Minggu, 01 Februari 2009

Karma

Inggit Putria Marga
http://www.lampungpost.com/

TERLAHIR sebagai perempuan dan melanjutkan hidup di dusun bernama Biru Berlian, tinggallah aku: Yue, di sebuah rumah dengan beberapa jenis makhluk. Ada yang sejenis denganku (jenis yang kau kenal sebagai manusia, yang kemudian kusebut sebagai keluarga). Jumlah manusia yang hidup satu rumah denganku sebanyak empat, para manusia itu memiliki panggilannya sendiri, yakni ibu, bapak, kakak, dan adik.

Aku juga tinggal bersama makhluk berjenis hewan, semacam semut, nyamuk, kecoa, cacing, katak, ayam, kucing, beruk, dan beragam kutu yang kurang begitu kuakrabi nama-namanya. Sebagian dari mereka tinggal dalam rumahku; menetap di tikar, di celah-celah kayu jendela, pintu, dinding rumah, di lipatan-lipatan baju, di dapur, tapi ada pula yang bermukim di kulit, rambut, bahkan isi perut aku dan keluargaku.

Sebagian lagi, semisal katak, beruk, dan ayam, menetap di luar rumahku. Mereka memiliki rumahnya sendiri, tapi masih satu pagar dengan rumah keluargaku. Bersama hewan-hewan itu, keluargaku hidup rukun. Hubungan kami harmonis, begitu manis bagai tapai ketan atau kue pukis.

Di dalam rumah, tinggal juga makhluk-makhluk yang tubuhnya hanya dapat berpindah tempat jika ada yang berkenan memindahkan. Keluargaku menyebut mereka sebagai perabotan. Beberapa bagian tubuh manusia atau tubuh hewan, juga dimiliki makhluk berjenis ini. Hanya, fungsinya tidak seluruhnya sama. Contohnya ada di salah satu perabotan yang bernama kursi.

Seperti aku dan keluargaku, juga beruk atau ayam, kursi memiliki kaki untuk menopang tubuhnya supaya dapat kokoh berdiri. Tapi, kursi tidak pernah menggunakan kakinya untuk berjalan. Akibatnya, apabila aku, misalnya, sedang dikuasai sedih atau marah yang mengilat, sehingga berjalan di dalam rumah dengan mata lupa melihat, aku kerap menabrak kursi itu. Ia sering terjungkal, tapi entah mengapa, tak sekalipun padaku, ia pernah menyiratkan raut dendam atau kesal.

Setiap bertabrakan dengannya, tubuhku jadi pegal. Amarah atau sedihku pun semakin berwujud mendung tebal. Kerap kuhujankan ludahku pada dia yang terjungkal. Dia diam saja, hening dalam kekayuan yang kekal. Mengapa kau tak menghindar, bengal?, makiku.

Kadang-kadang, kala aku memandang kursi dan di saat yang sama kursi itu memandang aku, aku merasa ada hantu kemalasan yang menjangkiti dirinya, kekuatan halus yang membuatnya tak ingin melarikan diri agar selamat dari amukan langkahku. Langkah yang sering brutal, bila awan marah atau awan sedih menggayuti mataku tak ubahnya genangan kopi kental.

Pernah aku tak habis pikir pada jalan pikiran kursi itu, mengapa dia dingin saja bila teraniaya. Padahal, bukan hanya penganiayaanku yang diterimanya. Kucing yang bila malam tidur di dekat tungku dan tumpukan kayu di dapur keluargaku, tak hanya sekali kusaksikan memberaki kursi pendiam itu. Setelah berak, kucing melompat dari dirinya. Berjalan lengang sambil sesekali menoleh dan melontarkan suara cukup misterius padanya. Kursi pun menatap kucing, tapi kursi hanya hening.

Ibuku marah sekali setiap menemukan kotoran kucing terbaring di atas kursi. Perempuan tua itu akan mencari-cari kucing untuk meminta penjelasan, mengapa tidak berak di tempat yang telah jadi kesepakatan. Tapi, kucing malah melancong entah ke mana, sehingga ibu yang kedongkolannya tak tersalurkan segera menggerutui si kursi, mengapa kau tak menghindar, bengal!, maki ibu.

Belum lagi kaki kakakku yang sering menginjaknya setiap ingin mengambil sesuatu yang tinggi letaknya, yang apabila kursi tak kuat menahan berat tubuh kakakku, ia akan bergoyang. Hal ini menyebabkan jantung kakakku berdegup lebih kencang. Kakakku akan gugup saat kursi itu bergoyang. Biasanya ia tak jadi mengambil yang ingin ia ambil. Ia akan turun dari kursi itu, menendangnya, lalu mengambil tangga atau benda lain yang lebih kokoh untuk pijakkan kakinya.

Setiap pagi, sebelum pergi sekolah atau bermain, adikku selalu duduk, memasang sepatu, sambil sesekali meletakkan kentut di kursi itu. Entah apa perasaan kursi pemurung itu, sehingga ketika adikku selesai kentut lalu pergi sekolah atau bermain, kursi tak juga bergerak meninggalkan rumahku. Ia tetap di tempatnya, dingin bersahaja menanti aniaya berikutnya, menunggu pantat-pantat yang membuatnya memiliki peran di dunia, pantat dan seisinya, pantat dan segala yang tersimpan dan keluar dari lubangnya, pantat dan bagian tubuh lain yang berhubungan dengannya, pantat yang ia butuhkan dan barang kali masih membutuhkannya.

Tapi, kesenyapan kursi itu, lama kelamaan membuatku bosan. Barangkali aku termasuk jenis manusia yang membutuhkan sebuah perlawanan, supaya hari-hari di planet ini tetap menarik untuk dilanjutkan. Tapi, tidak juga, setelah kurenung-renungkan, ketenangan yang dimiliki kursi itu, meski tanpa alasan yang jelas, terasa begitu palsu.

Bagiku, ia seperti hendak menipu (atau mengejekku) dengan keheningannya setiap kali makhluk lain menderanya dengan aniaya. Lantas hari ke hari kemuakanku padanya makin mendidih. Bagai cairan timah panas yang menunggu tempat untuk bertetesan, aku tak mampu menahan kebencian yang menajam pada sebuah kursi yang sarat dengan kepura-puraan.

Suatu siang, aku menyeret kursi itu ke luar dari rumahku. Di halaman rumah, sejenak kupandang ia berkilau. Ternyata, dia cukup berkharisma saat diselubungi matahari yang sedang bersinar lembut seperti serbuk bunga kemangi. Tapi, aku tak ingin lama-lama peduli. Kutinggalkan kursi itu sendirian di pekarangan. Aku pergi ke dapur, mengambil alat-alat yang kubutuhkan untuk menyelenggarakan upacara pembakaran. Dari jendela dapur, sekilas kusaksikan kursi itu seperti menyerap begitu banyak energi dari matahari. Saat itu, ia amat menakutkanku. Keringatku bercucuran. Dalam pandanganku, kursi itu bagai endapan teror yang mesti segera aku lenyapkan supaya seisi rumahku dapat terselamatkan, terbebas dari malapetaka pembalasan dendam si kursi yang penuh kemunafikan.

Aku tak dapat ditipu oleh kursi yang munafik. Di mataku, sekejap, mengambang jelas sejumlah peristiwa yang telah aku, keluargaku, dan kucing yang menetap di rumahku, lalui bersama kursi itu. Keheningannya saat menerima ludahku, kepasrahannya menerima kotoran yang dibaringkan kucing pada dirinya.

Kesabarannya menerima makian ibuku, penghayatannya terhadap tendangan kakak dan kentut adikku. Sikap senyap yang ditunjukkannya itu adalah suatu kesengajaan, kepura-puraan, yang tak lain-tak bukan memiliki tujuan agar kami lupa, agar kami terperdaya, agar kesadaran kami bahwa ia sesungguhnya telah membalaskan dendam, pupus karena pesona ketenangannya.

Aku tak lupa ketika selesai menabraknya, selalu ada bagian tubuhku yang memar atau luka. Tapi, kucing lupa bahwa setelah memberaki kursi, ia akan dikejar-kejar ibuku, yang apabila berhasil menangkapnya, ibuku akan memukul dengan gagang sapu, hingga kucing pun pincang kakinya. Kakakku lupa bahwa kepalanya telah beberapa kali membentur lantai dan berdarah, akibat menggunakan kursi itu sebagai pijakan kakinya untuk mengambil yang ingin diambilnya. Ibuku lupa bahwa ia harus berkali-kali mengalami penyakit hidung setelah membersihkan kotoran kucing yang terbaring di kursi itu. Adikku lupa bahwa pantatnya sering bengkak karena kutu yang bersemayam di kursi itu menolak kentutnya. Akibat semua kelupaan itu, mereka, makhluk-makhluk selain aku, menganggap kursi itu sebagai mahluk biasa, lemah alias tak berdaya.

Namun, maaf, anggapan itu tak berlaku bagiku. Menurutku, dia makhluk yang gila. Ia benar-benar gila. Ia lebih sadis dari kesadisan tersadis. Ia mesti dilenyapkan dari dunia, bagaimanapun caranya, sebelum semakin banyak makhluk yang tertipu oleh topeng kesenyapannya.

Di halaman rumahku, dari jendela dapur, aku melihat kursi itu masih menyerap energi matahari. Apa yang ia rencanakan? Apakah ia dapat menebak apa yang padanya akan kulakukan? Apa ia akan memberikan perlawanan? Apa ia akan menggunakan kakinya untuk berjalan? Apa ia akan berlari mencariku lalu menendangku sampai pingsan? Pikiran itu berombak dalam otakku. Kemudian, sambil membawa sekotak korek api dan sebotol minyak tanah yang isinya sedikit terhambur, aku melangkah tergesa meninggalkan dapur.

Kini aku tak akan menghujanimu dengan ludahku, saat aku tiba di halaman rumah dan mengucapkan kalimat itu pada si kursi, sinar matahari masih lembut bagai serbuk kembang kemangi. Angin sekali-sekali saja menegaskan kehadirannya dengan membuat riap rambutku menari-nari. Keempat manusia dan mahluk-mahluk lain yang hidup serumah denganku, sebagian pergi sebagian lagi tak peduli pada peristiwa yang sedang berlangsung di antara kami.

Kursi senyap lagi. Kusiramkan minyak tanah ke dirinya, lantas aku menyalakan sebatang korek api. Kupandangi api yang menyala di batang korek api di tanganku, nadi di pergelanganku seperti memompakan sesuatu ke jari-jariku. Jari-jari yang akan segera menuntaskan sebuah tugas besar. Sebuah penyelamatan.

Dalam sekejap, selepas batang korek api kuluruhkan di kursi itu, aku pun menjelma penonton. Kursi terbakar. Ia jadi bentuk lain energi. Kursi memekarkan kelopak-kelopak api. Sebagai penonton aku cukup dingin dalam menyikapi adegan-adegan yang berlangsung dalam pertunjukan di depanku. Aku berusaha tidak mengeluarkan reaksi emosional bila ada adegan yang memiliki energi kuat untuk menarik perhatian. Aku tak ingin bertepuk tangan, tak ingin menangis atau tertawa bila ada adegan-adegan yang mendatangkan keterharuan. Aku ingin bersahaja saja menerima keberhasilan dari kerja kepahlawananku.

Aku tak ingin terpukau pada asap dan percik api yang berkelipan di udara. Asap dan percik api yang hanya menegaskan kebenaran dugaanku terhadap kemunafikan kursi itu. Asap dan percik api yang membuat bapakku menggebuki aku (saat pulang dari pergi, ia melihatku sedang meditasi menonton kobaran api di kursi). Dia peninggalan almarhum buyutmu, kata bapakku. Buyut? Siapa buyutku?, aku agak bingung dalam hati.

Tubuhku memar. Setelah puas memukuli aku di depan kobaran api, bapakku masuk ke rumah sambil menangis. Suara tangisannya tak lebih merdu dari ringkikan kuda liar. Bersama memar tubuhku dan suara tangisan hambar dari mulut bapakku, kusaksikan api telah mengubah kursi itu hampir seluruhnya menjadi abu. Tiba-tiba lampu kesadaran baru bagai menyala di kepalaku. Bahaya.

Abu-abu yang dikendarai dan mengendarai angin. Kursi versi baru yang mampu terbang dan menyusup ke mana dia ingin: ke mahluk-mahluk, ke dusun-dusun, ke kota-kota, ke negara- negara, ke benua-benua, ke planet-planet, ke semesta-semesta, ke langit-langit, ke dimensi-dimensi yang lain. Ia akan mengenakan topeng-topeng, memainkan peran-peran, menyimpan niat-niat, memeram kemunafikan-kemunafikan, menipu jenis-jenis mahluk yang lain dengan kesadisan yang lebih dingin.

Sebagai abu, kursi itu pasti lebih mudah menipu. Si munafik itu terlihat lebih rapuh, terkesan lebih halus, lebih tak disadari kehadirannya dan lebih mudah menjangkau tempat-tempat yang sebelumnya tak dapat diraihnya. Ia akan berpura-pura pasrah diombang-ambingkan angin. Ia akan berlagak rela ketika tersedot hidung yang runcing maupun tak runcing. Padahal, hidung-hidung yang menyedot itu akan gatal berkoreng-berlendir dan bila para pemilik hidung itu tak menyadari keberadaan abu tersebut, bukan tak mungkin sang abu mampu menjelajah ke tempat yang lebih jauh lagi, misalnya, kalbu.

Aku tak ingin membayangkan apa yang terjadi bila abu kursi itu menemukan tempat persemayamannya di kalbu, apalagi karena yang membuat kursi munafik itu berhasil menjadi abu adalah aku.

Perasaan bersalah karena telah bertindak gegabah dan kesadaran terhadap bahaya yang tiap malam membuatku resah, menggerakkan hatiku bercerita padamu. Dengan harapan kau dan jenis makhluk lain akan meningkatkan kewaspadaan. Sebab sebagaimana kehidupanku, sebagaimana diriku, barangkali, tanpa kau sadari, saat ini kursi yang telah berubah jadi bentuk yang lebih membahayakan itu, pelan-pelan jadi bagian dalam kehidupanmu. Jadi dirimu.

2008

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae