Jumat, 05 Desember 2008

Pramoedya

Ahmad Sahal
http://majalah.tempointeraktif.com/

Setiap kali membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer, saya selalu merasa kagum, tapi juga sekaligus terganggu. Saya mengagumi karya-karyanya, yang secara persisten melantunkan humanisme. Pram mengakui berguru kepada Multatuli, pengarang Max Havelaar, yang mengatakan bahwa tugas manusia adalah menjadi manusia. Dalam karyanya, Pram selalu menampilkan revolutionary hero yang menentang pelbagai situasi tidak manusiawi yang datang dari tradisi, seperti feodalisme priayi Jawa, maupun dari pihak asing, seperti kolonialisme dan imperialisme.

Betapa tidak manusiawi-nya feodalisme bisa dibaca dalam Bumi Manusia, yakni ketika Minke, anak Bupati yang telah belajar pengetahuan Eropa, merasa terhina sekali waktu bertemu ayahnya: "harus merangkak, berengsot seperti keong, dan menyembah seorang raja kecil yang, barangkali, buta huruf pula…." Kolonialisme juga tidak manusiawi karena, di samping sistem itu sendiri menindas dan mengisap, ia membentuk orang semacam Sa'aman (dalam Blora), yang akibat penganiayaan kolonial akhirnya dikuasai dendam sehingga menjadi jahat. Kolonialisme jugalah yang melahirkan pegawai yang korup (dalam Korupsi) dan Pangemanan, polisi pribumi yang mengontrol Minke dan gerakan kebangsaan (dalam Rumah Kaca).

Namun, saya terganggu manakala menengok pandangannya tentang kesenian. Dalam prasarannya yang bertajuk "Realisme-Sosialis dan Sastra Indonesia", di UI, pada 1963, Pram menyerukan paham realisme-sosialis dan menggasak humanisme universal. Di mata Pram, humanisme universal adalah humanisme individualis-borjuis yang melemahkan cita-cita revolusi karena membawakan pesimisme dan negativisme, cerminan bagi suara kapitalis Barat yang kehilangan tanah jajahan. Sementara itu, realisme-sosialis berwatak optimistis dan menentang kapitalisme dan imperialisme. Pram lalu menyatakan, dan ini yang membuat saya terganggu, salah satu watak realisme-sosialis adalah sikap militan yang ia kutip dari Maxim Gorky: if the enemy does not surrender, he must be destroyed. Militansi semacam inilah yang tampaknya menjadi gaya Pram ketika mengasuh Lentera.

Ketika Pram ditanya kenapa dulu di Lentera menyerukan agar penulis yang tidak berpihak pada the perspiring and toiling masses "dibabat" dan "tidak perlu diberikan luang sekecil-kecilnya pun", argumennya ternyata berbau security approach. Menurutnya, saat itu Soekarno sedang terancam dan negara dalam bahaya. Karena itu, seni yang tidak mendukung revolusi harus minggir.

Di samping itu, Pram juga menyebutkan alasan pribadi: waktu pegang Lentera, ia sangat marah pada militer dan semua yang diperalat oleh militer karena penahanan atas dirinya yang semena-mena. Dan Lentera penuh dengan kemarahannya. Jadi, persoalan pribadilah yang menyebabkannya.

Tentu saja, alasan personal yang dilontarkan Pram tersebut tak bisa diabaikan begitu saja. Tapi, alangkah baiknya kalau sekarang pertikaian antara realisme sosialis (Lekra) dan humanisme universal (manifes) tidak hanya berkubang pada urusan pribadi "orang itu-itu saja". Ini bukan soal Pram pribadi. Karena itu, saya tidak setuju desakan agar Pram meminta maaf, bukan saja lantaran Pram sendiri tidak merasa salah, melainkan juga karena represi yang sangat kejam dari rezim Orde Baru atas dirinya sangat tidak sebanding dengan apa pun yang dilakukannya.

Pertikaian itu harus diangkat pada level debat yang bersifat teoretis. Untuk menjawab kenapa realisme-sosialis membawa militansi ala Gorky dan kenapa mereka menganggap humanisme universal dekaden, ada baiknya kita melihat perdebatan pada awal abad ini di Eropa antara realisme sosialis dan modernisme dalam seni. Pandangan realisme sosialis tentang humanisme universal sejajar dengan pandangan mereka tentang seni modern.

Militansi model Gorky sebenarnya tidak menjadi unsur inheren dalam realisme sosialis. Realisme-sosialis adalah bagian dari satu proyek (atau mitos) emansipasi manusia, yakni komunisme. Dalam komunisme, kemerdekaan kini dan kebebasan hari ini harus ditunda dan dikorbankan demi kemerdekaan bersama hari depan.

Andrei Zhdanov, konseptor realisme-sosialis yang juga dikutip Pramoedya, menegaskan, sastra harus melukiskan kenyataan historis-kongkret dalam perkembangan revolusionernya demi pembentukan ideologi dan semangat sosialisme kaum buruh. Sastra harus bertendens dan optimistis. Jargon yang sering dipakai adalah "politik sebagai panglima". Ketika kemudian realisme-sosialis menjadi "paham resmi" komunisme, di sinilah totalisasi terjadi dan militansi Gorky bekerja. Sastra yang tak hendak membuang kebebasan hari ini demi kebebasan bersama hari depan, sastra yang tidak menempatkan politik sebagai panglima bukan saja bakal tidak mendapat tempat, tapi juga akan dibabat.

Sementara itu, penilaian negatif terhadap seni modern sudah muncul sebelum Zhdanov, yakni dari Georgy Lukacs. Lukacs menyatakan, seni haruslah melukiskan keharmonisan totalitas kenyataan yang sekarang ini mengalami fragmentasi dan tercabik-cabik akibat sistem kapitalisme. Fragmentasi itu terjadi karena dalam kapitalisme, segala aspek kehidupan mengalami reifikasi (pembendaan) sehingga hubungan antarmanusia berubah menjadi hubungan antarbenda.

Realisme-sosialis dianggap oleh Lukacs mampu mencerminkan totalitas yang hilang tersebut. Sementara itu, surealisme, Dada, dan kaum avant-garde yang asyik dengan montase, keserentakan, ambiguitas, ketidakpastian, dan lebih berkutat pada medium seni ketimbang isinya dilihat oleh Lukacs hanya berhenti pada realitas yang terpecah-pecah, yang ter-reifikasi. Lukacs juga menyerang seni modern, terutama ekspresionisme Jerman, karena dianggap mengandung cetusan irasionalisme, padahal irasionalisme pada akhirnya menjerumuskan orang ke dalam fasisme. Lukacs lalu mencap seni modern sebagai dekaden.

Anehnya, pandangan bahwa seni modern membawa pesimisme dan dekadensi tidak hanya datang dari kaum realisme-sosialis. Sutan Takdir Alisjahbana, sastrawan yang menjadi salah satu target serangan Pram, ternyata punya pendirian yang kurang lebih sama, meski dari jurusan yang lain. Bagi Takdir, kesenian harus turut dalam reconstructie arbeid, kerja pembangunan dan modernisasi sosial. Seni harus punya tanggung jawab sosial. Seni tidak boleh untuk seni itu sendiri, tidak boleh individualistis. Karena itu, Takdir menyerang Chairil Anwar, Picasso, Hemingway, Rimbaud, dan Kandinsky.

Seni modern, di mata Takdir, mencemaskan karena membawa pesimisme, menjadi barang dagangan, terasing dari masyarakat, dan hanya merupakan pemberontakan yang tak bertanggung jawab dan tak bertujuan. Dengan kata lain, seni modern di mata Takdir sama dengan di mata Pramoedya: dekaden dan pesimistis.

Pandangan minor terhadap seni modern yang dilantunkan Pram, Lukacs, dan Takdir sebenarnya tidak punya dasar kuat. Realisme Lukacs, misalnya, dikritik oleh Brecht sebagai hanya formal dan tak historis. Lukacs menampik seni modern karena ia tidak punya kepekaan seorang seniman dan tidak banyak masuk dalam dunia puisi lirik atau teater. Ia juga tidak sadar, klaim bahwa realisme mencerminkan kenyataan sejati (mimesis) dalam prakteknya bisa—meski tidak selalu—dimanfaatkan oleh rezim totaliter, baik itu Stalinisme maupun Naziisme, yang juga cocok dengan hasrat mimesis tersebut. Dan kita tahu, Stalin dan Hitler paling getol memuja "seni rakyat" dan paling galak menghujat seni individual.

Kaum realisme-sosialis juga tidak bisa mengaku sebagai satu-satunya wakil seni Marxis. Kenyataannya, banyak pendukung seni modern yang Marxis. Andre Breton, yang memelopori surealisme, Bertolt Brecht dengan teater epik, dan pelukis Diego Riviera adalah contoh Marxis yang modernis. Bahkan, Breton, Riviera, ditambah Leon Trotsky sempat membikin manifesto yang mereka tandatangani bertiga, yang isinya mengutuk rezim totaliter Uni Soviet yang mereka anggap bukan pembawa suara resmi komunisme, dan mengecam seni resmi Stalinis. Artinya, antara Marxisme dan modernisme bukanlah dua mazhab yang saling membatalkan.

Klaim realisme sosialis bahwa seni modern adalah seni borjuis yang dekaden juga tidak meyakinkan. "Program" seni modern justru menggempur filosofi dan tatanan borjuis. Modernisme bisa menjadi perlawanan terhadap dehumanisasi dalam masyarakat modern. Masyarakat modern, yang kelihatannya tertib dan makmur, sebenarnya hanyalah selubung yang menyembunyikan proses dehumanisasi akibat dominasi rasionalitas-teknis. Nah, selubung itulah yang hendak disingkap oleh pemberontakan dan "efek pengasingan" seni modern.

Padahal, dehumanisasi jenis ini justru tidak diantisipasi oleh Pramoedya. Pandangan Pram dalam tetralogi masih menunjukkan optimisme khas abad ke-19 bahwa ilmu modern dari Eropa, seperti yang dipelajari Minke, merupakan sarana pencerahan dan membawa humanisme. Kini terbukti bahwa rasionalitas yang menjadi dasar ilmu modern tersebut tidak hanya mencerahkan. Ia juga membelenggu dan melahirkan dehumanisasi.

Dengan demikian, pembelaan terhadap humanisme tidak bisa diukur dari realis atau modernisnya suatu karya. Karya realis bisa saja sangat humanis, seperti karya Pram, tapi bisa juga antihumanisme ketika ia menjadi "seni resmi", "seni pembangunan". Sementara itu, puisi liris, yang kelihatannya individual, dalam rezim totaliter bisa saja menjadi suara subversif.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae