Sabtu, 28 Februari 2009

Sapto Rahardjo, Membongkar Kesakralan Tradisi

Senggrutu Singomenggolo
http://oase.kompas.com/

Pagi ini, Jumat, 27 Februari 2009 pukul 08.30, Prof Suminto melantunkan SMS panjang, memberitakan kepulangan pemusik gamelan kontemporer untuk menghadap Al Khaliq setelah beberapa hari berbaring di RS Panti Rapih Yogyakarta. Seorang tokoh yang membongkar dan nyempal dari tradisi gamelan Jawa. Gamelan yang bernada diatonis menjadi pentatonis yang slendro dan pelog menjadi konser bunyi lewat pementasan elektronik maupun sensasional musik sepanjang jalan kota Yogya dan dipancarkan, baik lewat radio maupun pementasan yang dapat dilihat selama lebih dari dua puluh empat jam.

Pertemuan saya secara nyata terakhir pada saat ada Kongres Kebudayaan Indonesia di Hotel Salak Bogor selain lewat sarana handphone. Di Hotel Salak lantai 5 tempat Prof Suminto menginap, kami bertiga membaca masa depan dan masa lalu dalam persepsi dan pemahaman masing-masing. Hanya saya sendiri yang mengaitkan kedua tokoh budaya, Suminto dan Sapto. Keduanya baru ngeh kalau mereka meggeluti bidang yang mirip: gamelan.

Saya memang ketemu Sapto lebih dahulu di dunia kreatif lewat Teater Padmanaba kegiatan ekstra kurikuler SMA Negeri 3 Yogyakarta tahun 1974. Sapto merencanakan teatrikal musik yang saat itu sedang merebak akibat hembusan Rock Opera Jesus Christ Superstar yang memang nyempal dari pakem dan menawarkan kepahlawanan Judas Iskariot menjadikan Jesus Christ Superstar. Harry Rusli di Bandung pun sempat mengecoh dengan Ken A Rock-nya. Kami berdua membuat pementasan teatrikal musik Opera 2302 AD dan 2449 BC serta saya tuliskan skrip “Kabut Kaki Merapi”.

Di antara kegiatan teater itu, kami pernah ikut main drama "Sumpah Gajah Mada" menjadi anak gamelan dan saya memukul gamelan tanpa menyentuh bilah untuk menghilangkan gema, bahkan saat membuat rekaman ilustrasi di kamar gudang Sapto tidur, rumah Jalan Tamankrido 23, yang dikenal dengan Laboratorium Musik saya memukul gong kecil (bende) selalu tak tepat ritme dan menjadikan inspirasi Sapto memasukkan bunyi mesin ketik manual dalam ilustrasi musik untuk opera-opera yang kami buat bersama..

Pribadi yang nyempal dan membongkar tradisi gamelan melahirkan Festival Gamelan dengan label gaul atau kontemporer yang saya amati dari berita koran. Hal ini terjadi setelah tahun 1979 saya selesaikan Sarmud Pendidikan saja dan melanjut ke IKIP Rawamangun Jakarta. Saya lepas hubungan dan hanya lewat berita dan, sesekali, pementasan Sapto di TIM Jakarta. Saya menyaksikan kebengalan dan kembelingan Sapto pada alat bunyi tradisional Jawa yang terkenal itu.

Adapun Suminto saya jumpai di kampus Karangmalang karena ketertarikan atas sastra dan kedekatan rumah kos dan seringnya cari makan siang sepulang kuliah. Jelas perjumpaan dengan Suminto lebih akademis.

Sapto juga seorang penyair. Ada beberapa puisinya yang berbicara tentang SPP (sumbangan orang tua untuk kegiatan pendidikan) yang naik. Sapto juga penari andal untuk pasukan Rama Wijaya sebagai monyet putih. Dalam kreativitas lagu, beberapa lagu Sapto dulu digunakan dalam pementasan atau lomba gitar bolong atau yang dikenal dengan kelompok Folk Song.

Ada hal yang menggelikan dengan kamar gudang tempat Sapto tidur yang buka 24 jam di jalan Taman Krido 23 Yogya dengan pintu selebar 90 cm yang boleh terbuka sepertiganya saja karena terganjal tempayan air besar yang digunakan sebagai loudspeaker. Pada suatu ketika saat berkumpul lebih dari tiga orang dan mengembuskan asap dari dupa Budhagrass ada yang terpekik dia mengeluarkan taringnya! Kami serentak lari ke pintu untuk melarikan diri. Bisa dibayangkan dengan pintu yang terbuka hanya sepertiganya dan harus menutup sebelum kami siap keluar. Kami seperti ikan sarden yang berimpitan dengan rasa takut yang bersamaan, padahal itu karena halusinasi mujarab dari asap dupa Budhagrass. Juga ketika matahari beredar di ubun-ubun, ada yang memutar film biru dengan lebar 16 mm yang dipancarkan di kertas manila putih yang tertempel di pintu, setiap orang yang hadir ke dalam ruang gelap akan tersemprot makian karena mengganggu keasyikan khalayan remaja tentang masalah yang tabu, tetapi membuat penasaran.

Sampai saat ini, saya tidak pernah lagi dapat berhubungan dengan semua “teman sekamar Sapto gudang jalan Tamankrido 23 Yogya” lagi karena, selain Sapto, ada yang juga sudah mendahului, dan ada yang hilang seperti penyair Wiji Thukul dan Suwarno Pragolapati. Jadi, istilah jumpa kangen itu tak pernah ada dan tak mungkin lagi ada, apalagi ada beberapa “penghuni” seakan insyaf tidak mau lagi bersinggungan dengan kenangan kelam di kamar gudang Sapto tidur. Terutama saya karena saya merasa malu atas usia saya saat itu ikut-ikut menikmati masa bohemian yang membekas sebagai jejak guratan merah.

Slendro dan pelog, apalagi patet manyuro, akan mengiring langkah megatruh yang nglangut. Namun, SMS-mu tentang kamar 505 Hotel Salak Bogor telah saya hapus. Seandainya saya tahu itu bagian akhir dari sebuah pementasan diri seorang Sapto, pasti akan jadi catatan yang tak kan terhapus kecuali tercuri. Sapto selamat jalan!

Cns-Bogor menjelang sore hari yang redup*

Dialog-dialog Menjelang Berangkat

Haris Firdaus
http://oase.kompas.com/

“Sebentar lagi, setelah pintu itu ditarik tutup dan kereta melaju, segalanya mungkin akan berubah.”

Aku mengatakannya dengan ragu-ragu, takut kau akan mengubah pendirianmu.
Tapi kau diam saja, seolah tidak akan terjadi apa-apa. Ada senyum di bibirmu yang bertekstur lembut itu, bersanding dengan kecuekan yang tidak dibuat-buat. Kau merapatkan jaketmu, memandang sekeliling, lalu menatapku dengan tatapan paling biasa yang pernah aku lihat. Tidakkah kalimatku barusan berarti sesuatu bagimu?

“Setelah semuanya berubah, penyesalan selalu datang bersama keterlambatan. Dan segalanya hanya tinggal kenangan yang tak bisa kita sentuh dengan tangan.” Kali ini dengan mendekatkan bibirku ke telingamu.

Kau tersenyum, lebih mirip ekspresi sebuah geli ketimbang mengerti atau coba menghayati kalimatku. Setelah itu, semuanya sama kembali: orang-orang masih berjalan, sejumlah pedagang mendekati kita, dan kau selalu melongok sebentar pada dagangan mereka lalu menolak dengan halus. Mereka pergi dan kereta yang akan membawa kita belum juga datang. Apakah perubahan kali ini akan kembali gagal?

Di antara semua kenangan yang pernah kita pahatkan pada celah ingatan masing-masing, aku selalu menyukai memori tatkala kita duduk berdua di sebuah bangku yang menghadap kolam besar dengan air berwarna hijau dan gelombang yang selalu mengalun. Pada sebuah siang yang ramah itu, kita akhirnya memutuskan untuk hanya duduk, memandang, dan saling diam. Seandainya ada juru potret di taman yang sepi itu, aku akan menyuruhnya mengambil gambar kita dari belakang sehingga yang terekam hanyalah punggung kita berdua yang berdempetan, kelihatan mesra dari belakang.

Tapi kita tidak pernah menemukan juru potret. Dan gambar punggung kita yang berdempetan, hanya muncul dalam bayanganku tatkala kita akhirnya tahu: memiliki sesuatu selalu berarti membawanya menuju sebuah perubahan. Sementara perubahan itu, tidak selalu menuju ke garis yang lebih baik dan kokoh. Di situlah pertaruhan terjadi, permainan dimulai, dan ke mana kita akan sampai, barangkali hanya akan diketahui setelah kaki kita berhenti mengayunkan langkah.

Ini kedengarannya sederhana. Tapi hidup selalu lebih rumit daripada kesibukan menghitung akar bujursangkar kwadrat. Perjalanan yang kita awali selalu merupakan petualangan yang kadang-kadang tanpa peta, penjelajahan tanpa penunjuk arah. Itulah kenapa aku mendambakan potret punggung kita yang berdempetan dan kelihatan mesra. Dalam potret yang semacam itu, aku selalu mengangankan keabadian: melihat dua punggung yang jejer, apa yang bisa kita ucapkan kecuali bahwa keduanya milik dari dua sosok yang saling mengintimi satu sama lain?

Aku selalu mengangankan hal itu justru karena tahu: kita tak menemukan juru potret di taman itu dan punggung kita berdua tak pernah benar-benar jadi diabadikan. Tidak ada yang abadi pada kita berdua. Sama sekali tidak ada.

Barangkali itulah yang membuatku cemas petang ini, tatkala kita menunggu kereta api yang segera membawa kita menuju muara yang sama sekali tak pernah kita perkirakan dengan persis. Kadang aku ingin memastikan kau memahami ini: perubahan yang kita jelang akan begitu drastis dan tak ada tempat untuk pulang.
###

Kau mengatakannya seolah-olah aku masih belum paham apa yang hendak kita lakukan. Tentu saja, kalimatmu itu punya begitu banyak arti untukku. Tapi saat ini, aku memilih mendiamkanmu, menatap sekeliling dengan cuek, lalu melihatmu dengan tatapan paling biasa yang aku miliki. Dengan semua gerik itu, aku ingin menyatakan padamu bahwa aku sama sekali tak terpengaruh oleh kalimatmu. Lagipula, bagiku, kalimat itu terasa sebagai omong kosong yang bodoh.

Di saat seperti ini, aku akan lebih memilih menghirup suasana stasiun. Kau amat tahu kalau aku menyukai stasiun, bukan? Aku berkali-kali mengatakannya padamu dan seharusnya kau tidak pernah melupakan itu. Aku tahu kau tidak pernah melupakan hal itu. Tapi untuk apa kau menyemburkan petuah soal perubahan itu?
“Apakah aku masih terlihat sebagai anak kecil?”

Akhirnya aku tidak tahan menanyakan itu. Kau bengong, seolah tidak sadar bahwa aku baru bertanya dengan metafora. Lalu diam kembali. Dan aku benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana mungkin kau, seorang yang tahu dengan presisi apa itu “metafora”, harus tergagap dengan permainan semiotik rendahan macam itu. Aku sungguh-sungguh tidak habis pikir. Dan stasiun ini semakin indah.

Di antara semua kenangan yang pernah kita miliki berdua, aku akan memilih satu yang menurutku paling bagus. Itu adalah masa ketika aku membaca tulisanmu soal kita dan stasiun. Tulisan ringkas yang penuh nuansa personal itu tentu saja tidak akan laku di koran—apalagi di halaman yang diberi label “Budaya” atawa “Seni”. Tapi aku tahu kau menulis bukan untuk dilabeli “Budayawan”—sebuah kata yang menurutmu amat menggelikan meski sampai sekarang aku tak pernah tahu di mana letak menggelikannya kata itu.

Aku menyukai tulisanmu itu walaupun kau mengatakan dengan sungguh-sungguh ada banyak kedodoran di dalamnya. Di sana dan di sini, katamu sambil menunjuk bagian-bagian teks yang kau maksud, masih terdapat celah yang sungguh celaka jika dibaca oleh orang yang jeli dan paham bagaimana cara menulis dengan benar. Dan aku bersyukur tak masuk ke dalam golongan orang yang semacam itu. Aku menyukai keintiman dan tulisanmu penuh dengan itu.

Dari semua bagiannya, aku amat senang tatkala kau mulai “mengobrak-abrik”—itu istilahmu sendiri, semacam pengganti bagi proses menafsirkan puisi dengan sekehendak hati dan demi kepentingan diri sendiri—puisi Sapardi Djoko Damono tentang percakapan di dalam kereta yang entah nyata atau tidak. Uh, aku menyukai frasa itu—“aku lirik”—meskipun susah memaknainya dan tentu saja kita tak bisa mengatakan bahwa frasa itu berarti “aku sedang melirik”, bukan?

Saat aku mengatakan itu kau hanya tersenyum. Sedikit malu-malu. Tapi aku tak pernah mengatakan yang sejujurnya padamu kenapa aku begitu menyukai tulisan itu. Kini, dengan tatapan mata, ya hanya dengan tatapan mata sebab itulah yang bisa kuperbuat saat ini, aku akan menyatakan alasan itu.

Kenapa aku menyukai tulisanmu itu? Sebab tulisanmu dipenuhi dengan pergulatan antara keasingan dan keintiman. Ya, ada satu kata tambahan di sini: keasingan.
###

Apakah kau masih terlihat seperti anak kecil?
Aku ingin sekali menjawab pertanyaan itu. Iya, itu kalimat berbunga yang mungkin ditaburi metafora sedikit. Tapi bagiku, semua tampak amat jelas: tendensimu, sinismemu. Dan aku tergagap justru karena pertanyaan itu begitu jelas datang kepadaku. Tidak ada selaput metafora di sana seperti laiknya selaput yang menyelubungi tiap lubang kemaluan perempuan yang belum pernah ditusuk kelamin laki-laki.

Aku tergagap justru karena pertanyaan itu begitu jelas. Dan oleh karenanya, kau tahu, kalimatmu itu amat menohok. Aku sempat membayangkan kata apa yang keluar jika aku benar-benar menjawab pertanyaan itu. Tapi bayangan itu segera pupus dengan cepat. Kalimatmu itu, akan kubiarkan menggantung tanpa jawaban. Eh, salah. Bukan kalimatmu yang kugantung. Tapi akulah yang kau gantung dengan kalimatmu. Tidakkah kau melihat kesakitan di sekujur leherku sekarang ini? Aku sangat ingin bertanya: apakah leherku mulai biru dan kelihatan kaku?

Ketika kesadaran itu terus merayapi otakku, leherku terasa makin sakit. Sangat sakit. Dan aku menyesal telah berpetuah di hadapanmu. Jika ada sesuatu yang paling tak kita butuhkan saat ini, maka itu adalah nasihat.

Aku pernah mengatakan ini padamu: aku selalu menyukai sebuah novel dengan huruf depan M yang berkisah tentang seorang gelandangan yang enggan berpikir. Gelandangan itu sama sekali bukan tidak bisa berpikir. Semata-mata, ia tak mau berpikir. Jika kehidupan jalanan adalah laku menerima nasib, kenapa mesti ada pikiran yang berontak? Jika kehidupan jalanan adalah dorongan untuk hanya memperpanjang nafas yang telah hampir sekarat, kenapa mesti ada gugatan dari gumpalan yang namanya otak?

Maka demikianlah, gelandangan kita yang bijak lagi bestari ini akhirnya memutuskan jadi manusia tanpa pikiran. Ia masih punya otak karena tak mungkin membuang gundukan itu tanpa mati. Ia masih membawa gundukan itu ke mana-mana. Tapi ia telah bersumpah demi langit demi bumi dan demi laut—mungkin karena ia tak percaya Tuhan—tak akan menggunakan gumpalan itu. Ia hanya akan berbuat. Melakukan sesuatu. Tanpa didahului pertimbangan—atau apapun yang punya kaitan dengan pikiran.

Tapi suatu hari, begitulah yang dikisahkan penulis berhuruf depan I yang mengarang novel dengan huruf depan M, si gelandangan kita itu bertemu dengan sesama gelandangan lain yang justru membawa pikiran ke mana-mana. Keduanya terlibat percakapan seru tapi penuh seteru: si gelandangan kita, seperti kebiasannya, bicara dengan kalimat-kalimat ringkas yang dijawab dengan kalimat-kalimat panjang nian berat dari gelandangan kawannya itu. Sebuah percakapan berat sebelah terjadi. Dan gelandangan kita akhirnya memutuskan membenci kawannya yang ia sebut sebagai manusia pikir itu—lawan dirinya yang ia sebut sebagai manusia berbuat.

Apakah aku sekarang berperan sebagai antagonis yang rewel dengan pikiran itu? Dan kau, di lubuk hatimu yang paling dalam, apakah kau sedang menertawakan aku pertama-tama, lalu diam-diam mulai memenuhi hatimu dengan kebencian terhadapku? Seandainya pun iya, aku harus masih bersyukur: kita bukan gelandangan. Setidaknya untuk saat ini.

Dan kereta itu lamat-lamat terdengar deru mesinnya. Lamat-lamat terlihat badannya. Kau mengambil tasmu, aku mencangklong tasku. Dalam hati aku berjanji padamu: begitu menjejakkan kaki di dalam kereta api itu, aku akan berhenti jadi manusia pikir. Aku akan bergabung bersama kaummu yang dipimpin gelandangan kita. Aku berjanji. Tapi jangan kau paksa aku mengucapkan janji itu. Cukup dengan tatapan mata kusampaikan janji itu padamu. Karena memang hanya itulah yang sampai saat ini bisa kulakukan.

Banjir Awal Tahun

Deepe
http://oase.kompas.com/

Malam itu, malam tahun baru. Semua orang merayakannya dengan meriah. Jalanan, restoran, cafe, pub, dan berbagai tempat hiburan penuh sesak dengan orang-orang yang berpesta pora. Kembang api, petasan, semua dinyalakan untuk menyambut datangnya fajar baru.

Tapi aku memilih berdiam di dalam kamar rumah kontrakanku yang sudah hampir lima tahun aku tempati. Aku memutuskan untuk tidak pergi kemana-mana malam itu. Bukannya tak ingin, siapa tak ingin bersenang-senang dan berpesta-pora. Hanya saja aku tidak suka dengan sifat ke sementaraannya.

Aku bukannya tidak bersyukur atas nikmat kesenangan yang disisipkan Tuhan dalam hidup kita. Tapi aku selalu merasakan kekosongan yang dalam saat piring dan gelas dibersihkan, dan musik serta suara tawa berubah menjadi kesenyapan. Sementara beban hidup tidak pernah berkurang, bahkan semakin membungkukkan punggung. Lagi pula, melepaskan kepenatan tidak harus dengan pesta teriring musik yang keras menghentak-hentak, dengan suara tawa dan canda berlebihan, ada banyak cara yang dapat dilakukan. Seperti yang aku lakukan ketika itu. Duduk menghadap jendela dengan segelas kopi di atas meja kecil. Menatap nanar dahan-dahan pohon jambu yang saling bergesekan, juga daun-daunnya yang gugur ditiup angin awal tahun yang basah dan menebarkan hawa dingin. Sebuah notebook bersampul merah di atas pangkuanku, sementara pena yang biasa ku gunakan untuk menulis mampir di mulutku.

Sebenarnya aku berniat menulis sebuah refleksi, semacam catatan hidup. Tetapi rasanya susah sekali menemukan kalimat yang tepat. Ini mungkin karena tidak ada lagi yang bisa aku tulis tentang hidupku. Apa yang istimewa dari hidupku? Dari waktu ke waktu, hari-hari berjalan biasa-biasa saja tanpa sesuatu yang istimewa. Aku masih tinggal di rumah kontrakan yang kecil ini. Masih bekerja sebagai pegawai rendah di sebuah instansi yang gajinya tak seberapa, untuk menambah penghasilan, aku biasanya menulis untuk media. Ah, ternyata susah sekali meraih kesempatan di kota sebesar dan seliar Jakarta ini.

“Kamu itu terlalu baik dan jujur. Orang baik tidak akan berhasil disini,” kata seorang temanku ketika ia menunjukan mobil baru hasil “proyek-proyeknya” yang entah apa.

Gila!, apa semua orang yang datang kemari lantas harus menjadi macan, serigala, atau singa yang tanpa belas kasih menerkam sesamanya? Kalau sudah begini aku jadi ingat kampung, dimana gotong royong dan kebersamaan masih menjadi hal utama, meski globalisasi sudah merambah ke berbagai sendi kehidupan. Ah, entah kapan aku akan kembali makan masakan bunda dan membantu ayah di sawah warisannya yang tak seberapa luas. Merasakan desiran angin pegunungan yang sejuk dan bermain air di kali, di belakang rumah kami.

Aku menghirup sedikit kopiku yang sudah mulai dingin. Sayup-sayup terdengar suara petasan dan sorak-sorai orang-orang yang berpesta menyambut tahun baru dari tanah lapang di seberang gang rumahku. Percikan kembang api sesekali terlihat menggantikan kerlip bintang yang sama sekali tak nampak malam ini. Ternyata langit lebih tahu situasi, atau kita yang sudah kehilangan nurani?

Malam semakin beranjak ke puncak. Aku masih duduk di depan jendela menatap guguran daun-daun jambu. Kopiku sudah dingin sama sekali, aku memutuskan untuk tidak meminumnya lagi. Pena yang tadi kuhisap-hisap telah berganti sebatang rokok. Udara semakin dingin dan basah.

Angin bertiup semakin lama semakin kencang. Aku menaikan jaketku hingga ke leher. Malam kian pekat, awan hitam bergulung-gulung. Dari kejauhan aku dapat melihat kilat sesekali menjilati langit disusul suara gemuruh guntur. Wah, tampaknya akan hujan malam ini, gumamku. Sorak-sorai orang yang berpesta tahun baru perlahan mulai menghilang.

Aku menghembuskan asap rokokku perlahan, sementara hujan mulai turun setetes demi setetes. Perlahan curahannya semakin deras seperti di tumpahkan dari langit. Air mulai masuk membasahi meja kecil di depanku, masuk ke dalam cangkir kopiku, dan menciprati notebookku yang masih ku pangku. Bergegas aku bangkit dari kursi dan menutup jendela. Menutup lagi satu babak hidup. Kupandangi curahan air yang turun di permukaan kaca. Kosong kembali melingkupi perasaanku. Aku menghela napas panjang. Kumatikan rokokku. Suara hujan yang benturan dengan genting rumah terdengar nyaring seperti nyanyian seriosa. Aku mematikan lampu. Naik ke atas ranjang dan memutuskan untuk tidur.

Aku terkesiap bangun dari tidurku, ketika terdengar suara guntur yang begitu kerasnya. Aku menekan saklar lampu tapi gelap tetap menyelimuti. Sial! Mati lampu. Dengan meraba-raba aku membuka laci di bawah meja, di samping tempat tidurku. Mencari sebuah senter kecil yang sudah lama tak terpakai.

Nah, ini dia! Seruku ketika aku menemukannya. Cepat-cepat ku nyalakan. Ah, ternyata benda ini masih berfungsi. Cahayanya yang remang menyinari setiap sudut kamar. Astaga! Ternyata air di dalam rumahku sudah setinggi mata kaki. Air mericik dari langit-langit kamar. Pasti genting-genting rumah ini sudah bergeser semuanya.

Dengan sigap aku mengambil tas ranselku dan memasukan semua barang-barang penting kedalamnya. Lalu ku tutupi tas itu dengan potongan kain seprei dan mengikatnya sedemikian rupa agar air hujan tidak merembes ke dalam. Ku sandang tas itu di punggungku lalu bergegas melangkah keluar kamar.

Kres, Bum! ... aku tersentak kaget lagi ketika terdengar suara sesuatu tumbang. Entah pohon, entah tiang listrik, pasti sesuatu yang besar. Aku ragu melangkah keluar rumah. Jantungku berdegup kencang. Aku takut. Benar-benar takut. Aku diam mematung di depan pintu.
Guntur sambar menyambar memekakan telinga. Angin bertiup semakin kencang dan tak tentu arah, melibas apa saja yang menghalanginya. Air hujan tumpah tak terkendali. Badai pagi ini benar-benar luar biasa.

Keadaan di luar lebih kacau lagi. Air sudah menggenang setinggi lutut dan terus naik volumenya. Orang-orang berjalan tersaruk-saruk dalam genangan air tak tentu arah. Mereka menuntun sepeda motor yang mogok, memanggul anak-anak mereka di pundak, mengotong orang-orang tua dan jompo, menenteng harta benda seadanya yang masih bisa dan mungkin mereka selamatkan.

Badai semakin menggila. Angin kencang menerbangkan tubuh-tubuh ringkih menggigil dan menghanyutkan mereka dalam aliran air yang deras. Sebentar-sebentar langit menjadi terang karena sambaran kilat, disusul suara guntur yang menggelegar seperti hendak meruntuhkan langit. Sorak-sorai kegembiraan tahun baru berubah menjadi teriak-teriakan histeris kepanikan berbau kematian. Wajah-wajah ceria dalam pesta pora beberapa saat yang lalu berganti kebingungan. Harapan yang mereka tanam dalam hati akan kebaikan hidup di masa depan sirna bersama air mata duka.

Aku masih termangu di halaman rumah yang tak seberapa lebar. Berpegangan erat pada tiang pagar. Pakaianku basah kuyup. Tubuhku menggigil, gigiku gemeretak menahan dingin. Aku kaget. Syok. Terpana dengan semua yang terjadi.

Tadinya aku berharap ini hanya mimpi. Tapi setiap kali guntur bergemuruh aku tersentak dan sadar bahwa aku, terperangkap di depan rumah kontrakanku yang sumpek. Di tengah badai awal tahun. Ketika nanti matahari terbit, ketika akhirnya badai ini berhenti, apa yang akan terjadi padaku?. Matikah aku?. Hidupkah aku?. Dan bagaimana aku akan melanjutkan hidup?.

“Hei, kau! Sedang apa bengong di situ. Cepat mengungsi!” Aku sadar dari lamunanku oleh teriakan itu. Ternyata air sudah mencapai pinggangku, Gila!. Aku tidak tahu harus pergi kemana. Tampaknya sudah terlambat untuk pergi ke tempat lain. Bisa-bisa aku mati tenggelam di tengah jalan. Ditengah kepanikan itu tiba-tiba terbersit ide di kepalaku, aku akan naik dan menyelamatkan diri di atap rumahku. Mudah-mudahan air tidak sampai ke atas.

Dengan tertatih-tatih aku berjalan melawan arus air yang deras. Berpegangan erat pada tiang pagar sampai ke tembok pemisah antara rumahku dan rumah sebelah yang tidak terlalu tinggi. Kuraih bagian atasnya, lalu perlahan-lahan aku angkat tubuhku. Pelan-pelan juga aku menitinya sampai tepat berada di batas antara tembok ini dengan atap rumahku. Ini bagian yang sangat sulit, jarak antara tembok pembatas dan atap rumah memang cuma sekitar 90 centimeter, tapi dalam keadaan licin seperti ini aku harus ekstra hati-hati. Apalagi tanganku sudah mulai mati rasa. Terpeleset sedikit saja aku pasti jatuh. Iya kalau aku langsung menghantam air, kalau menghantam tembok pembatas ini, habislah aku.

Aku menyingkirkan dua buah genting terlebih dahulu, agar aku bisa berpegangan pada kayunya. Aku menghentakan tubuhku sedikit, menahannya, lalu pelan-pelan mengangkatnya. Dengan hati-hati aku meniti jejeran genting licin itu. Setelah sampai di atas aku mengambil posisi duduk yang aman, menunggu dengan cemas akan nasibku. aku berdoa dengan segenap tenaga yang tersisa agar petir yang terus saja menyambar-nyambar tidak menghantam tubuhku sudah tak mampu lagi merasakan apa pun. Setiap detik mengantarkanku mendekati kematian karena rasa dingin yang teramat sangat. Dibawah sana orang-orang menggapai-gapai dalam luapan air bah, berteriak parau meminta bantuan. Mata mereka menatapku penuh harap, tapi apa yang bisa aku lakukan, aku sendiri sudah menyerah …

Badai perlahan-lahan mereda menyisakan rinai. Angin sudah tak lagi ganas. Azan subuh lamat-lamat menggema mengisi langit entah dari surau di mana. Pelan-pelan ku buka mata dan mendapati diriku masih disana, diatas rumah kontrakanku yang tenggelam sampai ke batas atap, sama seperti rumah-rumah lainnya. Kampungku telah berubah menjadi lautan kecil. Lapangan tempat pesta tahun baru beberapa jam lalu sudah tak terlihat lagi.

Tak ada lagi orang-orang yang hilir mudik mengungsi. Aku tidak tahu bagaimana nasib mereka. Hening menyelimuti bumi. Hanya terdengar suara arus air yang mengalir deras, membawa apa saja diatasnya. Aku tercenung, ketika tiba-tiba mataku melihat sesosok mayat mengapung tengkurap bersama kayu, tiang listrik, dan sampah. Mayat itu menggengam botol bir di tangan kanannya. Dari tato di lengannya aku tahu itu adalah Godam, preman pasar yang setiap bulan selalu memalak uang gajiku. Ah, akhirnya mati juga dia. Mudah-mudahan semua anak buahnya juga mati tenggelam, sehingga tidak ada lagi yang menggangguku. Aku menarik napas panjang lagi.

“Hei!” Tiba-tiba ada yang menyapaku. Ternyata tetangga sebelah rumah.
“Kau mengungsi di sini juga?”
“Aku tidak tahu harus kemana?” jawabku sekenanya.
“Tapi kau masih beruntung, bisa membawa sebagian barang. Aku tidak. Aku pergi menonton dangdut tahun baru, begitu pulang tahu-tahu rumahku sudah tenggelam. Satu-satunya yang tersisa, ya hanya pakaianku ini,” katanya sambil menunjuk pakaiannya yang basah kuyup.

Aku hanya tersenyum simpul. Badai sudah benar-benar berhenti. Rinainya pun sudah tak terasa lagi. Pagi sudah datang, tapi langit masih saja gelap. Sepertinya matahari tak akan muncul sampai pertengahan siang nanti, atau bahkan tidak akan muncul sama sekali. Mataku nanar mentap cakrawala luas yang gelap itu dengan perasaan yang sangat ajaib kosongnya*. Tubuhku menggigil hebat. Kapan aku turun dari sini?.

01/01/06

* Kalimat penutup yang di gunakan almarhum Mohammad Diponegoro dalam cerpennya “ perasaan yang sangat ajaib kosongnya “. Kalimat ini saya ambil dari cerpen Seno Gumira Aji Darma “Seorang wanita dengan tato kupu-kupu di dadanya.”dari buku kumpulan cerpen “Negeri Kabut.”

Sajak-Sajak A. Muttaqin

http://jurnalnasional.com/
Sepuluh Lanturan Tentang Hutan

i
Malam adalah telur yang menetas,
dan aku ingin kau tak menetaskanku.

Begitu berwarni perangai mimpi,
sedang pagi tinggal kuning tai

dan kau tak akan kembali.
Tapi, aku tetap memimpikanmu,

keluar dari kuntum bunga dan
berkata, larilah, kejarlah…

ii
Darahku membeku.
Sepasang kakiku jadi batu.
Dan, jika ada yang terbang dari ubunku,
itulah yang menumbuhi malam-
malamku.

Kau tahu?

Duh, bagaimana aku tanya itu padamu,
sementara tak ada angin puyuh
yang sanggup menerbangkan kunang-
kunang dari matamu?

iii
Rusukku pun berbulu.
Malam bergemuruh.
dan aku ingin angan jadi ungu,
setenang subuh.

Biar kuda-kuda merah meringkik.
Biar langit yang masih punya banyak kerdip itu
memekik.

Aku tak ingin seperti kumbang
dan singgah dari kembang ke tembang.
Aku tak ingin jadi jalang dan mengerang
di padang panjang.

Sayangku, datanglah kau bagai subuh.
Beri aku pagi dan kupu-kupu

iv
Aku sebut namamu,
tapi separuh lidahku jadi batu.

Menyebut namamu dengan batu?
Ah, bukankah dengan lidah dan seluruh pun
aku hanya gagu?

v
Rambutku mengeras
dan mataku terlepas,
seperti kelereng menggelindingi sepi.

Sepinya basah. Oh,
apa mataku sedang menangis sendiri?
Seperti dulu, ketika ia sering
kupakai mencuci bajuku.

Ketika
tanganku masih bisa
rasakan air dan dingin.
Ketika
masih ada ledakan-ledakan kecil
di balik dadaku.
Ketika
kuku belum merambat
ke sekujur dagingku

vi
Kau tak usah jadi ibu dan mengutukku.
Kini, aku telah sempurna jadi batu,
lebih hening dari spinx
menghikmati sepasang mawar
yang memekari dagingmu.

Dan aku pun tak mungkin lagi menikammu,
seperti bayi ranum yang mengasah
segenap taring dan purbaku?

Tubuhmu lebih luas timbang waktu.
Dadamu lebih bebas timbang kupu-kupu.
Dan farjimu seganas giras sungai
yang menabrak dan melemparku
ke gunung,
ke kembaranku yang setia
menunggu terjun

vii
Kau tahu,
sungai dan batu tak pernah bersekutu?

Maksudku, aku tak mungkin
mencumbumu. Aku selalu gagal
mencecap getah perdumu, seperti dulu,
ketika mula belajar tidur.

Sebagaimana keinginan kembali
ke gua gaib, di mana tuhan pernah mengintip,

membisikkan tiga suku kata
yang memekarkan jantungku:

tiga suku kata yang mirip panggilanmu.

Hingga,
rusukku yang berbulu itu terbang,
layaknya kupu-kupu lugu yang hinggap
di lengkung alismu,
di kelopak matamu
yang dungu

viii
Tapi dungu bukanlah milikmu.
Kau lebih beku dari batu.
Kau lebih ungu timbang masa lalu.
Kau juga melebihi keruh ibuku.

Hingga,
aku tak bisa menemukan perutmu.
menyusup ke rahim,
atau mengalir
di arus nadimu.
Menjadi terumbu di laut darahmu,
dan bukan jadi batu yang sendiri,

di sini,
di bugil pagi yang menggigil
di bawah kuntum matahari

ix
Ini tentu sudah ngelantur, bukan?
tapi tidak. Tidak, Sayangku.
Prihal cinta memang sering tampak ganjil.
Dan mungkin, 1001 pangkur,
1001 mazmur tak akan manjur bertutur.


Sebelum kita benar tidur,
baiklah, kulengkapkan cerita ini:

Kamu tahu, apa yang diminta Hawa
ketika Adam mulai tergoda?

Waktu itu, sorga serupa bunga raksasa
dengan bulu dan sepasang-pasang
penuh warna.

Dia meminta itu. Maksudku,
lubang itu. Dan seperti Adam yang merajuk
ceruk hitam, aku terkenang
lubang batang kayu yang
persis milikmu.
Milikmu.
Dan milikmu.

Di lubang itu, bersembunyi
ular bermahkota mawar yang membuat
jantung keduanya jadi nanar.
Hingga tanpa sadar
mereka bareng berujar,

ajari kami, ajari kami terbang
menuju hulu dan kupu-kupu…

Dan mereka pun diajar.
Mula-mula mereka dianjur menjuluri tidur.
Dan tidur mereka jadi ular yang saling membelit,
seperti sepasang kutuk yang melingkari pohon.

Pohon yang di tengahnya,
lubang yang tak pernah habis terbakar itu,
tiba-tiba menyala dan menjatuhkan mereka
ke kedalaman panas dan bergetah.

Sebutir apel pun pecah.
Sepuluh kupu di pucuk tangan adam terbang,
seperti luput pertama yang berteriak dan meminta:
Bapa! Bapa!

:sejak itu, manusia punya kuku
untuk mencakar dan berdoa.

x
Pagi jadi bangka.
Waktu seperti lelaki tua
yang diam tak bersuara.

Dan, seperti Adam yang kembali terjaga,
aku hanya duka yang menatapmu,

menatap dedaun yang tumbuh dan gugur
di wajahmu, seperti jari-jari gaib, melambai
hari-hari yang pucat pergi, tanpa berahi...

(2008)



Bunga Batu

Duh, bunga batu yang tumbuh di badanku,
aku ingin mencucupmu sekeras batu:
batu yang melahir dan mengutukku.
Lalu, kita sama pergi,
seperti mimpimu,
seperti mimpi batu yang tak mati-mati
dan berkedipan
sepanjang pantai.
Aku tahu,
(seperti yang juga kau tahu),
pantai hanya pantai.
Pantai bukan ibu yang membuat kau dan aku
lebih batu.
Dan aku juga tak mencintaimu seperti cinta batu.
Ketahuilah,
cintaku bukan gelang atau cincin,
cintaku hanya pasang saat aku bimbang
dan tuhan menghilang.
Jangan katakan cintaku bulan, sebab
cintaku hanya bunga api yang menyala pergi.
Jamur-jamur di tubuhku meninggi,
lebih tinggi dari mulutmu,
mulut batu
juga mulut nujum
yang tak pandai
menyebut mati.
Lalu,
aku pun mencucupmu
seperti menciumi selingkar batu
dalam kitaran pantai,
seperti mengitari hari-hari
yang pulang-
pergi
dengan ciuman batu
yang membunuh sang ibu
dan melubangi perahuku…

(2008)

Kampus Basis Kreatif Berkesusastraan!

Abdul Wachid B.S.
http://www.sinarharapan.co.id/

Kampus dijadikan basis kreatif berkesusastraan oleh para sastrawan di Indonesia sudah sejak lama berlangsung. Hal ini sebab sastrawan dan karya sastranya merupakan produk budaya yang memiliki kepekaan terhadap realitas sosial di sekelilingnya dan mustahil terwujud tanpa dikerjakan oleh kaum intelektual.

Sementara itu, kaum intelektual pada umumnya berbasis di kampus. Apalagi jika kesadaran berkesusastraan diposisikan sejajar dengan kesadaran berilmu pengetahuan sebab karya sastra tidak dapat dilepaskan dari kesadaran lain, berfilsafat, berperasaan keagamaan, bahkan beragama secara formal. Di situlah berkesusastraan memiliki relasi dengan ekspresi terhadap unsur kebudayaan lain yang dilakukan oleh kaum intelektual, seperti berideologi, berpolitik, berekonomi, bersosial, dan lainnya.Oleh karena itu, berkesusastraan ditempatkan sebagai bagian penting dari berekspresi kebudayaan. Di sinilah kampus menjadi kawah candradimuka bagi kaum kreator dalam berbagai bidang, tak terkecuali kesusastraan.

Hal di atas sebab apa? Menurut Sutan Sjahrir, apa yang disebut sebagai kaum intelektual tidak lain dan tidak bukan ialah mereka yang memiliki perhatian besar terhadap hal ikhwal kebudayaan. M. Dawam Raharjo dalam bukunya, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa (1996) juga membedakan antara intelektual dan inteligensia. Orang pandai di kalangan perguruan tinggi, tetapi dengan ilmu yang dimilikinya belum mampu memberi pencerahan terhadap masyarakatnya, termasuk sekadar sebagai kaum inteligensia.

Sementara itu, mereka yang mampu melakukan pencerahan dengan keilmuannya untuk masyarakatnya, itulah kaum intelektual. Jadi, kaum intelektual, dengan meminjam istilah Kuntowijoyo, memiliki peran ”kenabian”, yaitu mampu dan mau menyebarkan ilmu walaupun hanya satu ayat. Di situlah kaum intelektual melakukan keterlibatan (emansipasi) terhadap fenomena sosial sekaligus mampu menghubungkan antara yang bumi dan yang langit secara terus-menerus (transendensi), sebab dengan begitu, akan terjadilah pembebasan dari sekadar pemberhalaan duniawi (liberasi).

Kampus memang kawah candradimuka. Oleh sebab itu, ia tak pernah sepi dari deru kreativitas siapa pun di dalamnya yang ingin mencari kesejatian diri. Ada seminar, diskusi, dialog, atau sekadar monolog sunyi di perpustakaan. Kampus bukanlah kuburan, tempat segala kehidupan berhenti hanya pada angka atau huruf nilai bagaikan nisan. Peran kampus semestinya memiliki perluasan dari peran masjid, yaitu tempat untuk melakukan hubungan sosial antarmanusia (kesalehan sosial), yang hal itu sekaligus melaksanakan nilai-nilai dalam hubungannya dengan Tuhan (kesalehan ritual).

Kita bisa melihat fenomena itu dalam hal proses kreatif kesusastraan, sebagaimana di beberapa kampus di Yogyakarta.

Di Universitas Gadjah Mada, banyak bertumbuhan forum diskusi seperti jamur di musim penghujan. Misalnya, Forum Pencinta Sastra Bulaksumur di Fakultas Budaya, yang membidani novelis Ngarto Februana dan cerpenis Kiswondo. Juga, Jama’ah Shalahuddin, dari segi kesusastraan membidani novelis-cerpenis R. Toto Sugiharto, kritikus sastra Aprinus Salam, dan banyak lainnya.

Forum di Universitas Sanata Dharma membidani sastrawan sekaligus kritikus Dorothea Rosa Herliany dan Joko Pinurbo.

Universitas Sarjanawiyata, melalui Kelompok Studi Sastra Pendopo, melahirkan sastrawan-esais Indra Tranggono, jurnalis Jayadi K. Kastari, dan banyak lainnya.

Universitas Negeri Yogyakarta, melalui UNSTRAD melahirkan budayawan Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, sastrawan-jurnalis Ahmadun Y. Herfanda, penyair-cerpenis Endang Susanti Rustamadji, sampai generasi termuda seperti penyair-cerpenis Hasta Indriyana.

Apalagi di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, melalui Studi Apresiasi Sastra (SAS) dan Teater Eska, banyak melahirkan sastrawan seperti Ahmad Syubbanuddin Alwy, Hamdy Salad, Abidah el-Khalieqy, Ulfatin Ch., Mathori A. Elwa, Otto Soekatno Cr., Kuswaedi Syafi’ie, Edi A.H. Eyubenu, Zaenal Arifin Thoha, dan lainnya.
Tentu saja, kita bisa memperpanjang contoh tersebut. Namun, yang lebih penting bahwa kampus dalam konstelasi berkebudayaan di situ menjadi benar-benar hidup. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Hidupnya kampus disebabkan oleh tegur-sapa budaya yang mempersepsi dan memosisikan kampus sebagai pilar penyangga nalar ilmiah dan perilaku demokrasi secara terus-menerus. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Ada sinergisitas yang saling memerlukan sebagai sarana berekspresi antara administrator-birokrat kampus, dosen, dan mahasiswa. Dengan begitu, kampus dijadikan tempat untuk berekspresi secara total dari setiap sisi kebudayaan, kampus menjadi miniatur berkebudayaan.

Saya mengamati, memang banyak Unit Kegiatan Mahasiswa yang terus dihidupi di dalam kampus itu, namun seberapa jauh wacana yang dilontarkan darinya bisa menjadi suatu wacana yang meng-Indonesia? Tentu hal ini memerlukan proses. Kesadaran serupa tentu tidak dapat melepas kaitannya dengan hidupnya civil society, yang ditopang oleh pilar utamanya yakni pers, demokratisasi, dan masyarakat egaliter yang senang belajar. Sekalipun kita akan selalu berdalih dengan jawaban ”proses” itu, namun hal ini wajib dimulai dengan langkah pertama untuk sampai kepada tujuan, sembari terus-menerus berproses ”menjadi” itu. Tidak perlu kita saling melemahkan untuk merealisasikan kerja kebudayaan ini, yang penting selalu memperbaiki niatan, dan memulai dengan langkah pertama. Bismillaah.

*) Penulis adalah sastrawan, dan dosen tetap di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.

Sastra (Puisi) Profetik di Dalam Arus Globalisasi

Dahta Gautama
http://www.lampungpost.com/

BETAPA modernisasi telah mengusung peradaban ke dalam dunia global, apa yang tak mungkin pada masa silam menjadi ada di peradaban terkini. Televisi, internet, ponsel, dan film, telah mengubah pola pikir masyarakat kita yang semakin tidak peka ini.

Di tengah arus globalisasi yang deras itu, apa yang bisa dilakukan sastra (puisi)? Hanya sebatas susunan kata-kata yang dipuitiskankah? Atau, cuma contoh tersantun yang menandakan bahwa hati nurani masih ada.

Para sastrawan (penyair) yang masih sudi menulis puisi di tengah kegetiran arus peradaban globalisasi, barangkali patut disebut sebagai pejuang penjaga nurani. Betapa tidak, di tengah maraknya sastra sampah (maaf, mungkin sebutan ini terlalu kasar, namun saya lebih suka menyebutnya demikian), masih ada penyair yang rela menyair dengan daya profetik yang lebih sopan meskipun satir dan getir.

Saya setuju dengan pendapat penyair Oyos Saroso, ia memperpanjang istilah yang telah populer terhadap para penulis perempuan terkini dengan sebutan "sastra wangi". Oyos menyebut beberapa nama perempuan penulis seperti Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Nukila Amal, Fira Basuki, Dewi Lestari, Dinar Rahayu, Rieke Diah Pitaloka, dan beberapa penulis perempuan lainnya sebagai jelmaan Enny Arrow dan Fredy Siswanto.

"Bila mereka menulis sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu," tulis Oyos Saroso HN dalam esai "Teks Sastra di Ladang Anggur" (Lampung Post, 7 November 2004), "mereka hanyalah penulis picisan yang hanya beda tipis dengan stensilan porno Enny Arrow." Tapi, apa mau dikata, apabila sastrawan besar seperti Sapardi Djoko Damono saja telah membabtis "penulis-penulis manis" itu dengan komentar yang sangat manis "pengarang perempuan terkini lebih bagus, daripada para pengarang pria."

Sungguh gampang untuk menjadi pengarang terkenal cuma dengan menulis tentang alat kelamin, dubur, dan senggama pada novel. Toko-toko buku pun diserbu para pencari tahu isi tulisan mereka. Ironis.

Lalu, ada apa dengan Binhad Nurrohmat? Yang saya tahu ia adalah jebolan sebuah pesantren. Itu artinya, nilai-nilai relegius seharusnya lebih tertanam dalam puisi-puisinya. Mengapa ia menulis kelamin dan tai dalam kumpulan puisi Kuda Ranjang? Sedang putus asakah ia karena karirnya di dunia kepenyairan biasa-biasa saja, sehingga ia harus atau terpaksa menempuh jalan pintas dengan menulis puisi yang isinya melulu kelamin, zakar, dan bokong?

Saya tidak terlalu terusik dengan puisi Binhad yang berjudul "Berak", bahkan ada penyair yang lebih dulu menulis puisi sebelum Binhad lahir, F. Rahardi, dan kerab "berjorok-jorok ria" dalam beberapa sajaknya. Seperti puisinya yang berjudul "Kontol Kambing." Tapi, setelah dibaca secara benar ternyata "Kontol Kambing" tidak sejorok dan senaif judulnya. F. Rahardi sekadar mengingatkan bahwa alat kelamin hewan tersebut ternyata lezat dijadikan makanan sejenis sate.

Namun, puisi Binhad yang berjudul "Berak" menurut saya adalah proses orang buang hajat di jamban. Ia secara detail melukiskan bentuk zakar, bokong, dan sisa kotoran manusia saat buang air besar. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada nilai sastranya. Namun, di sinilah letak keunikan dari sajak-sajak Binhad dalam kumpulan Kuda Ranjang. Ia telah menulis kata-kata sampah. Bukankah, buang hajat (berak) adalah proses pembuangan sisa-sisa makanan yang notabene sampah di dalam lambung manusia. Sekali lagi, ironis! Mengapa harus sampah yang dibaca orang.

Menyikapi maraknya tulisan-tulisan sampah (jorok) dari para sastrawan muda tersebut dan nampaknya tulisan-tulisan mereka diminati masyarakat pembaca, masih adakah dari generasi sastrawan tua, lebih-lebih sastrawan muda untuk membendungnya?

Ternyata komunitas masyarakat sastra masih patut bersyukur karena masih banyak sastrawan (penyair) yang menulis puisinya dengan nurani yang tak terdedah. Masih ada puisi-puisi profetik yang terbungkus dalam gulungan bahasa-bahasa perih, miris, gelisah namun indah dan sastrawi.

Saya masih membaca karya-karya penyair itu? Yang menurut saya, sungguh sangat manusiawi bila masyarakat kita mau membacanya. Dari Lampung ada Isbedy Stiawan ZS, saya begitu terkesan dengan sajak profetiknya yang terbungkus dalam hal-hal yang justru kelihatan biasa-biasa saja dalam kehidupan keseharian kita. Dalam salah satu judul puisinya "Aroma Laut": kutulis puisi lagi/ketika aroma laut masih mengental/atau warna langit/ yang ranum masih bergetar/karena itulah tenaga bagi kata-kataku.

Dalam puisi tersebut Isbedy hanya bicara tentang laut. Sesungguhnya ia telah menulis sebuah makna dari rapuhnya daya manusia bila telah berhadapan dengan Yang Maha Pencipta. Melihat laut dan langit, ia seperti mencium aroma Tuhan, yang telah menggerakkan tenaganya untuk berkata-kata dalam doa. Puisi yang ramah, manusiawi, bernas, dan yang lebih penting lagi Isbedy berhasil sebagai penyair (sastrawan) tanpa harus "berjorok-jorok ria."

Penyair nasional dari Lampung lainnya yang begitu kental profetiknya adalah Budi. P Hatees dan Ahmad Julden Erwin. Puisi Budi P. Hatees yang berjudul "Rahasia Sunyi" seakan mengajarkan kepada kita untuk mengenal Tuhan melalui tangan-tangan ghoib-Nya. Berikut penggalan puisi tersebut: rahasia yang tersimpan/kedua bola matamu/adalah misteri kegaiban matahari melahirkan bayi/semua bersinar lembut/hariku/juga pintu-pintu/yang semakin membuka diri/kini tak ada lagi yang terentang/begitu lebar diantara kita/segalanya telah diucapkan/betapa berulangkali aku mencintaimu/mencintainya/keindahan dan kesedihan/yang ditawarkan dunia.

Budi P. Hatees berhasil memandang hidup dengan dunia yang penuh cinta. Di matanya hidup adalah warisan Illahi, penuh misteri. Diwarnai cinta tapi juga ada perih dan kesedihan. Ternyata dalam kepenyairannya Budi. P. Hatees tidak "ikut-ikutan" mengaksesoris puisi-puisinya dengan kata-kata tabu. Serupa dengan Isbedy Stiawan ZS, ia pun mampu menjaga kesinambungan karyanya dengan puisi-puisi yang sopan.

Selain Isbedy Stiawan ZS dan Budi P. Hatees ada Satmoko Budi Santoso, Abdul Wachid B.S, Wijang Wharek AM, Ari Setya Ardhi, Zhazie Al Azis Ys, Harta Pinem, Nurochman Sudibyo, Gunoto Saparie, Raudal Tanjung Banua, Faaizi L. Kaelan, Fauzi Absal, dan beberapa nama lainnya yang begitu konsisten dengan sajak profetiknya.

Ada beberapa penyair yang lebih duhulu konsisten dengan profetik, mereka berangkat dan menulis puisi profetik dari awal karir kepenyairannya. Untuk menyebut beberapa nama antara lain Abdul Hadi WM, (Alm) Hamid Jabbar, Subagio sastrowardoyo, Toto St Radik, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Mustofa W Hasyim, Piek Ardijanto Soeprijadi dan Kuntowijoyo.

Mari kita simak puisi Zhazie Al Aziz Ys yang berjudul "Satire Lanskap Kemanusiaanku": dimana lagi mesti kurintihkan/keperihan ini/setelah lelah menyumpahi nasib/yang memuntung/di layar-layar eloktronik/o, betapa bab-bab buku/dan pasal-pasal/telah mengorbankanku jadi manusia plastik/dimana lagi mesti/kumuntahkan khayalan kemanusiaanku/sedang pada kumuh cuaca/dan senyum perempuan malam/tak pernah kutemukan mata angin/o, mataanginku!

Al Azis, namanya memang tak secemerlang Binhad karena telah menulis puisi "Berak". Namun, kesungguhannya dalam memandang hidup patut kita kagumi. Sajak ini ditulisnya pada 1992, dua belas tahun lalu. Pada masa itu globalisasi yang tak sehebat saat ini telah mampu mempecundangi dirinya. Ia terkurung dan memuntung dalam layar-layar elektronik (televisi), padahal televisi swasta dan acara-acaranya tak sebombastis seperti sekarang ini. Namun, ia tetap menghikmati, bahwa apapun bentuknya, entah itu televisi, radio atau VCD dampaknya bagi tingkah laku manusia begitu hebat. Bab-bab buku dan pasal-pasal telah menjadikannya sebagai manusia plastik. Di sini, Al Azis sesungguhnya mempercayakan ada yang mesti manusia baca, yaitu kitab suci. Manusia, di mata Azis harus kembali ke khitahnya yaitu Tuhan.

Serupa dengan Al Azis, penyair Wijang Wharek AM namanya pun kurang begitu dikenal sebagai penyair. Padahal, pada dekade 1991-an penyair ini bisa dikatakan sebagai penyair yang paling produktif mempublikasikan puisi-puisinya di Harian Semarak Post Bengkulu dan di berbagai media massa di Sumatera. Saya mengenalnya saat bermukim di Bengkulu.

Puisi-puisi Wijang yang datar menurut saya cukup kuat. Terutama nuansa profetiknya. Membaca Wijang saya seperti membaca Abdul Wachid B.S. Meskipun tidak "setenar" F. Rahardi, Iwan Gunadi atau Binhad Nurrohmat, saya mengaguminya sebagai penyair yang gigih. Sama halnya saya mengagumi penyair asal Medan, Harta Pinem.

Saya terkesan pada puisi Wijang Wharek yang berjudul "Mengaji Subuh": menggigir hari dalam/selimut kabut/suara itu nyaring menggedor/daun pintu/siapa sepagi ini hadir/disitu/sebuah percakapan mendadak terkurung/dalam bahasa gagu/melimbung/aku tersadar gagap mengeja rahasia/alif lam mim-mu.

Mengapa puisi secemerlang itu tidak menghantarkan penulisnya ke menara gading? Ia hanya mampu bertengger di tangkai-tangkai tumbuhan merambat. Ya. Wijang selalu akan menyadari, dimana ia harus berdiri, duduk, tidur dan bertemu mimpi. Ia barangkali sesungguhnya sadar, bahwa puisi ditulis sepenuhnya hanya sebagai media untuk "menyayangi" Tuhan.

Seperti "Sampan Yang Berlayar" Harta Pinem: diam-diam sampanku berlayar/membawa kegelisahan ikan-ikan/melayarkan kesucianku/ke pucuk ombak/gemuruh badai menubruk sampanku/dari abad-ke abad/dilanda kecemasan/hingga hitam air lautku.

Inilah peradaban terkini itu. Penyair yang selalu dibayangi kecemasan. Harta Pinem juga merasakannya. Kegelisahan dilarung ombak peradaban. Kegelisahaan yang meng-abad, mungkin kegelisahan tersebut melebihi usia manusianya.

Lantas, mengapa, apabila yang terjejal hanya gelisah dalam nurani penyair, masih ada sastrawan (penyair) yang meluapkan kegelisahannya pada kalimat-kalimat yang tabu (menulis karya sastra seks)?

Namun, kebutuhan akan sastra propetik-supistik di era globalisasi tak akan terbendung. Di saat hati terdedah dan gundah gulana karena peradaban telah dengan sangat santunnya ditingkahi dengan tayangan-tayangan porno di televisi, baik itu berbentuk iklan atau sinetron. Atau film-film biru di piringan VCD, percayalah manusia akan kembali kepada khitahnya, yaitu bertahajud. Di tengah gegap-gempita duniawi, manusia akan "Tahajud Sunyi": ketika aku datang pada-Mu/jelaga itu/masih mendekam/dalam jantungku/sedang aku/sejak lama merindukan/cahaya rembulan/untuk menatap/kemolekan wajah-Mu (Budi P. Hatees). ****

*) Penyair dan penulis esai, tinggal di Bandar Lampung.

Senin, 23 Februari 2009

Bayi Karet

A. Rodhi Murtadho
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Bayi karet telah lahir. Mengguncang seluruh percakapan di warung-warung. Memanaskan perdebatan di forum-forum diskusi pinggir jalan. Bahkan para anggota dewan melakukan rapat pleno untuk membahas isu meresahkan ini. Bayi karet. Mewaspadai ancaman politik. Meski juntrung kebenarannnya masih dipertanyakan.

Omongan merata terdengar di setiap telinga. Namun, mata belum menyaksikan. Wartawan-wartawan dengan sekuat tenaga dan secepat kemampuan menelusuri sumber isu. Tentu akan membawa para wartawan kepada bayi karet, pikir mereka. Berita heboh akan didapat. Bonus tinggi yang dijanjikan si bos bisa berada di tangan.

Bayi karet terdengar makin meluas. Bahkan sampai mancanegara. Obrolan isu. Pakar-pakar kesehatan membincangkan kemungkinan penyimpangan-penyimpangan pada struktur tubuh. Atau, pakar-pakar kerohanian membincangkan sisi lain dari anugerah, peringatan, dan bencana. Atau, pakar-pakar politik yang membincangkan kemungkinan ancaman yang lebih dari isu bayi karet. Atau, pakar-pakar hukum yang membincangkan kesahihan isu bayi karet. Atau, pakar-pakar budaya yang membincangkan kemungkinan cerita fiksi bayi karet. Atau, pakar-pakar ekonomi yang membincangkan nilai isu bayi karet. Atau, pakar-pakar pendidikan membincangkan pembelajaran dialogis.

Tak ada yang diwawancarai karena wartawan belum menemukan bayi karet. Meski sudah ekstra kerja keras. Belum ada gambar terpampang. Belum ada komentar langsung orang tuanya. Bayi yang konon bisa memanjangkan tangan dan kaki bahkan semua anggota badan. Ataupun jika dibanting malah memantul. Jika diinjak atau dilindas akan penyet sejenak sebelum akhirnya kembali ke bentuk semula.

Isu kehebatan bayi karet makin hari makin terkuak. Memanas. Makin geram ingin menyaksikan langsung. Telinga ingin mendengar ranum tangis. Tangan ingin mengelus mulus kulit dan mencubit molornya bayi karet. Menimang dan merasakan hangat ompol.

Sudah dua minggu bayi karet hanya menjadi percakapan. Namun pada hari kelima belas ada kabar yang menyentakkan setiap orang dan para wartawan. Dikabarkan bayi karet dilahirkan Suminah, istri Paijo. Sigap setiap orang memeriksa tetangga. Menanyakan nama yang selama ini belum mereka kenal. Para RT, lurah, camat, bupati, rumah-rumah sakit, gubernur, anggota dewan memeriksa nama-nama rakyat dan pasien. Ada jutaan nama Suminah dan Paijo.

Jalan setapak. Panjang menerobos sela-sela kumuh bangunan. Sesak. Kadang harus berhenti berjalan dan antri ketika bersimpangan. Ditambah rasa sengat di hidung. Sampah, bangkai tikus, bangkai kucing, tai dan pipis berserakan. Mungkin warga sudah bosan membersihkannya.

“Permisi, Pak! Bapak tahu rumah Paijo? Katanya ada di sekitar sini?” tanya wartawan berbaju biru. Ragu. Mengandalkan keuntungan.

“Rumah Paijo ada di ujung gang ini. Sampean lurus saja,” kata seseorang.

“Tapi, benar kan? Paijo ini memiliki bayi karet yang terkenal itu?” tanya wartawan berebut.

“Benar sekali. Nama anaknya Karet.”

Tanpa ambil ancang-ancang, para wartawan berloncatan berlari menyusuri gang sempit. Kamera dipersiapkan. Otak langsung berbunga mengais-ngais pertanyaan yang sudah lama terpendam. Jantung terpacu berdetak oleh gerak cepat tubuh. Nafas memburu tersengal. Aliran darah makin deras. Keringat bercucuran. Diacuhkan.

Rumah sederhana. Terlihat paling usang di antara rumah-rumah di sebelahnya. Berdinding kayu, berpagar kayu, berjendela kayu. Semua serba kayu. Rumah berarsitek kuno tegak berdiri. Meski sudah banyak retakan-retakan patahan dan lubang-lubang rayap. Genting juga sudah tak utuh. Retak dan gumpil.

“Permisi, Pak Paijo! Pak Paijo!” teriak wartawan-wartawan yang mengangkangi pintu. Menutup cahaya ke dalam rumah.

Kontan miris tangis bayi menyambut terdengar dari dalam rumah. Namun tubuh kering kurus yang nyembul keluar. Hitam legam. Bercelana pendek. Berkaos oblong. Bersandal jepit. Kumal. Jarang terawat. Terlihat masih muda namun pipi tampak ompong. Guratan-guratan tulang terlihat jelas. Kulit yang membungkus tubuh tampak sayu. Terlihat seperti tak berdaging.

“Ada apa, ya?” sambut Paijo bingung.

“Katanya bapak memiliki bayi karet, apa itu betul?” tanya wartawan berbaju coklat. Membuka percakapan.

“Ah, hanya bayi biasa saja. Adik-adik ini wartawan ya?”

“Iya, Pak. Kami ini wartawan. Boleh kami melihatnya?

“Oh, silahkan,” Paijo mengajak wartawan masuk ke ruang tengah, “Bu, ini adik-adik wartawan ingin bertemu dengan bayi kita, Karet.”

Perempuan paruh baya. Gemuk. Memakai daster yang tampak lusuh. Seperti berhari-hari tak dicuci. Muka tampak sayu berpenyakitan dan berhari-hari tak makan. Melankolis. Namun senyum menebar dan mengaburkannya. Ramah. Sedang menggendong seorang bayi yang merengek.

“Ini istri saya dan ini Karet, bayi kami,” Paijo menunjuk Suminah dan bayinya.

Bayi karet seperti penuh pengertian. Menghentikan tangis. Membiarkan suara-suara para wartawan dan orang tuanya berkuasa. Memecah sunyi.

“Jadi ini bayi karet yang banyak dibicarakan banyak orang. Seperti bayi biasa. Lantas, tentang kelebihan-kelebihan bayi karet ini, apa itu benar adanya?” tanya wartawan berjaket hitam.

“Maksud adik-adik?” tanya Paijo.

“Semua sifat karet melekat di tubuh bayi ini. Bisa memanjang. Bisa memantul...” penasaran wartawan yang berkaos hitam.

“Ah, orang-orang itu hanya membesar-besarkan saja. Bayi kami normal dan seperti bayi-bayi lain. Seperti kalian lihat sendiri,” elak Paijo.

“Tapi dari namanya saja, Karet. Pasti ada kisah dibalik nama itu. Atau mungkin memang benar kata orang-orang dan kalian sengaja menutup-nutupinya,” desak wartawan berjaket hitam.

Suminah dan Paijo saling pandang. Berisyarat melalui mata. Keduanya seperti saling bertanya. Menjawab dengan kerdipan yang dipercepat atau diperlambat. Kadang helaan nafas panjang melengkapi. Semua bibir seperti terkunci rapat. Paijo tiba-tiba menganggukkan kepala.

Suminah tiba-tiba melepas Karet dari gendongan dan membiarkannya terjatuh. Seperti dibanting. Para wartawan kaget dan spontan ingin menangkap bayi karet. Namun tangan tak sampai akibat jarak yang agak jauh. Suminah dan Paijo hanya diam. Tak ada usaha untuk menolong dan menangkap bayi karet.

Karet jatuh ke tanah dan memantul kembali ke gendongan Suminah. Tercengang para wartawan melihat pemandangan yang tak biasa mereka saksikan. Tak ada luka atau sekadar goresan di tubuh Karet.

“Bagaimana bisa begitu, Bu, Pak?” tanya wartawan berjaket hitam keheranan.

“Kami sendiri juga tidak tahu. Yang jelas ketika dukun beranak membantu istri saya, bayi ini terlepas dari gendongan. Bayi ini memantul seperti bola bekel. Makanya langsung kami beri nama Karet.”

“Tentu saja begitu adik-adik,” tambah Suminah, “sejak bayi ini di kandungan, alam tampak menjadikannya demikian.”

Lagi-lagi para wartawan tencengang. Berita baru dari narasumber. Belum diperbincangkan ketika isu muncul. Pengaruh alam terhadap kemunculan bayi karet. Tentu akan jadi topik panas untuk berita. Bonus berlipat-lipat akan teraih. Mungkin akan menggantikan gaji enam bulan kerja.

“Maksud Ibu?” celetuk keheranan wartawan berkaos hitam.

Suminah mengalihkan pandangan ke Paijo. Lagi-lagi saling berisyarat. Wartawan saling memandang. Menunggu anggukan Paijo yang berarti mengizinkan istrinya bercerita. Tak begitu lama, Paijo mengangguk.

“Sejak kandungan berusia tiga bulan, terjadi gempa. Tentu saja guncangan hebat yang saya rasakan dan otomatis bayi ini juga. Sebulan kemudian longsor bukit-bukit yang ada di belakang rumah tapi tak sampai menelan rumah ini. Mengharuskan saya harus berlari dan mengguncang-guncang bayi ini. Kebakaran di samping rumah saat usia kandungan lima bulan. Angin puting beliung yang hampir merobohkan rumah ini di usia kandungan enam bulan. Banjir sedada ketika usia tujuh bulan. Isu gunung Semeru akan meletus di usia kandungan delapan bulan. Tentu saja semua itu mengguncang tubuh, pikiran, dan hati saya. Harus sabar menghadapi.”

“Oh, karena sering adanya guncangan itu, bayi ini menjadi elastis?” tanya wartawan berbaju biru hendak memperjelas.

“Iya, kata orang-orang pintar seberang rumah, bayi ini beradaptasi terhadap alam selama di kandungan. Sering mengalami bencana alam. Jadinya bisa beradaptasi terhadap bencana alam apapun. Kami tak khawatir lagi jika bayi ini terjatuh karena akan memantul dan kembali ke gendongan seperti yang adik-adik lihat tadi. Jika nanti pun ada banjir, tentu bayi ini akan mengambang seperti pelampung.”

“Hebat banget. Pernahkah Pak Paijo bermimpi yang aneh-aneh sebelum Karet dilahirkan. Atau mungkin Ibu Suminah sendiri yang memimpikannya?” tanya wartawan berbaju biru menelusuri.

“Kalau itu Mas Paijo yang mengalaminya. Iya kan, Mas?” Suminah menjatuhkan pandangan lagi kepada Paijo.

“Ah, itu hanya kembang tidur. Tak usah dibesar-besarkan.”

“Tapi, kata dukun dan yang mengerti ilmu tafsir mimpi, anak ini memang disiapkan menjadi orang besar. Banyak dianuti orang-orang. Semacam pemimpin gitu,” imbuh Suminah di sela-sela raut malu Paijo menutupi.

Wartawan-wartawan seperti mendengar dongeng dari Suminah. Terantuk-antuk mengiyakan. Tak ada pertentangan dalam diri mereka mengenai kebenaran yang seharusnya dipertanyakan. Berita. Berita. Dan hanya berita. Meski kadang harus disiarkan melebihi batas akal manusia. Tetapi, para wartawan tak peduli dan ambil pusing. Hanya berita.

Suminah dan Paijo seperti sudah terbiasa. Memang sebelum kedatangan wartawan ratusan orang mendatangi mereka. Dan hanya itu-itu saja yang mereka ceritakan. Karet. Sebab itu, mereka tampak lancar dan gamblang seperti menjalankan skenario yang telah dipersiapkan dalam berakting dan bercerita.

Sebenarnya tak ada yang perlu dipertanyakan wartawan. Cerita yang terlantun dari mulut Paijo maupun Suminah sudah ramai dibicarakan di masyarakat. Hanya saja wartawan ingin mengecek langsung dari sumber kebenaran. Mendapat kepastian. Menyaksikan sendiri. Bonus berita baru mengenai alam dan Karet. Tentu takkan didapat jika wartawan hanya berdiam menunggu.

“Maaf, Bu. Saya kok jadi tertarik dengan cerita tentang Karet dipersiapkan menjadi orang besar. Maksud Ibu, Karet akan menjadi pemimpin bangsa ini,” tanya wartawan di tengah kelengangan yang sejenak tercipta.

“Kata para dukun sih begitu. Bayi ini sudah memenuhi kriteria menjadi pemimpin atau pejabat. Adik-adik sendiri tahu kan budaya keseharian para pejabat dan pemimpin negeri ini. Serba karet. Tangan karet, kaki karet, jam karet, janji karet, pengadilan karet. Nah, semua sifat karet itulah yang mungkin menyebabkan para dukun itu meramalkan. Karet inilah pemimpin masa depan negeri ini,” terang Suminah.

“Lantas kalian percaya dengan ramalan dukun itu?”

“Ya, kalau dibilang percaya, ya percaya. Kalau dibilang tidak percaya, ya tidak percaya. Kami ini apa sih, adik-adik. Hanya orang miskin. Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari saja susah apalagi bermimpi anak kami menjadi pemimpin bangsa ini. Tentu akan makin susah walau cuma bermimpi. Tapi bagaimanapun tak ada salahnya kan orang memiliki mimpi. Biarpun mimpi itu sangat jauh untuk dijangkau dan diwujudkan,” Paijo menanggapi dengan tenang.

Para wartawan tampak merasa terenyuh dengan pengakuan Paijo. Sungguh di luar jangkauan prediksi para wartawan. Pengertian tentang kehidupan bagi Paijo tak sekumel tampangnya.

“Ya, memang. Tak ada yang bisa menghalangi orang untuk bermimpi. Dan tak ada salahnya orang bermimpi. Itu sah-sah saja kami pikir,” imbuh wartawan berjaket hitam menyahuti. Menghibur.

“Tapi menurut ciri-ciri yang bisa ditelusuri sekarang, Karet ini mungkin saja bisa menjadi orang nomor satu di negeri ini. Sekarang saja sudah menghebohkan masyarakat. Banyak dibicarakan orang-orang. Terkenal. Tentu dengan sedikit politik akan menjadikan Karet pemimpin yang dipuja-puja,” sahut wartawan berkaos hitam.

“Kalau dipikir-pikir, benar juga kata adik-adik ini. Kami baru memikirkannya sekarang. Kalau boleh tahu, seberapa terkenal anak kami ini sekarang?”

“Wah, sudah sampai mancanegara.”

“Uh, terkenal kamu, Nak. Tidak seperti Bapak dan Ibumu,” Paijo dan Suminah memandang Karet lekat-lekat sambil tersenyum.

Wartawan ikut tersenyum. Saling memandang. Tampak bahagia. Namun Karet hanya diam di tengah tawa. Seperti tak ada ekspresi wajah sama sekali. Bahagia, sedih, takut, marah, bingung tak terlihat. Beku pada kerdipan mata dan pandangnya.

“Kalau begitu, boleh kami ambil gambar Karet untuk dipampang di majalah, koran, televisi, dan seluruh media-media lain. Biar Karet makin terkenal.”

“Oh, silahkan. Silahkan!”

Kamera yang sudah dipersiapkan difokuskan pada Karet. Namun sebelum menjepret, Karet meronta. Tampak enggan diabadikan gambarnya. Tubuh Karet tiba-tiba memanjang. Tangan, kaki, leher dan semua bagian tubuh memanjang. Mencari pintu-pintu dan jendela-jendela untuk mengeluarkan kepala, kaki, dan tangan. Wartawan kebingungan hendak memotret. Kepala ada di balik pintu dapur, tangan di luar jendela, kaki menjulang keluar pintu depan. Kalaupun dipotret, hanya ada bagian tertentu dari tubuh Karet. Untuk memperoleh gambar utuh tubuh Karet tentunya harus menggabungkan bagian-bagian gambar yang diambil. Totalitas tubuh karet tak bisa didapat. Kalaupun dipotret dari jarak jauh, akan menjadi samar seperti rekaan.

Paijo dan Suminah memelas dalam pikir. Senyum kecut di muka. Mereka tahu kalau Karet enggan dipotret. Tak ingin terkenal semu semata. Sementara kebutuhan sehari-hari tidak terpenuhi. Harta ludes akibat bencana tak pernah dipikirkan. Orang-orang datang hanya bertanya tentang Karet dan kelebihannya. Pekerjaan Paijo yang tak pernah tetap, tak pernah dipertanyakan. Mengais rejeki dengan bercucuran keringat lebih dulu. Belum lagi harus mengobatkan Suminah karena penyakit kronis yang mendera.

“Pak, Bu, apa yang terjadi pada Karet? Kok molor tak karuan seperti ini.”

“Ini biasa dia lakukan jika merasa sangat kesal dan marah. Atau mungkin juga malu. Ini juga yang membedakan dengan bayi-bayi lainnya. Karet seakan sudah mengerti apa yang dibicarakan orang-orang dewasa. Mengerti keluh kesah orang-orang dewasa. Dan kami tak tahu, setiap ada orang datang kemari dan bertanya tentang dirinya, Karet selalu memanjang,” terang Suminah.

“Kok bisa begitu ya, Pak. Apa karet marah jika berita tentang dirinya disebarluaskan. Atau mungkin malu? Atau mungkin Karet tak suka dengan kehadiran kami berombongan seperti ini. Rame-rame dan bisa mengganggu ketenangannya?”

Hening tercipta. Tak ada secuil kata yang terlontar dari mulut Paijo dan Suminah. Pandangan mereka alihkan untuk menelusuri tubuh karet. Tersenyum pada mata kepala Karet di balik pintu. Pikir Paijo dan Suminah, jelas saja Karet marah. Kelu kesah orang tua yang serba susah tak pernah diungkap. Tak ada yang pernah menanyakan tentang perut, sudah terisi makanan atau belum. Tak ada yang pernah menanyakan jatah makan esok. Atau tentang susu yang sangat kurang. Mungkin karena Suminah sakit-sakitan dan jarang makan. Air susu tak lancar keluar. Yang jelas mungkin Tuhan menyiapkan karet memiliki perut karet. Setiap saat bisa diisi makanan dan setiap saat kuat jika tak ada makanan. Bayi karet bernama Karet dengan perut karet.

Malang, 4 Mei 2007

GEDUNG KESENIAN, DKL, DAN KOSTELA DALAM BAYANG-BAYANG MODERNITAS

Minggu, 22 Februari 2009

Gurita

Lily Yulianti Farid
http://www.korantempo.com/

SAAT ayah masuk penjara, ibu bilang, aku harus pulang ke Makassar. Ibu menyodorkan jabatan wakil manajer di apotik miliknya yang dibuka setahun lalu. Selamat tinggal Jakarta! Aku melambai pada pacar, apartemen mungil, kampus, dan seribu rencana di ibukota.

"Tak usah kau lanjutkan dulu kuliahmu. Lagi pula kalau selesai kau mau jadi apa?"

"Ya membuat film animasi."

"Apa? Pasti butuh banyak biaya. Sudah, kau urus saja apotik ini. Ini usaha bagus. Sangat bagus."

Aku turuti kehendak ibu. Aku ikuti naluri bisnisnya. Ia menjemputku dengan rencana-rencana baru. Dalam perjalanan ke rumah, kubuang rencana hidupku. Ia tergilas truk gandeng, motor dan angkutan kota. Dari kaca belakang mobil, kulihat ia rata di aspal berdebu.

Mengurus apotik. Tugasku: mengawasi dua apoteker muda yang kuperhatikan gemar membaca tabloid gosip dan menonton tayangan infotainment bila tak sibuk meracik obat. Pekerjaan yang sebenarnya tak sulit. Aku duduk-duduk saja, melihat mereka bekerja, sesekali membantu menerima resep dan memanggil nama pasien, mengobrol ini-itu yang serba remeh temeh, dan, yang terpenting, menghitung pemasukan dan pengeluaran harian sebelum apotik tutup.

Mengurus apotik. Rasanya: huh, membosankan! Membuatku terpenjara. Tapi ibu bilang, keluarga kami dilanda musibah, tak ada orang yang bisa diajak kerja sama. "Coba lihat, orang-orang menjauhi kita setelah ayahmu kena jerat. Siapa yang peduli? Sekarang kita berdua harus berusaha keras memperbaiki nama dan mencari uang. Huh!" (Ibu mengucapkan "huh" yang selalu lebih keras dari "huh" milikku.)

Beberapa tahun terakhir, kota kami memang penuh papan praktik dokter, apotik dan toko obat. Praktik dokter berkelompok muncul di sana-sini, mengingatkanku pada gerombolan anak muda yang duduk-duduk di ujung lorong sehabis magrib, main gitar dan bersiul menggoda orang lewat. Bedanya, para dokter ini berjubah putih, dan dari tubuh mereka tercium bau parfum bercampur larutan suci hama, penanda betapa terawat, wangi sekaligus sterilnya mereka. Mereka datang dengan mobil mewah, berkumpul sore-sore, mengobati?(tapi lebih sering hanya mendengarkan keluhan pasien lalu menulis resep) hingga tengah malam. Dan, beberapa meter dari praktik dokter itu, pasti ada apotik atau toko obat.

Ibu sigap menangkap peluang. Om Yan, adik ibu, seorang dokter ahli penyakit dalam, punya usaha praktik berkelompok di pusat kota, tak jauh dari rumah jabatan gubernur. Apotik milik ibu ada di dalam gedung gerombolan dokter itu. Di bagian bawah resep obat yang ditulis Om Yan tertera stempel: Diskon 5 persen bila membeli obat di apotik Sriani Farma. Istri Om Yan, seorang dokter ahli kandungan juga membubuhkan stempel yang sama di ujung setiap resep yang ditulisnya, ditambah sedikit variasi: Diskon 10 persen untuk pembelian multivitamin dan susu bagi ibu hamil. Dokter spesialis lainnya, ahli jantung, ahli kulit dan kelamin, dokter anak, ahli tenggorokan, hidung dan telinga memiliki stempel yang sama dengan variasi di sana-sini, dan tentu saja mereka mengucapkan kalimat berpisah yang seragam kepada setiap pasien, yang bunyinya kurang lebih: "Ini resepnya dan bisa ditebus di apotik sebelah."

Berkat stempel dan anjuran para dokter itulah, apotik kami maju, laris dan sibuk.

Tapi omong-omong, ayah di penjara bagaimana kabarnya?

Ibu menyemburkan angin puting beliung dari mulut, hidung dan telinganya menjawab pertanyaanku ini. Celaka, aku membuat rumah porak poranda kena hantam amarah ibu. Dua kali kuutarakan keinginan menjenguk ayah, kubayangkan membawa rantang, buah, buku atau majalah, dan bercakap-cakap di bawah pengawasan sipir penjara yang mengisyaratkan minta sogok. Dua kali juga ibu menabur badai kemarahan sambil membawa tanda larangan besar. Ibu seperti polisi dengan rambu lalu lintas bulat bergambar wajah ayah yang diberi tanda silang merah. Tak cukup dengan itu, ia juga memasang portal, digembok, lalu dilapisi pagar kawat berduri. Pesannya jelas: aku tidak boleh bicara atau tanya-tanya soal ayah.

Tapi beberapa bulan kemudian ayah mati dan langsung jadi bintang televisi. Beritanya berendengan dengan kabar tentang banjir di Jakarta, kapal sarat muatan yang tenggelam di perairan Sulawesi Barat dan harga BBM yang diturunkan pemerintah. "Katanya ayahmu mati diracun." Ibu memberi penekanan pada kata "mu" di belakang kata "ayah".

Televisi menjelma sosok yang merasa paling mengenal ayah. Dari kotak persegi itu memancar-mancar semua berita tentang ayah. Aku mengutuk benda ini. Di layar muncul acara bertajuk "investigasi korupsi pembangunan pelabuhan dan bandara". Ayah hadir dengan berbagai pose dan busana. Berkopiah, berbaju safari, berbaju takwa, berbaju partai, kemeja putih lengan panjang selama sidang serta satu rekaman yang kabur menayangkan ayah menutup wajahnya dari serbuan kamera. Yang terakhir, tentu gambar jasadnya yang disemayamkan di ruang tamu kami dilatari suara yang menyebut angka, nama proyek dan sejumlah nama pejabat.

AKU jarang bertemu ayah. Terakhir, kira-kira satu setengah tahun lalu saat pamit hendak kuliah di Jakarta, ia mengirim SMS, "Jadi anak baik. Jauhi narkoba. Perusak generasi bangsa." Lucu juga. Di gerbang bandara, pesan "jauhi narkoba" tercantum besar-besar di samping iklan rokok dan telepon seluler. Wah, jangan-jangan ayah sebenarnya sedang di bandara yang sama, barusan mendarat (entah dari kota mana), meluncur ke ruang VIP, yang hanya bisa dilalui presiden, menteri, gubernur dan pejabat tinggi, lalu iseng menyalin isi iklan itu untukku.

Sempat kucoba menelepon ayah. Suara ajudan yang menjawab telepon, membuatku kehilangan selera. "Kata Bapak, nanti ketemu di Jakarta. Beliau sedang mendampingi Pak Menteri."

Kini ayah mati. Aku berusaha keras mengingat-ingat kenangan paling gres tentangnya. Yang paling baru, ya pesan SMS itu. Ah, kenapa ibu melarangku ke penjara? Kusesali ibu, si polisi yang gemar memasang tanda larangan itu membuatku sia-sia mengais-ngais lubang kenangan tentang ayah, yang sebenarnya hampa.

Kami berduka. Dokter-dokter dari praktik berkelompok milik Om Yan memesan bunga duka cita yang sangat besar, mengalahkan deretan karangan bunga lainnya. Ibu menyembunyikan wajahnya di balik kaca mata hitam yang sangat besar, yang tidak hanya menutupi matanya, tapi juga sebagian pipinya. Dior. Inisial "D" berkilau-kilau di dua gagang kaca mata itu. Pelayat yang memberi ciuman pipi pasti merasakan bingkai dingin kacamata hitam ibu itu menempel di kulit mereka. Ibu menerima ciuman, pelukan, jabat erat, dan kata-kata baik yang dari mulut ratusan orang. Aku berdiri di sampingnya, mengenakan gaun hitam terusan hingga mata kaki yang berbau kapur barus. Koleksi lama dari lemari ibu. Yves Saint Laurent. Inisial "YSL" menonjol di dua kancing emas di ujung lengan baju yang agak kedodoran di tubuhku.

Jasad ayah datang seusai magrib, disambut listrik yang byar pet, byar pet, berpijar sebentar menimbulkan harapan lalu selebihnya hitam. Aku ingat sekali peristiwa itu: ayah, si Riang kucing kami, dan listrik, ketiganya mati bersamaan. Aku mendengar tetangga berteriak marah mengutuki pemadaman bergilir dan krisis listrik. Mereka seakan memasang petasan injak lidah mereka. Bukan main bisingnya bila mereka menyalak. "Masak kompleks kelas atas di kota ini juga kena pemadaman bergilir? Yang benar saja. Anjing!" Pak Jaropi, tetangga kami, seorang pensiunan jenderal mencak-mencak di halaman depan.

Kami berduka di rumah yang kacau balau. Jenazah ayah terbaring dalam gelap, tampak remang-remang. Orang-orang sibuk mencari lilin atau lampu darurat. (Kenapa tidak ada lilin? Kalau lampu berbaterei? Hah? Tidak ada juga? Ya, tidak adalah, bukankah kompleks ini jarang mati lampu. Bodoh!)

Para pelayat berbaju hitam tampak semakin hitam. Dalam gelap, hanya kilau gelang, cincin, anting perempuan-perempuan wangi teman arisan ibu serta pajangan kristal di ruang tamu yang berkerjap seperti lentera-lentera kecil.

Aku melirik ke halaman belakang. Ternyata, diam-diam Mak Tun mengubur Si Riang, di sana. Kucing itu mati tergilas mobil sore tadi. Beruntung ia menjalani pemakaman sederhana, berlangsung lancar tanpa huru hara. Setelah Riang dikubur, Mak Tun kembali ke dalam rumah. Ia ikut menggotong ibu yang pingsan lunglai di samping jasad ayah. Makin banyak pelayat datang. Di halaman depan, polisi berkumpul, disusul serombongan wartawan. Gaduh sekali.

Terbujur di sel dengan mulut berbusa. Katanya, almarhum minum Baygon.

Orang-orang berbisik setelah berdoa.

Bukannya diracun?

Ada juga orang-orang yang berdoa dulu, baru berbisik-bisik.

Aku menanam bisik-bisik dan doa-doa itu di dalam dadaku. Membuat jantungku berdegup lebih kencang. Aku teringat pelajaran biologi di SMA, tentang sekresi yang dihasilkan organ tubuh manusia. Di tengah kemalangan ini aku mengalami proses sekresi yang sempurna: tangis pada mata, keringat pada telapak tangan dan kaki, air kencing yang membasahi celana dalam. Aku menangis, gemetaran dan pipis sekaligus. Sedih dan takut melihat ayah yang terbujur; panik dan bingung menyaksikan ibu yang setelah menerima kedatangan pelayat akhirnya pingsan; geram dan ngilu mendengar orang-orang yang berdoa sekaligus berbisik-bisik.

Mak Tun, pembantu setia itu satu-satunya tiang kokoh di rumah ini. Ia memelukku sepanjang prahara. Om Yan, dokter yang baik itu memesan ambulans. Mungkin khawatir, aku atau ibu memerlukannya.

Listrik menyala, ibu siuman. Doa-doa berdengung lagi. Lalu bisik-bisik lagi. Ibu pingsan lagi. Wajah-wajah pelayat yang tadi gelap dan samara, kini berpijar seperti bulan, bibir-bibir mereka komat-kamit, menggulum doa dan bisik-bisik. Aku yang entah kenapa merasa lebih kuat dan tabah dari ibu, bermaksud memapah tubuh perempuan yang doyong itu. Sial. Ujung gaun kedodoran terinjak, membuatku tersandung, jatuh. Aku dan ibu sempoyongan, berhimpit seperti roti tangkup di atas jasad ayah. Orang-orang merubung kami. Doa-doa lagi. Bisik-bisik lagi. Semakin gaduh. Lalu gelap.

JUDUL film animasi pertamaku adalah Gurita. Baru sebatas rencana. Baru berkelebat di kepala. Aku ingin bercerita tentang gurita berkepala perempuan. Wajah, perangai dan segala tindak tanduknya mirip ibu. Mungkin kunamakan ia Bu Gur. Atau Bu Rita.

Kusampaikan rencana melanjutkan kuliah. Kupikir, ini saat yang tepat. Semua sudah tampak baik. Ayah mati di penjara. Kami menangis, malu, bingung dan akhirnya pingsan. Berminggu-minggu, hanya Mak Tun yang menjadi tiang kokoh yang menyokong kami berdua. Aku percaya, setidaknya ada dua atau tiga malaikat yang bersemayam di dalam tubuh pembantu tua itu. Ia yang menolong ibu bangun, hingga kuat dan percaya diri membuka pintu dan bertemu kenyataan di jalan. Setelah ibu menolak permohonan otopsi jenazah ayah dan tak ingin memperpanjang dugaan siapa yang meracunnya atau apa yang mendorongnya minum Baygon, kehidupan kami tidak lagi diguncang berbagai kabar buruk.

Ibu bangkit. Ibu telah kembali!

Menjual obat, menjual obat, menjual obat. Memperluas usaha, memperluas usaha, memperluas usaha. Tiga kali sehari aku bertemu mantra ini. Saat sarapan, makan siang di apotik dan sebelum tidur. Tukang mantranya adalah ibuku, perempuan perkasa itu.

Inilah kesimpulan baru dalam perjalanan hidupku: ibu jadi matahari, jadi bulan, jadi tukang mantra, jadi perempuan terhebat dalam kehidupanku.

DI SUATU pagi yang tak terlalu cerah, kubilang pada ibu ingin kuliah lagi, ingin membuat film animasi. Wajah ibu langsung sekusut sutra yang diremas penuh amarah. Pertama, ia menyemprotkan angin puting beliung dan memaki-maki rencanaku. Kedua, ia mengenakan seragam polisi, langsung memasang rambu peringatan besar-besar: Dilarang melanjutkan kuliah ke Jakarta. Di sana ada gambar gedung kuliahku dengan tanda silang merah besar. Lalu rambu berikutnya: Jangan berpikir Macam-macam. Apalagi berpikir membuat film! Ketiga, tak puas menjadi polisi, ibu berganti busana: stelan perempuan karir dengan jabatan Presiden Direktur Sriani Medika Utama, usaha yang dirintisnya bersama Om Yan. Ia menjabarkan prospek bisnis di depan hidungku.

"Dari jaringan apotik di Makassar, kita akan memperluas usaha pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan di rumah sakit se-Indonesia Timur. Proyek besar ini ada di tangan ibu! Kita akan memasok cairan infus, jarum suntik, obat generik dan segala macam kebutuhan rumah sakit. Ini bisnis luar biasa dan ibu ingin kau membantu membesarkan usaha ini."

Aku sebenarnya ingin berterus terang pada ibu, bahwa rencana hidup yang sudah kubuang di jalan saat kembali ke kota ini, ternyata tak mati-mati. Ia bangkit dan menemuiku dalam mimpi. Dari satu malam ke malam berikutnya, aku bermimpi membuat film animasi berjudul Gurita. Ceritanya tentang gurita perempuan yang muncul dari dasar laut, dengan delapan tangannya ia meraup dengan rakus semua kekayaan samudra. Gurita bersekongkol dengan hiu bertaring tajam dan sejumlah ikan ganas lainnya menindas mahluk lainnya. Lalu....

"Berhenti melamun, anak bodoh!"

Memperluas usaha, memperluas usaha, memperluas usaha, memperluas usaha, memperluas usaha. (Di pagi nan celaka ini, ibu mengulang mantra itu lima kali. Ia kesal mendengarku berceloteh tentang film animasi yang dianggapnya tak masuk akal.)

Ah aku perlu merevisi kesimpulanku: Ibu jadi matahari, jadi bulan, jadi tukang mantra, jadi perempuan terhebat dan tentu saja menjadi polisi yang melarangku ini itu! Huh!

DI SEBUAH restoran hotel mewah di Jakarta, ibu menggandengku penuh percaya diri. Agenda kami: menghadiri makan malam dengan Om Jumadil, sepupu ibu yang disebut orang penting di kementrian bersama sejumlah pejabat lainnya. Agenda khusus ibu: membicarakan tender obat-obatan untuk rumah sakit di Indonesia Timur. Agenda khusus untukku: belajar bisnis dan kenal lebih dekat dengan Om Jumadil itu, yang disebut ibu sebagai orang Makassar yang paling melejit di ibukota saat ini.

"Mereka sudah di lobi. Sebentar lagi ke sini...."

Ibu membetulkan duduk, merapikan ujung gaun, menatapku meminta konfirmasi tentang penampilannya. Ia bekerja keras sejak pagi untuk tampil cantik malam ini. Kuberi anggukan dengan pesan benderang: ia adalah makhluk tercantik sejagat raya, tak terkalahkan, bahkan oleh Miss Universe sekalipun! (Lihatlah, aku kadang bertugas sebagai si cermin ajaib dalam dongeng Putri Salju untuk ibuku tercinta.)

"Itu mereka!"

Ibu berdiri dengan gerak seanggun mungkin. Ibu tersenyum dengan tarikan bibir semanis mungkin. Di pintu restoran beberapa orang berjas melambai ke arah kami.

"Yang di depan itu Om Jumadil. Masih ingat kan?" Ibu berbisik. Suaranya lebih mirip wanti-wanti agar aku menyapa laki-laki itu seolah sangat akrab.

Mereka mendekat ke meja kami. Dan kini, di hadapanku hadir seekor hiu besar dan serombongan ikan ganas bertaring tajam lainnya.

Kulirik ibu. Ia menjelma gurita berbulu mata lentik.

Tokyo-Jakarta, Januari 2009

Sajak-Sajak Sunlie Thomas Alexander

http://www.lampungpost.com/
UNTUK ROSTATING

rasanya kau seperti arwah
sesekali datang
menganyam biji mataku
pada malam-malam aneh
dan kelabu
ah, aku mencintai kegelapanmu
serupa bintang bintang yang padam
di mataku; kedunguan menempuh jarak berdebu
ke rimbun rumahmu
berkerdiplah: mungkin matamu
masih seperti dulu
bagai matahari di pulau jauh
yang menghangatkan ubun-ubunku
: anggun membangun rumah
di tepian ibu!
walau semua kabar yang kita kirim
selalu menghanguskan masa lalu
dalam bahasa rindu;
tangis puisi paling pilu
yang kutulis di hatimu:
takdir jatuh di pulau jauh
serupa pecah kelapa di batu
buat apa aku berkeluh
karena pada akhirnya:
kau bakal lupakan juga gelap mataku,
atau justru makin kurindu terang matamu
di dunia abu-abu yang menolak gairah
dan logika itu!
ya, begitulah kita terus berseteru

Yogyakarta, 2008



ABIGAIL CHRISTIE

aku telah mencintai bayang-bayangmu
di daun jendela
serupa Tuhan yang iri pada rupa
sehingga menciptakan semesta
yang dipantulkan rindunya
tapi kau menyelam dalam keangkuhan
alam benda yang elok, dan mengamsal
setiap organ tubuh sebagai properti semata
dalam duniamu yang bisu
denyut jantungku adalah kursi berdebu, dan
kecewa di hatiku hanyalah gelas pecah!
maka siang hari di dunia yang sunyi ini,
aku pun jadi sebatang kara
mengangankan rupamu yang sempurna
seperti bayangan pohon di halaman rumah
dan jika malam tiba,
aku hanya punya rasa
tak tersuarakan alam benda;
pemandangan menjadi gelap semua
padahal benda jatuh ada sebabnya
seperti cerita adam hawa
ah, seperti tuhan
kau telah menciptakan rupamu yang buta
sejak dunia dilahirkan kembali oleh bahasa;
ruang dan waktu dibentuk lagi oleh kata...
: kesakitanku menunggu firman
di bumi baru yang renta!

Yogyakarta, 2007-2008



SAJAK PUTIH
: kepada lia

di musim ini, aku telah menyimpanmu
sebagai nyanyian bersahaja di tengah kota
(berkelok menyusuri musi
sampai teduh selatku)
tapi pada musim mendatang,
sebelum hujan singgah
barangkali kau bakal menjelma getir doa
karenanya aku harus bergegas
menyiapkan mantel hujan
agar kita tak kedinginan
atau sakit saat cuaca tak ramah
mari berkemas
melawat setiap musim
yang mendahului tiba
agar sekalipun pada musim gugur paling pilu,
kau tampak begitu indah
di mana kita akan berjalan
di bawah jatuhan daun daun
yang menimbun rambutmu
lalu aku akan membersihkannya,
mungkin sembari membisikimu
kalimat mesra yang terdengar mirip doa
lia, di saat badai datang nanti
dan pintu pintu rumah mesti terkunci,
biarlah aku menerimamu sebagai doa
dan mengamsal setiap musim duka
jadi restu tuhan buat kita bercinta

Palembang-Bangka-Yogyakarta, 2008



EXPATRIA PRO ECCLESIA
--jan josef langenhoff

di akhir Juli, aku menjengukmu
dalam kenangan patah
hambar seperti roti tak beragi
aku melihatmu bergumam di tepi altar
bagai seorang santo yang sangsi
terbata menyelesaikan doa pagi
sementara jendela berornamen suci
menjaring bayang bayang matahari
langit Juli begitu pucat seperti kulitmu
sepanjang jalan ke kapel lebat oleh perdu
matamu, seperti mengajak ombak
berdebur di mataku
oh, demi tubuh kristus
yang terpancang di sungai selan,
aku telah berdoa bagimu
dalam bilik kanak-kanakku yang ragu
sembari membayangkan hujan
perlahan berlalu
seperti jejak para padri
yang membangunkan abad abad nyeri
di ujung ujung bumi dan tanah ini
hanya di akhir Juli, biarlah aku berkunjung
ke rabuk sejarahmu
menulis ulang semua nama orang suci
di dadaku yang degil, di kebun kebun lada
dan penambangan timah
agar sempurna kesangsianku pada kristus
yang tersalib lagi di punggungmu

Pangkalpinang-Yogyakarta, 2008



SERDADU PLASTIK

begitulah aku mengenang perang itu:
kalian berbaris gagah di dekat kaki meja;
ada genangan sup tumpah
kubayangkan lagi
tank-tank plastik yang bersiaga,
pesawat dan kapal laut berjaga
dalam sebuah pertempuran tak bernama
dengan kapur tulis
telah kutandai batas wilayah
yang terentang dari kolong meja ke lemari tua
sementara di bawah tangga kayu,
berdaulat lain negara
lalu bom pun berjatuhan
dari angan anganku
dan pesawat menderu lewat
dengan dengung dari mulutku
yang lebih mirip lebah
bukankah aneh rasanya,
mendengar kematian begitu girang
bernyanyi di hatimu?
kau hanya menatapku dengan
sepasang matamu yang buta
seolah ingin menegaskan
kalaulah pertempuran itu
permainan kanak-kanakku semata
ah, sosokmu tampak ringkih,
kuraba kakimu yang tinggal sebelah
dan alangkah kusam seragammu,
veteran celaka!
(begitulah aku merindukan perang itu:
siang sepulang sekolah, dan
aku belum mengerjakan pekerjaan rumah)

Belinyu-Yogyakarta, 2008

Album Kenangan Perempuan

Faisal Syahreza
http://www.lampungpost.com/

Rambut bulan, malam itu indah tergerai, cahaya remang menyelinap masuk celah-celah rumah. Jalusi rumahmu tentunya juga tertembus. Atau bisa saja masuk ke jendelamu yang lupa kau tutup dengan gorden rapat-rapat. Aku memasuki rumahmu berbarengan dengan keremanganya, pula kesenyapan yang memahami perasaan perempuan. Aku sendiri tak tahu persis, malam itu aku merasakan hal yang sama denganmu.

Kesedihan dan rasa ngilu, ketika cinta dikoyak-moyak. Aku lihat pasfoto yang biasa kau banggakan telah jatuh, pecah tergeletak di ruang tengah rumah. Pasfoto yang kau ceritakan dengan semangat dan berapi-api pada keluargamu dan sahabatmu. Foto pernikahanmu yang kau dokumentasikan juga lewat video. Pernikahanmu dengan seorang lelaki yang tak kukenal. Aku selalu terpaku bisu memandangi semua itu. Kau, betapa cantiknya mengenakan gaun putih yang aku tahu itu, kau pesan jauh hari sebelum pesta dilangsungkan. Dan dulu aku sempat membayangkan akulah akan bersanding di pelaminan bersamamu. Aku memakai jas yang hitam nan elegan yang sengaja--lagi-lagi kau pesankan, kau pilihkan.

Lalu. Kau berbulan madu di segala penjuru negeri yang indah, memetik candu kebahagian. Ah, aku tak bisa membayangkan itu. Karena aku ternyata tak sampai bisa bersamamu.

Sudahlah, aku malam ini adalah tamu untukmu. Mengendarai kesunyian rumah tangga. Ketika orang-orang sedang terlelap, aku menjengukmu. Tapi. Kau tak kutemukan sedang tidur terlelap malam ini. Bebarengan dengan suamimu itu. Kau malah sedang menangis di meja riasmu. Make up-mu luntur, berlumuran air mata. Aih, kenapa denganmu. Ada apa? Bolehkan waktu sedikit saja kutumpahkan kembali ke masa lalu. Agar kutahu apa yang membuatmu sedih begitu tersedu? Pilu.

***

Linda masih memegang tas kerja Rinto, sebelum pergi kerja. Kecup manis di bibirnya lebih dari kopi nikmat yang disuguhkan Linda untuk Rinto. Mereka baru saja menikah, sebulan lalu. Begitu manis setiap detiknya yang bergeser. Penuh kebersamaan. Makan pagi-siang-malam penuh pujian. Tidur malam tak lagi ada kesendirian. Cari uang begitu penuh semangat. Dan rumah, seakan berubah menjadi tempat bagai surga. Serasa waktu selalu berputar tetap di tempat yang sama. Tentang kebahagian dan cinta.

"Cepat pulang, Sayang!" Linda dengan wajahnya yang manis.

"Aku langsung pulang begitu jam kerja selesai."

Dilepasnya suami di mulut pintu. Lambaian tangan dan sejumput doa selalu terlintas begitu saja. Di lemparnya seketika. Bahkan punggungnya yang selalu didaki Linda itu tak pernah dibiarkan hilang dari tatapan. Ia pandang lekat-lekat punggung yang mulai menjauh itu. Yang kemudian hilang ditelan jarak atau menelikung di kelokan jalan.

Linda masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Dengan berharap suaminya akan mengetahuinya, bahwa ia begitu teramat mencintainya.

"Jaga rumah dan jangan ke mana-mana?" Pesan suaminya itu, bila ia hendak keluar rumah. Selalu mengiang di telinganya.

Linda memang seorang istri yang baik. Begitu suaminya keluar rumah untuk kerja ia tak pernah menyia-nyiakannya. Linda isi dengan segala rutinitas sebagai seorang istri pada umumnya. Membereskan rumah, mulai dari membersihkan perabotan dapur dengan mencucinya. Membersikan sofa dan lemari, ruang kerja. Mengepel lantai rumah. Dan merapihkan kamarnya. Mencuci pakaian. Menyiapkan masakan yang nanti akan disuguhkannya begitu suaminya itu pulang. Kadang ia mencoba menu masakan yang lain yang ia temukan resepnya di sebuah majalah. Semua itu hanya untuk membahagiakan suaminya.

Bila segala pekerjaan sudah selesai. Dan tak ada lagi yang musti diselesaikan. Mulai dari ruang depan sampai halaman belakang dibereskan, Linda terkadang menikmati album kenangan. Sebuah album yang begitu membuatnya sejuk. Ia pandang album itu seperti menemukan potongan masa lalu. Ia bolak-balik tanpa bosan. berulang-ulang. Hingga tak terasa waktu pun begitu saja meleos di sampingnya.

***

Rinto adalah lelaki yang tampan, menyukai kesederhanaan. Ia pekerja kantoran yang santai. Ia bekerja di sebuah penerbitan buku bacaan. Kadang tulisan-tulisannya dimuat di beberapa koran. Bertemu dengan Linda karena ulah kedua orang tua mereka. Karena bapaknya adalah sahabat karib semasa mudanya. Kebetulan juga mereka berasal dari kampung halaman yang sama, sebuah perdesaan yang dekat kekerabatannya, kuat darah pesaudaraan adat-istiadatnya.

"Jangan tangisi orang yang sudah meninggal!" Bapak Linda menasihati. Linda yang saat itu baru ditinggal mati kekasihnya. Kekasihnya yang sempat berjanji melamarnya.

Orang tua Linda sibuk dibuatnya. Karena pekerjaan anaknya hanya mengucurkan air mata sambil memandangi sebuah album yang selalu Linda bawa dan jaga ke mana-mana. Sebuah album yang bisa ia pandangai berjam-jam, berhari-hari. Hingga lupa makan. Dan seakan melupakan segelanya, termasuk hidupna. Akhirnya tak ada jalan keluarnya selain harus segera menggantikan orang yang dicintainya dengan yang lain. Agar bisa cepat melupakan lelaki yang ada pada album itu, kedua orang tuanya berniat menikahkan anaknya.

Hingga akhirnya dalam keterpurukan, kesedihan atas kematian, Rinto datang mengulurkan tangan dan harapan. Linda sekuat apa pun, pada saat itu merasa hancur akibat perpisahan yang begitu sangat memilukan. Hati Linda mencair juga, ketika melihat kesungguhan Rinto pada Linda dengan keterbukaannya dan perasaan menerima apa pun adanya. Linda luluh, dan memutuskan menikah. Cinta dicoba, dipupuk dengan penuh cita.

***

Bila Linda bosan menunggui suaminya, Rinto yang masih sibuk mengedit naskah di kantor, ia menelpon ibunya.

"Bu, bagaimana kabarnya? Bapak juga baik-baik saja!" Linda di seberang telpon rumah, bertanya kabar melepas kangen.

"Alhamdulillah. Kau sendiri dengan suamimu bagaimana kabarnya?" Ibu menjawab dengan suaranya yang khas. Begitu membuat Linda semakin kangen saja.

"Kami di sini baik semua berkat doa Ibu-Bapak. Bu, apakah pernah ada surat untukku yang diposkan ke rumah?" Linda akhirnya bertanya perkara yang selalu sama. Setiap kali menelpon rumah orang tuanya, selalu pertanyaan yang sama diajukannya. Dan ketika ibunya kembali bertanya "dari siapa?" Linda akan memberikan jawaban yang mengaburkan, kadang ia sekenanya saja. "Ya misalnya dari sahabatku atau dari beberapa panitia lomba yang sedang aku ikuti". Dan ketika ibunya menjawab tak pernah ada surat ditujukan padanya, Linda selalu kehilangan gairah bercakap-cakap lagi. Terasa sekali ia tak sesemangat perbincangannya yang pertama.

"Bu, kalau begitu Linda sudahi dulu, lain waktu Linda menelpon lagi. Linda mau ke dapur dulu." Menutup perbincangan anak dan ibu.

"Iya, kalau begitu ya sudah. Linda kamu jaga dirimu dan suamimu. Ingat jangan sampai begitu suamimu pulang rumah masih berantakan dan masakan belum siap dihidangkan. Beri suamimu kesan rumahmu, surgamu!" Ibu dengan nada menggebu-gebu akhirnya menutup telponnya, setelah Linda mengiyakan semua nasihatnya.

***

Bulan demi bulan menggenapkan almanak menjadi tahun. Dan hitungan delapan tahun pun menginjakkan usia pernikahan. Semula pada beberapa tahun pertama terasa kebahagian terbina. Segalanya penuh suka-cita. Namun, mengapa tak ada hidup tanpa ujian dan kegoyahan. Ketawakalan yang selalu rapuh. Kepasrahan yang selalu goyah. Rumah tangga kini seperti sebuah perahu yang dihuni dua orang melayari samudra, kadang harus tertumbuk karang, dihantam ombak kecil-besar, bahkan kadang badai besar. Tapi semua itu, setelah usai dan redam kadang selalu ada kebahagian. Hingga saat itu tiba, Rinto pernah memergoki Linda sedang asyik tersenyum sendirian memandangi sebuah album kenangan. Sebuah album yang berisi foto-foto lelaki yang dulu kekasih Linda. Lelaki yang hilang dan tiada sebelum masa reformasi tiba. Ketika semasih mahasiswa. Dalam album itu tampak sesosok lelaki yang sedang berduan dengan Linda--istrinya itu.

"Kau masih tidak bisa melupakannya. Kau anggap aku ini apa?" Rinto begitu marahnya. Sorot matanya yang merah menandakan bahwa ia benar-benar merasa telah diinjak-injak harga dirinya.

"Apa artinya pernikahan kita ini bila di pikiranmu masih ada lelaki lain, selain suamimu ini?" Rinto menghamburkan segala kekesalannya. Linda hanya bisa diam membisu seribu bahasa.

Linda merasa begitu bersalah. Ia kehabisan ulah. Dan entah apa lagi yang harus ia perbuat.

Semenjak pertengkaran itu, Rinto jadi jarang pulang. Makan di luar, kalau pun pulang sekadar mengganti pakaian dan pergi keluar lagi. Entah apa sebabnya hingga ia begitu murkanya. Tapi Linda bukan tidak merasa bersalah, dan tidak meminta maaf. Beribu kali ia meminta maaf pada suaminya. Tapi kini semua berbalik, Rinto selalu diam, tidak membuka mulutnya. Seakan-akan kesalahannya tak bisa dimaafkan. Padahal bila Rinto meminta sesuatu pada Linda untuk bisa memaafkannya, Linda akan berusaha mengabulkannya.

Hingga pada malam jahanam itu harus datang juga. Rinto dan Linda terlibat perselisihan hebat. Kata-kata yang tidak pantas keluar dari mulut mereka berdua. Kata-kata yang sering dipakai dalam pertengkaran seorang lelaki-perempuan dilanda kebencian. Kehilangan kepercayaan. Ketakcocokan. Saling menyalahkan satu sama lainnya. Rinto katanya telah menjalin hubungan dengan perempuan lain. Linda semakin menjadi-jadi dengan kebiasaannya memandangi lelaki pada album foto. Dan tidak dimungkiri lagi, Linda selalu bilang ia masih mengingat kekasihnya yang dulu, yang dianggap telah mati. Tapi Linda tidak percaya sepenuhnya. Ia meyakini kekasihnya masih hidup di luaran sana. Linda masih berharap kabar setidaknya secarik surat yang menjelaskan padanya, ketakbisaannya pulang menemuinya.

***

Rambut bulan, malam itu begitu indah tergerai, cahaya remang menyelinap masuk ke celah-celah rumah. Jalusi rumahmu tentunya juga tertembus. Atau bisa saja masuk ke jendelamu yang lupa kau tutup dengan gorden rapat-rapat. Aku memasuki rumahmu bebarengan dengan keremanganya, pula kesenyapan yang memahami perasaan perempuan. Aku sendiri tak tahu persis, malam itu aku merasakan hal yang sama denganmu. Kesedihan dan rasa ngilu, ketika cinta dikoyak-moyak. Aku lihat pasfoto yang biasa kau banggakan telah jatuh, pecah tergeletak di ruang tengah rumah. Pasfoto yang kau ceritakan dengan semangat dan berapi-api pada keluargamu dan sahabatmu. Foto pernikahanmu yang kau dokumentasikan juga lewat video. Pernikahanmu dengan seorang lelaki yang tak kukenal. Aku selalu terpaku bisu memandangi semua itu, Kau, betapa cantiknya mengenakan gaun putih yang aku tahu itu, kau pesan jauh hari sebelum pesta dilangsungkan. Dan dulu aku sempat membayangkan akulah akan bersanding di pelaminan bersamamu. Aku memakai jas yang hitam nan elegan yang sengaja lagi-lagi kau pesankan kau pilihkan.

Ada sisa pertengkaran hebat yang kau siratkan dari tangisanmu.

Tangisanmu seperti jerit luka yang sangat perih. Apakah ada yang melukaimu? Aku selalu ingin membahagiakanmu, dan tak ingin menyaksikanmu begitu terluka. Sedang aku, begitu tak berdaya.

"Kau kenapa masih terduduk menangis memandangi album kenangan itu? Album foto-foto kita berdua semasa remaja. Ketika dunia yang kita tumpangi sama?" Ketika kubertanya tentu saja kau tak mampu menangkap suara dari dunia yang berbeda.

***

"Aku masih mengharapkan kau menepati janjimu, melamarku." Linda mendekap album kenangannya. Yang masih ia bawa-bawa dan ia jaga. Air mata tak pernah bisa memuaskan hatinya.

"Kau tahu, Rinto yang selalu kuharapkan akan bisa menggantikanmu. Tadi pagi kusaksikan sedang berduaan dengan perempuan yang tak kukenal. Mereka berdua masuk ke sebuah penginapan. Setelah kubuntuti, dan kucari informasi, mereka memesan satu kamar. Dan betapa tak mengerti aku harus memahami."

Linda seperti sedang bercerita kepada seseorang. Mungkin ia hanya bisa menumpahkan kesedihannya pada album kenangannya. Berharap sesosok lelaki yang terpampang di lembaran album itu mendengarkan kisahnya.

November, 2008

Sabtu, 21 Februari 2009

Sajak-Sajak Alex R. Nainggolan

http://www.suarakarya-online.com/
Keluarga

i.
aku pernah masuk di situ
terkunci di dalam kamar
sekadar menggambar wajah ibu dan bapak
lalu hangat kenangan meledak
selalu ada nasihat, asin keringat, atau bentakan
yang berkisah jika tak perlu tersungut
pada kecengangan dunia
sebab hidup kecut, kata mereka
dan aku selalu menamai kembali setiap batas
lekuk silsilah, batang waktu yang selalu menggoda
tiba-tiba aku sudah dewasa
usia terperanjat membuka jendela
lantas tertawa

kunci pintu kamar sudah di saku
dapat kuputar kapan saja
menjelajah ke luar rumah

ii.
tapi beratus langkah jauh dari rumah
terasa ada kangen yang mendera
ingin kembali masuk
berpeluk pada setiap suluk
sudut ruangan yang kuingat dengan jelas
tempat diriku dulu kerap tertawa atau menangis sendirian

sementara hanya bisa kukenang
wajah-wajah adik yang berenang
waktu cepat mencumbu
kami berusaha untuk terus tumbuh

iii.
seperti ibu dulu menangis penuh gemetar
ayat-ayat suci mengalun
tangisnya melebih hujan
kini bagaikan kurengkuh kembali
rahimnya yang rapat dan hangat
berbagi ruang hidup
seluruh napasnya yang letup
barangkali cuma buatku

iv.
dan ayah acap tergesa
bekerja, melulu bekerja
masuk dalam rutinitas negara
di kepalanya ratusan arsip

tetapi kami selalu menunggunya
sepulang kerja
tak ada kerut lelah di matanya
menanti getar suaranya dengan dada yang berdebar
berkisah hal-hal biasa
"soal kantor tak perlu masuk ke rumah," katanya
"ia lebih baik tertinggal di beranda saja.
yang akan dijemput saat berangkat kerja."

maka tak pernah kudengar kisah-kisah seram tentang atasan
hanya dapat kurasakan hujan yang jatuh di halaman
atau hangat matahari menyapa akrab

v.
kini kami mesti menempuh jalan sendiri-sendiri
tenggelam dalam limbah kota
menggapai nasib
dan seperti kata ayah,
"soal kantor tak perlu masuk rumah. cuma buat kotor.
tinggalkan di beranda saja."

Jakarta, 2006



Mata Bundarmu
: cha-cha

di bayangan mata bundarmu
lipatan senyum yang polos
putaran waktu jadi penuh dengan hujan
musim tertawa riang, sehijau rumput sabana
irama suaramu yang belum jelas memanggil
acapkali bangunkanku dari mimpi buruk
menelusup ke setiap suluk
pada setiap malam tidurku

maka selalu kupanggil namamu, "cha-cha!"
supaya engkau sadar
aku selalu dekat denganmu
melindungimu ketika dunia kacau
dipenuhi berita racau
dari orang-orang kalap yang
dadanya bergumpal dendam

segalanya akan kuhalau!
jangan kau silau!
pada berhala dunia
jangan biarkan galau itu meradang, anakku!
jangan biarkan ia tumbuh di dalam hatimu!

ah, cha-cha di depan jalanmu masih penuh liku
setiap hari yang terputar selalu mengalungi lehermu
dengan bayangan gelap yang pengap
engkau cuma tinggal menunggu waktu

dan, aduh! mata bundarmu itu kembali mencumbu
melulu buat aku kangen akan tangismu

Jakarta, 23 Desember 2006



Tanjungkarang

yang tersimpan selalu wajah perempuan,
ramainya pasar di pagi hari, kerinduan saat hujan
datang, atau aroma asin pantaimu yang terik
tapi perih juga acap datang seperti membungkus segala
ingatan seperti saat kusayat kota itu
orang-orang yang hanya sekadar bertandang
tak pernah paham sedihmu yang sedang radang
mereka hanya asik berkisah
tentang harum pantai dan jangat matahari
yang tumbuh di kepala

namun ingin kupotret kembali liuk tanjungkarang
supaya ia tak cuma menjelma jadi bayang-bayang
di masa silam

Jakarta, 23 Desember 2006



Tutup Tahun

kini kujadwal ulang seluruh tubuh
menginap setahun di tempurung waktu
desember tertawa
renyah dan basah dalam hujan
saat kalender tahun lalu disimpan kembali
dalam gudang
berdebu
aus
diburu waktu!

sementara gudang hatiku telah bangkrut
segalanya menjelma jadi tumpukan hutang
yang tak pernah lunas dibayar
tahun ke tahun
desember ke desember

lalu hujan bertandang
mengobati kusam desember
hari-hari kembali terbingkai
jendela harapan di depan rumah
yang luput dibersihkan
debunya kian menebal
tak juga tanggal

Jakarta, Desember 2006



Berkawan Hujan

mungkin aku mesti berkawan dengan hujan
membiarkan binar air datang
menyapu letih perjalanan
biar aku kuyup
mengigil dengan tubuh yang gemetar

barangkali di tengah hujan
ada sedikit yang terbagi
sebungkus perih
yang lindap di tubuh ini

Jakarta, 27 Desember 2006



Hujan Akhir Desember

pada siapakah hujan bertamu?
saat desember hampir habis
ia meracau. terkadang lebat
atau gerimis seharian
mungkin tak lagi butuh
pesta mewah akhir tahun

genangan air, terus mencibir
seperti membuka lembaran baru
lalu menyimpannya di sepanjang jalan kota
kisah buruk macam apa lagi yang datang kembali?

Jakarta, 28 Desember 2006



Singgah

akhirnya januari singgah
selalu kutunggu engkau
duduk bercakap
merapikan kalimat sedih
yang melulu berkisah tentang
negeri orang mati

seperti letup terompet yang ditiup kanak-kanak
semestinya kita menandai lagi setiap jarak
acapkali membuat kita lupa
pada sejumput luka

dan kutanam januari
pada bening dua matamu
menghadapi hari
dari sekujur cemas yang beku

Jakarta, 1 Januari 2007



Terompet

engkau berlari
membawa cemas
menjauhi tiupan terompet
cemas dan mengelupas
pada seluruh perihmu

mungkin harapan tak lagi bugil
seperti kau temui di hari lampau
pada mimpi buruk yang buat tubuh
dipenuhi dengan gigil

hanya orang-orang berkerumun
menghitung detik
serupa pematik
yang akan nyalakan kobaran api
menit yang mengganti lembaran tahun
sebelum tiba segala yang berkabung
kisah-kisah jenuh menjelma jadi abu

Jakarta, 1 Januari 2007



Umur 25 Tahun

ia mengucapkan selamat tinggal
pada mimpi-mimpi paraunya
tak perlu lagi menghitung segala kenangan
setiap asal-muasal yang membuatnya tertikam sesal
terkadang rasa sakit menjepitnya berulang kali
seperti tak bisa diobati lagi
lalu mengingat semua pijar yang telah silam
namun yang didapatinya cuma jalan kelok
gelap hampa cahaya
padahal ia berulangkali mencari pintu
supaya sulur cahaya terbuka
entah berapa kunci lagi yang mesti diputarnya
sampai jenuh melepuh
dan ia istirahat di sana

Jakarta, 16 Januari 2007



Keringat Rumah

setiap kali memasuki rumah
tubuhnya berkeringat
cemas memejam
berlarian mengejar dirinya
dari beranda

pun ketika ia selesai mandi
peluhnya kembali rebah
buncah dalam puluhan teka-teki
yang tak usai digali

mengapa rasa takut kerap
membuatnya kambuh?
terjebak dalam sengat tubuh
yang membuatnya berulangkali lumpuh

ah, padahal ia cuma ingin
istirah sejenak
memecahkan teka-teki yang ada

Jakarta, Januari 2007



Jalan Lama

ditinggalkannya jalan lama
yang membuatnya ditikam sedih berkali
meski ia hapal betul setiap sudut
bau tanah atau kelokan
justru ia tak kunjung singgah kemana-mana
di situ, cuma ada bekas luka dan airmata
yang masih nganga
terasa hangat menembus dadanya
sementara orang-orang terus menghunus mata pisau
tak membawakan kisah-kisah bahagia

Jakarta, Januari 2007



Penyair Tengah Malam

aku menulis puisi
di malam yang diam
berita televisi masih saja berkobar api
tak jenuh disuguhinya kotak-kotak petaka

aku menulis puisi
orang-orang masih memeram mimpi
sengat oleh hujan yang penuh birahi
masih saja tak dimengerti
mengapa sunyi itu lindap kembali

aku menulis puisi
tak ada yang bisa kutangkap
selain igau dan imaji sesat
padahal aku kangen pada lembap bibirmu

aku menulis puisi
semua amarah menggumpal di otakku
malaikat pergi dari bahuku
tragedi demi tragedi ngoceh dan memungut setiap
galau yang makin kacau

Jakarta, Januari 2007

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae