Krakatoa : The Day the World Exploded, 27th August 1883
Penulis: Simon Winchester
Peresensi: Laksmi Pamuntja
http://majalah.tempointeraktif.com/
Bayangkan, untuk sementara: sebuah pendakian yang kita semua tahu puncaknya, tampat di setiap cabang jalan ada cerita. Tapi kita tahu kita bukan Odysseus, jadi kita tahu ini semua bonus. Dan bukan sembarang bonus: sang pengarang adalah seorang terpelajar. Maka, kita menemukan sebuah kutipan pembuka dari The Prince, buku Antoine de Saint Exupery yang bijaksana itu. Sekelumit mengenai Jan Pieterszoon Coen, pendiri Hindia Belanda, dan wataknya yang “asli”. Apa yang tersirat dalam hubungan Charles Darwin dan Alfred Russell Wallace; bagaimana geologi dan biologi bertaut dalam kehidupan di atas bumi. Lalu, tiba-tiba: sebuah bab mengenai seekor gajah sirkus yang marah, yang diusir dari “kamar”-nya di Hotel Des Indes. Ke mana pun kita dibawa, ada terang--dan rasa girang yang terbetik: kita sadar kita dapat memakai informasi tersebut, kapan saja, dalam obrolan warung kopi atau dalam basa-basi resepsi. Seperti yang dikatakan sendiri oleh pengarangnya, Simon Winchester, “(Buku ini) populer karena alasan yang benar; orang belajar sesuatu darinya.” (“It’s popular for the right reason, people learn from it.”)
Selebihnya: sejarah bumbu-bumbu, sejarah tanam-tanaman, sejarah orang-orang asing di Indonesia. Dan karena sejarah tidak pernah berdiri sendiri, sebuah ulasan mengenai lada dengan cepat meruah ke sejarah penjajahan Belanda oleh Spanyol; sepasang paragraf singkat mengenai burung-burung tropis segera membentang ke teori evolusi. Sangat terampil, penguraian benang ini, sehingga sejarah tampil luas sekaligus khusus, akbar sekaligus sederhana. Krakatoa dihamparkan bagaikan sebuah pentas, dengan bayangan gunung sebagai layar: unsur-unsurnya pun muncul satu-satu, berdiri sendiri, dengan masing-masing keanehan dan keistimewaannya.
Tapi sang pengarang tak berhenti di situ. Apabila topik bisa beragam, menyebar ke segala arah, kenapa gaya harus tunggal dan mengikat? Lebih jauh lagi: buat apa memilih antara fiksi, penulisan sejarah, atau autobiografi kalau ketiga-tiganya bisa bersenyawa dengan enteng dan tanpa beban? Maka, kita temukan bagian-bagian yang hangat, lucu, pribadi: pengalaman sang pengarang di Greenland, misalnya, ketika ia, pada usia 21 tahun, ikut sebuah ekspedisi yang berhasil mengumpulkan “bukti-bukti pertama adanya arus kontinental". Tak disadari teknik ini membangun keintiman dengan “publik” layaknya sebuah lakon teater, sehingga orang bisa berbetah-betah melancong dalam teks hingga tak terasa lebih dari 200 halaman telah lalu.
Lalu, mengapa Krakatau? Kita diberi tahu: dari Bogota sampai Washington, barometer guncang tak keruan; suara kehancuran terdengar sampai Australia dan India. Debu berseliweran selama bertahun-tahun, suhu udara turun drastis, mayat hanyut jauh, sampai di Pantai Zanzibar. Tapi, seperti diakui sang pengarang sendiri, letusan yang terjadi pada 27 November 1883 itu--yang memakan korban setidaknya 35 ribu jiwa--bukanlah yang terhebat di dunia. Dari hampir segala segi, Gunung Tambora menang telak: kekuatan ledakan, jumlah korban, bahkan efeknya terhadap cuaca, yang sering dikaitkan dengan kegagalan panen yang menyebabkan bencana kelaparan dan kegelisahan sosial yang berlarut-larut di Eropa. Tapi, tampaknya, ada perbedaan yang penting di sini: Letusan Krakatau, menurut si pengarang, adalah bencana pertama yang terjadi saat dunia “sudah berubah”, saat teknologi komunikasi telah mampu menangkap sebuah derita lokal dan menyebarluaskannya ke segala pelosok dunia, saat peradaban baru membawa semakin banyak manusia-manusia yang mencatat.
Pada akhirnya, memang, yang paling menarik dari Krakatoa adalah bab 8, atau halaman 210 dan seterusnya. Dari pesona wisata bab-bab sebelumnya, dengan segala rupa peta dan ilustrasi yang cantik, narasi terasa mengetat, menegang. Inilah saat kita sampai pada keyakinan lain sang pengarang: letusan Gunung Krakatau menghadirkan momen ketika konfederasi-konfederasi sejarah, sejarah sebagai ruang yang rasis dan eksklusif, seakan bertaut dalam
sebuah gelombang kebersamaan. Pada saat itulah, kata Winchester di halaman enam, lahirlah fenomena modern bernama dusun global ("the modern phenomenon as
the global village was born").
Dan mungkin, kita akan membiarkan diri sejenak terpesona: kita ingin yakin bahwa Krakatau penting karena ia adalah jenak pertama ketika sebuah peristiwa alam yang terisolasi membawa dampak yang dapat dirasakan di seluruh dunia. Karena ia bicara bukan saja mengenai sebuah laporan resmi setebal 494 halaman, tapi juga sebuah perayaan segala fenomena optikal pada atmosfer bumi: warna-warni rembulan dan matahari, pendar seribu cahaya, tekstur senjakala, dan lukisan-lukisan indah yang bermunculan di beberapa pelosok dunia.
Kita ingin yakin Krakatau penting karena ia mendedahkan segala ihwal yang berlanjut sampai masa kini: global warming, greenhouse gases, acid rain, ecological interdependence. Sebab, melaluinya, tertera sebuah corak peradaban yang kelak akan dibahas oleh seorang Edward Said, corak yang, kalau kita percaya Winchester, seakan selalu dapat diatasi oleh biologi sebagai kemenangan alam semesta atas desain manusia.
Pada akhirnya memang terserah kita. Paling tidak, Winchester tak menutup mata pada praktek-praktek yang menggelikan, bahkan yang absurd, mengenai imperialisme Barat. Dengan kombinasi humor dan kemampuan menertawakan diri khas bangsanya, ia menghadirkan ironi dan pathos mengenai sikap Kerajaan Inggris (aspek "imperial busybodiedness"-nya) dalam hubungannya dengan dunia terbelakang. Diceritakan bagaimana, di hadapan Royal Society, seorang Robert Scott dari Badan Metereologi beserta atasannya menyampaikan laporan dari pelbagai kota di dunia mengenai arus gelombang yang tak lazim di sekeliling planet, yang berlangsung lima belas hari berturut-turut. Bagaimana salah satu lembaga tertua dan paling dihormati di Inggris tersebut kemudian meluncurkan investigasi mendalam mengenai fenomena Krakatau. Selebihnya, kejadian demi kejadian, kesaksian demi kesaksian--dari para kapten kapal, birokrat pemerintah, dan kepala pelabuhan--dihimpun dengan insting seorang penulis cerita misteri yang piawai. Detail dan atmosfer, gemuruh dan darah, horor dan ketakutan, semua disajikan dengan lancar. Semua ilmu yang relevan disingkap: vulkanologi (ilmu gunung berapi), orogeni (ilmu formasi gunung), meteorologi (ilmu cuaca). Catatan barometrik, gaung ledakan, tak ada yang luput tak dibahas. Memang, sang pengarang tak selalu benar: sekuen kedatangan flora dan fauna di katulistiwa, misalnya, tak sesuai dengan teori evolusi yang dipujanya. Tapi kita tak urung terpesona.
Terutama karena tersirat upaya untuk menghindari klise. Kita hargai sang pengarang yang bergulat dengan metafora (bicara mengenai telegrafi, misalnya, ia menulis “coded voices hurrying along the sea floor”. Mengenai kekacauan alat-alat pengukur magnetik di sekitar kawah, ia menyebut “falling ash was rich in iron, like a blizzard of tiny compasses.”), dan menjauhi kata-kata sifat yang malas seperti “gorgeous” atau “stunning". Penguasaannya atas fisika dan cara kerja alam menghasilkan puitika yang membumi dan jauh dari abstrak. Sesekali, kita teringat seorang Brodsky.
Tapi, ada dua masalah utama. Yang pertama, konvensi. Sastra hybrid, sebuah persandingan ringkih antara fakta dan fiksi (yang dikenal dengan sebutan “faction”), bukanlah sesuatu yang baru dalam sastra--ingat W.G. Sebald? John Banville dalam Dr. Copernicus? Tapi si pengarang begitu cepat sukses--dua karyanya, The Professor and the Madman dan A Map that Changed the World , meledak di pasar, sehingga pembaca mungkin tak lagi ambil pusing mengenai riset yang seimbang, atau mengenai bukti sejarah. Ia telah begitu kukuh dalam genre yang dipopulerkannya, hingga tak jarang yang seni melumat yang sendi. Namun, ada sesuatu yang sulit dikompromikan ketika sebuah karya dijajakan sebagai “non-fiksi”. Begitu kata “sejarah” diucapkan, ada sesuatu yang mengikat: fakta. Bagi para penganut model empiris, sejarah harus sepenuhnya mengacu pada "realitas masa lalu". Imajinasi--bahkan untuk sebuah pendekatan yang “interpretatif” terhadap sebuah dokumen sejarah sekalipun--tak punya tempat dalam rekonstruksi sejarah karena imajinasi sama dengan “yang tidak empiris”. Di sinilah Winchester berbeda dengan W.G. Sebald (yang kebetulan dikaguminya), si penyair tangguh yang tetap bersikukuh pada “fiksi".
Memang, Simon Winchester seakan menolak ini semua. Mungkin, ia melihat masa lalu sebagai sesuatu yang telah hilang, pupus; dan sejarah sebagai apa yang dibaca oleh para sejarawan mengenai masa lalu tersebut. Mungkin juga, ia melihat hubungan erat antara penulisan sejarah dan sastra: bagaimana sejarah memerlukan narasi yang menghubungkan filsafat, politik, moralitas, nilai-nilai sosial, konsepsi baik-buruk, sesuatu yang harus diciptakan, dibangun, dan dibentuk, agar apa yang kita dapatkan adalah “pengetahuan sejarah”, bukan sekadar kumpulan fakta yang campur aduk. Mungkin juga, pertimbangan yang lebih prosaik: bagaimana mempopulerkan yang kompleks? Bagaimana mengajak pembaca belajar hal-hal yang baru sembari menikmati pengalaman rekreatif?
Persoalan kedua yang kemudian timbul: teks sebagai fakta atau teks sebagai teks? Winchester mengisyaratkan dua-duanya; dalam soal riset, ia sungguh seorang perajin. Ketelatenannya menggali bahan impresif, terutama catatan dan kesaksian orang-orang asing yang berada di sekitar Krakatau saat letusan terjadi. Begitu impresif, bahkan sampai ada sesuatu yang tertindas: suara orang Indonesia. Dalam dua kunjungan ke Indonesia, pada awal tahun 1970-an dan pertengahan tahun 90-an, ia memang sempat menemui Romo Adolf Heuken dan Profesor Sartono Kartodirdjo. Selebihnya, informasi seputar pemberontakan orang Banten terhadap Belanda di tahun 1888 berasal murni dari karya-karya peneliti asing. Mengecewakan? Tentu: karena bagian ini adalah bagian dari argumen sentralnya mengenai mengapa Krakatau: letusan Krakatau, dikatakannya, telah memicu militansi Islam terhadap penjajahan Belanda (terutama melalui insiden Pemberontakan Petani Banten tahun 1888) yang terus berlanjut sampai kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949 (hlm. 325).
Winchester mungkin benar, sejauh bahwa sebelum 1888 tidak ada gerakan yang bisa disebut secara spesifik sebagai gerakan “Islam” menentang Belanda. Jauh sebelum Banten bergolak, ada Imam Bonjol dengan Perang Padri-nya, walaupun tujuannya lebih purifikasi--melawan tradisi lokal yang dianggap “tak-Islam”--bukan perlawanan terhadap Belanda per se. Perang Diponegoro lebih mengenai ketidakpuasan sosial (dan juga pribadi): soal tanah, penentangan kaum petani terhadap beberapa kebijakan Belanda yang timpang (seperti sistem pacht), kemarahan terhadap krisis moral di istana. Tapi ke-”Islam”-an perang ini ibarat sebatas turban dan jubah: autobiografi Diponegoro menunjukkan bahwa pemikirannya sangat Hindu. Dalam kasus Banten, kemungkinan ini--Islam sebagai simbol pemersatu, bukan sebagai dasar perjuangan--tak pernah didalami oleh Winchester. Juga tak disinggung, sejarah panjang konfIik Islam dan Kristen, gerakan anti kolonialisme yang marak pada akhir abad ke-19.
Di sini terkesan high concept mendahului fakta. Tema dipilih setelah memenuhi beberapa pertimbangan, baik personal maupun pasar, terutama pasar. Dan sejarah pun dirampat ke dalamnya, rapi, rata, dengan tafsir yang tunggal. Saya teringat pertengahan tahun 1997, ketika dua film akbar Hollywood mengenai ledakan gunung berapi, Volcano dan Dante’s Peak, beradu di pasar dan, betapa di tengah gemuruh sound effects dan merah sungai lava, kita harus memilih antara Tommy Lee Jones dan Pierce Brosnan. Sekarang, kita tahu, dunia semakin bengis, dan semakin berbeda dari satu sama lain dalam identitas-identitasnya. Peristiwa 911 dan “terorisme dengan bendera Islam” telah membawa pengertian lain mengenai yang universal dan yang partikular, dan datanglah Simon Winchester sebagai banyak hal sekaligus: penulis, geolog, sejarawan, ahli Islam--dan, mungkin, calon produser film. Sebagaimana kebanyakan produser film aliran blockbuster tahu bahwa bencana selalu merupakan komoditas "panas", apalagi bencana yang berperan sebagai katarsis bagi segala ketakutan, kegelisahan, dan ekses modernitas dalam diri kita.
Mengecewakan? Sekali lagi, ya. Terutama karena kita bisa merasakan dari awal upaya sang pengarang untuk menahan diri terhadap asumsi-asumsi Orientalis, sesuatu yang tak mudah dalam sebuah karya yang sepenuhnya merupakan "sejarah Indonesia dari kacamata orang Eropa". Pemberontakan kaum petani Banten boleh jadi cukup signifikan. Tapi tidak jelas apakah ia bisa disebut sebuah “gerakan Islam”, dan sejauh mana Krakatau hanya merupakan simbol perjuangan yang convenient. Sementara kita tahu bahwa sejarah tak pernah ditentukan oleh keringat darah satu golongan atau satu lokalitas semata. Sebagaimana kita tahu orang “Jawa”, yang dalam deskripsi Winchester menganggap letusan gunung berapi sebagai sesuatu yang lebih besar dari sebuah ekspresi kegusaran para dewa yang sedang marah (“more than simple expressions of dismay by distempered deities.”), bukanlah sebuah identitas yang homogen, yang serta-merta menganggap gunung berapi sebagai tempat Tuhan meletakkan iradah-Nya. Namun, agaknya itulah kesimpulan Winchester: “Dengan adanya kepercayaan ini,” tulisnya, ”tidaklah berlebihan apabila dikatakan “pengorbanan diri” Gunung Krakatau mempunyai sebuah arti yang dalam (bagi orang-orang Jawa).”
Dalam Krakatoa, pertanyaan-pertanyaan kita ditanyakan tapi sekaligus tak dijawab. Mungkin, sikap inilah yang sering menjengkelkan kalangan akademis. Seolah-olah sebuah tesis yang lurus tegas sudah dengan sendirinya merupakan sesuatu yang beharga, yang tak perlu lagi disangga oleh argumen-argumen pendukung.
Diceritakan bagaimana eskalasi kebencian dimulai di Serang, ketika seorang opsir muda Belanda yang sedang membeli rokok tiba-tiba ditikam dari belakang, berkali-kali, oleh seorang pria yang “berjanggut” dan “berbaju putih”, dan bagaimana hal yang sama terulang enam minggu berikutnya. Diceritakan juga bagaimana sebuah keyakinan mulai merasuk mengenai “sebuah letupan kemarahan fanatis yang aneh". Dalam bahasanya yang gamang dalam mendiskusikan “Islam” sebagai sebuah konstruksi sosial-politis, jelas Winchester memasuki sebuah zona yang asing, abstrak, tak-yakin. Yang tersisa adalah klise: detail penyiksaan yang menggambarkan Islam sebagai kaum yang buas dan haus darah.
Pada akhirnya, salah atau benar, ia menunjukkan sendiri betapa semunya konsep global village dalam ramalan Marshall McLuhan tersebut, global village sebagai sebuah satuan geografis yang sepenuhnya terbuka, tanpa batas, tanpa curiga. Globalisasi sebagai bentuk imperialisme baru pada akhirnya toh lebih mengenai teknologi informasi, pasar, dan modal yang dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya dengan cepat. Kontak dengan yang-lain selalu, sadar atau tidak sadar, mempertajam kesadaran teritorial, mengukuhkan identitas. Seperti Islam yang bangkit melawan penjajah, atau seorang pembaca Indonesia yang mempertanyakan kualifikasi seorang penulis Inggris yang “berani” menafsirkan kita.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar