Ahmad Sahal
http://majalah.tempointeraktif.com/
Setiap kali membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer, saya selalu merasa kagum, tapi juga sekaligus terganggu. Saya mengagumi karya-karyanya, yang secara persisten melantunkan humanisme. Pram mengakui berguru kepada Multatuli, pengarang Max Havelaar, yang mengatakan bahwa tugas manusia adalah menjadi manusia. Dalam karyanya, Pram selalu menampilkan revolutionary hero yang menentang pelbagai situasi tidak manusiawi yang datang dari tradisi, seperti feodalisme priayi Jawa, maupun dari pihak asing, seperti kolonialisme dan imperialisme.
Betapa tidak manusiawi-nya feodalisme bisa dibaca dalam Bumi Manusia, yakni ketika Minke, anak Bupati yang telah belajar pengetahuan Eropa, merasa terhina sekali waktu bertemu ayahnya: "harus merangkak, berengsot seperti keong, dan menyembah seorang raja kecil yang, barangkali, buta huruf pula…." Kolonialisme juga tidak manusiawi karena, di samping sistem itu sendiri menindas dan mengisap, ia membentuk orang semacam Sa'aman (dalam Blora), yang akibat penganiayaan kolonial akhirnya dikuasai dendam sehingga menjadi jahat. Kolonialisme jugalah yang melahirkan pegawai yang korup (dalam Korupsi) dan Pangemanan, polisi pribumi yang mengontrol Minke dan gerakan kebangsaan (dalam Rumah Kaca).
Namun, saya terganggu manakala menengok pandangannya tentang kesenian. Dalam prasarannya yang bertajuk "Realisme-Sosialis dan Sastra Indonesia", di UI, pada 1963, Pram menyerukan paham realisme-sosialis dan menggasak humanisme universal. Di mata Pram, humanisme universal adalah humanisme individualis-borjuis yang melemahkan cita-cita revolusi karena membawakan pesimisme dan negativisme, cerminan bagi suara kapitalis Barat yang kehilangan tanah jajahan. Sementara itu, realisme-sosialis berwatak optimistis dan menentang kapitalisme dan imperialisme. Pram lalu menyatakan, dan ini yang membuat saya terganggu, salah satu watak realisme-sosialis adalah sikap militan yang ia kutip dari Maxim Gorky: if the enemy does not surrender, he must be destroyed. Militansi semacam inilah yang tampaknya menjadi gaya Pram ketika mengasuh Lentera.
Ketika Pram ditanya kenapa dulu di Lentera menyerukan agar penulis yang tidak berpihak pada the perspiring and toiling masses "dibabat" dan "tidak perlu diberikan luang sekecil-kecilnya pun", argumennya ternyata berbau security approach. Menurutnya, saat itu Soekarno sedang terancam dan negara dalam bahaya. Karena itu, seni yang tidak mendukung revolusi harus minggir.
Di samping itu, Pram juga menyebutkan alasan pribadi: waktu pegang Lentera, ia sangat marah pada militer dan semua yang diperalat oleh militer karena penahanan atas dirinya yang semena-mena. Dan Lentera penuh dengan kemarahannya. Jadi, persoalan pribadilah yang menyebabkannya.
Tentu saja, alasan personal yang dilontarkan Pram tersebut tak bisa diabaikan begitu saja. Tapi, alangkah baiknya kalau sekarang pertikaian antara realisme sosialis (Lekra) dan humanisme universal (manifes) tidak hanya berkubang pada urusan pribadi "orang itu-itu saja". Ini bukan soal Pram pribadi. Karena itu, saya tidak setuju desakan agar Pram meminta maaf, bukan saja lantaran Pram sendiri tidak merasa salah, melainkan juga karena represi yang sangat kejam dari rezim Orde Baru atas dirinya sangat tidak sebanding dengan apa pun yang dilakukannya.
Pertikaian itu harus diangkat pada level debat yang bersifat teoretis. Untuk menjawab kenapa realisme-sosialis membawa militansi ala Gorky dan kenapa mereka menganggap humanisme universal dekaden, ada baiknya kita melihat perdebatan pada awal abad ini di Eropa antara realisme sosialis dan modernisme dalam seni. Pandangan realisme sosialis tentang humanisme universal sejajar dengan pandangan mereka tentang seni modern.
Militansi model Gorky sebenarnya tidak menjadi unsur inheren dalam realisme sosialis. Realisme-sosialis adalah bagian dari satu proyek (atau mitos) emansipasi manusia, yakni komunisme. Dalam komunisme, kemerdekaan kini dan kebebasan hari ini harus ditunda dan dikorbankan demi kemerdekaan bersama hari depan.
Andrei Zhdanov, konseptor realisme-sosialis yang juga dikutip Pramoedya, menegaskan, sastra harus melukiskan kenyataan historis-kongkret dalam perkembangan revolusionernya demi pembentukan ideologi dan semangat sosialisme kaum buruh. Sastra harus bertendens dan optimistis. Jargon yang sering dipakai adalah "politik sebagai panglima". Ketika kemudian realisme-sosialis menjadi "paham resmi" komunisme, di sinilah totalisasi terjadi dan militansi Gorky bekerja. Sastra yang tak hendak membuang kebebasan hari ini demi kebebasan bersama hari depan, sastra yang tidak menempatkan politik sebagai panglima bukan saja bakal tidak mendapat tempat, tapi juga akan dibabat.
Sementara itu, penilaian negatif terhadap seni modern sudah muncul sebelum Zhdanov, yakni dari Georgy Lukacs. Lukacs menyatakan, seni haruslah melukiskan keharmonisan totalitas kenyataan yang sekarang ini mengalami fragmentasi dan tercabik-cabik akibat sistem kapitalisme. Fragmentasi itu terjadi karena dalam kapitalisme, segala aspek kehidupan mengalami reifikasi (pembendaan) sehingga hubungan antarmanusia berubah menjadi hubungan antarbenda.
Realisme-sosialis dianggap oleh Lukacs mampu mencerminkan totalitas yang hilang tersebut. Sementara itu, surealisme, Dada, dan kaum avant-garde yang asyik dengan montase, keserentakan, ambiguitas, ketidakpastian, dan lebih berkutat pada medium seni ketimbang isinya dilihat oleh Lukacs hanya berhenti pada realitas yang terpecah-pecah, yang ter-reifikasi. Lukacs juga menyerang seni modern, terutama ekspresionisme Jerman, karena dianggap mengandung cetusan irasionalisme, padahal irasionalisme pada akhirnya menjerumuskan orang ke dalam fasisme. Lukacs lalu mencap seni modern sebagai dekaden.
Anehnya, pandangan bahwa seni modern membawa pesimisme dan dekadensi tidak hanya datang dari kaum realisme-sosialis. Sutan Takdir Alisjahbana, sastrawan yang menjadi salah satu target serangan Pram, ternyata punya pendirian yang kurang lebih sama, meski dari jurusan yang lain. Bagi Takdir, kesenian harus turut dalam reconstructie arbeid, kerja pembangunan dan modernisasi sosial. Seni harus punya tanggung jawab sosial. Seni tidak boleh untuk seni itu sendiri, tidak boleh individualistis. Karena itu, Takdir menyerang Chairil Anwar, Picasso, Hemingway, Rimbaud, dan Kandinsky.
Seni modern, di mata Takdir, mencemaskan karena membawa pesimisme, menjadi barang dagangan, terasing dari masyarakat, dan hanya merupakan pemberontakan yang tak bertanggung jawab dan tak bertujuan. Dengan kata lain, seni modern di mata Takdir sama dengan di mata Pramoedya: dekaden dan pesimistis.
Pandangan minor terhadap seni modern yang dilantunkan Pram, Lukacs, dan Takdir sebenarnya tidak punya dasar kuat. Realisme Lukacs, misalnya, dikritik oleh Brecht sebagai hanya formal dan tak historis. Lukacs menampik seni modern karena ia tidak punya kepekaan seorang seniman dan tidak banyak masuk dalam dunia puisi lirik atau teater. Ia juga tidak sadar, klaim bahwa realisme mencerminkan kenyataan sejati (mimesis) dalam prakteknya bisa—meski tidak selalu—dimanfaatkan oleh rezim totaliter, baik itu Stalinisme maupun Naziisme, yang juga cocok dengan hasrat mimesis tersebut. Dan kita tahu, Stalin dan Hitler paling getol memuja "seni rakyat" dan paling galak menghujat seni individual.
Kaum realisme-sosialis juga tidak bisa mengaku sebagai satu-satunya wakil seni Marxis. Kenyataannya, banyak pendukung seni modern yang Marxis. Andre Breton, yang memelopori surealisme, Bertolt Brecht dengan teater epik, dan pelukis Diego Riviera adalah contoh Marxis yang modernis. Bahkan, Breton, Riviera, ditambah Leon Trotsky sempat membikin manifesto yang mereka tandatangani bertiga, yang isinya mengutuk rezim totaliter Uni Soviet yang mereka anggap bukan pembawa suara resmi komunisme, dan mengecam seni resmi Stalinis. Artinya, antara Marxisme dan modernisme bukanlah dua mazhab yang saling membatalkan.
Klaim realisme sosialis bahwa seni modern adalah seni borjuis yang dekaden juga tidak meyakinkan. "Program" seni modern justru menggempur filosofi dan tatanan borjuis. Modernisme bisa menjadi perlawanan terhadap dehumanisasi dalam masyarakat modern. Masyarakat modern, yang kelihatannya tertib dan makmur, sebenarnya hanyalah selubung yang menyembunyikan proses dehumanisasi akibat dominasi rasionalitas-teknis. Nah, selubung itulah yang hendak disingkap oleh pemberontakan dan "efek pengasingan" seni modern.
Padahal, dehumanisasi jenis ini justru tidak diantisipasi oleh Pramoedya. Pandangan Pram dalam tetralogi masih menunjukkan optimisme khas abad ke-19 bahwa ilmu modern dari Eropa, seperti yang dipelajari Minke, merupakan sarana pencerahan dan membawa humanisme. Kini terbukti bahwa rasionalitas yang menjadi dasar ilmu modern tersebut tidak hanya mencerahkan. Ia juga membelenggu dan melahirkan dehumanisasi.
Dengan demikian, pembelaan terhadap humanisme tidak bisa diukur dari realis atau modernisnya suatu karya. Karya realis bisa saja sangat humanis, seperti karya Pram, tapi bisa juga antihumanisme ketika ia menjadi "seni resmi", "seni pembangunan". Sementara itu, puisi liris, yang kelihatannya individual, dalam rezim totaliter bisa saja menjadi suara subversif.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 05 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar