Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Gelombang cerpen Indonesia mutakhir sungguh seperti gerak roda kereta; gemertak-keras-memekakkan, sangat beragam, bising dan kadang kala terlalu nyaring. Selepas Seno Gumira Ajidarma, Taufik Ikram Jamil, Gus tf Sakai, Joni Ariadinata, Agus Noor, Hudan Hidayat, Herlino Soleman, dan sederet panjang nama-nama yang acapkali menggelisahkan kita di hari Minggu, kini Teguh Winarsho AS coba meluncurkan antologi cerpennya. Meski namanya sudah sejak lama sering kita jumpai di banyak koran Minggu dan sejumlah tabloid atau majalah, sejauh pengamatan, kumpulan cerpennya Bidadari Bersayap Belati ini merupakan antologi pertamanya. Lalu, apakah kehadiran antologi ini sekadar semacam penggembira, menambah daftar nama dalam leksikon sastra --meski bukunya tak ikut terpanjang pada rak buku-- atau cukup signifikan dan dipandang boleh mewarnai peta konstelasi cerpen Indonesia?
Dalam konteks itu, keterpukauan pada nama besar sering malah menjerumuskan kita pada sikap apriori dan subjektif. Akibatnya, belum apa-apa kita sudah terpengaruh dan mengendurkan sikap kritis kita untuk mencermati ihwal estetikanya. Di sini pula, teks menjadi jauh lebih penting daripada nama. Nama besar jika ekornya jatuh pada karya yang biasa saja, tentu juga tidaklah sedap didengar. Sebaliknya, nama baru namun menyodorkan karya yang menjanjikan, niscaya bakal memberi secercah optimisme dan pengharapan; kelak, menorehkan bentuk estetika yang khas dan cerdas dalam karya-karya berikutnya. Jadi, terimalah Bidadari Bersayap Belati ini secara lebih objektif. Siapa tahu, dari situ kita memperoleh banyak hal dan pertanyaan: adakah di sana tersembul sebuah kecenderungan yang menjanjikan?
***
Antologi ini memuat 18 cerpen. Sebagian besarnya sangat mungkin pernah mengganggu pikiran para pembaca koran hari Minggu. Mengganggu pikiran, lantaran dari sejumlah cerpennya itu, kadang kala menyeruak teror psikologis dan gertak makhluk banal yang kejam; gaya teror yang sangat berbeda dengan teror mental model Putu Wijaya. Atau, pikiran kita tiba-tiba dihadapkan pada sosok raja tega, pelaku tindak kriminal, atau pembunuh yang sengaja menikmati suasana mencekam yang menerkam persekitarannya dengan enteng. Dari sudut ini, Teguh tampak punya keseriusan yang cukup menakjubkan. Kadang kala, ia menggerakkan tokoh-tokohnya dengan pelahan, bahkan terkesan terlalu tenang, tanpa memperlihatkan ketergopohannya; satu sikap yang penting ditumbuhkan dalam diri seorang cerpenis, agar perenungannya dapat lebih intens.
Kesabaran membangun alur cerita dan usahanya mengecoh horison harapan pembaca, sungguh merupakan modal yang sangat berharga. Dengan itu, dalam sejumlah besar cerpennya, Teguh berhasil membina alur ceritanya menyerupai kisah-kisah detektif; memanfaatkan benar berbagai kejutan dan menciptakan trik-trik yang mengecoh. Sebuah siasat yang sering menjadi model estetik cerita detektif.
Meski begitu, ke-18 cerpen yang termuat dalam antologi ini tidak ada satu pun yang menampilkan sosok tokoh spion atau detektif yang coba membongkar kasus pembunuhan. Teguh sekadar mengambil pola alurnya yang mengecoh itu. Maka, kisah tentang seorang ibu yang gila, ayah yang bandit, anak yang sama brengseknya, preman gendeng atau perselingkuhan yang busuk, semua nyaris selalu berakhir dengan peristiwa yang tidak terduga; surprise yang menjengkelkan atau kejutan yang piawai.
Secara tematis, ada hal baru yang tampak hendak disodorkan antologi ini: dunia hitam dengan naluri-naluri gelapnya. Sememangnya tema model ini pernah juga diangkat beberapa cerpenis kita. Joni Ariadinata dalam Kali Mati (1999), tercatat salah satu di antaranya yang menonjol. Gambaran orang-orang marjinal yang tergusur, sebagaimana yang diangkat Ariadinata lebih dekat pada keliaran kaum gelandangan. Sementara Teguh, coba menyentuh kehidupan yang serba buas dan bergelimang teror: dunia pelacuran, perselingkuhan, ketertindasan dan penindasan perempuan, naluri lesbian dan homoseks, atau kegelisahan para preman. Dengan begitu, pikiran kita dibawa pada suasana yang terasa selalu dikejar teror psikologis; ketakutan, kecemasan, kepanikan, keteraniayaan, dan serangkaian peristiwa rencana pembunuhan. Kita seolah-olah sengaja dihadapkan pada bayangan tubuh yang bersimbah darah dan melesatnya roh yang mengejang kematian: segalanya menjadi begitu tragis. Dalam dunia yang demikian itu, nyawa manusia sungguh seperti tak punya makna apa-apa dan jasadnya boleh saja diperlakukan seenaknya menjadi alat permainan.
Jika ditarik lewat sebuah garis, antologi ini dapat dibagi ke dalam tema-tema besar yang mengangkat dunia wanita dalam sudut pandang yang gelap, kehidupan preman yang lebih gelap lagi, hubungan seks yang menyimpang atau naluri premanisme yang dapat menggoda siapa saja. Dilihat dari perspektif gender, kebusukan dunia wanita cenderung dihadirkan tidak berdiri sendiri. Ada penganiayaan dan ketidakadilan yang yang melatarbelakanginya, dan itu ditimpakan kaum lelaki pada kehidupan perempuan. Dengan begitu, kegelapan kehidupan kaum perempuan yang digambarkan dalam lebih dari separoh cerpen dalam antologi ini, semata-mata lantaran kebusukan lelaki. Dalam hal ini, Teguh agaknya hendak memprotes perlakuan itu, meski ia mengangkatnya lewat sisi gelap; sebuah keberpihakan gender yang ditampilkan secara paradoksal.
Bagaimana, misalnya, pilihan menjadi pelacur semata-mata untuk menggenapkan dosa ayah-ibu; atau pengabdian dan kesetiaan seorang istri kepada suami diejawantahkan lewat sajian hidangan kepala manusia, dan masih banyak peristiwa lain yang justru mencitrakan sosok perempuan dengan sejumlah naluri manusia-binatang. Maka, mencermati antologi ini patutlah kita menyiapkan kearifan (wisdom) dan menafsirkannya melalui logika akibat-sebab atau lewat perspektif gender jika hendak ditempatkan dalam konteks kritik sosial.
Sungguhpun begitu, dalam cerpen “Ibu: Hantu Sepanjang Hari,” “Iblis di Kepala Manusia,” “Ular Betina,” dan “Embun Cinta dan Sepasang Sayap Jelita” kita justru merasakan adanya kegeraman narator pada sosok seorang ibu. Ada dendam mendalam pada perlakuan biadab. Citra yang memancar dari keempat cerpen itu terkesan sebagai salah satu bentuk kesumat kegagalan seorang wanita menjadi ibu. Barangkali, inilah citra seorang ibu yang digambarkan paling busuk yang pernah muncul dalam cerpen Indonesia. Dalam konteks ini, Teguh tidak sekadar melawan prototipe dan pandangan klise tentang citra seorang ibu, tetapi juga menyodorkan model kritik sosial yang agaknya sengaja dibungkus dalam serangkaian peristiwa mengancam yang memaksa kita memasuki suasana tegangan yang mengasyikkan.
***
Model seperti tadi, tentu saja berbeda ketika kita mencermati cerpen-cerpen yang mengangkat premanisme atau kehidupan rumah tangga seorang preman. Digambarkan, bagaimana sosok raja tega menikmati keadaan jasad istrinya –lidah menjulur dengan mata melotot—yang mati dijerat tali jemuran (“Menjadi Mayat”), ayah yang tak sadar memperkosa anak gadisnya (“Ning di Mulut Harimau”) atau ayah yang berhasrat besar membunuh anak sendiri (“Televisi”). Dari kacamata moralitas, tentu perilaku yang demikian itu tak masuk daftar. Tetapi, penggambaran kesadisan itu memberi penyadaran kepada diri kita untuk melakukan retrospeksi, betapa keadaan itu sesungguhnya banyak terjadi dalam kehidupan kita dewasa ini. Dan Teguh sekadar mencoba memotret problem sosial itu. Persoalannya tinggal bergantung pada sensitivitas kita dalam menanggapinya; membiarkan kondisi masyarakat kita tetap carut marut seperti itu atau memusuhinya?
***
Bagaimanapun juga, sadar atau tidak, cerpen (sastra) dapat diperlakukan sebagai dunia alternatif ketika saluran-saluran komunikasi yang legal, tidak berfungsi. Sastra lalu berkesempatan untuk menawarkan dunia lain sebagai salah satu bentuk pemihakan atas diri manusia dan kemanusiaan dalam lingkaran problem sosial. Di sinilah, sastrawan punya caranya sendiri untuk melakukan pemihakan. Jika ia berteriak lantang menentang ketidakadilan dan penganiayaan, maka ia akan terjerumus pada propaganda dan dakwah. Karyanya akan hanyut dalam arus deras makna yang artifisial.
Sebaliknya, jika pemihakannya dikemas dengan halus dan pembelaannya pada manusia dan kemanusiaan disembunyikan dalam substansi cerita, maka sangat boleh jadi pembaca tak cukup jeli menangkap pesan estetiknya. Atau mungkin juga, pembaca tanpa sadar, ikut melakukan pemihakan dan tergoda menentang kebrengsekan dan ketakadilan. Di sinilah, sastra memainkan fungsinya. Ia tak perlu berkhotbah. Juga tak usah berbusa-busa membual macam tukang obat kaki lima. Sastra cukuplah menyajikan satu sisi potret sosial macam apapun kondisinya. Bahwa ia menyajikan potret buram, gelap, abu-abu, atau panorama indah yang cerah ceria, makna pesannya (massage) bukanlah terletak pada bentuk luarnya, melainkan pada sesuatu yang berada di balik itu.
Dalam jalur yang menampilkan sisi gelap, periksa saja, misalnya, kejorokan para penumpang kereta sebagaimana yang diangkat Idrus (“Kota-Harmoni”) atau kebusukan para gembel dalam “Lampor” atau Kali Mati, Joni Ariadinata. Apanya yang indah dari pelukisan Idrus tentang bau keringat dan terasi serta kaca jendela kereta yang penuh bekas ludah dan air sirih? Apanya yang menakjubkan dari deskripsi lumpur kental air comberan, belatung, dan bangkai binatang yang mengapung seperti yang dapat kita cermati dalam sejumlah cerpen Ariadinata? Estetika model apa pula yang ditawarkan Luxun ketika ia menguak kebringasan dan naluri liar seorang gila? Bagaimana pula Naguib Mahfouz yang mengumbar imajinasi dengan begitu beringas seperti sengaja lepas kendali?
Niscaya, kita masih dapat menderetkan contoh yang lebih panjang lagi perihal pesan moral dan nilai estetik yang ditawarkan sastrawan di belahan bumi ini. Bagaimana pula dengan antologi Bidadari Bersayap Belati yang menampilkan kebusukan perilaku manusia-binatang? Di manakah letak moralitasnya ketika Teguh bercerita tentang manusia-manusia yang justru tidak bermoral, biadab dan berhati iblis?
Dengan mengangkat tokoh-tokoh macam itu, Teguh sesungguhnya mengajak kita untuk memusuhi perilaku iblis macam yang digambarkannya. Itulah pesan moralnya, jika Bidadari Bersayap Belati hendak dikaitkan dengan persoalan moralitas. Dalam penggambaran manusia-binatang yang berperilaku iblis itu pula letak salah satu nilai estetiknya, di antara unsur intrinsik lainnya yang membangun struktur karya yang bersangkutan. Di situ pula kita secara proporsional dapat menempatkan Bidadari Bersayap Belati ini sebagai karya imajinatif, buah refleksi evaluatif atas problem sosial kita yang sudah mencapai ambang gawat.
***
Sesungguhnya, banyak hal dapat kita diskusikan atas kehadiran antologi Bidadari Bersayap Belati ini. Boleh jadi, sejumlah cerpen yang mengangkat tema-tema beringas dalam antologi ini bakal mengundang reaksi dan kontroversi. Justru di situlah, sastra mempertegas kembali fungsinya. Maka, anggap sajalah antologi ini sebagai provokator yang siap menjalankan tugasnya. Jika ia melakukan teror pada rasa kemanusiaan kita, eloklah kita tidak tergoda untuk melakukan kerusuhan!
Bojonggede, 18 Agustus 2002
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar