindo. Persoalannya bukan berarti menerima penghargaan itu lantas sikap kita akan melemah. Rendra menerima, tetapi dengan sangat bagus dia melancarkan pidato yang penuh kritik terhadap kasus Lapindo. Namun, di luar itu semua, menerima atau menolak Bakrie Award, kepenyairan Sutardji tidak akan terganggu. Kepenyairannnya lebih besar ketimbang Bakrie Awad dan uang Rp 150 juta!" Katanya.
Pandangan berbeda muncul dari Afrizal Malna. Meski mengatakan, Sutadji layak menerima penghargaan itu, setelah sebelumnya Sutardji juga memperoleh penghargaan dari Pemerintah Provinsi Riau, Afrizal memandang menerima award berkali-kali semacam itu tak ubahnya seperti gajian. Bukan pantas atau tidak Sutardji menerimanya, tetapi juga soalnya bagaimana award itu lahir dari kurasi yang dilakukan. Inilah yang membuat award sastra seperti arisan. Oleh karena itulah, di mata Afrizal, dunia sastra sekarang seperti hidup dalam kandang. Karya sastra tidak dipandang dalam fenomena kebudayaan umumnya.
Berbeda dengan Acep Zamzam Noor yang melihat bahwa kasus lumpur Lapindo dan Bakrie Award adalah persoalan yang berbeda, Afrizal justru memandang keduanya tidaklah bisa dipisahkan. Dalam konteks ini pula, ia menganggap bahwa wibawa kepenyairan Sutardji akan lebih besar seandainya ia menolak anugerah tersebut. "Yah, terserah dia kalau mau menggadaikan wibawa kepenyairannya pada uang 150 juta. Sebagai penyair seharusnya dia menghitung itu," ujar Afrizal.
**
ketika dihubungi, Jumat (15/8), Sutardji Calzoem Bachri yang pada 14 Agustus 2008 itu menerima dua penghargaan sekaligus, Penghargaan Budaya Bintang Parama dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Bakrie Award 2008, justru mempertanyakan mengapa orang tidak mempermasalahkan penghargaan yang diterimanya dari negara tapi justru mempermasalahkan Bakrie Award 2008?
"Mengapa kalau ada duitnya baru ribut? Apa karena penghargaan dari negara itu tak ada duitnya! Mengapa orang-orang melihat dengan cara yang berat sebelah? Saya muak dengan hal itu! " ujarnya.
Seolah menjawab pernyataan Afrizal, Sutardji menambahkan, "Saya tidak dibentuk oleh orang-orang yang menyukai atau oleh orang-orang yang membenci saya. Saya dibentuk oleh diri saya sendiri!"
Terhadap sejumlah pandangan yang mengkritik sikapnya menerima Bakrie Award 2008, Sutardji mengatakan, dalam sebuah anugerah tentu ada kebaikan dan keburukannya.
Lalu, seolah hendak menjawab para pengkritiknya yang mengaitkan anugerah tersebut dengan isu lumpur Lapindo, Sutardji menegaskan bahwa sejak dulu ia memutuskan sebagai penyair, ia bukanlah petarung sosial. Baginya, puisi dan kepenyairan tidaklah dimestikan sebagai reaksi atas realitas sosial yang tengah terjadi seperti kasus lumpur Lapindo.
"Kalau mau semacam itu sejak zaman Soeharto saya sudah ditangkap. Saya bukan petarung sosial, tapi petarung kata-kata. Pertarungan saya adalah dengan kata-kata, dengan ide dan air mata. Puisi saya bukan puisi dekrit!" katanya.***
http://www.pikiran-rakyat.com/
SEBAGAI penyair, Sutardji Calzoem Bachri telah melakukan eksplorasi kata dalam puisi sehingga kata bergerak mencari kemungkinan arah dan tujuannya, saling membentur demi membentuk keseluruhan yang tak teramalkan. Sutardji menemukan kembali mantra, memulihkan kembali tenaga bahasa yang terlanjur dimelaratkan oleh komunikasi massa. Demikian salah satu alasan mengapa Freedom Institute memilih Sutardji sebagai penerima anugerah Bakrie Award 2008 Bidang Kesusastraan, seperti termaktub dalam website mereka www. freedom-instute.org.
Bakrie Award adalah sebuah anugerah tahunan yang dipilih oleh Freedom Institute, yang diberikan pada mereka yang dianggap telah menunjukkan dedikasinya dalam berbagai bidang, terutama kedokteran, sains, penelitian, sosial, dan kesusastraan. Bahkan, anugerah ini mengandaikan dirinya sebagai "Hadian Nobel" Indonesia. Tradisi pemberian anugerah ini telah dimulai sejak 2003. Dalam bidang kesusastraan, Sutardji Calzoem Bachri adalah sastrawan keenam yang menerima anugerah Bakrie Award, setelah sebelumnya Sapardi Djoko Damono (2003), Goenawan Mohamad (2004), Budi Darma (2005), W.S. Rendra (2006), dan Putu Wijaya (2007).
Pandangan kritis terhadap Bakrie Award mulai muncul sejak 2006. Meski menerima anugerah tersebut, W.S. Renda dalam pidato penerimaannya dengan keras mengkritik penanganan dan pertanggungjawaban atas nasib ribuan rakyat di Sidoarjo. Pada tahun 2007, ketika kasus Lapindo makin mencuat ke permukaan, Bakrie Award pun kian mendapat sorotan. Apalagi setelah Frans Magnis Suseno yang terpilih sebagai penerima anugerah di Bidang Sosial menolak menerima anugerah tersebut. Lain halnya dengan Putu Wijaya yang menerimanya di tengah berbagai kritik.
Meski kasus Lapindo tidak lagi mencuat tajam seperti sebelumnya, sangat sulit memisahkan Bakrie Award 2008 yang diterima Sutardji Calzoem Bachri dengan kasus Lapindo. Tak sedikit publik sastra berharap bahwa Sutardji akan mengikuti jejak Frans Magnis Suseno ketimbang meniru Putu Wijaya. Namun, ternyata sang "presiden" penyair Indonesia itu lebih memilih meniru Putu Wijaya, menerima anugerah itu dan uang Rp 150 juta!
**
TENTU saja ini menimbulkan berbagai tanggapan yang berbeda. Menurut kritikus Adi Wicaksono, berbicara kesusastraan Indonesia sangatlah tidak mungkin meniadakan atau melewatkan nama Sutardji.
Tentang sikap Sutardji yang menerima Bakrie Award 2008 yang dihubungkan dengan kasus Lapindo, Adi menilai bahwa anugerah tersebut haruslah dilihat sebagai penghargaan atas karya dan dedikasi, bukan penghargaan yang sifatnya politis. "Moralitas menerima atau menolak saya kira dalam konteks sekarang tidak lagi bisa dipakai seperti tahun lalu sebab sekarang kasus Lapindo bukan lagi jadi kasus utama, banyak kasus-kasus yang lain. Tidak seperti tahun yang lalu ketika kasus Lapindo benar-benar jadi pusat perhatian. Konteksnya berbeda kalau, misalnya, Tardji menerimanya tahun lalu ketika kasus Lapindo jadi sorotan khalayak dan media. Saya tidak kecewa bahwa Tardji menerima anugerah itu, sebagai penghargaan sastra dia memang layak menerimanya, " ujarnya.
Senada dengan Adi Wicaksono, Agus R. Sarjono juga menyebut bahwa Sutardji pantas mendapatkan penghargaan sastra. Hanya saja lembaga pemberinya belumlah pantas memberinya karena ada yang lebih pantas diberi dan diurus, yakni korban lumpur Lapindo. Ia bisa memahami ketika Sutardji menerima anugerah tersebut, baik dalam konteks realitas finansial maupun bersebab pada langkanya penghargaan bagi sastrawan di negeri ini. Publik sastra Indonesia mungkin ada yang berharap bahwa Sutardji akan menolak penghargaan tersebut.
"Namun, mereka juga tidak akan tega seandainya Tardji menolaknya. Saya tidak berharap Tardji menolak sebab secara finasial, orang-orang yang sebetulnya layak menolak pun ternyata tidak menolak," tutur Agus.
Dari Tasikmalaya, penyair Acep Zamzam Noor menyebut sangatlah wajar Sutardji merima anugerah itu, lepas dari soal lembaga yang memberinya. Pilihan Sutardji yang menerima anugerah tersebut tidaklah akan mengurangi sikap kritisnya terhadap kasus Lapindo. "Kasus lumpur Lapindo adalah persoalan, tetapi memberi penghargaan pada sastrawan adalah soal yang lain. Apalagi pemberian anugerah ini telah ada sebelum terjadinya kasus lumpur Lapindo. Persoalannya bukan berarti menerima penghargaan itu lantas sikap kita akan melemah. Rendra menerima, tetapi dengan sangat bagus dia melancarkan pidato yang penuh kritik terhadap kasus Lapindo. Namun, di luar itu semua, menerima atau menolak Bakrie Award, kepenyairan Sutardji tidak akan terganggu. Kepenyairannnya lebih besar ketimbang Bakrie Awad dan uang Rp 150 juta!" Katanya.
Pandangan berbeda muncul dari Afrizal Malna. Meski mengatakan, Sutadji layak menerima penghargaan itu, setelah sebelumnya Sutardji juga memperoleh penghargaan dari Pemerintah Provinsi Riau, Afrizal memandang menerima award berkali-kali semacam itu tak ubahnya seperti gajian. Bukan pantas atau tidak Sutardji menerimanya, tetapi juga soalnya bagaimana award itu lahir dari kurasi yang dilakukan. Inilah yang membuat award sastra seperti arisan. Oleh karena itulah, di mata Afrizal, dunia sastra sekarang seperti hidup dalam kandang. Karya sastra tidak dipandang dalam fenomena kebudayaan umumnya.
Berbeda dengan Acep Zamzam Noor yang melihat bahwa kasus lumpur Lapindo dan Bakrie Award adalah persoalan yang berbeda, Afrizal justru memandang keduanya tidaklah bisa dipisahkan. Dalam konteks ini pula, ia menganggap bahwa wibawa kepenyairan Sutardji akan lebih besar seandainya ia menolak anugerah tersebut. "Yah, terserah dia kalau mau menggadaikan wibawa kepenyairannya pada uang 150 juta. Sebagai penyair seharusnya dia menghitung itu," ujar Afrizal.
**
ketika dihubungi, Jumat (15/8), Sutardji Calzoem Bachri yang pada 14 Agustus 2008 itu menerima dua penghargaan sekaligus, Penghargaan Budaya Bintang Parama dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Bakrie Award 2008, justru mempertanyakan mengapa orang tidak mempermasalahkan penghargaan yang diterimanya dari negara tapi justru mempermasalahkan Bakrie Award 2008?
"Mengapa kalau ada duitnya baru ribut? Apa karena penghargaan dari negara itu tak ada duitnya! Mengapa orang-orang melihat dengan cara yang berat sebelah? Saya muak dengan hal itu! " ujarnya.
Seolah menjawab pernyataan Afrizal, Sutardji menambahkan, "Saya tidak dibentuk oleh orang-orang yang menyukai atau oleh orang-orang yang membenci saya. Saya dibentuk oleh diri saya sendiri!"
Terhadap sejumlah pandangan yang mengkritik sikapnya menerima Bakrie Award 2008, Sutardji mengatakan, dalam sebuah anugerah tentu ada kebaikan dan keburukannya.
Lalu, seolah hendak menjawab para pengkritiknya yang mengaitkan anugerah tersebut dengan isu lumpur Lapindo, Sutardji menegaskan bahwa sejak dulu ia memutuskan sebagai penyair, ia bukanlah petarung sosial. Baginya, puisi dan kepenyairan tidaklah dimestikan sebagai reaksi atas realitas sosial yang tengah terjadi seperti kasus lumpur Lapindo.
"Kalau mau semacam itu sejak zaman Soeharto saya sudah ditangkap. Saya bukan petarung sosial, tapi petarung kata-kata. Pertarungan saya adalah dengan kata-kata, dengan ide dan air mata. Puisi saya bukan puisi dekrit!" katanya.***
Kamis, 05 Maret 2009
Kesunyian Seabad Pers
A Qorib Hidayatullah
http://indonimut.blogspot.com/
Awas! Kaoem Journalist!
Jadi Journalist zaman sekarang,
Berani dihukum dan di buang.
Karena dia yang mesti mendang,
Semua barang yang malangmalang.
Journalist harus berani mati,
Bekerja berat membanting diri.
Sebab dia hendak melindungi,
Guna mencari anak sendiri.
Journalist harus bisa berdiri,
Sendiri juga yang keras hati.
Dan tidak boleh main komedi
Guna mencari enak sendiri.
Koran itu tooneel umpamanya,
Tuan membaca yang menontonnya,
Journalisnya jadi pemainnya,
Hoofdredacteur jadi kepalanya.
[Marco Kartodikromo, Sinar Hindia, 14 Agustus 1918]
Melongok tangga sejarah pers nasional, yang sejatinya jatuh pada tanggal 9 Februari masih menyisakan silang sengkarut ihwal kapan sebenarnya hari pers nasional itu diperingati.
Lambat laun tapi pasti, jamak para periset Seabab Pers Kebangsaan (1907-2007), yang dikomandani Muhidin M. Dahlan, lihai menyeruak hingga ke akar genealogi rekam jejak perjalanan pers dalam rentang seratus tahun yang panjang itu. Mereka —para periset pers— beriktikad gigih menemukan kembali sejarah kritis jagad pers di tengah-tengah industri pers yang ditengarai kerap ditunggangi penguasa. Ikhtiar penelitian itu mengingatkan kita pada karya agung Gabriel Marquis, One Hundred of Solitude (Seratus Tahun Kesunyian). Ya, jika tak berlebihan bisa diplesetkan Kesunyian Seabad Pers, bukan?
Narasi kesunyian seabad pers itu oleh para jema’ah periset ditulis dalam majalah BASIS edisi Januari-Februari 2009. Sang komandan, Muhidin M. Dahlan, menulis artikel yang sangat provokatif terkait keabsahan sejarah memperingati kapan sejatinya hari pers diperingati. Lewat judul tulisan Revolusi Yang Lahir dari Cetak, sekaligus menjadi tulisan pengantar, Gus Muh —panggilan akrab Muhidin M. Dahlan— berlelaku skeptis atas siapa tokoh pers yang all out berjuang di jagad pers. Hingga pada akhirnya, Gus Muh menabalkan Tirto Adhi Soerjo sebagai sosok yang telah memberikan semua hidupnya guna meneguhkan fungsi pers sebagai pengawal pendapat umum yang membikin suara masyarakat tuna-daya menjadi berarti di hadapan kekuasaan. Dan Gus Muh memberi kesaksian bahwa sosok Tirto Adhi Soerjo mangkat dengan tragis nan sunyi pasca papas habis-habisan oleh kolonial lewat operasi arsivaris yang sistemik pada 7 Desember 1918.
Al-hasil, Gus Muh pun memanggil memorinya agar mengenang dan memberi hormat atas amal sosok Tirto Adhi. “Tak berlebihan bila kita mempertimbangkan untuk menjadikan hari mangkatnya Tirto Adhi, 7 Desember, sebagai Hari Pers Indonesia” ujar Gus Muh. Tapi ya menurut saya, terserah pemirsa juga, bukan?
http://indonimut.blogspot.com/
Awas! Kaoem Journalist!
Jadi Journalist zaman sekarang,
Berani dihukum dan di buang.
Karena dia yang mesti mendang,
Semua barang yang malangmalang.
Journalist harus berani mati,
Bekerja berat membanting diri.
Sebab dia hendak melindungi,
Guna mencari anak sendiri.
Journalist harus bisa berdiri,
Sendiri juga yang keras hati.
Dan tidak boleh main komedi
Guna mencari enak sendiri.
Koran itu tooneel umpamanya,
Tuan membaca yang menontonnya,
Journalisnya jadi pemainnya,
Hoofdredacteur jadi kepalanya.
[Marco Kartodikromo, Sinar Hindia, 14 Agustus 1918]
Melongok tangga sejarah pers nasional, yang sejatinya jatuh pada tanggal 9 Februari masih menyisakan silang sengkarut ihwal kapan sebenarnya hari pers nasional itu diperingati.
Lambat laun tapi pasti, jamak para periset Seabab Pers Kebangsaan (1907-2007), yang dikomandani Muhidin M. Dahlan, lihai menyeruak hingga ke akar genealogi rekam jejak perjalanan pers dalam rentang seratus tahun yang panjang itu. Mereka —para periset pers— beriktikad gigih menemukan kembali sejarah kritis jagad pers di tengah-tengah industri pers yang ditengarai kerap ditunggangi penguasa. Ikhtiar penelitian itu mengingatkan kita pada karya agung Gabriel Marquis, One Hundred of Solitude (Seratus Tahun Kesunyian). Ya, jika tak berlebihan bisa diplesetkan Kesunyian Seabad Pers, bukan?
Narasi kesunyian seabad pers itu oleh para jema’ah periset ditulis dalam majalah BASIS edisi Januari-Februari 2009. Sang komandan, Muhidin M. Dahlan, menulis artikel yang sangat provokatif terkait keabsahan sejarah memperingati kapan sejatinya hari pers diperingati. Lewat judul tulisan Revolusi Yang Lahir dari Cetak, sekaligus menjadi tulisan pengantar, Gus Muh —panggilan akrab Muhidin M. Dahlan— berlelaku skeptis atas siapa tokoh pers yang all out berjuang di jagad pers. Hingga pada akhirnya, Gus Muh menabalkan Tirto Adhi Soerjo sebagai sosok yang telah memberikan semua hidupnya guna meneguhkan fungsi pers sebagai pengawal pendapat umum yang membikin suara masyarakat tuna-daya menjadi berarti di hadapan kekuasaan. Dan Gus Muh memberi kesaksian bahwa sosok Tirto Adhi Soerjo mangkat dengan tragis nan sunyi pasca papas habis-habisan oleh kolonial lewat operasi arsivaris yang sistemik pada 7 Desember 1918.
Al-hasil, Gus Muh pun memanggil memorinya agar mengenang dan memberi hormat atas amal sosok Tirto Adhi. “Tak berlebihan bila kita mempertimbangkan untuk menjadikan hari mangkatnya Tirto Adhi, 7 Desember, sebagai Hari Pers Indonesia” ujar Gus Muh. Tapi ya menurut saya, terserah pemirsa juga, bukan?
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae