Inggit Putria Marga
http://www.lampungpost.com/
TERLAHIR sebagai perempuan dan melanjutkan hidup di dusun bernama Biru Berlian, tinggallah aku: Yue, di sebuah rumah dengan beberapa jenis makhluk. Ada yang sejenis denganku (jenis yang kau kenal sebagai manusia, yang kemudian kusebut sebagai keluarga). Jumlah manusia yang hidup satu rumah denganku sebanyak empat, para manusia itu memiliki panggilannya sendiri, yakni ibu, bapak, kakak, dan adik.
Aku juga tinggal bersama makhluk berjenis hewan, semacam semut, nyamuk, kecoa, cacing, katak, ayam, kucing, beruk, dan beragam kutu yang kurang begitu kuakrabi nama-namanya. Sebagian dari mereka tinggal dalam rumahku; menetap di tikar, di celah-celah kayu jendela, pintu, dinding rumah, di lipatan-lipatan baju, di dapur, tapi ada pula yang bermukim di kulit, rambut, bahkan isi perut aku dan keluargaku.
Sebagian lagi, semisal katak, beruk, dan ayam, menetap di luar rumahku. Mereka memiliki rumahnya sendiri, tapi masih satu pagar dengan rumah keluargaku. Bersama hewan-hewan itu, keluargaku hidup rukun. Hubungan kami harmonis, begitu manis bagai tapai ketan atau kue pukis.
Di dalam rumah, tinggal juga makhluk-makhluk yang tubuhnya hanya dapat berpindah tempat jika ada yang berkenan memindahkan. Keluargaku menyebut mereka sebagai perabotan. Beberapa bagian tubuh manusia atau tubuh hewan, juga dimiliki makhluk berjenis ini. Hanya, fungsinya tidak seluruhnya sama. Contohnya ada di salah satu perabotan yang bernama kursi.
Seperti aku dan keluargaku, juga beruk atau ayam, kursi memiliki kaki untuk menopang tubuhnya supaya dapat kokoh berdiri. Tapi, kursi tidak pernah menggunakan kakinya untuk berjalan. Akibatnya, apabila aku, misalnya, sedang dikuasai sedih atau marah yang mengilat, sehingga berjalan di dalam rumah dengan mata lupa melihat, aku kerap menabrak kursi itu. Ia sering terjungkal, tapi entah mengapa, tak sekalipun padaku, ia pernah menyiratkan raut dendam atau kesal.
Setiap bertabrakan dengannya, tubuhku jadi pegal. Amarah atau sedihku pun semakin berwujud mendung tebal. Kerap kuhujankan ludahku pada dia yang terjungkal. Dia diam saja, hening dalam kekayuan yang kekal. Mengapa kau tak menghindar, bengal?, makiku.
Kadang-kadang, kala aku memandang kursi dan di saat yang sama kursi itu memandang aku, aku merasa ada hantu kemalasan yang menjangkiti dirinya, kekuatan halus yang membuatnya tak ingin melarikan diri agar selamat dari amukan langkahku. Langkah yang sering brutal, bila awan marah atau awan sedih menggayuti mataku tak ubahnya genangan kopi kental.
Pernah aku tak habis pikir pada jalan pikiran kursi itu, mengapa dia dingin saja bila teraniaya. Padahal, bukan hanya penganiayaanku yang diterimanya. Kucing yang bila malam tidur di dekat tungku dan tumpukan kayu di dapur keluargaku, tak hanya sekali kusaksikan memberaki kursi pendiam itu. Setelah berak, kucing melompat dari dirinya. Berjalan lengang sambil sesekali menoleh dan melontarkan suara cukup misterius padanya. Kursi pun menatap kucing, tapi kursi hanya hening.
Ibuku marah sekali setiap menemukan kotoran kucing terbaring di atas kursi. Perempuan tua itu akan mencari-cari kucing untuk meminta penjelasan, mengapa tidak berak di tempat yang telah jadi kesepakatan. Tapi, kucing malah melancong entah ke mana, sehingga ibu yang kedongkolannya tak tersalurkan segera menggerutui si kursi, mengapa kau tak menghindar, bengal!, maki ibu.
Belum lagi kaki kakakku yang sering menginjaknya setiap ingin mengambil sesuatu yang tinggi letaknya, yang apabila kursi tak kuat menahan berat tubuh kakakku, ia akan bergoyang. Hal ini menyebabkan jantung kakakku berdegup lebih kencang. Kakakku akan gugup saat kursi itu bergoyang. Biasanya ia tak jadi mengambil yang ingin ia ambil. Ia akan turun dari kursi itu, menendangnya, lalu mengambil tangga atau benda lain yang lebih kokoh untuk pijakkan kakinya.
Setiap pagi, sebelum pergi sekolah atau bermain, adikku selalu duduk, memasang sepatu, sambil sesekali meletakkan kentut di kursi itu. Entah apa perasaan kursi pemurung itu, sehingga ketika adikku selesai kentut lalu pergi sekolah atau bermain, kursi tak juga bergerak meninggalkan rumahku. Ia tetap di tempatnya, dingin bersahaja menanti aniaya berikutnya, menunggu pantat-pantat yang membuatnya memiliki peran di dunia, pantat dan seisinya, pantat dan segala yang tersimpan dan keluar dari lubangnya, pantat dan bagian tubuh lain yang berhubungan dengannya, pantat yang ia butuhkan dan barang kali masih membutuhkannya.
Tapi, kesenyapan kursi itu, lama kelamaan membuatku bosan. Barangkali aku termasuk jenis manusia yang membutuhkan sebuah perlawanan, supaya hari-hari di planet ini tetap menarik untuk dilanjutkan. Tapi, tidak juga, setelah kurenung-renungkan, ketenangan yang dimiliki kursi itu, meski tanpa alasan yang jelas, terasa begitu palsu.
Bagiku, ia seperti hendak menipu (atau mengejekku) dengan keheningannya setiap kali makhluk lain menderanya dengan aniaya. Lantas hari ke hari kemuakanku padanya makin mendidih. Bagai cairan timah panas yang menunggu tempat untuk bertetesan, aku tak mampu menahan kebencian yang menajam pada sebuah kursi yang sarat dengan kepura-puraan.
Suatu siang, aku menyeret kursi itu ke luar dari rumahku. Di halaman rumah, sejenak kupandang ia berkilau. Ternyata, dia cukup berkharisma saat diselubungi matahari yang sedang bersinar lembut seperti serbuk bunga kemangi. Tapi, aku tak ingin lama-lama peduli. Kutinggalkan kursi itu sendirian di pekarangan. Aku pergi ke dapur, mengambil alat-alat yang kubutuhkan untuk menyelenggarakan upacara pembakaran. Dari jendela dapur, sekilas kusaksikan kursi itu seperti menyerap begitu banyak energi dari matahari. Saat itu, ia amat menakutkanku. Keringatku bercucuran. Dalam pandanganku, kursi itu bagai endapan teror yang mesti segera aku lenyapkan supaya seisi rumahku dapat terselamatkan, terbebas dari malapetaka pembalasan dendam si kursi yang penuh kemunafikan.
Aku tak dapat ditipu oleh kursi yang munafik. Di mataku, sekejap, mengambang jelas sejumlah peristiwa yang telah aku, keluargaku, dan kucing yang menetap di rumahku, lalui bersama kursi itu. Keheningannya saat menerima ludahku, kepasrahannya menerima kotoran yang dibaringkan kucing pada dirinya.
Kesabarannya menerima makian ibuku, penghayatannya terhadap tendangan kakak dan kentut adikku. Sikap senyap yang ditunjukkannya itu adalah suatu kesengajaan, kepura-puraan, yang tak lain-tak bukan memiliki tujuan agar kami lupa, agar kami terperdaya, agar kesadaran kami bahwa ia sesungguhnya telah membalaskan dendam, pupus karena pesona ketenangannya.
Aku tak lupa ketika selesai menabraknya, selalu ada bagian tubuhku yang memar atau luka. Tapi, kucing lupa bahwa setelah memberaki kursi, ia akan dikejar-kejar ibuku, yang apabila berhasil menangkapnya, ibuku akan memukul dengan gagang sapu, hingga kucing pun pincang kakinya. Kakakku lupa bahwa kepalanya telah beberapa kali membentur lantai dan berdarah, akibat menggunakan kursi itu sebagai pijakan kakinya untuk mengambil yang ingin diambilnya. Ibuku lupa bahwa ia harus berkali-kali mengalami penyakit hidung setelah membersihkan kotoran kucing yang terbaring di kursi itu. Adikku lupa bahwa pantatnya sering bengkak karena kutu yang bersemayam di kursi itu menolak kentutnya. Akibat semua kelupaan itu, mereka, makhluk-makhluk selain aku, menganggap kursi itu sebagai mahluk biasa, lemah alias tak berdaya.
Namun, maaf, anggapan itu tak berlaku bagiku. Menurutku, dia makhluk yang gila. Ia benar-benar gila. Ia lebih sadis dari kesadisan tersadis. Ia mesti dilenyapkan dari dunia, bagaimanapun caranya, sebelum semakin banyak makhluk yang tertipu oleh topeng kesenyapannya.
Di halaman rumahku, dari jendela dapur, aku melihat kursi itu masih menyerap energi matahari. Apa yang ia rencanakan? Apakah ia dapat menebak apa yang padanya akan kulakukan? Apa ia akan memberikan perlawanan? Apa ia akan menggunakan kakinya untuk berjalan? Apa ia akan berlari mencariku lalu menendangku sampai pingsan? Pikiran itu berombak dalam otakku. Kemudian, sambil membawa sekotak korek api dan sebotol minyak tanah yang isinya sedikit terhambur, aku melangkah tergesa meninggalkan dapur.
Kini aku tak akan menghujanimu dengan ludahku, saat aku tiba di halaman rumah dan mengucapkan kalimat itu pada si kursi, sinar matahari masih lembut bagai serbuk kembang kemangi. Angin sekali-sekali saja menegaskan kehadirannya dengan membuat riap rambutku menari-nari. Keempat manusia dan mahluk-mahluk lain yang hidup serumah denganku, sebagian pergi sebagian lagi tak peduli pada peristiwa yang sedang berlangsung di antara kami.
Kursi senyap lagi. Kusiramkan minyak tanah ke dirinya, lantas aku menyalakan sebatang korek api. Kupandangi api yang menyala di batang korek api di tanganku, nadi di pergelanganku seperti memompakan sesuatu ke jari-jariku. Jari-jari yang akan segera menuntaskan sebuah tugas besar. Sebuah penyelamatan.
Dalam sekejap, selepas batang korek api kuluruhkan di kursi itu, aku pun menjelma penonton. Kursi terbakar. Ia jadi bentuk lain energi. Kursi memekarkan kelopak-kelopak api. Sebagai penonton aku cukup dingin dalam menyikapi adegan-adegan yang berlangsung dalam pertunjukan di depanku. Aku berusaha tidak mengeluarkan reaksi emosional bila ada adegan yang memiliki energi kuat untuk menarik perhatian. Aku tak ingin bertepuk tangan, tak ingin menangis atau tertawa bila ada adegan-adegan yang mendatangkan keterharuan. Aku ingin bersahaja saja menerima keberhasilan dari kerja kepahlawananku.
Aku tak ingin terpukau pada asap dan percik api yang berkelipan di udara. Asap dan percik api yang hanya menegaskan kebenaran dugaanku terhadap kemunafikan kursi itu. Asap dan percik api yang membuat bapakku menggebuki aku (saat pulang dari pergi, ia melihatku sedang meditasi menonton kobaran api di kursi). Dia peninggalan almarhum buyutmu, kata bapakku. Buyut? Siapa buyutku?, aku agak bingung dalam hati.
Tubuhku memar. Setelah puas memukuli aku di depan kobaran api, bapakku masuk ke rumah sambil menangis. Suara tangisannya tak lebih merdu dari ringkikan kuda liar. Bersama memar tubuhku dan suara tangisan hambar dari mulut bapakku, kusaksikan api telah mengubah kursi itu hampir seluruhnya menjadi abu. Tiba-tiba lampu kesadaran baru bagai menyala di kepalaku. Bahaya.
Abu-abu yang dikendarai dan mengendarai angin. Kursi versi baru yang mampu terbang dan menyusup ke mana dia ingin: ke mahluk-mahluk, ke dusun-dusun, ke kota-kota, ke negara- negara, ke benua-benua, ke planet-planet, ke semesta-semesta, ke langit-langit, ke dimensi-dimensi yang lain. Ia akan mengenakan topeng-topeng, memainkan peran-peran, menyimpan niat-niat, memeram kemunafikan-kemunafikan, menipu jenis-jenis mahluk yang lain dengan kesadisan yang lebih dingin.
Sebagai abu, kursi itu pasti lebih mudah menipu. Si munafik itu terlihat lebih rapuh, terkesan lebih halus, lebih tak disadari kehadirannya dan lebih mudah menjangkau tempat-tempat yang sebelumnya tak dapat diraihnya. Ia akan berpura-pura pasrah diombang-ambingkan angin. Ia akan berlagak rela ketika tersedot hidung yang runcing maupun tak runcing. Padahal, hidung-hidung yang menyedot itu akan gatal berkoreng-berlendir dan bila para pemilik hidung itu tak menyadari keberadaan abu tersebut, bukan tak mungkin sang abu mampu menjelajah ke tempat yang lebih jauh lagi, misalnya, kalbu.
Aku tak ingin membayangkan apa yang terjadi bila abu kursi itu menemukan tempat persemayamannya di kalbu, apalagi karena yang membuat kursi munafik itu berhasil menjadi abu adalah aku.
Perasaan bersalah karena telah bertindak gegabah dan kesadaran terhadap bahaya yang tiap malam membuatku resah, menggerakkan hatiku bercerita padamu. Dengan harapan kau dan jenis makhluk lain akan meningkatkan kewaspadaan. Sebab sebagaimana kehidupanku, sebagaimana diriku, barangkali, tanpa kau sadari, saat ini kursi yang telah berubah jadi bentuk yang lebih membahayakan itu, pelan-pelan jadi bagian dalam kehidupanmu. Jadi dirimu.
2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 01 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar