Jumat, 05 Desember 2008

KASUS POLITIK DALAM SEJARAH KESUSASTRAAN INDONESIA

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Pembicaraan mengenai sejarah kesusastraan Indonesia modern sebenarnya bukanlah sekadar berisi pemaparan mengenai sejumlah karya pengarang Indonesia berikut ulasan dan biodata pengarangnya, melainkan juga menyangkut berbagai hal yang melatarbelakanginya. Proses penciptaan, latar sosio-budaya, situasi sosial yang terjadi pada zamannya, peranan penerbit, reaksi masyarakat, dan hubungannya dengan politik pemerintah, merupakan masalah yang mestinya diungkapkan atau disinggung dalam pembicaraan sejarah kesusastraan. Apa yang terjadi dalam kesusastraan Indonesia merupakan contoh kasus bahwa persoalan sosial-budaya yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra, tidak dapat diabaikan begitu saja. Ternyata bahwa masalah tersebut, khasnya yang berkaitan dengan politik kolonial Belanda, sedikit-banyaknya telah ikut mewarnai –bahkan menentukan– perjalanan kesusastraan Indonesia sejak awal kelahirannya hingga dewasa ini.

Adanya kaitan yang erat antara sastra dan politik yang lalu menimbulkan berbagai reaksi, sesungguhnya merupakan hal yang wajar. Masalahnya, karya sastra diciptakan oleh pengarang selaku anggota masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, ada norma yang harus dipatuhi anggotanya. Jika ada pelanggaran terhadap norma itu, maka masyarakat atau pemerintah akan menjatuhkan sanksi. Jadi, manakala terjadi konflik antara isi karya sastra dengan norma masyarakat, saat itulah akan timbul reaksi. Sampai kapan pun dan di mana pun juga, kesusastraan akan menghadapi persoalan-persoalan seperti itu. Kasus yang menimpa Madame Bovary karya Gustave Flaubert, misalnya, merupakan salah satu contoh, betapa karya sastra tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan kehidupan sosial politik zamannya. Kasus novel Salman Rusdhie, Ayat-ayat Setan (The Satanic Verses) merupakan contoh betapa hubungan sastra dan norma masyarakat (agama), acap kali menimbulkan masalah sosial-politik.
***

Hubungan kesusastaan dan politik dalam sejarah perjalanan kesusastraan Indonesia modern sebenarnya bermula justru sebelum Balai Pustaka lahir. Karya-karya Mas Marco Kartodikromo, Semaun, Tirto Adisuryo, serta karya-karya pengarang peranakan, baik peranakan Cina maupun Indo-Belanda, sebenarnya termasuk ke dalam khazanah kesusastraan Indonesia modern. Pemerintah kolonial Belanda waktu itu menganggap bahwa karya-karya mereka –terutama karya pengarang yang secara jelas menyuarakan aspirasi politik tertentu, seperti Semaun, Mas Marco, dan Tirto Adisuryo– dapat berakibat buruk pada kehidupan kemasyarakatan waktu itu. Oleh karena itu, pemerintah Belanda menyebut karya-karya mereka sebagai “bacaan liar” yang dikarang oleh para “agitator” dan diterbitkan oleh para penerbit yang “tidak bertanggung jawab dan tidak suci hatinya.”

Kasus tersebut jelas memperlihatkan bahwa hubungan politik dan sastra pada masa itu telah menyebabkan pemerintah Belanda merasa perlu mendirikan Balai Pustaka. Jadi, kelahirannya lebih banyak dilatarbelakangi oleh masalah politik waktu itu. Oleh karena itu, seyogyanya pembicaraan mengenai awal lahirnya kesusastraan Indonesia, mesti meng-ungkapkan juga karya-karya yang terbit sebelum Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar.

Masalahnya menjadi jelas apabila kita menghubungkannya dengan kebijaksanaan kolonial Belanda. Seperti telah disebutkan, salah satu alasan berdirinya Balai Pustaka adalah untuk membendung pengaruh bacaan yang berisi propaganda politik yang diterbitkan pihak swasta. Dalam hal ini, Balai Pustaka hendak dimanfaatkan untuk kepentingan pihak Belanda di tanah jajahan. Dengan demikian, karya-karya yang diterbitkannya, sudah tentu harus sejalan dengan kebijaksanaan kolonial. Keadaan tersebut dengan sendirinya ikut pula mempengaruhi isi karya yang diterbitkan oleh lembaga itu.

Sedikitnya ada tiga novel Indonesia yang terbit sebelum perang yang dapat kita jadikan semacam contoh adanya hubungan yang erat antara kesusastraan dan politik.

Pertama, novel Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis. Jamil Bakar, dan kawan-kawan (1985), Syafi’i St. Rajo Batuah (1964), B.S. (1954), dan Bakir Siregar (1964) menyebutkan bahwa novel Salah Asuhan sedikitnya telah mengalami dua kali ‘revisi’ yang justru mengubah makna dan amanat novel itu secara keseluruhan. Disebutkan bahwa dalam naskah aslinya, Corrie adalah Indo-Belanda bukan Indo-Prancis. Demikian juga, pecahnya hubungan Hanafi dan Corrie sebenarnya akibat sikap Corrie yang terlalu mengumbar keseronokan dan sering berhubungan dengan lelaki lain, sehingga Hanafi tidak tahan dengan kelakuan istrinya. Akibat perbuatan itu, Corrie akhirnya mati ditembak seorang pelaut ketika ia baru saja berhubungan gelap dengan lelaki pelaut itu. Dalam naskah pertama, konon Corrie mati akibat penyakit kelamin.

Dengan adanya perubahan tersebut, maka citra Corrie sebagai wanita Indo-Prancis dipandang tidak akan mempengaruhi citra wanita Belanda. Apalagi gambaran Corrie dalam novel itu sama sekali tidak mengesankan sebagai wanita “nakal”. Sebaliknya, Hanafi justru tampil sebagai sosok pemuda angkuh yang tidak mau menghormati tradisi leluhurnya.

Kedua, novel Di Luar Garis (Buiten het Gareel) (1941)) karya Suwarsih Djojopuspito. Novel yang kemudian diterbitkan Penerbit Djambatan (1975) berjudul Manusia Bebas itu sebenarnya selesai ditulis naskahnya dalam bahasa Sunda tahun 1937. Setelah diindonesiakan, naskahnya dikirim ke penerbit Balai Pustaka, tetapi kemudian ditolak karena isinya menyuarakan semangat nasionalisma. Baru pada tahun 1941, novel itu diterbitkan di Utrecht, Belanda dengan kata pengantar diberikan oleh E. Du Perron, berjudul Buiten het Gareel.

Kasus ini juga mengisyaratkan bahwa terbit tidaknya sebuah karya sastra sering dihubungkaitkan dengan persoalan politik. Hal yang hampir sama, juga terjadi pada novel Belenggu (1940) karya Armijn Pane. Novel ini juga ditolak Balai Pustaka karena isinya dipandang tidak sesuai dengan kebijaksanaan Balai Pustaka. Novel ini kemudian diterbitkan oleh penerbit Dian Rakyat dengan menyertakan beberapa tanggapan pembaca atas novel tersebut yang menyangkut dua hal. Pertama, ceritanya tidak dapat diterima akal; kedua, ceritanya dianggap tidak bermoral, bertentangan dengan susila bangsa Indonesia.

Dalam konteks hubungan sastra dan politik, kita juga dapat menengok jauh ke belakang pada karya-karya sastra keagamaan. Konflik ideologi antara Nurrudin ar-Raniri yang menentang Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani dibakar dan dimusnahkan. Bahkan lebih daripada itu, konflik tersebut telah membawa tragedi berdarah.
***

Selepas merdeka, kesusastraan Indonesia banyak mengalami gejolak yang justru ditimbulkan lantaran masalah politik masuk ke dalam wilayah kesusastraan; atau sebaliknya, manakala kesusastraan akan ditingkahi oleh berbagai gejolak.

Tahun 1960-an, misalnya, kesusastraan Indonesia memasuki zaman ‘kekacauan’ dalam pengertian tidak adanya ukuran atau kriteria yang jelas untuk menentukan karya sastra yang baik. Adanya pengkotak-kotakan golongan sastrawan, antara lain, Lekra dan Lesbumi, merupakan tanda betapa dunia kesenian, khususnya kesusastraan, pada masa itu diwarnai oleh kepentingan ideologi tertentu. Pengkotak-kotakan ini juga tidak hanya mencerminkan telah terjadinya perpecahan dalam kehidupan berkesenian di Indonesia, tetapi juga mempertegas adanya tarik-menarik kepentingan dan pengaruh-pengaruh kelompok tertentu.

Kemudian peristiwa Manifes Kebudayaan yang ditandatangani di Jakarta tanggal 17 Agustus 1963, dan disiarkan dalam lembaran budaya Berita Republik 19 Oktober 1963 dan dalam Majalah Sastra, September-Oktober 1963, merupakan contoh lain dari reaksi adanya hubungan sastra dan politik.
Tanggal 8 Mei 1964, Presiden Soekarno melarang Manifes Kebudayaan. Para penandatanganannya dinyatakan telah bertindak tidak sejalan dengan semangat revolusi.
***

Selepas pecah pemberontakan PKI 1965, kehidupan politik Indonesia memasuki babak baru. Tetapi kehidupan kesusastraan Indonesia masih belum sepenuhnya dapat dipahami sebagai karya kreatif imajinatif. Atau ukuran norma masyarakat tidak jarang sangat menentukan keberadaan karya sastra.

Kasus cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin merupakan contoh betapa masalah sosial politik masih saja mewarnai perjalanan kehidupan kesusastraan Indonesia. Cerpen yang dimuat Majalah Sastra, Agustus 1968 telah menyeret H.B. Jassin sebagai penanggung jawab majalah itu berhadapan dengan pihak pengadilan. Dalam konteks perkembangan kesusastraan Indonesia, masalah hubungan agama dan kesusastraan tidak jarang pula menjadi masalah yang amat rawan.

Begitulah perjalanan kesusastraan Indonesia ternyata tidak pernah sepi dari masalah-masalah sosial politik. Pelarangan novel empat serangkai karya Pramoedya Ananta Toer merupakan contoh lain, bahwa masalah politik tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan kesusastraan dan kesenian pada umumnya.

Keadaan tersebut ternyata telah membuat sejunlah penerbit mempertimbangkan berbagai kemungkinan adanya cekal (cegah tangkal) dari pihak pemerintah. Sekadar menyebut beberapa kasus, dapat dikemukakan di sini perubahan nama tokoh dalam novel Kubah (1980), hilangnya sekitar 25-an halaman naskah dalam Jantera Bianglala (1986), keduanya karya Ahmad Tohari serta hilangnya beberapa bagian dalam novel Warisan (1979) karya Chairul Harun. Demikianlah sekilas perjalanan kesusastraan Indonesia dalam hubungannya dengan masalah politik yang sering menimbrunginya. Sangat boleh jadi, persoalan ini akan terus berlanjut sampai entah kapan, makala muncul karya sastra atau karya apapun yang dianggap bertentangan dengan norma masyarakat dan politik pemerintah.

Masalahnya kini, bagaimana pengarang kita mampu menyiasati dan menyembunyikan amanatnya sedemikian rupa, sehingga kritik sosial yang disampaikannya begitu rapi. Pengarang-pengarang besar umumnya mampu melakukan itu, betapapun karyanya berisi kritik sosial yang amat pedas. Jadi, masalah sebenarnya bergantung pada kepiawaian dan kecendekiaan sastrawannya sendiri, bagaimana memanfaatkan licentia poetica atau kebebasan kreatifnya menjadi karya yang sarat makna, sehingga pembaca memakainya dengan berbagai tafsiran.

Surabaya Post, Minggu, 24 Oktober 1993

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae