Sabtu, 29 November 2008

Sastra, di Antara Gender dan Spiritualitas

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Jakarta — Itulah kenangan seorang gadis cilik. Gadis cilik itu kini telah menjadi dewasa dan menulis berbagai kisah dalam bentuk novel. Dia bernama Camilla Gibb. Sastrawan yang tinggal di Toronto, Kanada ini menemukan dunia lain lewat dialog lisan. Sebuah pandangan yang dia dapat lewat komunikasi.

Gadis kecil itu menerima tamunya - seorang ibu yang menjual roti. Roti yang enak dan hangat. Lalu gadis kecil itu bertanya asal si ibu. Si ibu menjawab, “Saya dari Palestina?” Apa itu Palestina? Perempuan itu pun menjawab padanya, “Semacam sebuah negara...”

“Sastra merupakan cara untuk membuka dunia. Bukan stereotipe. Sastra dapat menjadi alat untuk menunjukkan rasa kasih sayang dari perbedaan. Sastra dapat mengubah persepsi terhadap orang lain,” tutur Gibb.

Dari negeri yang berdwibahasa itu–Inggris dan Prancis, Gibb telah menerbitkan tiga novel, yaitu Petty Details, Mouthing the Words dan Sweetness in the Belly. Novelnya yang terakhir berkisah tentang perjuangan perempuan muslim bernama Lily dalam mempertahankan keyakinan dan komitmennya kepada keluarga saat menghadapi tantangan pribadi, sosial maupun politik yang memberatkan.

Novel ini juga dilatari kekaguman Gibb pada ketabahan kaum perempuan di tengah peperangan di berbagai tempat, yang menurutnya merupakan simpati yang dia ungkapkan tanpa melihat perbedaan latar dan warna kulit.

“Rasa itu merupakan gerakan yang menjadikan jarak, perang dan perbatasan bukan lagi permasalahan,” ujarnya.

Gibb kemudian menyebutkan dua persen penduduk Kanada secara keseluruhan adalah muslim, di antara Hindu, Yahudi dan banyak lagi hal yang memperlihatkan keberagaman. Gibb menyebutkan hal tersebut jangan dilihat dari angka statistik, tapi hal yang memperlihatkan bahwa ada kondisi multikultural di masa lampau di negara ini.

Jauh sebelum 11 September – yang sempat mempengaruhi pandangan timur dan barat – Gibb ingin mengetahui apa yang terjadi di dunia. Dia belajar tentang antropologi, belajar tentang dunia Arab di Kairo, apa itu Islam sebenarnya terutama di tengah negara Islam yang lebih besar.

Eksistensi Perempuan
Dialog bertajuk “Perempuan dan Agama dalam Sastra—Pengalaman Indonesia dan Kanada” mengundang Camilla Gibb sebagai pembicara. Selain Camilla, acara yang berlangsung Kamis (22/3), dua perempuan sastrawan Indonesia, Ayu Utama dan Abidah El Khalieqy, pengamat Maman S Mahayana dan moderator Gadis Arivia.

“Tapi apa yang terjadi, perempuan masih saja dikurung secara normatif sebagai penunggu rumah, pengasuh anak dan ‘tenghak-tenghuk’ di depan tungku api. Bergelut dengan suara riuh dan sumpah serapah pasar,” ujar Abidah yang menulis novel Geni Jora dan menjadi pemenang Sayembara Penulisan Novel 2003 Dewan Kesenian Jakarta.

Dalam makalahnya, Abidah menulis: Siapakah sesungguhnya yang mempengaruhi realitas demikian? Dalam konteks Islam, Fiqh-lah yang paling berpengaruh. Karena fiqh sesungguhnya merupakan respon atas realitas persoalan sosial, yang konsekuensinya ketika persoalan sosial mengalami perubahan, maka fiqh juga harus berubah. Sebagaimana dalam tokoh Annisa dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, perempuan akan terus bertanya, seperti Tuhan akan menanyakan kelak, atas alasan apa eksistensi perempuan dikubur hidup-hidup. Dosa apa yang telah mereka perbuat.

Bagi Ayu Utami, persoalan dasar yang menjadi penyebab penulis perempuan lebih sulit menggarap tema universal (seperti tema sosial, politik dan ekonomi dalam karya sastra, red), ketimbang masalah yang partikular karena penyebabnya adalah perempuan nyaris selalu spesifik dan lantaran persoalan perempuan terletak pada pengalaman tubuhnya. “Bukan pengalaman ide-ide belaka. Sebab, tubuh perempuan adalah medan penguasaan masyarakatnya. Hubungan kekuasaan ini bukan hanya berbasis gender, tetapi bisa berlatar kolonialisme,” kata penulis novel Saman dan Larung ini.

Sedangkan Maman S Mahayana kemudian menjelaskan isi makalahnya yang bertema “Mencari Perempuan dan Agama dalam Novel Indonesia”. Maman menyebutkan bahwa dalam sejarah, kolonialisme Belanda, Jepang, Orde Baru tegangan politik ikut mempengaruhi wacana agama dan perempuan dalam kesusastraan Indonesia. Dia kemudian menyebutkan beberapa jalur dalam kesusastraan Indonesia—seperti juga bahasa Indonesia—yang melalui tiga jalur perkembangan.

Pertama melalui penerbit swasta terutama yang dikelola oleh golongan peranakan Tionghoa belakangan golongan pribumi misalnya Hamka dan Helmi Yunan Nasution yang menerbitkan Pedoman Masjarakat (1935) juga Dian Rakyat yang didirikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana yang menerbitkan novel Belenggu karya Armijn Pane. Jalur kedua, melalui media massa, surat kabar dan majalah yang pada media massa terbitan abad ke-20 yang melahirkan beberapa penulis wanita. Ketiga, melalui penerbitan Balai Pustaka yang merupakan bagian dari lembaga kolonial Belanda.

Pada Balai Pustaka muncul tiga pengarang wanita yaitu Paulus Supit, Selasih (nama lainnya Sariamin, Seleguri) juga pengarang Hamidah (Fatimah Hasan Delais). Tokoh utama perempuan selain pada karya Paulus Supit, kemudian terkesan jatuh sebagai pecundang. Selain itu, Maman menyebut banyak nama penulis perempuan lainnya hingga dekade terakhir dengan karakter dan fenomenanya. Seperti terhadap problem masalah di dalam sastra masa kini, yang dia tanggapi secara subjektif lebih kepada gender dan bukan lagi persoalan kualitas. “Mengapa persoalan gender yang dijadikan isu dan bukan peningkatan kualitas,” papar Maman.

Perempuan (Brahmana) Menggugat Kasta

http://www.balipost.co.id/
Judul: Kenanga
Penulis: Oka Rusmini
Penerbit: Grasindo, 2003
Tebal: 294 hal.
Peresensi: Nuryana Asmaudi SA

DALAM peta sastra nasional, Oka Rusmini -- salah seorang sastrawan perempuan dari Bali -- telah memiliki nama yang diperhitungkan. Ia tercatat sebagai salah satu dari sastrawan perempuan Indonesia yang dianggap cukup cemerlang dan dikagumi. Tak terlalu penting mempersoalkan istilah "sastrawan perempuan" tersebut, yang jelas kehadiran dan keberadaan Oka Rusmini dalam percaturan sastra nasional sudah menjadi keniscayaan yang tak bisa lagi ditolak. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, novelet, hingga novel terus hadir ke tengah pembaca sastra Indonesia.

Oka Rusmini memang tergolong cukup produktif. Bagi kalangan sastra di luar Bali, karya-karya Oka dinilai berkualitas dan memiliki "warna lain". Boleh jadi, Oka memang tak terlalu diperhitungkan di Bali. Karya-karyanya mungkin dianggap "biasa" dan kurang dalam. Masih banyak lagi sastrawan perempuan Bali lainnya yang dinilai lebih bagus dan disegani. Tapi tak bisa dipungkiri, kenyataan membuktikan bahwa Oka Rusmini "sangat diperhitungkan" di luar Bali. Selain karena Oka cukup gencar mempublikasikan karya-karyanya keluar Bali sejak lama, juga karena dialah sastrawan perempuan Bali yang lebih dulu mengenalkan warna ke-Bali-annya kepada publik di luar Bali. Warna ke-Bali-an sastrawan perempuan Bali yang lain mungkin lebih berkualitas dan dalam, tetapi pembaca di luar Bali bisa jadi tidak melihat, lantaran tidak (banyak) dipublikasikan keluar.

Maka, seperti tak pernah kehabisan energi dan semangat, seperti tak pernah kering ide dan strategi yang cemerlang dalam publikasi, Oka terus memacu diri untuk berkarya dan mensosialisasikan karyanya secara gencar dan intens. Sehingga, karya-karyanya terus hadir ke publik pembaca dan pecinta sastra Indonesia. Membuat Oka semakin kokoh keberadaannya dalam peta sastra Indonesia. Judul-judul buku sastra yang telah dihasilkan dan sudah beredar di pasaran -- di luar puisi atau cerpennya yang berceceran di berbagai media terbitan Jakarta -- misalnya "Tarian Bumi" (2000), "Sagra" (2001), dan "Kenanga" (2003).

"Kenanga" memang novel terbaru karya Oka Rusmini. Oleh penulisnya, "Kenanga" dikatakan novel pertama karena ditulis Oka pada tahun 1990-1991 dan dimuat terlebih dulu sebagai cerita bersambung di Koran Tempo akhir 2002.
***

Kenanga adalah nama tokoh utama dalam novel ini. Seorang perempuan muda Bali yang penuh impian dan ambisi, cerdas, juga keras hati. Demi sebuah ilmu dan karir, ia berani mempertaruhkan usia dan segala yang dicintainya. Baginya hidup adalah karir, sehingga orang jadi sering salah sangka -- termasuk orang tua dan kalangan keluarganya sendiri -- pada dirinya. Hubungan dekat dengan guru besarnya di kampus tempat ia menjadi dosen sastra, misalnya, membuat orang curiga dan berpikir dia seorang perempuan yang menghalalkan segala cara demi karir.

Kenanga adalah perempuan muda keturunan Brahmana -- kasta tertinggi dalam tata kehidupan dan adat Bali, yang hidup membujang dan belum pernah menikah walau sampai usia yang matang. Tetapi, ironisnya, dia punya anak kandung, seorang putri bernama Luh Intan yang sangat dia cintai. Kenanga mengasuh Intan dalam griya-nya, tanpa seorang pun mengetahui kecuali dia dan ayah dari anak tersebut -- lelaki keturunan Brahmana pula, bernama Bhuana, yang pernah memperkosa Kenanga hingga membuahkan anak itu. Lelaki yang sangat mencintai Kenanga dan juga dicintai Kenanga, tetapi akhirnya justru menjadi suami dari Kencana, adik kandung Kenanga.

Dari latar itulah novel ini kemudian merentang-beberkan banyak hal dan rahasia kehidupan sebagian dari kalangan keturunan Brahmana. Terutama, dalam hal asmara, perkawinan, perselingkuhan, kepura-puraan, kemunafikan, dan banyak hal lain yang tak terduga demi sebuah gengsi, tata krama, dan segala tetek-bengek dalam tatanan adat yang mengikat kehidupan lingkungan kalangan kaum tersebut.

Novel ini memang nampak jelas menggambarkan "pemberontakan" dan "penggugatan" perempuan Bali yang dilakukan atau diwakili oleh tokoh Kenanga terhadap banyak hal. Mulai dari soal adat, kebangsawanan atau kasta, dominasi jender, hingga perjuangan atas peningkatan atau penempatan sosok perempuan ideal dalam kehidupan masyarakat Bali.

Gambaran itu terlihat pada sang tokoh utama yang menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi seorang perempuan. Ia bahkan sangat haus dan berambisi dalam pendidikan serta menginginkan anaknya dan para wanita Bali yang lain agar mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, karena dari sanalah harga diri seorang perempuan akan terwujud.

Dia harus belajar, terus belajar. Tak seorangpun boleh menyentuhnya bila dia sedang mereguk ilmu, sebab hanya pada ilmu pengetahuan seluruh impian dan harapannya tertumpahkan. Dengan menguasai ilmu pengetahuan, dia merasa aman, setidaknya dia merasa punya modal untuk dihormati dan dihargai orang karena isi kepalanya, bukan karena kebetulan dia dilahirkan sebagai perempuan brahmana yang kaya raya. (hal. 134).

Gugatan terhadap sikap dan laku diskriminatif pada anak perempuan di bawah anak laki-laki juga gencar disinggung dalam novel ini.

Namun laki-laki berengsek yang menjadi suami adiknya itu tak pernah puas, seperti tak sedikit pun punya rasa syukur. Bagi dia yang selalu merasa sebagai bangsawan Bali paling tulen, seorang anak perempuan tak ada harganya. "Aku memerlukan anak laki-laki. Anak laki-laki akan membuat keluargaku hidup lebih sentosa!" koarnya seringkali. Dia ingin istrinya melahirkan anak lagi dan lagi dan lagi sampai berhasil mendapatkan keturunan laki-laki. Dan kalau tidak berhasil? "Terpaksa aku kawin lagi!" Tanpa peduli istrinya mengidap diabetes, sehingga melahirkan lagi akan sangat berisiko. Tak heran Dayu Putu jadi begitu jijik. (hal. 164).

Kasihan sekali perempuan-perempuan di lingkungan keluarga Griya ini. Mereka harus memikat lelaki yang sekasta. "Perempuan Ida Ayu wajib mendapatkan pasangan Ida Bagus!" Aturan dari manakah itu? Sementara aturan itu tidak berlaku sebaliknya. Para lelaki Griya bebas memilih dengan siapapun dia menikah. Bahkan banyak perempuan Ida Ayu rela dijadikan istri ke-2 atau ke-3 semata-mata agar tak jatuh derajat. Derajat apa pula itu? Harga diri macam apakah yang sesungguhnya sedang diusung? Hidup macam apakah itu? (hal. 2002).

Apa sesungguhnya arti menjadi perempuan bangsawan itu? Kenapa tak satu pun perempuan muda di Griya ini yang memberontak? Kawin dengan sembarang lelaki, kalau perlu dengan lelaki sembarangan! Kenapa mereka semua jadi begitu penurut? (hal. 138). Hyang Jagat, alangkah sulitnya jadi perempuan. Alangkah banyak peraturan dan hukumnya. Karena itu aku tak mau jadi pecundang! (hal. 240).

"Pemberontakan" atau "gugatan" tersebut ternyata tidak hanya dilakukan terhadap laki-laki dan adat yang melindunginya, tetapi juga ditujukan atas kaum perempuan khususnya di lingkungan keluarga Brahmana yang kadang memang ada (atau bahkan banyak) yang sok dan juga bodoh. Gugatan semacam otokritik terhadap kaum penggugat sendiri. Masih terbakar hati Indan bila ingat betapa Galuh selalu minta diagung-agungkan sebagai seorang putri bangsawan, kalau perlu dengan paksa! Perempuan itu tak pernah peduli perasaan orang lain. Tak mau tahu bagaimana rasanya terlahir hanya untuk ditenggelamkan sebagai tumbal untuk gengsi, untuk martabat, untuk secebis harga diri kebangsawanan yang tidak jelas manfaatnya. (hal. 138-139).

Dia (Dayu Kencana) tidak habis pikir, kenapa ada perempuan sebodoh dirinya. Perempuan cantik yang terlalu mengagungkan cintanya sendiri, meletakkannya di atas segala-galanya, dan akhirnya menjadi korbannya. Kenapa dia tidak bisa seperti perempuan lain yang bisa bicara dengan lantang bahwa mereka bisa hidup sendiri. (hal.128).
***

"Pemberontakan" para perempuan dalam novel ini sebagian besar memang baru dilakukan dengan "bahasa ungkap" dengan kalimat, kata-kata, yang kadang terkesan berbuncah-buncah. Belum diungkapkan lewat "bahasa perbuatan", misalnya lewat perilaku, tindak-tanduk, dan perbuatan konkret yang digambarkan lewat para tokohnya, agar kualitas novel ini memungkinkan bisa lebih dahsyat lagi.

Dalam pemaparan cerita, acapkali juga nampak terlalu bersemangat, hingga kadang berlele-tele. Bahkan ada yang kemudian menjadi rancu -- tidak saja membosankan, tetapi juga "berbrancangan". Lihat misalnya tentang masa lalu tokoh Mahendra, yang semula diceritakan secara naratif dengan masih cukup menarik, tiba-tiba rancu. Sang pencerita menjadi tokoh Mahendra dengan "ber-aku" atau "ber-kami" dan Mahendra menjadi sang pencerita yang sejak awal bukan Mahendra. Pada bagian ini juga nampak nyinyir dan membosankan. (hal. 181-188).

Tetapi, tak bisa dipungkiri, novel ini merupakan karya sastra yang harus diakui keberadaannya. Novel ini telah memberikan sumbangan yang cukup penting dan berarti bagi khazanah sastra Indonesia. Bagi pembaca di luar Bali, tentu saja novel ini telah memberikan banyak informasi dan gambaran tentang kehidupan dan tata-adat masyarakat Bali.

AJIP ROSIDI: MEMBACA DAN MENULIS TANPA AKHIR

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Mungkinkah seorang yang tak lulus SMA dapat menjadi guru besar? Di Indonesia yang segala sesuatunya sering harus berurusan dengan aturan birokrasi, pemberian gelar kehormatan, seperti doktor honoris causa, misalnya, barangkali akan menimbulkan masalah. Itulah yang terjadi pada diri Ajip Rosidi. Ia –konon—tak dapat memperoleh gelar itu lantaran pendidikannya tak sampai sarjana. Ajip memang tak tamat SMA. Tetapi berkat hasil bacaan yang sangat luas dan karya-karyanya yang berlimpah, pada tahun 1967 sampai 1970, ia dipandang pantas untuk menjadi dosen luar biasa di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung. Kemudian, pada tahun 1981, berkat peranannya dalam bidang kesusastraan dan kebudayaan, Ajip Rosidi diangkat sebagai gurubesar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing Osaka). Sejak itu, ia juga ditugasi mengajar di Tenri Daigaku (1982—1994) dan Kyoto Sangyo Daigaku (1982—1996).

Bagi komunitas dan pemerhati sastra dan budaya Indonesia, nama Ajip Rosidi niscaya tidak terlalu asing. Meskipun demikian, dalam perjalanan kesusastraan Indonesia, namanya barangkali tidak terlalu fenomenal dibandingkan Abdul Muis, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Iwan Simatupang atau Sutardji Calzoum Bachri. Tentu saja, hal itu tidak berarti kiprahnya dalam kesusastraan Indonesia tidak penting. Justru lantaran wilayah kesusastraan yang dimasuki Ajip Rosidi meliputi semua ragam sastra, di dalamnya termasuk sastra daerah, maka peranannya dalam dunia sastra –dan kebudayaan secara umum— berada dalam berbagai tempat. Bagi sastrawan seangkatannya, ia dikenal sebagai tokoh yang sebagian hidupnya diabdikan untuk kepentingan sastra dan budaya.

Dalam hal itu, ketokohan Ajip Rosidi telah menempati kedudukannya yang khas. Di situ pula kontribusinya punya makna penting. Oleh karena itu, menempatkan nama Ajip Rosidi dalam peta konstelasi kesusastraan Indonesia, mesti dalam perspektif yang lebih komprehensif. Bagaimanapun juga, Ajip telah merentas jalannya sendiri. Perannya dalam membangun kesusastraan Indonesia, sungguh tak dapat diabaikan begitu saja. Apalagi jika kita menghubungkaitkannya dengan latar belakang pendidikannya yang lebih banyak dijalani secara otodidak. Lewat cara itulah, ia telah menanamkan sebuah teladan, betapa hidup secara total dalam dunia kesenian (kesusastraan), dapat pula mengantarkan seseorang ke puncak karier yang membanggakan. Totalitas dan belajar sampai akhir hayat, barangkali itu juga yang kunci keberhasilannya.
***

Ajip Rosidi lahir di Jatiwangi, Majalengka, 31 Januari 1938. Sebagai anak seorang guru Sekolah Rakyat, sejak kelas satu Sekolah Rakyat, Ajip sudah pandai membaca. Buku koleksi ayahnya tentang cerita-cerita rakyat, baik yang berbahasa Sunda, maupun berbahasa Indonesia, boleh dikatakan sudah menjadi bagian dari kegiatan kesehariannya. Tidak puas dengan buku-buku koleksi ayahnya atau buku-buku yang ada di perpustakaan sekolahnya, Ajip memburu buku ke tempat lain. Mendengar bahwa di rumah almarhum Dalem Obaso yang tinggal di Kadipaten, sekitar 15 kilometer dari Jatiwangi, tersedia sejumlah buku dan majalah milik mantan menak Sunda itu, Ajip bersama teman-temannya datang ke sana dan asyik-masyuk melahap buku-buku lama yang kebanyakan berbahasa Sunda. Kadangkala, Ajip mampir ke toko buku satu-satunya yang ada di kota kecamatan itu untuk membeli buku atau sekadar melihat-lihat saja. Itulah awal persahabatan dan kecintaannya pada dunia buku. Tanpa disadarinya, dari sanalah sesungguhnya perjalanan karier Ajip Rosidi dimulai.

Itulah sebabnya, dibandingkan dengan sastrawan seangkatannya –yang disebutnya Angkatan Sastrawan Terbaru— yang memulai kariernya pada dasawarsa tahun 1950-an, Ajip Rosidi tergolong sastrawan yang paling muda. Bahkan terlalu muda jika melihat usia kepengarangannya dimulai. Dalam usia 12 tahun, saat Ajip duduk di kelas 6 Sekolah Dasar di Jatiwangi tahun 1950, beberapa kali tulisannya dimuat dalam rubrik anak-anak suratkabar Indonesia Raya, sebuah media cetak nasional yang berwibawa waktu itu dengan salah seorang redakturnya Mochtar Lubis.

Boleh jadi karena sejumlah tulisannya pernah dimuat suratkabar ibukota, Ajip memutuskan untuk melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Jakarta (1951—1953). Pada masa duduk di SMP itulah, karya-karya Ajip, baik prosa maupun puisi, mulai kerapkali menghiasi majalah sastra dan budaya, seperti majalah kebudayaan Indonesia, Mimbar Indonesia, Siasat, Zenith, Langkah Baru, yang di dalamnya sering muncul karya sastrawan angkatan sebelumnya. Jadi, saat Ajip ke sekolah dengan masih bercelana pendek, karya-karyanya sudah kerap dimuat berdampingan dengan karya pengarang terkenal seperti Chairil Anwar, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Asrul Sani, Mochtar Lubis, Achdiat Karta Mihardja, Utuy Tatang Sontani atau Aoh Karta Hadimadja. Ketika itu, Ajip juga telah menjadi redaktur Suluh Peladjar (1953—1955), sebuah majalah bagi pelajar yang penyebarannya sudah hampir mencapai wilayah seluruh Indonesia.

Ketika melanjutkan sekolahnya di SMA Taman Madya Tamansiswa, Jakarta, kegiatannya dalam tulis-menulis benar-benar sudah tidak dapat dipisahkan lagi. Ia makin serius menekuni bidang ini. Maka, ia pun menerima tawaran untuk menjadi redaktur majalah bulanan Prosa (1955) bersama Sammah S.A. Beberapa majalah lain yang pernah ditanganinya, antara lain, Madjalah Sunda (1965—1967) dan majalah bulanan Budaja Djaja (1968—1979), sebuah majalah sastra dan budaya terbitan Jakarta yang pernah sangat berwibawa pada masanya.

Pada dasawarsa tahun 1950-an itu, selain mengurusi majalah Prosa, Ajip juga mengirimkan sejumlah karyanya untuk majalah dan suratkabar lain. Pada tahun itu pula, saat usia Ajip mencapai 17 tahun, terbit antologi cerpennya yang pertama, Tahun-Tahun Kematian (1955). Tahun berikutnya menyusul antologi puisi, Pesta (1956), antologi puisi bersama SM Ardan dan Sobron Aidit, Ketemu di Jalan (1956), dan dua antologi cerpen Ditengah Keluarga (1956) dan Sebuah Rumah buat Haritua (1956). Antologi puisi Pesta kemudian terpilih sebagai pemenang Hadiah Sastra Nasional Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) untuk buku terbitan 1955—1956. Hadiah yang sama juga diberikan pada antologi cerpen Sebuah Rumah buat Haritua untuk buku terbitan 1957—1958.

Sejak itu, hampir setiap tahun Ajip menerbitkan karyanya sendiri, termasuk sebuah novelnya, Perdjalanan Penganten (1958), sebuah kisah yang mirip pengalaman pribadi pengarangnya. Dalam peta novel Indonesia modern, Perdjalanan Penganten boleh dikatakan merupakan novel Indonesia pertama yang begitu kuat menggambarkan warna lokal etnik (Sunda). Belakangan, novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis (1976) dan bahasa Yugoslavia (1978). Sebuah novelnya yang terbit tahun 1979, Anak Tanahair, mengungkapkan bentuk kesaksian seorang Ajip Rosidi atas pusaran arus politik yang terjadi tahun 1960-an.

Sementara itu, cerpen, puisi, atau esai-esai lepasnya, masih terus bermunculan dalam majalah dan suratkabar yang terbit masa itu. Dalam satu dasawarsa (1951—1960), berdasarkan jumlah karya yang dihasilkan sastrawan Indonesia periode itu, Ajip Rosidi tercatat sebagai sastrawan yang paling produktif. Ia telah menghasilkan 241 puisi dan 43 cerpen yang dimuat dalam 22 majalah. Catatan ini tentu saja belum termasuk karya-karyanya yang dimuat dalam suratkabar serta karyanya yang berupa artikel atau esai-esai lepas. Peneliti dari School of Oriental and African Studies, University of London, Ernst Ulrich Kratz (1988), mencatat bahwa antara tahun 1951 sampai 1988, Ajip Rosidi telah menghasilkan 418 karya kreatif yang berupa cerpen (45 buah) dan puisi (373 buah).

Sampai sekarang, ada sekitar 100 judul buku yang lahir dari tangan Ajip Rosidi. Dari jumlah itu, lebih dari separohnya merupakan karyanya sendiri. Menurut keterangan Ensiklopedi Sunda (2000: 72), Ajip Rosidi tercatat menghasilkan 60 judul buku, terdiri dari antologi cerpen (5 buah), antologi puisi (9 buah), novel (2 buah), antologi esai (2 buah), karya penelitian (6 buah), karya umum (6 buah), biografi (3 buah), terjemahan (2 buah), transkripsi sastra daerah (9 buah), karya berbahasa Sunda (13 buah), dan editor antologi esai (3 buah). Melihat begitu banyak jumlah buku yang telah dihasilkannya, tak pelak lagi, Ajip tergolong sastrawan yang sulit dicari bandingannya dalam deretan nama sastrawan Indonesia.

Boleh jadi lantaran kiprahnya itu pula, Ajip Rosidi kerap diundang ke berbagai pertemuan internasional. Pada thun 1970, misalnya, ia diundang mengikuti Konferensi PEN Club Asia di Taipe, kemudian hadir pula dalam Kongres PEN Internasional di Seoul (1970). Sebagai penyair, Ajip pernah pula diundang dalam Festival Penyair Internasional di Rotterdam tahun 1972.
***

Meskipun kegiatan kesehariannya menulis –dan tentu juga membaca— Ajip sama sekali tidak meninggalkan aktivitas lain, sejauh untuk memajukan sastra dan budaya. Dan itu dilakukannya bergandengan dengan perjalanan kariernya sebagai sastrawan. Pada tahun 1954, dalam usia 16 tahun, ia dipercaya menjadi anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Dalam sejarah berdirinya lembaga itu (1950) sampai terakhir kali lembaga ini memberikan hadiah pada tahun 1960 --salah satu pemenangnya antologi cerpen Sebuah Rumah buat Haritua— Ajip Rosidi satu-satunya anggota termuda. Ia juga tercatat sebagai anggota pengurus pleno yang terpilih dalam Kongres tahun 1960.

Masih dalam usia muda, 18 tahun, tepatnya tahun 1956, Ajip Rosidi dipercaya pula menjadi anggota pengurus pleno Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS), sebuah lembaga yang berusaha memajukan bahasa dan sastra Sunda, didirikan tahun 1952. Sejak tahun 1957 sampai 1993, lembaga ini memberikan hadiah tahunan bagi karya sastra berbahasa Sunda. Dalam setiap lima tahun, LBSS menyelenggarakan kongresnya. Ajip sendiri belakangan terpilih sebagai Dewan Pembina lembaga itu (1993) dan kemudian mengundurkan diri tahun 1996.

Pada dasawarsa tahun 1960-an, Ajip bersama beberapa temannya, mencoba mendirikan penerbitan sendiri, seperti penerbit Kiwari (1962), Duta Rakjat (1965), dan Kiblat Buku Utama (2000) di Bandung, Tjupumanik (1964) di Jatiwangi, Pustaka Jaya (1971), Girimukti Pasaka (1980) di Jakarta. Selain itu, ia juga tercatat pernah dua kali menjadi Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) (1973—1976 dan 1976—1979). Menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sejak awal berdirinya tahun 1968 dan kemudian terpilih sebagai Ketua DKJ periode 1972—1981. Beberapa organisasi lain yang pernah dibidaninya, antara lain, Paguyuban Pengarang Sastra Sunda (PPSS) dan pernah menjadi ketuanya (1966—1975). Ia juga tercatat sebagai salah seorang pendiri Yayasan PDS HB Jassin (1977).
***

Perhatian Ajip Rosidi terhadap kesusastraan dan kebudayaan, termasuk sastra dan budaya daerah, tidak hanya tercermin dalam sejumlah tulisannya sebagaimana yang dapat kita cermati dalam buku Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan (1995), sebuah buku yang menghimpun berbagai artikel dan makalah yang ditulisnya antara tahun 1964—1987, tetapi juga tampak dari tindakannya yang kongkret untuk memajukan bidang itu. Pada tahun 1970, misalnya, ia mendirikan dan memimpin Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda (1973). Hasil penelitiannya itu kemudian dipublikasikan secara luas. Kemudian, pada 1989, ia secara pribadi memberikan hadiah sastra tahunan untuk karya sastra berbahasa Sunda untuk buku yang terbit tahun sebelumnya.

Setelah berlangsung selama lima tahun dan pemberian hadiah dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage, pemberian hadiah diperluas dengan memberikan hadiah juga kepada karya sastra berbahasa Jawa dan Bali.

Berkat perhatiannya yang begitu besar terhadap sastra dan budaya, pada tahun 1993, Ajip Rosidi memperoleh penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia berupa Hadiah Seni. Pada tahun 1999, ia juga dianugerahi penghargaan Kun Santo Zui Ho Sho (The Order of Sacred Treasure Gold Rays with Neck Ribbon) dari pemerintah Jepang atas jasa-jasanya yang dinilai sangat bermanfaat bagi hubungan persahabatan Indonesia—Jepang. Satu penghormatan yang diberikan pemerintah Jepang, hanya kepada orang-orang tertentu yang dipandang benar-benar berjasa dan pantas memperoleh penghargaan itu.
***

Ajip Rosidi bagi kita laksana sebuah teladan, bagaimana konsep iqro (baca!) sebagaimana ayat pertama yang diperintahkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, diejawantahkan dalam kehidupan kesehariannya. Membaca bagi Ajip adalah kebutuhan rohani manusia, dan menulis merupakan bentuk implementasi dari apa yang telah dibacanya. Menulis juga tidak lain sebagai kesaksian atas kehidupan manusia dan kemanusiaan. Maka, ketika ia merasa agak mandek membaca dan mulai gagap menulis, ia akan diterjang kegelisahan yang luar biasa.

Bahwa Ajip Rosidi berhasil mencapai karier dan penghargaan yang begitu prestisus dan membanggakan, itu tidak lain merupakan buah dari pohon pengetahuan yang ditanamnya sejak sekolah dasar. Oleh karena itu, meski secara formal Ajip tidak tamat SMA, ia menggali dan melahapnya sendiri melalui bacaan yang berlimpah. Di perpustakaan dan lembaran-lembaran buku sesungguhnya pengetahuan dan wawasan tersimpan. Persoalannya tinggal, sanggupkah kita menggali dan melahapnya, sebagaimana yang telah dilakukan seorang Ajip Rosidi.

“Selamat Ulang Tahun Mang Ajip. Tahniah! Selamat membaca dan menulis!”

(Maman S. Mahayana, Pensyarah di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424)

Jumat, 28 November 2008

Gerakan “Komunitas Sastra” Harus Diimbangi Konsep dan Wacana

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Depok - ”Mana mungkin mengenang Chairil Anwar di tempat yang ber-AC, jauh dari kenyataan seorang Chairil sendiri. Chairil berada di gelanggang, itu juga yang menjadi latar dari Surat Kepercayaan Gelanggang,” ujar seorang penyair Irman Syah, si pembaca puisi dan peniup saluang yang kerap mangkal di Komunitas Planet Senen (KoPS), di pertengahan tahun 2008 ini.

Kita jangan fokus pada data bernas yang diucapkan ”si” Irmansyah. Tapi pendapat Irmansyah adalah gemuruh lain dari dinamika suara komunitas yang beringsut tegar di tengah dinamika komunitas sastra lain yang ”menasional” dan ”menginternasional”. Komunitas ini bergerak tanpa dukungan kekuatan raksasa citraan, media bahkan dana yang memadai.

Tak harus berlatar tempat di ”marginal perkotaan namun bersejarah” seperti Komunitas Planet Senen, beberapa komunitas sastra yang ada mulai dari Komunitas Sastra Gapus di Surabaya, Komunitas Sastra di Bali, hingga komunitas sastra di Lampung, mempunyai fenomena yang sama dengan Komunitas Planet Senen.

Komunitas Planet Senen, dengan penggiatnya Imam Maarif, Irman Syah, Ahmad Sekhu, Widodo Arumdono dan Giyanto Subagio, mungkin masih berkait dengan mainstream sejarah sastra termasuk nama sastrawan yang pernah bertandang ke tempat itu mulai dari Gerson Poyk hingga Chairil Anwar. Namun, problem utama di antara karya-karya komunitas berdasarkan wilayah ini adalah soal kualitas yang semestinya juga dikupas satu per satu. Selain suasana kritik, keberadaan pengamat, juga fasilitas bacaan yang diharapkan memperkuat karya baik dari sisi intrinsik maupun ekstrinsik. Teks dan tema dari masing-masing teks pengkaryanya harus diuji.

Proses

Dalam soal wacana, pemikiran ataupun estetika karya, kita mencatat fenomena Persada Studi Klub di Yogyakarta yang diasuh Umbu Landu Paranggi dengan anggotanya sastrawan ternama seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Achmad Munif, Arwan Tuti Artha, Suyono Achmad Suhadi dan RS Rudhatan. Tentang komunitas ini, seorang anggotanya Korie Layun Rampan, pernah mengatakan bahwa salah satu energi solidnya komunitas ini adalah untuk merespons fenomena media massa yang "jakartasentris".

Keberadaannya kemudian menghasilkan efek yang lebih dari itu. ”Persada Studi Klub diimbangi dengan konsep dan wacana, sehingga setiap sastrawan di dalam kelompok ini juga melakukan olah pikir,” ujar Korie, dalam percakapan dengan SH di tengah Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) 1 di Kudus, 19-21 Januari 2008 lalu.

Juga fenomena kegairahan Sanggar Minum Kopi pada tahun 1990-an dengan penggeraknya Tan Lioe Ie, Putu Fajar Arcana, K Landras Syalendra, GM Sukawidana, Warih Wisatsana didukung Umbu Landu Paranggi dan Frans Nadjira. Atau komunitas Meja Budaya yang dimotori oleh Martin Aleida, Sides Sudyarto DS, dengan aktivisnya, sebut saja Donny Anggoro dan A Badri AQT.

Di luar kualitas teks, fenomena jaringan, media televisi, koran, cetak-buku hingga festival kerap tak mampu menjangkau karya-karya mereka baik berupa buku ataupun cerpen mereka yang dimuat di media massa daerah. Tak ada kurator yang setia di dalam sastra! Kini, komunitas itu harus tertantang mengetahui fenomena sastra dunia, pandangan akademisi sastra dunia baik lewat internet, situs atase kebudayaan asing, situs akademi yang berisikan jurusan sastra Indonesia hingga situs atau email pribadi milik seorang pengamat dan cendekiawan yang sedang mengoleksi karya-karya sastra Indonesia baik yang klasik hingga yang kontemporer.

Kita bisa membaca perkembangan komunitas di Jawa Timur, dalam hal ini Surabaya, yang oleh S Yoga yang dilansir di Harian Umum Kompas. S Yoga, mencatat fenomena dan dinamika para sastrawan di Komunitas Sastra Gapus (mulanya akronim dari ”Gardu Puisi” sebagai komunitas di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Airlangga) yang para penyairnya (lintas generasi) antara lain Panji K Hadi, Pamudji SL, W Haryanto, Indra Tjahyadi, Mashuri, Deny Tri Aryanti, Dheny Jatmiko, Ahmad Faishal, dan Puput Amiranti N.

Suatu hal yang kemudian mengemuka dalam kekhasan, seperti Imam Mutahrom yang dalam cerpen-cerpen sarat dengan metafor dan ungkapan simbolis yang khas, mengolah kata ”kita” sebagai orang pertama dalam pengisahan, Mashuri lewat karyanya Hubbu terpilih sebagai pemenang 1 Sayembara Novel DKJ 2006, terpilih antara lain menurut sastrawan Ahmad Tohari karena ceritanya yang utuh dan padu sekali pun alur melompat-lompat. Tiap sastrawan di dalam komunitas ini pun pada akhirnya mengambil jalan sendiri, di tengah pergesekan konsep yang awalnya bisa jadi sejalan.

Kendati, di dalam puisi, S Yoga membeberkan fenomena puisi gelap di komunitas ini (yang pada awal dan di kemudian hari semakin memiliki banyak varian, red), S Yoga lalu menyebutkan bahwa tiap penyair memilih jalan sendiri karena demokratisasi dan menghargai perbedaan, lebih ditegakkan daripada mazhab ataupun ideologi.

Beberapa komunitas yang selama ini ngendon di balik keyboard komputer dan kursi warnet pun malah keluar dari dunia cyber-global dan terbatas ruang dan waktu itu. Setelah asyik berkomunikasi antarbenua, mereka malah turun gunung di dalam Acara Sastra & Musik REBOAN di sebuah tempat yang khas dan punya sejarah: Warung Apresiasi Bulungan. Warung yang di dekatnya konon pernah berdiri Kelompok Poci Bulungan-nya Arswendo Atmowiloto bersama Radhar Panca Dahana dan Yoyik Lembayung.

Semoga saja, penggagasnya, Paguyuban Sastra Rabu Malam (Pasar Malam) dengan nama sastrawan antara lain Johanes Sugianto, Budhi Setyawan, Yonathan Rahardjo, Zai Lawang Langit, Setiyo Bardono, Sahlul Fuad, Ilenk Dian Asrinda yang telah menggelar kegiatan rutin keenamkalinya pada 17 September 2008 lalu, dapat semakin tepat dalam langkah dan konsepnya.

Tak sekadar membumi setelah asyik bermain di antara kerlip monitor komputer, tak cuma mengulang sejarah komunitas para pendekar sastra lama yang notabene pernah bergelut di tempat itu. Sastra Indonesia lahir di mana-mana, tentu sejalan dengan konsep dan estetika teks.

Rumah Gempa yang Menari

Idris Pasaribu
http://www.sinarharapan.co.id/

Angin Danau, masih terus mengelus-elus dedaunan bunga-bunga liar yang tumbuh di tepian danau. Seakan mengerti, bagaimana teriknya mentari siang itu. Walau orang-orang yang duduk di bawah tenda, seperti melupakan teriknya mentari, karena elusan angin danau.

Suara gondang sabangunan masih juga berkumandang. Sesekali suaranya tertelan angin di kejauhan, namun sesekali terdengar menyejukkan hati. Seakan membuat laju kapal motor kayu, terasa begitu lamban ingin cepat sampai di tepian danau. Para kerabat semua sudah berkumpul untuk peresmian sebuah rumah untuk ditempati.

Begitu turun dari kapal, langsung kaki terhentak dengan sendirinya, seirama ritme hentakan pukulan gondang. Para kerabat yang hadir, sudah mengelilingi halaman. Satu keluarga mendapat sebuah sapa. Sapa adalah piring yang terbuat dari kayu. Ada sapa besar untuk mampu menampung lima sampai enam orang untuk memakan makanan dari dalamnya. Seonggok nasi dan lauk-pauknya sudah terangkum dalam sapa. Dari sapa itulah mereka makan bersama. Sapa, sebuah gambaran kebersamaan sebuah keluarga, untuk makan bersama dari wadah yang sama.

Ama Ricardo, sengaja membuat pesta besar dalam peresmian rumahnya. Rumah kebanggaannya, yang semua terbuat dari kayu. Berbeda dengan rumah Ama Togar. Rumah beton dua lantai. Bertiang tinggi ala Spanyol, penuh dengan pernak-pernik modern, sesuai pesan almarhum ayahnya.

"Roh ku, aku bersamamu, ketika kau memulai membangun rumah adat. Adakan pesta peresmiannya sesuai dengan hukum adat yang berlaku bagi adat kita," pesan almarhum ayahnya.

Empat ekor babi yang dipilih tanpa cacat, disembelih. Rumah yang dibangun dengan mengambil kayu jenis pohon jior dari ladang yang ditanami oleh almarhum ayahnya, dua puluh lima tahun lalu.

Batang jior yang sudah tua itu dipilih untuk menjadi pasak dan tiang-tiang rumah. Pohon-pohon jior itu digergaji untuk dijadikan papan sebagai dinding.

Ama Ricardo membangun rumah tradisional itu dengan segenap hatinya. Diiringi dengan doa yang tiada henti-hentinya. Bersama kedua anaknya dia menebangi pohon jior dan mengangkatnya naik truk ke kampung. Setelah menjadi tiang dan papan sesuai ukuran, Ama Ricardo membenamkannya ke dalam lumpur berbulan-bulan lamanya. Kemudian papan dan tiang itu dicuci bersih, lalu disimpan di tempat penyimpanan yang aman dari hujan.

Bersama kaum tua dan kerabat, mereka membangun rumah itu. Tidak sekali dua kali Ama Ricardo diwajibkan memotong babi sebagai persyaratan. Saat membuat relief-relief yang mereka sebut gorga sudah ditentukan, mereka harus menyembelih lagi seekor babi. Warga kampung juga ikut dipanggil memakannya.

Belasan batu bulat, dipilih dari batu yang dianggap sudah berusia tua, diangkat dari lereng-lereng gunung. Belasan batu bulat itu diletakkan di atas tanah yang keras. Di atas batu-batu bulat yang keras itulah, tiang-tiang bangunan diletakkan. Tiang-tiang bangunan sengaja tidak ditanam ke dalam tanah.

"Horas... horas... horas!!!" demikian para hadirin mengibas-ngibaskan ulos yang mereka sandang.

Derngan ucapan horas tiga kali, sebuah pertanda, pesta peresmian rumah baru sudah usai. Para pengetua adat meminta agar musik gondang sabangunan kembali ditabuh dan ditiup sebagai acara perpisahan.

"Tuak belum habis. Tak salahnya kita mereguk tuak ini dengan beberapa buah tarian," kata salah seorang yang dituakan. Semua setuju. Ama Ricardo juga setuju.

Ketika menari tarian olop-olop, Ama Ricardo meneteskan air matanya. Dengan khusyuk dia panjatkan doanya: "Terima kasih, Tuhan. Engkau telah kabulkan cita-cita ayah dan ibuku untuk membangun rumah adat, sebagai pelestarian budaya kami."

Mulanya Ama Ricardo sedikit khawatir. Saat orang mulai merobohkan rumah-rumah adat yang sudah tua dan menggantinya dengan bangunan modern, pada saat itu pula, Ama Ricardo membangun rumah adat untuk tempat tinggal mereka. Susah bagi Ama Ricardo meyakinkan anak-anaknya untuk membangun rumah itu. Keempat anaknya menginginkan rumah mereka dibangun mengikuti bangunan modern. Ala Romawi kuno atau ala Spanyol dengan tiang-tiang ala antik. Ama Ricardo bersikukuh untuk mengikuti saran almarhum ayahnya. Terlebih ratusan pohon jior yang sudah ditanam ayahnya lebih 25 tahun lalu di perladangan mereka, diperuntukkan membangun rumah adat.

"Dulu aku sangat miskin, hingga tak mampu membangun rumah adat. Dengan segala tenagaku, aku menyekolahkanmu dan menanami pohon jior. Jangan kau kecewakan aku," begitu pesan almarhum ayahnya.

Perbedaan antara Ama Ricardo dengan Ama Togar memang seperti bumi dan langit. Di kampung itu, keduanya selalu bersaing. Bersaing dalam dagang, juga bersaing dalam pertanian, bahkan bersaing dalam prestise. Ama Togar juga dikenal sebagai tokoh dalam partai politik. Dia sangat ingin mengambil simpati masyarakatnya.

Dua bulan lalu, Ama Togar meresmikan rumahnya yang dua lantai itu dengan mendatangkan dua grup Trio penyanyi dan satu grup band dari Jakarta. Dia memotong seekor kerbau yang dimasak oleh sebuah perusahaan catering, juga didatangkan dari Medan. Ratusan piring dan gelas disewa dari Medan. Acara makannya, juga prasmanan, ambil sendiri. Boleh bertambah sesuka hati. Selain sop dan gulai serta rendang kerbau, juga ada masakan lainnya.

Setiap tamu boleh mengambil buah sebagai pencuci mulut sepuas-puasnya. Ada jeruk, marquissa, dan segala buah lainnya. Tamu juga bebas meminta es krim dengan berbagai rasa. Tinggal minta. Undangan, terasa sangat senang sekali, menghadiri peresmian rumah baru Ama Togar. Selain, makanan yang boleh ambil sebebasnya, yang hadir juga boleh meminum bir sepuas-puasnya sampai mabuk.

Tak pernah di kampung itu ada pesta meresmikan rumah baru, acaranya sampai tengah malam. Biasanya, berlangsung sejak pagi pukul 10.00 sampai sore saja. Beda dengan acara peresmian rumah Ama Togar. Dalam benak Ama Togar, acara harus jauh lebih mewah, lebih wah, dari acara yang dibuat oleh Ama Ricardo yang kampungan. Zaman sudah modern, tapi masih membangun rumah kuno. Musik kuno, hidangan kuno dan segalanya yang masih kuno.

Ketika siang, Ama Togar memang memakai grup musik tiup untuk mengiringi pesta adat peresmian rumah barunya. Seusai acara adat pada sore harinya, melalui sound system, Ama Togar dengan lantang mengumumkan, kalau malamnya sejak pukul 08.00 akan ada acara makan bersama yang disebut resepsi. Resepsi memasuki rumah baru itu, akan menghidangkan makanan khas, hidangan rumah makan yang terkenal di Medan. Selain itu, para tamu akan diiringi oleh dua grup Trio dari Jakarta yang sangat terkenal, juga sebuah grup band yang sedang populer. Pengumuman itu disambut dengan tepuk tangan yang riuh dari tetamu yang hadir.

Penyanyi Trio silih berganti menyanyikan lagu-lagu modern. Peralatan musik dan sound system-nya juga modern. Benda populer dari ibu kota itu juga melompat-lompat di atas pentas. Belum lagi penyanyinya yang meliuk-liukkan tubuhnya dengan pakaian yang ketat dan belahan dada yang membuat semua laki-laki jadi berahi.

Tiba-tiba dari kandang babi di belakang rumah, serentak menguik-nguik, kerbau dan lembu melenguh dan meronta-rona minta dibebaskan. Begitu juga ayam-ayam juga beterbangan kian kemari tak tentu arah. Dari berbagai arah, orang-orang pun berteriak-teriak: "Suhuuulll... suhuuulll... suuuuhhhuuull...!” Teriakan suhul secara spontanitas, biasanya diucapkan secara refleks, jika gempa datang.

Getaran itu semakin kencang dan kencang. Orang-orang berhamburan keluar rumah. Band yang sedang menyanyikan keriaan, tiba-tiba berhenti karena arus listrik terputus. Semua orang menjauh dari rumah Ama Togar yang dua lantai. Mereka mencari tanah yang lapang. Semua orang menyaksikan rumah Ama Ricardo, menari-nari di atas batu bulat, mengikuti irama gempa. Tak lama terdengar suara keras berderak. Rumah-rumah batu pada roboh. Termasuk rumah Ama Togar yang beton, kokoh dan kuat.
"Draaaakkkk... Bam!!!"

Semua rumah beton hancur. Batu-batu bata berserakan. Saat itu, dengan gemulainya, rumah Ama Ricardo menari dengan genitnya. Gemulai dan seakan melambaikan tangannya. Seusai gempa, banyak orang datang menumpang ke rumah Ama Togar. Dengan ikhlas dan senang hati Ama Togar dan istrinya serta anak-anaknya menampung mereka untuk sementara malam itu, menunggu esok mereka membangun tenda-tenda darurat.

Medan, 15 Agustus 2008

POTRET GANDA NAYLA—DJENAR MAESA AYU

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Djenar Maesa Ayu lewat dua antologi cerpennya, Mereka Bilang, Saya Monyet! (2003) dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) (2004), tak pelak lagi, telah berhasil menjejerkan namanya dalam deretan penting sastrawati Indonesia. Ia juga mengambil posisi khas yang domainnya tak banyak dimasuki sastrawan Indonesia lainnya. Kini, ia meluncurkan novel pertamanya, Nayla (Gramedia Pustaka Utama, 2005, 178 halaman).

Dalam Nayla, Djenar bagai berada dalam ruang yang membuatnya bebas bergerak. Ia leluasa mengumbar kemampuan teknik berceritanya. Ia bebas memanfaatkan tokoh-tokohnya untuk kepentingan dan tujuan apapun, termasuk untuk menumpahkan pesan ideologisnya tentang jender. Bahkan, posisi kepengarangannya sendiri merasa perlu dilegitimasi lewat tokoh rekaannya. Nayla ibarat sebuah pentas teater yang sutradaranya bisa seenaknya keluar-masuk dalam setiap babak atau adegan yang sedang berlangsung.

Begitulah, ketika pengarang merasa perlu menyampaikan pesan ideologis, Nayla yang sekolahnya pun tak jelas, tiba-tiba tampil dengan kecerdasan seorang feminis. Djenar memanfaatkan tokoh ini untuk mengungkapkan gugatannya tentang seks (hlm. 77—80) dan pelecehan seksual (hlm. 84—6). Dalam peristiwa yang lain, khasnya dalam cerpen karya Nayla Kinar “Laki-Laki Binatang!” (hlm. 38—42) yang berkisah tentang kepedihan tokoh Djenar dalam berhadapan dengan ibunya, Nayla—yang fiktif—memanfaatkan tokoh Djenar –yang faktual dalam novel Nayla dan fiktif dalam cerpen “Laki-Laki Binatang”—menjadi corong untuk memprotes tindak kekerasan dalam rumah tangga dan terjadinya pelecehan seksual. Dalam hal ini, pengarang dan tokoh rekaannya tak hanya bisa bertukar peran, tetapi juga bisa saling memanfaatkan untuk menyampaikan pesan ideologisnya. Dengan begitu, batas tegas antara teks dan pengarang, dihancurkan semata-mata demi kepentingan ideologi yang hendak disampaikan.

Boleh jadi, Djenar menyadari betul pentingnya sebuah pesan. Tetapi, ia juga tak ingin terjerumus pada pamflet propaganda. Maka harus ada siasat lain untuk membungkus pesan itu. Jadilah, tak terhindarkan, penghadiran hubungan antara pengarang dan teks, tak selesai sebatas teks. Ia mesti kontekstual, sekaligus intertekstual. Kematian pengarang, seperti disarankan Roland Barthes (“The Death of the Author”) tak berlaku lagi. Pengarang harus dihidupkan lagi. Di situlah beberapa kutipan cerpen “Menyusu Ayah” (hlm. 90—1) menjadi signifikan sebagai siasat mengecoh dan menyembunyikan Djenar, Si Pengarang, dalam menyampaikan fatwanya. Tokoh Nayla dan Djenar hadir secara fungsional.
***

Kisahnya sendiri sederhana. Berawal dari perceraian ayah—ibu. Nayla, ikut ibu. Didikannya yang telengas dan ajarannya untuk menguasai laki-laki, menceburkan Nayla pada serangkaian pengalaman traumatis. Ia kabur dan memilih ayah yang sudah kawin lagi. Hanya sesaat. Ayah meninggal, dan ibu tiri menjebloskannya ke panti rehabilitasi. Setelah tiga bulan, Nayla kabur. Menggelandang dalam kehidupan liar. Terdampar dalam ingar-bingar diskotek. Bercinta dengan sesama jenis –Juli, sambil sekali-kali menjajakan tubuh. Ia gagal mencari kebahagiaan, tetapi menemukan kehidupan lain di tengah para seniman.
***

Sesungguhnya, kisah Nayla ini tidaklah linear. Berkelak-kelok, melompat ke depan atau ke belakang, bahkan berdiri dulu di pinggir sambil berkisah tentang yang lain yang seolah-olah tak ada hubungannya. Jadilah, bangunan rangkai peristiwa hadir menyerupai serpihan fragmen-fragmen. Berserakan. Pembaca digiring pada kotak-kotak, mirip teka-teki silang. Atau ibarat puzzle dengan potongan-potongan gambar yang belum tersusun. Di sini, pembaca bebas menempatkan setiap potongan gambar menurut persepsinya. Meski begitu, mudah saja kita menelusurinya dan kemudian membingkainya kembali menjadi sebuah struktur, mengingat fokus keseluruhan cerita bertumpu pada diri tokoh Nayla.

Djenar begitu bebas melakukan eksplorasi naratif, meski terkesan tak berpretensi hendak bereksperimen. Di sana berbagai bentuk penceritaan hadir gonta-ganti. Kadang seperti satu peristiwa yang berdiri sendiri, padahal sesungguhnya saling mencantel yang bersumber dan bermuara pada satu tokoh: Nayla. Sebuah siasat dalam membangun struktur cerita yang kini bertebaran dalam novel-novel Indonesia. Lihat saja, Tabularasa (Ratih Kumala), Dadaisme (Dewi Sartika), Geni Jora (Abidah el Khalieqy), Cermin Merah (N. Riantiarno) atau Lelaki Harimau (Eka Kurniawan). Mereka juga memakai pola macam ini.

Teknik apa pun tentu saja boleh digunakan, sejauh ia fungsional dan mengundang tegangan. Tanpa itu, ia akan jatuh pada kesan rumit yang artifisial. Di samping itu, ia juga menuntut kecermatan dan usaha membersihkan pengulangan yang tak perlu. Nayla secara keseluruhan telah menunjukkan kesungguhan itu. Meski begitu, tak berarti semuanya baik-baik saja. Selalu ada risiko di belakang setiap pilihan, dan itu yang juga terjadi pada Nayla.

Keasyikan bermain dengan teknik, cenderung melalaikan hal lain. Djenar terkesan lupa pada karakterisasi, pada proses saat peristiwa masa lalu menjadi sumber malapetaka. Saya tak menemukan ruh dan semangat Nayla dalam “Menyusu Ayah” atau Nai Nai dalam “Payudara Nai Nai”. Nayla dalam Nayla adalah sosok perempuan yang punya masa lalu kelam, penurut karena dikuasai ketakutan, dan tiba-tiba menjelma sosok seorang “Djenar” yang cerdas, nekad, dan feminis. Sebagai usaha menerjemahkan gagasan Helena Cixous –jika ia terpengaruh oleh pemikirannya—yang menawarkan cara yang berbeda bagi penulis perempuan, tentu saja tak dilarang. Tetapi, ia menyimpan kejanggalan ketika problem ideologis dihadirkan dengan latar belakang psikologis, dan lalai pada proses perjalanannya. Bukankah penghancuran stigma tentang seks dan virginitas, sebenarnya –mula-mula— bersumber pada prinsip kenikmatan orang per orang yang lalu berkembang jadi psikologi sosial, mitos, dan wacana laki-laki yang semuanya berpangkal pada phallus sebagai simbol superioritas?

Dibandingkan cerpen-cerpennya yang lebih fokus pada satu titik persoalan, Nayla lebih problematik lantaran Djenar bermain dengan begitu banyak sayap. Di satu pihak, ia bisa terbang mondar-mandir sesuka hati, menclok dari problem yang satu ke problem lain. Di pihak lain, ia kadang lupa kembali ke sarang. Akibatnya, problem yang dihadapi Nayla, kurang dieksplorasi dan dieksploitasi secara maksimal. Padahal, Djenar punya kesempatan yang luas untuk melakukan itu. Bagaimanapun, novel bukanlah cerpen yang dipanjangkan. Kemampuan teknik narasi yang ditunjukkan Djenar secara piawai, mestinya dimanfaatkan untuk menukik lebih tajam pada proses dan berbagai persoalan yang menggelindingkan tokoh Nayla dalam peri kehidupan liar dan menyimpang.

Sesungguhnya, Nayla potensial menjadi monumen jika saja problem dunia-dalam tak ditinggalkan. Lihat saja, peristiwa-peristiwa yang dihadirkan di sana hampir semuanya menyimpan problem dunia-dalam. Tarik-menarik pengaruh ibu yang mengajari kekerasan (seksual), Om Indra yang juga mengajari sesuatu yang aneh, ayah yang tiba-tiba mati, ibu tiri yang munafik, Juli yang lesbian, dan tokoh-tokoh lain yang datang dengan berbagai problemnya sendiri. Di belakang itu, niscaya ada sejarahnya yang khas. Jadi, segala perilaku seksual yang menyimpang atau yang berlebihan, punya akar psikologis. Ia bisa lahir sebagai akibat yang datang dari masalah dalam atau luar rumah atau dari mana saja.

Sebagai novel pertama, Nayla telah menunjukkan penguasaan teknik narasi yang piawai. Di sana, kita juga melihat kualitas gagasannya yang liar, meski kali ini Djenar tampak lebih matang dan hati-hati. Bahwa kesan ketergesaan masih tampak di sana-sini, tentu saja itu tak mengurangi keasyikan kita menelusuri kisah Nayla, sambil coba mengisi teka-teki silangnya. Di balik itu, kita seperti disodori problem besar tentang seks dan penyimpangan seksual yang tanpa sadar nyaris setiap saat kita jumpai dalam kehidupan keseharian masyarakat. Djenar sekadar menyapa kita tentang itu.

(Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok).

Dinasti dan Tesis Tikungan Iblis

Indra Tranggono*
http://indopos.co.id

PUBLIK budaya Surabaya akan disuguhi kolaborasi Teater Dinasti Jogjakarta dengan kelompok musik Kiai Kanjeng, di Gedung Gramedia Expo, 19 November. Pertunjukan yang dimulai pukul 20.00 itu membawakan lakon Tikungan Iblis karya budayawan Emha Ainun Nadjib. Pementasan yang diselanggarakan Komunitas Bang Bang Wetan (BBW) dan Dewan Kesenian Surabaya (DKS) ini merupakan bagian dari tur Teater Dinasti ke sejumlah kota, setelah Agustus lalu tampil perdana di Taman Budaya Yogyakarta.

Bagi publik teater Surabaya yang mengikuti perkembangan teater tahun 1980-an, tentu tidak asing dengan kelompok teater pimpinan Fajar Suharno (eks Bengkel Teater) ini. Pada periode itu, Dinasti pernah tampil antara lain melalui Geger Wong Ngoyak Macan.

Berdiri pada 1977, Dinasti bisa disebut kelompok teater yang mengambil peran penting dalam dinamika seni, budaya, dan politik di negeri ini, pada saat represi Orde Baru menguat. Saat itu, Dinasti memilih posisi sebagai kelompok teater kritis atau teater yang terlibat dengan berbagai persoalan sosial, politik, dan budaya. Lakon-lakon yang dipilihnya pun acapkali membikin ''telinga kekuasaan'' merah. Dua repertoar mereka pun berujung pada pelarangan, yakni Patung Kekasih dan Sepatu Nomor Satu.

Setelah Bengkel Teater Rendra off dari panggung karena dicekal penguasa, Dinasti hadir sebagai pilihan publik yang gelisah akibat tekanan politik pembangunan Orde Baru. Peran sebagai budaya tanding ini dijalani Dinasti hingga menjelang 1990-an.

Apa yang akan ditawarkan Dinasti sekarang melalui Tikungan Iblis? Masihkah ia membawa protes sosial?

Kondisi sosial-politik di Indonesia telah berubah, sejak reformasi bergulir tahun 1998. Represi politik --seperti dilakukan Orde Baru-- tidak lagi dominan. Dinasti akan menjadi kelompok yang ''bangun kesiangan'' jika masih meradang dengan protes sosialnya. Bukankah media massa jauh lebih terbuka dan berani mengungkapkan berbagai realitas itu? Bahkan media massa terkadang jauh lebih dramatik dalam pengungkapan dibanding kesenian.

Kelumpuhan Budaya
Tapi benarkah persoalan bangsa ini lantas menjadi selesai dengan keterbukaan politik dan kebebasan pers?

Selama ini muncul asumsi, seolah berbagai keterbukaan yang dirintis gerakan Reformasi 1998 telah menggembok wilayah kesenian ke dunia yang ''tanpa'' persoalan. Padahal, Reformasi 1998 bukan penyelesai persoalan bangsa, melainkan justru menjadi pintu masuk berbagai persoalan baru seperti ketimpangan sosial, kebangsaan yang makin kehilangan jatidiri/ martabat, politik kekuasaan yang rakus dan sombong, korupsi kolektif yang makin menguat, dan lainnya. Makin menguatnya kapitalisme pasar, industrialisme dan materialisme yang menjelma menjadi berhala, adalah beberapa faktor penyebab keburaman kehidupan multi dimensional bangsa ini, pasca Reformasi 1998.

Yang terjadi kemudian adalah kelumpuhan budaya di berbagai bidang: masyarakat mengalami krisis presentasi diri, sehingga tidak berdaya secara budaya merespons secara kritis gelombang persoalan yang digerakkan oleh kapitalisme, industrialisme dan materialisme. Masyarakat pun mengalami semacam degradasi nilai. Dunia politik, misalnya, tak lebih dari sekadar jual-beli kekuasaan. Dunia ekonomi tak lebih dari pasar bebas yang direstui negara untuk mengeksploitasi masyarakat. Dunia hukum tak lebih dari mafioso pengadilan di mana rakyat gagal menemukan rasa keadilan. Dunia kesenian (khususnya kesenian massa), tak lebih dari kelangenan yang mendangkalkan selera, cita-rasa, dan pikiran.

Dalam seting buram itu, Dinasti mencoba memberikan respons kritis atas berbagai persoalan sosial, spiritual, politik, dan kebudayaan bangsa ini melalui kontemplasi. Digarap sutradara Jujuk Prabowo dan Fajar Suharno, pementasan ini menggunakan pendekatan multimedia.

Lakon Tikungan Iblis setidaknya menawarkan dua tesis. Pertama, tentang kehidupan beragama dan penghayatan religius yang terkait dengan keberadaan tokoh Iblis. Iblis selama ini telah mapan diberi stigma buruk sebagai ''raja kegelapan'' yang mendorong manusia melakukan berbagai penyimpangan nilai-nilai ideal, baik pada level agama maupun budaya. Manusia cenderung selalu menjadikan Iblis sebagai kambing hitam atas berbagai penyimpangan yang dilakukan. Padahal, dorongan penyimpangan umat manusia adalah syahwat pemuasan diri seperti kerakusan, hedonisme, naluri korup, kebengisan, dan keinginan untuk selalu menguasai/menindas sesama manusia atau alam. Berabad-abad, cara berpikir itu menjadi upaya manusia untuk melepaskan diri dari tanggung jawab.

Dalam konteks itu, Tikungan Iblis mencoba menawarkan tesis yang berbeda dari pemahaman Iblis yang klasik. Yakni, Iblis bukan saingan Tuhan untuk menguasai manusia. Iblis adalah sosok penting yang menjadi ''alat'' Tuhan untuk menunjukkan kebesaran-Nya bagi umat manusia. Iblis adalah sosok yang menjadi aktor strategis bagi Tuhan untuk memberikan berbagai tantangan bagi manusia untuk memperjuangkan martabat dan eksistensinya. Ia menawarkan ''antitesis'' atas ''tesis'' Tuhan, agar manusia mampu menggenggam sintesa: nilai-nilai Ilahiyah secara utuh, mendasar, dan mengakar karena nilai-nilai itu tidak otomatis hadir sebagai paket, melainkan diraih melalui perjuangan yang keras dan mendidih. Sehingga ketika manusia mengakui eksistensi Tuhan --dengan seluruh nilai-nilai idealnya, maka pengakuan itu tidak artifisial, melainkan substansial. Lakon ini bukan merupakan ''pembelaan'' atas Iblis melainkan mencoba memperluas cara pandang manusia atas sosok Iblis.

Dari Garuda ke Emprit
Tesis kedua, bangsa Indonesia telah mengalami degradasi nilai-nilai secara eksistensial dan dignity (martabat) dari bangsa yang dicitrakan sebagai burung Garuda menjadi burung emprit. Tesis itu dituangkan dalam narasi yang mengisahkan perjalanan eksistensial manusia dari awal penciptaan manusia Adam hingga umat manusia berkembang biak dan membangun peradaban. Iblis --yang sejak awal manusia diciptakan sudah tidak percaya bahwa manusia mampu menjadi khalifah di bumi-- akhirnya membuktikan ketidakpercayaannya itu: hidup manusia hanya berkisar dari tiga kata kunci, yaitu rakus, merusak bumi, dan saling berbunuhan. Umat manusia ternyata tak lebih menjadi sekadar ''tapel'' --sebuah terminologi elementer manusia yang artinya sekadar wadag/jasad. Tapel bergerak dan beraktualisasi diri lebih didasari insting daripada hati nurani dan akal sehat.

Kekurangmampuan untuk meningkatkan kualitas diri membuat bangsa kita mengalami kemerosotan martabat. Padahal, bangsa kita memiliki genetika unggul sebagai Burung Garuda sejati yang memiliki kemampuan untuk terbang, menerkam, dan berjuang (ingat sejarah kebesaran Dinasti Syailendra, Majapahit, Sriwijaya, dan lainnya). Namun, karena Garuda itu kemudian dikurung oleh kekuatan yang menindas (baca kolonialisme), maka burung itu tidak lagi memiliki kemampuan dasarnya. Yang menyedihkan adalah anak-anak, cucu, dan cicit Garuda itu. Mereka bukan hanya tidak bisa terbang atau menerkam tapi memang tidak lagi memiliki memori untuk terbang dan menerkam.

Lakon ini menginspirasi kita bahwa masih ada peluang bagi bangsa ini untuk menjadi kelas bangsa Burung Garuda yang memiliki martabat, kewibawaan, kemuliaan, dan kebesaran; bukan hanya menjadi bangsa kelas emprit yang tidak diperhitungkan bangsa-bangsa lain. Saatnya martabat itu harus direbut. (*)

*)Pemerhati kebudayaan, teater, dan penulis cerpen.

Kemerdekaan di Tengah Kemiskinan

Catatan Pentas Monolog ''Merdeka'' Putu Wijaya
Ribut Wiyoto*
http://indopos.co.id/

Dengan sedikit tertatih, Putu Wijaya memasuki panggung dengan memanggul kursi. Ia lontarkan beberapa sindiran. ''Umur saya telah seratus tahun. Tapi saya masih kuat. Itu karena saya tidak memiliki apa-apa. Saya hanya memiliki satu kursi. Saya tak pernah korupsi.''

Di atas panggung sisi kiri, ada tiang berbendera merah putih. Ditancapkan sedikit miring. Di sisi kanan, dua buah sapu lidi berdiri tegak. Dan tepat di atas panggung, tergantung sangkar. Isinya bukan burung, tetapi kantong plastik tepung. Putu lantas meletakkan kursi tepat di bawah sangkar.

''Cucu saya, yang masih SD, bertanya. Kek, apakah kita telah merdeka? Tentu saya heran, ini anak SD apa kerasukan setan. Tiba-tiba mempertanyakan kemerdekaan," ujarnya setengah melompat ke belakang.

Adegan bermuatan sindiran tersebut mengawali pentas monolog Putu Wijaya di Gedung Serbaguna Unair, Rabu (19/11) malam. Pendiri Teater Mandiri itu kemudian memerankan dialog seorang kakek dengan cucunya. Sebuah dialog yang janggal.

Mengapa janggal? Ini terkait dengan logika tekstual. Seorang bocah SD, apalagi zaman sekarang, mempertanyakan kemerdekaan adalah sesuatu yang tidak lazim. Tidak logis. Terlebih, si cucu itu memaparkan makna kemerdekaan di tengah situasi politik yang tak jelas. Kemerdekaan dikontraskan dengan kemiskinan yang mendominasi kondisi rakyat Indonesia. ''Benarkah kita telah merdeka, Kek. Padahal kemiskinan kian merajalela.''

Si anak terlalu cerdas untuk ukuran kewajaran. Pertanyaan maupun pendapat seperti itu lebih layak keluar dari mulut mahasiswa. Setidaknya mulut pelajar SMA yang memiliki perhatian pada wacana nasionalisme. Seliar apa pun, tidak mungkin keluar dari mulut atau pikiran siswa SD.

Pembukaan dialog yang dimainkan Putu terkesan klise. Tanpa dasar. Dan, selebihnya omong kosong. Putu gagal menurunkan pemikirannya ke dalam tataran praktis. Padahal, lelaki kelahiran Tabanan Bali, 11 April 1944, itu tampaknya hendak mengungkapkan makna kemerdekaan melalui dialog keseharian dalam keluarga. Obrolan ringan yang memiliki makna mendalam.

Tapi, memang, kegagalan serupa kerap menghampiri tradisi tekstual di Indonesia. Itu seperti kefatalan yang menimpa tubuh teks Pengakuan Pariyem karya mendiang Linus Suryadi A.G. Prosa liris yang memaparkan dunia batin seorang babu kraton bernama Pariyem. Mana ada seorang babu mampu menguraikan pemikiran Jawa secara detail dan sublim. Merepresentasikan filosofi kehidupan secara mendalam, babu karangan Linus terlalu cerdas. Ia lebih mungkin sebagai mahasiswa filsafat daripada seorang babu, meskipun ia hidup di lingkungan kraton.

Bandingkan dengan penokohan yang digarap Iwan Simatupang dalam novel Merahnya Merah. Sang tokoh diberi identitas gelandangan. Namun sebelumnya, dia adalah bekas pejuang. Dia juga mantan siswa seminari yang gagal menjadi pastor. Sang tokoh mengelandang bukan karena tertimpa kemiskinan. Tetapi memang itulah pilihan hidupnya. Dia hendak mencari kebebasan.

Bersandar dari identitas tersebut, sang tokoh menjadi logis ketika memaparkan berbagai persoalan filsafat, nasionalisme, maupun teologi. Artinya, ada kesesuaian antara latar belakang tokoh dengan pembicaraan yang dilontarkan. Hasilnya adalah keutuhan penokohan. Tokoh berbicara sesuai dengan kapasitasnya.

Pada monolog Putu, kegagalan membangun logika tekstual itu diperparah dengan paparan-paparan sang kakek terhadap cucunya. Bagi ukuran keseharian, jawaban-jawaban sang kakek lebih mirip kuliah dosen mata kuliah Kewiraan di hadapan mahasiswa. Bayangkan saja, si kakek dengan penuh semangat mendeskripsikan kebobrokan yang melanda birokrasi Indonesia. Membedah beragam efek ketimpangan sosial. Mengolok-olok sikap pemerintah yang tidak menghargai pahlawan. Dan, oleh pertanyaan si cucu, sang kakek seperti tersadarkan bahwa Indonesia belum layak dianggap merdeka.

Ini sungguh tidak masuk akal. Bahkan, tokoh kritis sekelas Arif Budiman pun tidak akan melakukan hal konyol seperti dalam pentas Putu Wijaya. Untungnya, logika tekstual bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilan sebuah pentas monolog. Ada aspek-aspek lain yang turut signifikan. Putu Wijaya memang gagal mengembangkan logika tekstual. Tapi, perlu banyak catatan, tokoh teater yang pernah 7 bulan berkeliling pelosok Jepang untuk bermain drama ini sukses menyuguhkan drama komikal yang menghipnotis pengunjung. Selama satu jam, pengunjung tak lepas dari sajian panggung Putu.

Putu Wijaya berhasil mengatur ritme emosi dan simpati penonton. Pada kriterium ini, Putu memamerkan kapasitasnya sebagai dramawan tangguh. Di usianya yang telah 64 tahun, Putu mampu memainkan monolog secara stabil. Staminanya tak pernah kendur. Mulai tengah babak, suara Putu memang terdengar serak. Tapi, suara serak itu tertutupi oleh olah vokalnya yang prima.

Putu kadang bersuara lirih. Kadang datar. Berteriak. Kadang malah berteriak lantang dengan ritme cepat. Apakah ada dramawan setangguh dia di Jawa Timur? Bisa jadi tak ada.

Putu juga melompat. Menghentak-hentakkan kakinya ke lantai kayu. Berlarian. Merentangkan tangan lebar-lebar. Kesemuanya dalam porsi yang tepat. Kesemuanya memperlihatkan ketangguhan seorang aktor kawakan. Menghasilkan artistik yang terukur. Terencana. Dan, selebihnya menghipnotis. Sama sekali tidak terlihat ia letih atau kedodoran.

Kesederhanaan properti di atas panggung mampu diisi dengan mobilitas pemeranan. Bloking yang mengisi seluruh ruang. Bahkan, pada bebeberapa momen, Putu turun dari panggung. Membawakan dialognya dekat dengan penonton terdepan. Putu tiba-tiba juga menubruk kain belakang panggung hingga menimbulkan kesan terjatuh. Saat-saat tertentu, Putu berdiri tegak di atas kursi. Pada saat yang lain, Putu melemparkan kursi ke udara. Pada batasan tertentu, Putu memang jagoan di ranah monolog.

Segala properti menjadi tidak sia-sia. Eksplorasi Putu melibatkan seluruh benda yang ada di atas panggung. Dia bergerak ke kiri untuk menciumi bendera, menarik-nariknya, mengibas-kibaskannya. Sekejap, dia berlari berlutut dan bersujud di lantai. Secara apik pula, dia juga mengekplorasi tongkat, sapu lidi, sangkar, dan kursi. Di bagian akhir adegan, Putu memukul-mukul sangkar dengan tongkat. Hingga sangkar tercerai berai. Berhamburan. Dan, kesemuanya menghasilkan efek artistik yang manis.

Dramawan yang juga menghasilkan lusinan cerpen, beberapa novel, naskah drama, dan rajin menulis ulasan seni pertunjukan ini juga berhasil membangun komunikasi interaktif dengan penonton. Beberapa kali dia melontarkan dialog yang seakan-akan improvisasi. Semisal memarahi bagian properti yang mengepulkan asap ke panggung. ''Asapnya jangan sampai terlambat, saya potong honor kamu nanti,'' katanya.

Dia juga menegur bagian properti yang tidak segera menurunkan dan menaikkan tali sangkar. ''Ini akibatnya kalau latihan hanya dua hari. Telat terus,'' ujarnya. Mendengar komentar Putu, tak ayal, penonton pun terbahak.

Tak berhenti sampai di situ. Putu beberapa kali juga menyapa penonton. Bahkan mengajak penonton menirukan suara burung perkutut. Oleh sebab sajian Putu yang menghipnotis, penonton pun serempak menirukan suara perkutut. Berkali-kali.

Hasilnya, hubungan antara panggung dengan penonton menjadi cair. Berbagai kritik sosial yang dilontarkan Putu bisa diterima penonton tanpa perlu mengerutkan dahi. Kritik sosial Putu memang dikemas dan diperankan secara komedian. Menuntun penonton untuk tertawa. Semisal, tiba-tiba Putu berceletuk. ''Asap jangan dikeluarkan terlalu banyak. Harus dihemat. BBM mahal," ujar Putu kepada bagian properti panggung.

Begitulah Putu Wijaya, sang dramawan yang tak henti berkarya. Tak mau tinggal diam melihat beragam ketimpangan sosial. Melihat kemacetan kinerja birokrasi. Melihat makna kemerdekaan yang terus dipangkas. Menyaksikan kemiskinan kian merajalela. Pemerintah yang tak bisa menyelesaikan persoalan kenegaraan. Justru sebaliknya, pemerintah kerap kali justru bertindak blunder dengan kebijakan-kebijakan non-progresif.

Tapi, apakah Putu Wijaya memberi solusi atas berbagai persoalan yang dia ungkap? Tidak. Putu sebatas memaparkan persoalan-persoalan di negeri Merah Putih ini. Dia hanya memakai ketimpangan sosial untuk menggambarkan kegalauan hati seorang kakek yang pernah berjuang memerdekakan negerinya. (*)

*)Anggota Forum Studi Sastra & Seni Luar Pagar Surabaya dan Komunitas Teater Gapus Surabaya.

Integritas dan Jalan Hidup Intelektual

Muhammad Al-Fayyadl*
http://indopos.co.id/

Menjadi intelektual di zaman yang penuh dengan godaan anti-intelektualisme tidaklah mudah. Menjadi intelektual berarti terlibat dalam persoalan-persoalan yang melingkupi lingkungan sekitar tanpa kehilangan integritas dan keotentikan. Persoalannya kemudian, mungkinkah mengambil posisi yang demikian saat ini?

Gempuran budaya populer yang dibawa oleh teknologi dan perkembangan audio-visual membawa konsekuensi yang tak terelakkan bagi pergeseran dunia pemikiran dewasa ini. Pengaruh budaya populer yang mengutamakan ''komunikativitas'' (communicativeness), yaitu tersampaikannya ide-ide menjadi lebih komunikatif di mata orang kebanyakan, telah mengubah cara seorang intelektual mengutarakan gagasannya. Dulu, kita terpikat dengan pemikiran-pemikiran intelektual yang mengutamakan abstraksi, yang mendalam dan sarat dengan muatan ide. Tetapi kini, kondisi yang berbeda membawa pemandangan yang berbeda pula, di mana seorang intelektual harus banyak menyesuaikan pemikirannya dengan tuntutan orang kebanyakan. Ia harus mengemas ide-idenya menjadi lebih atraktif dan komunikatif di hadapan orang lain.

Tuntutan eksternal untuk menjadi lebih komunikatif, lebih menarik, dan ''menghibur'', membawa akibat-akibat yang, pelan tapi pasti, membuat peran-peran intelektual kian merosot dari hari ke hari. Banyak intelektual yang hidup tanpa intelektualisme dalam pemikirannya. Para intelektual menjadi mudah tidak percaya diri jika ia harus menyampaikan gagasannya secara langsung kepada publik. Ia akan lebih merasa nyaman, merasa lebih ''enjoy'' (meminjam ungkapan sebuah iklan), jika ia mengemas terlebih dulu pemikirannya dalam bentuk-bentuk yang populer dan mudah dicerna.

Kemerosotan yang terjadi adalah terdistorsinya kebebasan kreatif seorang intelektual dalam memperjuangkan gagasan-gagasannya. Setidak-tidaknya, ada satu hal yang terlihat kemudian, sebagai akibat dari kondisi tersebut, yaitu: begitu mudahnya dunia pemikiran dewasa ini terjatuh ke dalam sikap-sikap konformisme; sebuah sikap yang ditandai dengan pengiyaan secara tidak kreatif atas opini umum.

Buku, sebuah dokumen tertulis tentang pemikiran seseorang, barangkali bisa dianggap barometer dalam perjalanan seorang intelektual. Mengamati buku dan karya-karya intelektual yang dihasilkan dalam beberapa waktu belakangan ini, bisa diamati bersama betapa terpesonanya dunia pemikiran pada apa yang disebut dengan lazim sebagai ''trend''. ''Trend'' adalah ungkapan lain dari kepopuleran sebuah ide di mata publik kebanyakan. Sejauh mana sebuah karya dapat menyesuaikan diri dengan trend yang ada, tergantung dari sejauh mana karya tersebut mampu menampilkan dirinya secara renyah dan komunikatif bagi audiens. Dan, semakin ia trendy, semakin sebuah pemikiran dapat konformis (baca: selaras-sejalan) dengan keinginan publiknya, maka semakin ia populer dan ''sukses''.

''Popularisme'', konformisme, dan kegandrungan pada hal-hal yang menjadi buah bibir masyarakat pada umumnya dapat dirasakan secara kuat dalam bidang-bidang yang dulunya melahirkan eksperimen-eksperimen serius dalam dunia pemikiran; bidang-bidang keilmuan yang sebelumnya banyak memunculkan perdebatan-perdebatan yang mendalam, yang merangsang pemikiran generasi berikutnya; bidang-bidang pemikiran yang dahulu digarap dengan konsistensi pemikiran yang tangguh dan ulet. Bidang kebudayaan, misalnya, di Indonesia telah melahirkan seorang generasi intelektual seperti Sutan Takdir Alisjahbana yang mengkaji dengan mendalam bentuk-bentuk kebudayaan di Indonesia dalam kaitannya dengan tradisi dan modernitas. Bukan sosok Takdir yang paling penting dalam hal ini, tetapi peran yang dia ambil dalam perdebatan itu yang membuatnya layak dihargai. Takdir, dalam beberapa karyanya, mungkin menunjukkan kualitas yang tidak sebaik apa yang digagasnya. Puisi-puisinya tidak sekuat pemikiran kebudayaannya; novel-novelnya tidak sekuat pemikirannya tentang sastra; dan seterusnya. Bukan karya Takdir itu sendiri yang penting untuk mendapat sorotan dalam konteks ini, melainkan apa yang terbentuk dari karya-karya itu, paradigma pemikiran yang konsisten disuarakan dari dalamnya (meskipun kita perlu meneliti juga inkonsistensinya), dan pertanyaan-pertanyaan menantang yang muncul dari interpretasi atas karya-karya itu.

Pemikiran di bidang keagamaan juga semakin langka memperlihatkan gairah akan kemendalaman dan kultur kajian yang sungguh-sungguh. Agak sulit mencari perdebatan yang mendalam seperti terlihat dari kajian tentang Islam dan sekularisme dalam pemikiran Nurcholish Madjid dan Natsir; tentang Islam dan budaya lokal dalam pemikiran Gus Dur muda; tentang agama dan modernisasi serta pembangunan dalam pemikiran Soedjatmoko. Seperti halnya dalam kasus Takdir di atas, bukan sosok pribadi Nurcholish atau Natsir, atau Soedjatmoko, yang menarik untuk diperbincangkan, melainkan yang terpenting adalah peran yang mereka ambil, posisi, dan sikap yang mereka perjuangkan, yang kemudian menentukan signifikansi pemikiran mereka dalam percaturan intelektual saat itu. Nurcholish menunjukkan beberapa pengulangan dalam karya-karyanya yang belakangan sehingga tidak sepenuhnya baru; Natsir tidak terlalu produktif di akhir-akhir hidupnya; Gus Dur kehilangan sentuhannya sebagai ilmuwan di usia tua karena kesibukannya dalam politik; atau Soedjatmoko yang terlalu berhati-hati dalam mengungkapkan gagasan. Bukan sosok atau karya satu-dua mereka yang terpenting, tetapi paradigma yang terbentuk dalam perjalanan intelektual mereka saat itu.

Paradigma yang baru, yang muncul dari kegelisahan akan situasi, merupakan sesuatu yang berharga yang langka ditemukan saat ini. Dalam bidang kebudayaan, kita lebih banyak menghasilkan karya sastra daripada kajian sastra; lebih banyak novel daripada telaah dan pemikiran sungguh-sungguh tentang novel; lebih banyak kumpulan cerita daripada jurnal sastra; lebih banyak selebritis daripada para pemikir sastra; dan barangkali lebih banyak gosip dan isu tentang konflik antar-berbagai komunitas sastra daripada pemikiran yang tulus dan jernih tentang masalah sastra tertentu. Hal yang agak serupa juga terlihat dalam ranah pemikiran keagamaan: kita lebih banyak menghasilkan buku agama yang penuh dengan rangsangan untuk membenci, provokasi, atau semacamnya daripada karya yang meletakkan agama untuk dikaji. Atau sebaliknya, kita lebih banyak menghasilkan buku agama yang praktis, ringan, atau populer; daripada buku pemikiran agama.

Dua bidang di atas baru sekelumit contoh dari kompleksitas dunia pemikiran dewasa ini. Dalam keduanya terlihat gejala, dunia pemikiran begitu cepat kehilangan pesonanya akan kemendalaman. Gejala yang, barangkali, boleh disebut sebagai ''simplified-mindedness'', sebuah pola berpikir yang terlalu menyederhanakan.

Saat ini, perluasan pola pikir ekonomi (economy-minded), yang melihat segala sesuatu sebagai produk yang harus dijual, juga menjadi tantangan dunia pemikiran. Sebuah buku, di alam yang berpola pikir demikian, akan dilihat semata-mata sebagai produk yang keberhasilannya diukur dari laku-tidaknya buku tersebut. Keberhasilan buku itu tidak dilihat dari kualitas ide di dalamnya, melainkan dari seberapa banyak oplah buku itu laris. Intelektualisme kontemporer menjadikan pemikiran sebagai bisnis, dan bisnis sebagai pemikiran.

Jalan hidup seorang intelektual saat ini benar-benar di ambang kegamangan. Hanya ada satu pilihan baginya: menjadi seorang intelektual sejati yang mau bergulat dengan kegelisahan dan keterasingannya, dan mau memperjuangkan idenya. Atau menjadi intelektual tanpa intelektualisme, yang selalu kompromistis dan konformis dengan keadaan. (*)

*) Pengamat muda, tinggal di Jogjakarta

Kamis, 27 November 2008

CERPEN-CERPEN PUITIK MAROELI

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

“Tengah malam tuba. Angin berdesir. Beribu ular berdesir. Tanganku berdesir. Itu tubuh/mengucur darah/mengucur darah.” Itulah kalimat-kalimat pembuka “Solilokui Ungu,” sebuah cerpen yang mengawali antologi cerpen Bara Negeri Dongeng (Yogyakarta: Jalasutra, September 2002, 183 halaman) karya Maroeli Simbolon. Di sana ada penggalan-penggalan puisi “Isa” karya Chairil Anwar. Dan secara cerdas Maroeli berhasil memanfaatkannya menjadi bagian integral dari bangunan keseluruhan cerita yang disajikan. Tema cerita yang menggambarkan peristiwa pembunuhan itu –baik yang dilakukan atau yang dipikirkan tokohnya—kemudian seperti memancarkan suasana mencekam. Melalui penghadiran citraan-citraan berdarah, ketika diselusupkan puisi Chairil Anwar itu, terciptalah serangkaian teror yang mengasyikkan. Dan tiba-tiba saja kita dijerat pesona oleh jalinan narasi yang terasa begitu puitik.

Demikianlah, salah satu penyebab munculnya greget yang berjalin kelindan antara lakuan dan pikiran tokoh dalam cerpen itu, dimungkinkan oleh kehadiran puisi Chairil. Oleh karena itu, kutipan teks puisi di sana, bukanlah sekadar tempelan, artifisial atau hanya untuk gagah-gagahan, tetapi sudah mengalami transformasi makna mengikuti konvensi cerpen. Dan itu terjadi manakala ia lebur-menyatu dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tema cerita. Atau, masuk mengacaukan perasaan dan pikiran tokohnya yang lalu menjelma jadi gumpalan-gumpalan kegelisahan tokoh yang bersangkutan.

Memasukkan teks lain atau pesan tertentu dalam cerpen atau novel (: sastra) tentu saja bukan tanpa risiko. Paling tidak, Stendhal (1783—1841), novelis Prancis, pernah mengingatkan itu ketika politik memasuki wilayah sastra yang dikatakannya laksana “letusan pistol di tengah konser.” Ia akan terdengar khas, tak terduga dan menciptakan surprise, jika gelegarnya menyelusup dan pas mengisi bagian tertentu dalam komposisi musik konser itu. Sebaliknya, ia akan menciptakan hingar (noisy) dan mengganggu keseluruhan, jika suara letusan pistol itu terdengar nyeleneh sendiri dan gagal menjadi bagian estetika komposisi musik konser itu.

Meskipun contoh kasus yang dikemukakan Stendhal berkaitan dengan bahaya masuknya politik (ideologi) ke dalam wilayah novel (:sastra), setidaknya langkah yang dilakukan Maroeli Simbolon dalam “Solilokui Ungu” dan beberapa cerpennya yang lain, dapat dijadikan contoh kasus yang relevan dengan peringatan Stendhal. Dalam hal ini, pemilihan puisi “Isa” Chairil Anwar itu, justru untuk mendukung tema cerita dan menciptakan suasana peristiwa agar terasa intens dan lebih punya kedalaman maknawi.
Hal yang sama, dapat kita cermati pula dalam cerpen kedua “Waduk Luka” yang mengambil beberapa bagian puisi “Tanah Airmata” karya Sutardji Calzoum Bachri. Kembali, kutipan puisi itu tidak hanya memperkuat pesan tematisnya, tetapi juga menciptakan latar suasana yang penuh imaji. Dengan demikian, kehadiran puisi itu tidak sekadar kutipan an sich, melainkan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan cerita. Maka, jika kutipan-kutipan puisi itu dibuang, niscaya kita akan merasakan ada sesuatu yang hilang; cerita jadi berantakan, tema dan latar suasana yang dibangunnya akan terasa hambar.

Masih dengan teknik yang sama, Maroeli kembali melesapkan sepenggalan lagu Koes Plus, “Kolam Susu” menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan tema cerpen “Dongeng Pengamen di Belantara Kota”. Pola yang sama, dilakukannya lagi dalam “Nyiur Melambai Nyeri” yang mengutip sepenggalan lagu “Rayuan Pulau Kelapa” karya Ismail Marzuki. Dalam hal ini, kemahirannya menjalinpintal peristiwa dengan rujukan teks lain, bukanlah untuk menciptakan sebuah kolase, seperti yang pernah dilakukan Budi Darma dalam Orang-Orang Bloomington, melainkan untuk memberi efek yang lebih mendalam atas pilihan tema, latar, dan suasana peristiwa yang ditawarkannya. Jadi, teks lain itu melesap, menyatu dan berintegrasi, lalu memainkan peranannya secara fungsional dalam kepaduan intrinsikalitas cerpen bersangkutan.

Dengan cara itu, sesungguhnya Maroeli seperti sengaja membebaskan narasinya mengalir begitu saja. Dan itu dimungkinkan pula oleh usahanya menciptakan rangkaian citraan, idiom-idiom dan majas yang terasa segar, sebagaimana yang terjadi dalam puisi. Itulah sebabnya, sebagian besar cerpen dalam antologi ini memancarkan narasi yang terasa begitu puitik. Bahkan, kadangkala, narasinya itu condong mendekati puisi.
***

Bara Negeri Dongeng menghimpun 18 cerpen. Keseluruhannya, secara simbolik mengangkat tema kritik sosial. Di sana ada tragedi Mei, kerusuhan pascajajak pendapat, kemunafikan elite politik, kehancuran negeri dan keserakahan manusia kota, perebutan kekuasaan, pengaruh tokoh di belakang layar, dan berbagai macam peristiwa busuk yang terjadi di negeri ini. Semua itu dikemas Maroeli secara simbolik dan metaforis –dengan narasi puitik— meskipun kita masih dapat merasakan, ke mana sasaran tembak itu diarahkan. Dengan cara itu, di satu pihak, Maroeli dapat sangat leluasa menyampaikan kritik sosialnya, dan di pihak lain, ia dapat juga menyembunyikan dengan sangat rapi arah kritik yang ditujunya. Sebuah model yang sampai kini masih digunakan Danarto dan Putu Wijaya.

Lewat penyajian yang simbolik dan metaforis itulah, kritik sosial yang disajikan Maroeli tidaklah sebagaimana yang dilakukan Seno Gumira Ajidarma atau Hamsad Rangkuti. Ia juga tidak mengeksploitasi konflik batin dan aliran pikiran model Gus tf Sakai atau Hudan Hidayat. Maroeli mengangkat peristiwa yang terjadi di dunia entah-berantah, meskipun arahnya jelas dalam konteks problem multidimensi yang terjadi di negeri ini. Dengan begitu, mencermati antologi ini, kita seperti dibawa ke suasana dunia Danarto yang mengalir lembut, tetapi di beberapa bagian, metaforis dan simbolisasinya mengingatkan kita pada gaya Putu Wijaya. Dan ketika kita memasuki dunia entah berantah, tiba-tiba kita ingat cerpen-cerpen Pamusuk Eneste yang mengeksploitasi masalah alienasi dan keterasingan manusia modern. Sementara itu, dari sudut pengembaraan imajinasinya, Maroeli seperti sedang berhadap-hadapan secara kontras dengan murka dan sumpah-serapah Joni Ariadinata yang liar-lugas dan meledak-ledak atau dengan keberingasan Teguh Winarso.

Dengan menyebut nama-nama itu, jelas, Maroeli sudah punya kotaknya sendiri. Penghadiran suasana peristiwa dan model narasinya, terasa lembut menyerupai larik-larik puisi. Meskipun begitu, tentu saja kita tidak dapat menyebutnya sebagai puisi naratif semacam Pengakuan Pariyem, Linus Suryadi. Di situlah kehadiran Bara Negeri Dongeng menjadi penting dalam memperkaya style dan model narasi cerpen kita.
***

Bahwa cerpen “Solilokui Ungu” dan “Waduk Luka” bolehlah dikatakan berhasil memanfaatkan puisi Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri guna menciptakan suasana latar peristiwa dan mendalamkan tema ceritanya, tidaklah berarti cara tersebut tidak mengundang bahaya. Kesan nebeng popularitas dari karya dua penyair penting itu tentu saja perlu dihindarkan. Oleh karena itu, Maroeli sepatutnya melebarkan lahan garapannya itu dengan menengok pada kultur, tradisi leluhur, folklore, dan dongeng-dongeng –termasuk mitologi— jika pola itu hendak dipertahankan.

Dengan menjalinpintal narasinya yang sarat dengan majas dan citraan puitik, sesungguhnya Maroeli telah mempunyai modal dasar yang kokoh. Tinggal bagaimana ia mengejawantahkan kekuatannya itu dengan tema yang lebih beragam. Jika tetap berkutat pada pemanfaatan teks lain, ia tidak hanya akan terjerumus pada pola klise yang basi dan membosankan, tetapi juga akan sulit mengindarkan diri dari kesan nebeng popularitas itu.

Dalam hubungan itu, tidaklah keliru jika Maroeli mencermati juga karya-karya lain yang menggunakan pola semacam yang dilakukan cerpenis lain. Danarto, misalnya, masih punya napas panjang lantaran ia rajin bolak-balik membongkar mistisisme Jawa dan kisah-kisah kaum sufi. Joni Ariadinata dalam Air Kaldera, juga telah mencoba memanfaatkan cerita-cerita ajaib para aulia dan dongeng-dongeng dalam kehidupan di dunia entah-berantah. Tentu saja masih banyak nama lain yang masih tetap bertahan hanya lantaran ia tak terkungkung pada tema cerita yang sejenis. Taufik Ikram Jamil, misalnya, tak pernah berhenti menggali kekayaan kultur puaknya. Gus tf Sakai, juga terus mengejar kultur lain sebagai bahan dasarnya. Dengan cara ini, pola narasi yang menjadi modal dasarnya itu, tetap akan terasa segar, kaya, dan tidak jatuh pada bentuk klise.
***

Maroeli Simbolon dalam deretan nama cerpenis kita, barangkali masih agak asing. Dengan kehadiran Bara Negeri Dongeng, boleh jadi kita patut memperhitungkan keberadaannya dalam konstelasi kesusastraan Indonesia terkini. Mencermati cara bertuturnya yang jernih dan puitik –yang justru penting sebagai modal dasar bagi cerpenis—maka tidak berlebihan jika kita mengusung pengharapan kepadanya. Sebaliknya, jika ia asyik-masyuk dan puas diri dengan antologinya ini, bersiaplah kita mengirimkan karangan bunga. Bagaimanapun, beberapa cerpen dalam antologi ini di sana-sini masih terasa begitu cair. Gaya hiperbolanya juga kadang kala agak royal, meskipun lebih bersifat simbolik atau metaforis. Jadi, kecermatan diksi tentu saja perlu dipertimbangkan secara serius, agar karyanya itu benar-benar kental dan bernas.
Barangkali begitu. Horas!

(Maman S. Mahayana, Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok).

Surat Kawan Kepada Para Pengarang

S.Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

KAWAN,
Bersiaplah bagi kita, pengarang untuk menggali kuburan sendiri! Lebih dari itu, nikmati kepedihan menyaksikan karya terbaik bakal menemui ajal karena dibakar di tungku api!

Pesan ini bukan cuma icapan jempol, bila Rancangan Undang-Undang Tentang Pornografi lolos diundangkan. Bukan berlebihan bila keadaan luar biasa mengerikan ini, sebanding dengan saat gaya absurditas novel dan drama berjaya di Perancis berkat pemantik tragedi perang dunia kedua.

Saat itu filsuf Jean Paul Sartre melempar konsepsi filsafat eksistensialis yang gemilang, kendati justru dalam lapangan sastra ia tak sebaik penganut-penganutnya: Albert Camus, Samuel Beckett, Eugene Ionesco, Friedrich Nietzsche. Mereka melalui karya-karyanya adalah manusia yang menyerupai nabi yang berjuang membebaskan umat dari gurita zaman modern.

Mereka sastrawan yang mengkritik puncak-puncak nalar yang diboncengi cemburu, ambisi, serakah, dan berbuah sikap metafisik atau sikap jiwa, yang nampaknya samar tetapi jelas, jauh tetapi dekat. Suatu sikap yang dalam pandangan mereka sebetulnya sama sekali sia-sia, tapi perlu meski tak harus berarti penting. Bahkan hingga paling tersia (pesimis maupun optimis). Bagi mereka yang penting adalah hidup “indah” menyongsong kematian.

Kehidupan rutin dan mekanis, kebosanan, keterasingan, kecemasan, dari banyak segi inhuman di dalam diri manusia, tergambar jelas dalam sederet karya, Caligula, Sampar (Camus), The Waiting for Godot, Endgame (Beckett), Zarathustra (Nietzsche) dan masih bisa ditambah deretan karya yang boleh dibilang kitabnya nabi senjakala modern.

Wahai Kawan,
Absurditas adalah gaya hidup untuk “menghibur diri dan bermain dalam tingkat keseriusan ludic,” dalam kurungan hukum mitos sisiphus mendorong batu besar ke atas bukit sebelum akhirnya menggelinding lagi ke bawah lembah. Atau sang Dajjal yang menggergaji besi api neraka, tapi suara adzan mengutuhkannya lagi dari gigitan gigi gergaji. Kaum penganut absurditas percaya tragedi besar manusia adalah sadar dirinya sia-sia. Kesadaran menggerakkan eksistensinya, sebergairah jabang bayi sejak saat kali pertama menyusuri bukit payudara ibu.

Lantas, adakah di masa kini tragedi lebih besar tengah terjadi, setelah setengah abad lebih absurditas hidup dengan nafas senin-kemis? Jawabnya ada, bahkan luar biasa banyak jumlahnya. Di negeri yang tanggung menyebut modern ini, bahkan bukan mustahil bakal mengalami tragedi yang luar biasa dahsyat bagi kemanusiaan zaman pascamodern, post kolonial, atau posttradisi.Yaitu, bila kelak RUU Pornografi dan Pornoaksi diberlakukan. Yaitu tragedi yang terbesar dialami hamba-hamba kebudayaan, seniman, penyair, pengarang, penari dan perawat tradisi-tradisi adiluhung. Karena tidak hanya tubuhnya yang terancam tapi juga kebebasannya, karyanya. Mereka dalam kondisi ketakutan yang mencekam tapi spirit hidupnya menggeram.

Musti diakui, karya seni, juga sastra, novel, puisi, drama, tari yang menakjubkan keindahannya tak harus ada seks, bahkan sonder seksualitas. Akan tetapi hampir bisa dipastikan, setiap karya besar yang berbobot bagi kemanusiaan senantiasa mengandung erotisme (bukan seksualitas), semacam kegairahan pada cinta dan hidup, saling mengutuhkan, saling memasuki ruh makluk hidup yang “terhalang” batasan tubuh.

Kawan-Kawan,
Namun, RUU Pornografi telah terang-terangan mengamputasi bagian “tubuh” seniman dari keutuhannya, kebebasannya, kegairahannya untuk mengutuhkan diri dalam karya seni. RUU Pornografi akan memproduksi orang-orang menjadi kerdil dan cacat “tubuh” dan jiwa. Bagi mereka yang melawan atas dasar spirit neo-absurditas sudah pasti akan ditebas, dijebloskan tahanan dan karya-karya mereka diberangus.

Erotisme bisa hadir dimana saja, di setiap karya seni yang mengekplorasi keindahan. Gairah Api Cinta! Birahikan Dunia! Lalu siapa yang tiba-tiba berani dengan traktat RUU Pornografi menjadi hakim bahwa setiap yang erotisme adalah pornografi atau pornoaksi. Bagi anda penyair yang menulis sajak cinta, atau pengarang yang terlalu bergairah ngotot tak sudi menyiapkan kuburan sendiri, terang bakal ditimbun tanpa ampun.

Cermati, pasal krusial ini: Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat (pasal 1 ayat 1).

Artinya, tidak ada yang bisa dilakukan seniman terhadap erotisme dan tentu saja tubuh dalam karya terbaik mereka. Sebuah kemustahilan. Apalagi, bagi RUU Pornografi ada semacam manifesto bahwa pornografi adalah buku, syair lagu, puisi, gambar, film, foto. Bahwa pornografi adalah saat pikiran hati dan perasaan meloncat dari ruang pasung. Bahkan biang pornografi dan pornoaksi adalah tubuh perempuan di depan mata jalang penguasa laki-laki.

Dengan kata lain, ini adalah kebiadaban. Dalam bahasa Einstein mungkin lebih santun, “Tidak ada kebodohan paling konyol selain mengulang-ulang kesalahan yang serupa.” Pemasungan imajinasi, interpretasi, persepsi, intuisi, juga pembakaran buku, pembabatan seniman telah terjadi sejak zaman bahuela. Di sini tak lama lagi masih akan terjadi. Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan (pasal 29 ayat 1)

Ada kalanya, terbayang dalam keadaan suram bukan mustahil muncul karya-karya seni magnumopus, masterpeace. Namun rupanya sekalipun ada neo-absurditas sangat sulit hal itu lahir di bawah cekam kerangkeng RUU Pornografi. Absurditas akan sangat sulit dimaknai, disemangati lagi karena kesia-siaan hidup itu justru ada di tangan algojo “tuhan“ bernama polisi dan undang-undang. Bukan malaikat pencabut nyawa Izroil atas perintah Tuhan. Sebuah kesia-siaan yang berlipat ganda dari keadaan sebenarnya (manusia menjarah wewenang Tuhan). Pilihannya hanya ada dua “bunuh diri“ atau “dibunuh“. Atau barangkali bukan diantara keduanya?

Kalau pun ada diantara keduanya, kiranya hanyalah cinta—pada hidup. Semacam “kecintaan” pada diri. Sepanjang yakin akan kodratnya, takdirnya, duduk perkaranya, perannya, misterinya, perkembangan kembara alam pikirannya, bacaan mutakhirnya, lalu hantu teror semisal RUU Pornografi tadi. Cintalah, yang sanggup menggerakkan kepengarangan sepanjang masa dalam kondisi apapun.

Wahai, Kawanku, Sahabatku,
Menjadi pengarang, adalah suatu upaya menjaga diri agar tak kehilangan hak milik sebagai manusia. Semacam cinta yang sesungguhnya, cinta yang berpuasa, cinta yang menahan diri agar terhindar dari kesepian, kecemasan, apalagi kehilangan. Cinta yang tidak takut pada jarak, waktu dan tentu saja ruang. Cinta yang bisa mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, sampai dasar relung yang terdalam manusia. Cinta yang sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata-kata karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya.

Pengarang adalah seorang yang membabtiskan kata itu seperti manusia, juga seperti partikel, seperti gelombang abstrak. Sebab itu meskipun ia tahu begitu banyak, jutaan kata-kata, miliaran buku-buku, seperti juga manusia ia tahu bagaimana harus hidup, menyela dan menyusun pikiran besar. Ia pun tahu, perlu kerendahatian untuk berjanji—betapa pengarang tak akan tinggal diam saat menjumpai kenyataan seperti sekarang: Kata sudah demikian kejam menghabisi manusia. Akibatnya, kematian terjadi dimana-mana. Kecuali bagi siapa saja yang berani, bersih dan jujur.

Jadi satu-satunya amanah pengarang terletak pada kemuliaan dan kewajibannya untuk mengingatkan bahwa menghidupkan kata pada karya itu, sama halnya kreasi Tuhan meniupkan ruh hidup manusia seutuh-utuhnya di semesta. Inilah erotisme. Maafkan, bukan bermaksud menggambarkan kerja Tuhan dalam wujud manusia.[]

*) Penulis adalah pengarang, sutradara dan pimpinan Komunitas Teater Keluarga. Kini bekerja sebagai peneliti dan anggota tim advokasi pada Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya

Pameran Makam

A. Rodhi Murtadho
http://rodhi-murtadho.blogspot.com/

Gundukan tanah. Nisan berjajar rapi menghadap arah yang sama. Kematian. Banyak orang tenggelam dalam tanah. Terbujur kaku. Entah hancur atau entah masih utuh tubuhnya. Yang pasti makhluk dalam tanah bersama mereka. Pengurai menguraikan jasad berkeping-keping. Menghancurkan tulang sampai tak ada beda dengan tanah. Sama. Layaknya humus yang terbentuk dari daun dan kotoran. Jasad manusia juga menjadi penyubur tanah. Tak heran kalau tumbuhan di tanah kuburan gemuk-gemuk dan subur.

Pandangan mata Beni semakin memfokus. Pertanda ia memikirkan sesuatu atau mungkin hanya menghayal. Tapi pandangannya tertuju pada tanah kuburan. Entah apa yang dipikirkannya.

“Pameran makam!” terceletuk lembut dari bibir Beni.

Kontan aku merasa kaget. Pikiranku mulai melayang ke mana-mana. Bahkan sempat singgah di rumah sakit jiwa. Berjalan di trotoar dan tertawa sendiri. Terdiam dalam ruang sepi dan terpasung.

“Gila kau Ben, mana ada pameran makam,” sanggahku.
“Coba kau pikirkan Bud, sebuah pameran makam terangker di kota metropolitan.”
“Memangnya mengapa, Ben?” semakin penasarann aku dibuatnya.

“Di tengah gemerlap kota metropolitan, orang mencari harta, ketenaran, kekayaan, kesenangan. Dan begini, Bud, pameran ini akan banyak dihadiri kalangan artis, orang kaya, orang miskin, bahkan kalangan pendatang dari daerah. Dengan harapan, mereka akan mendapatkan keinginan-keinginannya hanya dengan menghadiri pameran ini.”

Semakin heran aku dibuatnya. Bisa-bisanya Beni berpikir macam itu. Entah setan apa yang merasuki pikirannya. Ia kukenal alim. Setiap kali aku pulang kampung dengannya, ia selalu berziarah ke makam keluarga.

Di seberang jalan kompleks makam yang tak lepas dari pandangan mata Beni, di sebuah warung peyot pinggir jalan, aku dan Beni terus nyeruput kopi dan menghisap rokok kretek. Semakin pekat gelap malam. Semakin luas kesunyian. Semakin fokus pandangan mata Beni pada kompleks makam.

“Kok bisa, padahal kau lihat sendiri. Angker, sunyi, gelap, dan serba tak enak suasana di makam,” aku berusaha menyadarkannya.

“Benar sekali, itu modal kita. Dengan keadaan angker, orang akan mentuankan kompleks makam itu. Dengan petunjuk kita, akan banyak orang berdoa di sana. Dengan keadaan sunyi, orang akan bebas mengucapkan doanya. Dengan keadaan gelap, orang tak perlu malu berada di sana. Dengan keadaan serba tak enak akan buat wartawan enggan masuk ke sana. Jadi, orang tak perlu takut wajahnya akan diekspose ke media massa. Dan semua ketenangan itu menjadi fasilitas agar harapan dan keinginan mereka terkabul.”

Gila! Pikiranku semakin melayang jauh menerawang dan terbang mengembara. Semakin jelas tawa Beni di rumah sakit jiwa. Semakin jelas wajah kucel, pakaian compang-camping, bicara sendiri di trotoar. Semakin jelas diri Beni berada dalam ruang sepi. Terpasung dan sendiri.

Aku tertawa dan cekikikan. Hal inilah yangg membuat Beni merasa tak nyaman. Sebagai sahabat kental, ia berusaha meyakinkanku, megutarakan penjelasan dan alasan yang bertele-tele layaknya orang pemerintahan. Tak biasanya ia bisa berkata lancar. Seperti guru saja.

“Sudah malam Ben. Ayo pulang. Besok kerja,” ajakku.
“Kau pulang duluan. Mungkin aku agak lama di sini.”

Beni memang terlahir dari keluarga sederhana. Namun kebutuhannya tercukupi dengan baik. Hanya kemewahan saja yang tak ia rasakan ketika berada di desa. Sama seperti aku. Mungkin hal ini yang membuat kami akrab. Tapi entahlah, Beni banyak berubah di kota ini. Terutama pola pikirnya.

Semenjak kami bekerja di kota. Kami terpaksa melakoni kerja yang berat. Pabrik kayu. Pekerjaan yang banyak mengandalkan otot dan menguras tenaga. Apalagi kami buruh tidak tetap. Semua itu terpaksa kami jalani untuk menghindar dari gunjingan warga desa. Mereka selalu mengatakan pemuda yang tidak bekerja ke kota akan dicap sebagai penganggur, sampah masyarakat. Lebih parah lagi, mereka akan menjauhkan anak gadisnya dari pemuda semacam itu.

“Memangnya kau akan bertekad membuat dan mewujudkan pameran makam itu, Ben?”
“Ya!”

Tekad Beni memang kuat. Kami pergi ke kota metropolis ini dan bekerja di pabrik memang bermula dari tekad dan ajakan Beni. Sungguh luar biasa. Aku merasakan semangatnya yang membara jika keinginan sudah dikatakannya.

“Sudahlah Ben, ayo pulang!” ajakku pelan.
“Tidak. Saya tetap di sini dan esok atau lusa pameran itu akan terselenggara.”
“Memangnya apa yang akan kau lakukan?”

“Seperti mengadakan pameran yang telah aku pelajari di Karang Taruna Desa. Pertama, aku akan mencari kuburan yang sangat angker, terus mempublikasikan, terus semua orang bisa datang. Tanpa aku menghias atau merapikan makam. Otomatis tak butuh modal banyak. Kau mau ikut atau tidak? Keuntungan bisa kita bagi dua.”

Tawaran yang sangat menggiurkan, membuat aku berpikir dua kali. Kegilaan dan memikirkan keuntungan. Namun, yang terpikirkan oleh buruh yang upahnya sangat kecil hanya kenekatan. Menggiring aku menaklukkan pikiran gila dan meninggikan keuntungan.

“Lantas apa yang harus aku lakukan Ben?”
“Kau tak usah berbuat apa-apa, hanya membantu aku ketika pameran nanti. Sekarang, pulanglah dan besok bekerja. Aku tidak masuk kerja besok.”
“Kalau begitu saya pulang, Ben.”

Aku melangkahkan kaki menyusuri trotoar dengan memikirkan keuntungan yang nanti bakal kuraih bersama Beni. Kemewahan dan harta yang melimpah. Spontan aku tertawa. Lampu kerlap-kerlip di simpang jalan membentuk tulisan ‘Rumah Sakit Jiwa’, menarik perhatian pandangan mataku. Kulihat diriku dan Beni berada di sana. Di antara kaca yang terpampang besar di depannya. Sampai aku di kamar kos. Sendiri tanpa Beni. Sunyi di antara gelap malam. Pun aku tertawa sendirian memikirkan kegilan Beni. Sungguh nekad. Kok bisa-bisanya.

Seminggu berlalu. Tak ada kabar dari Beni. Aku terus menantinya pulang ke kos. Rutinitas yang kujalani tetap sama. Berjalan ke Pabrik untuk bekerja, pulang ke Kos untuk istrirahat, dan cangkruk di warung untuk makan, sekadar nyruput kopi, dan menghisap rokok kretek.

Banyak kudengar dari radio dan cerita kawan-kawanku, selain dari surat kabar lokal yang tersedia di warung, banyak pejabat pemerintah yang hilang. Banyak aktivis yang hilang. Banyak orang hilang. Entah minggat atau diculik. Tak ada kejelasan sama sekali. Hanya mengabarkan hilang. Kota semakin gempar dan dicekam ketakutan. Mereka menandai diri. Memasang semacam alat pelacak di tubuh. Mereka ingin mudah ditemukan kalau diri mereka sewaktu-waktu hilang.

Hari ini kulakukan aktivitas seperti biasa. Ke pabrik, pulang ke kos dan nongkrong di warung. Seperti biasa pula, kuserubut kopi dan kuhisap rokok kretek sendiri, tanpa Beni. Kubolak-balik koran yang acak-acakan. Aku heran dengan berita tentang makam baru tetapi nisannya tak bernama. Kubaca pelan-pelan. Ternyata orang itu ditemukan sudah menjadi mayat di kompleks makam para pejabat. Konon kabarnya, para pejabat yang dikubur di kompleks makam itu adalah tukang-tukang korupsi. Orang itu mati dengan telanjang bulat, kepala hancur, tubuh penuh luka, dan sangat sulit dikenali. Tak ada tanda pengenal atau alat pelacak untuk menunjukkan identitasnya. Banyak orang mengira-ngira bahwa orang itu adalah keluarga mereka, teman, atau musuh yang hilang. Mayat itu terpaksa cepat-cepat dikubur karena banyak sekali orang yang mengaku sebagai keluarga atau temannya. Daripada berebut, lebih enak dikubur.

Sungguh aneh berita yang aku baca. Tapi tunggu dulu, kompleks itu berada tepat di tengah kota. Tak jauh dari tempatku duduk kini. Mungkin hanya berjarak dua kilometer. Dan itu terjadi kemarin ketika aku sedang berada di pabrik. Aku teringat kembali pada Beni. Di mana sekarang dia? Sudahkah menemukan makam yang tepat untuk dijadikan pameran. Mungkin kompleks makam tersebut menjadi tempat yang strategis. Tetapi sekarang sudah terlalu ramai dikunjungi dan diberitakan wartawan.

Aku melanjutkan membaca koran yang masih ada di tangan. Diberitakan kalau pemilik warung dekat dengan kompleks makam tempat kejadian perkara sempat ngorol dengan orang itu sebelum meninggal ketika pemilik warung ditanya wartawan. Orang yang mati itu pernah ngopi di warungnya. Pemilik warung juga mengatakan bahwa orang itu akan mengadakan pameran dekat makam karena tema yang diangkat sesuai dengan keadaan makam. Angker, sunyi, misteri dibalik tubuh hancur karena banyak dosa.

“Benar Mas, konon pejabat-pejabat yang dikubur di sana banyak melakukan korupsi. Kalau diberitakan antar mulut saja atau di koran, Mas bisa terkenal,” pemilik warung mengulang perkataannya untuk orang tersebut kepada wartawan, “tetapi orang itu pergi dengan tersenyum setelah ia membayar kopi dan rokok kreteknya,” pemilik warung melanjutkan ceritanya.

Dikabarkan juga, pemakaman orang tanpa identitas dihadiri para pejabat, mahasiswa, dan banyak orang yang mengaku punya hubungan dengan orang tersebut. Nisan tanpa nama itu disepakati karena banyak orang yang berebut ingin nama anggota keluarga atau teman mereka yang hilang terukir di sana. Dikabarkan pula, sampai hari ini pun, masih banyak orang yang berdoa menziarahi kompleks makam pejabat kota di makam yang bernisan tanpa nama.

Aku bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah itu Beni sahabatku? Melakukan pameran makam di kompleks makam tengah kota. Mengapa mesti dirinya sendiri yang dipamerkan?

Surabaya, 18 November 2005

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae