Agus Salim
http://www.surabayapost.co.id/
Firda terus saja menghitung-hitung biaya membetulkan rumah. Walau sebenarnya itu tidak bisa terwujud secapat mungkin. Gajiku, sebagai buruh kontrak, tidak pernah cukup untuk membiyai perbaikan rumah. Lima ratus ribu rupiah per bulan hanya cukup untuk urusan perut dan kebutuhan hidup yang lain : sabun mandi, sabun cuci, shampo, odol, sikat gigi, bayar listrik, dan untuk kebutuhan make up Firda. Meskipun Firda tahu itu, tapi tetap saja memaksakan diri, merengek-rengek agar rumah segera diperbaiki.
Aku paham betul perasaan Firda. Dia sangat tertekan dan tidak tahan melihat kondisi rumah yang sudah tidak layak disebut rumah manusia. Pantasnya disebut rumah binatang. Kayu-kayu dan atap rumah banyak yang sudah mengalami kropos hingga hampir ambruk. Setiap hujan turun, pasti bocor. Air menembus batas, menetes, membasahi lantai. Bikin kemproh. Dinding rumah juga banyak yang sudah retak, termakan usianya yang sudah tua. Tapi, bukan itu alasan awal sehingga Firda ngotot menyuruhku segera memperbaiki rumah.
Semua berawal dari bau busuk yang menyeruak menusuk hidung.
Bau busuk kematian menyebar ke semua sudut kamar tidur. Baunya sangat menyiksa hidung, hingga sesak. “Huh! Baunya minta ampun!” kata Firda sambil mengapitkan dua jari telunjuk dan ibu jari, ke hidung.
“Huaaak…!!” suara itu menghentak keras keluar dari mulut Firda. Dia sangat tidak tahan dengan bau itu. Bau busuk itu berasal dari atap kamar tidur
Tiga ekor tikus mati secara bersamaan.
Tidak hanya itu aku dan Firda juga dikagetkan oleh ulat-ulat kematian berjatuhan dari atap kamar tidur. Aku kebingungan, begitu juga dengan Firda. Ulat-ulat itu menggeliat, merayap, menghampiri kami. Spontan saja kami blingsatan. Mencari tempat aman.
Dengan penuh kesabaran, satu per satu ulat itu kami singkirkan keluar. Mungkin ulat-ulat itu sudah menghabisi daging tikus yang mati di atap. Banyak sekali jumlahnya, mungkin sudah berkembang biak dengan cepat. Sebab, meskipun sudah kami singkirkan ulat-ulat yang jatuh, tetap saja masih ada ulat-ulat yang jatuh lagi bertaburan dan tak terhitung jumlahnya. “Belum mati saja sudah dihampiri ulat-ulat kematian,” sindir Firda.
Aku tak sempat memikirkan sindiran istriku. Aku memperhatikan dengan seksama darimana sebenarnya ulat itu keluar. Ternyata, ulat-ulat itu menyelinap di sela-sela atap yang pakunya sudah terlepas. Tanpa berlama-lama, aku mengambil lakban dan kututup sela-sela itu dengannya. Dengan sedikit usaha yang tidak terlalu memakan waktu dan tenaga, ulat-ulat itupun akhirnya tidak berjatuhan lagi karena tidak menemukan jelan keluar.
Sementara kami aman.
Namun ada yang tidak bisa tertutupi. Bau busuk tetap menyengat. Firda mencak-mencak dan mengancam akan tidur di rumah orang tuanya, kalau rumah tidak segera diperbaiki.
“Kalau kau tidak segera diperbaiki, lihat saja nanti!” ancam Firda kepadaku.
“Dengar, Mas! Aku kan sudah bilang berkali-kali, mewanti-wanti, rumah ini sudah peyot, perlu peremajaan, kau tetap saja mengacuhkan aku. Kalau sudah begini, masak kita akan diam saja. Tanpa berbuat sesuatu. Ada tiga ekor tikus mati di atap rumah kita, Mas!”
Aku menjadi heran, kenapa tikus yang mati, kok aku yang disalahkan. Firda seperti sedang mencari kambing hitam.
Agar api kemarahannya tidak membesar dan meluap-luap, kutatap matanya dengan tajam. Agar dia sadar bahwa aku juga bisa marah. Tapi, Firda malah semakin bringas. Kelembutannya yang tertanam sejak aku bertemu dia, perlahan-lahan menghilang.
Dia lantas melangkah dan mengampiri sapu. Diambilnya sapu dan dibawa ke dalam kamar, lalu disundul-sundulnya sapu itu ke atap kamar dengan tekanan cukup keras. Braak! Braak! Braak!
“Kenapa tikus itu tidak tau diri, sudah dikasih ijin keluar masuk, eh, malah mati sembarangan, diatap rumahku lagi!” gerutu Firda.
“Kau tidak usah marah sama tikus. Nggak level. Tikus berhak mati dimana saja dia mau. Kita sebagai manusia tidak bisa ngatur-ngatur. Kau sudah kelewatan Firda!” kataku dengan sedikit tekanan.
“Apa? Kelewatan! Kau yang kelewatan, Mas. Ini baru tiga ekor tikus yang mati, nanti akan berdatangan tikus-tikus yang lain dan juga memilih mati di atap kamar tidur kita. Bisa-bisa rumah kita akan menjadi kuburan tikus. Dan baunya setiap saat akan menghantui kita. Seharusnya kau sudah bisa mengantisipasi ini semua. Kau sebagai kepala keluarga, harusnya bisa sadar, bahwa kita ini butuh rumah yang layak,” Firda menimpaliku dengan kata-kata yang pedas.
Lama-lama kupingku kepanasan mendengarnya. Kamarahan pada tikus diputarbalikkannya, diseret-seret sehingga menjadi permasalahan keluarga. Aku sendiri tidak habis pikir, kenapa tega-teganya Firda menyalahkan aku. Seolah-olah aku adalah biang masalah dalam hal ini. Sedangkan tikus yang mati di atap bukan aku yang menyuruhnya.
Memang - sebagai kepala keluarga - aku seharusnya memberikan rumah yang nyaman, aman dan tentram. Rumah impian—yang menjadi idaman semua keluarga. Rumah yang bisa membuat Firda lebih leluasa bergerak. Tidak pada satu tempat atau dua tempat, kalau bisa berganti-ganti.
Sementara ini kami tinggal di sebuah rumah yang minimalis. Super minimalis. Hanya ada satu ruang tamu dengan ukuran secukupnya, dua kamar tidur secukupnya, kamar mandi secukupnya dan dapur secukupnya. Ruang gerak kami sangat terbatas. Tempat bermain anak-anak saja tidak ada. Aku berpikir, jika punya anak kelak, pasti anakku juga akan merasakan bosan tinggal di rumah yang ukurannya secukupnya, sama seperti Firda.
Pernah terbesit dibenakku untuk menjual rumah, dan pindah ke rumah kontrakan. Tapi, setelah dihitung-hitung dengan akal sehat dan hati yang jernih, pasti akan membuat biaya hidup semakin membengkak. Meskipun angka-angka dalam kalkulator berulang-ulang kali aku tekan, mengkalkulasi kebutuhan hidup, mengurangi dan selalu mengurangi, tetap saja tidak cukup. Dengan hanya penghasilan lima ratus ribu rupiah perbulan, sudah bisa dipastikan tidak akan pernah bisa menjangkau kebutuhan hidup yang harga-harganya sudah melambung tinggi. Firda tau itu, tapi dia tetap dengan pendiriannya.
Biar peramalasahan tidak merembet terlalu jauh, aku membujuk Firda agar sabar menunggu sampai aku diangkat menjadi buruh tetap. Dan dengan itu, aku nantinya bisa mengajukan pinjaman ke bank.
Pendirian Firda yang tidak bisa diotak-atik lagi membuat aku putus asa. Firda memaksa aku juga untuk ikut masuk dan larut dalam kemarahan yang sebenarnya tidak harus aku lakukan. Akupun larut, karena sudah tidak ada jalan lain selain marah, sama seperti marahnya Firda.
Aku pun marah. Menggila.
“Biar, rumah ini tidak akan pernah aku perbaiki. Sebab aku memang benar-benar tidak punya uang. Kalau kau tidak suka, sana kau tidur di rumah orang tuamu!” bentakku kepada Firda.
“Kau lebih senang rumah kita menjadi kuburan tikus?!”
“Kalau iya, kenapa?!”
“Jadi kau lebih senang hidup bersanding dengan tikus daripada denganku?!”
“Iya!! Karena aku anggap tikus lebih layak hidup disini.”
“Kenapa kau bicara seperti itu?!” tanya Firda dengan nada terheran-heran.
“Kau manusia, yang katanya lebih mulia dari binatang. Karena sudah dilengkapi otak untuk berpikir, tapi, kenapa kau lebih mirip dengan binatang yang tidak pernah mengerti kata-kata manusia. Aku sudah katakan berulang-ulang, ‘Gajiku tidak cukup untuk memperbaiki rumah, Firda’ tapi kau tetap saja memaksa. Kau tidak menghormati hak asasiku sebagai suami.”
“Jadi, kau lebih lebih memilih tikus dari pada aku, Mas?”
“Iya!! Meskipun tikus selalu mengganggu, membuat suara gaduh dan memberikan bau busuk, tapi, tikus tidak pernah menuntut apa-apa dariku. Tikus hanya numpang hidup dan mati di rumah ini. Apa salahnya, sih!”
“Jadi… jadi… jadi…. Ah!!” Firda akhirnya takluk dengan tingkahku yang aneh dan kegilaanku membela binatang yang namanya tikus.
Firda ngambek.
Dia mengambil koper besar dan menghampiri lemari yang tak terkunci.
Firda membuka lemari, dan mengambil semua pakaiannya. Satu per satu dimasukkannya ke dalam koper besar. Aku termangu, terheran-heran menyaksikan tingkah Firda yang kekanak-kanakan.
Masalah semakin runyam saja ketika Firda dengan langkah pasti membawa koper besar keluar kamar tanpa kata-kata. Dia menunduk dan mengacuhkan aku. Sangat tidak wajar, hanya gara-gara tikus mati, lantas cinta Firda juga ikut-ikutan mati. Terlalu dibuat-buat.
Aku meloncat dan menghadang langkah Firda. Tak terima dengan hadanganku, tanggan kirinya mendobrak tubuhku, dengan kekuatan penuh amarah, hingga aku terjatuh.
Dengan cepat aku bediri lagi dan menghadang lagi. Didobraknya lagi tubuhku dan terjatuh lagi. Hadangan yang terakhir kali berhasil menundukkan hati Firda. Mungkin karena lelah mendobrakku atau karena sekedar kasihan kepadaku.
Firda meletakkan koper dan duduk di kursi kesayangannya.
Dia merenungkan sesuatu. Tapi aku sendiri tidak tau apa yang sedang direnungkannya.
Aku melangkah mendekat, dan duduk di dekatnya lalu kubelai rambutnya yang hitam dan terurai rapi.
Mirip waktu pacaran dulu.
“Kenapa kau ingin pergi, Firda?” tanyaku.
“Karena kau lebih memilih tikus daripada aku,” jawab Firda dengan mulut monyong.
“Itu kan tidak menandakan bahwa aku jatuh cinta sama tikus. Aku hanya berusaha menempatkan sesuatu pada tempatnya.”
Firda tersenyum mendengar aku berkata seperti itu. Lesung pipinya yang menawan nampak mewarnai senyumnya.
“Ya tetap saja kau lebih memilih tikus! Ah!” kata Firda dibumbui dengan sedikit senyum.
“Sudahlah… kita tidak usah saling menyalahkan hanya karena tikus. Kita damai saja. Soal memperbaiki rumah kita bicarakan nanti kalau hati dan akal kita sudah sama-sama jernih. Sebab saat ini bau busuk dari tikus yang sudah mati sudah meracuni hati dan akal kita. Kita damai, ya?!”
Firda hanya mengangguk.
Api kemarahan padam dan berakhir begitu saja tanpa ada yang menang. Kami sama-sama kalah. Firda membongkar kembali lagi isi koper. Entah, berapa lama lagi kami harus ‘mencintai’ tikus?
Rumah Kenangan, Desember 2008.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 01 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar