Seno Gumira Ajidarma
http://cetak.kompas.com/
Ibu terkulai di kursi seperti orang mati. Pintu, jendela, televisi, telepon, perabotan, buku, cangkir teh, dan lain-lain masih seperti dulu—tetapi waktu telah berlalu sepuluh tahun. Tinggal Ibu kini di ruang keluarga itu, masih terkulai seperti sepuluh tahun yang lalu. Rambut, wajah, dan busananya bagai menunjuk keberadaan waktu.
Telepon berdering. Ibu tersentak bangun dan langsung menyambar telepon. Diangkatnya ke telinga. Ternyata yang berbunyi telepon genggam. Ketika disambarnya pula, deringnya sudah berhenti. Ibu bergumam.
”Hmmh. Ibu Saleha, ibunya Saras yang dulu jadi pacar Satria. Sekarang apapun yang terjadi dengan Saras dibicarakannya sama aku, seperti Saras itu punya dua ibu. Dulu almarhum Bapak suka sinis sama Ibu Saleha, karena seperti memberi tanda kalau Saras itu tentunya tidak bisa terus menerus menunggu Satria. ’Orang hilang diculik kok tidak mendapat simpati,’ kata Bapak. Kenyataannya selama sepuluh tahun Saras tidak pernah bisa pacaran sama siapapun. ’Saya selalu teringat Satria, Ibu, saya tidak bisa’,” katanya.
”Tapi inilah soal yang pernah kubicarakan sama Si Saras. ’Kuhargai cintamu yang besar kepada Satria, sehingga kamu selalu terlibat urusan orang-orang hilang ini,’ kataku, ’tapi cinta adalah soal kata hati, Saras, karena kalau terlalu banyak alasan dan perhitungan dalam percintaan, nanti tidak ada tempat untuk hati lagi…’ Ah, Saras, memang rasanya ia seperti anakku juga. Semenjak Bapak meninggal setahun yang lalu, rasanya semakin peduli dia kepada rumah ini, membantu aku membereskan kamar Satria, seperti tahu betul rasa kehilanganku setelah ditinggal Bapak…”
Ibu sudah sampai ke kursi tempatnya duduk tadi, dan duduk lagi di situ. Ibu terdiam, melihat ke kursi tempat Bapak biasanya duduk. Lantas melihat ke sekeliling.
”Bapak… Kursi itu, meja itu, lukisan itu, ruangan ini, ruang dan waktu yang seperti ini, kok semuanya mengingatkan kembali kepada Bapak. Seperti ini juga keadaannya, bahkan aku masih ingat juga pakai daster ini ketika kami berbicara tentang hilangnya Satria. Waktu itu sudah setahun Satria tidak kembali, dan kami masih seperti orang menunggu. Aku waktu itu masih percaya Satria suatu hari akan kembali… Kenapa harus tidak percaya, kalau memang tidak pernah kulihat sesuatu yang membuktikan betapa Satria tidak akan kembali… Apa salahnya punya harapan… Hidup begitu singkat, apa jadinya kalau harapan saja kita tidak punya…
”Jadi dalam setahun itu harapanlah yang membuatku bertahan hidup. Harapan bahwa pada suatu hari Satria pasti pulang kembali… Berharap dan menunggu. Berharap dan menunggu. Berharap dan menunggu. Tapi Bapak memaksa aku untuk percaya bahwa Satria sudah pergi. ’Satria sudah mati,’ katanya!”
Ia menggigit bibir, berusaha sangat amat keras untuk menahan tangis.
”Tidak! Aku tidak mau percaya itu! Meski dalam hatiku sudah terlalu sering kuingkari diriku, bahwa kemungkinan besar Satria mestinya sudah mati.”
Ibu memandang ke arah kursi Bapak.
”Pak, Bapak, kenapa kamu hancurkan semua harapanku? ’Kita harus menerima kenyataan,’ katamu. Nanti dulu, Pak. Menerima? Menerima? Baik. Aku terima Satria sudah mati sekarang. Tapi aku tidak terima kalau Satria itu boleh diculik, dianiaya, dan akhirnya dibunuh.”
Perempuan dengan rambut kelabu itu tampak kuat kembali.
”Bapak sendiri yang bilang, ada teman Satria yang dibebaskan bercerita: Sebelum dilepas tutup matanya dibuka. Di hadapannya, orang-orang yang menculiknya itu menggelar foto-foto di atas meja. Itulah foto-foto keluarga teman Satria yang diculik. Foto orangtuanya, foto saudara-saudaranya. Lantas orang-orang itu berkata, ’Kami tahu siapa saja keluarga Saudara.’
”Huh! Saudara! Mana mungkin manusia bersaudara dengan monyet-monyet! Apalagi maksudnya kalau bukan mengancam kan? Bapak bilang teman Satria ini juga bercerita, suatu hari salah seorang yang waktu itu mengancam terlihat sedang memandangi dirinya waktu dia baru naik bis kota. Ini apa maksudnya Pak? Supaya teman Satria itu tidak boleh bercerita tentang perbuatan mereka? Teror kelas kambing maksudnya? Apakah ini semua boleh kita terima begitu saja?”
Saat Ibu menghela nafas, ruangan itu bagaikan mendadak sunyi.
”Sudah sepuluh tahun. Satria sudah mati. Bapak sudah mati. Munir juga sudah mati.”
Dipandangnya kursi Bapak lagi. Sebuah kursi kayu dengan bantalan jalinan rotan. Jalinan yang sudah lepas dan ujungnya menceruat di sana-sini.
”Apa Bapak ketemu sama Satria di sana? Enak bener Bapak ya? Meninggalkan aku sunyi sendiri di sini. Apa Bapak dan Satria tertawa-tawa di atas sana melihat aku membereskan kamar Satria, menata gelas dan piring, sekarang untuk kalian berdua, setiap waktu makan tiba, padahal aku selalu makan sendirian saja. Memang aku tahu Bapak dan Satria tidak ada lagi di muka bumi ini, tapi apa salahnya aku menganggap kalian berdua ada di dalam hatiku? Apakah kalian berdua selalu menertawakan aku dan menganggapku konyol kalau berpikiran seperti itu?”
Sejenak Ibu terdiam, hanya untuk menyambungnya dengan suara bergetar.
”Kadang-kadang aku bermimpi tentang kalian berdua, tetapi kalau terbangun, aku masih juga terkenang-kenang kalian berdua, dengan begitu nyata seolah-olah kalian tidak pernah mati. Impian, kenangan, kenyataan sehari-hari tidak bisa kupisahkan lagi.
Jiwa terasa memberat, tapi tubuh serasa melayang-layang…”
Lantas nada ucapannya berubah sama sekali, seperti Ibu berada di dunia yang lain.
”…. jauh, jauh, ke langit, mengembara dalam kekelaman semesta, bagaikan jiwa dan tubuh telah terpisah, meski setiap kali tersadar tubuh yang melayang terjerembab, menyatu dengan jiwa terluka, luka sayatan yang panjang dan dalam, seperti palung terpanjang dan terdalam, o palung-palung luka setiap jiwa, palung tanpa dasar yang dalam kekelamannya membara, membara dan menyala-nyala, berkobar menantikan saat membakar dunia…”
Ibu mendadak berhenti bicara, berbisik tertahan, memegang kepalanya, menutupi wajahnya.
”Ah! Ya ampun! Jauhkan aku dari dendam!”
Namun ia segera melepaskan tangannya.
”Tapi…. bagaimana mungkin aku merasa perlu melupakan semuanya, jika kemarahanku belum juga hilang atas perilaku kurangajar semacam itu.”
Nada bicaranya menjadi dingin.
”Menculik anak orang dan membunuhnya. Apakah setiap orang harus kehilangan anggota keluarganya sendiri lebih dulu supaya bisa sama marahnya seperti aku?”
Hanya Ibu sendiri di ruangan itu, tetapi Ibu bagaikan merasa banyak orang menontonnya, meski semakin disadarinya betapa ia sungguh-sungguh sendiri.
”Bapak… aku yakin dia ada di sana, karena kusaksikan bagaimana dia dengan tenang meninggalkan dunia yang fana; tetapi aku tidak bisa mendapatkan keyakinan yang sama jika teringat kepada Satria. Memang akalku tidak bisa berpikir lain sekarang, bahwa Satria tentu sudah tidak ada. Tetapi Ibu mana yang kehilangan anak tanpa kejelasan bisa tenang dan bahagia hanya dengan akalnya, tanpa membawa-bawa perasaannya? Bagaimana perasaanku bisa membuatku yakin, jika Satria pada suatu hari memang hilang begitu saja? Ya, begitu saja… Bahkan orang mati saja masih bisa kita lihat jenazahnya!”
Seperti masih ada yang disebutnya Bapak di kursi itu, tempat seolah-olah ada seseorang diajaknya bicara.
”Pak, Bapak, apakah Bapak melihat Satria di sana Pak? Apakah Bapak ketemu Satria? Apa cerita dia kepada Bapak? Apakah sekarang Bapak sudah tahu semuanya? Apakah Bapak sekarang sudah mendapat jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan kita?”
Namun Ibu segera menoleh ke arah lain.
”Ah! Bapak! Dia sudah tahu semuanya! Tapi aku? Aku tentunya juga harus mati lebih dulu kalau ingin tahu semuanya! Tapi aku masih hidup, dan aku masih tidak tahu apa-apa. Hanya bertanya-tanya. Mencoba menjawab sendiri. Lantas bertanya-tanya lagi. Dulu aku bisa bertanya jawab dengan Bapak. Sekarang aku bertanya jawab sendiri….
”Tapi apa iya aku sendiri? Apa iya aku masih harus merasa sendiri jika begitu banyak orang yang juga kehilangan? Waktu itu, ya waktu yang seperti takpernah dan takperlu berlalu itu, bukankah ratusan ribu orang juga hilang seketika?”
Terdengar dentang jam tua. Tidak jelas jam berapa, tetapi malam bagaikan lebih malam dari malam. Ibu masih berbicara sendiri, dan hanya didengarnya sendiri.
”Bapak, kadang aku seperti melihatnya di sana, di kursi itu, membaca koran, menonton televisi, memberi komentar tentang situasi negeri. Seperti masih selalu duduk di situ Bapak itu, pakai kaos oblong dan sarung, menyeruput teh panas, makan pisang goreng yang disediakan Si Mbok, lantas ngomong tentang dunia. Tapi Si Mbok juga sudah meninggal, menyusul Bapak, menyusul teman-temannya pemain ludruk yang semuanya terbantai dan mayat-mayatnya mengambang di Kali Madiun…
”Sebetulnya memang tidak pernah Bapak itu membicarakan Satria, malah seperti lupa, sampai setahun lamanya, sebelum akhirnya mendadak keluar semua ingatannya pada suatu malam entah karena apa.
”Sudah sepuluh tahun, banyak yang sudah berubah, banyak juga yang tidak pernah berubah.”
Di luar rumah, tukang bakmi tek-tek yang dulu-dulu juga, tukang bakmi langganan Satria, lewat. Ibu tampak mengenali, tapi tidak memanggilnya.
”Bagiku Satria masih selalu ada. Tidak pernah ketemu lagi memang. Tapi selalu ada. Memang lain sekali Satria dengan kakak-kakaknya. Dua-duanya tidak mau pulang lagi dari luar negeri, datang menengok cuma hari Lebaran. Yang sulung Si Bowo jadi pialang saham, satunya lagi Si Yanti jadi kurator galeri lukisan, kata Bapak dua-duanya pekerjaan ngibulin orang. ’Ya enggaklah kalau ngibul,’ kataku, ’apa semua orang harus ikut aliran kebatinan seperti Bapak?’. Biasanya Bapak ya cuma cengengesan. Dasar Bapak. Ada saja yang dia omongin itu.
”Aku sendiri rasanya juga sudah mulai pelupa sekarang. Susah rasanya mengingat-ingat apapun. Belakangan sebelum meninggal Bapak juga mulai pikun. Lupa ini-itu. Kacamata terpasang saja dicarinya ke mana-mana…”
Ibu tersenyum geli sendiri.
”Tapi ia tidak pernah lupa tentang Satria. Ia selalu bertanya, ’Seperti apa Satria kalau masih hidup sekarang?’, atau ’Sedang apa ya Satria di sana?’, atau kadang-kadang keluar amarahnya: ’Para penculik itu pengecut semuanya! Tidak punya nyali berterus terang! Bisanya membunuh orang sipil tidak bersenjata, sembunyi-sembunyi pula!’
Wajah Ibu kini tampak sendu sekali. Bahkan tokek untuk sementara tidak berani berbunyi.
”Bapak, kenapa kamu tidak pernah muncul dalam mimpiku untuk bercerita tentang Satria? Pasti Satria menceritakan semua hal yang tidak diketahui selama ini, bagaimana dia diperlakukan, dan apa sebenarnya yang telah terjadi.
”Kenapa kamu tidak sekali-sekali muncul Bapak. Muncul dong sekali-sekali Bapak. Duduk di kursi itu seperti biasanya.
”Memang kamu selalu muncul dalam kenanganku Pak, bahkan juga dalam mimpi-mimpiku, tetapi kamu hanya muncul sebagai bayangan yang lewat. Hanya lewat, tanpa senyum, seperti baru menyadari betapa kenyataan begitu buruk.
”Duduklah di situ dan ceritakan semuanya tentang Satria.
”Ceritakanlah semua rahasia….”
Ibu masih berbicara, kini seperti kepada seseorang yang tidak kelihatan.
”Kursi itu tetap kosong. Seperti segalanya yang akan tetap tinggal kosong. Apakah semua ini hanya akan menjadi rahasia yang tidak akan pernah kita ketahui isinya?
”Rahasia sejarah. Rahasia kehidupan.
”Tapi ini bukan rahasia kehidupan yang agung itu.
”Ini suatu aib, suatu kejahatan, yang seandainya pun tidak akan pernah terbongkar….
Telepon genggam Ibu berdering. Ibu seperti tersadar dari mimpi. Ibu beranjak mengambil telepon genggam.
”Pasti ibunya Saras lagi,” gumamnya.
Tapi rupanya bukan.
”Eh, malah Si Saras.”
Ibu mengangkat telepon genggamnya di telinga.
”Ya, hallo… “
Setelah mendengarkan apa yang dikatakan Saras, telepon genggam itu terloncat dari tangan Ibu yang terkejut, seolah tiba-tiba telepon genggam itu menyetrum.
”Gila!” Ibu berujar kepada tokek di langit-langit yang tidak tahu menahu.
”Para pembunuh itu sekarang mau jadi presiden!”
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar