Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Melayu dengan tradisi panjang kesusastraannya, hingga kini tetap kokoh menjadi bagian kesusastraan Indonesia. Dalam peta perkembangan kesusastraan Indonesia, dunia Melayu dengan keagungan ketamadunannya—tidak hanya menempatkan diri sebagai cikal-bakal bahasa dan kesusastraan Indonesia, tetapi juga terus-menerus ikut menyemarakkan capaian-capaian estetiknya. Lihat saja capaian estetik yang dipancangkan Ibrahim Sattah yang kemudian menjadi makin kokoh melalui Sutardji Calzoum Bachri. Dua penyair penting ini, tempatnya menjadi begitu khas, unik, dan nyeleneh sendiri, sehingga posisinya seperti tidak dapat lagi digoyahkan.
Di sana masih bertebaran nama-nama penting seperti Idrus Tintin, BM Syamsuddin, Ediruslan Pe Amanriza, Taufik Ikram Jamil, Hoesnizar Hoed, Samson Rambah Pasir, Junewal Muchtar, Fakhrunnas MA Jabbar, Abdul Kadir Ibrahim, dan sederet panjang sastrawan—penyair dengan kultur Melayu berada di belakang karakteristik kesastrawannya. Tentu saja mereka secara kualitas masuk kategori sastrawan Indonesia yang dalam bahasa politik sebagai sastrawan nasional.
Begitulah, kepenyairan dalam tradisi Melayu telah berhasil melahirkan, menumbuhkan, dan memberi kontribusi penting bagi pemerkayaan kesusastraan Indonesia. Sumbangannya yang berkelanjutan itu menunjukkan sebuah iklim yang kondusif. Iklim dalam suasana yang seperti itulah yang memungkinkan para penyair dapat melakukan berbagai usaha penggalian dan pemanfaatan yang tiada henti atas kekayaan kebudayaannya. Bukankah puisi, dan secara keseluruhan kesusastraan, merupakan ekspresi kreatif kegelisahan kultural sastrawannya sebagai manifestasi tindak keterlibatannya dalam berkebudayaan? Di situlah kedalaman estetik kepenyairan dapat ditelusuri dan diuji melalui sejauh mana mereka menyerap dan sekaligus melakukan pemberontakan atas tradisi estetik yang telah menjadi bagian inheren dari sejarah masyarakat dan keagungan kebudayaannya?
Abdul Kadir Ibrahim –yang lebih dikenal dengan sebutan AKIB—adalah salah seorang penyair dari sekian banyak penyair lain yang lahir dan dibesarkan dalam lingkaran kebudayaan Melayu. Kehadirannya dalam kesusastraan Indonesia terjadi sekitar pertengahan tahun 1980-an. Meski di awal kepenyairannya, AKIB bergerak di seputar Tanah Melayu, kemunculannya belakangan cukup mengejutkan. AKIB secara meyakinkan tampil sebagai sosok penyair yang lahir dari tradisi kebudayaan Melayu, yang di satu pihak, ia menyerap estetika pantun, syair, gurindam, dan mantra, dan di lain pihak, ia berusaha justru melakukan pemberontakan atas tradisi estetik yang diserapnya sendiri. Ia secara serius tampak berusaha melakukan penggalian dan pencarian model estetik yang hendak ditawarkannya. Di sinilah posisi kepenyairannya seperti telah sampai pada jati dirinya yang khas yang tidak gampang dipersamakan dengan penyair lain.
Dalam sejumlah puisinya, AKIB seolah-olah seperti hendak menyerap dan sekaligus memancarkan capaian estetik sebagaimana yang telah ditanamkan Ibrahim Sattah atau Sutardji Calzoum Bachri, tetapi di sana tampak pula usahanya justru hendak mengedepankan keterpengaruhnya lebih jauh dari itu, dari ruh kebudayaan yang telah melahirkan dan membesarkannya, tradisi kebudayaan Melayu. Maka, yang muncul kemudian adalah ekspresi keterpengaruhannya itu dalam semangat mengukuhkan monumen kepenyairannya sendiri, dan bukan sekadar keterpukauan pada tradisi estetik yang telah digulirkan penyair sebelumnya.
Sikap, pandangan, dan perspektif kepenyairan Abdul Kadir Ibrahim laksana hendak menawarkan ruh masa lalu keagungan kebudayaannya dalam semangat manusia kontemporer yang visioner. Jadilah visi kepenyairannya bersifat universal yang dalam bahasa Lucien Goldmann sebagai pandangan dunia, jika kita menempatkannya dalam strukturalisme genetik. Ia bukan jenis manusia epigon. Ia menerima dan menyerap keterpengaruhannya, justru sebagai titik berangkat melakukan pemberontakan, mencari dan menemukan jati diri, dan membangun monumen estetika sendiri. AKIB menunjukkan dirinya berada dalam ketegangan antara tradisi dan inovasi, antara konvensi dan eksperimentasi.
Dalam konteks itu, membaca puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim, baik yang terhimpun dalam antologi Puisi 66 Menguak (Riau: Unri Press, 2004), maupun dalam antologi Negeri Air Mata (Riau: Unri Press, 2004), kita seperti berjumpa dengan semangat estetik Ibrahim Sattah atau Sutardji Calzoum Bachri, tetapi tokh AKIB berhasil membangun jalannya sendiri berdasarkan ruh kebudayaan leluhurnya, berdasarkan akar sosiologis yang menjiwai kehidupan kepenyairan di Tanah Melayu.
Di situlah pentingnya penyair melakukan penggalian, pencarian, dan sekaligus pemberontakan atas tradisi estetik kepenyairan yang lahir, bergulir dan berkembang sebelumnya. Maka, ketika kita coba menelusuri semangat estetik puisi-puisi yang terhimpun dalam antologi ini, kita merasa seperti menemukan pantun, gurindam, dan mantra dalam kemasan yang justru penuh simbolisme.
Pancaran keindahan puitik, kesamaan bunyi, dan pola tipografi yang unik seperti sengaja dikemas sedemikian rupa untuk menunjukkan jati diri kepenyairan sosok seorang Abdul Kadir Ibrahim. Ia telah membangun bentuk estetik yang kaya simbolisme dengan jiwa kerinduannya pada Sang Khalik. Jadi, dalam hal tradisi estetik, AKIB menerima dan menyerapnya secara kreatif, lantaran ia sekaligus telah berhasil meretas bentuk estetikanya sendiri dalam kemasan dan semangat yang berbeda.
Periksalah sejumlah puisinya dalam bagian Puisi 66 Menguak. Di sana, AKIB seperti hendak mewartakan 66 episode persenggamaannya dengan Tuhan, dengan alam, dan dengan kegelisahan batinnya dalam melakukan pencarian tentang apa pun. Maka, bentuk tipografi yang dibangun sedemikian rupa, hadir justru untuk mendukung efek kekuatan bunyi, selain pola-pola repetisi, sebagaimana yang menjadi kekuatan mantra, tetapi jiwanya adalah pencarian tentang apa pun itu. Di sana, jadinya permainan tipografi tidak sekadar bentuk kemasan, melainkan fisik yang membungkus jiwa puisi itu sendiri. Artinya, pola tipografi sebagai bentuk simbolik yang dapat dicantelkan pada makna larik-larik puisinya.
Cobalah secara sembarangan kita membuka lembaran antologi puisi ini, maka di sana kita akan menjumpai sejumlah hal yang disebutkan tadi.
Periksa misalnya, puisinya berikut ini:
18
umurku berlalu
mampu
kuhitung tahunnya
tapi lagulaganya
tak kutahu di mana
yang kurasa sia di atas
mesra
dan
cela di atas menghamba
merenta tua semakin terasa
bila hamba
menutup mata
di kau peluk yang
hamba minta
cerita doa
demikianlah
hamba telah
Tipografi seperti berjalan seenaknya. Tetapi perhatikan secara serius pola enjambemen –pemenggalan suku kata, kata atau kalimat untuk membangun kekuatan efek bunyi— dalam tipografi itu. Pertama, dalam soal bentuk, dengan tipografi model itu, maka AKIB mengintegrasikan pola bait ke dalam larik. Dan itu dimungkinkan dengan tipografi. Jadi, bisa saja kata sambung /dan/ pada larik kedelapan, berfungsi sebagai bait yang menghubungkan tujuh larik pertama dan larik kesembilan dan seterusnya. Lalu apa maknanya?
Kedua, kesatuan makna. Tujuh larik pertama mewartakan perilaku aku liris dalam kesadaran introspektif tentang kebahagiaan yang sia-sia ketika aku liris (: seseorang) tidak menyadari keberadaannya –dalam hubungan dengan Tuhan, alam, atau apa pun. Larik kedelapan /dan/ yang menjorok itu, seolah menyampaikan pewartaan berikutnya yang di belakangnya ada kekosongan, kehampaan, ketidaksadaran, atau ketakpahaman, dan di depannya ada kesadaran introspektif lainnya sampai pada pesan menjelang kematian yang di sana, permohonan doa seperti menegaskan kegamangan aku liris dalam menghadapi kematian. Lalu, larik berikutnya /demikianlah/ juga berfunsgi sebagai larik dan sekaligus juga bait yang menunjukkan selesailah pewartaan itu. Bagaimana pula dengan larik terakhir /hamba telah/?
Itulah keunikan model puisi AKIB. Larik /hamba telah/ bisa berfungsi membangun efek kesamaan bunyi, tetapi bisa juga sebagai kesengajaan penyair untuk menggantung penyelesaian –puisi itu—dengan medan tafsir. Di sini, terbuka peluang seluasnya bagi pembaca untuk melakukan berbagai tafsir semantik. /hamba telah/ bisa bermakna introspeksi yang sempurna, kesadaran penuh, penemuan atas serangkaian pencarian, atau penyelesaian sebuah episode untuk melanjutkan pada episode berikutnya. Jadi, pola tipografi model itu sekaligus telah menjelma jadi medan tafsir yang berlimpah.
Meskipun secara formalistik tipografi dibangun untuk mengemas makna dan menciptakan medan tafsir, pola persajakannya sendiri masih dapat kita telusuri pada tradisi persajakan mantra yang memberi tekanan pada repetisi dan kekuatan bunyi. Perhatikan lagi puisinya yang berikut:
27
wahai jiwa nan tenang
khusuk dan rafakurlah kau
dalam diam indahnya bulan
dalam diam indahnya matahari
dalam diam indahnya langit
dalam diam indahnya seisi bumi
diamlah kau diindahnya
kenangku
di
kau
ya allah
Meski dalam puisi ini tidak digunakan bentuk tipografi yang justru dimanfaatkan betul dalam sebagian besar puisi dalam antologi AKIB, kita masih menemukan usaha penyair menciptakan enjambemen di dua larik terakhir: /di/ dan /kau/. Sebagai puisi, tentu saja kita mesti mencurigai kesengajaan penyair memenggal /dikau/ jadi /di/ dan /kau/. Secara semantik /di/ sebagai kata depan memang menyatakan pada atau kata depan untuk mengiringi tempat, hal, atau benda tertentu. Tetapi mengingat /kau/ di sana bermakna sebagai Tuhan atau dialog aku lirik dengan Sang Khalik, maka /dikau/ atau /di/ dan /kau/ penekannya jadi berbeda. Oleh karena itu, enjambemen /dikau/ menjadi /di/ dan /kau/ harus ditarik dan dicantelkan pada keseluruhan pesan puisi itu.
Secara tematik, puisi itu hendak mengusung penyadaran penyair pada fenomena alam yang bersumber dan bermuara pada Sang Khalik. Dengan pemanfaatan repetisi, maka puisi itu menyimpan semangat mantra yang bermain dengan repetisi dan kekuatan kesamaan bunyi. Di sinilah, penyair kembali seperti hendak menegaskan kembali hakikat puisi yang menyimpan medan tafsir.
Jadi, pada akhirnya pola bait yang dihancurkan penyair ini, bukan tanpa maksud. Ia bersengaja melakukan itu justru untuk mengintegrasikan larik dan persajakan dalam keseluruhan makna dan sekaligus juga pesan puisi yang bersangkutan. Dalam hal ini, AKIB jelas hendak menegaskan semangat estetiknya dalam keutuhan, terintegrasi, bulat—inheren, menyeluruh, tanpa perlu ada transisi (: bait) yang sesungguhnya tidak berpengaruh apa pun ketika puisi tampil sebagai keseluruhan, totalitas yang tak dapat dipecah-pecah ke dalam bait-bait. Bukankah pemahaman pembaca pada sebuah teks puisi pada akhirnya pemahaman keseluruhan puisi yang bersangkutan. Jika begitu, mengapa perlu ada bait, jika tanpa itu, pemahaman dan apresiasi pembaca tidak terganggu?
***
Dalam antologi Negeri Air Mata, penyair Tanjungpinang ini kembali berusaha memaksimalkan berbagai bentuk tipografi untuk kepentingan pemaknaan dan penghancuran fungsi bait. Tetapi ada hal yang khas yang hendak ditawarkan Abdul Kadir Ibrahim berkenaan dengan pemanfaatan tipografi itu, yaitu: permainan kata dalam lompatan-lompatan gagasan. Bukankah gagasan kerap juga dibangun oleh lompatan-lompatan kata yang kadangkala terpaksa dibangun kembali dengan mempersatukannya sebagai keseluruhan makna. Dengan tipografi itu pula, kata-kata, bahkan suku kata, seolah-olah berada dalam kondisi cerai-berai, berantakan, berceceran yang jika disusun kembali, justru menghasilkan koherensi yang kokoh dalam keseluruhan maknanya.
Permainan tipografi, tanpa tujuan membangun makna tentu saja akan sangat berbahaya. Tentu Saja AKIB sangat menyadari benar bahaya itu. Permainan tipografi yang dibangunnya justru dengan kesadaran mengusung estetika kepenyairannya. Oleh karena itu, memahami puisi-puisi AKIB, kita jangan terjebak sebatas pada permainan tipografi, melainkan pada cantelannya dengan pesan puisi yang bersangkutan. Maka, di sana kita akan menemukan sejumlah pesan yang jika ditarik lebih jauh, cenderung merupakan manifestasi pengembaraan spiritual tentang hubungan manusia dengan alam, dengan Tuhan, dan dengan kegelisahannya sendiri. Bukankah relasi manusia—Tuhan, manusia—alam, dan manusia—manusia, bersifat universal, tetapi sekaligus juga individual.
Demikianlah, betapapun puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim tampak begitu rumit lantaran permainan tipografinya, kita masih dapat menikmatinya sebagaimana juga menikmati puisi lain, jika kita tidak terjebak hanya sebatas pada bentuk tipografi. Dalam hal ini, seperti telah dinyatakan tadi, tipografi harus dicantelkan pada makna puisi yang bersangkutan. Dengan cara demikian, kita akan melihat pancaran maknanya yang justru merepresentasikan kegelisahan penyairannya dalam berhadapan dengan Tuhan, alam, dan dirinya sendiri.
Secara keseluruhan, membaca puisi-puisi AKIB, saya seperti berhadapan dengan permainan petak—umpet, melacak bentuk tipografi untuk menemukan makna. Atau mengikuti larik-larik puisinya, lalu terpaksa harus menelusuri pola lariknya yang disusun dalam tipografi. Dari sana, berjumpalah dengan maknanya yang sedang meringkuk dan bersembunyi dalam deretan kata-kata.
Bahwa puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim meneroka tradisi leluhurnya, tampak dari bertaburannya kosa-kata arkais bahasa Melayu, sebagaimana yang pernah dieksploitasi Amir Hamzah. Bagusnya, AKIB tidak berhenti sampai di sana. Ia justru kemudian coba menghancurkan tradisi estetik yang pernah dibangun penyair lain. Di sinilah posisi kepenyairan AKIB seperti bergerak sendiri di jalannya, menempati kotaknya sendiri yang khas, unik, tetapi sekaligus juga menyentuh aspek universalitas kemanusiaan.
Sebuah tarian kata-kata dalam bungkusan tipografi yang beraneka telah berhasil dikukuhkan Abdul Kadir Ibrahim sebagai monumen kepenyairannya. Dan saya menikmati permainan petak—umpetnya.
Tahniah, AKIB!
Bojonggede, 15 Maret 2007
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar