Jumat, 06 Februari 2009

Politik Buta Sastra Kontemporer

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Ada dua hal yang luput dari perhatian ketika dua kubu kesenian dipermainkan oleh deru politik, yaitu dialektika gagasan dan bentuk estetik. Hal itu juga berlaku di negeri yang telah memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945 dan berikrar gagasan satu nusa satu bangsa dan satu bahasa ini.

Itu kerap dilupakan orang karena selalu saja mereka terhipnotis oleh politik an sich. Tengok saja. Ada konsep Mooy Indie yang probarat dan konsep para seniman Persagi. Mooy Indie menjadikan Nusantara sebagai objek eksploitasi maka ”Indonesia” dalam representasi karya para pelukisnya adalah perempuan cantik, sensualitas para perempuan desa dan molek tetumbuhan dan indah gemercik sungai.

Para seniman Persagi jelas-jelas menentang dengan mati-matian dengan mewujudkan objek karya ”Indonesia” sebagai pasar yang kotor dalam kenyataan sehari-hari, gembel yang berpakaian compang-camping dan pejuang bambu kuning yang dianggap pemberontak oleh penjajah.

Konsep Lekra dan Manifes pun pernah mengisi sejarah percaturan konsep karya sastra. Manifes adalah pro-kemanusiaan yang begitu universal sehingga enggan menjadikan seni semata sebagai medium eksploitasi ideologi dan politik, lebih suka pada kebebasan karya termasuk bentuk bahasa, pencarian struktur. Maka karyanya pun lebih bicara tentang kemanusiaan yang tak terjebak politik partisan, mengeksplorasi bahasa, permainan struktur dan bereksperimen bentuk penyajian teks.

Sementara karya yang berada di dalam partai, seperti Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN, yang berafiliasi dalam naungan Partai Nasional Indonesia atau PNI), membawa gagasan organisasinya, peduli pada kelompok tertentu. Alhasil isi karya para seniman LKN, misalnya, jadi bernuansa slogan dan perjuangan sosial dan kerap disindir sebagai pamflet politik.

Di antara kedua kubu yang kerap muncul itu, teknis dan visi karya ”mereka” pun jadi ikut berbeda bentuk. Teks mereka jadi berbeda. Yang satu terkesan asosial dan apolitis, yang satu terkesan tak estetik, tak indah tapi garang bersabda tentang rakyat.

Saat ini, dunia sastra tak lagi berhubungan langsung dengan situasi politik dan sosial di Indonesia. Kesejatian ideologi dari tiap kubunya pun dipertanyakan. Tapi konstelasi konsep dan kontroversi kesusastraan tak kalah rumitnya.

Kita sebut saja beberapa komunitas yang ada antara lain Komunitas Utan Kayu, Bentara Budaya, Horison, Jurnal Bumi Putera, Komunitas Sastra Gapus, Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Forum Lingkar Pena. Meja Budaya dan Rumpun Jerami.

Masalahnya, kalau tak lagi berlandas ideologi partisan sebagaimana yang terjadi pada kubu-kubu sastra di masa lalu, adakah motif ekonomi yang melatarbelakangi politik perkubuan sastra saat ini? Apakah ide beberapa komunitas atau segelintir komunitas sastra, sedalam latar perkubuan yang tumbuh pada generasi seni sebelumnya?

Sangat disayangkan bila latar motif ekonomi semacam itu yang melandasinya, sejarah sastra tentu akan mengalami cedera karena tak lagi berlandas pada dimensi teks melainkan sudah melebar ke persoalan jaringan dan kedekatan antarpersonal di komunitasnya. Apalagi bila komunitas itu kemudian membesar, menjadi sebuah lembaga dari ”pinggir” ke ”pusat” lalu memilih karya, memilih pengarang dan membuat data yang subjektif tentang kesusastraan di Indonesia kepada para akademisi baik di dalam dan di luar negeri.

Politik Kubu Sastra Terkini

Politik kubu terkadang menimbulkan efek lain yaitu ”sastra seperti gajah di hadapan orang buta".

Pendeknya, gajah bukan ular - karena yang disentuh adalah belalai; bukan pohon kelapa - karena yang dipegang kaki; bukan seperti daun talas - karena yang dipegang adalah telinga. Sastra, seperti gajah, bukan hanya visi dan misi, bukan juga hanya estetika.

Yang paling merepotkan adalah berita terkini, banyak orang ”buta” telah menjadi penilai tunggal dalam menafsirkan ”gajah”. Orang ”buta” yang keras hati mendefinisikan bahwa sastra adalah ular - karena yang dipegang adalah belalai, bahwa sastra hanyalah telinga. Bayangkan sekarang: ada seorang mahasiswa (kalau yang satu ini telah buta sejak lahir) sedang berniat membuat skripsi lalu kedatangan orang-orang buta.

Entah yang datang adalah si buta penebak gajah sebagai ular, atau kedatangan orang buta yang menebak gajah sebagai daun talas. Atau kedatangan seorang buta si penafsir tunggal yang membawa mikrofon, buku dan diktat buat mengajar si mahasiswa. Si mahasiswa pasti akan depresi, membayangkan mana bentuk gajah yang sebenar-benarnya.

Politik perkubuan terkini telah membuat para mahasiswa, akademisi, pengajar sastra di sekolah, percaya saja pada orang-orang buta itu. Kini, sastra di satu kubu, hanya memandang sastra sebagai eksperimen bentuk, eksperimen teks, bikin karya seaneh mungkin seolah berteriak ”mari bikin metafora bahasa yang bikin pusing pembacanya!"

Kubu sastra yang lain mempengaruhi juga si mahasiswa, mengatakan bahwa sastra adalah mementingkan misi sosial, peduli politik dan harus selalu berkampanye. Kubu A bilang sastra hanya bicara kebudayaan adiluhung dan kultur lokal. Kubu B bilang sastra hanya bicara liberalisme, globalitas, bebas dan seksualitas. Kubu C bilang sastra harus menjadi misi sosial dan politik.

Demikianlah yang terjadi pada politik sastra terkini, telah membuat guru SD, SMP, SMA, dosen di perkuliahan, atase budaya, donatur negeri asing, pakar dan pengamat barat, perpustakaan asing, menjadi orang yang bingung dan salah dalam menafsir sejarah sastra. Semata karena ulah orang buta yang keras kepala, dengan mikrofon, jaringan koran dan uang yang bertumpuk di kantongnya, menjadikan semua jadi terbohongi, termanipulasi dan terdistorsi.

Para orang ”buta” itu kini bahkan telah memiliki media-media massa besar, baik cetak, radio, penerbitan buku, punya donatur plus kocek untuk bayar pakar dan bayar ajang sastra internasional. Jadilah sastra makin mengecil maknanya karena yang dijadikan landasan hanya ekstrinsik berupa tema tertentu, atau intrinsik berupa permainan alur, permainan latar, permainan karakter, permainan penokohan dan permainan bahasa puitik dan simbol-simbol.

Sastra yang jadi arena politik ekonomi, penuh dengan ambisi kelompok dan tak lagi menyuarakan karya sastra secara ideal, resisten dan sesuai dengan suara kemanusiaan dan kedamaian; sastra yang menjauh dari nilai-nilai semacam itu dalam sejarahnya tentu akan serupa gajah yang semakin lama semakin limbung: cacat, pincang, tak bertelinga dan tak berbelalai.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae