Jumat, 26 Desember 2008

Tubuh Manusia dalam Puisi

Indra Tjahyadi
ttp://www.lampungpost.com/

MAKIN kemari, sastra kita, rupa-rupanya, makin disibukkan gagasan-gagasan mengenai tubuh. Hal ini tidak hanya menjangkiti novel atau cerpen-cerpen kita kini, akan tetapi juga puisi-puisi.

Begitu juga yang terjadi dalam puisi. Semisal puisi-puisi karya Binhad Nurrohmat dalam kumpulan puisinya yang berjudul Kuda Ranjang (Melibas, 2004). Pada kumpulan puisinya tersebut, secara sadar, Binhad menempatkan gagasan tubuh manusia menjadi semacam penggerak utama puisinya. Tengok saja larik-larik puisinya yang berjudul "Bunting" (2004: 28--29).

Dimulai dengan menyingkapkan apa yang biasa dipakai sebagai penutup tubuh semacam daster, dalam puisi "Bunting" tersebut, Binhad terus-menerus dengan lantang dan penuh semangat serta kesabaran mengupas satu per satu bagian-bagian tubuh manusia, seperti paha (dengan bulu-bulu halusnya), (maaf!) penis, dan karena yang tersingkap itu daster, juga bagian tubuh paling sensitif yang dalam puisi itu dikatakan Binhad sebagai selokan kecil.

Pembicaraan yang terkesan sabar dan sungguh-sungguh mengenai tubuh manusia, sesungguhnya, juga dapatlah dilihat pada puisi-puisinya yang lain dalam kumpulan puisinya yang berjudul "Kuda Ranjang" tersebut. Seperti pada puisinya yang berjudul "Perempuan Lama" (2004: 59).

Munculnya kata-kata semacam leher, (sekali lagi maaf!) payudara, dada, daging, tangan pada puisi Binhad yang berjudul "Perempuan Lama" tersebut adalah, semata-mata, kata-kata yang kemunculan atau kehadirannya dalam puisi tersebut disebabkan beban konsekuensi atas gagasan yang dipilih Binhad Nurrohmat ketika menuliskan atau menciptakan karya puisinya tersebut.

"Apakah ini semacam pemberontakan atas sebuah ketabuan?" Bisa jadi jawabannya adalah "Tergantung!" Tergantung dari sudut mana dan dalam cara pandang siapa hal tersebut dilihat dan dibicarakan. Apabila yang membaca atau yang membicarakan tersebut seseorang dari institusi masyarakat pelacur, bisa jadi, hal ihwal yang Binhad angkat dalam puisi-puisinya tersebut bukanlah sesuatu yang subversif atau dalam bahasa Indonesia kesehariannya pemberontakan.

Tapi, bagaimana kalau yang membaca atau yang membicarakannya tersebut seseorang dari kalangan atau komunitas keagamaannya, semacam kiai atau pendeta misalnya? Yang jelas, Goenawan Mohammad dalam sebuah esainya yang berjudul "Tubuh, Melankoli, Proyek" (Kalam, edisi 15: 16--17) pernah menuliskan, "Tubuh manusia pada awal dan akhirnya sebuah tekstualitas yang tak bisa dikuasai sebuah wacana."

Entah apa karena didorong semangat membuktikan berkenaan apakah yang pernah dituliskan Goenawan Mohammad tersebut benar ataukah salah, akan tetapi, yang jelas, Binhad dalam usahanya meruakkan gagasan tentang tubuh dalam sebuah puisi tidaklah sendiri. Salah satunya adalah Mashuri.

Sebagaimana halnya juga dengan Binhad Nurrohmat, Mashuri, penyair kelahiran Lamongan tahun 1976, juga menempatkan gagasan mengenai tubuh manusia sebagai gagasan utama puisinya. Tengok saja bait-bait dari setiap puisinya yang terkumpul dalam kumpulan puisi tunggalnya yang berjudul Pengantin Lumpur (Surabaya Poetry Community & Dewan Kesenian Jawa Timur, 2004).

Pada puisi-puisinya yang terkumpul dalam kumpulan puisi Pengantin Lumpur tersebut, Mashuri seakan-akan juga terobsesi dengan apa yang dikenal dan disebut sampai dengan hari ini sebagai tubuh; tubuh manusia. Seperti yang terlihat pada larik-larik dari puisinya yang berjudul "Selendang Hilang di Sendang" (2004: 41).

Usaha Mashuri untuk mengenali dan menyingkap hal-ihwal mengenai tubuh, dalam puisi "Selendang Hilang di Sendang" tersebut, dimulai dengan jalan lebih dulu membasuh lumpur lusuh di tubuh. Dengan membasuh lumpur lusuh di tubuh tersebut, Mahuri berharap dapat lebih akrab lagi dan lebih mengenali kembali setiap lekuk dan liuk dari sesuatu yang dia yakini sebagai tubuh. Sebab dengan melakukan hal tersebut, Mashuri, paling tidak, mempunyai alasan membiarkan jemariku menarikan derai-derai ara/membesuk kutukan yang membusuk di dada, untuk kemudian menjahit pelir segala pelakian, sampai di mana takdir berakhir.

Tingginya intensitas dan kontinuitas pembicaraan dan pengangkatan masalah tubuh dalam gagasan puisi-puisi Mashuri dalam kumpulannya tersebut, selain itu, juga dapat dilihat dalam puisinya yang lain. Seperti pada larik-larik dari puisinya yang berjudul "Mengunci Waktu di Bibir" (2004: 5).

Sepintas lalu, dapatlah dikatakan, betapa puisi Mashuri yang berjudul "Mengunci Waktu di Bibir" tersebut amat sangatlah terkesan jorok, porno atau bahkan dapatlah dikatakan sangat tidak intelektualis sekali. Bahkan, seolah-olah, seperti kata-kata yang biasa terlontar dalam percakapan antara seorang tukang becak dan kuli bangunan saja.

Akan tetapi, seperti halnya yang dijalani Binhad Nurrohamt, ini merupakan konsekuensi yang harus dijalani Mashuri. Semata-mata karena dia memang memilih gagasan tentang tubuh manusia sebagai motor penggerak gagasan puisinya. Seperti halnya yang terjadi dengan Binhad, adalah bukan hal yang mengherankan apabila dalam kumpulan puisinya tersebut kata-kata semacam bibir, jemari, (maaf) rambut-rambut kemaluan, pelir, payudara, atau anal adalah kata-kata yang muncul dalam puisi-puisi karya Mashuri dalam kumpulan puisi tersebut.

Meskipun demikian, hal ini tidak serta-merta menempatkan puisi-puisi Mashuri dalam kumpulan puisinya tersebut seiman dengan puisi-puisi Binhad dalam kumpulan puisi Kuda Ranjang. Apabila dibaca lebih cermat, ada satu perbedaan penyikapan akan tubuh dari Mashuri atas Binhad atau sebaliknya. Pada puisi-puisi Mashuri, tubuh yang diyakini adalah sebuah kutukan.

Mashuri, setidaknya hal itulah yang diperlihatkan dalam puisi-puisinya, berusaha tanpa kenal lelah terus-menerus menghancurkan keberadaan tubuh, seperti pada larik puisinya yang berjudul "Keramat Aurat" (2004: 38). Atau, juga pada larik-larik puisinya yang berjudul "Pita Merah di Rambutmu" (2004: 25).

Ada sebuah kesan atau boleh dikatakan pesan, yang ingin disampaikan Mashuri melalui puisi-puisinya, bahwa dia ingin menghancurkan apa yang dikenal sebagai tubuh. Akan tetapi, rupa-rupanya, Mashuri tidak hanya ingin menghancurkan tubuh, melainkan sukmanya.

Muncul sebuah kecurigaan dan suatu dugaan, mengapa Mashuri sampai melakukan hal tersebut. Ini hanya semata-mata karena, di sisi lain, Mashuri juga tetap menyimpan suatu obsesi yang tak kalah tinggi kadarnya pada apa yang dikenali sebagai sebuah kematian. Seperti yang termaktub pada larik-larik puisinya yang berjudul "Kepadamu Hujan" (2004: 31).

kepadamu hujan, aku tak mungkin diam, kerna kau telah
mengajariku; cara mengasah pisau dan merumahkan risau dengan jalan-jalan kematian.

Gagasan mengenai tubuh, sebenarnya, juga pernah muncul pada puisi-puisi kita era 80-an, salah satunya adalah pada puisi karya Kriapur yang berjudul "Gaung Langit dalam Daging" (Dewan Kesenian Jakarta, 1988: 22). Pada larik-larik puisinya yang terkumpul dalam buku Mengenang Kriapur (Dewan Kesenian Jakarta, 1988), Kriapur, penyair kelahiran Solo tahun 1959, yang mati muda karena mobil yang ditumpangi terguling ke sungai di Batang, Pekalongan, Jawa Tengah, juga memperlihatkan obsesinya tentang tubuh, tubuh manusia jelasnya.

Akan tetapi, inilah yang membedakan Kriapur dengan penyair-penyair atau sastrawan-sastrawan yang hadir sesudahnya, dia tidaklah mengakomodasi diksi-diksi yang terkesan vulgar dan pornoistis. Coba saja lihat larik puisinya yang berjudul "Gaung Langit dalam Daging" yang terkumpul dalam buku Mengenang Kriapur tersebut:

inilah daging tempatku menggerakkan langit
sejengkal angin terbentang di kepalaku
orang-orang menirukan hidup rama-rama di atas tanah basah sambil tertawa
tapi sahabatku dari kejauhan bahagia dengan baju esok hari

Menilik dari kasus ini, secara gampang dan serampangan, apakah dapat begitu saja dikatakan puisi-puisi karya Kriapur lebih bagus dari puisi-puisi Binhad Nurrohmat ataupun Mashuri. Ataukah sebaliknya. Ataukah sebaliknya lainnya.

Yang jelas, bersepakat dengan pikiran dalam tulisan "Sekadar Pengantar", yang entah ditulis siapa, yang dimuat dalam jurnal kebudayaan Kalam, edisi 15, bahwa sastra adalah sebuah kualitas, bukan jenis tulisan. Dan meminjam larik-larik puisi Baudelaire yang berjudul "Enivrez-Vous" (1972: 36) bahwa: "Il est l'heurede s'enivrer! Pour n'etre pas les esclaves/ martyrises du Temps, enivrez-vouz; enivrez-vouz sans/ cesse! De vin, de poesie ou de vertu, a votre guise" ("Inilah saatnya untuk mabuk! Untuk tidak menjadi budak siksaan Sang Waktu, mabuklah; bermabuk-mabuklah tanpa henti-hentinya! Dengan anggur, dengan puisi atau kebajikan, sesuka hatimu").

Meskipun sastra, merujuk pada pemikiran Arief B. Prasetyo dalam esainya "Mencipta Sastra, Mengubah Sejarah" (Jurnal Prosa, No.2, th 2002: 2), tidaklah lahir dalam tabung vakum sejarah. Sebab, merujuk pada buah pikiran Carlos Fuentes dalam "Menulis: Sejarah dan Pergaulan" (terj. Rizadini, Jurnal Prosa, No. 2, th. 2002: 56), bahwa tidaklah ada penciptaan tanpa tradisi. Dalam usaha menyingkap rahasia mengenai "tubuh" tidaklah dapat hanya berpusar pada "tubuh" yang ada hari ini. Bagaimanapun, mengutip W. Haryanto dalam puisinya yang berjudul (lagi-lagi maaf!) "Ngenthu" (Kalam, edisi 13: 93), tubuh yang kosong/diri adalah anak-anak/yang berbahasa dengan hujan/di jejak rambutnya.

*) Penyair, esais, staf pengajar di Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo.

Selasa, 23 Desember 2008

Emas Sebesar Kuda, Peninggalan Ode Bartha Ananda

M Arman AZ
http://www.riaupos.com/

DUA tahun silam, tepatnya 5 Maret 2005, ranah sastra Sumatera Barat kehilangan sosok Ode Barta Ananda. Karya-karya almarhum (puisi, cerpen, dan esai) kerap menghiasai media massa nasional dan daerah. Sudah tentu dia layak mendapat tempat dalam sejarah sastra Indonesia umumnya dan Sumatera Barat khususnya. Sayang, hingga akhir hayatnya, belum ada satu pun buku kumpulan cerpen pribadi Ode Barta Ananda. Tahun 2007, beberapa sahabat almarhum, seperti Gus tf Sakai dan Yusrizal KW, memprakarsai penerbitan kumpulan cerpen Ode Barta Ananda. Menurut penerbit Akar Indonesia, lahirnya kumpulan cerpen Emas Sebesar Kuda ini hanyalah melanjutkan apa yang sudah dirintis Ode atas karya-karyanya sendiri yang direncanakan diterbitkan dalam sebuah buku utuh. Sebuah sejarah yang sempat tertunda karena keburu ditinggal pelakunya.

Cerpen-cerpen Ode Barta Ananda tergolong unik. Mayoritas berbentuk parodi satir dan karikatural. Mengangkat tema-tema sosial kemasyarakatan dan kebudayaan Minangkabau dengan pelakon orang-orang berstrata sosial menengah ke bawah. Jika sastra dipercaya sebagian kalangan sebagai potret sosial yang mengangkat kebudayaan masyarakatnya, maka cerpen-cerpen Ode bisa dijadikan salah satu bukti pendukung. Cerpen-cerpen Ode dipenuhi eksplorasi imajinasi terhadap kondisi masyarakat kelas bawah di Minangkabau, bahkan seperti merepresentasikan kegelisahan masyarakat Minang, bagaimana penerimaan dan sikap mereka terhadap modernitas.

Sudah jadi tradisi bagi kaum lelaki Minang untuk merantau. Mereka akan dewasa secara materi dan fisik jika jauh dari kampung halaman. Namun tidak demikian halnya dengan tokoh-tokoh lelaki dalam mayoritas cerpen Ode. Tokoh-tokoh itu justru terkesan mengikatkan diri pada kampung halaman (atau perlawanan terhadap tradisi?). Jarang ada tokoh dalam cerpen-cerpen Ode yang merantau dalam konteks geografis dan fisikal. Tak beda jauh dengan tokoh-tokoh dalam cerpen Harris Effendi Thahar atau Wisran Hadi, misalnya.

Sebagai seorang jurnalis (bekerja di Harian Padang Ekspres), Ode rupanya jeli mengamati fakta sosial tradisional di wilayah Sumatera Barat yang kemudian dituang ke dalam bentuk cerpen. Cerpen-cerpen Ode bersentuhan langsung dengan kondisi sosial orang-orang kecil dan biasa saja, seperti petani, nelayan, para pengangguran yang menghabiskan waktu dengan mabuk, berzina dengan istri teman, dan sebagainya.

Buku berisi 15 cerpen Ode Barta Ananda ini diberi judul Emas Sebesar Kuda. Judul ini dipilih merujuk kepada cerpen-cerpen Ode yang parodik, karikatural, unik, nakal terhadap berbagai hal. Mulai dari masyarakat dan kebudayaan lokal (Minangkabau), hingga situasi Indonesia. Ode lihai membangun suasana dan latar. Ia mampu menghidupkan kosa kata dan idiom Minang, dan tak ragu memasukkan bahasa keseharian seperti “aden”, “wa’ang”, “uni”, “uda”, “nagari”, “jorong”, “sayak”, “litak”, “bacakak”, “gonjong”, “tabuah nagari”, bahkan umpatan khas Minang semacam “kanciang”, “kalera”, “lampang” dan “lanyau”, meskipun dengan risiko akan dianggap jorok atau kasar oleh pembacanya. Namun sebagai teks sastra, demikianlah realitas yang coba dan telah dihimpun Ode. Disharmoni teks yang pernah ditempuh Joni Ariadinata dalam cerpen-cerpennya beberapa tahun silam juga telah lama dilakukan Ode. Kekentalan idiom lokal Minang juga bisa mengingatkan pada cerpen-cerpen Korrie Layun Rampan yang sarat idiom Dayak.

Salah satu cerpen menarik adalah “Burung Beo Bupati”. Cerpen ini relevan dengan maraknya Pilkada di negeri ini yang kerap menyisakan masalah, salah satunya adalah politik uang di belakang layar Pilkada. Ini tak luput dari endusan Ode Barta Ananda. Berkisah tentang seorang bupati yang hendak mempertahankan jabatannya dengan cara menyuap pesaingnya dengan uang lima miliar. Menjelang pemilihan, dia kumpulkan tim suksesnya di rumah untuk memuluskan rencana. Karena kelalaian si bupati, burung beo di teras lepas dan berteriak lima miliar ke mana-mana. Bupati dan tim suksesnya, tak ingin malu, sibuk meringkus beo hingga ke hutan larangan, hutan yang dipercaya dikuasai mahluk gaib. Hasilnya, bupati raib. Dia ditemukan beberapa hari kemudian dalam keadaan hidup, tetapi dalam kondisi kusut masai. Pemilihan bupati rupanya telah selesai dan dia kalah suara. Getirnya, dia mendapati cek sebesar lima miliar dari lawannya dalam pemilihan bupati yang dititipkan pada istrinya.

Cerpen “Sipongang Petir di Koto Panjang” (yang konon dipajang besar-besar di ruang kerja Ode Barta Ananda), juga memeram satir lain. Sudah jadi tradisi di Minang bahwa paman wajib mengurus keponakan. Bagitu pula dengan Mamak (Paman) Unjok yang membiayai kuliah Jumadil, keponakannya. Dari hasil kebun dan ternak yang diurus Mamak Unjok, Jumadil meraih gelar doktorandus. Sayangnya, usai bertitel Jumadil malah menganggur karena sulit mendapat pekerjaan. Untuk turun ke sawah atau mengurus ternak, Jumadil malu. Buat apa tinggi-tinggi sekolah jika harus kembali ke sawah, begitu dalihnya. Setelah lama menganggur, dia merayu Mak Unjok agar menjual kerbau untuk biaya merantau. Mak Unjok murka karena keponakannya tak habis-habis minta tolong. Tak terima, Jumadil membunuh Mamak Unjok. Lima tahun kemudian dia pulang dan mendapati kampungnya, Koto Panjang, telah berubah jadi telaga (bendungan).

Membaca antologi cerpen Emas Sebesar Kuda ini seperti memandangi potret masyarakat Minang hasil jepretan imajinasi Ode Barta Ananda semasa hidup. Bagaimana Ode merepresentasikan perubahan sosial kultural akibat perubahan zaman dalam bangunan cerpen (“Nisan dan Perempuan Penjual Kembang”, “Gila, Teriak Menjelma Raungan!”, “Samiun dan Lelaki Luka”, “Pemantik Api yang Melayang dari Jendela”). Tradisi lokal yang dibiarkan hidup (“Sebotol Lebah”, “Menjelang Gerbang”, “Ketika Alek Nagari Sedang Memuncak”), atau tradisi yang “dibenturkan” dengan modernitas dalam “Empat Setengah Karung Goni Penuh Ulat”, “Emas Sebesar Kuda”, “Saluang Saja yang Menyampaikan”, “Sipongang Petir di Koto Panjang” dan “Sepasang Drum Aspal di Tengah Ladang Tebu.”

Begitulah. Fakta sejarah telah membuktikan, karya sastra bisa melampaui ruang dan waktu. Demikian juga dengan karya-karya almarhum Ode Barta Ananda. Meski hampir genap dua tahun meninggal, namun karya-karyanya masih tetap hidup.***

*) Cerpenis dan esais. Tinggal di Bandar Lampung.

"Kelainan Jiwa dan Kekuasaan yang Sakit"

Musa Ismail
http://www.riaupos.com/

(Analisis Novel Megalomania karya Marhalim Zaini)

Megalomania merupakan novel kedua Marhalim Zaini yang memenangi Penghargaan Utama Ganti Award setelah Getah Bunga Rimba. Dari segi estetika bahasa, Megalomania agak tertinggal jauh dari Getah Bunga Rimba. Secara harfiah, megalomania adalah suatu kelainan jiwa yang ditandai oleh khayalan tentang kekuasaan dan kebesaran diri (KBBI, 2002:727).

Tokoh sentral dalam novel ini adalah Wak Madim. Di samping menderita megalomania, Wak Madim pun sebagai penderita insomnia. Dia adalah mantan politikus yang hedonis, menganggap tujuan hidup hanya kesenangan dan kenikmatan, feodalis, individualis, ingin seperti raja. Megalomania mengisahkan tentang kekuasaan tokoh sentral Wak Madim yang memudar setelah puluhan tahun berada seperti di puncak gunung pada zaman orde baru. Keberhasilannya duduk di puncak bukanlah dilakukan dengan kebenaran. Semua identitas dirinya dimanipulasi sedemikian rupa sehingga ia menganggap bahwa keberhasilan tersebut merupakan pemberian Tuhan karena ia ingin mengubah nasibnya. Dengan posisi strategis, Wak Madim mampu mengelola perekonomiannya, mendirikan beberapa perusahaan. Namun, di usianya yang mulai pension, justru ia kembali ke kampung. Sepertinya, ini merupakan penyakit lainnya, yaitu eskapisme. Kepulangannya ke kampung halaman, menimbulkan keheranan warga.

Ketika kecil, Wak Leman (ayahnya) terlalu keras mendidiknya. Sebatan rotan selalu mendarat di tubuh Madim kalau tak mau mengaji. Sampai-sampai bagi Madim, rotan sudah menjadi simbol kekuasaan yang menakutkan dan melahirkan trauma sejak kecil. Inilah awalnya sebab mengapa Madim lari dari kampung setamat SD dan memilih hidup di kota. Hidup di kota memerlukan keberanian. Apalagi buat seorang anak kecil bernama Madim. Ternyata, Madim memiliki keberanian itu. Bermacam keberanian yang dilakukan Madim kecil, terutama yang negatif sehingga menciptakan berbagai kekesalan di hati orang lain, termasuk Wak Leman. Pelarian Madim mengingatkan kita pada kisah Si Malin Kundang yang mendurhaka orang tuanya (ibunya).

Kembalinya Wak Madim ke kampung halaman memang agak mengejutkan warga. Pertama, terkejut karena tekun beribadah. Kedua, terkejut karena ia kembali setelah menjadi tua dan kedua orang tuanya telah tiada. Ketiga, terkejut karena ia meninggalkan segala kesenangan. Setelah beberapa lama di kampung, kegiatan-kegiatan sosial bernyawa lagi. Berbagai sumbangan diberikannya, baik kegiatan keagamaan maupun kegiatan sosial. Usaha Wak Madim menuai buah. Warga mulai hormat kepadanya. Tetapi, warga tak tahu persis mengapa Wak Madim justru pulang ke kampung halamannya. Namun, di kampung, Wak Madim diteror oleh kekasihnya dengan surat-surat yang berisikan tentang obsesi kekuasaan yang berkaitan dengan kepribadiannya. Keberadaan surat-surat itu pula yang membuat Wak Madim cemas dan membakarnya di tengah bilik. Di tengah kobaran api, seseorang memukul tengkuk Wak Madim sehingga ia tak sadarkan diri. Marhalim mengakhiri novel ini dengan sangat menarik, mengundang ribuan tanya, dan menyerahkannya kepada pembaca. Apakah Wak Madim hidup atau mati dalam kobaran api yang telah menghanguskan rumahnya atau tidak, kita diajak bermain dengan pemikiran-pemikiran.

Novel ini berlatar di suatu ceruk kampung. Kampung itu masih dililit kemiskinan, kebodohan, mistis, pola pikir yang masih rendah, dan masih jauh dari hiruk-pikuk kemajuan di kota. Semuanya serba alami. Kembalinya Wak Madim ke kampung ini, mengingatkan kita pada pasca-otonomi daerah. Setelah pemberlakuan sistem pemerintahan otonomi daerah, kekuasaan justru berpindah secara desentralisasi. Raja-raja kecil bermunculan di sana-sini hingga ke pelosok desa. Pemberlakuan otonomi daerah inilah yang mengingatkan kita tentang putra daerah pulang kampung. Semuanya ingin menguasai daerahnya masing-masing. Para megalomania ini berlomba-lomba berjanji membangun kampung mereka melalui partai-partai yang mereka kendarai. Peristiwa inilah yang ingin dilukiskan Marhalim Zaini dalam Megalomania.

Novel ini merupakan suatu kritikan sosial tentang kekuasaan. Melalui novel ini, selain ingin menggambarkan kondisi para penguasa saat ini, Marhalim juga ingin berpesan tentang hal-hal positif dan hal-hal negatif yang bisa ditimbulkan oleh sistem kekuasaan pada suatu pemerintahan pada kurun waktu tertentu. Kolase-kolase waktu itu terus menghimpit dan mengembangkan kekuasaan. Berbagai peristiwa bisa saja terjadi akibat dari kuku-kuku kekuasaan itu. Di dalam novel ini, kita akan tahu beberapa hal. Pertama, deskripsi orang-orang yang dikuasai nafsu biologis. Kedua, deskripsi orang-orang yang dikuasai dan menguasai kemiskinan. Ketiga, deskripsi orang-orang yang dikuasai dan menguasai perekonomian. Keempat, deskripsi orang-orang yang menguasai masyarakat kelas menengah ke bawah hingga tak berkutik. Kelima, deskripsi tentang orang-orang yang menguasai hak milik orang lain dengan sewenang-wenang. Semua deskripsi itu bermuara dari sistem perpolitikan di Negara kita. Sampai di sini, saya teringat perkataan pemikir Inggris, James Putzel dan Mick Moore (2000), bahwa sistem politik demokratis tidak otomatis berpihak kepada yang miskin. Alasannya, dalam sistem demokrasi yang ditandai kompetisi politik, suara kaum miskin sering tidak terwakili oleh aneka saluran politik yang ada. Juga suara kaum miskin, meski jumlah mereka besar, belum tentu menjadi ‘penentu’ program-program partai politik dalam Thinking Strategically About Politics and Poverty. Dari sini, kita tahu bahwa sistem kekuasaan yang merupakan sisi lain dari politik lebih mengarah kepada golongan tertentu, bukan kepada rakyat.

Kekuasaan begitu luas. Kekuasaan bagaikan hamparan gurun pasir yang bisa melahirkan bencana-bencana bagi kehidupan manusia. Kekuasaan akan melahirkan kelas sosial: tinggi-sedang-rendah. Kekuasaan akan membangun tembok-tembok penghalang yang merajut kesenjangan-kesenjangan dan inharmonisasi. Para penguasa pula, begitu cerdik. Sekebat deskripsi Marhalim tentang kekuasaan dalam Megalomania merupakan gambaran nyata kondisi lokal masyarakat Riau, khususnya di Kabupaten Bengkalis. Setting-setting jenius lokal ini begitu jelas dapat kita tangkap. Di samping sebagai bentuk ketidakpuasan, Marhalim pun hendak mengatakan bahwa sistem pusat kekuasaan para pemimpin kita sudah terlalu banyak mengandung dosa kepada rakyat. Begitu banyak kesenjangan terjadi di daerah ini. Semuanya merupakan akibat dari sistem kekuasaan yang sakit.

Ide-ide yang dituangkan Marhalim dalam Megalomania merupakan benturan-benturan dalam kehidupan nyata. Konflik-konflik yang dilakarkannya merupakan perseteruan psikologis melalui tokoh sentral Wak Madim. Semua konflik yang dijalin dalam novel ini berasal dari kekuasaan. Tampaknya, Marhalim memandang kekuasaan sebagai punca dari segala akibat yang menimpa kegetiran hidup masyarakat luas, baik di lingkungan berkeluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara. Kekuasaan dalam novel ini tidak lain adalah benturan-benturan yang mendominasi kehidupan. Sebagai suatu bentuk benturan, kekuasaan terus menjalar bagai tirani yang mampu menghimpun kekuatan luar biasa terhadap pribadi dan golongan/kelompok tertentu. Keberadaan Wak Madim di kampung itu menunjukkan bahwa kekuasaan bisa diprovokasi secara pribadi meskipun melalui jalur kegiatan sosial dan budaya. Secara kelompok/golongan, dalam novel ini dilukiskan melalui tokoh Kepala Desa dan Toke Cina yang menguasai dan memonopoli sistem perekonomian.

Afrizal Malna menjelaskan bahwa sastra dalam konteks teologi estetika merupakan praktis keimanan dan benturan-benturan yang dihadapi penyair dalam realitas kehidupan. Sumarjo menambahkan bahwa sastra adalah proses pergumulan yang terjadi di masyarakat. Ia didesak dan didihadirkan atas dasar emosional atau secara rasional dari masyarakatnya.

Kekuasaan yang digambarkan Marhalim merupakan kekuasaan yang melahirkan kecemasan-kecemasan. Rasa takut, depresif, intimidasi, dan penjajahan ekonomi merupakan segelintir kecemasan yang dapat ditangkap dalam novel ini. Kecemasan ini merupakan akibat dari sistem kekuasaan yang sakit. Sebagai manusia, kita takkan pernah terlepas dari kuku kecemasan seperti ini. Kecemasan di dalam novel ini juga merupakan ketakutan tokoh-tokohnya akan terjadinya kekosongan kekuasaan. Karena pamornya di kota memudar, Wak Madim mulai takut kehilangan kekuasaannya sehingga ia pulang ke kampung halaman untuk membangun kembali kekuasaan itu di sana. Demikian pula konflik psikologis yang dialami Kepala Desa dan toke Cina yang menguasai perekonomian. Kata Heidegger dalam Hardiman, kecemasan sebagai kondisi mencekam di mana manusia berhadapan dengan ketiadaan (nicht). Akibat dari kecemasan akan ketiadaan/kekosongan inilah, melahirkan berbagai tindakan-tindakan yang tak bisa kita bayangkan.

Untuk menghindari dan melahirkan kecemasan itu, bagi Marhalim, orang rela saja menderita untuk mendapatkan kekuasaan sebab duduk di kursi kekuasaan adalah sebuah kenikmatan. Karena sudah diawali dengan penderitaan, maka obsesi berikutnya adalah kesenangan. Kekuasaan memang sering memberikan ruang lebih luas dan besar untuk mengatur segala sesuatunya. Kekuasaanlah yang membuat orang tak ingin turun ke bawah karena ia sudah sangat terikat dengan pandangan bahwa yang di bawah adalah yang lemah. Oleh sebab itu, kerap lahirlah sifat refresif dan malah kadang opresif, dan yang paling kerap tampak adalah sifat koruptif. Seorang Perancis, Foucult, mengatakan bahwa kekuasaan itu sesungguhnya menjalar dan meresap dalam segala bentuk jalinan relasi sosial, tanpa dapat dengan gampang dilokalisasi. Lalu, Milan Kundera mengatakan bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa.

Dari novel ini, saya melihat Marhalim adalah kutu buku. Di samping penulis produktif, dia juga pembaca hebat. Tentu saja aktivitas membacanya ini sangat membantu dalam kreativitas dan produktivitas menulisnya. Dalam novel ini, kita akan menemukan berbagai rujukan sebagai kutipan untuk memperkuat filosofis muatan unsur instrinsiknya. Namun, kesan-kesan sebagai sebuah esai, opini, dan artikel akibat kutipan itu sama sekali tidak mengganggu keutuhan Megalomania sebagai sebuah novel. Justru sebaliknya, penghadiran referensi tersebut memperkaya dan memperkuat keberadaan muatan isi novel ini. Di dalamnya, kita akan menemukan pendapat Raja Ali Haji tentang pemerintahan. Kita juga akan menemukan pemikiran filsuf, budayawan, dan sosiolog Prancis, Foucult. Selain itu, ada pemikiran Richard Herzinger (pengarang buku Republik Ohne Mitte/Republik Tanpa Pusat) tentang otonomi dan kemerdekaan. Kita juga akan menemukan Kahlil Gibran, yaitu pandangannya tentang anak. Ada juga Alan Lightman, pengarang Einstein’s Dreams. Kita akan mengetahui pula pendapat George Orwell tentang struktur dalam masyarakat. Ada juga bait puisi berjudul “Tikus-tikus” karya Bibi Bacilio. Selain itu, ada pendapat Milan Kundera dan pemikiran Franz Kafka dalam cerpennya Metamorfosis. Semua pemikiran dan referensi itu mengalir bersahaja dalam bentuk isi surat yang ditulis tokoh ’’samar’’ yang dinyatakan Marhalim sebagai kekasih Wak Madim. Kehadiran referensi telah menjadikan Megalomania agak istimewa. Jika tidak, menurut saya, Megalomania tidak punya kekuataan apa-apa, hanya karya konvensional yang sudah sering kita baca.

Dalam kehidupan nyata, begitu banyak penyakit gila kekuasaan. Dalam rentetan berikutnya, begitu banyak pula penyalahgunaan kekuasaan. Akibat penyalahgunaan kekuasaan ini, semuanya menjadi sakit. Struktur dan sendi kehidupan menjadi lumpuh karena lari dari garis norma. Di samping memaparkan berbagai nilai moral, budaya, sosial, dan ketuhanan, novel Megalomania pun ingin mengajak pembaca ’’memberontak’’ dan ’’membunuh’’ sistem kekuasaan yang sakit di negeri ini. Mari bersama-sama, kita bunuh megalomania yang berakar dari dalam diri masing-masing. Dengan demikian, kemanusiaan akan terus hidup.***

*) Guru SMAN 3 Bengkalis. Sangat mencintai kreativitas menulis. Tinggal di Bengkalis.

Senin, 22 Desember 2008

Spirit Perlawanan dalam Sastra 'Post'- Kolonial

Judul: Post-Kolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra
Penulis: Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U.
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: I, Februari 2008
Tebal: xii + 450 halaman
Peresensi: Fatkhul Anas*
http://www.lampungpost.com/

MEMBUKA kembali ragam file ingatan tentang zaman kolonialisme di Indonesia merupakan hal "berani". Sekali membuka berarti siap dengan kisah-kisah dramatis seputar penderitaan bangsa. Kelaparan, kerja paksa, pembodohan massal, penganiayaan, pembunuhan secara sadis adalah pemandangan yang lazim. Perbudakan, gundik, serta pemungutan pajak secara paksa tak luput pula menjadi sejarah yang memilukan. Kekalahan bangsa Indonesia memaksa mereka tunduk dalam kekejaman, menikmati kesengsaraan, dan terpenjara dalam kebodohan. Tidak sedikit pun bangsa ini dibiarkan menikmati indahnya kehidupan, kecuali segelintir orang. Orang-orang itu adalah mereka yang patuh dengan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.

Zaman kolonialisme memanglah menjadi "abad penggelapan" bagi bangsa ini. Abad ini memaksa bangsa Indonesia mengadakan pembelaan diri dengan melakukan perlawanan.

Dari aspek fisik, bangsa ini melakukan serangan balasan dengan model peperangan. Meski dengan bersenjatakan bambu runcing, nenek moyang Indonesia tak sedikit pun gentar menghadapi penjajah. Kendala apa pun diterjang. Harta, benda, bahkan nyawa menjadi taruhan. Orang-orang terdidik atau kaum intelektual mendirikan organisasi sebagai wadah penggalangan ide.

Organisasi-organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam adalah sebagian dari organisasi yang setia meneriakkan semangat antikolonialisme. Tidak ketinggalan para sastrawan Indonesia juga turut mewarnai perjuangan. Dengan karya sastra post-kolonialismenya, mereka menyulut api perlawanan secara berkobar-kobar.

Semangat sastrawan post-kolonialisme menandingi kolonialisme akan dibahas tuntas dalam buku ini. Buku dengan judul Post-Kolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra karya Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, membeberkan secara rinci, serta memberikan analisis mendalam seputar karya sastra post-kolonial. Dilihat dari istilah post-kolonial, ini berarti terjadi setelah zaman kolonial. Post-kolonial atau pascakolonial, memberikan pemahaman bahwa masa ini adalah masa serangan balik terhadap kolonial. Kalau kolonial banyak mengeksploitasi Indonesia, post-kolonial memberikan umpan balik dengan melawan kolonial. Dalam kaitannya dengan sastra, sastra post-kolonial adalah sastra perlawanan terhadap kolonial.

Sastra-sastra post-kolonial di Indonesia banyak jumlahnya. Dalam buku ini, disebutkan ada dua kategori untuk mengklasifikasi karya sastra post-kolonial.

Pertama, karya sastra sebelum perang. Masa ini dibagi empat periodisasi: Sastra melayu rendah (Tionghoa), sastra Hindia Belanda, sastra Balai Pustaka, serta sastra Pujangga Baru. Kedua, masa sesudah perang (setelah Pujangga Baru). Masa ini tidak dibagi dalam periodisasi, dengan pertimbangan telah berakhirnya kolonialisme (hal 261).

Karya sastra post-kolonialisme sebelum perang, dalam buku ini berjumlah delapan. Di antaranya: Cerita Nyai Dasima (G. Francis, 1896), Cerita Nyai Paina (H. Kommer, 1900), Max Havelaar (Multatuli, 1860, 1972), Manusia Bebas (Suwarsih Djojopuspito, 1940, 1975), Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1937), serta Belenggu (Armijn Pane, 1940).

Sastra post-kolonial sesudah perang berjumlah lima buah; Ateis (Achdiat Karta Miharja, 1949), Pulang (Toha Mochtar, 1958), Bumi Manusia (Promoedya Ananta Toer, 1981), Burung-Burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya, 1981), serta Para Priayi (Umar Kayam, 1992).

Dari keseluruhan karya sastra post-kolinialisme ini, Bumi Manusia-lah yang ditengarai memiliki citra perlawanan tinggi. Karya sastra hasil kreativitas Pram ini, memiliki banyak aspek perlawanan.

Sesuai analisis pendek Prof. Nyoman, ada banyak perlawanan yang diteriakkan Pram terhadap praktik kolonialisme lewat Bumi Manusia-nya. Pram mengkritik praktek pengucilan terhadap bangsa Indonesia. Ini disimbolkan Pram lewat tokoh Nyai Ontosoroh. Ontosoroh dalam versi Pram adalah perempuan berkualitas. Perempuan ini berhati keras, disiplin, serta pemberani. Meski ia tidak mengenyam pendidikan tapi cerdas berkat pembelajaran otodidaknya (hal 334).

Ontosoroh memiliki semangat baja, sebagai akibat perlakuan tidak pantas terhadap dirinya, sebagai gundik, bahkan dijual sebagai budak. Berkat keberaniannya, ia berhasil menyelamatkan perusahaan suaminya sehingga pada zamannya perusahaan tersebut terbesar di Surabaya.

Di sini, Pram memberikan gambaran bahwa sesuungguhnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang berkualitas, pemberani, dan pantang menyerah. Tidak boleh bangsa ini dianggap rendah oleh bangsa penjajah. Penjajahlah yang semestinya merasa berdosa telah mengeksploitasi Indonesia secara besar-besaran.

Mengenai eksploitasi, Pram juga memberikan sindiran keras di dalam Novel Bumi Manusia-nya. Pram menulis sebuah kalimat "Ingat-ingat ini: Eropa yang menelan pribumi sambil menyakiti secara sadis. E-ro-pa.....Hanya kulitnya yang putih," ia mengumpat," hatinya bulu semata." (Bumi Manusia, 2006: 489--490).

Kalimat ini adalah sindiran sekaligus hinaan yang keras seorang Pram terhadap para kolonialis. Pram hendak menyampaikan bahwa praktik kolonialisme harus dihentikan. Apa yang dilakukan Pram dalam karya sastranya merupakan bentuk perlawanan nyata terhadap kolonialisme. Termasuk juga dengan karya sastra lainnya. Karya-karya Multatuli, Suwarsih Djojopuspito, Marah Rusli, Abdoel Moeis, Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Achdiat Karta Miharja, Toha Mochtar, Y.B. Mangunwijaya, Umar Kayam, serta lainnya merupakan karya-karya penentangan. Karya-karya tersebut membawa misi perlawanan serta penolakan terhadap kolonialisme.

Melalui karya-karya ini, bangsa Indonesia diajari bagaimana seharusnya bersikap terhadap kolonialisme. Tak sekedar dikecam, tetapi kolonialisme harus dilawan. Dan pada akhirnya, praktik kolonialisme harus dihentikan dari bumi pertiwi maupun di seluruh dunia.

Memang saat ini praktik kolonialisme sudah lenyap, tapi jiwa-jiwa kolonialis masih bersarang di tubuh orang-orang Barat. Jiwa-jiwa itu sekarang berubah menjadi imperialisme. Praktek kolonialisme dalam bentuknya yang halus ini masih menyelimuti bumi Indonesia. Untuk mencegahnya diperlukan energi yang cukup. Tidak mungkin imperialisme dapat dicegah jika perangkat SDM bangsa masih lemah. Dengan mengambil semangat perlawanan pada postkolonialisme, semoga bangsa ini segera mampu menghentikan praktik imperialisme.

*) Peresensi adalah staf pada Hasyim Asyari Institute Yogyakarta

Mengenang Sastrawan A.A. Navis

Gerson Poyk
http://www.sinarharapan.co.id/

Sejak akhir masa Presiden Sukarno dan masa Presiden Suharto sampai hari ini, Indonesia telah kehilangan beberapa sastrawan, seperti J.E.Tatengkeng, Anak Agung Panji Tisna, Idrus, Takdir Alisyahbana, Iwan Simatupang, Nugroho Notosusanto, H.B.Jassin, Trisnoyuwono, Muhamad Ali, Kirjomulyo, Chairul Harun, Satyagraha Hoerip, dan Motinggo Boesye.

Manusia memang fana tetapi seninya tetap hidup di tengah kehidupan bangsanya dan kehidupan umat manusia. Para sastrawan Indonesia yang telah pergi maupun yang masih hidup adalah tonggak budaya personal sedangkan karya mereka adalah budaya spiritual
Beberapa hari yang lalu, media massa nasional memberitakan kepulangan A.A.Navis kepangkuan Tuhan Yang Maha Esa. Yakinlah bahwa Sang Pencipta Agung tidak akan menyia-nyiakan arwahnya, arwah seorang sastrawan yang telah diciptakanNya sebagai tonggak budaya personal yang selama hidupnya telah menciptakan budaya spiritual yang disebut sastra Indonesia – yang menjadi bagian dari sastra dunia.

Ars tonga (longa – Red.) vita brevis. (Seni berumur panjang, hidup manusia pendek – Red.). Sesaat setelah mengetahui kepulangannya, saya mengumpulkan sejumlah antologi sastra dalam negeri maupun antologi mancanegara dari perpustakaan pribadi. Sastrawan Ali Akbar Navis selalu ikut serta dalam antologi-antologi itu. Ia cukup diperhitungkan dalam sejarah sastra Indonesia maupun studi kesusastraaan oleh pakar-pakar asing sehingga setiap ada antologi dalam bahasa asing karya-karyanya diikutkan. Dengan demikian karyanya tersebar di dunia berbahasa Inggris dan sebagainya, di samping bahasa Indonesia, Malaysia dan Brunai. Dalam antologi raksasa berbahasa Inggris (709 halaman), dikatakan bahwa A.A.Navis, sastrawan peraih hadiah sastra bergengsi di Asia, Sea Write Award 1974, telah mempunyai dua kumpulan cerpen, yaitu The Downfall of Our Surau (1957), Hujan Panas (1962) dan Bianglala (1963). Sebenarnya cerpen yang belum dibukukan masih banyak lagi. Novelnya adalah Kemarau (1975), The Lonely Girl (1970). Di samping cerpennya yang cukup banyak, esei, artikelnya, paper dan makalahnya bertumpuk di lemarinya, menunggu ada kemauan politik dan industri penerbitan kita untuk memperkaya budaya spiritual bangsa dalam bentuk buku.

Saya tidak terlalu dekat dengan almarhum seperti halnya kedekatan saya dengan Trisnoyuwono yang maha nyentrik itu, atau Boesye, Oyik (Satyagraha Hoerip) dan Chairul Harun karena gaya hidup Navis agak ”aristokrat” seperti Asrul Sani dan Nugroho Notosusanto misalnya yang selalu tampak bersih, tidak slebor dan haram untuk tidur di sembarang tempat, terutama di Balai Budaya dan juga haram untuk makan di mana saja, di rumah teman atau di warteg.

Selain itu hanya sastrawan yang tinggal di Padang, Pekan Baru, Makassar dan Medan yang selalu muncul di Jakarta dengan menumpang pesawat terbang, kapal laut atau jalan darat. Selebihnya tidak mampu. Sastrawan Navis selalu muncul di Jakarta mungkin untuk urusan dinas dan ceramah di TIM. Akan tetapi saya selalu mencatat di mana ada sastrawan di kota-kota di Indonesia ini. Soalnya sebagai seorang wartawan freelance yang ketika itu lagi gila-gilanya mengembara di semua provinsi di negeri ini perlu tempat menggeletakkan badan di tikar mereka ketika kelelahan, lapar dan sakit. Di kota-kota yang ada sastrawannya, pasti rumahnya akan saya jadikan hotel prodeo. Ketika mengembara dari Banda Aceh, lewat Sumatera Utara menembus ke Padang, Sumatera Barat, saya jatuh sakit dalam perjalanan. Panas dingin, batuk pilek. Di benak saya rumah Navis akan saya jadikan rumah sakit sekaligus rumah makan karena di kantong hanya tinggal beberapa sen untuk membeli aspirin. Dibuang oleh bus di terminal, saya tertatih-tatih ke Pusat Budaya Padang menanyakan rumah Navis. Ternyata sastrawan kita ada di Jakarta. Untung saya bertamu dengan Chairul Harun sastrawan dan budayawan Minang, teman lama sejak bermanikebu di Jakarta dulu. Setelah panas badan turun pengembaraan di Pulau Sumatera diteruskan.

Di Jakarta, pada suatu malam. Ketika saya makan malam di warung tenda di depan TIM bersama Sutarji dan Ikranegara, di pojok sana duduk sastrawan Navis menikmati makan malamnya. Kami bertiga makan dan minum bir sejadi-jadinya. Makin lama Ikra dan Sutarji makin berceloteh, tertawa tergelak-gelak. Rupanya saya sedang menderita stres berat karena masalah rumah tangga sehingga bermalam-malam saya mengembara dari kaki lima ke kaki lima, dari stasiun ke stasiun, menggeletak di mana saja kalau sudah ngantuk. Setiap malam minum TKW putih, bir dan wiski. Rupanya alkohol (etil dan metil) segala telah til-til mengental menggerogoti otak saya sehingga cepat tersinggung, marah dan pemberani tak takut mati. Preman-preman saya ajak begadang minum TKW lalu meminta mereka adu panco. Ternyata otot saya lebih kuat sehingga mereka segan seakan menunggu waktu saya diangkat menjadi kepala preman. Ketika keduanya ribut saya masih tenang tetapi ketika Tarji menghamburkan kata tak tak tak dan biawak, saya tersinggung lalu mengambil botol bir dan memecahkannya di meja. Semua diam, membelalak. Tarji dan Ikra pergi setelah Navis membayar semua makanan dan minuman kami.

”Maaf, Bang, ” kata saya.
”Tarji dekaden, tapi Anda tak dapat menahan diri. Kalau pecahan botol kena mata orang...”
”Maaf Bang, maaf,” kata saya.
Untung saya segera sadar dan mencari Tarji untuk minta maaf.

Adegan itu tertera dalam buku biografi A.A Navis yang ditulis oleh Abrar Yusra. Hanya saja, dalam buku biografi Navis itu saya disebut alkoholik. Sebenarnya tidak sama sekali. Ketika badai krisis rumah tangga berlalu saya berhenti minum minuman haram itu. Bertobat, ceritanya. Mesin tik saya lalu berdetak-detik, tik tik tik setiap malam, buku-buku kembali dibuka, dibaca, dicoret sana sini. Siang malam membaca, mengarang mencari honor untuk membiayai kuliah anak-anak sehingga menjadi sarjana, wartawati dan dosen.
***

Ketika A.A.Navis menjadi direktur INS Kayutanam, sebenarnya tersedia jalan terbuka untuk membebaskan negeri ini dari pengangguran, urbanisasi dan utang yang menggunung. Lembaga pendidikan ini berseru sesuai dengan satu kalimat dari puisi Sitor. ”Anak, jadilah tukang”. Seruan atau imbauan ini sangat inspiratif bagi usaha penanggulangan pengangguran dan urbanisasi. Sayang, ketika membaca lifletnya, tampaknya lembaga ini dibawa ke pendidikan formal yang begitu banyak menelurkan penganggur di negeri ini.

Diharapkan suatu sayap pendidikan non-formal yang produktif dan kreatif dari lembaga ini dengan tamatannya yang membawa alat pertukangan dan teknologi tepat guna termasuk komputer dengan internetnya ke lembah-lembah sepanjang trans Sumatra untuk membuat desa-desa seni-budaya dan pariwisata yang subsisten di bidang pangan dan sandang serta pengobatan tradisional dari tumbuhan hutan dan tanaman. Dengan demikian, Navis dapat dikatakan sebagai bukan saja berbakti kepada keindahan lewat sastra tetapi juga telah merintis usaha mengatasi kemiskinan dan penderitaan melalui lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Semoga perjalanannya dilanjutkan oleh generasi muda. **

Sajak-Sajak Kesaksian Oka Rusmini

http://www.balipost.co.id/
Judul : Patiwangi
Pengarang: Oka Rusmini
Penerbit : Bentang
Tebal : viii + 195 hal
Tahun : Juli 2003
Peresensi: Nuryana Asmaudi SA

''untuk lelaki kecilku
Pasha Renaisan
yang pandai pengajariku kesabaran, ketabahan
dan penderitaan menjadi perempuan''


KALIMAT dari baris-baris sajak (sajak pendek?) tersebut termuat pada halaman persembahan buku kumpulan puisi terbaru dari penyair Bali Oka Rusmini yang berjudul ''Patiwangi''. Bisa dipastikan, sajak pendek yang terdiri atas empat baris tersebut ditulis Oka sebagai ''persembahan'' buat putranya bernama Pasha Renaisan (3 th), buah perkawinan Oka dengan penyair Arif B Prasetyo.

Sajak pendek itu, meski seolah hanya sebuah ''kata persembahan'', ternyata menjadi cukup penting keberadaannya dalam buku kumpulan puisi ini. Karena, sajak persembahan tersebut berbicara tentang ''anak'' (yang kebetulan juga lelaki) dan sang ibu (perempuan), di mana Oka nanti akan banyak berbicara tentangnya -- tentang keberadaan ke-perempuan-annya dalam peran kehidupan di tengan keberadaan dan peranan lelaki.

Oka memang dikenal sebagai salah satu penyair (sastrawan) perempuan Indonesia yang cukup banyak menyuarakan harkat perempuan dalam dominasi patriakhis, terutama dalam kehidupan dan budaya masyarakat Bali yang banyak ''dipinjam'' Oka untuk materi dan tema-tema tulisannya. Di luar Bali, Oka ''punya nama'' dan mendapat banyak pujian karenanya. Bahkan Oka dinilai sebagai (penyair perempuan) ''pemberontak'' yang melakukan pelawanan terhadap gender, dengan sajak atau karya-karya sastra lainnya yang acap menampakkan ''protes'' atas dominasi laki-laki terhadap kaum wanita dalam kehidupan.

Begitulah, setidaknya, pujian yang diberikan pada Oka oleh banyak kalangan (sastra) di luar Bali. Bahkan, beberapa karya sastra Oka kemudian mendapat penghargaan karenanya, seperti cerpennya yang berjudul ''Pemahat Abad'' yang terpilih sebagai cerpen terbaik majalah sastra Horison tahun 1990-2000, novel ''Sagra'' yang memenangkan Lomba Cerita Bersambung Femina 1998, bahkan pada pertengahan Oktober ini novel ''Tarian Bumi''-nya terpilih sebagai buku sastra terbaik 2003 oleh Pusat Bahasa Jakarta.

Buku puisi ''Patiwangi'' ini adalah salah satu dari karya-karya Oka yang sudah beredar ke kalangan pembaca sastra Indonesia. Buku yang memuat 113 sajak yang ditulisnya pada kurun 1990-1998 ini dibagi menjadi tiga bagian -- 17 sajak bagian pertama bertajuk ''Potret'', 39 sajak bagian kedua bertitel ''Upacara'', dan 57 sajak bagian ketiga berjudul ''Totem''. Sajak ''Patiwangi'' yang dijadikan sebagai judul buku, ada pada bagian kedua di halaman 98. Sejak ''Patiwangi'' ditulis pada 1995, terdiri dari 24 baris tersusun atas 7 bait. Pengertian ''Patiwangi'' menurut catatan penyairnya adalah pati = mati dan wangi = keharuman, yakni upacara yang dilakukan terhadap perempuan bangsawan di Pura Desa untuk menghilangkan kebangsawananannya, karena menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah. ''Seringkali upacara ini berdampak psikologis bagi para perempuan bangsawan,'' demikian catatan yang disertakan penulisnya. Secara lengkapnya sajak ''Patiwangi'' berbunyi sbb.;

''inilah tanah baruku/ mata air menentukan hidupnya/ ikan-ikan memulai percintaan baru/ batang-batang yang menopang daun-daun muda/ membuat upacara penguburan// telah kucium beragam bunga/ dan sesajen mengutuk kaki yang kubenamkan di tanah/ suara genta menyumbat mata angin/ tak mampu mengantar dewa pulang// kubuat peta di Pura/ Puta/ mengantar warnaku pada silsilah matahari/ bumi mengeram, tanah memendam amarah/tak ada pecahan suara/ menyelamatkan warnaku// para lelaki menantang matahari/ penunggu warga perempuan pilihannya/ tak ada upacara untuknya di setiap sudut Pura// para pemangku hanya mencium bangkai dupa/ terlalu banyak dewa yang harus diingat/ dan para lelaki terus meminang// karena namaku/ kuharus punya sejarah upacara// anak-anak/ kelak kumandikan dari pilihan ini''.

Selain ''Patiwangi'', masih banyak lagi sajak yang bertema Bali dalam buku ini. Sebutlah misalnya sajak ''Bajang-Bajang'', ''Tilem'', ''Tanah Bali'', ''Siluet Matinya Bali'', hingga ''Kintamani''. Banyak lagi sajak bertemakan Bali lain yang tak secara langsung memakai judul Bali, semisal ''Dongeng itu Bernama Luka'', ''Sajak Kartu Lima'', ''Romantisme Patung'', saampai ''Perempuan Batu''.

Sajak-sajak yang secara langsung membicarkaan (keberadaan) perempuan Bali, misalnya, juga cukup banyak kita dapati dalam buku ''Patiwangi'' ini seperti ''Parodi XXXII'', ''Pesta Api'', serta ''Sebuah Tarian''.

Sajak yang menyoal keberadaan perempuan secara umum dalam kaitannya dengan feminisme dan patriakhi banyak bisa dibaca dalam antologi yang dikemas-cetak manis dan cukup menawan ini. Di samping, sajak bertemakan lain yang merupakan ''rekaman'' atau ''catatan'' dari pengalaman-pengamatan dan perjalanan hidup Oka. Termasuk misalnya sajak-sajak yang menceritakan pengalaman hidup Oka waktu masa kanak-kanaknya di Jakarta saat hidup bersama orangtuanya (sebagai orang urban) di asrama tentara. Suka-duka dan kenangan sang penyair yang terasa mengharukan misalnya, diungkap dalam beberapa sajak semisal ''Episode Ciliwung dan Tanjung Barat'' dan ''Rumah Untuk Bapak''.

Buku puisi Oka Rusmini ini memang cukup beragam isi dan temanya. Namun, dalam kapasitasnya sebagai buku kumpulan puisi tunggal (perseorangan) -- lebih-lebih untuk penyair (dari) Bali yang rata-rata tak terlalu banyak jumlah puisinya -- buku ini terkesan agak kurang selektif dalam menampilkan sajak-sajaknya.

Tetapi kesan itu tentu relatif dan tak sepenuhnya benar. Hal ini lantaran Oka memang tergolong sangat produktif dalam berkarya. Sajak-sajaknya -- dan tentu saja karya sastranya yang lain -- cukup seabrek, semuanya tentu penting untuk didokumentasikan dengan baik, termasuk dalam sebuah kemasan buku. Buku ini, bisa jadi, untuk ''menyelamatkan'' dan mendokumentasikan sebagian sajak Oka. Bisa jadi pula, sajak-sajak Oka lainnya yang ditulis pada periode yang sama dengan yang ada dalam buku ini, tak dimasukkan dalam buku ini.

Yang jelas, buku ''Patiwangi'' ini telah hadir dan menambah khazanah kesusasteraan Indonesia. Kalangan sastra di Bali, setidaknya, perlu merasa bangga punya salah seorang sastrawan perempuan yang produktif seperti Oka Rusmini.

Sabtu, 20 Desember 2008

POTRET SOSIAL DALAM PENGAMATAN CERPENIS

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Ketika saluran komunikasi mengalami hambatan, dialog konstruktif tak lagi jalan, kritik diterima sebagai hasutan, dan kontrol sosial dianggap pemberontakan, maka sastra (di dalamnya tentu saja termasuk cerpen) sering kali dijadikan sebagai pilihan; alternatif untuk memainkan peran-peran itu. Kebolehjadian, keserbamungkinan, dan kesadaran estetik dengan dalih hendak mengusung licentia poetica kemudian menjadi alat guna menyembunyikan sikap ideologis atau amanat sosialnya.

Demikianlah, dengan cara itu, kritik sosial atau bahkan caci-maki yang setajam apapun, dapat terterima sebagai sentuhan moral yang bersifat universal. Ia tidak akan diperlakukan sebagai berita hasutan atau provokasi murahan. Ia seolah-olah mengangkat peristiwa tertentu yang mungkin ada, mungkin juga tidak ada, atau sekadar rekaan. Boleh jadi ia akan dipandang sebagai peristiwa orang lain yang mungkin sama sekali tidak berkaitan dengan diri kita. Boleh jadi pula ia memantul dan kemudian menjadi bahan introspeksi. Bahwa ia menumbuhkan kepekaan sosial, meningkatkan moral kemanusiaan, atau mempertajam daya kritis dalam menyikapi kehidupan di sekitar kita, tentu saja itu sangat mungkin terjadi, lantaran memang itu pula yang menjadi tujuannya. Tetapi, jika pun tidak, ya tidak apa-apa, lantaran ia sekadar tawaran yang bersifat arbitrer; mana suka dan tak ada hubungan wajib.

Begitulah, dengan kemasan estetik, sastra dapat memainkan peran apapun. Atas nama estetika pula, sastra dapat leluasa masuk ke wilayah-wilayah yang rawan sekalipun. Maka, persoalannya tinggal bergantung kepada kepiawaian sastrawan itu sendiri untuk menyiasati sesuatu yang menjadi muatan ideologisnya. Tanpa kepiawaian itu, ia akan condong tergelincir pada eksplisitas atau yang lazim disebut sastra propaganda.
***

Konon, sastra bukanlah sekadar ekspresi gagasan imajinatif belaka. Ia juga bukan cuma catatan atau rekaman sebuah peristiwa an sich. Sastra justru menyajikan sebuah dunia yang di dalamnya menyelusup wawasan, intelektualitas, tanggapan, sikap, ideologi, dan harapan-harapan yang mungkin hendak ditawarkan sastrawan. Sadar atau tidak sadar, sastrawan tidak dapat melepaskan dirinya dari berbagai pengaruh yang berkaitan dengan dunia yang melatarbelakanginya dan kondisi sosio-kultural yang melingkarinya. Segala macam pengaruh itu akan meresap, mengalir dalam darah kehidupannya, dan kemudian membentuk sikap dan karakternya menjadi sebuah pribadi. Semua itu tentu saja tidak terlepas dari latar belakang kultural yang melahirkan dan membesarkan sastrawan yang bersangkutan, pendidikan yang diperolehnya, ideologi yang dianut, dan kecerdasannya mengolah semuanya menjadi sesuatu yang khas; menjadi sebuah dunia yang di dalamnya estetika menempati kedudukan yang penting.

Oleh karena itu, sastra yang baik senantiasa memberi kenikmatan dan sekaligus pendidikan (dulcer et utile) kepada pembacanya. Itulah fungsi sastra. Ia selalu akan menawarkan kenikmatan yang bermanfaat. Bukan kesenangan belaka yang mengobral mimpi, sebagaimana yang disajikan sastra populer, bukan pula ajaran atau manfaat yang dipaksakan macam pamflet atau propaganda, tetapi kemanfaatan yang menikmatkan atau kenikmatan yang memanfaat.
***

Antologi cerpen yang berjudul Reinkarnasi Titis karya Pudji Isdriani K. ini, tentu saja mesti disikapi dengan pretensi itu. Mencermati ke-10 cerpen yang termuat dalam antologi ini, kita seperti memasuki beragam kehidupan sosial. Di sana, ada problem keluarga, dunia persekolahan dan kehidupan guru, cinta-kasih seorang ibu, problem jender sampai ke persoalan kultural yang berkaitan dengan pudarnya minat terhadap kesenian tradisional.

Keberagaman tematik itu, sekaligus memperlihatkan perhatian pengarang atas berbagai problem sosial yang terjadi di negeri ini. Sebuah sikap etik yang sering kali menjadi kegelisahan mereka yang peduli atas lingkungan sosial di sekitarnya. Periksalah cerpen “Setriliun Muka”, “Reinkarnasi Titis”, “Fatamorgana”, “Perempuan Pemecah Batu” dan “Anak Raso”. Semua bercerita tentang problem sosial. Dalam hal itulah, Pudji cukup piawai menyelusupkan kritikannya ke berbagai arah. Meskipun harus diakui pula, ia belum mempunyai keberanian untuk menyelesaikan akhir ceritanya dalam sebuah tragedi yang memilukan.

Kecenderungan untuk menyelesaikan cerita dengan kebahagiaan (happy ending), tentu saja berkaitan dengan pilihan. Siapa pun mempunyai kebebasan untuk melakukan pilihan itu. Walaupun demikian, menyampaikan suatu pesan tertentu, pastilah dapat dilakukan melalui berbagai cara. Salah satunya lewat sebuah tragedi. Cermatilah cerpen “Anak Raso” misalnya. Setelah memperoleh pekerjaan yang lumayan enak di Pontianak, Kalimantan, Jarwo terbujuk temannya untuk mengadu nasib di Jakarta. Di ibukota, ia memang tidak menjadi penganggur. Tetapi, bekerja di Jakarta, ia tidak cukup mental, tak tahan bantingan. Selepas sebuah kecelakaan menimpanya, ia menyadari, bahwa Jakarta bukanlah tempat yang cocok. Maka, ia memutuskan kembali ke Pontianak. Di sana, ia disambut orang tuanya. Begitu juga bapak asuhnya. Jarwo lalu dipekerjakan di pabriknya untuk mengurusi mesin-mesin pabrik. Happy ending!

Dari cerpen itu, kita dapat menangkap sebuah pesan didaktis. Jakarta bukanlah sahabat bagi orang daerah yang tak mempunyai keahlian. Pesan yang sama dapat saja disampaikan melalui tragedi dengan akhir cerita yang tragis. Misalnya saja, setelah peristiwa tabrakan itu, Jarwo menganggur, menjadi gelandangan, dan mati atau tak jelas lagi nasibnya: mati atau terus menggelandang! Jadi, dengan memberi tempat pada tragedi atau akhir cerita yang terbuka (open ending), Pudji mempunyai banyak pilihan untuk mengakhiri ceritanya. Dengan berbagai pilihan itu, ia sekaligus dapat menyampaikan pesan-pesan simbolik, ironis, atau bahkan paradoks!
***

Agak berbeda dengan kebanyakan penulis wanita yang bercerita seputar persoalan rumah tangga atau masalah hubungan suami-istri, Pudji justru tak terpaku pada tema itu. Dua cerpen yang ditempatkan di bagian awal, “Bapakku Satoe” dan “Selimut Luka Tiwul” yang mengangkat persoalan rumah tangga atau mengungkap persoalan dunia wanita, cerpen lainnya justru bermain dalam problem sosial yang sedang dihadapi bangsa ini. Sebuah pilihan yang tepat untuk memberi berbagai kemungkinan tematis. Dengan cara itu, ia dapat leluasa mencermati peristiwa apa pun, termasuk peristiwa yang terjadi dalam dirinya sendiri.

Dibandingkan dengan antologi cerpen pertamanya, Hati Seorang Ibu (Jakarta, 2001), antologi Pudji Isdriani kali ini, terasa kental dengan tema yang lebih problematik. Cerpen “Perempuan Pemecah Batu” dan “Fatamorgana” misalnya, jelas memperlihatkan keberpihakannya dalam mengangkat masalah jender. Secara ideologis, ada sesuatu yang hendak dibelanya. Dan itu penting diperjuangkan dalam kaitannya dengan usaha pemberdayaan kaumnya. Dalam hal itulah, Pudji telah mengejawantahkan peran sosial sebagai sastrawan. Ia melakukan pemberontakan melalui kemampuan yang dimilikinya: lewat saluran sastra.

Selain persoalan tema yang lebih beragam dan problematik, cara bertuturnya juga sudah terasa lebih mengalir. Sebuah modal yang sangat berharga bagi seorang cerpenis. Di luar itu, dalam beberapa hal, Pudji terkesan masih sangat berhati-hati mengumbar imajinasinya. Dan itu, berhasil dibungkusnya pengamatan latar tempat yang cukup detail. Jika itu dilakukan dengan lebih serius, rasanya tak bakal lama lagi sebuah monumen akan lahir dari tangannya. Kita tunggu saja!

Bojonggede, 11 Maret 2003

Ledakan Sastra Pesantren Mutakhir: Cinta, Kritisisme, dan Industri

Ridwan Munawwar
http://www.suarakarya-online.com/

Sejak sekitar awal millennium ke-3, sastra pesantren di Indonesia menunjukkan geliat yang tidak main-main. Kreatifitas dan produktivitas sastra pesantren meningkat drastis baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Tentunya ini suatu hal yang signifikan dan positif, meski menyimpan komplikasi keunikan tersendiri di belakangnya. Di satu sisi, fenomena ledakan sastra pesantren menunjukkan sekaligus mengukuhkan eksistensi pesantren sebagai salah satu unit peradaban yang tak pernah kering dari penciptaan-penciptaan baru, khususnya dalam dunia kesusasteraan.

Padahal kita tahu, bahwa terma kesenian sampai saat sekarang masih menjadi suatu hal yang problematik dalam paradigma dan mainstream keagamaan kalangan pesantren. Seni (fan) dan kesenian (al-fannan) dianggap urusan yang tidak esensial, bahkan dicurigai sebagai sesuatu yang bisa melenakan orang, membuat penikmatnya berleha-leha, melalaikan orang dari urusan syari'at (Zainal Arifin Toha, 2002).

Klaim ini diperkuat oleh adanya suatu histeria historis; dimana banyak sekali literatur keilmuan klasik (fiqh) yang dipergunakan pesantren yang menghukumi seni itu syubhat, makruh bahkan haram. Celakanya, hukum-hukum fiqih ini kemudian difahami dengan sempit, rigid dan membuta, tidak disertai dengan penggalian dengan wawasan hermeneutik. Interpretasi terhadap teks-teks fiqih terhadap kesenian seharusnya kritis dan kompherensif dalam mempertimbangkan berbagai konteks (asbabul wurudl) dimana hukum fiqih tertentu dikeluarkan; situasi sosio-kulturnya, situasi historis, situasi politik, bahkan situasi psikologis saat itu.

Padahal, diharamkannya anasir kesenian tidak lepas kondisi historis saat itu, yakni adanya political clash dan cultural clash antara umat Islam dengan umat Kristen. Kebetulan saat itu peradaban umat Kristen terkenal dengan keseniannya yang amat kental, sehingga mengundang ketegasan kaum agamawan Islam (fuqaha) untuk menumbuhkan militansi umatnya dengan melakukan berbagai langkah preventif agar umatnya tidak meniru kebudayaan lain.

Karena itu, ledakan sastra pesantren boleh dikatakan sebagai pemberontakan terhadap rigiditas dalam menjalankan syari'at, skripturalisme, tekstualisme, otoritarianisme fiqih minded yang terkadang membelenggu kreativitas berbudaya dan 'buta konteks'. Kesusasteraan pesantren meronta-ronta dalam hasrat yang menggebu untuk senantiasa menghidupkan dan membumikan nilai-nilai estetika sebagai ejawantahan atas prinsip; "Tuhan itu indah dan mencintai keindahan" (Al Hadits).

Kanon Sastra Pesantren

Dewasa ini, secara kualitatif, dinamika sastra pesantren bisa kita analisis salah satunya adalah melalui pelbagai macam perubahan serta pergeseran corak orientasi paradigmatik yang menjadi substansi dalam karya sastra yang bersangkutan.

Maka, bertambahlah 'spesies' baru, genre baru ke dalam khazanah sastra pesantren mutakhir; sastra pop pesantren dan sastra pesantren yang subversif. Keberadaan dua spesies baru ini tidak hanya melengkapi dan menemani kanon sastra pesantren yang sudah ada, tetapi juga di banyak sisi menyimpan suatu potensi dialektis dan kritis baginya; intertextual clash (benturan intertekstual).

Sebagaimana kita kenal dari jejak historisnya, sastra pesantren kita dikenal sebagai genre sastra yang giat mengangkat tema-tema nilai esoterik keagamaan; Cinta Illahiyyah, pengalaman-pengalaman sufistik, cinta sosial (habluminannaas), atau ekspresi dan impresi transendental keindahan alam semesta (makrokosmos). Mayoritas begitu kental dengan nuansa religius. Ini terlihat begitu jelas dalam karya-karya sastrawan pesantren tahun 90-an Acep Zamzam Noor, D Zawawi Imron, Zainal Arifin Toha, Jamal D Rahman, Abidah el-Khaeliqi, Kuswaidi Syafi'ie, Faizi L. Kaelan dan sastrawan-sastrawan lain yang ruang kreasi mereka bertempat di lingkungan geografis yang bernama pesantren.

Akibat kentalnya nuansa tasawwuf, sastra pesantren sering diidentikan dengan sastra sufistik atau sastra profetik (nubuwwah). Dengan kata lain, karakter sastra sufistik telah menjadi kanon sastra (mainstream literature) dalam tradisi kesusasteraan pesantren. Dengan Cinta Ilahiyyah dan spirit religius yang menjadi grand theme, paradigma estetika utama dalam etos berkreasi, sastra pesantren sebenarnya membawakan relevansi yang cukup signifikan terhadap vitalitas tradisi keilmuan di pesantren itu sendiri; sastra pesantren menjadi salah satu media alternatif bagi para apresian untuk mengenal dunia tasawwuf. Dengan apresiasi yang kontinyu, paling tidak sedikit demi sedikit nilai estetika dan kearifan humanis-teologis yang inheren dalam karya sastra dapat membentuk suatu sikap yang eklektik dalam beragama bagi para apresian, salah satunya dicirikan dengan terbangunnya sinergitas pemahaman terhadap fiqih dan tasawwuf.

Dengan kentalnya nuansa Cinta Illahiyah ini pula, lengkaplah sudah sastra pesantren sebagai subjek mayoritas dari keluarga besar sastra Indonesia yang mengusung dan meng-eksplorasi simbol-simbol serta nilai religiusitas (Islam). Sekalipun tentu saja, secara hakiki nilai-nilai sufistik dan profetik tidak bersifat ekslusif untuk golongan tertentu, melainkan juga terbuka luas untuk kalangan non-pesantren. Namun, dewasa ini ada perkembangan yang cukup menarik; bahwa kalangan sastrawan pesantren ternyata tidak hanya menjadikan ke-tasawwuf-an sebagai grand theme dalam etos kreativitasnya; satu persatu mulai terlihat adanya keliaran, muntahan-muntahan kegelisahan untuk merambah ke sisi-sisi lain. Sastra pesantren berada dalam kegelisahan yang panas. Di sinilah saya melihat munculnya genre sastra pesantren yang subversif.

Yang paling ekstrim barangkali adalah novel Mairil (Pilar Media, Yogyakarta; 2005) karangan Syarifuddin yang sedemikian berani mengangkat sisi gelap pesantren; yakni abnormalitas perilaku seksual yang terjadi di pesantren (mairil; homoseksual). Detail-detail ilustrasi peristiwa yang diangkat dari fakta itu dinarasikan sedemikian vulgar. Boleh dikatakan bahwa novel ini subversif terhadap sistem tradisi pesantren; bukankah seksualitas dan cinta lawan jenis selama ini menjadi suatu hal yang (di) tabu (kan) di lingkungan pesantren? Faktanya; pembatasan pergaulan lawan jenis yang berlebihan merupakan faktor utama dari disorientasi seksual yang terjadi di pesantren. Meskipun tidak bisa tidak, di sisi lain novel ini potensial menciptakan suatu bias eksternal; dimana ia mengundang stigma buruk kalangan masyarakat terhadap pesantren sebagai institusi pendidikan berbasis agama.

Sayangnya, kritisitas novel Mairil ini tidak diimbangi dengan kebaruan corak dan wawasan estetika. Prestasi dari novel Mairil adalah kualitas dokumenter (Faruk HT, 2000) dimana ia berhasil mendongkrak sisi tersembunyi pesantren sebagai suatu sistem yang dinamis, dan bukan kualitas literer; kualitas stilistika, capaian estetika sastrawinya masih cenderung nge-pop. Namun, bagaimanapun inilah satu bentuk muntahan otokritik baru. Revolusioner terhadap kultur pesantren yang secara mayoritas cenderung patriarkhal dan mono-referen (hanya terpaku pada sistem referensi pemahaman tunggal).

Secara implisit, dapat kita interpretasikan bahwa kehadiran novel Mairil berusaha membuka cakrawala baru pemahaman tentang cinta; bahwa Cinta Illahiyah -yang sufistik- tidak begitu saja dengan gampang diraih secara instant. Demi kesuksesan dalam perjalanan mendaki tangga-tangga cinta, seorang insan mesti sabar dalam melewati tahapan-tahapan dimensional dari Jalan Cinta. Bukankah Ibn 'Arabi, sang maestro sufi itu pernah memberikan formulasi tentang Jalan Cinta; Cinta alami (cinta lawan jenis dan unifikasi makrokosmis), Cinta Ruhani, dan Cinta Illahi. Dan Cinta Alami menempati posisi yang amat vital; bukankah Ibn Arabi juga mampu menelurkan banyak karya lantaran motivasi psikologis yang kuat dari Nidzam, seorang wanita Baghdad yang dicintainya? Karenanya jatuh cinta terhadap lawan jenis merupakan suatu hal yang manusiawi dan tak bisa ditinggalkan.

Di wilayah sosio-internal, novel Mairil kiranya layak untuk mendapat perhatian dari kalangan elit pesantren. Suatu tantangan untuk berintrospeksi; bagaimana merekontruksi dan merevisi kembali penataan lingkungan pergaulan (millieu) antar lawan jenis, atau mulai mempertimbangkan pendidikan seksual yang efektif dan proporsional bagi santri-santrinya.

Secara kuantitatif, sastra pop pesantren semakin menyemarakkan industri perbukuan. Sederetan nama sastrawan pesantren yang rata-rata berusia muda dengan karyanya tampil ke muka: Santri Semelekete (karya Ma'rifatun Baroroh), Bola-Bola Santri (Shachree M Daroini), Kidung Cinta Puisi Pegon (Pijer Sri Laswiji), Dilarang Jatuh Cinta (S. Tiny), dan Santri Baru Gede (Zaki Zarung) Salahkah Aku Mencintaimu (Ahmad Fazlur Rosyad) dan sederet nama lain yang tak bisa disebutkan satu-persatu. Motivasinya bisa beragam, atau barangkali sastra pop pesantren dipandang lebih prospektif dalam hal laba finansial? Terlepas dari semua itu, ini akan menjadi aset ekonomi para sastrawan.

Banyak kalangan elit sastra yang cenderung 'mengejek' akan keberadaan sastra pop, termasuk sastra pop pesantren. Budi Darma dalam esainya "Sastra Mutakhir Kita" (Horison, Februari 2000) menyatakan kekhawatirannya bahwa dengan industri, keberadaan sastra pop bukan hanya sekedar keberadaan, melainkan juga kekuatan yang akan menggeser keberadaan sastra serius". Ini saya kira suatu kekahawatiran yang agak berlebihan. Sementara, St Sunardi (2006) mengatakan" dalam setiap kebudayaan pop ada suatu jaringan kekuatan. Namun bagaimana kebijakan kita mengarahkannya untuk kepentingan-kepentingan kemanusiaan."

Dalam konteks sastra pesantren saya melihat bahwa relasi sastra serius pesantren dan sastra pop pesantren cenderung bersifat hierarkis, sinergis dan interdependen; bahwa dari minat terhadap karya sastra pop yang ringan itulah embrio tradisi membaca bisa terbangun. Karena itu animo masyarakat dan kalangan santri terhadap sastra pop pesantren tetaplah harus kita pandang positif. Bahkan penyair Jamal D Rahman dalam sebuah perbincangan tentang proses kreatifnya, mengaku mendapat modal senang membaca karena awalnya keranjingan membaca novel-novel 'kacangan' Freddy. S, tapi seiring dengan waktu dan intelegensinya yang terus berkembang ia pun beralih membaca dan menulis karya sastra sufistik yang high-quality.

Sastra pop juga berfungsi untuk 'latihan pemula', dan ini akan melanggengkan tradisi bersastra (baik kepenulisan maupun apresiasi) sehingga kontinuitasnya terjaga; bukankah hanya dengan hal itu literacy culture di pesantren bisa hidup, menyala dan terus memberi sumbangan-sumbangan berarti bagi peradaban? ***

Adonis, 'Modernitas Loakan', Pembebasan

Damanhuri*
http://www.lampungpost.com/

SEBELUM para kritikus sastra berkali-kali mengelu-elukannya sebagai calon penerima Nobel Sastra, Adonis jelas bukan nama yang terlalu akrab di telinga kita. --lit

Sosok bernama asli Ali Ahmad Said Asbar itu barangkali baru mulai mencuri perhatian kita ketika salah satu karya terbaiknya, al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Dirasah fi al-Ibda' wa al-Itba 'Inda al-Arab--menyusul penerjemahan beberapa puisinya dan dibukukan menjadi Perubahan-Perubahan Sang Pencinta (Grasindo, 2005)--diterjemahkan menjadi Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam (LKiS, 2007).

Popularitas Adonis kian menanjak saat awal November lalu menyampaikan ceramah budaya bertajuk Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama di Teater Salihara, Jakarta. Padahal, jika kritikus sastra Adam Shatz bisa dipercaya, konon tidak pernah ada seorang pun dari sastrawan Arab modern yang dikagumi seperti Adonis.

Dalam sebuah esainya, An Arab Poet Who Dares to Differ (The New York Times, 13-7-02), Shatz bahkan menabalkan sosok kelahiran Qassabin, Suriah, 78 tahun yang lampau itu, sebagai penyair terbesar dunia Arab modern.

Dalam nada agak hiperbolik, penyair Samuel Hazo yang menerjemahkan puisi-puisi Adonis ke bahasa Inggris, malah menjadikan Adonis sebagai penanda utama dinamika puisi Arab. Karena dalam pandangan Hazo, hanya ada tiga tonggak puisi Arab modern: puisi Arab era pra-Adonis, era Adonis, dan era pasca-Adonis.

Dua tilikan yang terkesan berlebihan di atas sebenarnya jauh-jauh hari sudah didahului Edward Said saat menyebut Adonis sebagai "penyair Arab paling provokatif dan paling berani" sepanjang sejarah Arab modern. Dalam buku Kebudayaan dan Kekuasaan (1995: 408), perintis tradisi kritik pascakolonial itu menunjuk Adonis sebagai eksemplar par excellence penafsir warisan sastra Arab dan hampir sendirian menantang persistensi dari apa yang dianggapnya sebagai tradisi Arab yang membelenggu.

Masa-Lalu-isme dan Modernitas Loakan

Adonis adalah sastrawan cendekia yang menempuh karier sebagai seorang penyair, aktivis politik, penggiat sastra, dan budaya, penyunting berbagai antologi puisi Arab klasik, kemudian memantapkan diri menjadi penyair cum kritikus sastra-budaya yang masyhur karena selalu memunculkan pemikiran baru, ganjil, sekaligus menyegarkan.

Sebagai seorang penyair, eksperimen estetik Adonis setidaknya bisa kita tengok dalam antologi puisi Perubahan-Perubahan Sang Pencinta. Sedangkan pemikiran-pemikiran bernasnya dalam batas-batas tertentu terekam dalam buku Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam yang semula merupakan disertasinya di Universitas St. Joseph, Beirut.

Dalam buku empat jilid (baru diterjemahkan dua jilid) itu, kita bisa menerka apa yang dipotret Adonis dengan detail seputar pertarungan dua kekuatan yang terus bersitegang dalam sejarah kebudayaan Arab-Islam. Di satu sisi, menurut dia, ada kekuatan dominan yang berkeras terus merawat dan mengadiluhungkan tradisi serta mengandaikan seluruh warisan masa lalu itu sebagai panasea bagi segala. Kekuatan inilah yang disebut Adonis sebagai "yang mapan", al-tsabit. Dan, di sisi lain, muncul arus berbeda yang meneriakkan keharusan perubahan.

Sayang, suara terakhir yang disebut Adonis sebagai al-mutahawwil ("yang dinamis") itu selalu dianggap sebagai ancaman bagi kemapanan (al-tsubut) dan mengakibatkan perjumpaan antarkeduanya lebih bersifat kontradiktif dan represif ketimbang dialektis. Sehingga, setiap arus dinamis menuju perubahan selalu tenggelam ditelan gelombang pasang suara dominan yang lebih memilih kehangatan selimut warisan masa lalu--betapapun telah apaknya warisan yang terus dipuja itu.

Dengan begitu, apa yang disebut Adonis sebagai kecenderungan "masa-lalu-isme" (past-ism) akhirnya bersimaharajalela. Sementara itu, tiap upaya kritik atasnya disambut sebagai bidah yang dianggap anti-Arab dan bahkan anti-Islam. Padahal, menurut dia, tanpa "revolusi kesadaran" melepaskan diri dari belenggu tradisi sekaligus sikap kritis menyambut budaya asing, yang tumbuh subur dalam kebudayaan Arab tidak akan bergeser dari fenomena "modernitas loakan" (second-hand modernity) alih-alih sebuah pembebasan.

Kebudayaan Arab, menurut Adonis, memang telah menjadi "modern" dan bisa dibilang sepenuhnya ter-Barat-kan. Tapi cakupan makna kemodernan itu ironisnya belum beringsut dari tren konsumerisme yang mewujud dalam perayaan atas komoditas budaya apa pun yang datang dari Barat. Sementara itu, perkara-perkara krusial seperti kebebasan berpendapat atau etos pembaruan yang merupakan tulang punggung kemajuan dan kemodernan-sejati justru tidak kebagian tempat untuk diruangkan.

"Kami hidup dalam impitan budaya yang tidak memberikan sepetak pun ruang untuk bertanya," ujar Adonis dengan masygul. "Sebab, kebudayaan kami seolah telah mengetahui semua jawab atas pertanyaan apa pun yang akan dilontarkan. Bahkan, Tuhan pun seakan tidak berhak lagi untuk bersabda."

Yang menarik, sembari memekikkan "pemberontakan" atas tradisi yang dianggapnya meringkus kreativitas itu, Adonis bukanlah pencemooh tradisi yang teralienasi dari akar tradisinya. Penguasaannya atas khazanah sastra Arab klasik, seperti dicatat Kamal Abu-Deeb dalam Encyclopaedia of Arabic Literature (1998), adalah salah satu yang menonjol dan tak lain buah didikan sang ayah.

Sedangkan benih-benih pemikiran kritis serta warna baru dalam puisi-puisinya ditakik dari perjumpaan dengan, dan dipengaruhi oleh, Antun Sa'ada (aktivis Partai Sosialis Syiria) serta sensibilitas puisi baru yang dirintis para penyair seperti Jubran Khalil Jubran, Ilyas Abu Shabaka, Sa'id 'Aql, dan Salah Labaki.

Dari Antun Sa'ada pula, menurut Abu-Deeb, muasal kesadaran Adonis ihwal keharusan merawat mitos dan sejarah dalam ekspresi puitik--khususnya ketika puisi dipandang wajib berperan penting dalam merespons tantangan Barat. Tidak mengherankan jika pada dekade 50-an Adonis menunjukkan ikhtiar keras memintal serakan sumber-sumber klasik dalam rajutan eksperimen puitiknya yang menggemakan keyakinan sosial-politik.

Namun, sembari menggelorakan pentingnya komitmen sosial, dalam satu helaan napas yang sama Adonis pun tetap berkukuh memandang urgensi hadirnya ruang yang otonom dan bahasa yang indah bagi puisi sekaligus menampik memerosotkannya jadi bahasa sehari-hari. Dan, corak paling nyata dalam gerak kepenyairannya itu dilihat Abu-Deeb memuncak dalam Aghani Mihyar al-Dimashqi (1961), ketika ia telah sampai pada "sebuah keseimbangan yang begitu padu dalam menyandingan peran sosial-politik puisi dan bahasa simbolik ketakhadiran yang diyakininya sebagai sebuah keniscayaan dalam puisi".

Sebait puisi berjudul Bangsa dari analektanya itu menunjukkan kecenderungan estetik tersebut: untuk wajah bangsa yang merengut di bawah kepuasan impian-impian/ aku iba; pada tanah yang telah kulupakan tetesan airmata yang menggenanginya/…dan demi batu karang yang kucadaskan dengan rasa laparku/ dia adalah hujan yang tersimpan di balik kelopak mataku/ dan demi rumah yang kutinggalkan bersama debu yang sia-sia/ aku merasa iba—-semua itu adalah wajah bangsaku, bukan Damaskus.

Suara itu diulangi Adonis dalam Inilah Namaku saat ia menulis: telah kumasukkan selku ke dalam sebuah selat/ yang telah digali oleh jam-jam/ aku bertanya-tanya, apa bangsaku sungai tanpa muara?/ kunyanyikan bahasa mata belati/ kuberteriak, keabadian telah terlubangi/ dan dinding-dindingnya telah runtuh di antara usus-ususku/ aku muntah/ sejarah dan masa kini belum ada yang kembali padaku.

Puisi bagi Adonis adalah visi dalam menghadapi dan menciptakan masa depan. Penyair adalah "pendobrak kebudayaan" yang memosisikan diri sebagai penghancur aturan-aturan usang, pengubah kemapanan dan kebekuan, pemberontak serta penggugat aneka bentuk penindasan. Begitu simpul Issa J. Boullata dalam buku-esai Batu Cadas dan Segenggam Debu (2007).

Tapi sebagaimana buku Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam yang tidak ubahnya jejak dari ziarah intelektual Adonis ke dalam hampir semua lekuk khazanah pemikiran Arab-Islam yang paling jauh, eksperimen puitik Adonis pun begitu kompleks, subtil, dan berliku. Pada suatu ketika ia menyuguhkan warna anarki-revolusioner. Tapi di waktu lain tiba-tiba menyemburkan aroma mistik-sufistik. Atau melebur kedua kutub tersebut dalam sebuah harmoni yang menjadikan karyanya benar-benar menyuguhkan karakter khas.

Langkah dan pilihan dinamis (kadang-kadang eklektik) itu juga tampak dalam rambahan tematik puisi-puisinya. Tidak hanya berkutat dengan persoalan khusus menyangkut nasib bangsanya yang tidak kunjung usai dirundung rusuh itu, tema puisi Adonis pun sebenarnya menjamah tiap serpih pengalaman manusia yang bersifat universal: Penderitaan, kematian, cinta, dan seterusnya.

Nabi Pagan di Neraka Pengasingan

Itulah Ali Ahmad Said alias Adonis. Penyair yang dalam usia 16 tahun telah didapuk jadi redaktur sastra sebuah koran karena kecemerlangan puisi-puisinya. Kritikus sastra dan budaya Arab yang kerap bersuara lantang menggugat standar ganda politik Amerika, tapi juga tidak jarang dituding sebagai sang juru bidah perusak akhlak oleh bangsanya sendiri.

Begitulah kiprah Adonis. Penyair yang kerap diolok-olok rekan-rekannya sesama penyair--ia tidak begitu hirau dengan, dan bahkan menikmati, julukan--sebagai sang nabi pagan. Penyair yang terus dirundung gelisah karena melihat "segalanya telah menjadi lebih penting dari manusia. Segalanya, bahkan baju, bahkan sepatu". (Pembuka Akhir Abad, 1980). Gundah menyaksikan saudara sebangsanya yang masih bergeming dalam pseudo-modernitas, dimabuk oleh--meminjam frase Adonis sendiri--"hidangan konsumerisme-dangkal sarat bahaya" (a dangerous brew of hollow consumerism).

Boleh jadi, sengkarut soal di atas itu pula yang mendorongnya memilih tinggal di Paris dan mengajar di berbagai universitas sejak 1985. Pilihan yang suatu waktu diungkapkannya, dengan nada getir, sebagai simalakama: Tinggal di "neraka pengasingan" sekadar untuk menghindari "neraka kehidupan sehari-hari" di negeri sendiri yang telah papa secara kultural akibat invasi budaya Barat yang terus menohok ke tiap arah mata angin. Proses pem-Barat-an yang sialnya, kata Adonis lagi, cuma memampatkan budaya bangsa Arab dalam kubangan konsumtivisme yang menangkarkan kebanalan dan menggagalkan tiap ikhtiar pembebasan.

*)Penulis, tinggal di Bandar Lampung

Pram, Sastra Kiri dan Pembebasan

Firdaus Muhammad
http://www.lampungpost.com/

"KITA semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang, karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru maka kemajuan sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia." (Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca, Hlm. 325)

Pramoedya Ananta Toer (Pram), maestro sastra berideologi kiri, 6 Februari lalu genap berusia 80 tahun, usia cukup keramat. Ketajaman mata batin mengiringi energi kreatifnya hampir tak tertandingi sehingga dinobatkan sebagai empu sastra. Karya-karyanya cukup berenergi, meski dibungkam gagasannya selalu hidup dan banyak mengilhami aktivis-aktivis pergerakan kampus. Hal itu bukan sebuah kebetulan, sebab Pram memiliki kecintaan pada rakyat dan pada angkatan muda yang selalu tergambar dalam karyanya. Kecuali itu, kekuatan kepenulisan Pram tercermin pada kemampuannya memadukan antara sastra (fiksi) dan sejarah (realitas), tepatnya, ia mampu mengelaborasi, bahkan 'menghidupkan' tokoh atau pelaku sejarah dalam jeda waktu tertentu dalam sebuah teks fiksi. Kepiawaiannya menjinakkan teks realitas dan teks fiksi dirajut sedemikian eloknya sehingga sebuah realitas sejarah dapat dibaca dalam fiksi yang kuat.

Syahdan, baik juga menyatakan meski terkesan klise, bahwa Pram berada pada garda terdepan dalam lanskap penulis sastra Indonesia yang memiliki komitmen kuat atas masa depan bangsanya. Komitmen sosial yang demikian kuat itu mewarnai pilihan gaya sastranya yang beraliran kiri. Dalam ranah ini, ia kadang menampilkan tokoh dengan karakter antagonis-protagonis sehingga fiksi sebagai media eksplorasinya mampu membentuk persepsi, bahkan menghipnotis pembacanya untuk mengarungi sejarah Indonesia yang sesungguhnya.

Proses kreatifnya terekam dalam Menggelinding I yang merupakan buah pemikirannya ketika muda sebagai jejak proses panjang keberkaryaannya dalam rentang 1947--1956 dan masih suci dari beban ideologi tertentu. Stigmatisasi kiri kemudian ditahbiskan kepadanya pascaketerlibatannya di Lekra. Karya-karya Pram berhaluan revolusioner dan bersemangat dilahirkannya saat aktif sebagai seniman-sastrawan kiri dan bergeliat di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Dalam komunitas itu terlahir karyanya "Suatu Peristiwa di Banten Selatan" dengan menarik garis 'realisme sosialis' dan propaganda sekaligus. Pilihan berhaluan kiri (baca: anti-Orde Baru atau anti-Soeharto) itu pula yang menjebloskannya ke bui tanpa pengadilan tidak kurang dari 18 tahun dan diasingkan ke pulau Buru, Maluku. Hal itu dialaminya sebagai rekayasa politik rezim yang dilawannya. Di sana ia tetap berkarya yang sebagian karyanya itu hampir mencerminkan jalan hidupnya, Pram memang meyakini dalam konteks tertentu, karya sastra kadang juga menjadi biografi penulisnya. Secara tegas dalam pidato penerimaan hadiah Ramon Magsasay 1995, Pram melukiskan bukanlah suatu kebetulan bila penulis, tidak terkecuali dirinya, disebut oposan, pemberontak, bahkan revolusioner. Penulis sastra selalu membuat reevaluasi dan evaluasi di setiap bidang kehidupan, meski dilakukan dengan kebisuan teks saat berhadapan dengan realitas kekuasaan yang hegemonik dan otoriter.

Karya-karya fiksi Pram sarat dengan seruan pembebasan dengan dimensi sejarah yang menggugah, seperti dalam "Arus Balik", "Arok Dedes", dan "Mangir", membuktikannnya sebagai pembaca dan penafsir sejarah yang tekun dan setia disertai kemahiran bertutur kata yang lihai, tetapi fiksinya berhasil menyingkap semangat dari lembaran sejarah realitas sehingga racikan semangat inilah yang membuat sajian fiksinya melahirkan realitas baru, realitas susastra yang dilahirkannya dari rahim realitas sejarah yang autentik. Karenanya, kritikus sastra Keith Foulcher (1993:36) yang juga dilansir Ihsan Ali Fauzie, meyakininya memiliki niatan didaktis kuat, karena karya-karya Pram memiliki pandangan tertentu tentang sejarah Indonesia di luar yang lazim, yakni memiliki relevansi kuat dengan sejarah Indonesia modern maupun sebagai catatan sejarah masa lampau. Hal itu bukanlah sesuatu yang ganjil, sebab Pram terobsesi menulis sejarah dalam bentuk novel. Tampaknya, kesan itu didapatkan dalam karyanya, "Jejak Langkah".

Pram sebagai anak zaman penindasan melakoni dunia sastra secara sarkastis sepanjang Orde Baru berkuasa, rezim yang membungkamnya sekaligus membesarkan namanya sebagai sayap perlawanan dengan ideologi kirinya. Ia dipenjara tanpa diadili dan diasingkan selama puluhan tahun. Tak pelak di balik jeruji itulah Pram melanjutkan proses kreatifnya. Saat mendekam dibui ia melahirkan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) karya Pramoedya Ananta Toer yang ditulis di Pulau Buru. Tindakan Pram menulis di Pulau Buru ini mirip dengan yang dilakukan pengarang Marxis Italia, Antonio Gramsci, yang dibui pada 1930-an.

Namun pascatumbangnya Orde Baru, Pram menghirup udara kebebasan, sang maestro pun turun gunung. Era reformasi menjadi era pembebasan bagi Pram, karyanya dipublikasikan. Buku-buku karya tokoh Lekra ini, kini dengan gampang dapat ditemukan. Misalnya, kwartet roman Pulau Buru, seperti Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Juga, buku-bukunya yang lain, seperti Arus Balik (1995), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), Sang Pemula (1985), dan Gadis Pantai (1987). Buku-buku karya Pram itu ada yang masih baru, ada juga yang bekas. Hasta Mitra, sebagai penerbitnya, sengaja mengangkat sastrawan sosialis itu dengan menerbitkan ulang buku-bukunya, pada sampul tiap edisinya tertulis Edisi Pembebasan. Karya-karya lama Pram, seperti Di Tepi Kali Bekasi (1947), Perburuan (1950), Keluarga Gerilya (1950), Percikan Revolusi (1950), Subuh (1950), Bukan Pasar Malam (1951), Mereka yang Dilumpuhkan (1951), Cerita dari Blora (1952), dan Korupsi (1954), juga dengan gampang ditemukan cetak ulangnya.

Padahal, buku-buku Pram, terutama roman-roman Pulau Buru-nya dulu dianggap berbahaya, dan yang menyimpan serta mengedarkannya bisa ditangkap. Misalnya, kasus yang menimpa tiga aktivis Yogyakarta, Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho, dan Bambang Subono, pada 1989. Ketiganya ditangkap dan dipenjarakan bertahun-tahun hanya karena kedapatan membawa buku Rumah Kaca. Keadaan itu kini agaknya sudah berbalik. Jangankan novel-novel Pram, buku-buku ajaran komunis dan marxisme saja kini bebas beredar. Bukan hanya di toko-toko kecil atau pasar-pasar buku bekas. Toko-toko buku besar pun sering menjualnya. Inilah masa pembebasan bagi karya-karya Pram yang dibungkam sekian lama, kini Pram hidup di ruang bebas dengan karya yang menyerukan pembebasan sejati.

Gayung bersambut, generasi Pramania menyoalisasikan ide-ide pembebasan Pram. Sebut misalnya, Pramoedya Institute sebagai lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan. Didirikan di Bandung, 24 Oktober 2003. Lembaga ini terbentuk, tergerak, serta bermuara demi dan hanya pada cita-cita kebudayaan semata. Penggunaan nama Pramoedya sebagai lembaga tidak menjadikan Pramoedya Institute bertujuan mengkultuskan sastrawan Pramoedya Ananta Toer secara individu. Tetapi patut dipermaklumkan, Pram tak pernah mengindahkan pujian dan nama baik sehingga ia tidak pernah terbebani dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya tanpa takut dicela sekalipun. Pram memang penulis sejati sebagai seorang berpikiran mandiri, individualis, dan sulit beradaptasi dengan dunia baru, ia hanya pengarang yang sunyi dan karenanya ia terbebaskan dan membebaskan.

-------
*) Koordinator Lingkar Kajian Komunitas AFKAR Circle Bandar Lampung.

Rabu, 17 Desember 2008

Konsep

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Kesenian adalah salah satu alat untuk mencurahkan makna, agar bisa ditumpahkan kepada manusia lain secara tuntas. Seperti sebuah baskom ia menampung darah yang keluar dari leher seniman yang menggorok dirinya, menggorok orang lain, situasi, problematik, lingkungan, misteri, makna-makna yang berserak, menempel, terapung, bersembunyi di mana-mana.

Ia menolong memaketkan, memberi pigura kadangkala menyamarkan, menggelapkan, menyandi, mengawetkan, membebaskan dari kurun waktu dan ruang, memberikan potensi untuk menembus segala kesulitan, perbedaan, jarak, intelegensia, intelektual, latar belakang, perbedaan ras, bahasa, bangsa dan ideologi.

Sebagai akibatnya makna yang hendak disemprotkan itu mengalami proses, mengembang dan mengempis, masuk ke dalam satu kehidupan yang memungkinkan dia tumbuh, mandiri dan menelorkan hal-hal yang sebelumnya tidak terpikir dan terasakan oleh manusia yang menggarapnya.

Kesenian dengan demikian tidak hanya bentuk-bentuk, bukan hanya satu wadah mati, bukan hanya saluran mati, tetapi adalah tanah untuk menanam, menyimpan, membudidayakan makna-makna untuk diwariskan kepada manusia lain. Ia dapat merupakan ladang, sawah, kebon, tegalan, padang liar, rimba belantara, gurun pasir, bukit, gunung, lembah, ngarai, danau, laut, sumur, bahkan mungkin juga kuburan.

Proses yang terjadi di atas tanah itu selanjutnya sangat menentukan. Lingkungannya, saatnya dan orang-orang yang menyentuhnya, mempergunakannya atau menerimanya merupakan bagian-bagian yang bisa menyebabkan makna semula memiliki kemungkinan yang tak terduga.

Menulis bagi saya adalah menggorok leher. Leher sendiri atau milik siapa saja, tetapi tanpa menyakiti yang bersangkutan, bahkan kalau bisa tanpa diketahui. Ini semacam pencurian, kucing-kucingan, akal-akalan, kadangkala dengan ngumpet-ngumpet, bila perlu menghapus jejak sama sekali.

Sama sekali tidak memiliki pretensi untuk memberikan resep, apalagi melahirkan pahlawan. Hanya menyeret orang untuk melihat begitu banyak alternatif yang ada di sekitar yang bertumpuk, cakar-cakaran dan memecah manusia menjadi individu-individu atau kelompok-kelompok.

Saya memilih anekdot. Hal-hal lucu, remeh, aneh kadangkala tak masuk akal, untuk mengagetkan, mencubit, menarik perhatian, mengganggu, menteror orang supaya terhenti sebentar, lalu berpikir dan mungkin ingat kembali bahwa dia juga manusia seperti orang lain. Dia bukan alat, sistem, aliran, jalan pikiran, tentara, polisi, pedagang, dan sebagainya, tapi jiwa dan raga.

Bahwa terlepas dari kelompok, tingkat kecerdasan, tingkat sosial dan kepentingan, ia juga manusia seperti orang lain yang secara eementer sama. Rata-rata punya rasa suka-duka, cinta, bahagia dan seterusnya.

Pada akhirnya apa yang saya tulis itu, baik merupakan cerpen, novel, esei, resensi, drama, skenario dan sebagainya tidaklah lebih penting dari apa yang kemudian terjadi dalam diri orang. Dengan kecenderungan dan pelbagai latar belakang, setiap orang akan memiliki tanggapan lain, kesan yang lain, reaksi yang lain lalu kesimpulannya sendiri.

Sebagian besar mereka mungkin sekali akan mengatakan bahwa apa yang saya tulis adalah gombal. Menulis tiba-tiba menjadi usaha untuk mengingatkan kepada orang lain yang akan menjadi pembaca, bahwa dia manusia. Mengembalikan ia kembali pada harkat manusianya kalau ia sudah menjadi barang, binatang, dewa atau mayat.

Semacam usaha untuk menyulut, menghidupkan, tapi bukan untuk mengabdi kepada sesuatu apalagi menjadi budak dari suatu tirani pikiran, baik bernama ideologi, kepercayaan bahkan juga agama.

Sebuah karangan dengan demikian menjadi alat saja yang tak pernah lebih penting dari manusia pembaca yang akan dihubungi. Tetapi sebagai alat yang sempurna ia harus memenuhi persyaratan yang bisa menembus ruang dan waktu sehingga dapat dipakai oleh manusia segala zaman, manusia segala tingkatan, manusia dari segala paham, dari segala jenis manusia, yang luhur maupun yang bejat. Dan ia juga mestinya tidak hanya mengandung satu kemungkinan. Ia harus penuh, sesak bagai rimba, bagai Arjuna Sasrabahu dengan seribu muka yang bisa menerjang ke segala arah dengan serentak.

Sebuah tulisan seringkali juga bagaikan bom.

Semua tulisan saya tidak gamblang menunjukkan apa yang sebenarnya sasarannya. Judul, gaya, jalan cerita, lingkungan yang menjadi setting cerita, bahkan juga persoalan yang kelihatannya menjadi benang merah pembahasan, tokoh-tokoh dan sebagainya hanya dapat dipakai sebagai pertimbangan untuk menangkap apa sebenarnya yang ada. Apalagi saya sendiri sering juga tidak tahu dengan pasti sasarannya itu, karena memang tidak bermaksud untuk mengikat diri pada satu sasaran.

Selama ini pembaca karya sastra sudah sedemikian hormatnya pada para pengarang, sehingga setiap karya dirasa perlu untuk diselidiki apa manfaatnya. Seakan-akan karya memang sudah langsung mengandung arti besar, berguna dan tidak mungkin tidak ada artinya.

Dengan cara begini setiap pengarang sudah dinobatkan menjadi pemikir, cendekiawan, intelektual yang mungkin satu atau beberapa strip di atas derajat orang banyak yang sudah disebut orang awam. Seakan-akan setiap karangan menyimpan suatu misteri yang harus ditelusuri seperti orang mengorek-orek tanah untuk menemukan peninggalan kuno - yang pasti bernilai.

Sekarang sudah masanya untuk berhenti memanjakan para pengarang. Buku dan karya sastra semakin banyak. Yang tak bermutu juga kadangkala sedemikian banyaknya menyemprotkan kebodohan, ketidakarifan atau kesalahan-kesalahan yang lebih tolol dari apa yang bisa dihasilkan oleh yang menyebut dirinya awam.

Usaha menggali dengan rasa khidmat, luhur dan percaya akan menemukan paling sedikit sebutir mutiara, harus diubah, dihentikan. Mungkin sekali sebuah karya sastra tak lebih dari tumpukan kata-kata usang yang merupakan tumpukan pikiran-pikiran rombengan di dalam gudang. Dan ini juga tidak harus disesalkan, karena adalah haknya untuk menjadi apa adanya, kalau memang kualitasnya hanya setingkat itu. Harapan yang terlalu banyaklah yang salah.

Lamunan harus dimatikan. Karya sastra harus dikembalikan sebagai barang biasa yang “mati”. Setumpukan kata-kata yang mungkin sekali telah disusun dengan disiplin keindahan seorang penyair atau penulis fiksi. Mungkin ada beberapa yang memang tiba-tiba memberikan pengalaman, penyegaran, pencarian dan sebagainya yang meningkatkan budi pembaca.

Mungkin ada yang benar-benar merupakan bunyi yang hidup dan memiliki relevansi yang hebat dengan kehidupan kita dan masa kita. Tapi itu pun tetap masih membutuhkan manusia sebagai embacanya, untuk kemudian “mempergunakannya”.

Para pembaca harus kembali kepada kehadirannya sebagai manusia yang lengkap dengan pikiran, perasaan dan kepribadiannya. Dengan cara begini maka bukan karya sastra yang dihidup-hidupkan, tetapi manusia/pembacanya. Mereka yang akan menyentuh karya-karya itu, menerimanya secara gelontongan, menyaringnya, menggemakannya, melanjutkannya dengan pikiran-pikiran lanjutan.

Menyambungnya dengan imajinasi dan asosiasi. Mereka punya peluang untuk menghidupkannya sebebas mungkin, bila perlu tak mempedulikan apa yang sudah diprogandakan atau dikecapkan sebelumnya oleh pengarangnya.

Cara memperlakukan karya sastra seperti ini akan menyebabkan karya itu jadi lahir kembali menjadi karya-karya baru pada setiap orang. Manfaatnya pun segera muncul. Latar belakang dan kecenderungan pembacanya ikut menjadi bagian dari karya itu dan menghasilkan sesuatu yang setidak-tidaknya berguna bagi orang itu. Dengan begini sebuah sajak, atau sebuah cerita pendek dan sebagainya bisa saja menjadi motivasi sebuah tindakan konkrit yang satu sama lain bisa berbeda hasilnya.

Sebuah sajak atau cerita cinta misalnya, bisa saja kemudian dianggap sebagai usaha untuk mengingatkan orang untuk menghargai manusia lain. Dan usaha untuk menghargai orang lain, bisa saja menelorkan tindakan kekerasan untuk menghancurkan segala penghalang yang telah menjebak orang untuk tidak mencintai sesamanya.

Dengan cara berfikir seperti ini, pertanyaan tentang apakah sastra mampu mengubah atau mempengaruhi masyarakat, apakah sastra memiliki peranan untuk perubahan-perubahan sosial - menjadi tidak penting. Pertanyaan itu tidak bisa ditanyakan kepada karya itu sendiri. Karena ia adalah barang “mati”. Jawabannya ada pada manusia pembacanya.

Pertanyaan yang mestinya diucapkan adalah apakah satu masyarakat tertentu, apakah pembaca, sudah dapat memanfaatkan karya sastra ? Pertanyaan yang senada dengan, apakah orang yang sudah bisa memanfaatkan pacul atau tanah ?

Pembaca yang kreatif akan bisa melihat tambang emas di dalam karya sastra jenis sampah. Apalagi kalau ia berjumpa dengan karya-karya kelas satu, hasilnya mungkin lebih hebat lagi. Saya mengatakan kelas satu dan sampah.

Bagaimana saya bisa sampai pada penggolongan kelas, kalau sebelumnya saya menganjurkan untuk menilai semua karya sastra itu sebagai barang mati pasif yang potensinya relatif sama - yakni tergantung dari pada pembacanya ? Dan apa artinya kelas satu kemudian kalau pembacanya mendapat kesulitan untuk memanfaatkan karya sastra itu padahal ia bukannya tidak ingin membuatnya bermanfaat ?

Ini barangkali menyebabkan kita akan sampai pada sebuah kesimpulan, bahwa kendati pun semua karya sastra itu sama dalam arti membutuhkan partisipasi pemanfaatan dari pembacanya, memang pada akhirnya ada yang kelas satu dan kelas lainnya.

Kelas tersebut dengan gampang akan terbentuk setelah melalui perjalanan yang panjang, melihat banyaknya ia berhasil menarik orang untuk memanfaatkannya maupun karena arah pemanfaatannya sedemikian rupa sehingga menyangkut kepentingan orang banyak atau nilai-nilai universal yang sedang dibutuhkan pada masa hidup manusia.

Usaha memanfaatkan karya sastra apabila dapat menggantikan usaha lama, yakni memuja karya sastra di atas menara gading, alam pertumbuhannya mungkin akan sampai pada saat yang berbahaya. Yakni manakala pemanfaatan itu sudah sedemikian gencar dan luasnya sehingga di luar batas-batas kemampuan karya itu sendiri.

Di sini sebenarnya manusia pembaca sudah menulis karya sastra yang lain. Di sini karya sastra itu dengan sendirinya telah mati tapi serentak waktu itu bertelor dan menetaskan sesuatu. Secara historis ia memiliki kaitan, meskipun secara intrinsik mungkin ia sudah terlepas sama sekali. Tapi ini justru segera membuktikan, bahwa karya sastra merupakan salah satu bagian dari mata rantai yang telah menciptakan sesuatu. Tentang bermanfaat atau tidak itu boleh diperdebatkan.

Karya sastra yang segede apa pun akan tetap menjadi karya sastra “yang benar-benar mati” apabila pembacanya melempem. Sebaliknya, dengan pembaca yang “bermodal”, satu kata dalam sebuah karya bisa berarti sangat banyak.

Menghadapi mesin ketik dan kertas putih, kadangkala seperti peristiwa melahirkan bayi, meregang nyawa, menahan sembilu yang menghujam tubuh. Kadangkala seperti muntah, berak, kentut, menguap, meludah. Kadangkala juga seperti mesem, tersenyum, tertawa ngakak dan orgasme.

Bahkan tak jarang seperti kuli kontrakan, budak, tukang, dan seorang pelacur. Itu semuanya tidak penting. Barangkali memang ada pengaruhnya, tetapi itu lebih merupakan bumbu, warna yang akan menghias cerita rekonstruksi dari seorang kritikus.

Memilih tokoh, lokasi, jalan cerita, tema adalah seperti menyabet barang dalam keadaan yang terdesak untuk bertahan, melindungi, menyerang, pendeknya bertindak. Apa saja. Asal ia kebetulan ada di sekitar kita. Asal dia dapat dipegang. Asal dia tidak menambah beban. Karena yang penting bukan apa yang kita pergunakan, tetapi bagaimana kita mempergunakannya.

Ketepatan mempergunakannya akan menyebabkan segala apa saja yang terpegang menjadi prima. Kejituan akan menyebabkan segala yang klise yang gombal yang sepele menjadi besar dan ampuh. Ini adalah mikroskop rahasia yang ada di mana-mana, setiap saat pada apa saja.

Mikroskop inilah yang ingin saya cangkok, jadi milik sehari-hari dan bukannya asesoris elit. Bukan semacam dasi, jas, kondom,gincu, senjata, obat dan sebagainya yang hanya disentuh untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu. Ia harus jadi ketrampilan umum bukan usaha bukan juga kecerdasan, ia harus jadi naluri.

Hidup 24 jam pakai kacamata, pakai mikroskop, pakai asesoris pasti tidak akan bebas, karena terlalu banyak yang teringat, terlihat, terpikirkan, sama dengan siksaan. Seperti membiarkan diri terpanggang jadi sate dalam hidup panjang ini, sementara kenikmatan yang lebih gampang dengan mudah dapat diraih, tersedia di mana-mana.

Pada akhirnya tidak ada yang akan tertarik, setelah beberapa kali mencoba mungkin hanya orang-orang gila, orang-orang putus asa, orang-orang yang tak mempunyai kesempatan yang mau bertahan terus.

Dan kesenian, hasil-hasil sastra dalam hal ini termasuk teater, akan terpencil dengan sendirinya, melenting ke atas dinding. Bergantung jadi hiasan, etalase, barang antik, elit dan praktis mubazir. Dan dalam prakteknya meneruskan menghasilkan barang-barang seperti itu, apa pun pertanggungan jawabnya adalah menelorkan lebih banyak bintang di langit, dewa di awang-awang dan mimpi-mimpi yang membusuk.

Bertolak dari kenyataan tersebut, saya belajar dari para pedagang, tengkulak, tukang tadah, tukang copet, pembual, politikus, pencuri, perampok, teroris, diktator, orator, tirani dan badut. Menulis akhirnya tak beda dengan tindakan kriminal terhadap pribadi-pribadi pembaca. Membadut, menipu, goblog-goblogan, mabok, edan dan menteror orang lain adalah gaya, untuk menjual dagangan.

Saya percaya ada zat terkatung di udara, menempel di mana-mana, pada siapa saja, pada apa saja dan kapan saja, yang sama. Dan ada semacam keluhuran yang mengatur semuanya itu. Keluhuran yang kadangkala tak teraba, tak tergapai tapi terus menerus ada.

Keluhuran yang mestinya juga bisa ditempel atau menempeli manusia sehingga ada satu arus yang mendesak kita untuk berkumpul dan menjadi satu monumen yang besar. Dan saya mengkhayal tentang satu keluarga besar, satu kerajaan besar, satu perdamaian besar, satu dongeng besar tentang cinta kasih yang luruh, satu harmoni besar yang menyebabkan semua makhluk berkomunikasi satu sama lain, seperti cerita-cerita wayang, Tantri atau Nabi Sulaiman. Tentang perdamaian yang abadi.

Kenyataan sehari-hari selalu menghajar kerinduan itu sebagai mimpi, sehingga setiap kali dengan mudah saja kita bisa terkecoh untuk menganggap hidup ini sia-sia. Bahwa seakan-akan apa pun yang dikerjakan semuanya tak akan ada artinya, kecuali sebagai sebuah sejarah panjang gagalan manusia.

Untuk mencegah hal tersebut atau katakanlah untuk melupakannya, saya memilih untuk bekerja secara maksimal berdasarkan apa yang menjadi kekuatan, kelemahan, kelemahan yang disulap menjadi kekuatan - apa adanya dari saya.

Bekerja secara total dan kerangsukan. Sehingga peristiwa “bekerja” jadi heroik, berkobar-kobar hampir menyerupai pertempuran, revolusi atau perang saudara di dalam diri. Peristiwa yang gegap-gempita dan berdarah, tetapi diam-diam dan tanpa etalase bagi orang lain. Sebuah petualangan yang sunyi.

Itulah semua kecap saya.

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae