Senin, 24 November 2008

SIMBOLISME PETAK—UMPET: “MENGUAK—NEGERI AIR MATA” ABDUL KADIR IBRAHIM

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Melayu dengan tradisi panjang kesusastraannya, hingga kini tetap kokoh menjadi bagian kesusastraan Indonesia. Dalam peta perkembangan kesusastraan Indonesia, dunia Melayu dengan keagungan ketamadunannya—tidak hanya menempatkan diri sebagai cikal-bakal bahasa dan kesusastraan Indonesia, tetapi juga terus-menerus ikut menyemarakkan capaian-capaian estetiknya. Lihat saja capaian estetik yang dipancangkan Ibrahim Sattah yang kemudian menjadi makin kokoh melalui Sutardji Calzoum Bachri. Dua penyair penting ini, tempatnya menjadi begitu khas, unik, dan nyeleneh sendiri, sehingga posisinya seperti tidak dapat lagi digoyahkan.

Di sana masih bertebaran nama-nama penting seperti Idrus Tintin, BM Syamsuddin, Ediruslan Pe Amanriza, Taufik Ikram Jamil, Hoesnizar Hoed, Samson Rambah Pasir, Junewal Muchtar, Fakhrunnas MA Jabbar, Abdul Kadir Ibrahim, dan sederet panjang sastrawan—penyair dengan kultur Melayu berada di belakang karakteristik kesastrawannya. Tentu saja mereka secara kualitas masuk kategori sastrawan Indonesia yang dalam bahasa politik sebagai sastrawan nasional.

Begitulah, kepenyairan dalam tradisi Melayu telah berhasil melahirkan, menumbuhkan, dan memberi kontribusi penting bagi pemerkayaan kesusastraan Indonesia. Sumbangannya yang berkelanjutan itu menunjukkan sebuah iklim yang kondusif. Iklim dalam suasana yang seperti itulah yang memungkinkan para penyair dapat melakukan berbagai usaha penggalian dan pemanfaatan yang tiada henti atas kekayaan kebudayaannya. Bukankah puisi, dan secara keseluruhan kesusastraan, merupakan ekspresi kreatif kegelisahan kultural sastrawannya sebagai manifestasi tindak keterlibatannya dalam berkebudayaan? Di situlah kedalaman estetik kepenyairan dapat ditelusuri dan diuji melalui sejauh mana mereka menyerap dan sekaligus melakukan pemberontakan atas tradisi estetik yang telah menjadi bagian inheren dari sejarah masyarakat dan keagungan kebudayaannya?

Abdul Kadir Ibrahim –yang lebih dikenal dengan sebutan AKIB—adalah salah seorang penyair dari sekian banyak penyair lain yang lahir dan dibesarkan dalam lingkaran kebudayaan Melayu. Kehadirannya dalam kesusastraan Indonesia terjadi sekitar pertengahan tahun 1980-an. Meski di awal kepenyairannya, AKIB bergerak di seputar Tanah Melayu, kemunculannya belakangan cukup mengejutkan. AKIB secara meyakinkan tampil sebagai sosok penyair yang lahir dari tradisi kebudayaan Melayu, yang di satu pihak, ia menyerap estetika pantun, syair, gurindam, dan mantra, dan di lain pihak, ia berusaha justru melakukan pemberontakan atas tradisi estetik yang diserapnya sendiri. Ia secara serius tampak berusaha melakukan penggalian dan pencarian model estetik yang hendak ditawarkannya. Di sinilah posisi kepenyairannya seperti telah sampai pada jati dirinya yang khas yang tidak gampang dipersamakan dengan penyair lain.

Dalam sejumlah puisinya, AKIB seolah-olah seperti hendak menyerap dan sekaligus memancarkan capaian estetik sebagaimana yang telah ditanamkan Ibrahim Sattah atau Sutardji Calzoum Bachri, tetapi di sana tampak pula usahanya justru hendak mengedepankan keterpengaruhnya lebih jauh dari itu, dari ruh kebudayaan yang telah melahirkan dan membesarkannya, tradisi kebudayaan Melayu. Maka, yang muncul kemudian adalah ekspresi keterpengaruhannya itu dalam semangat mengukuhkan monumen kepenyairannya sendiri, dan bukan sekadar keterpukauan pada tradisi estetik yang telah digulirkan penyair sebelumnya.

Sikap, pandangan, dan perspektif kepenyairan Abdul Kadir Ibrahim laksana hendak menawarkan ruh masa lalu keagungan kebudayaannya dalam semangat manusia kontemporer yang visioner. Jadilah visi kepenyairannya bersifat universal yang dalam bahasa Lucien Goldmann sebagai pandangan dunia, jika kita menempatkannya dalam strukturalisme genetik. Ia bukan jenis manusia epigon. Ia menerima dan menyerap keterpengaruhannya, justru sebagai titik berangkat melakukan pemberontakan, mencari dan menemukan jati diri, dan membangun monumen estetika sendiri. AKIB menunjukkan dirinya berada dalam ketegangan antara tradisi dan inovasi, antara konvensi dan eksperimentasi.

Dalam konteks itu, membaca puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim, baik yang terhimpun dalam antologi Puisi 66 Menguak (Riau: Unri Press, 2004), maupun dalam antologi Negeri Air Mata (Riau: Unri Press, 2004), kita seperti berjumpa dengan semangat estetik Ibrahim Sattah atau Sutardji Calzoum Bachri, tetapi tokh AKIB berhasil membangun jalannya sendiri berdasarkan ruh kebudayaan leluhurnya, berdasarkan akar sosiologis yang menjiwai kehidupan kepenyairan di Tanah Melayu.

Di situlah pentingnya penyair melakukan penggalian, pencarian, dan sekaligus pemberontakan atas tradisi estetik kepenyairan yang lahir, bergulir dan berkembang sebelumnya. Maka, ketika kita coba menelusuri semangat estetik puisi-puisi yang terhimpun dalam antologi ini, kita merasa seperti menemukan pantun, gurindam, dan mantra dalam kemasan yang justru penuh simbolisme.

Pancaran keindahan puitik, kesamaan bunyi, dan pola tipografi yang unik seperti sengaja dikemas sedemikian rupa untuk menunjukkan jati diri kepenyairan sosok seorang Abdul Kadir Ibrahim. Ia telah membangun bentuk estetik yang kaya simbolisme dengan jiwa kerinduannya pada Sang Khalik. Jadi, dalam hal tradisi estetik, AKIB menerima dan menyerapnya secara kreatif, lantaran ia sekaligus telah berhasil meretas bentuk estetikanya sendiri dalam kemasan dan semangat yang berbeda.

Periksalah sejumlah puisinya dalam bagian Puisi 66 Menguak. Di sana, AKIB seperti hendak mewartakan 66 episode persenggamaannya dengan Tuhan, dengan alam, dan dengan kegelisahan batinnya dalam melakukan pencarian tentang apa pun. Maka, bentuk tipografi yang dibangun sedemikian rupa, hadir justru untuk mendukung efek kekuatan bunyi, selain pola-pola repetisi, sebagaimana yang menjadi kekuatan mantra, tetapi jiwanya adalah pencarian tentang apa pun itu. Di sana, jadinya permainan tipografi tidak sekadar bentuk kemasan, melainkan fisik yang membungkus jiwa puisi itu sendiri. Artinya, pola tipografi sebagai bentuk simbolik yang dapat dicantelkan pada makna larik-larik puisinya.

Cobalah secara sembarangan kita membuka lembaran antologi puisi ini, maka di sana kita akan menjumpai sejumlah hal yang disebutkan tadi.

Periksa misalnya, puisinya berikut ini:

18
umurku berlalu
mampu
kuhitung tahunnya
tapi lagulaganya
tak kutahu di mana
yang kurasa sia di atas
mesra
dan
cela di atas menghamba
merenta tua semakin terasa
bila hamba
menutup mata
di kau peluk yang
hamba minta
cerita doa
demikianlah
hamba telah

Tipografi seperti berjalan seenaknya. Tetapi perhatikan secara serius pola enjambemen –pemenggalan suku kata, kata atau kalimat untuk membangun kekuatan efek bunyi— dalam tipografi itu. Pertama, dalam soal bentuk, dengan tipografi model itu, maka AKIB mengintegrasikan pola bait ke dalam larik. Dan itu dimungkinkan dengan tipografi. Jadi, bisa saja kata sambung /dan/ pada larik kedelapan, berfungsi sebagai bait yang menghubungkan tujuh larik pertama dan larik kesembilan dan seterusnya. Lalu apa maknanya?

Kedua, kesatuan makna. Tujuh larik pertama mewartakan perilaku aku liris dalam kesadaran introspektif tentang kebahagiaan yang sia-sia ketika aku liris (: seseorang) tidak menyadari keberadaannya –dalam hubungan dengan Tuhan, alam, atau apa pun. Larik kedelapan /dan/ yang menjorok itu, seolah menyampaikan pewartaan berikutnya yang di belakangnya ada kekosongan, kehampaan, ketidaksadaran, atau ketakpahaman, dan di depannya ada kesadaran introspektif lainnya sampai pada pesan menjelang kematian yang di sana, permohonan doa seperti menegaskan kegamangan aku liris dalam menghadapi kematian. Lalu, larik berikutnya /demikianlah/ juga berfunsgi sebagai larik dan sekaligus juga bait yang menunjukkan selesailah pewartaan itu. Bagaimana pula dengan larik terakhir /hamba telah/?

Itulah keunikan model puisi AKIB. Larik /hamba telah/ bisa berfungsi membangun efek kesamaan bunyi, tetapi bisa juga sebagai kesengajaan penyair untuk menggantung penyelesaian –puisi itu—dengan medan tafsir. Di sini, terbuka peluang seluasnya bagi pembaca untuk melakukan berbagai tafsir semantik. /hamba telah/ bisa bermakna introspeksi yang sempurna, kesadaran penuh, penemuan atas serangkaian pencarian, atau penyelesaian sebuah episode untuk melanjutkan pada episode berikutnya. Jadi, pola tipografi model itu sekaligus telah menjelma jadi medan tafsir yang berlimpah.

Meskipun secara formalistik tipografi dibangun untuk mengemas makna dan menciptakan medan tafsir, pola persajakannya sendiri masih dapat kita telusuri pada tradisi persajakan mantra yang memberi tekanan pada repetisi dan kekuatan bunyi. Perhatikan lagi puisinya yang berikut:

27
wahai jiwa nan tenang
khusuk dan rafakurlah kau
dalam diam indahnya bulan
dalam diam indahnya matahari
dalam diam indahnya langit
dalam diam indahnya seisi bumi
diamlah kau diindahnya
kenangku
di
kau
ya allah

Meski dalam puisi ini tidak digunakan bentuk tipografi yang justru dimanfaatkan betul dalam sebagian besar puisi dalam antologi AKIB, kita masih menemukan usaha penyair menciptakan enjambemen di dua larik terakhir: /di/ dan /kau/. Sebagai puisi, tentu saja kita mesti mencurigai kesengajaan penyair memenggal /dikau/ jadi /di/ dan /kau/. Secara semantik /di/ sebagai kata depan memang menyatakan pada atau kata depan untuk mengiringi tempat, hal, atau benda tertentu. Tetapi mengingat /kau/ di sana bermakna sebagai Tuhan atau dialog aku lirik dengan Sang Khalik, maka /dikau/ atau /di/ dan /kau/ penekannya jadi berbeda. Oleh karena itu, enjambemen /dikau/ menjadi /di/ dan /kau/ harus ditarik dan dicantelkan pada keseluruhan pesan puisi itu.

Secara tematik, puisi itu hendak mengusung penyadaran penyair pada fenomena alam yang bersumber dan bermuara pada Sang Khalik. Dengan pemanfaatan repetisi, maka puisi itu menyimpan semangat mantra yang bermain dengan repetisi dan kekuatan kesamaan bunyi. Di sinilah, penyair kembali seperti hendak menegaskan kembali hakikat puisi yang menyimpan medan tafsir.

Jadi, pada akhirnya pola bait yang dihancurkan penyair ini, bukan tanpa maksud. Ia bersengaja melakukan itu justru untuk mengintegrasikan larik dan persajakan dalam keseluruhan makna dan sekaligus juga pesan puisi yang bersangkutan. Dalam hal ini, AKIB jelas hendak menegaskan semangat estetiknya dalam keutuhan, terintegrasi, bulat—inheren, menyeluruh, tanpa perlu ada transisi (: bait) yang sesungguhnya tidak berpengaruh apa pun ketika puisi tampil sebagai keseluruhan, totalitas yang tak dapat dipecah-pecah ke dalam bait-bait. Bukankah pemahaman pembaca pada sebuah teks puisi pada akhirnya pemahaman keseluruhan puisi yang bersangkutan. Jika begitu, mengapa perlu ada bait, jika tanpa itu, pemahaman dan apresiasi pembaca tidak terganggu?

***

Dalam antologi Negeri Air Mata, penyair Tanjungpinang ini kembali berusaha memaksimalkan berbagai bentuk tipografi untuk kepentingan pemaknaan dan penghancuran fungsi bait. Tetapi ada hal yang khas yang hendak ditawarkan Abdul Kadir Ibrahim berkenaan dengan pemanfaatan tipografi itu, yaitu: permainan kata dalam lompatan-lompatan gagasan. Bukankah gagasan kerap juga dibangun oleh lompatan-lompatan kata yang kadangkala terpaksa dibangun kembali dengan mempersatukannya sebagai keseluruhan makna. Dengan tipografi itu pula, kata-kata, bahkan suku kata, seolah-olah berada dalam kondisi cerai-berai, berantakan, berceceran yang jika disusun kembali, justru menghasilkan koherensi yang kokoh dalam keseluruhan maknanya.

Permainan tipografi, tanpa tujuan membangun makna tentu saja akan sangat berbahaya. Tentu Saja AKIB sangat menyadari benar bahaya itu. Permainan tipografi yang dibangunnya justru dengan kesadaran mengusung estetika kepenyairannya. Oleh karena itu, memahami puisi-puisi AKIB, kita jangan terjebak sebatas pada permainan tipografi, melainkan pada cantelannya dengan pesan puisi yang bersangkutan. Maka, di sana kita akan menemukan sejumlah pesan yang jika ditarik lebih jauh, cenderung merupakan manifestasi pengembaraan spiritual tentang hubungan manusia dengan alam, dengan Tuhan, dan dengan kegelisahannya sendiri. Bukankah relasi manusia—Tuhan, manusia—alam, dan manusia—manusia, bersifat universal, tetapi sekaligus juga individual.

Demikianlah, betapapun puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim tampak begitu rumit lantaran permainan tipografinya, kita masih dapat menikmatinya sebagaimana juga menikmati puisi lain, jika kita tidak terjebak hanya sebatas pada bentuk tipografi. Dalam hal ini, seperti telah dinyatakan tadi, tipografi harus dicantelkan pada makna puisi yang bersangkutan. Dengan cara demikian, kita akan melihat pancaran maknanya yang justru merepresentasikan kegelisahan penyairannya dalam berhadapan dengan Tuhan, alam, dan dirinya sendiri.

Secara keseluruhan, membaca puisi-puisi AKIB, saya seperti berhadapan dengan permainan petak—umpet, melacak bentuk tipografi untuk menemukan makna. Atau mengikuti larik-larik puisinya, lalu terpaksa harus menelusuri pola lariknya yang disusun dalam tipografi. Dari sana, berjumpalah dengan maknanya yang sedang meringkuk dan bersembunyi dalam deretan kata-kata.

Bahwa puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim meneroka tradisi leluhurnya, tampak dari bertaburannya kosa-kata arkais bahasa Melayu, sebagaimana yang pernah dieksploitasi Amir Hamzah. Bagusnya, AKIB tidak berhenti sampai di sana. Ia justru kemudian coba menghancurkan tradisi estetik yang pernah dibangun penyair lain. Di sinilah posisi kepenyairan AKIB seperti bergerak sendiri di jalannya, menempati kotaknya sendiri yang khas, unik, tetapi sekaligus juga menyentuh aspek universalitas kemanusiaan.

Sebuah tarian kata-kata dalam bungkusan tipografi yang beraneka telah berhasil dikukuhkan Abdul Kadir Ibrahim sebagai monumen kepenyairannya. Dan saya menikmati permainan petak—umpetnya.

Tahniah, AKIB!

Bojonggede, 15 Maret 2007

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae