Minggu, 01 Februari 2009

KUBURAN TIKUS

Agus Salim
http://www.surabayapost.co.id/

Firda terus saja menghitung-hitung biaya membetulkan rumah. Walau sebenarnya itu tidak bisa terwujud secapat mungkin. Gajiku, sebagai buruh kontrak, tidak pernah cukup untuk membiyai perbaikan rumah. Lima ratus ribu rupiah per bulan hanya cukup untuk urusan perut dan kebutuhan hidup yang lain : sabun mandi, sabun cuci, shampo, odol, sikat gigi, bayar listrik, dan untuk kebutuhan make up Firda. Meskipun Firda tahu itu, tapi tetap saja memaksakan diri, merengek-rengek agar rumah segera diperbaiki.

Aku paham betul perasaan Firda. Dia sangat tertekan dan tidak tahan melihat kondisi rumah yang sudah tidak layak disebut rumah manusia. Pantasnya disebut rumah binatang. Kayu-kayu dan atap rumah banyak yang sudah mengalami kropos hingga hampir ambruk. Setiap hujan turun, pasti bocor. Air menembus batas, menetes, membasahi lantai. Bikin kemproh. Dinding rumah juga banyak yang sudah retak, termakan usianya yang sudah tua. Tapi, bukan itu alasan awal sehingga Firda ngotot menyuruhku segera memperbaiki rumah.

Semua berawal dari bau busuk yang menyeruak menusuk hidung.

Bau busuk kematian menyebar ke semua sudut kamar tidur. Baunya sangat menyiksa hidung, hingga sesak. “Huh! Baunya minta ampun!” kata Firda sambil mengapitkan dua jari telunjuk dan ibu jari, ke hidung.

“Huaaak…!!” suara itu menghentak keras keluar dari mulut Firda. Dia sangat tidak tahan dengan bau itu. Bau busuk itu berasal dari atap kamar tidur

Tiga ekor tikus mati secara bersamaan.

Tidak hanya itu aku dan Firda juga dikagetkan oleh ulat-ulat kematian berjatuhan dari atap kamar tidur. Aku kebingungan, begitu juga dengan Firda. Ulat-ulat itu menggeliat, merayap, menghampiri kami. Spontan saja kami blingsatan. Mencari tempat aman.

Dengan penuh kesabaran, satu per satu ulat itu kami singkirkan keluar. Mungkin ulat-ulat itu sudah menghabisi daging tikus yang mati di atap. Banyak sekali jumlahnya, mungkin sudah berkembang biak dengan cepat. Sebab, meskipun sudah kami singkirkan ulat-ulat yang jatuh, tetap saja masih ada ulat-ulat yang jatuh lagi bertaburan dan tak terhitung jumlahnya. “Belum mati saja sudah dihampiri ulat-ulat kematian,” sindir Firda.

Aku tak sempat memikirkan sindiran istriku. Aku memperhatikan dengan seksama darimana sebenarnya ulat itu keluar. Ternyata, ulat-ulat itu menyelinap di sela-sela atap yang pakunya sudah terlepas. Tanpa berlama-lama, aku mengambil lakban dan kututup sela-sela itu dengannya. Dengan sedikit usaha yang tidak terlalu memakan waktu dan tenaga, ulat-ulat itupun akhirnya tidak berjatuhan lagi karena tidak menemukan jelan keluar.

Sementara kami aman.

Namun ada yang tidak bisa tertutupi. Bau busuk tetap menyengat. Firda mencak-mencak dan mengancam akan tidur di rumah orang tuanya, kalau rumah tidak segera diperbaiki.

“Kalau kau tidak segera diperbaiki, lihat saja nanti!” ancam Firda kepadaku.

“Dengar, Mas! Aku kan sudah bilang berkali-kali, mewanti-wanti, rumah ini sudah peyot, perlu peremajaan, kau tetap saja mengacuhkan aku. Kalau sudah begini, masak kita akan diam saja. Tanpa berbuat sesuatu. Ada tiga ekor tikus mati di atap rumah kita, Mas!”

Aku menjadi heran, kenapa tikus yang mati, kok aku yang disalahkan. Firda seperti sedang mencari kambing hitam.

Agar api kemarahannya tidak membesar dan meluap-luap, kutatap matanya dengan tajam. Agar dia sadar bahwa aku juga bisa marah. Tapi, Firda malah semakin bringas. Kelembutannya yang tertanam sejak aku bertemu dia, perlahan-lahan menghilang.

Dia lantas melangkah dan mengampiri sapu. Diambilnya sapu dan dibawa ke dalam kamar, lalu disundul-sundulnya sapu itu ke atap kamar dengan tekanan cukup keras. Braak! Braak! Braak!

“Kenapa tikus itu tidak tau diri, sudah dikasih ijin keluar masuk, eh, malah mati sembarangan, diatap rumahku lagi!” gerutu Firda.

“Kau tidak usah marah sama tikus. Nggak level. Tikus berhak mati dimana saja dia mau. Kita sebagai manusia tidak bisa ngatur-ngatur. Kau sudah kelewatan Firda!” kataku dengan sedikit tekanan.

“Apa? Kelewatan! Kau yang kelewatan, Mas. Ini baru tiga ekor tikus yang mati, nanti akan berdatangan tikus-tikus yang lain dan juga memilih mati di atap kamar tidur kita. Bisa-bisa rumah kita akan menjadi kuburan tikus. Dan baunya setiap saat akan menghantui kita. Seharusnya kau sudah bisa mengantisipasi ini semua. Kau sebagai kepala keluarga, harusnya bisa sadar, bahwa kita ini butuh rumah yang layak,” Firda menimpaliku dengan kata-kata yang pedas.

Lama-lama kupingku kepanasan mendengarnya. Kamarahan pada tikus diputarbalikkannya, diseret-seret sehingga menjadi permasalahan keluarga. Aku sendiri tidak habis pikir, kenapa tega-teganya Firda menyalahkan aku. Seolah-olah aku adalah biang masalah dalam hal ini. Sedangkan tikus yang mati di atap bukan aku yang menyuruhnya.

Memang - sebagai kepala keluarga - aku seharusnya memberikan rumah yang nyaman, aman dan tentram. Rumah impian—yang menjadi idaman semua keluarga. Rumah yang bisa membuat Firda lebih leluasa bergerak. Tidak pada satu tempat atau dua tempat, kalau bisa berganti-ganti.

Sementara ini kami tinggal di sebuah rumah yang minimalis. Super minimalis. Hanya ada satu ruang tamu dengan ukuran secukupnya, dua kamar tidur secukupnya, kamar mandi secukupnya dan dapur secukupnya. Ruang gerak kami sangat terbatas. Tempat bermain anak-anak saja tidak ada. Aku berpikir, jika punya anak kelak, pasti anakku juga akan merasakan bosan tinggal di rumah yang ukurannya secukupnya, sama seperti Firda.

Pernah terbesit dibenakku untuk menjual rumah, dan pindah ke rumah kontrakan. Tapi, setelah dihitung-hitung dengan akal sehat dan hati yang jernih, pasti akan membuat biaya hidup semakin membengkak. Meskipun angka-angka dalam kalkulator berulang-ulang kali aku tekan, mengkalkulasi kebutuhan hidup, mengurangi dan selalu mengurangi, tetap saja tidak cukup. Dengan hanya penghasilan lima ratus ribu rupiah perbulan, sudah bisa dipastikan tidak akan pernah bisa menjangkau kebutuhan hidup yang harga-harganya sudah melambung tinggi. Firda tau itu, tapi dia tetap dengan pendiriannya.

Biar peramalasahan tidak merembet terlalu jauh, aku membujuk Firda agar sabar menunggu sampai aku diangkat menjadi buruh tetap. Dan dengan itu, aku nantinya bisa mengajukan pinjaman ke bank.

Pendirian Firda yang tidak bisa diotak-atik lagi membuat aku putus asa. Firda memaksa aku juga untuk ikut masuk dan larut dalam kemarahan yang sebenarnya tidak harus aku lakukan. Akupun larut, karena sudah tidak ada jalan lain selain marah, sama seperti marahnya Firda.

Aku pun marah. Menggila.

“Biar, rumah ini tidak akan pernah aku perbaiki. Sebab aku memang benar-benar tidak punya uang. Kalau kau tidak suka, sana kau tidur di rumah orang tuamu!” bentakku kepada Firda.

“Kau lebih senang rumah kita menjadi kuburan tikus?!”

“Kalau iya, kenapa?!”

“Jadi kau lebih senang hidup bersanding dengan tikus daripada denganku?!”

“Iya!! Karena aku anggap tikus lebih layak hidup disini.”

“Kenapa kau bicara seperti itu?!” tanya Firda dengan nada terheran-heran.

“Kau manusia, yang katanya lebih mulia dari binatang. Karena sudah dilengkapi otak untuk berpikir, tapi, kenapa kau lebih mirip dengan binatang yang tidak pernah mengerti kata-kata manusia. Aku sudah katakan berulang-ulang, ‘Gajiku tidak cukup untuk memperbaiki rumah, Firda’ tapi kau tetap saja memaksa. Kau tidak menghormati hak asasiku sebagai suami.”

“Jadi, kau lebih lebih memilih tikus dari pada aku, Mas?”

“Iya!! Meskipun tikus selalu mengganggu, membuat suara gaduh dan memberikan bau busuk, tapi, tikus tidak pernah menuntut apa-apa dariku. Tikus hanya numpang hidup dan mati di rumah ini. Apa salahnya, sih!”

“Jadi… jadi… jadi…. Ah!!” Firda akhirnya takluk dengan tingkahku yang aneh dan kegilaanku membela binatang yang namanya tikus.

Firda ngambek.

Dia mengambil koper besar dan menghampiri lemari yang tak terkunci.

Firda membuka lemari, dan mengambil semua pakaiannya. Satu per satu dimasukkannya ke dalam koper besar. Aku termangu, terheran-heran menyaksikan tingkah Firda yang kekanak-kanakan.

Masalah semakin runyam saja ketika Firda dengan langkah pasti membawa koper besar keluar kamar tanpa kata-kata. Dia menunduk dan mengacuhkan aku. Sangat tidak wajar, hanya gara-gara tikus mati, lantas cinta Firda juga ikut-ikutan mati. Terlalu dibuat-buat.

Aku meloncat dan menghadang langkah Firda. Tak terima dengan hadanganku, tanggan kirinya mendobrak tubuhku, dengan kekuatan penuh amarah, hingga aku terjatuh.

Dengan cepat aku bediri lagi dan menghadang lagi. Didobraknya lagi tubuhku dan terjatuh lagi. Hadangan yang terakhir kali berhasil menundukkan hati Firda. Mungkin karena lelah mendobrakku atau karena sekedar kasihan kepadaku.

Firda meletakkan koper dan duduk di kursi kesayangannya.

Dia merenungkan sesuatu. Tapi aku sendiri tidak tau apa yang sedang direnungkannya.

Aku melangkah mendekat, dan duduk di dekatnya lalu kubelai rambutnya yang hitam dan terurai rapi.

Mirip waktu pacaran dulu.

“Kenapa kau ingin pergi, Firda?” tanyaku.

“Karena kau lebih memilih tikus daripada aku,” jawab Firda dengan mulut monyong.

“Itu kan tidak menandakan bahwa aku jatuh cinta sama tikus. Aku hanya berusaha menempatkan sesuatu pada tempatnya.”

Firda tersenyum mendengar aku berkata seperti itu. Lesung pipinya yang menawan nampak mewarnai senyumnya.

“Ya tetap saja kau lebih memilih tikus! Ah!” kata Firda dibumbui dengan sedikit senyum.

“Sudahlah… kita tidak usah saling menyalahkan hanya karena tikus. Kita damai saja. Soal memperbaiki rumah kita bicarakan nanti kalau hati dan akal kita sudah sama-sama jernih. Sebab saat ini bau busuk dari tikus yang sudah mati sudah meracuni hati dan akal kita. Kita damai, ya?!”

Firda hanya mengangguk.

Api kemarahan padam dan berakhir begitu saja tanpa ada yang menang. Kami sama-sama kalah. Firda membongkar kembali lagi isi koper. Entah, berapa lama lagi kami harus ‘mencintai’ tikus?

Rumah Kenangan, Desember 2008.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae