Jurnal Kebudayaan The Sandour III
Fahrudin Nasrulloh
Pada mulanya esai diikhtiarkan sebagai karangan tak begitu panjang, kadang bernuansa prosa, yang menyoal hal ihwal dari telusur pandang tertentu dan subyektivitas esais secara bebas (bandingkan: Ensiklopedia Britanika). Proposisi ini kemudian bergulir ke ranah estetik dunia kepenulisan lain bahwa esai “seolah” prosa, atau dimensi yogabasa (istilah Rendra dalam gagasan proses kreatif) sebagai “bagian” dari prosa. Atau penjabaran serebral pemikiran puitik dari puisi jika hal ini dianggap sebagai perjumpaan yang absah.
Apabila persepsi ini ditimbang-lanjutkan, esai dapatlah disejajarkan atau dikategorikan sebagai genre sastra tertentu; sebagaimana prosa, puisi, catatan harian, ataupun (oto)biografi. Kita pun dapat menemui dan mencermati pada sejumlah esais terkemuka kita seperti -- sekedar contoh -- pada esai-esai Soekarno, Hatta, Sjahrir, Goenawan Mohamad, Ahmad Wahib, Umar Kayam, Ong Hok Ham, Emha Ainun Nadjib, Sindhunata, sampai Nirwan Dewanto atau Nirwan Ahmad Arsuka.
Ulasan secara spesifik perihal esai dapat kita susuri, misalnya, lewat tulisan “Esai tentang Esai”-nya Arief Budiman (majalah Horison, 1/1, 1966); “Esai: Godaan Subyektivitas”-nya Ignas Kleden (dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan terbitan Grafiti: Jakarta, 2004), atau “Membaca Esai”-nya Sapardi Djoko Damono (Jurnal Cipta, 2007). Bahkan, lebih lawas lagi, kita dapat menelisik esai-esai Montaigne (1533-1592), atau Walter Benjamin (1892-1940). Penulis yang terakhir disebut ini pernah menulis esai bertajuk, “Tukang Cerita: Renungan tentang Karya-karya Nikolai Leskov”. Tulisan ini dipandang Frank Kermode sebagai The Great Essays on Leskov, dan Peter Brooks menilai esai tersebut setaraf dengan karya penulis lain seperti Sigmund Freud dan Roland Barthes. Esai-esai Benjamin ini terkumpul dalam Illumination, Essays and Reflections yang terbit 1969 di New York.
Benjamin membabarkan ihwal karya penulis Leskov dari Rusia tersebut. Esai ihwal Leskov ini mulai dikaji ulang dan diperhitungkan 30 tahun kemudian setelah Benjamin mati bunuh diri pada 1960 di Jerman. Keunikan esai “Tukang Cerita” terletak pada kepusparagaman metafora, kembangan gagasan yang jenius dan alami, serta mendedahkan kelokan “pemikiran puitis” -- meminjam istilah Octavio Paz -- yang mengharukan sekaligus merangsang gairah kreatif pembaca untuk bertadabur terhadap apa yang didiskusikannya.
Tercerabutnya hasrat menulis dengan gaya bercerita secara tulus tentang kehidupan bahkan keseharian (semisal dalam aras sosial, budaya, atau keagamaan), juga lunturnya kemampuan bertukar-tangkap dengan pengalaman secara murni mengisyaratkan pada kita, tegas Benjamin, bahwa seni bercerita dalam menulis esai sedang “mendekati ajalnya” (atau sudah mati?).
Sebab tulisan -- yang lazimnya ilmiah akademik -- yang melulu berbalur dan terkungkung oleh data-data referensial semata dalam kajian posmodernisme sudah dianggap usang, meski dari segi kemanfaatan tetap dihargai dan bermanfaat di segala bidang kajian. Karena itu kajian ilmiah akdemis hingga “cultural studies” yang bersifat etnografis nyata-nyata telah malih menjadi mazhab tersendiri. Semisal pada lelaku penelitian-penelitian Cliffordz Geertz, Malinowski, sampai tulisan “adventurous” V. Surajprasad Naipaul dalam Among the Believers: An Islamic Journey (Alfred A. Knopf: New York, 1981). Beranjak dari paparan ini, Will Derks menganggap esai yang baik -- pun tidak sekadar pada tingkatan melampaui batas kesadaran referensial -- sebagai genre sastra yang berada di antara ilmu pengetahuan dan puisi.
Karenanya, spirit ide di kedalaman esai merupakan wedaran diskursif dengan piranti ilmiah dan bahan dasar “daur ulang pengetahuan” dari warisan kebudayaan manusia sampai yang tersilam sekalipun. Klaim akan “something here and something there” sebagai “yang Lain” dan bersifat estetik yang ditabalkan berharga bagi manusia (dan seni itu sendiri) pada batas tertentu adalah secebis cetusan untuk merancang ulang “citra” baru dari budaya atau seni yang dibayangkan itu.
Dari sini tukang esai yang sekaligus memiliki kepiawaian sebagai tukang cerita: ia menulis dengan kesadaran intelektual-alaminya secara maksimal mengintrusi “tata kognisi yang logis” dalam menghayati dan melakoni suatu karya bahasa, bukan sekadar “kesempurnaan logis” seperti yang disorongkan Max Weber. Di dalamnya kesadaran murni mencerna realitas dengan sejernih mungkin, keteraturan harmoni-kosmos pikiran, baik yang luput maupun yang tertangkap darinya; pada akhirnya mampu menghasilkan esai yang bisa diresap-renungi bobot dan keindahannya.
Esai barangkali pula adalah remah terkecil tapi gamblang dari puisi yang memang diniatkan berlarat-larat dari segi bentuk, penjelasan, dan gaya berceritanya. Kendati esais lumrahnya tak menyimpulkan gagasan. Ia menulis dengan kecermatan juga penghayatan akan gerak-gerik juga keluwesan pengungkapan bahasanya, dan pemikiran puitik di kedalamannya menjadi spirit yang menggerakkannya.
Sebagai misal, kita bisa menengok esai-esai Goenawan Mohamad, terkhusus dalam Catatan Pinggir. Membaca Catatan Pinggir ibarat menonton ragam epos manusia yang maha panjang, katalogus bercecabang yang seolah menampung kronik manusia (meski tak seluruhnya) yang ditulis secara piawai, menghanyutkan, ambigu, terkadang nylekit tapi kontemplatif dari seabrek persoalan mulai dari yang remeh-temeh hingga yang kontroversial. Sejumlah pemikir semisal William R. Liddle, Ignas Kleden, atau Haidar Baqir (baca: Catatan Pinggir 6, terbitan Pusat Data Analisa Tempo: Jakarta, 2006) juga pernah turut mengapresiasi penulis yang juga wartawan dan penyair ini. Tentang esai-esai GM, Haidar Baqir menyebut, “Esai adalah puisi yang kurang surealis, lebih kompromis dengan keruntutan alur dan sistemik, lebih telaten berargumentasi, dan -- sampai batas tertentu -- lebih teleologis. Dengan kata lain, lebih konvensional. Selebihnya, esai adalah puisi.”
Memang esai GM -- meminjam Heidegger (dalam The Thinker as Poet) -- bergerak dan bersenandung, “mengakar dari Ada dan mengarung ke lubuk kebenarannya.” Terasa bagai olah fikir dengan balutan renik peristiwa kehidupan yang ditulis secara puitik. Mengalun seperti lirik dan denting musik The Soft Parade (The Doors), atau Journey to Transylvania (film: Van Helsing), atau The Lonely Sheperd (film: Kill Bill). Saya cuplikkan paragraf pembuka dari esai GM berjudul U.K. (majalah Tempo, 24 Maret 2002) berikut: “Orang-orang bertanya, hari itu, di dekat makam Umar Kayam yang baru diuruk di pekuburan Karet, setelah kembang mawar ditaburkan, setelah doa selesai, setelah mereka yang datang berbela sungkawa satu demi satu pulang, setelah jenazah itu ditinggalkan dan berangsur-angsur digantikan dengan kenangan: apa yang ditinggalkan penulis Seribu Kunang-Kunang di Manhattan ini? Saya tidak bisa segera menjawab, karena kalimat apa pun terlampau pendek. Sementara hari bertambah petang saya berjalan meninggalkan Tempat Pemakaman itu, dan yang saya ingat – dan yang kemudian ingin saya sebutkan – adalah sebuah deretan: Madame Slitz. Tatum. Cybill. Bawuk. Sri Sumarah. Marno. Mister Rigen. Nansiyem. Beni Prakoso. Dr. Legowo Prasojo. Lantip….”
Barangkali GM hanyalah contoh dari banyak esais Indonesia yang memilih laku “yogabasa” dengan menggunakan gaya “Tukang Cerita” Benjamin. Artinya, gaya kepenulisan esai dengan spirit bercerita dapat dilakukan oleh siapa pun. Terlebih bagi pengkaji sastra atau kritikus sastra. Bahwa kritik sastra sampai saat ini nyata-nyata tak berperan optimal sebab; pertama, banjirnya karya sastra yang berakibat telaah dan pemetaan perkembangan sastra dari waktu ke waktu menjadi mustahil dilakukan. Atau memang tak adanya karya sastra yang bermutu yang layak dikaji secara diskursif. Dan alibi yang terakhir ini kerap dijadikan kambing hitam. Susah sudah menemukan sosok HB Yassin dengan dedikasi pendokumentasian sastranya, meski di lingkup Jakarta. Atau dokumentasi sastra Ragil Suwarno Pragolapati pada tahun 70-an (zaman Persada Studi Klub) di Yogyakarta yang kini sudah sulit dilacak keberadaannya.
Kedua, gagasan Benjamin tersebut bisa dijadikan inspirasi bagi esais (dengan kreativitas masing-masing) untuk membangkitkan matinya kritik sastra selama ini. Jika Budi Darma menyebut kritik sastra sebagai seni. Maka literary criticism, serta deretan istilah lain yang mendampinginya: literary study, literary theory, critical theory (Kompas, Minggu 8 Juni 2003), bagi saya, akan mernyingkapkan sekian celah kemungkinan yang lebih luas terhadap kritikus sastra yang “berjiwa seni” agar dapat dengan bebas mengeksplorasi kemampuan menulis mereka tanpa harus terjerat dalam keketatan akademik literary criticism yang ada selama ini.
Ketika esai yang dibayangkan tersebut (seperti dilukiskan Benjamin dan Will Derk) menjadi bagian penting dari sastra kita (sebagaimana yang diharapkan oleh Sapardi Djoko Damono dalam Jurnal Cipta, 2007), tentu, dari sana diharapkan terlahir esais-esais -- bukan epigon -- yang dapat menyegarkan dan memberikan perubahan terhadap dinamika dunia kesusastraan kita kini dan mendatang.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 31 Juli 2008
Rabu, 30 Juli 2008
Revolusi Diam Kaum Muda
Hudan Hidayat
Sebuah statemen tak bisa mengelak dari klaim. Seperti “sumpah kaum muda” adalah klaim akan rasa memiliki: Indonesia yang bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu. Dan klaim tak memerlukan referendum “diterima atau ditolak” bergantung isi statemennya sendiri. Teks “Proklamasi” dipuja rakyat Indonesia karena dengannya, mereka bebas dari belenggunya.
Antara “Sumpah Pemuda” dan “Proklamasi”, ada ide yang berlanjut. “Sumpah” adalah upaya penyatuan, sedang “Proklamasi” adalah upaya pernyataan. Ke-Indonesia- an yang telah disatukan kini dinyatakan telah merdeka, tak terikat atau tunduk pada penjajahnya. Ia merdeka. Ia bebas.
Dua teks di atas adalah karya “akbar kaum muda”. Akbar, karena ia berdaya mimpi dan berdaya inspirasi: mereka mengimajinasikan sesuatu yang belum ada, masih in absentia. Tetapi dengannya “in absentia” itu mewujud.
Indonesia telah jauh meninggalkan sejarah itu. Masuk dalam globalisasi bercorak ilmu pengetahuan dan tehnologi, yang memproduksi jasa dan benda, isu dan wacana. Lokomotifnya adalah “neo-kapitalisme global. Dalam kancah ini, di manakah posisi Indonesia? Mampukah ia memproduksi jasa dan benda, isu dan wacana? Atau ia hanya akan jadi konsumen? Dari kenyataan hidup sehari-hari, jawabnya sudah jelas sekali.
Sejarah adalah sejarah kaumnya sendiri, dengan konteks dan masalahnya sendiri. Respon dan jalan keluarnya sendiri. Maka bagaimana kaum muda Indonesia saat ini, menjawab sejarah hidupnya yang terkepung, dan dikepung, oleh corak global itu? Apakah pikiran mereka? Mampukah mereka keluar dengan mimpi dan inspirasi? Dapatkah mereka membuat imajinasi baru, meledakkannya dalam “statemen akbar” yang berdaya ubah? Sanggupkah mereka menemukan “kata dan kerja” in absentia?
Sejarah kebudayaan dan peradaban, adalah kisah manusia yang mendayakan akalnya, melalui institusi “ilmu” yang mengubah alam menjadi benda dan jasa. Isu dan wacana. Juga darah dan air mata. Tapi di Indonesia penangkapannya telah salah kaprah: ilmu itu, “tak diiringi” dengan “ilmu yang kita butuhkan”. Dan ini berkait dengan budaya, alam pikiran, cara pandang, akan kemajuan. Karenanya, meski sekolah, kampus, kursus, pelatihan, menjamur, tapi alam Indonesia tak juga berubah: ia tetap potensi alam, yang menunggu jamahan tangan putera-puterinya. Kalau pun ada tangan-tangan yang menjamah, itu adalah tangan putera-puteri anak negeri lain. Jamahan yang membuat kita jadi objek: mereka mengeduk alam kita, sedang kita dapatkan ampasnya.
Hal ini terjadi karena ilmu di Indonesia tidak menganak tehnologi, yang mampu mengubah alam menjadi benda dan jasa. Ilmu di Indonesia hanya ilmu yang mereproduksi “makna” - hubungan antar manusia, manusia dengan alamnya, atau manusia dengan pemerintahnya. Bila kita berjalan ke toko buku, terlihatlah ilmu yang menjual makna itu: buku filsafat, politik, hukum, novel, yang semuanya dilabeli “penting dan wajib dibaca”, terutama bagi mahasiswa atau pelajar. Padahal buku-buku itu, tak pernah bisa mengubah alam, mengubah padi jadi nasi. Demikian juga liputan media massa. Hampir sebagian besar tayangan media massa mengumbar “kegenitan” soal makna. Soal yang abstrak. Memang ada sandarannya: pemerintah, atau negara, dalam tata hubungan dengan rakyatnya. Tapi segala kesibukan itu hanya berhenti pada reproduksi “makna”. Sekali lagi: tak pernah bisa mengubah alam menjadi benda dan jasa.
Segala kesibukan itu akhirnya seolah menjadi kebenaran. Kaum muda merasa sudah bekerja, bila terlibat dalam rangkaian panjang produksi makna ini. Dan karena bekerja, maka tak ada rasa salah sama sekali. Begitulah mereka suka berderap ke DPR, Gedung Bundar Kejaksaan Agung, atau menghujat mantan Presiden Suharto. Atau beramai-ramai dalam ruang seminar, diskusi, ratusan Munas yang terjebak hanya dalam pemilihan Ketua dan semacamnya. Semua itu kerja. Semua itu seolah jalan penyelamatan. Padahal jalan penyelamatan adalah bagaimana mengubah alam รข€“ alam Indonesia. Apa boleh buat, kesadaran mengubah alam sebagai hakekat kerja, terbenam dalam kemilauan makna yang disokong oleh publisitas media massa. Ilmu dan budaya kerja, telah meleset dari tangan kita.
Maka apakah budaya kerja? Budaya kerja adalah sikap mental untuk mencari ilmu yang menganak tehnologi. Etos yang merelakan diri untuk melepas kegiatan fisik, bila karenanya akan menghambat pencarian ilmu. Tapi dalam ilmu, mesti ada keseimbangan antara ilmu yang menganak tehnologi, dengan ilmu yang menganak makna. Untuk konteks Indonesia kini, dalam porsi 9 banding 1. Biarlah kita memiliki segelintir filsuf, ahli humaniora, pakar politik dan hukum, jago ilmu ekonomi, atau sebiji novelis. Tapi sisanya masuk ke dalam penciptaan benda dan jasa. Biarlah forum-forum kita kosong melompong, karena ditinggalkan kaum muda yang masuk ke loboratorium, yang sepi dan jauh dari tepuk tangan. Tapi dari sepetak tempat sepi ini, alam dan lingkungan kita akan berubah. Bila padi ditanam menghasil sekaleng, maka laboratorium membuatnya jadi seton. Bila ikan ditangkap sekilo, maka laboratorium membuatnya “seperahu penuh ikan”.
Laboratorium akan membuat panen-panen kita naik secara signifikan. Membuat kita mengeduk hasil bumi secara proporsional. Membuat produk budaya atau olahraga menjadi industri. Memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dan ekspor untuk devisa. Eskpor dan devisa? Ya. Inilah jalan yang mesti ditempuh. Jalan yang akan mengayakan sebuah bangsa.
Maka kesinilah orientasi “Revolusi Kaum Muda”, sebuah revolusi diam dengan beban ganda: di satu pihak melakukan revolusi terhadap budaya kerja, di lain pihak melakukan revolusi dengan mencari ilmu yang menganak tehnologi pengubah alam. Inilah daerah atau kawasan in absentia kaum muda kini.
Apakah wujud praktis dari “Revolusi Diam Kaum Muda” ini? Adalah perlawanan yang datang dari kesadaran bahwa perubahan adalah hak. Manakala hak ini luput, atau lambat direspon oleh penguasa, maka kaum muda tampil merebut haknya. Mereka tidak tergantung lagi pada penguasa. Tapi memilih nasibnya sendiri. Menyatakan keinginan mereka sendiri. Tamat SMA tidak berderap ke fakultas politik, ekonomi, hukum, sosiologi, atau filsafat. Tapi berbondong ke “IPB” atau “ITB”. Tapi sekolah-sekolah semacam ini bisa dihitung dengan jari. Justru itulah soalnya: dengan tidak mau masuk ke sekolah “pencipta makna”, otomatis ada gelombang besar anak muda yang tertahan di tempatnya. Gelombang yang menciptakan “Revolusi Diam Kaum Muda”. Revolusi yang tidak dinyatakan dengan gerak fisik. Tapi revolusi sikap mental dengan gerak diam menunggu. Kita tahu, pemerintah tidak punya sekolah yang menampung revolusi diam itu. Tapi gelombang ini akan memaksa mereka berpikir, mencari jalan, dan akhirnya akan “membubarkan, memproporsionalkan”, sekolah-sekolah yang ada, dengan memetamorfosakannya ke sekolah-sekolah pencipta benda dan jasa. Sampai terjadi proporsi yang wajar, antara kedua kubu sekolah itu, yaitu 9 berbanding 1. Hasilnya: kita memiliki seorang jago politik, tapi 9 orang jago mengubah kekayaan alam.
Dengan demikian, di tangan kaum muda Indonesia kini, ada tiga “teks akbar”, teks yang mampu membangkitkan batang terendam, demi cita-cita kemajuan dan kemerdekaan Indonesia. Yaitu “Sumpah Pemuda”, “Proklamasi”, dan “Tehnologi Pencipta Benda dan Jasa”. Duhai kaum muda, carilah narasi “teks ketiga” ini.
Tidak percaya?
Cobalah tempuh jalan ini sesekali. Sebelum kamu “mati”.
(HH)
Sebuah statemen tak bisa mengelak dari klaim. Seperti “sumpah kaum muda” adalah klaim akan rasa memiliki: Indonesia yang bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu. Dan klaim tak memerlukan referendum “diterima atau ditolak” bergantung isi statemennya sendiri. Teks “Proklamasi” dipuja rakyat Indonesia karena dengannya, mereka bebas dari belenggunya.
Antara “Sumpah Pemuda” dan “Proklamasi”, ada ide yang berlanjut. “Sumpah” adalah upaya penyatuan, sedang “Proklamasi” adalah upaya pernyataan. Ke-Indonesia- an yang telah disatukan kini dinyatakan telah merdeka, tak terikat atau tunduk pada penjajahnya. Ia merdeka. Ia bebas.
Dua teks di atas adalah karya “akbar kaum muda”. Akbar, karena ia berdaya mimpi dan berdaya inspirasi: mereka mengimajinasikan sesuatu yang belum ada, masih in absentia. Tetapi dengannya “in absentia” itu mewujud.
Indonesia telah jauh meninggalkan sejarah itu. Masuk dalam globalisasi bercorak ilmu pengetahuan dan tehnologi, yang memproduksi jasa dan benda, isu dan wacana. Lokomotifnya adalah “neo-kapitalisme global. Dalam kancah ini, di manakah posisi Indonesia? Mampukah ia memproduksi jasa dan benda, isu dan wacana? Atau ia hanya akan jadi konsumen? Dari kenyataan hidup sehari-hari, jawabnya sudah jelas sekali.
Sejarah adalah sejarah kaumnya sendiri, dengan konteks dan masalahnya sendiri. Respon dan jalan keluarnya sendiri. Maka bagaimana kaum muda Indonesia saat ini, menjawab sejarah hidupnya yang terkepung, dan dikepung, oleh corak global itu? Apakah pikiran mereka? Mampukah mereka keluar dengan mimpi dan inspirasi? Dapatkah mereka membuat imajinasi baru, meledakkannya dalam “statemen akbar” yang berdaya ubah? Sanggupkah mereka menemukan “kata dan kerja” in absentia?
Sejarah kebudayaan dan peradaban, adalah kisah manusia yang mendayakan akalnya, melalui institusi “ilmu” yang mengubah alam menjadi benda dan jasa. Isu dan wacana. Juga darah dan air mata. Tapi di Indonesia penangkapannya telah salah kaprah: ilmu itu, “tak diiringi” dengan “ilmu yang kita butuhkan”. Dan ini berkait dengan budaya, alam pikiran, cara pandang, akan kemajuan. Karenanya, meski sekolah, kampus, kursus, pelatihan, menjamur, tapi alam Indonesia tak juga berubah: ia tetap potensi alam, yang menunggu jamahan tangan putera-puterinya. Kalau pun ada tangan-tangan yang menjamah, itu adalah tangan putera-puteri anak negeri lain. Jamahan yang membuat kita jadi objek: mereka mengeduk alam kita, sedang kita dapatkan ampasnya.
Hal ini terjadi karena ilmu di Indonesia tidak menganak tehnologi, yang mampu mengubah alam menjadi benda dan jasa. Ilmu di Indonesia hanya ilmu yang mereproduksi “makna” - hubungan antar manusia, manusia dengan alamnya, atau manusia dengan pemerintahnya. Bila kita berjalan ke toko buku, terlihatlah ilmu yang menjual makna itu: buku filsafat, politik, hukum, novel, yang semuanya dilabeli “penting dan wajib dibaca”, terutama bagi mahasiswa atau pelajar. Padahal buku-buku itu, tak pernah bisa mengubah alam, mengubah padi jadi nasi. Demikian juga liputan media massa. Hampir sebagian besar tayangan media massa mengumbar “kegenitan” soal makna. Soal yang abstrak. Memang ada sandarannya: pemerintah, atau negara, dalam tata hubungan dengan rakyatnya. Tapi segala kesibukan itu hanya berhenti pada reproduksi “makna”. Sekali lagi: tak pernah bisa mengubah alam menjadi benda dan jasa.
Segala kesibukan itu akhirnya seolah menjadi kebenaran. Kaum muda merasa sudah bekerja, bila terlibat dalam rangkaian panjang produksi makna ini. Dan karena bekerja, maka tak ada rasa salah sama sekali. Begitulah mereka suka berderap ke DPR, Gedung Bundar Kejaksaan Agung, atau menghujat mantan Presiden Suharto. Atau beramai-ramai dalam ruang seminar, diskusi, ratusan Munas yang terjebak hanya dalam pemilihan Ketua dan semacamnya. Semua itu kerja. Semua itu seolah jalan penyelamatan. Padahal jalan penyelamatan adalah bagaimana mengubah alam รข€“ alam Indonesia. Apa boleh buat, kesadaran mengubah alam sebagai hakekat kerja, terbenam dalam kemilauan makna yang disokong oleh publisitas media massa. Ilmu dan budaya kerja, telah meleset dari tangan kita.
Maka apakah budaya kerja? Budaya kerja adalah sikap mental untuk mencari ilmu yang menganak tehnologi. Etos yang merelakan diri untuk melepas kegiatan fisik, bila karenanya akan menghambat pencarian ilmu. Tapi dalam ilmu, mesti ada keseimbangan antara ilmu yang menganak tehnologi, dengan ilmu yang menganak makna. Untuk konteks Indonesia kini, dalam porsi 9 banding 1. Biarlah kita memiliki segelintir filsuf, ahli humaniora, pakar politik dan hukum, jago ilmu ekonomi, atau sebiji novelis. Tapi sisanya masuk ke dalam penciptaan benda dan jasa. Biarlah forum-forum kita kosong melompong, karena ditinggalkan kaum muda yang masuk ke loboratorium, yang sepi dan jauh dari tepuk tangan. Tapi dari sepetak tempat sepi ini, alam dan lingkungan kita akan berubah. Bila padi ditanam menghasil sekaleng, maka laboratorium membuatnya jadi seton. Bila ikan ditangkap sekilo, maka laboratorium membuatnya “seperahu penuh ikan”.
Laboratorium akan membuat panen-panen kita naik secara signifikan. Membuat kita mengeduk hasil bumi secara proporsional. Membuat produk budaya atau olahraga menjadi industri. Memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dan ekspor untuk devisa. Eskpor dan devisa? Ya. Inilah jalan yang mesti ditempuh. Jalan yang akan mengayakan sebuah bangsa.
Maka kesinilah orientasi “Revolusi Kaum Muda”, sebuah revolusi diam dengan beban ganda: di satu pihak melakukan revolusi terhadap budaya kerja, di lain pihak melakukan revolusi dengan mencari ilmu yang menganak tehnologi pengubah alam. Inilah daerah atau kawasan in absentia kaum muda kini.
Apakah wujud praktis dari “Revolusi Diam Kaum Muda” ini? Adalah perlawanan yang datang dari kesadaran bahwa perubahan adalah hak. Manakala hak ini luput, atau lambat direspon oleh penguasa, maka kaum muda tampil merebut haknya. Mereka tidak tergantung lagi pada penguasa. Tapi memilih nasibnya sendiri. Menyatakan keinginan mereka sendiri. Tamat SMA tidak berderap ke fakultas politik, ekonomi, hukum, sosiologi, atau filsafat. Tapi berbondong ke “IPB” atau “ITB”. Tapi sekolah-sekolah semacam ini bisa dihitung dengan jari. Justru itulah soalnya: dengan tidak mau masuk ke sekolah “pencipta makna”, otomatis ada gelombang besar anak muda yang tertahan di tempatnya. Gelombang yang menciptakan “Revolusi Diam Kaum Muda”. Revolusi yang tidak dinyatakan dengan gerak fisik. Tapi revolusi sikap mental dengan gerak diam menunggu. Kita tahu, pemerintah tidak punya sekolah yang menampung revolusi diam itu. Tapi gelombang ini akan memaksa mereka berpikir, mencari jalan, dan akhirnya akan “membubarkan, memproporsionalkan”, sekolah-sekolah yang ada, dengan memetamorfosakannya ke sekolah-sekolah pencipta benda dan jasa. Sampai terjadi proporsi yang wajar, antara kedua kubu sekolah itu, yaitu 9 berbanding 1. Hasilnya: kita memiliki seorang jago politik, tapi 9 orang jago mengubah kekayaan alam.
Dengan demikian, di tangan kaum muda Indonesia kini, ada tiga “teks akbar”, teks yang mampu membangkitkan batang terendam, demi cita-cita kemajuan dan kemerdekaan Indonesia. Yaitu “Sumpah Pemuda”, “Proklamasi”, dan “Tehnologi Pencipta Benda dan Jasa”. Duhai kaum muda, carilah narasi “teks ketiga” ini.
Tidak percaya?
Cobalah tempuh jalan ini sesekali. Sebelum kamu “mati”.
(HH)
GERAKAN BARU SASTRA LAMONGAN:
Catatan Singkat atas Forum Sastra Lamongan (FSL)
Haris del Hakim
Tulisan ini tidak hendak merekonstruksi sebuah gerakan secara komprehensif, namun sekadar mengambil salah satu sebuah gerakan halus yang terjadi secara simultan dan dapat disebut sebagai fenomena yang luar biasa. Selain dari itu, tulisan ini tidak menjamah ranah analisa karya yang memerlukan waktu yang panjang dan kajian lebih intens, tapi sekadar ulasan beberapa hal yang dapat dianggap penting.
Keberadaan sastra Lamongan patut mendapatkan perhatian. Sastrawan yang lahir dari Lamongan ikut mewarnai peta sastra Indonesia, sebut saja nama Satyagraha Hoerip, Djamil Suherman, Abdul Wachid BS, Viddy, Aguk Irawan MN, Mashuri, dll. Di samping itu di Lamongan sendiri sebenarnya nafas sastra telah mengakar kuat, sebagaimana yang pernah disaksikan sendiri oleh Emha Ainun Nadjib pada tahun 80-an. Geliatnya semakin kentara dengan kehadiran Harry Lamongan yang sebenarnya lahir di Bondowoso namun berdomisili di Lamongan.
Selama bertahun-tahun Harry Lamongan seperti penjaga gawang sastra. Berbicara tentang sastra di Lamongan, maka referensi utamanya adalah Herry Lamongan. Tentu saja dia tidak sendirian. Dalam Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) banyak tergabung pegiat-pegiat sastra. Mereka melakukan pergulatan sastra yang diadakan melalui apresiasi bulanan dalam wahana Candrakirana. Sayangnya, hanya seorang Herry yang muncul dalam media massa meskipun dalam beberapa pertemuan dia selalu menegaskan bahwa eksistensi sebuah karya tidak cukup dalam medan apresiasi lokal yang dihadiri oleh orang-orang yang dikenal. Sebuah karya mesti dilepas keluar agar dia menghirup keluasan cakrawala dan bertahan hidup dalam deru badai dan hantaman persepsi banyak orang.
Sastra pada masa itu, sebagaimana kondisi sastra di tingkat nasional secara umum, bersifat eksklusif. Sastra hanya milik orang-orang yang dianggap dan menganggap dirinya "paham" sastra. Selain mereka hanya bicara tentang kulit. Hal ini tentu tidak mengherankan. Seorang dedengkot sastra pernah menyatakan, selain penyair dilarang bicara tentang puisi. Pernyataan tersebut seakan dogma yang menghegemoni pola pikir semua sastrawan.
Kondisi ini diperkuat dengan kondisi masa Orde Baru dan kuatnya ajaran-ajaran HB Yassin sebagai paus dan penahbis seseorang dapat disebut sastrawan atau tidak. Maka, kelahiran kritikus-kritikus baru di ujung usia Orde Baru seperti angin segar yang membawa rerintik air dan menumbuhkan benih-benih bakat yang tidak tersentuh oleh tangan dingin sang paus sastra tersebut.
Kemudian Orde Baru tumbang dengan lahirnya Reformasi yang membuka katup-katup ruang berekspresi. Media masa semakin banyak dan beragam dengan suara yang teduh hingga sumbang. Sarana-sarana publikasi menjadi terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin memasukinya. Semua itu mendukung munculnya sastrawan-sastrawan muda.
Tidak terkecuali di Lamongan. Beberapa tahun terakhir geliat sastra Lamongan sangat terasa menonjol dibandingkan sebelumnya. Indikasi tersebut tampak pada beberapa fenomena berikut:
Pertama, publikasi karya-karya sastrawan mudanya. Di antara karya-karya tersebut dapat disebutkan; Absurditas Rindu yang diterbitkan secara Indie oleh Sastranesia. Di dalamnya memuat beberapa puisi sastrawan muda baik yang namanya telah terpublikasi di media masa atau tidak. Juga antologi puisi tunggal seperti, Interlude di Remang Malam (puisi AS. Sumbawi), Tamasya Langit (Javed Paul Syatha), Kitab Suci Para Malaikat (Nurel Javissyarqi), Sembah Rindu Sang Kekasih, (Imamudin SA). Ada juga novel Dazedlove karya Rodli TL. dll.
Kedua, berdirinya penerbitan buku-buku sastra. Lamongan memiliki tiga penerbit yang konsentrasi dalam menerbitkan karya sastra: Pustaka Pujangga, Sastranesia, dan Pustaka Ilalang.
Sebenarnya, fenomena tersebut tidak dapat lepas dari keberadaan beberapa orang yang memberikan andil besar dalam perubahan gerakan. Mereka mendirikan Forum Sastra Lamongan. Forum ini terbuka bagi siapa saja yang ingin terlibat, tanpa memandang apakah dia sastrawan atau bukan namun yang penting memiliki rasa simpati terhadap sastra.
Latar belakang kelahiran forum ini lebih bersifat global. Fenomena hegemoni di tingkat media sudah semakin berbahaya. Sebagai contoh, Bajaj Bajuri di Trans TV pada waktu itu dapat dikatakan sebagai sinetron komedi dengan rating pemirsa yang tinggi, terbukti masih terus diputar meskipun diulang-ulang. Begitu pula dengan OB (Office Boy) di RCTI. Kedua sitkom itu bersetting budaya Betawi. Karakter orang Betawi selalu menang sendiri dan tak terkalahkan, berseberangan dengan karakter orang Jawa yang selalu naif (istilah Jawa bagi orang Betawi adalah penduduk Jawa selain mereka). Dalam Bajaj Bajuri ada tokoh Emak Etti yang cerdik dan licik berseberangan dengan Mpok Hindun yang kenes dan endel atau Yusuf bin Sanusi sebagai orang Betawi yang paling naif berhadapan dengan Parti yang suka mengalah dan tak berdaya menghadapinya bahkan mau diperistri. Dalam OB tokoh Saodah yang gembrot dan Ismail yang kaku selalu menang berhadapan dengan Sayuti yang Jawa yang lamban dan tidak cerdas.
Dari latar belakang tersebut kemudian muncul inisiatif untuk melakukan gerilya budaya di tingkat local atau daerah. Budaya-budaya lokal yang selama ini tergerus oleh budaya pembangunanisme Orde Baru coba digali dan dikaji ulang. Meskipun budaya lokal, namun lebih mengedepankan pada keterbukaan, asimilasi, atau akulturasi dengan budaya lain.
Sebagai penjembatan harapan tersebut, Forum Sastra Lamongan (FSL) menerbitkan Jurnal Kebudayaan The Sandour yang mewakili ekspresi sastrawan mapan tingkat nasional. Jurnal ini terbit sekali dalam tiga bulan dengan memuat tulisan berbentuk puisi, esei, artikel, cerpen, atau monolog. Sedangkan bagi kalangan remaja yang berminat terhadap sastra diterbitkan Jurnal Sastra Timur Jauh. Sementara bagi kalangan masyarakat umum diterbitkan majalah Gerbang Massa yang berusia sekali terbit setelah itu tidak ada kabarnya lagi.
Lain dari itu, sebagai bukti penghargaan Forum terhadap generasi muda maka Forum menganugerahkan Van Der Wijk Award untuk remaja-remaja yang berkarya dan berkualitas. Sementara kegiatan instrumen berupa bedah buku atau launching yang diadakan di sekolah-sekolah: Madrasah Aliyah Negeri Lamongan, Madrasah Aliyah Simo Sungelebak, dan Pondok Pesantren Karangasem Paciran. Pada saat itu menghadirkan Raudal Tanjung Banua dan Ida Idris sebagai pembicara.
Selain Forum Sastra Lamongan muncul Sastranesia yang dibidani oleh AS. Sumbawi dkk. Akan tetapi, nama tersebut bermetamorfosa menjadi penerbit buku-buku sastra. Ruang lingkup Sastranesia sendiri hamper dapat dikatakan saling jalin dengan Forum Sastra Lamongan.
Gerakan-gerakan sastra tersebut tidak lepas dari peran para sastrawan mudanya. Beberapa nama yang dapat disebutkan adalah Nurel Javissyarqi, Rodli TL, AS. Sumbawi, Javed Paul Syatha, Imamudin SA, dll.
Nurel Javissyarqi. Sastrawan muda paling produktif ini—saat ini telah menulis 13 buku di samping menulis di berbagai media dan jurnal—lahir di Lamongan. Jiwa susastranya digembleng di Yogyakarta bersama dengan Y. Wibowo, Muhaimin Azzet, dll. dalam bendera KSTI (Komunitas Sastra Tugu Indonesia). Semangatnya yang besar menemukan muara di kampung kelahirannya dan mendirikan penerbit PUstaka puJAngga yang menerbitkan karya-karya sastra, baik sastrawan lokal maupun nasional. Karya terakhirnya adalah Kitab Para Malaikat (PUstaka puJAngga: 2007).
Rodli TL. Dia menemukan jiwa seninya di Jember dan bahkan pernah dipercaya sebagai Ketuanya. Beberapa kali dia menulis naskah sekaligus menyutradarai, di antaranya Adam Hawa. Kesibukannya sangat padat di bidang pendidikan dengan Sanggar Bahasa Kampung yang mendidik anak-anak kecil di desanya untuk memahami bahasa dan sastra. Di samping itu dia seorang dosen Universitas Darul Ulum Lamongan yang dipercaya menjadi pembimbing komunitas STNK (Studi Teater Nafas Kata), salah satu lembaga mahasiswa di bidang kesenian di samping Teater Roda. Pergulatannya dalam sastra dibuktikan dengan terbitnya novel Dazedlove.
AS. Sumbawi. Alumni IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini memulai pergulatannya di bidang sastra ketika bergabung dengan Sanggar Suto dan Sanggar Nuun. Saat ini dia menjadi pengajar sekaligus pemilik penerbitan Sastranesia. Tulisan-tulisannya banyak menghiasi media massa dan tergabung dalam antologi bersama, seperti: Dian Sastro for President: End of Trilogy (Insist: 2005), Malsasa 2005 (FSB: 2006), Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela: 2006), dan Khianat Waktu (DKL: 2006).
Javed Paul Syatha. Dia menggeluti sastra dengan bergumul bersama sastrawan-sastrawan lokal Lamongan. Dia memiliki nama-nama lain, seperti Saiful Anam, Ifoel Moenzoek, dan terakhir Javed Paul Syatha. Sehari-hari sebagai pengajar dan membimbing komunitas AUM. Beberapa karyanya tercatat dalam Malsasa 2005 (FBS: 2005), Khianat Waktu (DKL: 2006), Pelayaran Bunga (DKJT: 2007), dll.
Imamudin SA. Sastrawan muda ini murni berjiwa Lamongan, tidak terbaur dengan dunia luar dan banyak berkarya melalui media lokal. Di antara karyanya termuat dalam Lanskap Telunjuk (DKL: 2004), Khianat Waktu (DKL: 2004), dan beberapa antologi tunggalnya. Saat ini dia menjadi koordinator kajian Candrakirana.
Selain nama-nama tersebut masih banyak lagi sastrawan muda yang memiliki gairah sastra luar biasa: Ariandalu, Heri Listianto, Anis CH, D. Zaini Ahmad, dan masih banyak yang lain dari kalangan generasi muda.
Dari penjelasan singkat di atas ada beberapa nama yang berproses kreatif dengan bersinggungan bersama dunia luar. Mereka menjalin pola relasi dengan sastrawan-sastrawan dari daerah lain atau sastrawan nasional sekalipun. Di antaranya adalah kehadiran beberapa tokoh sastrawan nasional ke daerah Lamongan, seperti Raudal Tanjung Banua, Abdul Aziz Soekarno, Joni Ariadinata, Mardiluhung, dll.
Gerakan baru ini dapat dikatakan masih seumur jagung. Di masa depan ada tantangan-tantangan berupa keberlanjutan eksistensial dan esensial. Secara eksistensial adalah konsistensi gerakan yang mengarah pada pengembangan sastra, sedangkan secara esensial adalah bentuk karya yang dihasilkan apakah berkualitas sastra atau sekadar euporia pada kesenangan baru. Persoalan ini sepenuhnya tergantung pada mereka.
Haris del Hakim
Tulisan ini tidak hendak merekonstruksi sebuah gerakan secara komprehensif, namun sekadar mengambil salah satu sebuah gerakan halus yang terjadi secara simultan dan dapat disebut sebagai fenomena yang luar biasa. Selain dari itu, tulisan ini tidak menjamah ranah analisa karya yang memerlukan waktu yang panjang dan kajian lebih intens, tapi sekadar ulasan beberapa hal yang dapat dianggap penting.
Keberadaan sastra Lamongan patut mendapatkan perhatian. Sastrawan yang lahir dari Lamongan ikut mewarnai peta sastra Indonesia, sebut saja nama Satyagraha Hoerip, Djamil Suherman, Abdul Wachid BS, Viddy, Aguk Irawan MN, Mashuri, dll. Di samping itu di Lamongan sendiri sebenarnya nafas sastra telah mengakar kuat, sebagaimana yang pernah disaksikan sendiri oleh Emha Ainun Nadjib pada tahun 80-an. Geliatnya semakin kentara dengan kehadiran Harry Lamongan yang sebenarnya lahir di Bondowoso namun berdomisili di Lamongan.
Selama bertahun-tahun Harry Lamongan seperti penjaga gawang sastra. Berbicara tentang sastra di Lamongan, maka referensi utamanya adalah Herry Lamongan. Tentu saja dia tidak sendirian. Dalam Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) banyak tergabung pegiat-pegiat sastra. Mereka melakukan pergulatan sastra yang diadakan melalui apresiasi bulanan dalam wahana Candrakirana. Sayangnya, hanya seorang Herry yang muncul dalam media massa meskipun dalam beberapa pertemuan dia selalu menegaskan bahwa eksistensi sebuah karya tidak cukup dalam medan apresiasi lokal yang dihadiri oleh orang-orang yang dikenal. Sebuah karya mesti dilepas keluar agar dia menghirup keluasan cakrawala dan bertahan hidup dalam deru badai dan hantaman persepsi banyak orang.
Sastra pada masa itu, sebagaimana kondisi sastra di tingkat nasional secara umum, bersifat eksklusif. Sastra hanya milik orang-orang yang dianggap dan menganggap dirinya "paham" sastra. Selain mereka hanya bicara tentang kulit. Hal ini tentu tidak mengherankan. Seorang dedengkot sastra pernah menyatakan, selain penyair dilarang bicara tentang puisi. Pernyataan tersebut seakan dogma yang menghegemoni pola pikir semua sastrawan.
Kondisi ini diperkuat dengan kondisi masa Orde Baru dan kuatnya ajaran-ajaran HB Yassin sebagai paus dan penahbis seseorang dapat disebut sastrawan atau tidak. Maka, kelahiran kritikus-kritikus baru di ujung usia Orde Baru seperti angin segar yang membawa rerintik air dan menumbuhkan benih-benih bakat yang tidak tersentuh oleh tangan dingin sang paus sastra tersebut.
Kemudian Orde Baru tumbang dengan lahirnya Reformasi yang membuka katup-katup ruang berekspresi. Media masa semakin banyak dan beragam dengan suara yang teduh hingga sumbang. Sarana-sarana publikasi menjadi terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin memasukinya. Semua itu mendukung munculnya sastrawan-sastrawan muda.
Tidak terkecuali di Lamongan. Beberapa tahun terakhir geliat sastra Lamongan sangat terasa menonjol dibandingkan sebelumnya. Indikasi tersebut tampak pada beberapa fenomena berikut:
Pertama, publikasi karya-karya sastrawan mudanya. Di antara karya-karya tersebut dapat disebutkan; Absurditas Rindu yang diterbitkan secara Indie oleh Sastranesia. Di dalamnya memuat beberapa puisi sastrawan muda baik yang namanya telah terpublikasi di media masa atau tidak. Juga antologi puisi tunggal seperti, Interlude di Remang Malam (puisi AS. Sumbawi), Tamasya Langit (Javed Paul Syatha), Kitab Suci Para Malaikat (Nurel Javissyarqi), Sembah Rindu Sang Kekasih, (Imamudin SA). Ada juga novel Dazedlove karya Rodli TL. dll.
Kedua, berdirinya penerbitan buku-buku sastra. Lamongan memiliki tiga penerbit yang konsentrasi dalam menerbitkan karya sastra: Pustaka Pujangga, Sastranesia, dan Pustaka Ilalang.
Sebenarnya, fenomena tersebut tidak dapat lepas dari keberadaan beberapa orang yang memberikan andil besar dalam perubahan gerakan. Mereka mendirikan Forum Sastra Lamongan. Forum ini terbuka bagi siapa saja yang ingin terlibat, tanpa memandang apakah dia sastrawan atau bukan namun yang penting memiliki rasa simpati terhadap sastra.
Latar belakang kelahiran forum ini lebih bersifat global. Fenomena hegemoni di tingkat media sudah semakin berbahaya. Sebagai contoh, Bajaj Bajuri di Trans TV pada waktu itu dapat dikatakan sebagai sinetron komedi dengan rating pemirsa yang tinggi, terbukti masih terus diputar meskipun diulang-ulang. Begitu pula dengan OB (Office Boy) di RCTI. Kedua sitkom itu bersetting budaya Betawi. Karakter orang Betawi selalu menang sendiri dan tak terkalahkan, berseberangan dengan karakter orang Jawa yang selalu naif (istilah Jawa bagi orang Betawi adalah penduduk Jawa selain mereka). Dalam Bajaj Bajuri ada tokoh Emak Etti yang cerdik dan licik berseberangan dengan Mpok Hindun yang kenes dan endel atau Yusuf bin Sanusi sebagai orang Betawi yang paling naif berhadapan dengan Parti yang suka mengalah dan tak berdaya menghadapinya bahkan mau diperistri. Dalam OB tokoh Saodah yang gembrot dan Ismail yang kaku selalu menang berhadapan dengan Sayuti yang Jawa yang lamban dan tidak cerdas.
Dari latar belakang tersebut kemudian muncul inisiatif untuk melakukan gerilya budaya di tingkat local atau daerah. Budaya-budaya lokal yang selama ini tergerus oleh budaya pembangunanisme Orde Baru coba digali dan dikaji ulang. Meskipun budaya lokal, namun lebih mengedepankan pada keterbukaan, asimilasi, atau akulturasi dengan budaya lain.
Sebagai penjembatan harapan tersebut, Forum Sastra Lamongan (FSL) menerbitkan Jurnal Kebudayaan The Sandour yang mewakili ekspresi sastrawan mapan tingkat nasional. Jurnal ini terbit sekali dalam tiga bulan dengan memuat tulisan berbentuk puisi, esei, artikel, cerpen, atau monolog. Sedangkan bagi kalangan remaja yang berminat terhadap sastra diterbitkan Jurnal Sastra Timur Jauh. Sementara bagi kalangan masyarakat umum diterbitkan majalah Gerbang Massa yang berusia sekali terbit setelah itu tidak ada kabarnya lagi.
Lain dari itu, sebagai bukti penghargaan Forum terhadap generasi muda maka Forum menganugerahkan Van Der Wijk Award untuk remaja-remaja yang berkarya dan berkualitas. Sementara kegiatan instrumen berupa bedah buku atau launching yang diadakan di sekolah-sekolah: Madrasah Aliyah Negeri Lamongan, Madrasah Aliyah Simo Sungelebak, dan Pondok Pesantren Karangasem Paciran. Pada saat itu menghadirkan Raudal Tanjung Banua dan Ida Idris sebagai pembicara.
Selain Forum Sastra Lamongan muncul Sastranesia yang dibidani oleh AS. Sumbawi dkk. Akan tetapi, nama tersebut bermetamorfosa menjadi penerbit buku-buku sastra. Ruang lingkup Sastranesia sendiri hamper dapat dikatakan saling jalin dengan Forum Sastra Lamongan.
Gerakan-gerakan sastra tersebut tidak lepas dari peran para sastrawan mudanya. Beberapa nama yang dapat disebutkan adalah Nurel Javissyarqi, Rodli TL, AS. Sumbawi, Javed Paul Syatha, Imamudin SA, dll.
Nurel Javissyarqi. Sastrawan muda paling produktif ini—saat ini telah menulis 13 buku di samping menulis di berbagai media dan jurnal—lahir di Lamongan. Jiwa susastranya digembleng di Yogyakarta bersama dengan Y. Wibowo, Muhaimin Azzet, dll. dalam bendera KSTI (Komunitas Sastra Tugu Indonesia). Semangatnya yang besar menemukan muara di kampung kelahirannya dan mendirikan penerbit PUstaka puJAngga yang menerbitkan karya-karya sastra, baik sastrawan lokal maupun nasional. Karya terakhirnya adalah Kitab Para Malaikat (PUstaka puJAngga: 2007).
Rodli TL. Dia menemukan jiwa seninya di Jember dan bahkan pernah dipercaya sebagai Ketuanya. Beberapa kali dia menulis naskah sekaligus menyutradarai, di antaranya Adam Hawa. Kesibukannya sangat padat di bidang pendidikan dengan Sanggar Bahasa Kampung yang mendidik anak-anak kecil di desanya untuk memahami bahasa dan sastra. Di samping itu dia seorang dosen Universitas Darul Ulum Lamongan yang dipercaya menjadi pembimbing komunitas STNK (Studi Teater Nafas Kata), salah satu lembaga mahasiswa di bidang kesenian di samping Teater Roda. Pergulatannya dalam sastra dibuktikan dengan terbitnya novel Dazedlove.
AS. Sumbawi. Alumni IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini memulai pergulatannya di bidang sastra ketika bergabung dengan Sanggar Suto dan Sanggar Nuun. Saat ini dia menjadi pengajar sekaligus pemilik penerbitan Sastranesia. Tulisan-tulisannya banyak menghiasi media massa dan tergabung dalam antologi bersama, seperti: Dian Sastro for President: End of Trilogy (Insist: 2005), Malsasa 2005 (FSB: 2006), Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela: 2006), dan Khianat Waktu (DKL: 2006).
Javed Paul Syatha. Dia menggeluti sastra dengan bergumul bersama sastrawan-sastrawan lokal Lamongan. Dia memiliki nama-nama lain, seperti Saiful Anam, Ifoel Moenzoek, dan terakhir Javed Paul Syatha. Sehari-hari sebagai pengajar dan membimbing komunitas AUM. Beberapa karyanya tercatat dalam Malsasa 2005 (FBS: 2005), Khianat Waktu (DKL: 2006), Pelayaran Bunga (DKJT: 2007), dll.
Imamudin SA. Sastrawan muda ini murni berjiwa Lamongan, tidak terbaur dengan dunia luar dan banyak berkarya melalui media lokal. Di antara karyanya termuat dalam Lanskap Telunjuk (DKL: 2004), Khianat Waktu (DKL: 2004), dan beberapa antologi tunggalnya. Saat ini dia menjadi koordinator kajian Candrakirana.
Selain nama-nama tersebut masih banyak lagi sastrawan muda yang memiliki gairah sastra luar biasa: Ariandalu, Heri Listianto, Anis CH, D. Zaini Ahmad, dan masih banyak yang lain dari kalangan generasi muda.
Dari penjelasan singkat di atas ada beberapa nama yang berproses kreatif dengan bersinggungan bersama dunia luar. Mereka menjalin pola relasi dengan sastrawan-sastrawan dari daerah lain atau sastrawan nasional sekalipun. Di antaranya adalah kehadiran beberapa tokoh sastrawan nasional ke daerah Lamongan, seperti Raudal Tanjung Banua, Abdul Aziz Soekarno, Joni Ariadinata, Mardiluhung, dll.
Gerakan baru ini dapat dikatakan masih seumur jagung. Di masa depan ada tantangan-tantangan berupa keberlanjutan eksistensial dan esensial. Secara eksistensial adalah konsistensi gerakan yang mengarah pada pengembangan sastra, sedangkan secara esensial adalah bentuk karya yang dihasilkan apakah berkualitas sastra atau sekadar euporia pada kesenangan baru. Persoalan ini sepenuhnya tergantung pada mereka.
Selasa, 29 Juli 2008
Prosa-Prosa Ahmad Syauqi Sumbawi
Sarang Laba-laba di Rumah Tua
Tepat di hadapan kami, rumah peninggalan kakek berdiri. Bangunan tua berbentuk limas dan cukup besar. Seperti pada umumnya rumah-rumah tak berpenghuni, rumah itu kusam, kotor berdebu, dan tak terawat. Sawang-sawang bergelantungan di banyak bagian pada langit-langit beranda.
Perlahan daun pintu kayu jati yang tampak berat dan tebal itu terbuka disertai bunyi derit. Seperti menjerit, bersama debu-debu yang bersemburan. Sejenak melangkah ke dalam, maka tampaklah lebih banyak lagi sawang-sawang bergelantungan di ruangan itu.
"Tampaknya, hari ini kita akan bekerja keras membersihkan rumah ini," kata Lik Seno —seorang kerabat yang selama ini dititipi untuk memegang kunci— tersenyum.
"Sepertinya begitu, Lik," sahutku.
Lik Seno kemudian pamit pergi mengambil peralatan bersih-bersih.
Seorang diri, kuedarkan pandangan pada ruangan itu lagi. Dekat pada sebuah pilarnya dari empat pilar yang menyangga atap genteng, kutemukan sarang laba-laba tergelar cukup lebar. Tepat di bawah bagian atap genteng yang hilang, memberi terang.
Dalam diam memperhatikannya, tiba-tiba aku teringat pada rangkaian kata-kata. Entah. Aku lupa siapa yang menaruhnya di saku ingatanku. Kalau tak keliru, beginilah kata-kata itu: "Dalam hidup manusia, nafsu ibarat laba-laba yang mula-mula datang berkunjung, kemudian menjadi tamu rutin, lantas menjadi tuan rumah pada diri manusia..."
"Ayo, kita mulai bersih-bersih," kata Lik Seno yang telah kembali dengan peralatan. Sebuah sapu panjang kemudian diulurkannya kepadaku.
"Kalau bersih, 'kan nyaman untuk tinggal di sini," lanjutnya seraya membuka daun-daun jendela.
Sebentar cahaya matahari menyeruak ke dalam ruangan, memperlihatkan debu-debu yang membikin pengap udara pagi itu. (*)
Yang Tak Terelakkan; Kerusakan
Nyalang matahari berkurang bersama hari merembang petang. Perlahan cahaya kuning keemasannya pudar memerah, tak lagi menyilaukan, menjadikan senja sebagai waktu istirah.
Di beranda sebuah rumah tepat di hadapanku, seorang laki-laki duduk dalam ayunan kursi goyang. Menatap jauh ke ruas jalan, di mana deru keseharian melintas pulang. Waktu yang tercipta menjadikan hari-hari tak seperti dulu.
Demikianlah. Sudah menjadi wataknya, sesuatu yang bersifat jasad, materi, raga, fisik menjadi sempurna —berguna— dari ketiadaannya, lantas terlindas dan menjadi rusak. Dari potongan kayu-kayu, tersusun menjadi kursi, lantas menjadi usang. Dari sepai-sepai onderdilnya, terakit menjadi sepeda motor, maka bertambah hari, tentu saja bertambah rusak. Dari kelahirannya sebagai bayi, manusia menjadi bebas bergerak dan menjelajah, lantas tua, melemah, dan rusak —mati—.
Tak lagi seperti dulu, dalam ingatanku tentang laki-laki itu. Usia menjadikan helai-helai rambut di kepalanya memutih dan meranggas jatuh. Usia menggerogoti kuat tubuhnya, menyita makanan-makanan kesukaannya, menghalangi laju kendaraannya, memangkas gerak sekian banyak aktifitasnya. Dan sebagainya.
Dalam diam memperhatikan laki-laki itu yang terus menatap jauh ke ruas jalan, aku berpikir bahwa fisik berlainan dengan non fisik. Jiwa. Ruh. Bersama perjalanan fisik yang menjadi rusak, baiknya ruh, jiwa, bertambah lebih mengarah sempurna. Yah, begitulah semestinya bagi manusia.
Sebentar dengan susah payah laki-laki itu beranjak. Rapuh melangkah dengan bantuan tongkat di tangan. Hari bertambah petang. Tak terelakkan. (*)
Senyap Masa Lalu
Sendiri, laki-laki tua duduk di amben bambu di halaman rumah. Berkendara asap rokok kretek, mata laki-laki tua itu menembus remang malam di sela-sela dedaunan. Sepai-sepai waktu yang menumpuk tebal di masa lalu, acak terbuka di kepalanya.
Seperti kesempatan-kesempatan sebelumnya, laki-laki tua itu baru saja bercerita kepada cucunya; anak laki-laki sepuluh tahun yang telah satu tahunan ditinggal mati bapak dan ibunya dalam sebuah kecelakaan.
Selain masa lalu dari hidup manusia, apalagi yang bisa diceritakan kepada generasi berikutnya?! Sungguh, masa depan bagi manusia hanyalah sebuah rencana. Dan apalagi yang layak diceritakan kepada anak-cucu, selain sesuatu yang baik dan kebanggaan di masa lalu?! Seperti cerita-cerita sebelumnya, itulah yang kembali dilanggengkan laki-laki tua itu di kepala si cucu bersama harapan supaya ia meneladaninya dan tidak berbuat yang meresahkan.
Dan kini, sepeninggal si cucu masuk rumah lantaran malam melarut dengan udara yang mendinginkan badan, seperti juga pada kesempatan-kesempatan sebelumnya, ia kembali teringatkan pada kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya, yang dilanggengkan waktu; masa lalu. Juga kesalahannya; saat dia mengusir dan tak mengakui lagi anak perempuannya tersebab mencintai laki-laki yang tak pernah diharapkan menjadi menantunya. Tak lagi sebagai bapak, hingga mereka berdua meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan satu tahunan yang lalu, meninggalkan anak laki-laki sebatang kara.
Sendiri, laki-laki tua itu masih duduk di amben bambu di halaman rumah. Sementara malam bertambah larut. Sunyi dan dingin. Mungkin seperti pula, masa lalu yang terus membuntuti usia manusia. Senyap. (*) .
Rumah Tak Sempurna
Di tepi perempatan jalan itu, sebuah rumah tinggal rangkaian pondasi, dinding, atap, dan ubin tak sempurna. Tangan-tangan yang tak dicuci terlebih dulu, memberikan bekas hitam di dinding bercat rapi. Kian lebar membunuh panorama. Potret-potret keluarga tertindih pecahan kaca pigura.
Dasi kantor, sanggul, dan tas sekolah dengan aliran air kata-kata membunuh waktu ke gang-gang yang pernah dikutuk sebelumnya, di antara orang-orang yang onani dan masturbasi, membayangkan kekasih-kekasih yang telah pergi.
“Duhai, kekasih. Di mana kau bersembunyi?!”
Di jalan itu, sebuah rumah tinggal rangkaian pondasi, dinding, atap, dan ubin tak sempurna. Kulihat ada yang membuka pintu, setelah mendengar ratap lirih kekasih dari bawah tumpukan potret-potret keluarga yang tertindih pecahan kaca pigura.
Tepat di hadapan kami, rumah peninggalan kakek berdiri. Bangunan tua berbentuk limas dan cukup besar. Seperti pada umumnya rumah-rumah tak berpenghuni, rumah itu kusam, kotor berdebu, dan tak terawat. Sawang-sawang bergelantungan di banyak bagian pada langit-langit beranda.
Perlahan daun pintu kayu jati yang tampak berat dan tebal itu terbuka disertai bunyi derit. Seperti menjerit, bersama debu-debu yang bersemburan. Sejenak melangkah ke dalam, maka tampaklah lebih banyak lagi sawang-sawang bergelantungan di ruangan itu.
"Tampaknya, hari ini kita akan bekerja keras membersihkan rumah ini," kata Lik Seno —seorang kerabat yang selama ini dititipi untuk memegang kunci— tersenyum.
"Sepertinya begitu, Lik," sahutku.
Lik Seno kemudian pamit pergi mengambil peralatan bersih-bersih.
Seorang diri, kuedarkan pandangan pada ruangan itu lagi. Dekat pada sebuah pilarnya dari empat pilar yang menyangga atap genteng, kutemukan sarang laba-laba tergelar cukup lebar. Tepat di bawah bagian atap genteng yang hilang, memberi terang.
Dalam diam memperhatikannya, tiba-tiba aku teringat pada rangkaian kata-kata. Entah. Aku lupa siapa yang menaruhnya di saku ingatanku. Kalau tak keliru, beginilah kata-kata itu: "Dalam hidup manusia, nafsu ibarat laba-laba yang mula-mula datang berkunjung, kemudian menjadi tamu rutin, lantas menjadi tuan rumah pada diri manusia..."
"Ayo, kita mulai bersih-bersih," kata Lik Seno yang telah kembali dengan peralatan. Sebuah sapu panjang kemudian diulurkannya kepadaku.
"Kalau bersih, 'kan nyaman untuk tinggal di sini," lanjutnya seraya membuka daun-daun jendela.
Sebentar cahaya matahari menyeruak ke dalam ruangan, memperlihatkan debu-debu yang membikin pengap udara pagi itu. (*)
Yang Tak Terelakkan; Kerusakan
Nyalang matahari berkurang bersama hari merembang petang. Perlahan cahaya kuning keemasannya pudar memerah, tak lagi menyilaukan, menjadikan senja sebagai waktu istirah.
Di beranda sebuah rumah tepat di hadapanku, seorang laki-laki duduk dalam ayunan kursi goyang. Menatap jauh ke ruas jalan, di mana deru keseharian melintas pulang. Waktu yang tercipta menjadikan hari-hari tak seperti dulu.
Demikianlah. Sudah menjadi wataknya, sesuatu yang bersifat jasad, materi, raga, fisik menjadi sempurna —berguna— dari ketiadaannya, lantas terlindas dan menjadi rusak. Dari potongan kayu-kayu, tersusun menjadi kursi, lantas menjadi usang. Dari sepai-sepai onderdilnya, terakit menjadi sepeda motor, maka bertambah hari, tentu saja bertambah rusak. Dari kelahirannya sebagai bayi, manusia menjadi bebas bergerak dan menjelajah, lantas tua, melemah, dan rusak —mati—.
Tak lagi seperti dulu, dalam ingatanku tentang laki-laki itu. Usia menjadikan helai-helai rambut di kepalanya memutih dan meranggas jatuh. Usia menggerogoti kuat tubuhnya, menyita makanan-makanan kesukaannya, menghalangi laju kendaraannya, memangkas gerak sekian banyak aktifitasnya. Dan sebagainya.
Dalam diam memperhatikan laki-laki itu yang terus menatap jauh ke ruas jalan, aku berpikir bahwa fisik berlainan dengan non fisik. Jiwa. Ruh. Bersama perjalanan fisik yang menjadi rusak, baiknya ruh, jiwa, bertambah lebih mengarah sempurna. Yah, begitulah semestinya bagi manusia.
Sebentar dengan susah payah laki-laki itu beranjak. Rapuh melangkah dengan bantuan tongkat di tangan. Hari bertambah petang. Tak terelakkan. (*)
Senyap Masa Lalu
Sendiri, laki-laki tua duduk di amben bambu di halaman rumah. Berkendara asap rokok kretek, mata laki-laki tua itu menembus remang malam di sela-sela dedaunan. Sepai-sepai waktu yang menumpuk tebal di masa lalu, acak terbuka di kepalanya.
Seperti kesempatan-kesempatan sebelumnya, laki-laki tua itu baru saja bercerita kepada cucunya; anak laki-laki sepuluh tahun yang telah satu tahunan ditinggal mati bapak dan ibunya dalam sebuah kecelakaan.
Selain masa lalu dari hidup manusia, apalagi yang bisa diceritakan kepada generasi berikutnya?! Sungguh, masa depan bagi manusia hanyalah sebuah rencana. Dan apalagi yang layak diceritakan kepada anak-cucu, selain sesuatu yang baik dan kebanggaan di masa lalu?! Seperti cerita-cerita sebelumnya, itulah yang kembali dilanggengkan laki-laki tua itu di kepala si cucu bersama harapan supaya ia meneladaninya dan tidak berbuat yang meresahkan.
Dan kini, sepeninggal si cucu masuk rumah lantaran malam melarut dengan udara yang mendinginkan badan, seperti juga pada kesempatan-kesempatan sebelumnya, ia kembali teringatkan pada kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya, yang dilanggengkan waktu; masa lalu. Juga kesalahannya; saat dia mengusir dan tak mengakui lagi anak perempuannya tersebab mencintai laki-laki yang tak pernah diharapkan menjadi menantunya. Tak lagi sebagai bapak, hingga mereka berdua meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan satu tahunan yang lalu, meninggalkan anak laki-laki sebatang kara.
Sendiri, laki-laki tua itu masih duduk di amben bambu di halaman rumah. Sementara malam bertambah larut. Sunyi dan dingin. Mungkin seperti pula, masa lalu yang terus membuntuti usia manusia. Senyap. (*) .
Rumah Tak Sempurna
Di tepi perempatan jalan itu, sebuah rumah tinggal rangkaian pondasi, dinding, atap, dan ubin tak sempurna. Tangan-tangan yang tak dicuci terlebih dulu, memberikan bekas hitam di dinding bercat rapi. Kian lebar membunuh panorama. Potret-potret keluarga tertindih pecahan kaca pigura.
Dasi kantor, sanggul, dan tas sekolah dengan aliran air kata-kata membunuh waktu ke gang-gang yang pernah dikutuk sebelumnya, di antara orang-orang yang onani dan masturbasi, membayangkan kekasih-kekasih yang telah pergi.
“Duhai, kekasih. Di mana kau bersembunyi?!”
Di jalan itu, sebuah rumah tinggal rangkaian pondasi, dinding, atap, dan ubin tak sempurna. Kulihat ada yang membuka pintu, setelah mendengar ratap lirih kekasih dari bawah tumpukan potret-potret keluarga yang tertindih pecahan kaca pigura.
Kematian Sang Raja
Sebuah Catatan untuk Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer
Haris del Hakim
Kertarajasa, pada masa muda dikenal sebagai Ken Arok, tergeragap dari tidurnya. Ujung keris telah menempel di ulu hatinya. Kesadaran yang baru saja diperolehnya hilang sesaat kemudian kembali dan digenggamnya erat-erat. Dalam keadaan apa pun ia tetap seorang raja, berandal yang digelari Arok, dan panglima pasukan yang pernah menikamkan kerisnya ke jantung Tunggul Ametung.
Cahaya lampu minyak jarak di sudut ruangan membantu pandangan matanya yang sudah tua untuk mengenali anak muda yang sedang menghunuskan keris ke ulu hatinya. Ia ingat puluhan tahun lalu saat ia berbuat sama terhadap ayah pemuda itu. Kini ia harus berganti peran. Dia terbaring tak berdaya sebagaimana ayahnya, Tunggul Ametung. Anak tiri yang dibesarkan oleh kasih sayangnya itu sedang memerankan dirinya. Bukankah dulu dia juga mencecap kasih sayang yang dilimpahkan oleh Tunggul Ametung, meskipun atas saran dari Mpu Lohgawe? Sekarang, ia memetik karma dari pohon yang ditanamnya puluhan tahun lalu.
Ia masih terbaring. Tangannya meraba ke samping kanan dan tidak mendapati siapa-siapa. Ia tersenyum dan bertanya. “Ke mana, ibumu?”
Anak muda itu merunduk. Lengan kirinya menempel di leher ayah tirinya. Bibirnya berbisik dengan perlahan sambil mengucapkan kata-kata yang perih. “Mengapa kautanyakan perempuan yang kaupaksa menyintaimu kemudian kausakiti hatinya?”
Lelaki tua di atas ranjang pualam itu masih bisa menunjukkan wajah bersinar, meskipun tekanan lengan anak muda itu perlahan mulai menyesakkan nafasnya, dan ujung keris semakin menyarangkan mata tajamnya. Usia yang dijalaninya telah mengajarkan segala macam jenis kematian manusia. Bahkan, beberapa kali ia membantu malaikat maut mencabut nyawa manusia dan tidak bisa lagi menghitung berapa jumlahnya. Ia juga tahu suatu saat akan menghadapi kematian dengan cara yang tidak pernah terbayangkan olehnya. Dan, kematian di ujung keris yang pernah ditikamkan pada akuwu itu pula yang akan mengakhiri hidupnya.
“Aku tidak pernah menyakitinya,” kata Lelaki itu. “Akulah yang membebaskannya dari belenggu tulang rapuh bapakmu dan mengangkat derajatnya sejajar dengan para permaisuri raja. Bukankah ia ceritakan semua kepadamu dan menjelaskan dosa-dosa bapakmu, seperti yang selalu dikeluhkannya kepadaku di setiap malam?”
Anak muda itu geram. Ia semakin menindih tubuh tua yang tidak berdaya. Bibirnya mencibir, “Aku adalah samudera tumpahan jeritan luka hatinya. Sejak dalam buaian kudengar lagu-lagu perih wanita yang dikhianati orang yang pernah dianggap menyintainya. Ia tanamkan pula benih dendam kematian ayahku dan setia menyiraminya sepanjang umurku. Apakah wanita seperti itu kaukatakan terbebas dari belenggu dan menepuk dada di atas singgasana permaisuri?”
“Anusapati!” kata sang raja gusar. “Katakan padaku dosa apa yang kulakukan terhadap dirinya? Luka hati seperti apa yang menuntun seorang istri meninggalkan ranjang tidur suaminya?”
“Kertarajasa! Seperti inikah pertanyaan ayahku, Tunggul Ametung, sebelum kautikamkan kerismu ke jantungnya?” tanya Anusapati.
Lelaki tua itu tertawa. Anusapati buru-buru menggeser lengan kirinya ke pangkal leher raja yang tinggal beberapa saat lagi umurnya. Ia kuatir ada prajurit yang mendengarnya dan menimbulkan kecurigaan. Sementara lelaki tua itu tersengal-sengal. Kedua tangannya yang bebas sengaja tidak digunakan untuk melakukan perlawanan. Dia belum tentu kalah menghadapi anak kemarin sore yang sedang terbakar oleh dendam, tapi ia merasa sudah tua untuk selalu mengelak dari karma-karma yang pernah dilakukannya di waktu muda. Ia sudah mendapatkan semua warna hidup seorang manusia. Ia pernah menjadi berandal yang malang melintang di tengah kegelapan hutan, juga pernah menjadi pimpinan prajurit yang disanjung-sanjung kedatangannya. Ia telah merasakan sebagai anak terbuang dan terlantar, juga merasakan sebagai raja yang sabdanya dinantikan setiap orang. Ia pun telah mendapatkan Ken Dedes yang diperebutkan oleh para Adipati hingga Raja Kediri, bahkan sebagai lelaki telah mendapatkan semua wanita yang diinginkannya. Ia sudah mengalami nelangsa dihinakan sebagai gelandangan tanpa kampung halaman, juga mengalami puja sanjung sebagai raja Singasari. Kehidupannya tinggal disempurnakan oleh kematian.
“Anusapati!” kata Kertarajasa dengan tenang. “Tunggul Ametung mati di tangan Kebo Ijo dan bukan tanganku. Takdir telah menentukan seperti itu dan takdir pula yang mengangkatku sebagai pengganti Tunggul Ametung.”
Kini Anusapati yang tersenyum. “Aku percaya pada bibir wanita yang rahimnya melahirkanku daripada mulutmu. Seperti yang pernah kaukatakan, tidak ada yang lebih jujur dari perempuan yang sakit hati.”
Anusapati belum menikamkan kerisnya. Ia ingin membuat ayah tirinya itu menghiba untuk selembar nyawanya. Ia ingin menyaksikan bagaimana seorang raja yang selalu dimintai segala sesuatu, seperti dewa, memohon-mohon padanya.
“Rupanya ia sudah menceritakan semuanya kepadamu,” kata Kertarajasa. “Apakah ia juga menceritakan ke mana perginya saat ayahmu tewas di ujung keris?”
“Aku tidak pernah menanyakannya, tapi aku berjanji memberitahu jawabannya padamu saat kau sudah menjadi abu.”
Kertarajasa tersenyum tipis. Ia ingat pada saat remaja sering bertindak gegabah. Ia tertawa.
“Sekarang ceritakan sakit hati seperti apa yang membesarkanmu?” tanya Kertarajasa.
“Kertarajasa! Begitu berartikah sakit hati yang dipendam perempuan itu hingga lebih kaupentingkan dari nyawamu sendiri?”
Ayam jantan berkokok. Dinding-dinding kraton masih tetap beku dalam dingin. Tidak ada seorang prajurit pun yang memberikan tanda kehadirannya melalui suara langkah kaki. Anusapati telah mengatur semuanya. Ia belajar dari ibunya bagaimana Ken Arok menyusun rencananya selama berbulan-bulan demi menghunuskan keris ke jantung ayahnya. “Bahkan, ia juga merencanakan berapa orang yang harus menangis atas meninggalnya ayahmu,” begitu kata ibunya ketika itu.
Kertarajasa tersenyum mendapat tanggapan seperti itu. “Ya,” jawab Kertarajasa dengan nada bicara masih tenang dan berwibawa. “Sakit hati itu tentu sangat perih dan meremukredamkan hatinya, hingga waktu puluhan tahun tidak sanggup menghapuskan atau mengutuhkannya kembali. Aku bisa merasakan senggukan tangisnya melalui bibirmu. Tetapi, aku ingin sebelum berakhir hidupku kuketahui semua dosa yang pernah kulakukan. Biarlah aku tahu siapa diriku pada saat-saat menjelang sekaratku.”
“Apakah semua itu lebih berarti dari kerajaan yang kaubangun dengan darah ribuan orang ini?”
Kertarajasa tidak menyalahkan atau membenarkan. Dia memberikan nasehat, “Anusapati, kekuasaan tidak pernah abadi di tangan seseorang. Kekuasaan direbut, dipertahankan, diwariskan, atau diberikan secara paksa kepada orang lain. Kita tidak bisa memaksa diri untuk selalu menggenggamnya. Manusia semakin tua sementara orang-orang muda terus lahir ke dunia. Yang tua harus merelakan diri digantikan yang lebih muda. Pada akhirnya, manusia baru sadar bila menghadapi maut sendirian.”
Anusapati menyimak ungkapan ayah tirinya itu. Ia tidak memungkiri kewibawaan dan kebijaksanaannya. Hanya bayang-bayang ayahnya yang ia gambarkan di kepalanya yang selalu mengatakan bahwa ia tidak dapat berdusta bila lelaki itu adalah pembunuh ayahnya. Setiap kali bertemu dengannya, ia merasa seperti arang yang dilemparkan ke dalam tungku. Semakin bertambah umurnya semakin membara keinginan untuk membalaskan sakit hati ayah dan ibunya.
Kertarajasa seorang raja yang tidak mengenal gentar. Dalam keadaan leher tertekan lengan dan ujung keris yang sewaktu-waktu menusuk ke ulu hatinya, ia dapat berbicara lancar tanpa gagap sedikit pun. “Anusapati! Sebentar lagi matahari akan terbit. Lekas katakan sebelum tindakanmu ini diketahui oleh orang lain dan kau tidak dapat membalaskan dendam ayahmu. Bahkan, kamu sendiri yang akan dipancung di alun-alun kota dan tidak ada lagi yang kalian andalkan untuk membalas dendam kepadaku.”
Anusapati tertawa tanpa menggerakkan gerahamnya. “Inikah kekuatanmu terakhir sebagai seorang raja, Kertarajasa? Kau andalkan sisa-sisa kepercayaan dirimu dengan mengancamku. Kamu boleh memilih, kukatakan sendiri atau perempuan itu yang akan mengatakannya kepadamu?”
“Anakku Anusapati,” kata Kertarajasa dengan nada kebapakan. “Waspadalah terhadap dirimu sendiri. Jangan sekali-kali kemenangan membuatmu lupa diri dan sewenang-wenang, apalagi belum berada dalam genggaman tanganmu. Kamu pemuda tangguh yang sering bertindak sembrono. Jangan sia-siakan kesempatan yang diberikan kepadamu. Hunjamkan keris itu segera sebelum matahari terbit. Apakah kamu tidak mendengar talu lesung para petani di kejauhan?”
Pemuda itu melepaskan tekanan lengan kirinya. Ia memandangi wajah yang selalu dipanggilnya sebagai ayah. Ia tidak pernah merasa terbedakan dari Tohjaya. Batinnya berbisik, “Mengapa orang tua adalah yang meneteskan darahnya di tubuhku dan bukan yang memberikan kebaikan-kebaikan?” Barangkali benar kata ayah tirinya itu. Ia juga menjalani garis takdir untuk membunuhnya.
“Kau telah menikahi Uma dan seperti ini takdir yang harus kujalani,” jawab Anusapati. “Perempuan itu sering menerawang ke langit dan menyebut nama ayahku bila perih pengkhianatanmu melintas di batinnya. Ia bisa memaafkanmu saat kaubunuh Tunggul Ametung, tapi ia terlalu sakit dan menderita ketika mendengar Tohjaya menangis. Tidakkah kau perhatikan tubuhnya yang makin kurus dan kecantikannya yang berubah menjadi dongeng?”
Anusapati menitikkan air mata. Begitu pun lelaki yang berbaring di hadapannya. Tangan yang dulu kekar itu mengusap air bening di sudut matanya dengan jari telunjuk. Ia memandang anak tirinya yang memegang keris terhunus. “Katakan kepadanya bahwa Ken Arok minta maaf,” katanya penuh penyesalan.
Anusapati mengangguk. Ia melihat wajah ayah tirinya yang pasrah, menunggu ujung keris di tangannya yang akan menikam ulu hatinya. Dengan tangan gemetar Anusapati menikamkan keris pusaka pemberian ibunya itu. Ia pejamkan mata menyaksikan sang raja yang tersenyum menyambut maut.
“Anakku,” kata Kertarajasa. “Kuwariskan kerajaan ini tanpa dendam.”
Anusapati mengangguk. Ia tidak bisa berkata apa-apa hingga tidak terdengar lagi suara nafas. Perlahan ia membuka kedua matanya. Setetes air mata mengalir bersamaan hulu keris yang ditarik keluar dari dada pembunuh ayahnya. Darah menyembur dari lubang tikaman.
“Ayah, maafkan aku,” kata Anusapati menyarungkan kerisnya yang masih berlumuran darah.
Lelaki itu mengangguk sangat pelan sambil memejamkan mata. Kepalanya terkulai.***
Haris del Hakim
Kertarajasa, pada masa muda dikenal sebagai Ken Arok, tergeragap dari tidurnya. Ujung keris telah menempel di ulu hatinya. Kesadaran yang baru saja diperolehnya hilang sesaat kemudian kembali dan digenggamnya erat-erat. Dalam keadaan apa pun ia tetap seorang raja, berandal yang digelari Arok, dan panglima pasukan yang pernah menikamkan kerisnya ke jantung Tunggul Ametung.
Cahaya lampu minyak jarak di sudut ruangan membantu pandangan matanya yang sudah tua untuk mengenali anak muda yang sedang menghunuskan keris ke ulu hatinya. Ia ingat puluhan tahun lalu saat ia berbuat sama terhadap ayah pemuda itu. Kini ia harus berganti peran. Dia terbaring tak berdaya sebagaimana ayahnya, Tunggul Ametung. Anak tiri yang dibesarkan oleh kasih sayangnya itu sedang memerankan dirinya. Bukankah dulu dia juga mencecap kasih sayang yang dilimpahkan oleh Tunggul Ametung, meskipun atas saran dari Mpu Lohgawe? Sekarang, ia memetik karma dari pohon yang ditanamnya puluhan tahun lalu.
Ia masih terbaring. Tangannya meraba ke samping kanan dan tidak mendapati siapa-siapa. Ia tersenyum dan bertanya. “Ke mana, ibumu?”
Anak muda itu merunduk. Lengan kirinya menempel di leher ayah tirinya. Bibirnya berbisik dengan perlahan sambil mengucapkan kata-kata yang perih. “Mengapa kautanyakan perempuan yang kaupaksa menyintaimu kemudian kausakiti hatinya?”
Lelaki tua di atas ranjang pualam itu masih bisa menunjukkan wajah bersinar, meskipun tekanan lengan anak muda itu perlahan mulai menyesakkan nafasnya, dan ujung keris semakin menyarangkan mata tajamnya. Usia yang dijalaninya telah mengajarkan segala macam jenis kematian manusia. Bahkan, beberapa kali ia membantu malaikat maut mencabut nyawa manusia dan tidak bisa lagi menghitung berapa jumlahnya. Ia juga tahu suatu saat akan menghadapi kematian dengan cara yang tidak pernah terbayangkan olehnya. Dan, kematian di ujung keris yang pernah ditikamkan pada akuwu itu pula yang akan mengakhiri hidupnya.
“Aku tidak pernah menyakitinya,” kata Lelaki itu. “Akulah yang membebaskannya dari belenggu tulang rapuh bapakmu dan mengangkat derajatnya sejajar dengan para permaisuri raja. Bukankah ia ceritakan semua kepadamu dan menjelaskan dosa-dosa bapakmu, seperti yang selalu dikeluhkannya kepadaku di setiap malam?”
Anak muda itu geram. Ia semakin menindih tubuh tua yang tidak berdaya. Bibirnya mencibir, “Aku adalah samudera tumpahan jeritan luka hatinya. Sejak dalam buaian kudengar lagu-lagu perih wanita yang dikhianati orang yang pernah dianggap menyintainya. Ia tanamkan pula benih dendam kematian ayahku dan setia menyiraminya sepanjang umurku. Apakah wanita seperti itu kaukatakan terbebas dari belenggu dan menepuk dada di atas singgasana permaisuri?”
“Anusapati!” kata sang raja gusar. “Katakan padaku dosa apa yang kulakukan terhadap dirinya? Luka hati seperti apa yang menuntun seorang istri meninggalkan ranjang tidur suaminya?”
“Kertarajasa! Seperti inikah pertanyaan ayahku, Tunggul Ametung, sebelum kautikamkan kerismu ke jantungnya?” tanya Anusapati.
Lelaki tua itu tertawa. Anusapati buru-buru menggeser lengan kirinya ke pangkal leher raja yang tinggal beberapa saat lagi umurnya. Ia kuatir ada prajurit yang mendengarnya dan menimbulkan kecurigaan. Sementara lelaki tua itu tersengal-sengal. Kedua tangannya yang bebas sengaja tidak digunakan untuk melakukan perlawanan. Dia belum tentu kalah menghadapi anak kemarin sore yang sedang terbakar oleh dendam, tapi ia merasa sudah tua untuk selalu mengelak dari karma-karma yang pernah dilakukannya di waktu muda. Ia sudah mendapatkan semua warna hidup seorang manusia. Ia pernah menjadi berandal yang malang melintang di tengah kegelapan hutan, juga pernah menjadi pimpinan prajurit yang disanjung-sanjung kedatangannya. Ia telah merasakan sebagai anak terbuang dan terlantar, juga merasakan sebagai raja yang sabdanya dinantikan setiap orang. Ia pun telah mendapatkan Ken Dedes yang diperebutkan oleh para Adipati hingga Raja Kediri, bahkan sebagai lelaki telah mendapatkan semua wanita yang diinginkannya. Ia sudah mengalami nelangsa dihinakan sebagai gelandangan tanpa kampung halaman, juga mengalami puja sanjung sebagai raja Singasari. Kehidupannya tinggal disempurnakan oleh kematian.
“Anusapati!” kata Kertarajasa dengan tenang. “Tunggul Ametung mati di tangan Kebo Ijo dan bukan tanganku. Takdir telah menentukan seperti itu dan takdir pula yang mengangkatku sebagai pengganti Tunggul Ametung.”
Kini Anusapati yang tersenyum. “Aku percaya pada bibir wanita yang rahimnya melahirkanku daripada mulutmu. Seperti yang pernah kaukatakan, tidak ada yang lebih jujur dari perempuan yang sakit hati.”
Anusapati belum menikamkan kerisnya. Ia ingin membuat ayah tirinya itu menghiba untuk selembar nyawanya. Ia ingin menyaksikan bagaimana seorang raja yang selalu dimintai segala sesuatu, seperti dewa, memohon-mohon padanya.
“Rupanya ia sudah menceritakan semuanya kepadamu,” kata Kertarajasa. “Apakah ia juga menceritakan ke mana perginya saat ayahmu tewas di ujung keris?”
“Aku tidak pernah menanyakannya, tapi aku berjanji memberitahu jawabannya padamu saat kau sudah menjadi abu.”
Kertarajasa tersenyum tipis. Ia ingat pada saat remaja sering bertindak gegabah. Ia tertawa.
“Sekarang ceritakan sakit hati seperti apa yang membesarkanmu?” tanya Kertarajasa.
“Kertarajasa! Begitu berartikah sakit hati yang dipendam perempuan itu hingga lebih kaupentingkan dari nyawamu sendiri?”
Ayam jantan berkokok. Dinding-dinding kraton masih tetap beku dalam dingin. Tidak ada seorang prajurit pun yang memberikan tanda kehadirannya melalui suara langkah kaki. Anusapati telah mengatur semuanya. Ia belajar dari ibunya bagaimana Ken Arok menyusun rencananya selama berbulan-bulan demi menghunuskan keris ke jantung ayahnya. “Bahkan, ia juga merencanakan berapa orang yang harus menangis atas meninggalnya ayahmu,” begitu kata ibunya ketika itu.
Kertarajasa tersenyum mendapat tanggapan seperti itu. “Ya,” jawab Kertarajasa dengan nada bicara masih tenang dan berwibawa. “Sakit hati itu tentu sangat perih dan meremukredamkan hatinya, hingga waktu puluhan tahun tidak sanggup menghapuskan atau mengutuhkannya kembali. Aku bisa merasakan senggukan tangisnya melalui bibirmu. Tetapi, aku ingin sebelum berakhir hidupku kuketahui semua dosa yang pernah kulakukan. Biarlah aku tahu siapa diriku pada saat-saat menjelang sekaratku.”
“Apakah semua itu lebih berarti dari kerajaan yang kaubangun dengan darah ribuan orang ini?”
Kertarajasa tidak menyalahkan atau membenarkan. Dia memberikan nasehat, “Anusapati, kekuasaan tidak pernah abadi di tangan seseorang. Kekuasaan direbut, dipertahankan, diwariskan, atau diberikan secara paksa kepada orang lain. Kita tidak bisa memaksa diri untuk selalu menggenggamnya. Manusia semakin tua sementara orang-orang muda terus lahir ke dunia. Yang tua harus merelakan diri digantikan yang lebih muda. Pada akhirnya, manusia baru sadar bila menghadapi maut sendirian.”
Anusapati menyimak ungkapan ayah tirinya itu. Ia tidak memungkiri kewibawaan dan kebijaksanaannya. Hanya bayang-bayang ayahnya yang ia gambarkan di kepalanya yang selalu mengatakan bahwa ia tidak dapat berdusta bila lelaki itu adalah pembunuh ayahnya. Setiap kali bertemu dengannya, ia merasa seperti arang yang dilemparkan ke dalam tungku. Semakin bertambah umurnya semakin membara keinginan untuk membalaskan sakit hati ayah dan ibunya.
Kertarajasa seorang raja yang tidak mengenal gentar. Dalam keadaan leher tertekan lengan dan ujung keris yang sewaktu-waktu menusuk ke ulu hatinya, ia dapat berbicara lancar tanpa gagap sedikit pun. “Anusapati! Sebentar lagi matahari akan terbit. Lekas katakan sebelum tindakanmu ini diketahui oleh orang lain dan kau tidak dapat membalaskan dendam ayahmu. Bahkan, kamu sendiri yang akan dipancung di alun-alun kota dan tidak ada lagi yang kalian andalkan untuk membalas dendam kepadaku.”
Anusapati tertawa tanpa menggerakkan gerahamnya. “Inikah kekuatanmu terakhir sebagai seorang raja, Kertarajasa? Kau andalkan sisa-sisa kepercayaan dirimu dengan mengancamku. Kamu boleh memilih, kukatakan sendiri atau perempuan itu yang akan mengatakannya kepadamu?”
“Anakku Anusapati,” kata Kertarajasa dengan nada kebapakan. “Waspadalah terhadap dirimu sendiri. Jangan sekali-kali kemenangan membuatmu lupa diri dan sewenang-wenang, apalagi belum berada dalam genggaman tanganmu. Kamu pemuda tangguh yang sering bertindak sembrono. Jangan sia-siakan kesempatan yang diberikan kepadamu. Hunjamkan keris itu segera sebelum matahari terbit. Apakah kamu tidak mendengar talu lesung para petani di kejauhan?”
Pemuda itu melepaskan tekanan lengan kirinya. Ia memandangi wajah yang selalu dipanggilnya sebagai ayah. Ia tidak pernah merasa terbedakan dari Tohjaya. Batinnya berbisik, “Mengapa orang tua adalah yang meneteskan darahnya di tubuhku dan bukan yang memberikan kebaikan-kebaikan?” Barangkali benar kata ayah tirinya itu. Ia juga menjalani garis takdir untuk membunuhnya.
“Kau telah menikahi Uma dan seperti ini takdir yang harus kujalani,” jawab Anusapati. “Perempuan itu sering menerawang ke langit dan menyebut nama ayahku bila perih pengkhianatanmu melintas di batinnya. Ia bisa memaafkanmu saat kaubunuh Tunggul Ametung, tapi ia terlalu sakit dan menderita ketika mendengar Tohjaya menangis. Tidakkah kau perhatikan tubuhnya yang makin kurus dan kecantikannya yang berubah menjadi dongeng?”
Anusapati menitikkan air mata. Begitu pun lelaki yang berbaring di hadapannya. Tangan yang dulu kekar itu mengusap air bening di sudut matanya dengan jari telunjuk. Ia memandang anak tirinya yang memegang keris terhunus. “Katakan kepadanya bahwa Ken Arok minta maaf,” katanya penuh penyesalan.
Anusapati mengangguk. Ia melihat wajah ayah tirinya yang pasrah, menunggu ujung keris di tangannya yang akan menikam ulu hatinya. Dengan tangan gemetar Anusapati menikamkan keris pusaka pemberian ibunya itu. Ia pejamkan mata menyaksikan sang raja yang tersenyum menyambut maut.
“Anakku,” kata Kertarajasa. “Kuwariskan kerajaan ini tanpa dendam.”
Anusapati mengangguk. Ia tidak bisa berkata apa-apa hingga tidak terdengar lagi suara nafas. Perlahan ia membuka kedua matanya. Setetes air mata mengalir bersamaan hulu keris yang ditarik keluar dari dada pembunuh ayahnya. Darah menyembur dari lubang tikaman.
“Ayah, maafkan aku,” kata Anusapati menyarungkan kerisnya yang masih berlumuran darah.
Lelaki itu mengangguk sangat pelan sambil memejamkan mata. Kepalanya terkulai.***
Fragmen Cinta; Rumi – Rabia
Karya: Javed Paul Syatha
Segmen /1/
Di sini, baik cahaya maupun bayang-bayang adalah tarian cinta. Cinta tak bersebab; ialah pengukur ketinggian rahasia sepasang kekasih; seperti puisi cinta yang tak mengenal waktu, dimana kesuatu tempat yang tak terlukiskan. Sampai-sampai setiap saat menjadi penuh kemegahan oleh cahaya cinta.
Tapi tubuh siapa gemulai dalam daun cahaya dalam terang warna bunga-bunga dengan gairah yang memancar dari segala sudut cahaya; mengelilingi dengan tarian seonggok batin yang beku terbelenggu yang fana.
Rabia: bulan telah menjadi penari
dalam puisi cinta ini
tarian cahaya ini
oh, mata penuh gairah
tengah membakar diri sendiri
aku bercinta dalam cahaya
dalam keagungan cinta
lantas berdansalah dalam dadamu
dimana tak seorang pun melihatnya
Rumi: (Dalam lingkar kebutaan yang memasung segala hasrat merantai)
teruslah menari kekasihku, sebrangkan rindu kita dari perangkap
batin yang menyesatkan diri pada lingkar kefanahan ini.
Lepaslah, lepaslah wahai kekasih. Engkaulah hakikat penawar racun cinta ini.
Rabia: Aku tengah melihat taman bunga kekasihku, aku melihat
diriku bersamamu menjadi sepasang simbul ketiadaan yang melampaui keyakinan demi keyakinanku.
Rumi: Ya, biarkan ia menjadi roh dari segala cinta yang rindu akan keabadian. Biarkan perih ini juga untuk mereka yang datang sebagai pecinta di hadapan matahari.
Rabia: Maka apakah kau ingin aku tertawa untuk membunuh segala kecemasan. Segala kecemasan untuk mencintai, untuk memelihara nestapa ini? oh, hatiku telah terbakar oleh cahaya matahari dari kehendakmu itu dan cinta telah menjadi saksi nyala apinya.
Rumi: Tapi inilah aku dalam bilik para pecinta, aku dapat melihat dengan mata terpejam keindahan yang menari; mabuk karena cinta. (langkah kecil pada jejak lingkaran yang merantai) akupun menarikan irama dari dunia yang terus berputar; sampai aku telah kehilangan akalku dalam dunia percintaan ini.
Rabia: Jadi, maksudmu aku hanya mencintai diriku sendiri, tak sanggup membunuh keakuanku, lenyapkan diri dari segala mahadaya cinta!
Oh, hatiku telah terbakar dalam ketidakkuasaan nyala api gairahku sendiri.
Rumi: Tidak! Teriakan kerinduan, lolongan kepedihanmu, telah melebur segala jiwa ini.
Rabia: Sebenarnya aku tengah menanti dengan penuh keihlasan, menatap dalam matamu yan terbius, dalam malam-malam sujudku.
Rumi: Wahai, dekaplah gairahku dengan ketenangan segala cinta, karena hanya engkaulah kekasihku dari keberadaan yang sesungguhnya.
Rabia: akulah dari segala cintamu
datang dan tinggal bersamamu
dan kita telah hidup bersebelahan
dengan bintangbintang
tapi engkau telah bersembunyi sekian lama
terhanyut tak tentu arah
dalam lautan cintaku
aku telah senantiasa bersentuhan denganmu
dalam ketakberwujudan
kitalah tawanan cinta itu sendiri
wahai, datang dan menyatulah denganku
rentangkan tangan cintamu
duhai kekasih
Maka matilah cinta, mati dalam cinta itu sendiri, mati dalam kesunyian sekian cinta. Maka hanya cinta pula yang sanggup menghadirkan kepada segenap kehidupan melampaui laut kebijakan.
Segmen /2/
Seberkas cahaya adalah penyaksian, oleh karenanya yang menggumpal menjadikan berhala yang licik dalam keberadaan cinta, dan siapa kan memujanya. Sedang pemuja tak lain adalah ketiadaan yang hampa dari dunianya sendiri.
Maka pertautan itu; antara cinta dan berhala, adalah lebih buruk dari segala keberadaan cinta. Suatu realitas yang musti di tanggung oleh setiap babak dalam bercinta.
Rumi: Wahai kekasih, hadapkan wujudmu dari penyangkalan keberadaanku, jadikan keyakinan dari pikiranku sendiri. melenyapkan diri dari dunia bentuk yang akan binasa dan tidak di lahirkan kembali.
Rabia: Hai, seruan ini aku belum pernah mendengarnya!
Rumi: Ya, karena hati kita senantiasa terjebak keadaan yang fana; maka tak ada jalan lain selain kita berpulang dari ketiadaan untuk memenuhi seruan kekasih.
Rabia: Tapi aku akan meniupkan nafas cinta ini sebelum segalanya usai. Maka diamlah, tengarai waktu-waktu kedatangan itu; renggut nafas itu sebagai ruh bagi setiap kehendak kita.
Rumi: Lantas seperti jiwa peroleh roh, apakah nafsu api pun menemukan nyala dalam hembusan itu?
Rabia: Andai saja jiwa itu tidak mati, ia akan terlatih mencari cahaya dalam tiupan, tanpa harus mengawali dan mengahirinya.
Rumi: (Dengan peringai wajah secercah cahaya) hiburlah aku duhai kekasih, dengan rindu dijiwamu akan cahaya!
Rabia: Tapi, bukankah rindu dan jiwa sama-sama rahasia tersembunyi dalam cinta.
Rumi: Tapi, ia telah berbisik padaku.
Rabia: Apakah engkau yang menaruh kerikil di atas daun kering itu?
Rumi: Aku juga telah mengubur garam dalam tanah.
Rabia: Maka bukalah matamu pada cahaya benderang, kan kau temukan penawar bagi rindu itu; terapung di lautan.
Seperti sekuntum bunga berduri yang tergeletak di bumi berdebu dan tak tersentuh; demikianlah pengingkaran, dan penempatan cinta di hadapan selain cinta. Karena itu mereka tengah memulangkan muka di pancaran cahaya. Mereka benar-benar memulangkan muka meski mereka tak mengetahui. Lantas kemana?
Mereka tenggelam dalm lautan yang mereka ciptakan sendiri dan menempatkan dirinya pada rahasia cinta di seberang gelombang yang dahsyat. Mereka menjadi jembatan yang melintasi waktu yang mempertautkan rindu paling rindu.
Jeda; derita para pecinta
terbakar dalam tarian api hasrat
para pecinta tinggalkan jejak
keberadaan mereka
lolongan orangorang patah hati
adalah jalan menuju tuhan
Segmen /3/
Baik Rumi atau Rabia, sesungguhnya mereka tidak tahu apa-apa mngenai jiwa. Mereka berucap cinta namun tidak menemukan tali kendali bagi nafsunya yang menjalar. Bukankah di sisih Tuhan, hawa nafsu menjelma musim kemarau sedang akal dan ruh merupakan esensi musim semi yang terus menerus.
Maka alirkanlah mata air kehidupan untuk memperbarui kehidupan bagi taman jiwa, karena sesungguhnya di dalam dada ada laut penutur yang di penuhi ribuan mutiara. Satu bisikan yang belum pernah terdengar pada daun-daun; menjadi saripati wujud yang meredakan berbagai cinta yang menggelisahkan.
Rumi: (Menangkap cahaya). Wahai jiwa yang terperangkap di dalam api kegalauan, inikah malapetaka kesiaan itu? Kesia-siaan yang akan mendera jiwa tak berkesudahan! Aku akan mengusirmu. (meniup cahaya itu hingga padam seperti mengusir nafsu keerakahan manusia akan cinta dan semua menjadi gulita).
Rabia: Inilah penglihatan kita yang sesungguhnya. Kegelapan ini tak kan berkesudahan. Dan kita akan kembali kemuasal (dalam penyatuan wujud) keindahan bagaimana yang abadi dalam semesta ini yang tak di renggut angin musim kemarau? Langit macam apa yang tak akan meneteskan hujan dan merontokkan daun-daun kering yang menjadikannya tersungkur ke tanah?
Rumi: Semua akan binasa dan menjadi reruntuhan; kecuali bisikan kalbu para kekasih. Duhai yang menguasai segala cinta.
Wujud mereka yang fana adalah tombak sandaran bagi wujud kita. Wujud yang berangkat dari keinginan jasmaniah dan perihnya dunia menuju semesta maha luas. Menembus batas-batas alam jiwa yang jauh.
Cinta datang dari alam wujud ke alam ketiadaan. Inilah jawaban itu; dan batu-batu, daun-daun air pun cahaya telah mengetahuinya sejak lama sejak panggilan angin terpahami oleh kesunyian surga.
Lamongan, 2008
Segmen /1/
Di sini, baik cahaya maupun bayang-bayang adalah tarian cinta. Cinta tak bersebab; ialah pengukur ketinggian rahasia sepasang kekasih; seperti puisi cinta yang tak mengenal waktu, dimana kesuatu tempat yang tak terlukiskan. Sampai-sampai setiap saat menjadi penuh kemegahan oleh cahaya cinta.
Tapi tubuh siapa gemulai dalam daun cahaya dalam terang warna bunga-bunga dengan gairah yang memancar dari segala sudut cahaya; mengelilingi dengan tarian seonggok batin yang beku terbelenggu yang fana.
Rabia: bulan telah menjadi penari
dalam puisi cinta ini
tarian cahaya ini
oh, mata penuh gairah
tengah membakar diri sendiri
aku bercinta dalam cahaya
dalam keagungan cinta
lantas berdansalah dalam dadamu
dimana tak seorang pun melihatnya
Rumi: (Dalam lingkar kebutaan yang memasung segala hasrat merantai)
teruslah menari kekasihku, sebrangkan rindu kita dari perangkap
batin yang menyesatkan diri pada lingkar kefanahan ini.
Lepaslah, lepaslah wahai kekasih. Engkaulah hakikat penawar racun cinta ini.
Rabia: Aku tengah melihat taman bunga kekasihku, aku melihat
diriku bersamamu menjadi sepasang simbul ketiadaan yang melampaui keyakinan demi keyakinanku.
Rumi: Ya, biarkan ia menjadi roh dari segala cinta yang rindu akan keabadian. Biarkan perih ini juga untuk mereka yang datang sebagai pecinta di hadapan matahari.
Rabia: Maka apakah kau ingin aku tertawa untuk membunuh segala kecemasan. Segala kecemasan untuk mencintai, untuk memelihara nestapa ini? oh, hatiku telah terbakar oleh cahaya matahari dari kehendakmu itu dan cinta telah menjadi saksi nyala apinya.
Rumi: Tapi inilah aku dalam bilik para pecinta, aku dapat melihat dengan mata terpejam keindahan yang menari; mabuk karena cinta. (langkah kecil pada jejak lingkaran yang merantai) akupun menarikan irama dari dunia yang terus berputar; sampai aku telah kehilangan akalku dalam dunia percintaan ini.
Rabia: Jadi, maksudmu aku hanya mencintai diriku sendiri, tak sanggup membunuh keakuanku, lenyapkan diri dari segala mahadaya cinta!
Oh, hatiku telah terbakar dalam ketidakkuasaan nyala api gairahku sendiri.
Rumi: Tidak! Teriakan kerinduan, lolongan kepedihanmu, telah melebur segala jiwa ini.
Rabia: Sebenarnya aku tengah menanti dengan penuh keihlasan, menatap dalam matamu yan terbius, dalam malam-malam sujudku.
Rumi: Wahai, dekaplah gairahku dengan ketenangan segala cinta, karena hanya engkaulah kekasihku dari keberadaan yang sesungguhnya.
Rabia: akulah dari segala cintamu
datang dan tinggal bersamamu
dan kita telah hidup bersebelahan
dengan bintangbintang
tapi engkau telah bersembunyi sekian lama
terhanyut tak tentu arah
dalam lautan cintaku
aku telah senantiasa bersentuhan denganmu
dalam ketakberwujudan
kitalah tawanan cinta itu sendiri
wahai, datang dan menyatulah denganku
rentangkan tangan cintamu
duhai kekasih
Maka matilah cinta, mati dalam cinta itu sendiri, mati dalam kesunyian sekian cinta. Maka hanya cinta pula yang sanggup menghadirkan kepada segenap kehidupan melampaui laut kebijakan.
Segmen /2/
Seberkas cahaya adalah penyaksian, oleh karenanya yang menggumpal menjadikan berhala yang licik dalam keberadaan cinta, dan siapa kan memujanya. Sedang pemuja tak lain adalah ketiadaan yang hampa dari dunianya sendiri.
Maka pertautan itu; antara cinta dan berhala, adalah lebih buruk dari segala keberadaan cinta. Suatu realitas yang musti di tanggung oleh setiap babak dalam bercinta.
Rumi: Wahai kekasih, hadapkan wujudmu dari penyangkalan keberadaanku, jadikan keyakinan dari pikiranku sendiri. melenyapkan diri dari dunia bentuk yang akan binasa dan tidak di lahirkan kembali.
Rabia: Hai, seruan ini aku belum pernah mendengarnya!
Rumi: Ya, karena hati kita senantiasa terjebak keadaan yang fana; maka tak ada jalan lain selain kita berpulang dari ketiadaan untuk memenuhi seruan kekasih.
Rabia: Tapi aku akan meniupkan nafas cinta ini sebelum segalanya usai. Maka diamlah, tengarai waktu-waktu kedatangan itu; renggut nafas itu sebagai ruh bagi setiap kehendak kita.
Rumi: Lantas seperti jiwa peroleh roh, apakah nafsu api pun menemukan nyala dalam hembusan itu?
Rabia: Andai saja jiwa itu tidak mati, ia akan terlatih mencari cahaya dalam tiupan, tanpa harus mengawali dan mengahirinya.
Rumi: (Dengan peringai wajah secercah cahaya) hiburlah aku duhai kekasih, dengan rindu dijiwamu akan cahaya!
Rabia: Tapi, bukankah rindu dan jiwa sama-sama rahasia tersembunyi dalam cinta.
Rumi: Tapi, ia telah berbisik padaku.
Rabia: Apakah engkau yang menaruh kerikil di atas daun kering itu?
Rumi: Aku juga telah mengubur garam dalam tanah.
Rabia: Maka bukalah matamu pada cahaya benderang, kan kau temukan penawar bagi rindu itu; terapung di lautan.
Seperti sekuntum bunga berduri yang tergeletak di bumi berdebu dan tak tersentuh; demikianlah pengingkaran, dan penempatan cinta di hadapan selain cinta. Karena itu mereka tengah memulangkan muka di pancaran cahaya. Mereka benar-benar memulangkan muka meski mereka tak mengetahui. Lantas kemana?
Mereka tenggelam dalm lautan yang mereka ciptakan sendiri dan menempatkan dirinya pada rahasia cinta di seberang gelombang yang dahsyat. Mereka menjadi jembatan yang melintasi waktu yang mempertautkan rindu paling rindu.
Jeda; derita para pecinta
terbakar dalam tarian api hasrat
para pecinta tinggalkan jejak
keberadaan mereka
lolongan orangorang patah hati
adalah jalan menuju tuhan
Segmen /3/
Baik Rumi atau Rabia, sesungguhnya mereka tidak tahu apa-apa mngenai jiwa. Mereka berucap cinta namun tidak menemukan tali kendali bagi nafsunya yang menjalar. Bukankah di sisih Tuhan, hawa nafsu menjelma musim kemarau sedang akal dan ruh merupakan esensi musim semi yang terus menerus.
Maka alirkanlah mata air kehidupan untuk memperbarui kehidupan bagi taman jiwa, karena sesungguhnya di dalam dada ada laut penutur yang di penuhi ribuan mutiara. Satu bisikan yang belum pernah terdengar pada daun-daun; menjadi saripati wujud yang meredakan berbagai cinta yang menggelisahkan.
Rumi: (Menangkap cahaya). Wahai jiwa yang terperangkap di dalam api kegalauan, inikah malapetaka kesiaan itu? Kesia-siaan yang akan mendera jiwa tak berkesudahan! Aku akan mengusirmu. (meniup cahaya itu hingga padam seperti mengusir nafsu keerakahan manusia akan cinta dan semua menjadi gulita).
Rabia: Inilah penglihatan kita yang sesungguhnya. Kegelapan ini tak kan berkesudahan. Dan kita akan kembali kemuasal (dalam penyatuan wujud) keindahan bagaimana yang abadi dalam semesta ini yang tak di renggut angin musim kemarau? Langit macam apa yang tak akan meneteskan hujan dan merontokkan daun-daun kering yang menjadikannya tersungkur ke tanah?
Rumi: Semua akan binasa dan menjadi reruntuhan; kecuali bisikan kalbu para kekasih. Duhai yang menguasai segala cinta.
Wujud mereka yang fana adalah tombak sandaran bagi wujud kita. Wujud yang berangkat dari keinginan jasmaniah dan perihnya dunia menuju semesta maha luas. Menembus batas-batas alam jiwa yang jauh.
Cinta datang dari alam wujud ke alam ketiadaan. Inilah jawaban itu; dan batu-batu, daun-daun air pun cahaya telah mengetahuinya sejak lama sejak panggilan angin terpahami oleh kesunyian surga.
Lamongan, 2008
SANG PENAGIH
Nurel Javissyarqi
Aku datang terlambat
mengukur waktumu sekian masa lewat.
Atau inikah kedahuluanku?
Kulihat nampak sepi
terlambat atau mendahului sama saja
bisu serupa batu-batu kubawa berlari.
Di mana bayang dedaun
tertimpa sorot cahya mentari
mulai tampak di kaki-kaki berdiri.
Rerumputan senjakala
mendendangkan lagunya
bersemburat jingga cakrawala
yang memawarkan sembah rinduku
kepada kelam jiwamu meronta leluka.
Kehendakku menyampaikan ini
menagih catatan hari-harimu
yang kian melompong.
Bersegala kuseret dari jurang lalu terdalam
sampai ke puncak kepalamu gunung Lawu.
Kelabu saat-saatmu tergesah
mengangkut batu-batu cadas
kerikil ketertindasan
dengan gerobak kepongahan.
Sementara malam datang
kau terlelap kelelahan
fajar pun turun
kau masih pulas mendengkur
seperti anak-anak perawan.
Dalam kesunyian dinding
waktu penuh kepemudaan baru
dari guratan relief gua penalaran.
Melewati kabut sesak nafasmu
menukik segala gelisa
merampati terpegang
bukan kepalan dendam.
Olehnya
datang terlambat membawa berkah
bagi mau memunguti setapak laluan kembara
yang memerdekakan jiwa-jiwa terpenjara.
Berat rasanya menagih
namun ini harus dilakukan
agar tak terlena
terbumbung pesona keagkuhan.
Kiranya melampaui realita
mencecap pahit lidah
keluh kinang tertelan dalam mulut kecewa.
Jikalau muncrat menjelma samudra kalimah
yang dibisikkan burung-burung camar kelana.
Membuat tambak tidaklah sekali
demi butiran garam terperoleh
tiada habis dimakan curiga.
Sebab waktu membusuk
jikalau tak keluar arena.
Meski sekali memanen
lebih dari terduga;
pendapat ini
jelas dari orang-orang pelupa yang mengada.
Kau seperti penyair
meminta jatah dipertanyakan
padahal yang bergerak maju
tidak butuhkan elusan.
Ini penggerukan dalam
penarikan jauh.
Darimu tak dapati apa
selain firasat cemburu buta.
Aku menagih
berwaktu padat menghampiri persoalan
atas diri tak sempat termangu
terus menggoyang perut tambun
yang keroncongan ocehan pecundang.
Daripada berbisik
toh tiada telinga dipasang.
Keris melesak dikumandangkan berlantang
tidak hanya separuh badan niatan enggan.
Kau penuh gugup
ketika penagihan ini serampangan
apalagi membiasakan permainan meletihkan.
Aku terus menggelinjak
sementara kau berpesta
serupa kawanan serigala berebut tulang.
Entah harus berapakali
nyawa-nyawa percobaan.
Aku di perkampungan
namun anggapanmu diriku tertelan
padahal waktu tidaklah serupa itu.
Semua berlalu ke samudera kekalan
gelora tiada habis diceritakan
terus tersiar berkembang.
Saat aku menagih
kau tak dalam keadaan mapan
serupa layang-layang benangnya kekecilan
dengan sekali kecupan bayu
sebentar-sebentar hawatir.
Lalu apakah terbangun selain rayuan?
Genit persoalanmu
yang cepat tergoda perubahan.
Seekor burung terbang berkelepak sayapnya
nilai ketakseimbangan yang sempurnakan.
Bagi terus melintas
tiada lagi pengadaan bayangan.
Jikalau jauh melampaui realita
menembusi kabut bersegala perjuangan.
Yang kau perbuat
menempel tembul kepincangan.
Tidakkah ruhmu
hanya dari segugus persoalan?
Tak pernah selesai
belum cukup menghajar kemungkinan.
Penagihan ini
gairah mengambili kesambillalumu
yang terbuai bujuk pancaroba semu.
Sedang diriku cukup menerimanya
bagi sampiran di sisi waktu paling dulu.
Olehnya,
pengadaanku menjanjikan juntrung
kaki-kaki menggeliat maju
bersama keterbatasan nafasku.
Yang kian kencang menggemuruh
dalam dada pelita penentu.
Ini arak-arakan waktu pekat
awan melintasi kepalamu was-was.
Kuburan lamunan perhatianmu
faham makna perubahan sungguh.
Ketergesahanku memanggilmu
sebagai teman atau musuh bebuyutan.
Kala warna masih kau persoalkan
padahal itu menarik unsur nyawa
menjelma nilai-nilai tak habis dilupa.
Aku merasa bukan batu atau air terjun
namun semuanya melewati tubuhku.
Perjalanan tak melerai warna juga wujud
ialah mengambil hakku itu kewajaran
ketika makna kepemilikan dibutuhkan
atau kuhadir bertepat waktumu melempar dadu.
Ada cidera melebar tak perlu disebutkan
melihat wajah-wajah tegar di bilik kemurahan.
Inilah kesungguhan datang menagih muka sayu
dari balik kegembiraan.
Kelakar itu gemericik merebak di kaki pilu
sebab pesta tak didatangi sang tuan waktu.
Mimpi bukan impian apalagi harapan
saat seluruhnya disedot lautan perimbangan.
Ikan-ikan menari terlepas dari jemari
mendatangkan gemuruh guruh
menelan sisik-sisik yang rapuh.
Juga daging yang gurih
terkoyak usia sungguh.
Penagihan ini membawa sekalian terperi
pula pelena menjumput guguran uban terlupa.
Aku masih membagi-bagikan cahaya rasa
waktu-waktu penangguhan
bagi sudi berbaca
di hadapan cermin kepiluan
yang cemerlangkan masa depan.
2008 Lamongan
*)Pengelana, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Jawa Timur 8 Maret 1976.
Aku datang terlambat
mengukur waktumu sekian masa lewat.
Atau inikah kedahuluanku?
Kulihat nampak sepi
terlambat atau mendahului sama saja
bisu serupa batu-batu kubawa berlari.
Di mana bayang dedaun
tertimpa sorot cahya mentari
mulai tampak di kaki-kaki berdiri.
Rerumputan senjakala
mendendangkan lagunya
bersemburat jingga cakrawala
yang memawarkan sembah rinduku
kepada kelam jiwamu meronta leluka.
Kehendakku menyampaikan ini
menagih catatan hari-harimu
yang kian melompong.
Bersegala kuseret dari jurang lalu terdalam
sampai ke puncak kepalamu gunung Lawu.
Kelabu saat-saatmu tergesah
mengangkut batu-batu cadas
kerikil ketertindasan
dengan gerobak kepongahan.
Sementara malam datang
kau terlelap kelelahan
fajar pun turun
kau masih pulas mendengkur
seperti anak-anak perawan.
Dalam kesunyian dinding
waktu penuh kepemudaan baru
dari guratan relief gua penalaran.
Melewati kabut sesak nafasmu
menukik segala gelisa
merampati terpegang
bukan kepalan dendam.
Olehnya
datang terlambat membawa berkah
bagi mau memunguti setapak laluan kembara
yang memerdekakan jiwa-jiwa terpenjara.
Berat rasanya menagih
namun ini harus dilakukan
agar tak terlena
terbumbung pesona keagkuhan.
Kiranya melampaui realita
mencecap pahit lidah
keluh kinang tertelan dalam mulut kecewa.
Jikalau muncrat menjelma samudra kalimah
yang dibisikkan burung-burung camar kelana.
Membuat tambak tidaklah sekali
demi butiran garam terperoleh
tiada habis dimakan curiga.
Sebab waktu membusuk
jikalau tak keluar arena.
Meski sekali memanen
lebih dari terduga;
pendapat ini
jelas dari orang-orang pelupa yang mengada.
Kau seperti penyair
meminta jatah dipertanyakan
padahal yang bergerak maju
tidak butuhkan elusan.
Ini penggerukan dalam
penarikan jauh.
Darimu tak dapati apa
selain firasat cemburu buta.
Aku menagih
berwaktu padat menghampiri persoalan
atas diri tak sempat termangu
terus menggoyang perut tambun
yang keroncongan ocehan pecundang.
Daripada berbisik
toh tiada telinga dipasang.
Keris melesak dikumandangkan berlantang
tidak hanya separuh badan niatan enggan.
Kau penuh gugup
ketika penagihan ini serampangan
apalagi membiasakan permainan meletihkan.
Aku terus menggelinjak
sementara kau berpesta
serupa kawanan serigala berebut tulang.
Entah harus berapakali
nyawa-nyawa percobaan.
Aku di perkampungan
namun anggapanmu diriku tertelan
padahal waktu tidaklah serupa itu.
Semua berlalu ke samudera kekalan
gelora tiada habis diceritakan
terus tersiar berkembang.
Saat aku menagih
kau tak dalam keadaan mapan
serupa layang-layang benangnya kekecilan
dengan sekali kecupan bayu
sebentar-sebentar hawatir.
Lalu apakah terbangun selain rayuan?
Genit persoalanmu
yang cepat tergoda perubahan.
Seekor burung terbang berkelepak sayapnya
nilai ketakseimbangan yang sempurnakan.
Bagi terus melintas
tiada lagi pengadaan bayangan.
Jikalau jauh melampaui realita
menembusi kabut bersegala perjuangan.
Yang kau perbuat
menempel tembul kepincangan.
Tidakkah ruhmu
hanya dari segugus persoalan?
Tak pernah selesai
belum cukup menghajar kemungkinan.
Penagihan ini
gairah mengambili kesambillalumu
yang terbuai bujuk pancaroba semu.
Sedang diriku cukup menerimanya
bagi sampiran di sisi waktu paling dulu.
Olehnya,
pengadaanku menjanjikan juntrung
kaki-kaki menggeliat maju
bersama keterbatasan nafasku.
Yang kian kencang menggemuruh
dalam dada pelita penentu.
Ini arak-arakan waktu pekat
awan melintasi kepalamu was-was.
Kuburan lamunan perhatianmu
faham makna perubahan sungguh.
Ketergesahanku memanggilmu
sebagai teman atau musuh bebuyutan.
Kala warna masih kau persoalkan
padahal itu menarik unsur nyawa
menjelma nilai-nilai tak habis dilupa.
Aku merasa bukan batu atau air terjun
namun semuanya melewati tubuhku.
Perjalanan tak melerai warna juga wujud
ialah mengambil hakku itu kewajaran
ketika makna kepemilikan dibutuhkan
atau kuhadir bertepat waktumu melempar dadu.
Ada cidera melebar tak perlu disebutkan
melihat wajah-wajah tegar di bilik kemurahan.
Inilah kesungguhan datang menagih muka sayu
dari balik kegembiraan.
Kelakar itu gemericik merebak di kaki pilu
sebab pesta tak didatangi sang tuan waktu.
Mimpi bukan impian apalagi harapan
saat seluruhnya disedot lautan perimbangan.
Ikan-ikan menari terlepas dari jemari
mendatangkan gemuruh guruh
menelan sisik-sisik yang rapuh.
Juga daging yang gurih
terkoyak usia sungguh.
Penagihan ini membawa sekalian terperi
pula pelena menjumput guguran uban terlupa.
Aku masih membagi-bagikan cahaya rasa
waktu-waktu penangguhan
bagi sudi berbaca
di hadapan cermin kepiluan
yang cemerlangkan masa depan.
2008 Lamongan
*)Pengelana, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Jawa Timur 8 Maret 1976.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae